1. BERDIRI DIATAS IMPIAN
Aku masih berdiam diri tatkala tinta ini tergores membasahi Lembaran putih yang
masih kosong. Kosong seperti halnya pikiran dan hati ini. Seolah aku lupa cara merangkai
mimpi yang dulu selalu mengalir memberi semangat untuk terus maju tanpa kenal yang
namanya berhenti. mungkin sekarang ini titik jenuh itu berada pada ambang batasnya. Tak
ada impian lagi, tak ada semangat maju lagi, tak ada ide-ide segar yang biasa bermunculan
seperti bintang di atas sana. Menjalani hidup hanya pasrah pada keadaan. Sungguh
memalukan.
Aku masih ingat ketika aku mengamati barisan semut yang begitu rapi, dan ketika
bertemu mereka saling mengadu kepala. Yang membuatku heran jarang sekali mereka
berkelahi sesama jenis mereka. Kemudian aku mendekati tanaman yang dari jauh nampak
berkilauan tertimpa hangatnya mentari pagi seperti mutiara. Aku terkejut saat kudekati
ternyata itu adalah air. Aku mengamati tanah disekelilingku, kering. Lalu bagaimana air itu
bisa sampai ditanaman itu? Apakah mungkin orang tuaku yang menyiram? Tidak. Mereka
terlalu sibuk untuk menyiram tanaman yang hanya menjadi tempat untuk menjemur baju.
Pikiranku tentang air itu seketika buyar saat aku mendengar suara orang yang
berpamitan pergi sekolah. nampak tiga kakak beradik berjalan beriringan memakai seragam
merah putih. Yang tertua namanya Srintil, yang nomor dua namannya Waluyo dan yang
terakhir adalah Leni. Mereka bertiga adalah tetangga sekaligus orang yang sudah ku anggap
sebagai keluargaku, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Pakde Bandeng dan bude Tun.
Mereka bertiga melambai kearahku seraya berpamitan pula. Tanpa disuruh lagi aku
segera membalas lambaian tangan mereka. Terlihat pula tetanggaku yang lain sudah
menunggu mereka dan segera ikut bergabung. Terkadang aku iri, kapan aku bisa sekolah
seperti mereka? Membaca, menghitung, dan tentunya mendapat pengetahuan baru. Deg, aku
teringat akan air tadi yang bisa sampai di tanaman itu. Ah, sungguh menyesal kenapa aku tak
bertanya kepada mereka saja tadi. Kemudian aku berjalan kearah sumur dimana ibu dan
kedua bibiku sedang mencuci baju.
Aku datang dengan mengendap, lalu...
“Daaar”. aku mengagetkan mereka yang sedang asyik menggosip sambil mencuci.
“Oy...,setan sutil wajan panci penyok.,” terdengar bibiku Mus mengumpat
“Hiis dah. Ngagetin orang saja hobinya, mandi sana. Iler-mu itu masih menempel
dimana-mana” bibi minah menimpali.
Aku tersenyum kecut sementara Ibu hanya tersenyum saja melihatku. Senyum itu
yang membuatku sedikit tenang. Jika mereka menyerang, masih ada Ibu yang menjadi
pelindungku. Begitulah yang kupikirkan saat itu. Sambil memainkan busa sabun aku bertanya
kepada ibuku.
“mak, apa semalam hujan?”
“Enggak, emang kenapa?”
“Terus kalo gag hujan kok bunga bonsai didepan itu kok basah?”
“Oh, itu namanya embun” bibi Mus menyahut.
“Embun itu apa sih?” aku masih penasaran
“Ya air yang di bunga bonsai tadi” Bibi Minah menimpali.
“Terus air yang di rumput jepang tadi juga embun kah?”
2. “Iya, le. Sudah, cepet mandi sana terus sarapan. Ibu sudah goreng nasi di meja
makan”
Tanpa disuruh lagi aku langsung berlari kemeja makan dan mendapati sepiring nasi
goreng pedas lengkap dengan ikan teri kesukaanku. Tak menunggu waktu lama piring itu
sudah kosong. Dan sendawa keras menjadi acara penutup setiap kali aku makan.
“Alhamdulillahirobil’alamin” kata yang selalu ucapkan setelah selesai bersendawa.
