SlideShare a Scribd company logo
1 of 7
BERDIRI DIATAS IMPIAN 
Aku masih berdiam diri tatkala tinta ini tergores membasahi Lembaran putih yang 
masih kosong. Kosong seperti halnya pikiran dan hati ini. Seolah aku lupa cara merangkai 
mimpi yang dulu selalu mengalir memberi semangat untuk terus maju tanpa kenal yang 
namanya berhenti. mungkin sekarang ini titik jenuh itu berada pada ambang batasnya. Tak 
ada impian lagi, tak ada semangat maju lagi, tak ada ide-ide segar yang biasa bermunculan 
seperti bintang di atas sana. Menjalani hidup hanya pasrah pada keadaan. Sungguh 
memalukan. 
Aku masih ingat ketika aku mengamati barisan semut yang begitu rapi, dan ketika 
bertemu mereka saling mengadu kepala. Yang membuatku heran jarang sekali mereka 
berkelahi sesama jenis mereka. Kemudian aku mendekati tanaman yang dari jauh nampak 
berkilauan tertimpa hangatnya mentari pagi seperti mutiara. Aku terkejut saat kudekati 
ternyata itu adalah air. Aku mengamati tanah disekelilingku, kering. Lalu bagaimana air itu 
bisa sampai ditanaman itu? Apakah mungkin orang tuaku yang menyiram? Tidak. Mereka 
terlalu sibuk untuk menyiram tanaman yang hanya menjadi tempat untuk menjemur baju. 
Pikiranku tentang air itu seketika buyar saat aku mendengar suara orang yang 
berpamitan pergi sekolah. nampak tiga kakak beradik berjalan beriringan memakai seragam 
merah putih. Yang tertua namanya Srintil, yang nomor dua namannya Waluyo dan yang 
terakhir adalah Leni. Mereka bertiga adalah tetangga sekaligus orang yang sudah ku anggap 
sebagai keluargaku, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Pakde Bandeng dan bude Tun. 
Mereka bertiga melambai kearahku seraya berpamitan pula. Tanpa disuruh lagi aku 
segera membalas lambaian tangan mereka. Terlihat pula tetanggaku yang lain sudah 
menunggu mereka dan segera ikut bergabung. Terkadang aku iri, kapan aku bisa sekolah 
seperti mereka? Membaca, menghitung, dan tentunya mendapat pengetahuan baru. Deg, aku 
teringat akan air tadi yang bisa sampai di tanaman itu. Ah, sungguh menyesal kenapa aku tak 
bertanya kepada mereka saja tadi. Kemudian aku berjalan kearah sumur dimana ibu dan 
kedua bibiku sedang mencuci baju. 
Aku datang dengan mengendap, lalu... 
“Daaar”. aku mengagetkan mereka yang sedang asyik menggosip sambil mencuci. 
“Oy...,setan sutil wajan panci penyok.,” terdengar bibiku Mus mengumpat 
“Hiis dah. Ngagetin orang saja hobinya, mandi sana. Iler-mu itu masih menempel 
dimana-mana” bibi minah menimpali. 
Aku tersenyum kecut sementara Ibu hanya tersenyum saja melihatku. Senyum itu 
yang membuatku sedikit tenang. Jika mereka menyerang, masih ada Ibu yang menjadi 
pelindungku. Begitulah yang kupikirkan saat itu. Sambil memainkan busa sabun aku bertanya 
kepada ibuku. 
“mak, apa semalam hujan?” 
“Enggak, emang kenapa?” 
“Terus kalo gag hujan kok bunga bonsai didepan itu kok basah?” 
“Oh, itu namanya embun” bibi Mus menyahut. 
“Embun itu apa sih?” aku masih penasaran 
“Ya air yang di bunga bonsai tadi” Bibi Minah menimpali. 
“Terus air yang di rumput jepang tadi juga embun kah?”
“Iya, le. Sudah, cepet mandi sana terus sarapan. Ibu sudah goreng nasi di meja 
makan” 
Tanpa disuruh lagi aku langsung berlari kemeja makan dan mendapati sepiring nasi 
goreng pedas lengkap dengan ikan teri kesukaanku. Tak menunggu waktu lama piring itu 
sudah kosong. Dan sendawa keras menjadi acara penutup setiap kali aku makan. 
“Alhamdulillahirobil’alamin” kata yang selalu ucapkan setelah selesai bersendawa. 
Aku kembali kedepan rumah dan membasahi wajahku dengan embun tadi. Terasa berbeda 
dinginnya dengan air sumur yang biasa aku pakai untuk mandi. Dinginnya menyegarkan dan 
seolah membangkitkan semangat hari itu. 
Kemudian aku berlari kecil disekeliling rumah sambil bernyanyi. Sesekali aku 
menangkap capung yang sedang asyik bertengger di ranting pohon yang rendah dengan 
tangan kosong. Ekor capung itu aku tali dengan tali rafia lalu aku terbangkan. Kemudian ku 
kejar capung itu hingga dia hinggap. Lalu aku ambil lagi dan aku terbangkan lagi. Begitulah 
sampai capung itu tak mau trbang lagi. Jika sudah begitu aku lepas tali rafianya dan capung 
itu ku letakkan di ranting lagi biar gag dimakan ayam atau hewan piaraan pemakan serangga 
lainnya. 
Dalam kepenatan aku melihat ibuku menjemur pakaian. Segera aku mendatangi dan 
membantunya menjemur baju. 
“Darimana kamu, sampai keringat sejagung-jagung” 
“Mainan capung tadi, lari keliling rumah terus nabrak pohon pisang, ini dengkulku 
lecet”. Aku menjelaskan sambil menunjukkan luka di lutut. 
“Kan,,? Sudah ibu bilang jangan larian terus, masih saja ngeyel. Sakit kan? Syukurin, 
makanya nurut kalo di omongi” 
“Iyo-iyo” Aku menjawab sambil bersungut. 
“Hey,, hey.,, hey,, Jangan pegang baju itu, tanganmu kotor. Bersihin dengan air ini 
dulu kalo mau pegang”. Ibu memeras baju sementara aku menengadahkan tangan menangkup 
air yang keluar saat diperas. 
Sesudahnya aku melihat seorang wanita tua mengendarai sepeda onthel dengan 
keranjang bambu diboncengannya. Segera saja aku berlari mengikuti sepeda itu yang dikayuh 
kearah belakang rumah. 
“Edis.... Jangan lari-lari, nanti jatuh lagi”. Ibuku berteriak memperingatkan. 
