SlideShare a Scribd company logo
1 of 38
1
Sari Pustaka
EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN TERHADAP
OTOT DASAR PANGGUL
UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh:
dr. Muhammad Al fath
PESERTA PPDS OBGIN
Pembimbing:
dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp Urogin-Re
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2023
1
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : dr. Muhammad Al fath
Semester : III
Telah menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul:
EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP OTOT DASAR PANGGUL
Mengetahui/menyetujui Padang, 28-8-2023
Pembimbing Peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi
dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp.Urogin-Re dr. Muhammad Al fath
Mengetahui
KPS PPDS OBSGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG
Dr. dr. Defrin, Sp.OG. Subsp. K.Fm
2
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
LAPORAN HASIL PENILAIAN
Nama : dr. Muhammad Al fath
Semester : III
Telah menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul:
EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN
TERHADAP OTOT DASAR PANGGUL
Hasil Penilaian
NO KRITERIA PENILAIAN NILAI KETERANGAN
1 Pengetahuan
2 Keterampilan
3 Attitude
Padang, 28-8-2023
Mengetahui/Menyetujui Pembimbing
dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp.Urogin-Re
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................1
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................2
DAFTAR TABEL........................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................4
1.1. Latar Belakang ...............................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................6
2.1. Anatomi Dasar Panggul..................................................................................6
2.1.1. Ligamen...................................................................................................6
2.1.2. Otot..........................................................................................................8
2.2. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Hamil..................................12
2.3. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Bersalin...............................15
2.4. Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul ....................20
BAB 3 KESIMPULAN...............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................33
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ligamen inguinal meregang di antara anterior superior iliak spine dan
tuberkel pubis................................................................................................................6
Gambar 2. Tampak samping, terlihat membran obturator, serta ligamen sakrotuberous
.......................................................................................................................................7
Gambar 3. Tampilan posterior yang digabungkan dengan tampilan outlet.................7
Gambar 4. Otot-otot (A) dasar panggul superfisial dan (B) dasar panggul dalam......9
Gambar 5. Otot obturator internus, piriformis, dan kokigeus terlihat dengan detail...9
Gambar 6. Otot besar obturator internus yang ditutupi oleh fasia obturator yang kuat
membentuk dinding samping panggul ........................................................................10
Gambar 7. Tampilan ini menunjukkan otot levator ani yang utuh yang berasal dari
sepanjang arcus tendineus.........................................................................................10
Gambar 8. Hubungan otot dasar panggul dan dinding samping serta perlekatan mereka
dari tampilan abdominal..............................................................................................11
Gambar 9. Tampak depan levator ani berbentuk corong dan hubungannya dengan
vulva dan otot-otot superfisial perineum. ...................................................................11
Gambar 10. Otot-otot yang membentuk dasar panggul ditunjukkan di sini..............12
Gambar 11. Manuver valsava berhubungan dengan relaksasi dasar panggul yang tepat
.....................................................................................................................................18
Gambar 12. Manuver valsalva berhubungan dengan koaktivasi otot levator ani......19
Gambar 13. Efek simulasi penurunan kepala janin pada otot levator ani selama kala II
persalinan. ...................................................................................................................23
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Otot dasar panggul, origo, insersi, persarafan dan fungsinya ........................8
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Melemahnya kekuatan otot dasar panggul dapat menyebabkan berbagai gejala
yang mengganggu kualitas hidup dan merupakan masalah umum pada wanita dalam
fungsi reproduksi, bukan hanya karena perubahan anatomi otot dasar panggul dalam
kehamilan dan proses persalinan, namun juga karena trauma yang terjadi pada proses
tersebut. Trauma dasar panggul selama persalinan sekarang diketahui sebagai faktor
etiologi utama terhadap gangguan otot dasar panggul seperti inkontinensia urin, prolaps
organ pelvis dan inkontinensia fetal.1
Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolapse organ
genitourinaria, 40% akan disertai dengan inkontinensia urin dan sekitar 4,2% akan
mengalami inkontinensia alvi. Evaluasi kekuatan otot dasar panggul merupakan
parameter yang penting dalam pokok persoalan klinik dan ilmiah sehubungan dengan
kelemahan dasar panggul.1
Beberapa penelitian klinis dan epidemiologis
mengindikasikan bahwa wanita yang mengalami persalinan pervaginam memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami stres inkontinensia urin dibandingkan nulipara dan
wanita yang menjalani seksiosesarea. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan
terjadinya kerusakan dasar panggul akibat proses persalinan pervaginam yang
menyebabkan perubahan neurologik pada dasar panggul sehingga menimbulkan efek
langsung pada konduksi nervus pudendus, mempengaruhi kontraksi vagina dan
tekanan sfingter uretra serta stres inkontinensia urin post partum diperkirakan mungkin
terjadi.2
Peschers menyatakan bahwa kekuatan otot dasar panggul terpengaruh segera
setelah persalinan pervaginam dan akan kembali normal dalam waktu dua bulan. Pada
primipara yang mengalami persalinan pervaginam didapati penurunan kekuatan otot
dasar panggul sebesar 22% selama kehamilan dan 35% pada post partum.
Mascharenhas T mengukur kekuatan otot dasar panggul dengan perineometri dan
digital pada 66 primigravida antepartum, 6 minggu post partum dan 6 bulan post
5
partum dengan hasil terdapat penurunan kekuatan otot dasar panggul yang bermakna
pada wanita yang melahirkan pervaginam dibanding seksiosesarea (p=0,049).
Persalinan pervaginam juga merupakan faktor utama yang berkontribusi untuk
terjadinya stres inkontinensia urin. Hal ini tidak hanya disebabkan karena kondisi
kehamilan yang menyebaban perubahan mekanik dan hormonal, namun juga terjadi
kerusakan jaringan otot dan persyarafan. Pada persalinan pervaginam terjadi regangan
kuat pada saat proses persalinan yang mengakibatkan kelemahan dan kerusakan otot
dasar panggul, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan tekanan sfingter uretra
terhadap tekanan kandung kemih. Regangan kuat tersebut juga mengenai bladder neck,
otot-otot sfingter uretra dan ligamentumnya. Beberapa faktor risiko yang telah diteliti
dapat meningkatkan kejadian stres inkontinensia urin pada wanita post partum adalah
usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, episiotomi, ruptur perineum spontan,
lingkar kepala bayi, ekstraksi vakum atau forsep.2
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa melemahnya kekuatan
otot dasar panggul akibat hamil dan persalinan dapat menyebabkan stres inkontinensia
urin, namun penelitian mengenai rerata selisih kekuatan otot dasar pangul sebelum dan
sesudah persalinan spontan terhadap stress inkontinensia urin masih belum ada sampai
saat ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah persalinan
spontan antara kelompok stress inkontinensia urin dengan kelompok normal.3
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Dasar Panggul
Dasar panggul adalah area tubuh yang melibatkan sejumlah besar tulang, otot,