Aku kembali kedepan rumah dan membasahi wajahku dengan embun tadi. Terasa berbeda
dinginnya dengan air sumur yang biasa aku pakai untuk mandi. Dinginnya menyegarkan dan
seolah membangkitkan semangat hari itu.
Kemudian aku berlari kecil disekeliling rumah sambil bernyanyi. Sesekali aku
menangkap capung yang sedang asyik bertengger di ranting pohon yang rendah dengan
tangan kosong. Ekor capung itu aku tali dengan tali rafia lalu aku terbangkan. Kemudian ku
kejar capung itu hingga dia hinggap. Lalu aku ambil lagi dan aku terbangkan lagi. Begitulah
sampai capung itu tak mau trbang lagi. Jika sudah begitu aku lepas tali rafianya dan capung
itu ku letakkan di ranting lagi biar gag dimakan ayam atau hewan piaraan pemakan serangga
lainnya.
Dalam kepenatan aku melihat ibuku menjemur pakaian. Segera aku mendatangi dan
membantunya menjemur baju.
“Darimana kamu, sampai keringat sejagung-jagung”
“Mainan capung tadi, lari keliling rumah terus nabrak pohon pisang, ini dengkulku
lecet”. Aku menjelaskan sambil menunjukkan luka di lutut.
“Kan,,? Sudah ibu bilang jangan larian terus, masih saja ngeyel. Sakit kan? Syukurin,
makanya nurut kalo di omongi”
“Iyo-iyo” Aku menjawab sambil bersungut.
“Hey,, hey.,, hey,, Jangan pegang baju itu, tanganmu kotor. Bersihin dengan air ini
dulu kalo mau pegang”. Ibu memeras baju sementara aku menengadahkan tangan menangkup
air yang keluar saat diperas.
Sesudahnya aku melihat seorang wanita tua mengendarai sepeda onthel dengan
keranjang bambu diboncengannya. Segera saja aku berlari mengikuti sepeda itu yang dikayuh
kearah belakang rumah.
“Edis.... Jangan lari-lari, nanti jatuh lagi”. Ibuku berteriak memperingatkan.
“Iya..” sahutku sambil masih tetap berlari tak perduli.
Wanita tua itu adalah nenekku. Wanita hebat tanpa pernah kudengar ia mengeluh
walau hanya sekali. Wanita inspiratorku, pendongeng dan pelaku kehidupan terbaik yang
pernah kukenal. Senyum tulus tak pernah lepas dari wajah ayunya. Tergambar pula pahitnya
kehidupan, lewat kerut di keningnya. Namun tersamarkan oleh tulusnya senyuman dan tutur
kata ramah yang senantiasa keluar dari bibirnya. Sungguh perempuan yang luar biasa.
Aku tersenyum sendiri ketika mengingat masa itu, bocah polos yang haus akan
pengetahuan. Tak berhenti mencari kebenaran sampai ia puas terhadap kebenaran yang ia
dapatkan. Senang membuat kesimpulan dan akan mempertahankan pendapatnya sampai ada
orang yang dapat meyakinkan bahwa pendapatnya itu salah. Orang yang mau mengakui
kesalahannya dan berusaha tak mengulanginya. Berani meminta maaf jika apa yang
dilakukannya telah menyakiti orang lain. Dan itulah aku dimasa dulu.
3. Cita-cita dan Mimpiku
Hari ini adalah hari kedua ku pergi ke sekolah. Hari pertama ku ke sekolah ketika aku
bersama kak Waluyo dan temannya berangkat sekolah. Tanpa pamit, tanpa mandi, aku tetap
ikut ke sekolah . Pertama kali masuk kelas aku langsung duduk di kelas empat ikut kak Leni.
Hampir setiap mata memandang entah karena kagum atau yang lainnya. Meski aku banyak
tak mengerti apa yang diucapkan Ibu guru, aku mengikuti kelas tanpa ada rasa bosan bahkan
antusias.
Ketika jam istirahat datang aku ikut pulang bareng anak kelas satu dan dua.
Sesampainya dirumah aku disambut isak tangis ibuku yang dikira aku hilang diculik.