“Iya..” sahutku sambil masih tetap berlari tak perduli. 
Wanita tua itu adalah nenekku. Wanita hebat tanpa pernah kudengar ia mengeluh 
walau hanya sekali. Wanita inspiratorku, pendongeng dan pelaku kehidupan terbaik yang 
pernah kukenal. Senyum tulus tak pernah lepas dari wajah ayunya. Tergambar pula pahitnya 
kehidupan, lewat kerut di keningnya. Namun tersamarkan oleh tulusnya senyuman dan tutur 
kata ramah yang senantiasa keluar dari bibirnya. Sungguh perempuan yang luar biasa. 
Aku tersenyum sendiri ketika mengingat masa itu, bocah polos yang haus akan 
pengetahuan. Tak berhenti mencari kebenaran sampai ia puas terhadap kebenaran yang ia 
dapatkan. Senang membuat kesimpulan dan akan mempertahankan pendapatnya sampai ada 
orang yang dapat meyakinkan bahwa pendapatnya itu salah. Orang yang mau mengakui 
kesalahannya dan berusaha tak mengulanginya. Berani meminta maaf jika apa yang 
dilakukannya telah menyakiti orang lain. Dan itulah aku dimasa dulu.
Cita-cita dan Mimpiku 
Hari ini adalah hari kedua ku pergi ke sekolah. Hari pertama ku ke sekolah ketika aku 
bersama kak Waluyo dan temannya berangkat sekolah. Tanpa pamit, tanpa mandi, aku tetap 
ikut ke sekolah . Pertama kali masuk kelas aku langsung duduk di kelas empat ikut kak Leni. 
Hampir setiap mata memandang entah karena kagum atau yang lainnya. Meski aku banyak 
tak mengerti apa yang diucapkan Ibu guru, aku mengikuti kelas tanpa ada rasa bosan bahkan 
antusias. 
Ketika jam istirahat datang aku ikut pulang bareng anak kelas satu dan dua. 
Sesampainya dirumah aku disambut isak tangis ibuku yang dikira aku hilang diculik. 
Maklum saja kala itu sedang marak penculikan anak-anak. Lalu aku menceritakan kejadian 
disekolah, saat aku ditanya nama, diminta menghitung bahkan aku diminta ibu guru untuk 
datang lagi ke sekolah. tapi sayangnya ibuku tetap pada pendiriannya untuk memasukkan ku 
disaat umurku enam tahun. Aku sempat mendaftarkan diri sendirian pada salah satu guru 
agama yang mengajar di SD itu tapi tetap ditolak. 
Kini akhirnya aku bisa merasakan indahnya ilmu pengetahuan, nikmatnya belajar dan 
mengetahui kenapa semut ketika bertemu saling beradu kepala. Mengapa setiap pagi tanaman 
basah yang kemudian disebut dengan embun. Aku jadi tahu bahwa warna pelangi itu bukan 
hanya merah, kuning dan hijau. Dan masih banyak lagi pengetahuan yang aku dapatkan. 
Sungguh luar biasa yang namanya bersekolah itu. 
Sekarang aku duduk dikelas lima bersama dengan dua saudara sepupuku. Yang 
menjadi salah satu pesaingku untuk merebut juara kelas. Namanya Dwi. Selain Dwi ada 
sahabatku yang menjadi pesaing yaitu Ari, anak seorang petani sukses. Ada Hendri, anak 
guru SMPN didaerahku. Peringkat mereka selalu menguntit dibelakangku tapi tak pernah bisa 
mengalahkan. Selain mereka ada cewek idaman yang menjadi pesaing utama dalam 
perebutan juara kelas dan tak sekalipun aku berhasil merebut rangking satu darinya. 
Namanya Ratih, anak dari seorang pengusaha yang memiliki fasilitas belajar cukup lengkap. 
Ayah dan ibunya terkenal cerdas pada masa mudanya dulu. Berbeda dengan aku yang hanya 
anak seorang buruh tani dengan latar belakang pendidikan hanya tamatan SD. Namun aku tak 
pernah minder dengan status tersebut, bagiku status bukan segalanya. 
Baru hari ini pertama kalinya kurasa sekolah terasa begitu membosankan. Guru baru 
yang galak dan cara menjelaskannya seperti anak SMP saja. Aku lampiaskan dengan 
memanjat sebuah pohon jambu dipinggir sawah dan membiarkan desiran angin membelai 
rambutku. 
“ Hey Edis, ngapain kamu disitu? Nanti jatuh. Ayo cepet turun.” Teriak tetanggaku 
yang kebetulan mau mencangkul ladangnya. 
“Iyo paman, gag apa-apa. Nyejukkan hati dulu disini” sahutku tak acuh. 
“turunlah, kamu mau ubi goreng gag?” dia memancing. 
“benarkah? Baik, aku turun.” Dengan cekatan aku menuruni pohon jambu tersebut. 
Aku langsung membuka bekal miliknya dan mulai menikmati ubi goreng yang masih hangat. 
“heeemm. Enak...” 
“hahaha.. kalo mau lagi ambil saja, tapi sisain paman”. 
“iya paman”. Aku mengambil sepotong lagi dan mengunyahnya perlahan. Sementara 
dia mengamati tingkahku sambil tertawa.
“ apa cita-citamu Dis?” paman Ses membuka obrolan. 
“ pengen jadi guru, aku pengen kawan-kawanku semuanya pintar. Aku juga pengen 
punya sekolahan gratis, agar anak-anak disini bisa sekolah tanpa harus memikirkan bayaran. 
Tapi aku bingung paman, masalahnya aku juga ingin menjadi kiyai yang tukang ceramah, 
biar gag ada lagi orang jahat. Tapi gimana caranya aku bisa mencapai semuanya? Rasanya 
gag mungkin paman” jawabku panjang. 
“hahahaha,... ingin jadi guru tapi juga ingin jadi kiyai. Ya sudah, kalo seperti itu kamu 
harus rajin belajar biar pintar. Jangan lupa ngajinya juga ditingkatkan. Kamu sudah juz 
berapa Al-Quran?” sahutnya. 
“Aku baru juz 11 paman. Tapi apakah mungkin aku bisa jadi keduanya?” 
“kenapa tidak? Guru itu gag harus ngajar disekolah kan? Tukang ceramah juga tidak 
selalu dimasjid. Guru itu adalah orang yang mengajari orang-orang yang tidak bisa. Guru 
juga tidak harus ada disekolahan. Saat kamu diluar sekolah, gurumu adalah orang-orang 