organ, dan jaringan yang mendukung struktur panggul. Panggul merupakan bagian
tubuh yang penting karena berperan dalam dukungan tubuh, gerakan, serta mekanisme
persalinan. Pemahaman mengenai anatomi dasar panggul wanita penting untuk
diagnosis dan pengelolaan masalah kesehatan reproduksi, serta untuk memberikan
perawatan yang sesuai selama kehamilan dan persalinan.3
2.1.1. Ligamen
Gambar 1. Ligamen inguinal meregang di antara anterior superior iliak spine dan
tuberkel pubis. Dari tuberkel pubis, dipantulkan ligamen lakunar, yang membentuk
batas medial kanal femoral. Ligamen Cooper adalah struktur kuat yang melekat pada
garis iliopubik (lihat gambar kecil). Antara tulang iskial dan aspek lateral sakrum
terdapat ligamen sakrospinosus. Ligamen ini juga membentuk foramen sakrosciatic
yang lebih besar dan lebih kecil.6
7
Gambar 2. Tampak samping, terlihat membran obturator, serta ligamen sakrotuberous.
Ligamen sakrotuberous dimulai dari tuberositas iskial dan berakhir pada tepi lateral
sacrum.6
Gambar 3. Tampilan posterior yang digabungkan dengan tampilan outlet. Ligamen
sakrotuberous dan ligamen sakrospinosus saling bersilangan.6
8
2.1.2. Otot
Otot dasar panggul yang berada di permukaan terdiri dari otot bulbospongiosus,
ischiocavernosus, dan otot perineum transversal yang dangkal dan dalam. Otot dasar
panggul yang berada di dalam dinding panggul adalah levator ani dan koksi yang,
bersama dengan fascia endopelvik, membentuk diafragma panggul. Levator ani terdiri
dari 3 otot—puborectalis, pubococcygeus, dan iliococcygeus. Pubococcygeus terletak
paling anterior. Itu berasal dari tulang pubis posterior dan bagian anterior dari arcus
tendineus; ia menyisip pada ligamen anococcygeal dan koksi. Iliococcygeus adalah
bagian posterior dari levator ani. Itu berasal dari bagian posterior arcus tendineus dan
ischial spine serta melekat pada raphe anococcygeal dan koksi. Terakhir, puborectalis
terletak di bawah pubococcygeus dan membentuk sling berbentuk U di sekitar rektum.
Aksinya seperti sfingter menarik persimpangan anorektal ke depan, berkontribusi pada
kontinens.7
Otot koksi berbentuk segitiga, memperkuat dasar panggul posterior dengan
berasal dari ischial spine dan menyisipkan pada tulang sacral-coccygeal yang lebih
rendah serta bersambung dengan ligamen sacrospinous. Perineal body atau tendon
perineum pusat terletak antara vagina dan anus. Ini adalah tempat di mana otot dan
sfingter panggul berkumpul untuk memberikan dukungan pada dasar panggul.
Robekan entitas ini selama persalinan dapat menyebabkan prolaps organ panggul. 7
Tabel 1. Otot dasar panggul, origo, insersi, persarafan dan fungsinya7
9
Gambar 4. Otot-otot (A) dasar panggul superfisial dan (B) dasar panggul dalam.7
.
Gambar 5. Ligamen telah dihilangkan. Tampilan dilakukan melalui outlet panggul.
Otot obturator internus, piriformis, dan kokigeus terlihat dengan detail dan tajam.6
10
Gambar 6. Otot besar obturator internus yang ditutupi oleh fasia obturator yang kuat
membentuk dinding samping panggul. Arcus tendineus, atau garis putih, dihasilkan
oleh area tebal fasia obturator. Otot levator ani berasal dari arcus ini. Bagian yang
dipotong dari levator ditunjukkan di sisi kanan pasien (sisi kiri pembaca). Levator kiri
telah dihilangkan. Penutupan panggul dilengkapi oleh otot piriformis dan koksigeus.6
Gambar 7. Tampilan ini menunjukkan otot levator ani yang utuh yang berasal dari
sepanjang arcus tendineus. Perhatikan ruang retropubik yang terbuka, bersama
dengan tepi uretra dan vagina.6
11
Gambar 8. Hubungan otot dasar panggul dan dinding samping serta perlekatan mereka
dari tampilan abdominal. Arcus tendineus fasciae pelvis telah dihapus di sebelah kiri,
menunjukkan asal otot levator ani. Di sebelah kanan, arcus tendineus fasciae pelvis
tetap utuh, menunjukkan lampiran vagina lateral melalui fascia endopelvik (dipotong).6
Gambar 9. Tampak depan levator ani berbentuk corong dan hubungannya dengan
vulva dan otot-otot superfisial perineum. Levator ani sebagian berasal dari tepi inferior
tulang pubis. Seniman telah menumpangkan arcus tendineus (garis putih putus-putus)
ke otot obturator internus dan tulang pubis.6
12
Gambar 10. Otot-otot yang membentuk dasar panggul ditunjukkan di sini. Area krural
terlihat jelas. Otot bulbocavernosus berada tepat di lateral ke dinding luar vagina.
Ischiocavernosus terletak di sepanjang tepi ramus pubis. Di antara otot-otot ini terdapat
struktur jaringan ikat yang kuat yang disebut membran perineum.6
2.2. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Hamil
Perubahan fisiologis dasar panggul pada ibu hamil adalah respons kompleks
tubuh terhadap kehamilan. Pemahaman yang mendalam tentang perubahan ini
memungkinkan pemberian perawatan dan dukungan yang lebih baik selama perjalanan
kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan janin.7
Banyak perubahan muskuloskeletal terjadi selama kehamilan untuk
menyesuaikan diri dengan pertumbuhan janin dan mempersiapkan tubuh wanita untuk
persalinan. Selain peningkatan massa tubuh, otot perut memanjang, terjadi peningkatan
lordosis lumbar, peningkatan kesejajaran panggul anterior, peningkatan kemiringan
panggul, dan pusat gravitasi bergeser ke depan seiring pertumbuhan janin. Perubahan
hormonal juga meningkatkan kekenduran sendi. Semua perubahan ini menyebabkan
peningkatan permintaan pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor plantar
pergelangan kaki, dan otot dasar panggul. 7
13
Interaksi antara otot dasar panggul dan jaringan ikat memberikan dukungan
pada organ panggul. Sebagai hasil dari perubahan hormonal, terdapat adaptasi
signifikan untuk mempersiapkan dasar panggul dan jalan lahir untuk persalinan. Bukti
klinis dari hal ini telah diamati menggunakan sistem Pelvic Organ Prolapse
Quantification System (POP–Q) yang terstandardisasi. O'Boyle dkk. (2002)
menemukan bahwa wanita hamil nulipara lebih cenderung memiliki prolaps organ
panggul ringan dibandingkan dengan rekan nulligravid mereka.5
Konsisten dengan perubahan klinis yang dicatat sebelumnya, studi molekuler
dan histologis jaringan vagina telah menunjukkan peningkatan jumlah material matriks
ekstraseluler dalam lapisan fibromuskular. Kolagen menjadi kurang padat, dan sel otot
polos berubah menjadi fenotip nonkontraktil (Daucher dkk., 2007). Akibat dari
perubahan ini adalah peningkatan distensibilitas vagina, kemungkinan untuk
memungkinkan peregangan genital selama persalinan (Alperin dkk., 2010).5
Kemunculan model mencit yang dirancang secara genetik (LOXL-1 dan FBN-
5) telah memberikan wawasan lebih lanjut untuk perubahan dalam homeostasis elastin
selama kehamilan, dan potensi bahwa mekanisme yang bertanggung jawab atas
regenerasi sifat elastis vagina dapat terganggu pada hewan-hewan yang mengalami
prolaps serta gangguan dasar panggul lainnya pasca persalinan.5
Studi klinis menyediakan bukti yang cukup bahwa otot-otot rangka dasar
panggul merupakan kontributor utama pada fungsi dasar panggul wanita yang baik.
Defek dan disfungsi otot-otot rangka dasar panggul yang terdeteksi secara radiologis
terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan terhadap gangguan dasar panggul,
serta kambuhnya prolaps organ panggul setelah pengobatan bedah. Otot-otot rangka
dasar panggul terdiri dari otot koksigeus dan kompleks otot levator ani; namun,
sebagian besar penelitian yang diterbitkan menggunakan Otot-otot rangka dasar
panggul dan otot levator ani secara bergantian dan tidak termasuk otot koksigeus.8
Persalinan diidentifikasi sebagai penyebab utama trauma pada Otot-otot rangka
dasar panggul . Alasan untuk trauma, seperti yang disarankan oleh studi pemodelan
dan pencitraan, adalah tegangan Otot-otot rangka dasar panggul yang berlebihan yang
terjadi selama persalinan pervaginam. Menariknya, meskipun adanya prediksi ini,
14
banyak wanita yang telah melahirkan tidak mengalami cedera pada Otot-otot rangka
dasar panggul . Oleh karena itu, kemungkinan besar, untuk mencapai tegangan
ekstrafisiologis tanpa cedera, adaptasi yang diinduksi oleh kehamilan terjadi dalam
otot-otot ini. Sebelumnya, kami menunjukkan bahwa Otot-otot rangka dasar panggul
menyesuaikan arsitektur kontraktif mereka untuk meningkatkan ekskursi, atau rentang
gerakan, sebagai persiapan untuk persalinan. Komponen otot rangka utama lainnya
adalah jaringan matriks ekstraseluler, yang terdiri dari endomisium yang meliputi serat
otot individu, perimisium yang menghubungkan serat-serat berdekatan dan melingkupi