Maklum saja kala itu sedang marak penculikan anak-anak. Lalu aku menceritakan kejadian
disekolah, saat aku ditanya nama, diminta menghitung bahkan aku diminta ibu guru untuk
datang lagi ke sekolah. tapi sayangnya ibuku tetap pada pendiriannya untuk memasukkan ku
disaat umurku enam tahun. Aku sempat mendaftarkan diri sendirian pada salah satu guru
agama yang mengajar di SD itu tapi tetap ditolak.
Kini akhirnya aku bisa merasakan indahnya ilmu pengetahuan, nikmatnya belajar dan
mengetahui kenapa semut ketika bertemu saling beradu kepala. Mengapa setiap pagi tanaman
basah yang kemudian disebut dengan embun. Aku jadi tahu bahwa warna pelangi itu bukan
hanya merah, kuning dan hijau. Dan masih banyak lagi pengetahuan yang aku dapatkan.
Sungguh luar biasa yang namanya bersekolah itu.
Sekarang aku duduk dikelas lima bersama dengan dua saudara sepupuku. Yang
menjadi salah satu pesaingku untuk merebut juara kelas. Namanya Dwi. Selain Dwi ada
sahabatku yang menjadi pesaing yaitu Ari, anak seorang petani sukses. Ada Hendri, anak
guru SMPN didaerahku. Peringkat mereka selalu menguntit dibelakangku tapi tak pernah bisa
mengalahkan. Selain mereka ada cewek idaman yang menjadi pesaing utama dalam
perebutan juara kelas dan tak sekalipun aku berhasil merebut rangking satu darinya.
Namanya Ratih, anak dari seorang pengusaha yang memiliki fasilitas belajar cukup lengkap.
Ayah dan ibunya terkenal cerdas pada masa mudanya dulu. Berbeda dengan aku yang hanya
anak seorang buruh tani dengan latar belakang pendidikan hanya tamatan SD. Namun aku tak
pernah minder dengan status tersebut, bagiku status bukan segalanya.
Baru hari ini pertama kalinya kurasa sekolah terasa begitu membosankan. Guru baru
yang galak dan cara menjelaskannya seperti anak SMP saja. Aku lampiaskan dengan
memanjat sebuah pohon jambu dipinggir sawah dan membiarkan desiran angin membelai
rambutku.
“ Hey Edis, ngapain kamu disitu? Nanti jatuh. Ayo cepet turun.” Teriak tetanggaku
yang kebetulan mau mencangkul ladangnya.
“Iyo paman, gag apa-apa. Nyejukkan hati dulu disini” sahutku tak acuh.
“turunlah, kamu mau ubi goreng gag?” dia memancing.
“benarkah? Baik, aku turun.” Dengan cekatan aku menuruni pohon jambu tersebut.
Aku langsung membuka bekal miliknya dan mulai menikmati ubi goreng yang masih hangat.
“heeemm. Enak...”
“hahaha.. kalo mau lagi ambil saja, tapi sisain paman”.
“iya paman”. Aku mengambil sepotong lagi dan mengunyahnya perlahan. Sementara
dia mengamati tingkahku sambil tertawa.
4. “ apa cita-citamu Dis?” paman Ses membuka obrolan.
“ pengen jadi guru, aku pengen kawan-kawanku semuanya pintar. Aku juga pengen
punya sekolahan gratis, agar anak-anak disini bisa sekolah tanpa harus memikirkan bayaran.
Tapi aku bingung paman, masalahnya aku juga ingin menjadi kiyai yang tukang ceramah,
biar gag ada lagi orang jahat. Tapi gimana caranya aku bisa mencapai semuanya? Rasanya
gag mungkin paman” jawabku panjang.
“hahahaha,... ingin jadi guru tapi juga ingin jadi kiyai. Ya sudah, kalo seperti itu kamu
harus rajin belajar biar pintar. Jangan lupa ngajinya juga ditingkatkan. Kamu sudah juz
berapa Al-Quran?” sahutnya.
“Aku baru juz 11 paman. Tapi apakah mungkin aku bisa jadi keduanya?”