disekitarmu yang mengajarimu banyak hal baru. Bukan sekedar matematika dan bahasa 
Indonesia saja. Sedangkan kiyai itu menyampaikan hal baik kepada masyarakat dengan bekal 
ilmu agama” jelas paman ses panjang lebar. Aku sendiri seolah tak percaya apa yang barusan 
kudengar. Seorang petani sederhana kata-katanya begitu kaya, menginspirasi dan membuka 
cakrawala pemikiranku yang selama ini hanya berfikir tentang prestasi saja. Sedangkan aku 
mempunyai cita-cita yang mesti aku wujudkan bagaimanapun caranya asal saja tidak 
merugikan orang lain. 
“He’eh.. aku ngerti paman. Aku janji gag akan berhenti sampai aku mendapatkan apa 
yang aku impi dan cita-citakan. Terima kasih paman untuk semuanya. Aku mau manjat lagi. 
Hahahaha” aku dengan cepat kembali ketempatku semula. Paman Ses hanya tersenyum dan 
mulai mencangkul ladangnya. 
Dengan badan menghadap kearah hamparan hijaunya padi, pikiranku kembali 
menerawang angkasa tanpa batas. Seolah aku baru saja menghilangkan satu ton batu 
dipikiranku. Sekarang cita-citaku mulai tergambar jelas dimata, tak ada yang tak mungkin 
jika aku mau berusaha. 
Ku lepaskan pandangan ke atas langit, terlihat awan yang menggumpal seperti kapas 
bergerak ymengikuti arah angin. Seringkali awan itu berubah bentuk tertiup angin. Iya, satu 
hal lagi yang aku sadari bahwa tujuan hidup ini akan berubah seiring berjalannya waktu. 
Artinya aku harus bisa menempatkan diri sesuai dengan sekitarku untuk mencapai 
pemberhentian terakhir. Memang benar apa yang dikatakan paman Ses tadi, jika guru itu tak 
harus mengajar disekolah, kiyai itu tak selamanya ceramah dalam masjid. 
Aku harus bisa seperti awan, meskipun berubah-ubah bentuknya tapi dimanapun ia 
akan berhenti, saat itulah ia berubah menjadi hujan. Meskipun nanti aku tak mengajar 
disekolah, aku tidak boleh melupakan tujuan utamaku, yaitu berbagi ilmu yang aku punya. 
Dimanapun aku berada aku harus bisa seperti matahari yang bermanfaat bagi semuanya. Tak 
perduli seberapa kuat angin kehidupan mengubahku, aku harus tetap bertahan hingga pada 
masanya nanti angin berhenti merubahku dan aku mulai menjadi guru untuk orang-orang 
yang membtuhkanku. Semakin kuat angin menerpaku, semakin berisi pula apa yang ada 
dalam diriku.
Beberapa hari yang lalu ada pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat 
membahas tentang akan didirikannya Mushola di kampung kami. Maklum saja, dusun kami 
hanya mempunyai satu buah masjid yang letaknya agak jauh dari kampung kami. Hari itu 
diputuskan mengenai lokasi pembangunan mushola berada di pekarangan rumah bapak Mijo 
dan keluarganya. 
“ mau ikut gotong royong tidak?”Bapak mengagetkanku yang sedang membaca buku. 
“iya pak, tunggu bentar.. aku mau merapikan buku dulu” sahutku tanpa menoleh. 
“bapak tunggu didepan ya..?” 
“Iya pak”. 
Aku berlari menuju bapak yang setia menungguku. Ku raih tangannya dan kukaitkan 
dipundakku. Nyaman rasanya. Jarang sekali aku melakukan itu karena sibuknya bapak 
dengan kerjaannya. Jadi pas ada waktu bersama, tak aku sia-siakan kesempatan itu untuk 
bermanja ria dengannya. 
Sesampainya dilokasi, sudah banyak orang yang bekerja. Ada yang sedang membuat 
lubang pondasi, mengusung batu bata, membuat adukan semen, serta orang yang hanya sibuk 
memperhatikan kerja kami, mereka itu adalah para tukang senior ahli bangunan. Bapak 
langsung menuju kearah kerumunan orang yang sedang membuat lubang pondasi, sementara 
aku memilih membantu mengantar adukan semen yang sudah siap digunakan. 
Seminggu sudah kami berjibaku dalam gotong royong, selama itu pula aku tak 
melihat adanya keluhan orang-orang yang ikut gotong royong. Hanya sebagian kecil dari 
mereka yang tak terlihat lagi, mungkin mereka sudah mulai sibuk dengan pekerjaan mereka 
sebelumnya. Mushola yang kami bangun sudah jadi, hanya keramik dan instalasi listrik saja 
yang belum dibuat. 
“Kalo diperhatikan, mushola ini seperti masjid agung Demak yo” celetuk pakde 
Rohim disela istirahat siang. 
“benar juga, hanya saja kurang besar lokasinya” Sahut pakde Sam. 
“kemarin sih, pengennya lebih besar lagi dari ini, tapi kalo besar nanti bapak Mijo 
akan bangun rumah dimana? Itukan tanah warisan satu-satunya.” Bapakku menimpali. 
“Benar juga... apa lagi dengar-dengar dia mau buat rumah untuk keluarganya. 
Alhamdulillah kita masih dikasih izin untuk mendirikan mushola ini. Semoga allah membalas 
dengan pahala dan kebaikan beliau”. Pak ustadz Jumadi menambahkan panjang lebar. 
“aamiin” bapak-bapak meng-amini begitu juga aku. 
Pemasangan instalasi listrik dan keramik hari ini dapat diselesaikan. Semuanya 
terlihat senang. Malamnya adalah malam pemberian nama mushola baru. Sayangnya aku 
tidak diperbolehkan ikut sama ibu dengan alasan besok harus harus sekolah. ibu takut kalau 
aku bangunnya kesiangan. Sebenarnya kesal juga, tapi mau gimana lagi, ibu ada benarnya 
juga. Sekalipun aku ada disana paling-paling juga tidur. Aku pun ngeloyor ke pembaringan 
dengan hati dongkol. Nenek mendatangi ku dan menasehati jika aku tak boleh marah atau 
dongkol. Beliau bilang tidak apa-apa tidak ikut menyaksikan pemberian nama, yang penting 
tugas kita adalah meramaikan musholanya. Rajin-rajinlah mengaji dan sholat dimushola. 