bundel otot dan fasikel, serta epimisium yang melapisi seluruh otot. Studi manusia dan
hewan mengenai ligamen, simfisis pubis, serviks, dan jaringan ikat vagina
menunjukkan perubahan dramatis dalam properti mekanik struktur ini selama
kehamilan. Perubahan biokimia dan remodelasi jaringan matriks ekstraseluler diyakini
berkontribusi pada penurunan kekakuan dan peningkatan distensibilitas jaringan ini,
yang memudahkan proses persalinan janin dan melindungi dari cedera saat persalinan
maternal.8
Secara keseluruhan, temuan ini mendukung bahwa adaptasi perlindungan yang
diinduksi oleh kehamilan juga terjadi dalam jaringan matriks ekstraseluler otot-otot
rangka dasar panggul . salah satu fungsi utama jaringan matriks ekstraseluler
intramuskular adalah melindungi miofibril dari stres dan tekanan mekanik dengan
meningkatkan tegangan pasif, yaitu tegangan yang dihasilkan ketika otot meregang
secara independen dari aktivasi listrik otot. Dengan demikian, dihipotesiskan, berbeda
dengan jaringan panggul lainnya, kekakuan Otot-otot rangka dasar panggul dapat
meningkat selama kehamilan sebagai respons terhadap tuntutan mekanik yang
meningkat, dan hal ini dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap
cedera pada komponen kontraktif otot selama persalinan.8
Dengan adanya batasan etika yang jelas terkait pengadaan jumlah yang
memadai dari jaringan otot dasar panggul manusia dari wanita hamil untuk melakukan
studi semacam itu, digunakan model tikus untuk mengidentifikasi perubahan matriks
ekstraseluler otot dasar panggul selama masa kehamilan. perbandingan parameter
struktural otot dasar panggul antara manusia dan tikus menunjukkan kemiripan
15
arsitektur, menunjukkan bahwa keduanya memiliki desain fungsional yang serupa.
Model tikus juga terbukti bermanfaat dalam banyak penelitian tentang perubahan
terkait kehamilan pada struktur panggul lainnya. Selain itu, baru-baru ini dilaporkan
bahwa ada adaptasi selama kehamilan pada miofibril Otot-otot rangka dasar panggul
tikus, yang meningkatkan panjangnya dengan menambahkan sarkomer secara
berurutan. Sebagai tambahan, penelitian ini secara utama berfokus pada sifat
biomekanik otot dasar panggul jaringan matriks ekstraseluler untuk memberikan
pemahaman lebih lanjut mengenai potensi perubahan fungsional otot-otot rangka dasar
panggul manusia yang diinduksi oleh kehamilan dan patogenesis cedera Otot-otot
rangka dasar panggul pada saat persalinan.8
Selama kehamilan, terjadi perubahan biokimia pada matriks ekstraseluler otot
dasar panggul yang berpotensi menyebabkan perubahan pada sifat mekanik otot.
Kehamilan menyebabkan perubahan yang signifikan dalam rasio isoform kolagen dan
peningkatan elastin dalam jaringan ikat vagina.8
2.3. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Bersalin
Perubahan fisiologis dasar panggul pada ibu saat bersalin adalah serangkaian
adaptasi tubuh yang kompleks untuk memungkinkan kelahiran bayi.5
Gerakan dan adaptasi kompleks struktur panggul untuk memfasilitasi keluarnya
bayi selama proses persalinan;
1. Kontak Awal: Saat kepala bayi menyentuh dasar panggul, segmen otot levator
ani mulai bergerak dari belakang ke depan.
2. Dampak Otot: Otot ischiococcygeus pertama kali merasakan dampak, tetapi
kepala seringkali didahului oleh cairan ketuban dan selaput, yang mentransfer
sebagian besar tekanan ke bagian depan otot pubococcygeus.
3. Perubahan Posisi: Raphe anococcygeal didorong ke bawah sampai menjadi
tegak. Otot ischiococcygeus berubah menjadi posisi tegak dan bertindak
sebagai permukaan pembelokan untuk kepala yang turun.
4. Gerakan Kepala: Setelah mengatasi hambatan, kepala berpindah ke segmen
pubococcygeus, meregangkannya ke arah anteroposterior dan perifer. Tubuh
16
perineum didorong ke bawah saat kepala bergerak sepanjang sumbu pintu
bawah panggul.
5. Peregangan Jaringan: Serat-sekat septum rektovaginal direntangkan dan sering
robek. Otot di sekitar pintu bawah panggul (bulbocavernosus,
ischiocavernosus, transversus perinei, dan otot periurethral) melebar dan
berubah menjadi tabung otot pendek sepanjang sumbu pintu bawah panggul.
6. Adaptasi Akhir: Saat diameter biparietal kepala bayi mencapai diameter
transversal pintu bawah panggul, saluran uterus-vagina menjadi celah yang
kontinu. Ligamen lateral serviks uteri (fascia endopelvik) menjadi datar di
sekelilingnya dan meregang secara vertikal. Vagina melebar secara sferis, dan
diafragma panggul berubah dari posisi miring menjadi posisi tegak.
Otot levator ani memiliki fungsi yang kompleks. Hal ini termasuk kemampuan
untuk menjaga tonus istirahat, kemampuan untuk berkontraksi, dan kemampuan untuk
relaksasi. Meskipun kontraksi dasar panggul biasanya mengurangi dimensi levator
hiatal, melakukan maneuver Valsalva dengan baik terkait dengan peningkatan dimensi
levator hiatal, yang mencerminkan distensibilitas dasar panggul dan relaksasi otot
levator ani yang adekuat.9
Selama proses persalinan, relaksasi dasar panggul saat melakukan dorongan
memungkinkan peningkatan dimensi levator hiatal, menciptakan lebih banyak ruang,
dan mengurangi resistensi terhadap penurunan kepala janin dalam saluran persalinan.
Meskipun demikian, tidak semua wanita secara spontan dapat merelaksasikan dasar
panggul mereka selama dorongan. Beberapa wanita justru melakukan kontraksi, bukan
relaksasi, pada otot dasar panggul saat melakukan maneuver Valsalva. Fenomena ini
dikenal sebagai koaktivasi otot levator ani.10
Koaktivasi otot levator ani terjadi ketika diameter anteroposterior pada
dorongan maksimal lebih kecil dibandingkan dengan diameter istirahat. Meskipun
koaktivasi lebih umum terjadi pada wanita dengan dasar panggul yang hipertonik
akibat nyeri panggul kronis, seperti pada kasus endometriosis infiltratif, koaktivasi juga
dapat ditemukan pada wanita sehat. Dalam studi oleh Ornö, 22 dari 50 wanita nulipara
17
pada usia kehamilan 36-38 minggu menunjukkan adanya koaktivasi otot levator ani
pada evaluasi pertama mereka.10
Penulis menggunakan edukasi dan umpan balik visual ultrasonografi untuk
membantu wanita mengembangkan cara dorongan yang memadai. Ini melibatkan
panduan kepada wanita untuk menghindari kontraksi levator selama dorongan, dengan
menunjukkan perubahan pada kedua bidang midsagital dan aksial pada monitor
ultrasonografi. Hasil dari pendekatan ini menunjukkan efisiensi dalam koreksi
koaktivasi pada sebagian wanita, sementara sebagian lainnya (11 wanita) tetap
mengalami koaktivasi otot levator yang persisten.10
Namun, studi ini tidak mengevaluasi korelasi antara koaktivasi dan hasil
persalinan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai hubungan antara koaktivasi
otot levator ani dan hasil persalinan. Koaktivasi otot levator ani yang persisten pada
wanita nulipara yang didiagnosis menjelang persalinan terkait dengan tahap kedua
persalinan yang lebih lama dan tahap kedua persalinan yang aktif. Dalam studi pada
wanita yang menjalani persalinan vakum, penulis menunjukkan bahwa dalam beberapa
kasus, kepala janin tidak berkembang atau bahkan mundur selama dorongan. Penulis
berspekulasi bahwa koaktivasi otot levator ani mungkin menjadi penjelasan dalam
kasus-kasus tersebut.10
Studi terbaru oleh Youssef et al. mengevaluasi hubungan antara mundurnya
kepala janin selama dorongan maternal dan koaktivasi otot levator ani pada wanita
nulipara menjelang persalinan. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua fenomena ini
jarang terjadi bersamaan, menunjukkan bahwa koaktivasi otot levator ani dan
mundurnya kepala janin adalah dua fenomena yang berbeda. Namun, hubungan antara
kedua fenomena ini selama persalinan masih perlu dinilai lebih lanjut.11
Posisi dan penurunan kepala janin dalam jalan lahir dapat diukur secara dapat
diandalkan melalui ultrasonografi. Beberapa parameter ultrasonografi transperineal
telah diusulkan untuk mengevaluasi posisi kepala janin. Ini termasuk di antaranya jarak
progresi kepala janin, sudut progresi, jarak kepala janin-perineum, arah kepala janin,
dan jarak kepala janin-sinfisis. Stasiun kepala yang lebih rendah, seperti yang diukur
oleh ultrasonografi transperineal baik sebelum maupun selama persalinan, berkorelasi
18
kuat dengan keberhasilan persalinan pervaginam. Sudut progresi adalah parameter
ultrasonografi transperineal yang paling sering digunakan. Ini adalah sudut antara garis
yang melewati sumbu panjang simfisis pubis dan garis lain yang melewati tepi paling
bawah simfisis pubis dan menyentuh bagian paling terlibat dari tengkorak janin.