“kenapa tidak? Guru itu gag harus ngajar disekolah kan? Tukang ceramah juga tidak
selalu dimasjid. Guru itu adalah orang yang mengajari orang-orang yang tidak bisa. Guru
juga tidak harus ada disekolahan. Saat kamu diluar sekolah, gurumu adalah orang-orang
disekitarmu yang mengajarimu banyak hal baru. Bukan sekedar matematika dan bahasa
Indonesia saja. Sedangkan kiyai itu menyampaikan hal baik kepada masyarakat dengan bekal
ilmu agama” jelas paman ses panjang lebar. Aku sendiri seolah tak percaya apa yang barusan
kudengar. Seorang petani sederhana kata-katanya begitu kaya, menginspirasi dan membuka
cakrawala pemikiranku yang selama ini hanya berfikir tentang prestasi saja. Sedangkan aku
mempunyai cita-cita yang mesti aku wujudkan bagaimanapun caranya asal saja tidak
merugikan orang lain.
“He’eh.. aku ngerti paman. Aku janji gag akan berhenti sampai aku mendapatkan apa
yang aku impi dan cita-citakan. Terima kasih paman untuk semuanya. Aku mau manjat lagi.
Hahahaha” aku dengan cepat kembali ketempatku semula. Paman Ses hanya tersenyum dan
mulai mencangkul ladangnya.
Dengan badan menghadap kearah hamparan hijaunya padi, pikiranku kembali
menerawang angkasa tanpa batas. Seolah aku baru saja menghilangkan satu ton batu
dipikiranku. Sekarang cita-citaku mulai tergambar jelas dimata, tak ada yang tak mungkin
jika aku mau berusaha.
Ku lepaskan pandangan ke atas langit, terlihat awan yang menggumpal seperti kapas
bergerak ymengikuti arah angin. Seringkali awan itu berubah bentuk tertiup angin. Iya, satu
hal lagi yang aku sadari bahwa tujuan hidup ini akan berubah seiring berjalannya waktu.
Artinya aku harus bisa menempatkan diri sesuai dengan sekitarku untuk mencapai
pemberhentian terakhir. Memang benar apa yang dikatakan paman Ses tadi, jika guru itu tak
harus mengajar disekolah, kiyai itu tak selamanya ceramah dalam masjid.
Aku harus bisa seperti awan, meskipun berubah-ubah bentuknya tapi dimanapun ia
akan berhenti, saat itulah ia berubah menjadi hujan. Meskipun nanti aku tak mengajar
disekolah, aku tidak boleh melupakan tujuan utamaku, yaitu berbagi ilmu yang aku punya.
Dimanapun aku berada aku harus bisa seperti matahari yang bermanfaat bagi semuanya. Tak
perduli seberapa kuat angin kehidupan mengubahku, aku harus tetap bertahan hingga pada
masanya nanti angin berhenti merubahku dan aku mulai menjadi guru untuk orang-orang
yang membtuhkanku. Semakin kuat angin menerpaku, semakin berisi pula apa yang ada
dalam diriku.
5. Beberapa hari yang lalu ada pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat
membahas tentang akan didirikannya Mushola di kampung kami. Maklum saja, dusun kami
hanya mempunyai satu buah masjid yang letaknya agak jauh dari kampung kami. Hari itu
diputuskan mengenai lokasi pembangunan mushola berada di pekarangan rumah bapak Mijo
dan keluarganya.
“ mau ikut gotong royong tidak?”Bapak mengagetkanku yang sedang membaca buku.
“iya pak, tunggu bentar.. aku mau merapikan buku dulu” sahutku tanpa menoleh.
“bapak tunggu didepan ya..?”
“Iya pak”.
Aku berlari menuju bapak yang setia menungguku. Ku raih tangannya dan kukaitkan
dipundakku. Nyaman rasanya. Jarang sekali aku melakukan itu karena sibuknya bapak
dengan kerjaannya. Jadi pas ada waktu bersama, tak aku sia-siakan kesempatan itu untuk
bermanja ria dengannya.
Sesampainya dilokasi, sudah banyak orang yang bekerja. Ada yang sedang membuat
lubang pondasi, mengusung batu bata, membuat adukan semen, serta orang yang hanya sibuk
memperhatikan kerja kami, mereka itu adalah para tukang senior ahli bangunan. Bapak
langsung menuju kearah kerumunan orang yang sedang membuat lubang pondasi, sementara
aku memilih membantu mengantar adukan semen yang sudah siap digunakan.