Jangan sampai kita membuat mushola seperti membuat rumah untuk mayit dikuburan. 
Setelah jadi ditinggalin begitu saja. Dibiarkan begitu saja sampai menjadi rumah rayap dan 
kecoa. Begitulah kata nenek, akupun sedikit lega dan membenarkan apa yang dikatakan 
beliau. Akupun berjanji akan meramaikan mushola semampuku.
Diatas Awan 
Suara beduk bertalu-talu memecah heningnya pagi. Hari masih petang dan ada 
kejadian apa sampai beduk dipukul tak berhenti. aku beranjak dari tempatku lalu mengambil 
air wudhu. 
“Mus, nanti jangan lupa cari bunga untuk nyekar ya..” Terdengar nenek mengingatkan 
Bibiku. 
“Iya mbok. Nanti simbok mau ikut ke kuburan apa.?” 
“Tidak, biar bapaknya Edis saja yang berangkat. Mbok nitip doa saja” 
Astaghfirullah, aku baru ingat ternyata besok puasa. Pantas saja beduk tadi dipukul 
terus. Setelah sholat subuh aku langsung menuju mushola untuk bergabung bersama teman-teman 
yang sudah dari tadi berada disana. 
Hari pertama puasa terasa amat lama, meskipun aku sudah terbiasa puasa sejak masih 
kelas satu, tapi yang namanya puasa pertama tetap saja terasa berat. Namun setelah itu aku 
menjalankannya tak sberat puasa pertama, apa lagi aku mengikuti lomba-lomba yang 
diadakan oleh Irmas dan Irmus desaku. Jadi tidak terasa begitu berat. 
Akhirnya malam yang kami tunggu-tunggu datang juga, yakni malam pembacaan 
pemenang lomba ramadhan yang dirangkai sekaligus memperingati malam Nuzulul Quran. 
Disitu aku dinobatkan sebagai juara pertama lomba adzan. Yang lebih luar biasa lagi, 
Mushola kami yang baru pertama kali mengikuti event ini menyabet juara umum. Malam itu 
merupakan malam kebahagiaan bagi kami semua. Ada rasa bangga dan kami bisa 
membuktikan, wlaupun kami kecil tapi kualitas kami besar. 
Sepulang dari acara pembagian hadiah, seperti hari-hari sebelumnya aku tidur 
dimushola. Untuk tadarus dan membangunkan orang-orang agar bangun sahur. 
“Bangun... Bangun... Sudah jam dua, ayok keliling.” Surono membangunan kami. Dia 
adalah anak dari salah satu Ustadz mushola, dia juga merupakan motor penggerak untuk 
keliling desa membangunkan orang sahur. 
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” Kami berkeliling 
desa dengan membawa beduk yang diletakkan dibelakang sepeda Onthel sambil teriak dan 
memukul beduk. 
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” 
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” 
Setelah selesai keliling desa, kami berhenti dirumah salah satu warga yang sudah 
ditnjuk sebelumnya untuk menyediakan wedang manis dan snack ala kadarnya. Hitung-hitung 
itu adalah upah penat kami membangunkan orang sahur. Disana biasanya kami 
mengobrol sampe jam tiga. Setelah itu kami kembali ke mushola lalu pulang kerumah 
masing-masing. 
Begitulah yang kami lakukan selama ramadhan. Mencari pahala sebanyak-banyaknya 
meskipun hanya perbuatan kecil saja yang kami lakukan. Aku pun satu bulan penuh tidur 
dimushola bersama kawan-kawan. Meskipun terkadang orang tua meminta untuk tidur 
dirumah, tapi aku selalu menolaknya. Alasanku menolaknya adalah karena bulan Ramadhan 
tidak datang setiap hari. Selain itu dimushola banyak kawan-kawan yang tidur disana , jadi 
aku fikir lebih menyenangkan tidur bersama mereka.
Prestasiku di bidang agama ini berbanding lurus dengan prestasiku dibidang 
akademik. Dimana aku selalu mendapat rangking satu dan paling sering sering adalah 
ranking dua. Rangking pertama hampir selalu diraih oleh Ratih, pesaing utama ku dikelas. 
Sedangkan ranking tiga, empat dan lima selalu diraih oleh Dwi kakak sepupuku, Ari dan 
Henry yang diperoleh secara bergantian. Tentunya prestasi-prestasi ini menjadi kebanggan 
tersendiri untuk keluarga besarku terutama orang tua dan nenek ku yang selalu ada dan 
menjadi penolong ketika aku membutuhkan bantuannya jika aku mengalami kesulitan ketika 
belajar. 
Sebuah lampu minyak dari bekas botol pestisida yang menjadi peneranganku satu-satunya 
saat belajar. Jika aku sedang membaca atau mengerjakan PR, aku mendekatkan 
bukuku pada lampu minyak tersebut. Tidak jarang rambutku terbakar olehnya karena terlalu 
konsentrasi. Jika sudah begitu ayah dan ibuku selalu tertawa untuk menghibur agar aku 
menganggap itu adalah kejadian lucu sehingga aku tidak menangis. Karena itu aku sekarang 
tidak pernah menaruh lampu minyak didepanku tetapi aku taruh didamping kiri atau kananku. 
Malam ini aku punya PR matematika yang menjadi pelajaran favorit ku. Aku mulai 
membuka buku cetak untuk mencari halaman yang yang dijadikan PR. Setelah ketemu aku 
tidak langsung mengerjakannya, melainkan aku baca dan fahami soalnya. Setelah beberapa 
menit aku mulai mengeluarkan buku tulis dan pensil dari dalam tas. Ku jauhkan lampu 
minyak kesebelah kiri agar rambutku tidak terbakar lagi. Aku pun mulai konsentrasi dengan 
PR sedangkan orang tua, nenek dan bibiku berada diteras rumah. Mereka tahu jika aku sudah 
pegang buku artinya aku tidak mau diganggu. 
Sebelum mengerjakannya aku membaca doa dan meminum air satu gelas. Setelah 
habis aku kembali menuang air minum itu dari teko kedalam gelas yang sudah kosong. Baru 
sepuluh menit aku mengerjakan mataku sudah terasa pedas. 
To be continued.....