Semakin lebar sudut progresi, semakin terlibat kepala janin. Menariknya, Youssef et
al. menunjukkan bahwa dimensi lantai panggul yang lebih kecil dan koaktivasi otot
levator ani pada usia kehamilan menjelang persalinan sebelum persalinan berkaitan
dengan stasiun kepala janin yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh sudut
progresi yang lebih sempit.11
Gambar 11. Manuver valsava berhubungan dengan relaksasi dasar panggul yang tepat.
Fenomena tersebut dapat ditunjukkan dengan meningkatnya diameter anteroposterior
hiatus levator pada gambar USG 2 dimensi dari keadaan istirahat (A) ke manuver
Valsava (B), peningkatan luas area hiatus pada rekonstruksi USG 4 dimensi dari
keadaan istirahat (C) ke Valsava. manuver (D) dan ilustrasi grafis (E dan F).10
19
Gambar 12. Manuver valsalva berhubungan dengan koaktivasi otot levator ani.
Fenomena tersebut dapat ditunjukkan dengan berkurangnya diameter anteroposterior
hiatus levator pada gambar USG 2 dimensi dan 4 dimensi dari keadaan diam (A dan
C) menjadi manuver Valsava (B dan D) dan pada ilustrasi grafis (E dan F).10
Studi ultrasonografi menunjukkan bahwa lantai panggul memainkan peran
kunci dalam persalinan. Selain itu, ultrasonografi transperineal memiliki potensi untuk
meningkatkan hasil persalinan dengan membantu wanita untuk lebih baik
merelaksasikan lantai panggul mereka. Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa
pelatihan, fisioterapi, dan umpan balik visual ultrasonografi dapat menyebabkan
peningkatan relaksasi lantai panggul pada wanita nonhamil dengan hipertonus lantai
panggul. Umpan balik visual ultrasonografi memanfaatkan visualisasi perubahan
dinamis lantai panggul wanita untuk membantu mereka mengoptimalkan baik
kontraksi maupun relaksasi saat mendorong. Hal ini dapat menghasilkan peningkatan
dimensi levator hiatal dan penenggelaman kepala janin yang lebih besar pada usia
kehamilan dan persalinan.12
Hasil dari studi yang menilai manfaat klinis dari edukasi lantai panggul prenatal
terhadap hasil persalinan kontradiktif. Salvesen dan Mørkved menunjukkan bahwa
wanita yang menjalani program pelatihan lantai panggul terstruktur memiliki tahap
20
kedua persalinan yang lebih pendek. Sebaliknya, Phipps et al. tidak menunjukkan
manfaat klinis pada wanita yang menjalani edukasi prenatal dengan mengamati
perineum dan pemeriksaan vagina. Hasil yang tidak jelas juga ditunjukkan pada umpan
balik visual di tahap kedua persalinan, yang juga didefinisikan sebagai pelatihan
ultrasonografi intrapartum. Menurut pandangan penulis, alasan utama untuk hasil yang
konflik atau tidak jelas adalah inklusi populasi tanpa pemilihan. Kami berpendapat
bahwa sebagian besar wanita tidak memerlukan pelatihan khusus untuk mendorong
dengan efisien. Setiap intervensi, termasuk wanita yang secara alami mendorong
dengan baik dan spontan, tidak mungkin menemukan manfaat dari intervensi tersebut.
Intervensi prenatal dan intrapartum yang bertujuan untuk mengoptimalkan dorongan
maternal seharusnya lebih dulu diselidiki pada wanita dengan relaksasi lantai panggul
yang buruk atau teknik dorongan yang kurang baik. Kami percaya bahwa
ultrasonografi transperineal dapat menjadi pemilihan yang sangat berguna, yang dapat
mengidentifikasi wanita yang mungkin mendapat manfaat lebih banyak dari tindakan
korektif apa pun (misalnya, wanita dengan koaktivasi otot levator ani atau wanita
dengan penurunan kepala yang minimal atau tidak ada saat dorongan).13,14
2.4. Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul
Dampak dari metode persalinan dan efek yang timbul pada kesehatan panggul
jangka panjang terus diteliti. Selain berpotensi menyebabkan robekan perineum, proses
persalinan pervaginal telah diindikasikan sebagai penyebab kerusakan inervasi pada
dasar panggul. Cedera kompresi atau peregangan yang terjadi selama persalinan
menyebabkan neuropati pada saraf pudendal, yang dapat mengakibatkan inkontinensia
urin dan anorektal serta prolaps organ panggul. Persalinan dapat menyebabkan atau
memperburuk hipertonisitas dasar panggul yang sudah ada sebelumnya atau titik
pemicu. Spasme yang diinduksi oleh kontraksi otot dapat menyebabkan referred pain
atau gejala iritatif sepanjang jalur saraf pudendal dan struktur yang berdekatan. Karena
saraf pudendal mengatur beberapa jalur refleks dari respons seksual wanita yang
melekat, kerusakan ini dapat menyebabkan penyebab fisiologis disfungsi seksual pada
wanita.5
21
Mungkin sebagai akibat dari peningkatan tekanan abdominal dan/atau
perubahan jaringan ikat, kehamilan sendiri telah terbukti menjadi faktor risiko
gangguan dasar panggul. Namun, faktor utama pemicu gangguan dasar panggul pada
wanita yang telah melahirkan kemungkinan besar adalah persalinan. Nygaard dkk.
(2008) melaporkan bahwa proporsi wanita yang melaporkan setidaknya satu gangguan
dasar panggul meningkat secara bertahap dengan paritas: 12,8%, 18,4%, 24,6%, dan
32,4% untuk 0, 1, 2, dan 3 atau lebih persalinan, masing-masing (P < 0,001).15
Untuk lebih mengevaluasi hubungan antara gangguan dasar panggul dan mode
persalinan, Handa dkk. (2012) melakukan studi kohort longitudinal yang mengikuti
wanita selama 5 hingga 10 tahun setelah persalinan pertama. Dibandingkan dengan
persalinan sesar sebelum inpartu, persalinan pervaginal spontan terkait dengan
kemungkinan lebih tinggi dari stres inkontinensia (OR 2,9 (95% CI, 1,5-5,5)) dan
prolaps di atau melebihi hymen (OR 5,6 (95% CI, 2,2-14,7)). Persalinan pervaginal
operatif dan robekan perineum juga terkait dengan gangguan dasar panggul. Borello-
France dkk. (2006) melaporkan bahwa wanita dengan cedera sfingter anal setelah
persalinan pervaginal memiliki dua kali lipat kemungkinan melaporkan inkontinensia
fecal postpartum dibandingkan dengan wanita tanpa robekan sfingter.16
Tentang mekanisme potensial cedera setelah persalinan pervaginal, DeLancey
dkk. (2007) menemukan bahwa wanita dengan prolaps memiliki cacat lebih sering pada
otot levator ani dan menghasilkan kekuatan penutupan vagina yang lebih rendah
selama kontraksi maksimal dibandingkan dengan kontrol. Dalam sebuah studi
menggunakan ultrasonografi translabial 4D dan pemeriksaan panggul, ditemukan
bahwa wanita dengan cacat avulsi levator ani memiliki risiko peningkatan prolaps
organ panggul grade II atau lebih tinggi (Dietz dkk., 2008). Asosiasi ini paling kuat
untuk sistocele (RR 2,3, 95% CI, 2,0-2,7) dan prolaps uterus (RR 4,0, 95% CI, 2,5-
6,5).17
Cedera Otot
Lien dkk. (2004) menggunakan teknik pencitraan dan teknik rekayasa yang
canggih untuk mengembangkan model biomekanik guna menjelaskan perubahan pada
otot levator ani saat kepala janin turun melalui vagina. Otot medial pubococcygeus
22
mencapai rasio peregangan yang mengesankan (didefinisikan sebagai panjang jaringan
yang ditarik / panjang jaringan asli) sebesar 3,26. Menurut para penulis, ini melebihi
rasio peregangan terbesar (1,5) yang terjadi pada otot polos pasif wanita nonhamil
sebesar 217%. Memperbesar diameter kepala janin sebesar 9% meningkatkan
peregangan otot medial pubococcygeus dengan proporsi yang sama. Model ini
menunjukkan bahwa otot medial kompleks levator ani memiliki risiko cedera paling
tinggi dari semua otot levator ani selama kala II persalinan. Asumsi ini didukung oleh
pencitraan resonansi magnetic dan penelitian ultrasound tiga dimensi/empat dimensi
yang mengungkapkan kelainan pada area ini pada 20% hingga 36% wanita primipara
setelah persalinan pervaginam.18
Bukti ini, termasuk observasi yang begitu baik oleh Power, bukanlah
konsekuensi yang mengejutkan dari kehamilan dan persalinan. Tetapi mengapa
beberapa wanita kemudian mengalami prolap atau inkontinensia sedangkan yang lain
tidak bergejala? Baru-baru ini telah didemonstrasikan bahwa wanita dengan gangguan
dasar panggul lebih mungkin memiliki cedera levator ani yang terbukti didapat setelah
persalinan — tentu saja, bukti yang sangat kuat menentang cedera terhadap struktur
penting ini.19
Beberapa jawaban tentang mengapa beberapa wanita mengembangkan
gangguan dasar panggul dan yang lainnya tidak mungkin juga dapat diberikan melalui
pelajaran yang dipelajari dari model knockout pada tikus. Beberapa peneliti telah
menunjukkan bahwa beberapa galur tikus kekurangan protein yang bertanggung jawab
atas sintesis dan homeostasis kolagen dan elastin. Beberapa galur ini akan
mengembangkan prolap secara spontan, seperti pada tikus knockout fibulin-5
(Wieslander et al., 2006). Namun, yang lain, seperti tikus knockout LOXL-1 (Liu et