Seminggu sudah kami berjibaku dalam gotong royong, selama itu pula aku tak
melihat adanya keluhan orang-orang yang ikut gotong royong. Hanya sebagian kecil dari
mereka yang tak terlihat lagi, mungkin mereka sudah mulai sibuk dengan pekerjaan mereka
sebelumnya. Mushola yang kami bangun sudah jadi, hanya keramik dan instalasi listrik saja
yang belum dibuat.
“Kalo diperhatikan, mushola ini seperti masjid agung Demak yo” celetuk pakde
Rohim disela istirahat siang.
“benar juga, hanya saja kurang besar lokasinya” Sahut pakde Sam.
“kemarin sih, pengennya lebih besar lagi dari ini, tapi kalo besar nanti bapak Mijo
akan bangun rumah dimana? Itukan tanah warisan satu-satunya.” Bapakku menimpali.
“Benar juga... apa lagi dengar-dengar dia mau buat rumah untuk keluarganya.
Alhamdulillah kita masih dikasih izin untuk mendirikan mushola ini. Semoga allah membalas
dengan pahala dan kebaikan beliau”. Pak ustadz Jumadi menambahkan panjang lebar.
“aamiin” bapak-bapak meng-amini begitu juga aku.
Pemasangan instalasi listrik dan keramik hari ini dapat diselesaikan. Semuanya
terlihat senang. Malamnya adalah malam pemberian nama mushola baru. Sayangnya aku
tidak diperbolehkan ikut sama ibu dengan alasan besok harus harus sekolah. ibu takut kalau
aku bangunnya kesiangan. Sebenarnya kesal juga, tapi mau gimana lagi, ibu ada benarnya
juga. Sekalipun aku ada disana paling-paling juga tidur. Aku pun ngeloyor ke pembaringan
dengan hati dongkol. Nenek mendatangi ku dan menasehati jika aku tak boleh marah atau
dongkol. Beliau bilang tidak apa-apa tidak ikut menyaksikan pemberian nama, yang penting
tugas kita adalah meramaikan musholanya. Rajin-rajinlah mengaji dan sholat dimushola.
Jangan sampai kita membuat mushola seperti membuat rumah untuk mayit dikuburan.
Setelah jadi ditinggalin begitu saja. Dibiarkan begitu saja sampai menjadi rumah rayap dan
kecoa. Begitulah kata nenek, akupun sedikit lega dan membenarkan apa yang dikatakan
beliau. Akupun berjanji akan meramaikan mushola semampuku.
6. Diatas Awan
Suara beduk bertalu-talu memecah heningnya pagi. Hari masih petang dan ada
kejadian apa sampai beduk dipukul tak berhenti. aku beranjak dari tempatku lalu mengambil
air wudhu.
“Mus, nanti jangan lupa cari bunga untuk nyekar ya..” Terdengar nenek mengingatkan
Bibiku.
“Iya mbok. Nanti simbok mau ikut ke kuburan apa.?”
“Tidak, biar bapaknya Edis saja yang berangkat. Mbok nitip doa saja”
Astaghfirullah, aku baru ingat ternyata besok puasa. Pantas saja beduk tadi dipukul
terus. Setelah sholat subuh aku langsung menuju mushola untuk bergabung bersama teman-teman
yang sudah dari tadi berada disana.
Hari pertama puasa terasa amat lama, meskipun aku sudah terbiasa puasa sejak masih
kelas satu, tapi yang namanya puasa pertama tetap saja terasa berat. Namun setelah itu aku
menjalankannya tak sberat puasa pertama, apa lagi aku mengikuti lomba-lomba yang
diadakan oleh Irmas dan Irmus desaku. Jadi tidak terasa begitu berat.
Akhirnya malam yang kami tunggu-tunggu datang juga, yakni malam pembacaan
pemenang lomba ramadhan yang dirangkai sekaligus memperingati malam Nuzulul Quran.