More Related Content

What's hot

Aduh! jatuh lagi...
Aduh! jatuh lagi...Aduh! jatuh lagi...
Aduh! jatuh lagi...Ah Ling
 
Rinduku kenanganku
Rinduku kenangankuRinduku kenanganku
Rinduku kenangankuMina Esmail
 
Aku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakiAku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakionessfee
 
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)Mohammad Al-hamzawiyyah
 
Dibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuDibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuRaya Dewinta
 
Cerpen -our tale
Cerpen -our taleCerpen -our tale
Cerpen -our taleismintan
 
Cerpen d hikayat
Cerpen d hikayatCerpen d hikayat
Cerpen d hikayatAura Net
 
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssss
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssssCerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssss
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssssYudi Pujiadi
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiRania Mondey
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiRania Mondey
 

What's hot (20)

Aduh! jatuh lagi...
Aduh! jatuh lagi...Aduh! jatuh lagi...
Aduh! jatuh lagi...
 
Rinduku kenanganku
Rinduku kenangankuRinduku kenanganku
Rinduku kenanganku
 
Aku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakiAku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki laki
 
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
 
Para Penanti
Para PenantiPara Penanti
Para Penanti
 
Drama hayang kawin
Drama hayang kawinDrama hayang kawin
Drama hayang kawin
 
Dibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuDibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibu
 
Cerpen -our tale
Cerpen -our taleCerpen -our tale
Cerpen -our tale
 
Cerpen d hikayat
Cerpen d hikayatCerpen d hikayat
Cerpen d hikayat
 
Ibu[1]
Ibu[1]Ibu[1]
Ibu[1]
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Anekdot
AnekdotAnekdot
Anekdot
 
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssss
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssssCerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssss
Cerita fantasi zia tugas tugassssssssssssssssssssssssss
 
Andai Ku Bercinta Lagi
Andai Ku Bercinta LagiAndai Ku Bercinta Lagi
Andai Ku Bercinta Lagi
 
Drama 9 orang
Drama 9 orangDrama 9 orang
Drama 9 orang
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagi
 
Ibu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagiIbu jangan pergi lagi
Ibu jangan pergi lagi
 
Cerita yang gak tahu arahnya kemana
Cerita yang gak tahu arahnya kemanaCerita yang gak tahu arahnya kemana
Cerita yang gak tahu arahnya kemana
 
Asmanadia rembulandimataibu.
Asmanadia rembulandimataibu.Asmanadia rembulandimataibu.
Asmanadia rembulandimataibu.
 

Similar to BERMIMPI BESAR

Similar to BERMIMPI BESAR (20)

Rembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata IbuRembulan di Mata Ibu
Rembulan di Mata Ibu
 
Terjalnya jalan hidupku
Terjalnya  jalan hidupkuTerjalnya  jalan hidupku
Terjalnya jalan hidupku
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktu
 
Mungkin ini cerita pernah kamu dengar
Mungkin ini cerita pernah kamu dengarMungkin ini cerita pernah kamu dengar
Mungkin ini cerita pernah kamu dengar
 
Cerpen kasih salina
Cerpen  kasih salinaCerpen  kasih salina
Cerpen kasih salina
 
Cerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak TerdugaCerpen-Hal Tak Terduga
Cerpen-Hal Tak Terduga
 
173533428 cerpen
173533428 cerpen173533428 cerpen
173533428 cerpen
 
Cerpe
CerpeCerpe
Cerpe
 
Bahasa pdf small hway
Bahasa pdf small hwayBahasa pdf small hway
Bahasa pdf small hway
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Toga i'm coming
Toga i'm comingToga i'm coming
Toga i'm coming
 
Mutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docxMutiara Air Mata.docx
Mutiara Air Mata.docx
 
Kado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bundaKado terakhir untuk bunda
Kado terakhir untuk bunda
 
Syal merah
Syal merahSyal merah
Syal merah
 
Putriberdarahungu thehalfbloodprincess
Putriberdarahungu thehalfbloodprincess Putriberdarahungu thehalfbloodprincess
Putriberdarahungu thehalfbloodprincess
 
Parabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaanParabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaan
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cerita tentang hana..
Cerita tentang hana..Cerita tentang hana..
Cerita tentang hana..
 
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"
 