al., 2006), sering memerlukan peristiwa pemicu traumatis seperti persalinan
pervaginam untuk menunjukkan fenotipe prolap. Kekurangan dalam homeostasis
jaringan ikat dapat memperparah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh cedera yang
terjadi selama persalinan karena ketidakmampuan untuk memperbaiki pasca
persalinan. Kebutuhan akan perbaikan dan regenerasi yang efektif kemungkinan
berlaku untuk cedera pada sistem otot dan saraf yang terjadi setelah kehamilan dan
23
persalinan, yang menimbulkan minat yang signifikan dalam menggunakan sel punca
untuk membantu dalam regenerasi tersebut.20
Gambar 13. Efek simulasi penurunan kepala janin pada otot levator ani selama kala II
persalinan. (Atas, kiri) Tampak samping kiri menunjukkan kepala janin (bulat) yang
terletak posterior dan inferior terhadap simfisis pubis (PS) di depan sakrum (S). Lima
gambar pada sisi kiri menunjukkan kepala janin saat menurun 1,1, 2,9, 4,7, 7,9, dan 9,9
cm di bawah spine iskial saat kepala melewati kurva Carus (ditunjukkan oleh tabung
transparan, abu-abu, melengkung). Lima gambar pada sisi kanan adalah pandangan
24
depan kiri, tiga perempat sesuai dengan yang ditunjukkan di sisi kiri. (Courtecy,
Biomechanics Research Lab, University of Michigan, Ann Arbor, MI. Dicetak ulang
dengan izin dari Lien K, Mooney B, DeLancey JO, Ashton–Miller JA. Levator ani
muscle stretch induced by simulated vaginal birth. Obstet Gynecol 2004; 103:31.).5
Dampak Persalinan pada Gangguan Spesifik pada Dasar Panggul
Kehamilan dan persalinan menyebabkan perubahan anatomi dan fisiologi yang
signifikan. Sebagian besar temuan ini diyakini berkaitan dengan onset gangguan pada
dasar panggul (Pelvic Floor Disorders, PFDs), baik secara langsung setelah persalinan
atau bertahun-tahun kemudian. Berikut beberapa bukti tentang bagaimana persalinan,
dan metode persalinan, memengaruhi risiko mengembangkan tanda atau gejala
gangguan ini.5
Inkontinensia Urin
Dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional tahun 2005 hingga
2006 yang melibatkan komunitas besar, 1961 wanita melaporkan gangguan dasar
panggul 6,5% dari wanita nullipara mengalami inkontinensia urin, tetapi hampir 24%
dari wanita yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mengalaminya. Terdapat
hubungan positif yang jelas antara paritas dan peningkatan prevalensi inkontinensia
urin. Wanita yang sedang hamil dan belum pernah hamil atau melahirkan sebelumnya
lebih sering mengalami inkontinensia urin dibandingkan dengan perempuan yang tidak
hamil dan belum pernah melahirkan. Bahkan, banyak penelitian lintas-seksi
menunjukkan bahwa 25% hingga 75% wanita melaporkan gejala stress urinary
incontinence selama kehamilan. Dalam salah satu studi prospektif dengan pemantauan
jangka panjang yang terbatas, Viktrup et al. (1992) menemukan bahwa 32% dari 305
primipara mengembangkan stres inkontinensia urin selama kehamilan dan 7% setelah
persalinan. Namun, setahun setelah melahirkan, hanya 3% yang masih mengalami stres
inkontinensia urin . namun, dalam tindak lanjut berikutnya pada wanita yang sama 5
tahun kemudian, Viktrup dan Lose (2001) melaporkan bahwa 19% dari wanita yang
awalnya tanpa gejala setelah persalinan pertama mengalami stres inkontinensia urin ;
dari wanita yang mengalami stres inkontinensia urin 3 bulan setelah persalinan
(sebagian besar di antaranya sudah sembuh pada tahun ke-1), 92% masih mengalami
stres inkontinensia urin 5 tahun kemudian. Dalam studi kohort prospektif terhadap 523
25
wanita, Burgio et al. (2003) melaporkan bahwa 13% melaporkan inkontinensia urin
pada 12 bulan postpartum. Angka ini mirip dengan pada 3 bulan postpartum, tetapi
untuk sebagian besar wanita, tingkat dan frekuensi inkontinensia urin berkurang
setahun kemudian. Inkontinensia antepartum sangat memprediksi inkontinensia
postpartum. dengan demikian, gejala stres inkontinensia urin muncul sebagai
konsekuensi alami dari kehamilan dan persalinan, dan umumnya menghilang atau
menurun keparahannya setelahnya. Namun, inkontinensia postpartum yang bersifat
sementara mungkin merupakan penanda bagi inkontinensia yang persisten di masa
depan.5
Apakah kehamilan itu sendiri atau persalinan pervaginam adalah faktor risiko
untuk mengembangkan inkontinensia urin pada sebagian besar wanita masih belum
jelas. Terutama pada wanita muda, persalinan pervaginam meningkatkan risiko hampir
dua kali lipat untuk mengalami inkontinensia urin, setelah disesuaikan dengan
penyebab potensial lainnya. Meskipun inkontinensia urin sesekali umum terjadi tetapi
seringkali tidak mengganggu; oleh karena itu, lebih tepat untuk menilai dampak
persalinan pervaginam pada inkontinensia urin yang lebih signifikan secara klinis.5
Kehamilan dan persalinan pervaginam dapat meningkatkan risiko inkontinensia
urin pada wanita. Proses kehamilan dapat menyebabkan stres pada otot panggul dan
jaringan di sekitar kandung kemih, sementara persalinan dapat menyebabkan cedera
pada otot dan saraf panggul. Perubahan hormonal dan tekanan tambahan pada kandung
kemih akibat peningkatan berat badan selama kehamilan juga berkontribusi terhadap
risiko ini. Meskipun tidak semua wanita mengalami inkontinensia urin setelah
kehamilan atau persalinan, faktor-faktor seperti keturunan, umur, dan gaya hidup juga
dapat memainkan peran dalam risiko ini. Pencegahan dan perawatan, termasuk latihan
otot panggul dan manajemen berat badan, dapat membantu mengatasi atau mengurangi
risiko inkontinensia urin.5
Dalam studi berbasis populasi besar di Norwegia, Rortveit et al. (2003)
menemukan bahwa wanita yang melahirkan pervaginam memiliki risiko 2,2 kali lipat
lebih tinggi mengalami inkontinensia urin sedang atau berat dibandingkan dengan
mereka yang melahirkan sepenuhnya dengan operasi caesar (setelah disesuaikan
26
dengan faktor risiko lainnya). Mereka menyimpulkan bahwa risiko wanita mengalami
inkontinensia sedang atau berat akan berkurang, dari sekitar 10% menjadi sekitar 5%,
jika semua anaknya dilahirkan melalui operasi caesar. Dalam survei lintas-seksi pada
wanita 5 hingga 10 tahun setelah persalinan pertama, Handa et al. (2011) melaporkan
bahwa 7% dari wanita yang menjalani operasi caesar mengalami inkontinensia,
sedangkan 14% dari mereka yang melahirkan pervaginam saja mengalami
inkontinensia. Dalam studi kohort prospektif oleh Yip et al. (2003), di mana wanita
dipantau selama 4 tahun setelah persalinan pervaginam pertama, angka stres
inkontinensia urin (yang didefinisikan sebagai dua episode atau lebih inkontinensia
yang terjadi dalam sebulan terakhir) adalah 21,1% pada mereka yang memiliki dan
28,6% pada mereka yang tidak memiliki persalinan berikutnya. Dengan demikian, satu
persalinan interval tidak meningkatkan risiko stres inkontinensia urin jangka pendek.
meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan antara persalinan
pervaginam dan inkontinensia urin pada wanita muda, dua fakta layak mendapat
perhatian karena membantu membuka diskusi mengenai peran persalinan caesar
"profilaksis". Pertama, dalam penelitian ini, beberapa wanita yang hanya melahirkan
melalui operasi caesar juga mengalami inkontinensia sedang atau berat. Kedua, efek
perlindungan dari persalinan caesar dan nulliparitas terhadap inkontinensia urin
menurun seiring bertambahnya usia, sehingga wanita yang lebih tua memiliki tingkat
inkontinensia urin yang sama terlepas dari status persalinannya.16,21
Bukti yang bertentangan ada mengenai peran variabel obstetrik lainnya (selain
persalinan pervaginam) dalam perkembangan stres inkontinensia urin . meskipun
beberapa studi melaporkan lebih banyak stres inkontinensia urin dengan tahap kedua
yang berkepanjangan, lingkar kepala janin yang lebih besar, berat badan lahir yang
lebih besar, anestesi epidural, dan penggunaan oksitosin, yang lain tidak
melakukannya. Dalam uji klinis acak prospektif, episiotomi tidak melindungi wanita
dari perkembangan stres inkontinensia urin setelah persalinan. Episiotomi juga tidak
tampak memengaruhi periode laten saraf perineum, tekanan sfingter uretra, atau
kekuatan otot panggul.5
27
Sebuah uji klinis acak yang menilai perbedaan gejala dasar panggul setelah
persalinan caesar elektif yang direncanakan atau persalinan pervaginam yang
direncanakan, yang dilakukan oleh Hannah et al. (2002). Kuesioner diisi oleh 1596
wanita dari 110 pusat di seluruh dunia 3 bulan postpartum. Meskipun kesimpulan
terbatas oleh jumlah besar wanita dalam kelompok persalinan pervaginam yang