Disitu aku dinobatkan sebagai juara pertama lomba adzan. Yang lebih luar biasa lagi,
Mushola kami yang baru pertama kali mengikuti event ini menyabet juara umum. Malam itu
merupakan malam kebahagiaan bagi kami semua. Ada rasa bangga dan kami bisa
membuktikan, wlaupun kami kecil tapi kualitas kami besar.
Sepulang dari acara pembagian hadiah, seperti hari-hari sebelumnya aku tidur
dimushola. Untuk tadarus dan membangunkan orang-orang agar bangun sahur.
“Bangun... Bangun... Sudah jam dua, ayok keliling.” Surono membangunan kami. Dia
adalah anak dari salah satu Ustadz mushola, dia juga merupakan motor penggerak untuk
keliling desa membangunkan orang sahur.
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...” Kami berkeliling
desa dengan membawa beduk yang diletakkan dibelakang sepeda Onthel sambil teriak dan
memukul beduk.
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...”
“Dug.. dug... dug dug dug duuug. Sahur... Sahur... Sahur.. Sahur...”
Setelah selesai keliling desa, kami berhenti dirumah salah satu warga yang sudah
ditnjuk sebelumnya untuk menyediakan wedang manis dan snack ala kadarnya. Hitung-hitung
itu adalah upah penat kami membangunkan orang sahur. Disana biasanya kami
mengobrol sampe jam tiga. Setelah itu kami kembali ke mushola lalu pulang kerumah
masing-masing.
Begitulah yang kami lakukan selama ramadhan. Mencari pahala sebanyak-banyaknya
meskipun hanya perbuatan kecil saja yang kami lakukan. Aku pun satu bulan penuh tidur
dimushola bersama kawan-kawan. Meskipun terkadang orang tua meminta untuk tidur
dirumah, tapi aku selalu menolaknya. Alasanku menolaknya adalah karena bulan Ramadhan
tidak datang setiap hari. Selain itu dimushola banyak kawan-kawan yang tidur disana , jadi
aku fikir lebih menyenangkan tidur bersama mereka.
7. Prestasiku di bidang agama ini berbanding lurus dengan prestasiku dibidang
akademik. Dimana aku selalu mendapat rangking satu dan paling sering sering adalah
ranking dua. Rangking pertama hampir selalu diraih oleh Ratih, pesaing utama ku dikelas.
Sedangkan ranking tiga, empat dan lima selalu diraih oleh Dwi kakak sepupuku, Ari dan
Henry yang diperoleh secara bergantian. Tentunya prestasi-prestasi ini menjadi kebanggan
tersendiri untuk keluarga besarku terutama orang tua dan nenek ku yang selalu ada dan
menjadi penolong ketika aku membutuhkan bantuannya jika aku mengalami kesulitan ketika
belajar.
Sebuah lampu minyak dari bekas botol pestisida yang menjadi peneranganku satu-satunya
saat belajar. Jika aku sedang membaca atau mengerjakan PR, aku mendekatkan
bukuku pada lampu minyak tersebut. Tidak jarang rambutku terbakar olehnya karena terlalu
konsentrasi. Jika sudah begitu ayah dan ibuku selalu tertawa untuk menghibur agar aku
menganggap itu adalah kejadian lucu sehingga aku tidak menangis. Karena itu aku sekarang
tidak pernah menaruh lampu minyak didepanku tetapi aku taruh didamping kiri atau kananku.
Malam ini aku punya PR matematika yang menjadi pelajaran favorit ku. Aku mulai
membuka buku cetak untuk mencari halaman yang yang dijadikan PR. Setelah ketemu aku
tidak langsung mengerjakannya, melainkan aku baca dan fahami soalnya. Setelah beberapa
menit aku mulai mengeluarkan buku tulis dan pensil dari dalam tas. Ku jauhkan lampu
minyak kesebelah kiri agar rambutku tidak terbakar lagi. Aku pun mulai konsentrasi dengan
PR sedangkan orang tua, nenek dan bibiku berada diteras rumah. Mereka tahu jika aku sudah
pegang buku artinya aku tidak mau diganggu.
Sebelum mengerjakannya aku membaca doa dan meminum air satu gelas. Setelah
habis aku kembali menuang air minum itu dari teko kedalam gelas yang sudah kosong. Baru
sepuluh menit aku mengerjakan mataku sudah terasa pedas.
To be continued.....