Cerita versi ku
Cerita versi kuCerita versi ku
Cerita versi ku
 

BERMIMPI BESAR

  • 1. BERDIRI DIATAS IMPIAN Aku masih berdiam diri tatkala tinta ini tergores membasahi Lembaran putih yang masih kosong. Kosong seperti halnya pikiran dan hati ini. Seolah aku lupa cara merangkai mimpi yang dulu selalu mengalir memberi semangat untuk terus maju tanpa kenal yang namanya berhenti. mungkin sekarang ini titik jenuh itu berada pada ambang batasnya. Tak ada impian lagi, tak ada semangat maju lagi, tak ada ide-ide segar yang biasa bermunculan seperti bintang di atas sana. Menjalani hidup hanya pasrah pada keadaan. Sungguh memalukan. Aku masih ingat ketika aku mengamati barisan semut yang begitu rapi, dan ketika bertemu mereka saling mengadu kepala. Yang membuatku heran jarang sekali mereka berkelahi sesama jenis mereka. Kemudian aku mendekati tanaman yang dari jauh nampak berkilauan tertimpa hangatnya mentari pagi seperti mutiara. Aku terkejut saat kudekati ternyata itu adalah air. Aku mengamati tanah disekelilingku, kering. Lalu bagaimana air itu bisa sampai ditanaman itu? Apakah mungkin orang tuaku yang menyiram? Tidak. Mereka terlalu sibuk untuk menyiram tanaman yang hanya menjadi tempat untuk menjemur baju. Pikiranku tentang air itu seketika buyar saat aku mendengar suara orang yang berpamitan pergi sekolah. nampak tiga kakak beradik berjalan beriringan memakai seragam merah putih. Yang tertua namanya Srintil, yang nomor dua namannya Waluyo dan yang terakhir adalah Leni. Mereka bertiga adalah tetangga sekaligus orang yang sudah ku anggap sebagai keluargaku, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Pakde Bandeng dan bude Tun. Mereka bertiga melambai kearahku seraya berpamitan pula. Tanpa disuruh lagi aku segera membalas lambaian tangan mereka. Terlihat pula tetanggaku yang lain sudah menunggu mereka dan segera ikut bergabung. Terkadang aku iri, kapan aku bisa sekolah seperti mereka? Membaca, menghitung, dan tentunya mendapat pengetahuan baru. Deg, aku teringat akan air tadi yang bisa sampai di tanaman itu. Ah, sungguh menyesal kenapa aku tak bertanya kepada mereka saja tadi. Kemudian aku berjalan kearah sumur dimana ibu dan kedua bibiku sedang mencuci baju. Aku datang dengan mengendap, lalu... “Daaar”. aku mengagetkan mereka yang sedang asyik menggosip sambil mencuci. “Oy...,setan sutil wajan panci penyok.,” terdengar bibiku Mus mengumpat “Hiis dah. Ngagetin orang saja hobinya, mandi sana. Iler-mu itu masih menempel dimana-mana” bibi minah menimpali. Aku tersenyum kecut sementara Ibu hanya tersenyum saja melihatku. Senyum itu yang membuatku sedikit tenang. Jika mereka menyerang, masih ada Ibu yang menjadi pelindungku. Begitulah yang kupikirkan saat itu. Sambil memainkan busa sabun aku bertanya kepada ibuku. “mak, apa semalam hujan?” “Enggak, emang kenapa?” “Terus kalo gag hujan kok bunga bonsai didepan itu kok basah?” “Oh, itu namanya embun” bibi Mus menyahut. “Embun itu apa sih?” aku masih penasaran “Ya air yang di bunga bonsai tadi” Bibi Minah menimpali. “Terus air yang di rumput jepang tadi juga embun kah?”
  • 2. “Iya, le. Sudah, cepet mandi sana terus sarapan. Ibu sudah goreng nasi di meja makan” Tanpa disuruh lagi aku langsung berlari kemeja makan dan mendapati sepiring nasi goreng pedas lengkap dengan ikan teri kesukaanku. Tak menunggu waktu lama piring itu sudah kosong. Dan sendawa keras menjadi acara penutup setiap kali aku makan. “Alhamdulillahirobil’alamin” kata yang selalu ucapkan setelah selesai bersendawa. Aku kembali kedepan rumah dan membasahi wajahku dengan embun tadi. Terasa berbeda dinginnya dengan air sumur yang biasa aku pakai untuk mandi. Dinginnya menyegarkan dan seolah membangkitkan semangat hari itu. Kemudian aku berlari kecil disekeliling rumah sambil bernyanyi. Sesekali aku menangkap capung yang sedang asyik bertengger di ranting pohon yang rendah dengan tangan kosong. Ekor capung itu aku tali dengan tali rafia lalu aku terbangkan. Kemudian ku kejar capung itu hingga dia hinggap. Lalu aku ambil lagi dan aku terbangkan lagi. Begitulah sampai capung itu tak mau trbang lagi. Jika sudah begitu aku lepas tali rafianya dan capung itu ku letakkan di ranting lagi biar gag dimakan ayam atau hewan piaraan pemakan serangga lainnya. Dalam kepenatan aku melihat ibuku menjemur pakaian. Segera aku mendatangi dan membantunya menjemur baju. “Darimana kamu, sampai keringat sejagung-jagung” “Mainan capung tadi, lari keliling rumah terus nabrak pohon pisang, ini dengkulku lecet”. Aku menjelaskan sambil menunjukkan luka di lutut. “Kan,,? Sudah ibu bilang jangan larian terus, masih saja ngeyel. Sakit kan? Syukurin, makanya nurut kalo di omongi” “Iyo-iyo” Aku menjawab sambil bersungut. “Hey,, hey.,, hey,, Jangan pegang baju itu, tanganmu kotor. Bersihin dengan air ini dulu kalo mau pegang”. Ibu memeras baju sementara aku menengadahkan tangan menangkup air yang keluar saat diperas. Sesudahnya aku melihat seorang wanita tua mengendarai sepeda onthel dengan keranjang bambu diboncengannya. Segera saja aku berlari mengikuti sepeda itu yang dikayuh kearah belakang rumah. “Edis.... Jangan lari-lari, nanti jatuh lagi”. Ibuku berteriak memperingatkan. “Iya..” sahutku sambil masih tetap berlari tak perduli. Wanita tua itu adalah nenekku. Wanita hebat tanpa pernah kudengar ia mengeluh walau hanya sekali. Wanita inspiratorku, pendongeng dan pelaku kehidupan terbaik yang pernah kukenal. Senyum tulus tak pernah lepas dari wajah ayunya. Tergambar pula pahitnya kehidupan, lewat kerut di keningnya. Namun tersamarkan oleh tulusnya senyuman dan tutur kata ramah yang senantiasa keluar dari bibirnya. Sungguh perempuan yang luar biasa. Aku tersenyum sendiri ketika mengingat masa itu, bocah polos yang haus akan pengetahuan. Tak berhenti mencari kebenaran sampai ia puas terhadap kebenaran yang ia dapatkan. Senang membuat kesimpulan dan akan mempertahankan pendapatnya sampai ada orang yang dapat meyakinkan bahwa pendapatnya itu salah. Orang yang mau mengakui kesalahannya dan berusaha tak mengulanginya. Berani meminta maaf jika apa yang dilakukannya telah menyakiti orang lain. Dan itulah aku dimasa dulu.