seharusnya, tetapi melahirkan melalui operasi caesar direncanakan memberikan hasil
menarik dalam jangka pendek. Wanita dalam kelompok persalinan caesar yang
direncanakan melaporkan lebih sedikit inkontinensia urin dibandingkan dengan
mereka dalam kelompok persalinan pervaginam yang direncanakan (4,5% versus
7,3%; RR, 0,62; CI 95%, 0,41-0,93). Hasil lainnya tidak berbeda. Tingkat
inkontinensia yang lebih rendah dalam penelitian ini, dibandingkan dengan yang lain
yang menilai inkontinensia urin postpartum, mungkin karena wanita ditanya tentang
gejala inkontinensia urin hanya selama seminggu sebelum mengisi kuesioner. Selain
itu, wanita dari negara-negara yang berbeda mungkin menafsirkan kuesioner gejala
dengan cara yang berbeda.22
Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Barca JA dkk tentang morbiditas
dasar panggul setelah persalinan pervaginam versus persalinan sesar menyimpulkan
bahwa jenis persalinan memiliki dampak langsung pada morbiditas dasar panggul.
Meta-analisis yang dilakukan menghasilkan rasio heterogenitas yang dapat diterima,
mendukung kesimpulan tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa persalinan pervaginam
berkaitan dengan komplikasi yang signifikan dan dampak morbiditas yang lebih besar
dibandingkan dengan persalinan caesar.23
Studi ini menekankan pentingnya mempertimbangkan peristiwa morbiditas
berdasarkan jenis persalinan, dengan membedakan antara persalinan pervaginam dan
persalinan pervaginam dengan bantuan instrumen medis. Penelitian mendukung
perlunya fokus pada pengidentifikasian dan korelasi peristiwa morbiditas dalam
konteks persalinan pervaginam.23
Secara ringkas, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan langsung antara
persalinan pervaginam dan munculnya patologi dasar panggul, terutama prolaps organ
panggul, inkontinensia urin, dan inkontinensia alvi. Meskipun kejadian inkontinensia
28
urin pasca persalinan lebih tinggi pada persalinan pervaginam (27.9%), prolaps organ
panggul menunjukkan risiko lebih tinggi (OR = 3.28) dibandingkan dengan
inkontinensia urin pada persalinan caesar.23
Studi ini menyarankan untuk mempertimbangkan risiko prolaps organ panggul
pasca persalinan pervaginam dan menekankan perlunya pengendalian dan pengobatan
pada tahap awal selama periode pasca persalinan. Studi selanjutnya, terutama uji acak,
diperlukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pengetahuan gangguan dasar
panggul. Studi mendesak agar fokus penelitian mendatang mencakup determinan
multifaktorial, seperti membedakan jenis persalinan pervaginam, dengan atau tanpa
bantuan instrumen medis, dan mengidentifikasi kasus-kasus di mana peristiwa
morbiditas dasar panggul (inkontinensia urin, prolaps organ panggul, inkontinensia
alvi) terjadi, guna dapat mengaitkan setiap jenis persalinan pervaginam dengan
patologi yang terkait. Pengetahuan tentang topik ini membantu dokter menemukan
strategi efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya prolaps organ panggul
setelah melahirkan dan memperhatikan kondisi ini lebih baik dalam perawatan dasar
panggul pasca persalinan.23
Hage-Fransen dkk, dalam penelitian mereka, menemukan bahwa inkontinensia
urin selama kehamilan, episiotomi, robekan pada persalinan pervaginam dengan
bantuan instrumen medis, dan konstipasi adalah faktor risiko untuk inkontinensia urin
pada masa pascamelahirkan. Adapun inkontinensia alvi selama kehamilan, usia ibu >
35 tahun, indeks massa tubuh prenatal > 30 kg/m2
, persalinan pervaginam dengan
bantuan instrumen medis, persalinan pervaginam spontan, augmentasi oksitosin, dan
berat bayi > 4000 g merupakan faktor risiko untuk inkontinensia alvi pada masa
pascamelahirkan.24
Inkontinensia Alvi
Dalam studi kohort prospektif besar pada wanita hamil atau baru melahirkan,
inkontinensia baik untuk flatus maupun tinja berkisar antara 6% hingga 25%.
Persalinan pervaginam dengan bantuan forceps, dan dalam beberapa kasus, vakum,
meningkatkan kemungkinan inkontinensia alvi pasca persalinan. Seperti yang dibahas
29
sebelumnya, episiotomi midline sangat terkait dengan cedera sfingter tetapi dalam
sebagian besar studi, tidak tampak menjadi faktor risiko independen untuk
inkontinensia alvi. Studi yang menilai prevalensi inkontinensia alvi pada berbagai
interval postpartum pada wanita dengan robekan sfingter yang diketahui menunjukkan
prevalensi inkontinensia flatus antara 17% hingga 59% dan inkontinensia tinja cair dan
padat antara 3% hingga 27%.5
Beberapa studi telah dirancang untuk memeriksa perbedaan inkontinensia alvi
setelah persalinan caesar dibandingkan dengan persalinan pervaginam, dan hasil studi
tersebut bersifat kontradiktif. Dalam studi prospektif oleh Fynes et al. (1998), dari 234
wanita yang menghadiri klinik antepartum di Dublin, tidak ada dari 34 wanita yang
menjalani persalinan caesar melaporkan inkontinensia alvi. Demikian pula,
Abramowitz et al. (2000) melaporkan bahwa dari 259 wanita yang melahirkan secara
berurutan di sebuah rumah sakit, tidak ada dari 31 yang melahirkan dengan caesar
melaporkan inkontinensia alvi dibandingkan dengan 13% pada wanita primipara yang
melahirkan pervaginam. Dalam studi prospektif besar oleh Chaliha et al. (1999), dari
549 wanita hamil nulipara, proporsi yang lebih besar dari wanita melaporkan urgensi
alvi setelah persalinan pervaginam dibandingkan dengan persalinan caesar (7,3%
versus 3,1%, secara berurutan). Dalam studi Childbirth and Pelvic Symptoms yang
diselesaikan oleh Pelvic Floor Disorders Network pada tahun 2006, 17% dari wanita
yang mengalami robekan sfingter mengalami inkontinensia alvi dibandingkan dengan
8% dari mereka yang melahirkan pervaginam tanpa keterlibatan sfingter yang jelas
(Borello-France et al., 2006). Menariknya, dalam kohort wanita yang melahirkan
dengan caesar, tingkat inkontinensia alvi tidak berbeda dengan kelompok persalinan
pervaginam, menunjukkan bahwa persalinan caesar tidak sepenuhnya melindungi
terhadap gejala inkontinensia alvi, bahkan jika cedera sfingter terhindarkan.25
Dampak tipe persalinan pada inkontinensia alvi cenderung menurun dengan
bertambahnya usia. Dalam sebuah studi retrospektif oleh Nygaard et al. (1997),
prevalensi melaporkan inkontinensia alvi 30 tahun setelah persalinan serupa, terlepas
dari jenis persalinan. Sebagian besar studi tidak memeriksa secara terpisah efek
robekan laceration tipe ketiga dibandingkan dengan tipe keempat terhadap kontrol usus
30
di masa mendatang. Dalam sebuah studi retrospektif di satu situs oleh Fenner et al.
(2003), 831 wanita (tingkat respons 29%) menyelesaikan kuesioner usus 6 bulan
setelah persalinan pertama mereka. Insiden kontrol usus yang buruk dibandingkan
sebelum kehamilan hampir 10 kali lebih besar pada wanita dengan laceration tipe
keempat (30,8%) dibandingkan dengan wanita dengan laceration tipe ketiga (3,6%).
Meskipun perbedaan ini mungkin disebabkan oleh partisipasi lebih banyak dari wanita
dengan gejala lebih parah, juga mungkin bahwa peningkatan insiden inkontinensia alvi
yang terkait dengan laceration tipe keempat disebabkan oleh hilangnya sebagian otot
sfingter anal internal. Studi lebih lanjut diperlukan mengenai peran sfingter anal
internal dalam kontinens, dan metode terbaik untuk memperbaiki otot ini pada saat
robekan.26
Meskipun sebagian inkontinensia alvi setelah disrupsi sfingter kemungkinan
terkait dengan kontrol neurologis yang terganggu dari kontinens, pemisahan otot yang
sudah diperbaiki juga dapat memainkan peran. Fitzpatrick et al. (2000) memeriksa 154
wanita 3 bulan setelah perbaikan primer pada disruption sfingter anal. Sepertiga dari
mereka memiliki bukti ultrasonografi dari cacat sfingter anal yang persisten, besar
(lebih besar dari satu kuadran); ini tidak dipengaruhi oleh apakah perbaikan dilakukan
secara end-to-end atau dengan tumpang tindih.5
Prolaps Organ Panggul
Defek dukungan organ panggul tampaknya terjadi selama kehamilan tetapi
sebelum persalinan. O'Boyle et al. (2002) menemukan bahwa wanita hamil nulligravid
lebih cenderung memiliki prolaps organ panggul daripada rekan-rekan nulliparous
mereka.27
Paritas meningkatkan risiko baik prolaps organ panggul maupun operasi untuk
prolaps organ panggul. Pada wanita yang berpartisipasi dalam Women's Health
Initiative, mereka yang telah melahirkan setidaknya satu anak memiliki dua kali lipat
kemungkinan mengalami prolaps uterus, rektokel, dan sistokel dibandingkan dengan
wanita nulliparous, setelah disesuaikan dengan usia, etnis, indeks massa tubuh, dan