  • 3. Cita-cita dan Mimpiku Hari ini adalah hari kedua ku pergi ke sekolah. Hari pertama ku ke sekolah ketika aku bersama kak Waluyo dan temannya berangkat sekolah. Tanpa pamit, tanpa mandi, aku tetap ikut ke sekolah . Pertama kali masuk kelas aku langsung duduk di kelas empat ikut kak Leni. Hampir setiap mata memandang entah karena kagum atau yang lainnya. Meski aku banyak tak mengerti apa yang diucapkan Ibu guru, aku mengikuti kelas tanpa ada rasa bosan bahkan antusias. Ketika jam istirahat datang aku ikut pulang bareng anak kelas satu dan dua. Sesampainya dirumah aku disambut isak tangis ibuku yang dikira aku hilang diculik. Maklum saja kala itu sedang marak penculikan anak-anak. Lalu aku menceritakan kejadian disekolah, saat aku ditanya nama, diminta menghitung bahkan aku diminta ibu guru untuk datang lagi ke sekolah. tapi sayangnya ibuku tetap pada pendiriannya untuk memasukkan ku disaat umurku enam tahun. Aku sempat mendaftarkan diri sendirian pada salah satu guru agama yang mengajar di SD itu tapi tetap ditolak. Kini akhirnya aku bisa merasakan indahnya ilmu pengetahuan, nikmatnya belajar dan mengetahui kenapa semut ketika bertemu saling beradu kepala. Mengapa setiap pagi tanaman basah yang kemudian disebut dengan embun. Aku jadi tahu bahwa warna pelangi itu bukan hanya merah, kuning dan hijau. Dan masih banyak lagi pengetahuan yang aku dapatkan. Sungguh luar biasa yang namanya bersekolah itu. Sekarang aku duduk dikelas lima bersama dengan dua saudara sepupuku. Yang menjadi salah satu pesaingku untuk merebut juara kelas. Namanya Dwi. Selain Dwi ada sahabatku yang menjadi pesaing yaitu Ari, anak seorang petani sukses. Ada Hendri, anak guru SMPN didaerahku. Peringkat mereka selalu menguntit dibelakangku tapi tak pernah bisa mengalahkan. Selain mereka ada cewek idaman yang menjadi pesaing utama dalam perebutan juara kelas dan tak sekalipun aku berhasil merebut rangking satu darinya. Namanya Ratih, anak dari seorang pengusaha yang memiliki fasilitas belajar cukup lengkap. Ayah dan ibunya terkenal cerdas pada masa mudanya dulu. Berbeda dengan aku yang hanya anak seorang buruh tani dengan latar belakang pendidikan hanya tamatan SD. Namun aku tak pernah minder dengan status tersebut, bagiku status bukan segalanya. Baru hari ini pertama kalinya kurasa sekolah terasa begitu membosankan. Guru baru yang galak dan cara menjelaskannya seperti anak SMP saja. Aku lampiaskan dengan memanjat sebuah pohon jambu dipinggir sawah dan membiarkan desiran angin membelai rambutku. “ Hey Edis, ngapain kamu disitu? Nanti jatuh. Ayo cepet turun.” Teriak tetanggaku yang kebetulan mau mencangkul ladangnya. “Iyo paman, gag apa-apa. Nyejukkan hati dulu disini” sahutku tak acuh. “turunlah, kamu mau ubi goreng gag?” dia memancing. “benarkah? Baik, aku turun.” Dengan cekatan aku menuruni pohon jambu tersebut. Aku langsung membuka bekal miliknya dan mulai menikmati ubi goreng yang masih hangat. “heeemm. Enak...” “hahaha.. kalo mau lagi ambil saja, tapi sisain paman”. “iya paman”. Aku mengambil sepotong lagi dan mengunyahnya perlahan. Sementara dia mengamati tingkahku sambil tertawa.
  • 4. “ apa cita-citamu Dis?” paman Ses membuka obrolan. “ pengen jadi guru, aku pengen kawan-kawanku semuanya pintar. Aku juga pengen punya sekolahan gratis, agar anak-anak disini bisa sekolah tanpa harus memikirkan bayaran. Tapi aku bingung paman, masalahnya aku juga ingin menjadi kiyai yang tukang ceramah, biar gag ada lagi orang jahat. Tapi gimana caranya aku bisa mencapai semuanya? Rasanya gag mungkin paman” jawabku panjang. “hahahaha,... ingin jadi guru tapi juga ingin jadi kiyai. Ya sudah, kalo seperti itu kamu harus rajin belajar biar pintar. Jangan lupa ngajinya juga ditingkatkan. Kamu sudah juz berapa Al-Quran?” sahutnya. “Aku baru juz 11 paman. Tapi apakah mungkin aku bisa jadi keduanya?” “kenapa tidak? Guru itu gag harus ngajar disekolah kan? Tukang ceramah juga tidak selalu dimasjid. Guru itu adalah orang yang mengajari orang-orang yang tidak bisa. Guru juga tidak harus ada disekolahan. Saat kamu diluar sekolah, gurumu adalah orang-orang disekitarmu yang mengajarimu banyak hal baru. Bukan sekedar matematika dan bahasa Indonesia saja. Sedangkan kiyai itu menyampaikan hal baik kepada masyarakat dengan bekal ilmu agama” jelas paman ses panjang lebar. Aku sendiri seolah tak percaya apa yang barusan kudengar. Seorang petani sederhana kata-katanya begitu kaya, menginspirasi dan membuka cakrawala pemikiranku yang selama ini hanya berfikir tentang prestasi saja. Sedangkan aku mempunyai cita-cita yang mesti aku wujudkan bagaimanapun caranya asal saja tidak merugikan orang lain. “He’eh.. aku ngerti paman. Aku janji gag akan berhenti sampai aku mendapatkan apa yang aku impi dan cita-citakan. Terima kasih paman untuk semuanya. Aku mau manjat lagi. Hahahaha” aku dengan cepat kembali ketempatku semula. Paman Ses hanya tersenyum dan mulai mencangkul ladangnya. Dengan badan menghadap kearah hamparan hijaunya padi, pikiranku kembali menerawang angkasa tanpa batas. Seolah aku baru saja menghilangkan satu ton batu dipikiranku. Sekarang cita-citaku mulai tergambar jelas dimata, tak ada yang tak mungkin jika aku mau berusaha. Ku lepaskan pandangan ke atas langit, terlihat awan yang menggumpal seperti kapas bergerak ymengikuti arah angin. Seringkali awan itu berubah bentuk tertiup angin. Iya, satu hal lagi yang aku sadari bahwa tujuan hidup ini akan berubah seiring berjalannya waktu. Artinya aku harus bisa menempatkan diri sesuai dengan sekitarku untuk mencapai pemberhentian terakhir. Memang benar apa yang dikatakan paman Ses tadi, jika guru itu tak harus mengajar disekolah, kiyai itu tak selamanya ceramah dalam masjid. Aku harus bisa seperti awan, meskipun berubah-ubah bentuknya tapi dimanapun ia akan berhenti, saat itulah ia berubah menjadi hujan. Meskipun nanti aku tak mengajar disekolah, aku tidak boleh melupakan tujuan utamaku, yaitu berbagi ilmu yang aku punya. Dimanapun aku berada aku harus bisa seperti matahari yang bermanfaat bagi semuanya. Tak perduli seberapa kuat angin kehidupan mengubahku, aku harus tetap bertahan hingga pada masanya nanti angin berhenti merubahku dan aku mulai menjadi guru untuk orang-orang yang membtuhkanku. Semakin kuat angin menerpaku, semakin berisi pula apa yang ada dalam diriku.
  • 5. Beberapa hari yang lalu ada pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat membahas tentang akan didirikannya Mushola di kampung kami. Maklum saja, dusun kami hanya mempunyai satu buah masjid yang letaknya agak jauh dari kampung kami. Hari itu diputuskan mengenai lokasi pembangunan mushola berada di pekarangan rumah bapak Mijo dan keluarganya. “ mau ikut gotong royong tidak?”Bapak mengagetkanku yang sedang membaca buku. “iya pak, tunggu bentar.. aku mau merapikan buku dulu” sahutku tanpa menoleh. “bapak tunggu didepan ya..?” “Iya pak”. Aku berlari menuju bapak yang setia menungguku. Ku raih tangannya dan kukaitkan dipundakku. Nyaman rasanya. Jarang sekali aku melakukan itu karena sibuknya bapak dengan kerjaannya. Jadi pas ada waktu bersama, tak aku sia-siakan kesempatan itu untuk bermanja ria dengannya. Sesampainya dilokasi, sudah banyak orang yang bekerja. Ada yang sedang membuat lubang pondasi, mengusung batu bata, membuat adukan semen, serta orang yang hanya sibuk memperhatikan kerja kami, mereka itu adalah para tukang senior ahli bangunan. Bapak langsung menuju kearah kerumunan orang yang sedang membuat lubang pondasi, sementara aku memilih membantu mengantar adukan semen yang