faktor lainnya. Demikian pula, dalam studi terhadap 487 wanita Swedia, Samuelsson
31
et al. (1999) melaporkan bahwa 31% mengalami sejumlah derajat prolaps organ
panggul pada pemeriksaan; paritas dan usia meningkatkan risiko prolaps organ
panggul, setelah disesuaikan dengan variabel lainnya. 5
Dalam sebuah studi kohort Inggris yang dilakukan oleh Mant et al. (1997)
terhadap 17.000 wanita, paritas adalah variabel yang paling kuat terkait dengan operasi
untuk prolaps organ panggul. Risiko ini meningkat dengan setiap anak, tetapi laju
peningkatannya menurun setelah wanita melahirkan dua anak. Dalam sebuah studi
kasus-kontrol, Rinne dan Kirkinen (1999) menemukan bahwa wanita yang berusia
kurang dari 45 tahun yang menjalani operasi untuk prolaps organ panggul memiliki
lebih banyak persalinan dan bayi yang lebih berat dibandingkan dengan subjek kontrol
yang sebaya yang dioperasi karena tumor ovarium jinak.5
Dalam sebuah studi kohort terbaru dari Johns Hopkins di mana gangguan fungsi
panggul dibandingkan dengan rute persalinan, Handa et al. (2011) menunjukkan pada
wanita yang rata-rata telah melahirkan selama 7,4 tahun bahwa 13% dari wanita yang
melahirkan secara spontan mengalami prolaps pada pemeriksaan, tetapi hanya 3% dari
wanita yang sama memiliki gejala prolaps pada kuesioner yang divalidasi.
menunjukkan lebih banyak data untuk prolaps dan gangguan fungsi panggul lainnya.16
Fistula
Fistula vesikovaginal dan fistula rektovaginal adalah komplikasi yang dapat
timbul setelah persalinan yang sulit. Mayoritas fistula vesikovaginal obstetri terjadi di
dunia berkembang, sebagai hasil dari persalinan obstetri, tetapi juga dapat terjadi
setelah persalinan pervaginam maupun persalinan sesar (terutama pada persalinan sesar
ulang yang sulit) di dunia maju. Fistula rektovaginal paling sering terjadi setelah cedera
obstetri, umumnya ketika terjadi disrupsi sfingter anal, seperti pada laserasi tipe ketiga
atau keempat. 5
32
BAB 3
KESIMPULAN
1. Dasar panggul memiliki peran penting dalam dukungan tubuh, gerakan, dan
mekanisme persalinan. Pemahaman mendalam tentang anatomi dan perubahan
fisiologis dasar panggul pada wanita selama kehamilan menjadi krusial untuk
diagnosis, pengelolaan masalah kesehatan reproduksi, serta pemberian perawatan
yang sesuai selama kehamilan dan persalinan.
2. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan, seperti pertumbuhan janin
dan penyesuaian otot, merupakan respons tubuh yang kompleks. Pemahaman yang
baik terhadap perubahan ini memungkinkan pemberian perawatan dan dukungan
yang lebih baik selama perjalanan kehamilan, bertujuan untuk menjaga kesehatan
ibu dan janin.
3. Proses persalinan melibatkan adaptasi tubuh yang kompleks, termasuk relaksasi
dasar panggul selama dorongan untuk memfasilitasi penurunan kepala janin dalam
saluran persalinan. Namun, tidak semua wanita dapat merelaksasikan dasar
panggul mereka secara spontan, dan beberapa mengalami koaktivasi otot levator
ani, di mana kontraksi terjadi saat seharusnya terjadi relaksasi.
4. Metode persalinan dan dampak jangka panjangnya terus menjadi fokus penelitian.
Persalinan pervaginal dapat menyebabkan robekan perineum dan kerusakan
inervasi pada dasar panggul. Gangguan spesifik pada dasar panggul, seperti
inkontinensia urin, inkontinensia alvi, prolaps organ panggul, dan fistula, dapat
timbul sebagai dampak dari proses persalinan.
5. Studi menunjukkan bahwa faktor seperti paritas dan jenis persalinan dapat
mempengaruhi risiko gangguan dasar panggul. Oleh karena itu, perawatan dan
intervensi selama kehamilan dan persalinan, khususnya pada wanita dengan risiko
tinggi, dapat membantu mengurangi dampak negatif pada dasar panggul dan
meningkatkan kesejahteraan ibu.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffiths D, Rosier P, Ulmsten U, et al. The
standarisation of terminology of lower urinary tract function: report from the
standarisation sub-comitte of the international continence society. Am J Obstet
Gynecol 2002;187;167-78
2. Culligan PJ, Heit M. Urinary incontinence in woman: evaluation and management.
Am Fam Physician 2000;62:2433-44.
3. Anatomical detail of female pelvic anatomy. Adapted from Netter [2002]
4. Anatomy of the Pelvis in Obstetrics Kahkashan Jeelani
5. Walters, M. D., &amp; Karram, M. M. (2015). Urogynecology and reconstructive
pelvic surgery. Elsevier/Saunders.
6. Baggish, M. S., &amp; Karram, M. M. (2011). Atlas of Pelvic Anatomy and
Gynecologic Surgery. Elsevier.
7. Eickmeyer SM. Anatomy and physiology of the pelvic floor. Physical Medicine
and Rehabilitation Clinics. 2017 Aug 1;28(3):455-60.
8. Alperin M, Kaddis T, Pichika R, Esparza MC, Lieber RL. Pregnancy-induced
adaptations in intramuscular extracellular matrix of rat pelvic floor muscles.
American journal of obstetrics and gynecology. 2016 Aug 1;215(2):210-e1.
9. Nyhus MØ, Oversand SH, Salvesen Ø, Salvesen KÅ, Mathew S, Volløyhaug I.
Ultra-sound assessment of pelvic floor muscle contraction: reliability and
development of an ultrasound-based contraction scale. Ultrasound Obstet Gynecol
2020;55:125–31.
10. Youssef A, Brunelli E, Fiorentini M, Pilu G, Spelzini F. The role of the maternal
pelvic floor in vaginal delivery. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
2023 Jul 20.
11. Youssef A, Brunelli E, Fiorentini M, Pilu G, El-Balat A. The correlation between
levator ani co-activation and fetal head regression on maternal pushing at term. J
Matern Fetal Neonatal Med 2022;35:9654–60.
12. Youssef A, Brunelli E, Azzarone C, Di Donna G, Casadio P, Pilu G. Fetal head
34
pro-gression and regression on maternal pushing at term and labor outcome.
Ultrasound Obstet Gynecol 2021;58:105–10.
13. Salvesen KA, Mørkved S. Randomised controlled trial of pelvic floor muscle
training during pregnancy. BMJ 2004;329:378–80.
14. Phipps H, Charlton S, Dietz HP. Can ante-natal education influence how women
push in labour? Aust N Z J Obstet Gynaecol 2009;49: 274–8.
15. Nygaard I, Barber MD, Burgio KL, et al. Prevalence of symptomatic pelvic floor
disorders in US women. JAMA. 2008;300:1311.
16. Handa VL, Blomquist JL, McDermott KC, Friedman S, Muñoz A. Pelvic floor
disorders after vaginal birth: effect of episiotomy, perineal laceration, and
operative birth. Obstet Gynecol. 2012;119:233.
17. Dietz HP, Simpson JM. Levator trauma is associated with pelvic organ prolapse.
BJOG. 2008;115:979.
18. Lien KC, Mooney B, DeLancey JOL, et al. Levator ani muscle stretch induced by
simulated vaginal birth. Obstet Gynecol. 2004;103:31.
19. DeLancey JO, Morgan DM, Fenner DE, et al. Comparison of levator ani muscle
defects and function in women with and without pelvic organ prolapse. Obstet
Gynecol. 2007;109:295.
20. Pathi SD, Acevedo JF, Keller PW, et al. Recovery of the injured external anal
sphincter after injection of local or intravenous mesenchymal stem cells. Obstet
Gynecol. 2012;119:134.
21. Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, Hunskaar S. Urinary incontinence after
vaginal delivery or cesarean section. N Engl J Med. 2003;348:900.
22. Hannah ME, Hannah WJ, Hodnett ED, et al. Outcomes at 3 monthscafter planned
cesarean vs planned vaginal delivery for breech presentation at term: The
International Randomized Term Breech Trial. JAMA. 2002;287:1822.
23. Barca JA, Bravo C, Pintado-Recarte MP, Asúnsolo Á, Cueto-Hernández I, Ruiz-
Labarta J, Buján J, Ortega MA, De León-Luis JA. Pelvic floor morbidity following
vaginal delivery versus cesarean delivery: systematic review and meta-analysis.
Journal of Clinical Medicine. 2021 Apr 13;10(8):1652.
35
24. Hage-Fransen, M.A.H.; Wiezer, M.; Otto, A.; Wieffer-Platvoet, M.S.; Slotman,
M.H.; der Sanden, M.W.G.N.; Pool-Goudzwaard,A.L. Pregnancy- and obstetric-
related risk factors for urinary incontinence, fecal incontinence, or pelvic organ
prolapse later in life: A systematic review and meta-analysis. Acta Obstet.
Gynecol. Scand. 2021, 100, 373–382.
25. Borello-France D, Burgio KL, Richter HE, et al. Pelvic floor disorders network.
Fecal and urinary incontinence in primiparous women. Obstet Gynecol.
2006;108:863.
26. DE, Genberg B, Brahma P, et al. Fecal and urinary incontinence after vaginal
delivery with anal sphincter disruption in an obstetrics unit in the United States.
Am J Obstet Gynecol. 2003;189:1543.
27. O’Boyle AL, Woodman PL, O’Boyle JD, et al. Pelvic organ support in nulliparous
pregnant and non-pregnant women: a case control study. Am J Obstet Gynecol.
2002;187:99