sudah siap digunakan. Seminggu sudah kami berjibaku dalam gotong royong, selama itu pula aku tak melihat adanya keluhan orang-orang yang ikut gotong royong. Hanya sebagian kecil dari mereka yang tak terlihat lagi, mungkin mereka sudah mulai sibuk dengan pekerjaan mereka sebelumnya. Mushola yang kami bangun sudah jadi, hanya keramik dan instalasi listrik saja yang belum dibuat. “Kalo diperhatikan, mushola ini seperti masjid agung Demak yo” celetuk pakde Rohim disela istirahat siang. “benar juga, hanya saja kurang besar lokasinya” Sahut pakde Sam. “kemarin sih, pengennya lebih besar lagi dari ini, tapi kalo besar nanti bapak Mijo akan bangun rumah dimana? Itukan tanah warisan satu-satunya.” Bapakku menimpali. “Benar juga... apa lagi dengar-dengar dia mau buat rumah untuk keluarganya. Alhamdulillah kita masih dikasih izin untuk mendirikan mushola ini. Semoga allah membalas dengan pahala dan kebaikan beliau”. Pak ustadz Jumadi menambahkan panjang lebar. “aamiin” bapak-bapak meng-amini begitu juga aku. Pemasangan instalasi listrik dan keramik hari ini dapat diselesaikan. Semuanya terlihat senang. Malamnya adalah malam pemberian nama mushola baru. Sayangnya aku tidak diperbolehkan ikut sama ibu dengan alasan besok harus harus sekolah. ibu takut kalau aku bangunnya kesiangan. Sebenarnya kesal juga, tapi mau gimana lagi, ibu ada benarnya juga. Sekalipun aku ada disana paling-paling juga tidur. Aku pun ngeloyor ke pembaringan dengan hati dongkol. Nenek mendatangi ku dan menasehati jika aku tak boleh marah atau dongkol. Beliau bilang tidak apa-apa tidak ikut menyaksikan pemberian nama, yang penting tugas kita adalah meramaikan musholanya. Rajin-rajinlah mengaji dan sholat dimushola. Jangan sampai kita membuat mushola seperti membuat rumah untuk mayit dikuburan. Setelah jadi ditinggalin begitu saja. Dibiarkan begitu saja sampai menjadi rumah rayap dan kecoa. Begitulah kata nenek, akupun sedikit lega dan membenarkan apa yang dikatakan beliau. Akupun berjanji akan meramaikan mushola semampuku.
  • 6. Diatas Awan Suara beduk bertalu-talu memecah heningnya pagi. Hari masih petang dan ada kejadian apa sampai beduk dipukul tak berhenti. aku beranjak dari tempatku lalu mengambil air wudhu. “Mus, nanti jangan lupa cari bunga untuk nyekar ya..” Terdengar nenek mengingatkan Bibiku. “Iya mbok. Nanti simbok mau ikut ke kuburan apa.?” “Tidak, biar bapaknya Edis saja yang berangkat. Mbok nitip doa saja” Astaghfirullah, aku baru ingat ternyata besok puasa. Pantas saja beduk tadi dipukul terus. Setelah sholat subuh aku langsung menuju mushola untuk bergabung bersama teman-teman yang sudah dari tadi berada disana. Hari pertama puasa terasa amat lama, meskipun aku sudah terbiasa puasa sejak masih kelas satu, tapi yang namanya puasa pertama tetap saja terasa berat. Namun setelah itu aku menjalankannya tak sberat puasa pertama, apa lagi aku mengikuti lomba-lomba yang diadakan oleh Irmas dan Irmus desaku. Jadi tidak terasa begitu berat. Akhirnya malam yang kami tunggu-tunggu datang juga, yakni malam pembacaan pemenang lomba ramadhan yang dirangkai sekaligus memperingati malam Nuzulul Quran. Disitu aku dinobatkan sebagai juara pertama lomba adzan. Yang lebih luar biasa lagi, Mushola kami yang baru pertama kali mengikuti event ini menyabet juara umum. Malam itu merupakan malam kebahagiaan bagi kami semua. Ada rasa bangga dan kami bisa membuktikan, wlaupun kami kecil tapi kualitas kami besar. Sepulang dari acara pembagian hadiah, seperti hari-hari sebelumnya aku tidur dimushola. Untuk tadarus dan membangunkan orang-orang agar bangun sahur. “Bangun... Bangun... Sudah jam dua, ayok keliling.” Surono membangunan kami. Dia adalah anak dari salah satu Ustadz mushola, dia juga merupakan motor penggerak untuk keliling desa membangunkan orang sahur. “Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” Kami berkeliling desa dengan membawa beduk yang diletakkan dibelakang sepeda Onthel sambil teriak dan memukul beduk. “Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” “Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” Setelah selesai keliling desa, kami berhenti dirumah salah satu warga yang sudah ditnjuk sebelumnya untuk menyediakan wedang manis dan snack ala kadarnya. Hitung-hitung itu adalah upah penat kami membangunkan orang sahur. Disana biasanya kami mengobrol sampe jam tiga. Setelah itu kami kembali ke mushola lalu pulang kerumah masing-masing. Begitulah yang kami lakukan selama ramadhan. Mencari pahala sebanyak-banyaknya meskipun hanya perbuatan kecil saja yang kami lakukan. Aku pun satu bulan penuh tidur dimushola bersama kawan-kawan. Meskipun terkadang orang tua meminta untuk tidur dirumah, tapi aku selalu menolaknya. Alasanku menolaknya adalah karena bulan Ramadhan tidak datang setiap hari. Selain itu dimushola banyak kawan-kawan yang tidur disana , jadi aku fikir lebih menyenangkan tidur bersama mereka.
  • 7. Prestasiku di bidang agama ini berbanding lurus dengan prestasiku dibidang akademik. Dimana aku selalu mendapat rangking satu dan paling sering sering adalah ranking dua. Rangking pertama hampir selalu diraih oleh Ratih, pesaing utama ku dikelas. Sedangkan ranking tiga, empat dan lima selalu diraih oleh Dwi kakak sepupuku, Ari dan Henry yang diperoleh secara bergantian. Tentunya prestasi-prestasi ini menjadi kebanggan tersendiri untuk keluarga besarku terutama orang tua dan nenek ku yang selalu ada dan menjadi penolong ketika aku membutuhkan bantuannya jika aku mengalami kesulitan ketika belajar. Sebuah lampu minyak dari bekas botol pestisida yang menjadi peneranganku satu-satunya saat belajar. Jika aku sedang membaca atau mengerjakan PR, aku mendekatkan bukuku pada lampu minyak tersebut. Tidak jarang rambutku terbakar olehnya karena terlalu konsentrasi. Jika sudah begitu ayah dan ibuku selalu tertawa untuk menghibur agar aku menganggap itu adalah kejadian lucu sehingga aku tidak menangis. Karena itu aku sekarang tidak pernah menaruh lampu minyak didepanku tetapi aku taruh didamping kiri atau kananku. Malam ini aku punya PR matematika yang menjadi pelajaran favorit ku. Aku mulai membuka buku cetak untuk mencari halaman yang yang dijadikan PR. Setelah ketemu aku tidak langsung mengerjakannya, melainkan aku baca dan fahami soalnya. Setelah beberapa menit aku mulai mengeluarkan buku tulis dan pensil dari dalam tas. Ku jauhkan lampu minyak kesebelah kiri agar rambutku tidak terbakar lagi. Aku pun mulai konsentrasi dengan PR sedangkan orang tua, nenek dan bibiku berada diteras rumah. Mereka tahu jika aku sudah pegang buku artinya aku tidak mau diganggu. Sebelum mengerjakannya aku membaca doa dan meminum air satu gelas. Setelah habis aku kembali menuang air minum itu dari teko kedalam gelas yang sudah kosong. Baru sepuluh menit aku mengerjakan mataku sudah terasa pedas. To be continued.....