More Related Content

Similar to SarPus Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul.docx

Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
Operator Warnet Vast Raha
 
Modul 1 kb 1 konsep dasar persalinan
Modul 1 kb 1   konsep dasar  persalinanModul 1 kb 1   konsep dasar  persalinan
Modul 1 kb 1 konsep dasar persalinan
pjj_kemenkes
 
Retensi urine
Retensi urineRetensi urine
Retensi urine
noriiaja
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Operator Warnet Vast Raha
 
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
Adeline Dlin
 
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docxASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
seuramoefoto
 

Similar to SarPus Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul.docx (20)

Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
Word tugas muskuloskeletal AKBID PARAMATA RAHA
 
Askeb persalinan
Askeb persalinanAskeb persalinan
Askeb persalinan
 
Hernia dan Hidrokel
Hernia dan HidrokelHernia dan Hidrokel
Hernia dan Hidrokel
 
materi bu hj anah rohanah nifas update (1).pptx
materi bu hj anah rohanah nifas update (1).pptxmateri bu hj anah rohanah nifas update (1).pptx
materi bu hj anah rohanah nifas update (1).pptx
 
RPS FKPNB FIKS.rtf.doc
RPS FKPNB FIKS.rtf.docRPS FKPNB FIKS.rtf.doc
RPS FKPNB FIKS.rtf.doc
 
Modul 1 kb 1 konsep dasar persalinan
Modul 1 kb 1   konsep dasar  persalinanModul 1 kb 1   konsep dasar  persalinan
Modul 1 kb 1 konsep dasar persalinan
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
 
Komplikasi persalinan
Komplikasi persalinanKomplikasi persalinan
Komplikasi persalinan
 
256898838 copy-of-askeb-bulin
256898838 copy-of-askeb-bulin256898838 copy-of-askeb-bulin
256898838 copy-of-askeb-bulin
 
LAPORAN PENDAHULUAN SC (SECTIO CAESARIA)
LAPORAN PENDAHULUAN SC (SECTIO CAESARIA)LAPORAN PENDAHULUAN SC (SECTIO CAESARIA)
LAPORAN PENDAHULUAN SC (SECTIO CAESARIA)
 
Retensi urine
Retensi urineRetensi urine
Retensi urine
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
 
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifasMakalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
Makalah perubahan fisiologis sistem reproduksi pada ibu nifas
 
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
Referat fisiologi menstruasi dan kehamilan (pembimbing : dr. Arie Widiyasa, s...
 
Fisiologi persalinan dan nifas normal
Fisiologi persalinan dan nifas normalFisiologi persalinan dan nifas normal
Fisiologi persalinan dan nifas normal
 
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docxASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
ASUHAN_KEPERAWATAN_IBU_BERSALIN.docx
 
120262739 anc-fisiologis
120262739 anc-fisiologis120262739 anc-fisiologis
120262739 anc-fisiologis
 
ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL TRIMESTER 3 NY. K DI PUSKESMAS .....
ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL TRIMESTER 3 NY. K DI PUSKESMAS .....ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL TRIMESTER 3 NY. K DI PUSKESMAS .....
ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL TRIMESTER 3 NY. K DI PUSKESMAS .....
 
ASUHAN PERSALINAN NORMAL DAN DISTOSIA BAHU WS CME 2015.pdf
ASUHAN PERSALINAN NORMAL DAN DISTOSIA BAHU WS CME 2015.pdfASUHAN PERSALINAN NORMAL DAN DISTOSIA BAHU WS CME 2015.pdf
ASUHAN PERSALINAN NORMAL DAN DISTOSIA BAHU WS CME 2015.pdf
 

Recently uploaded

Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
IvvatulAini
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
nabilafarahdiba95
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
JarzaniIsmail
 

Recently uploaded (20)

Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
 
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdfSalinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
Salinan dari JUrnal Refleksi Mingguan modul 1.3.pdf
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
PELAKSANAAN (dgn PT SBI) + Link2 Materi Pelatihan _"Teknik Perhitungan TKDN, ...
 
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
BAHAN PAPARAN UU DESA NOMOR 3 TAHUN 2024
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptxPPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
PPT MODUL 6 DAN 7 PDGK4105 KELOMPOK.pptx
 
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanProgram Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 

SarPus Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul.docx

  • 1. 1 Sari Pustaka EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN TERHADAP OTOT DASAR PANGGUL UNIVERSITAS ANDALAS Oleh: dr. Muhammad Al fath PESERTA PPDS OBGIN Pembimbing: dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp Urogin-Re PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG 2023
  • 2. 1 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG LEMBAR PENGESAHAN Nama : dr. Muhammad Al fath Semester : III Telah menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul: EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN TERHADAP OTOT DASAR PANGGUL Mengetahui/menyetujui Padang, 28-8-2023 Pembimbing Peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp.Urogin-Re dr. Muhammad Al fath Mengetahui KPS PPDS OBSGIN FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG Dr. dr. Defrin, Sp.OG. Subsp. K.Fm
  • 3. 2 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG LAPORAN HASIL PENILAIAN Nama : dr. Muhammad Al fath Semester : III Telah menyelesaikan Sari Pustaka dengan judul: EFEK KEHAMILAN DAN PERSALINAN TERHADAP OTOT DASAR PANGGUL Hasil Penilaian NO KRITERIA PENILAIAN NILAI KETERANGAN 1 Pengetahuan 2 Keterampilan 3 Attitude Padang, 28-8-2023 Mengetahui/Menyetujui Pembimbing dr. Yulia Margaretta Sari, Sp.O.G, Subsp.Urogin-Re
  • 4. 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI.................................................................................................................1 DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................2 DAFTAR TABEL........................................................................................................3 BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................4 1.1. Latar Belakang ...............................................................................................4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................6 2.1. Anatomi Dasar Panggul..................................................................................6 2.1.1. Ligamen...................................................................................................6 2.1.2. Otot..........................................................................................................8 2.2. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Hamil..................................12 2.3. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Bersalin...............................15 2.4. Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul ....................20 BAB 3 KESIMPULAN...............................................................................................32 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................33
  • 5. 2 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ligamen inguinal meregang di antara anterior superior iliak spine dan tuberkel pubis................................................................................................................6 Gambar 2. Tampak samping, terlihat membran obturator, serta ligamen sakrotuberous .......................................................................................................................................7 Gambar 3. Tampilan posterior yang digabungkan dengan tampilan outlet.................7 Gambar 4. Otot-otot (A) dasar panggul superfisial dan (B) dasar panggul dalam......9 Gambar 5. Otot obturator internus, piriformis, dan kokigeus terlihat dengan detail...9 Gambar 6. Otot besar obturator internus yang ditutupi oleh fasia obturator yang kuat membentuk dinding samping panggul ........................................................................10 Gambar 7. Tampilan ini menunjukkan otot levator ani yang utuh yang berasal dari sepanjang arcus tendineus.........................................................................................10 Gambar 8. Hubungan otot dasar panggul dan dinding samping serta perlekatan mereka dari tampilan abdominal..............................................................................................11 Gambar 9. Tampak depan levator ani berbentuk corong dan hubungannya dengan vulva dan otot-otot superfisial perineum. ...................................................................11 Gambar 10. Otot-otot yang membentuk dasar panggul ditunjukkan di sini..............12 Gambar 11. Manuver valsava berhubungan dengan relaksasi dasar panggul yang tepat .....................................................................................................................................18 Gambar 12. Manuver valsalva berhubungan dengan koaktivasi otot levator ani......19 Gambar 13. Efek simulasi penurunan kepala janin pada otot levator ani selama kala II persalinan. ...................................................................................................................23
  • 6. 3 DAFTAR TABEL Tabel 1. Otot dasar panggul, origo, insersi, persarafan dan fungsinya ........................8
  • 7. 4 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Melemahnya kekuatan otot dasar panggul dapat menyebabkan berbagai gejala yang mengganggu kualitas hidup dan merupakan masalah umum pada wanita dalam fungsi reproduksi, bukan hanya karena perubahan anatomi otot dasar panggul dalam kehamilan dan proses persalinan, namun juga karena trauma yang terjadi pada proses tersebut. Trauma dasar panggul selama persalinan sekarang diketahui sebagai faktor etiologi utama terhadap gangguan otot dasar panggul seperti inkontinensia urin, prolaps organ pelvis dan inkontinensia fetal.1 Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolapse organ genitourinaria, 40% akan disertai dengan inkontinensia urin dan sekitar 4,2% akan mengalami inkontinensia alvi. Evaluasi kekuatan otot dasar panggul merupakan parameter yang penting dalam pokok persoalan klinik dan ilmiah sehubungan dengan kelemahan dasar panggul.1 Beberapa penelitian klinis dan epidemiologis mengindikasikan bahwa wanita yang mengalami persalinan pervaginam memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stres inkontinensia urin dibandingkan nulipara dan wanita yang menjalani seksiosesarea. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan terjadinya kerusakan dasar panggul akibat proses persalinan pervaginam yang menyebabkan perubahan neurologik pada dasar panggul sehingga menimbulkan efek langsung pada konduksi nervus pudendus, mempengaruhi kontraksi vagina dan tekanan sfingter uretra serta stres inkontinensia urin post partum diperkirakan mungkin terjadi.2 Peschers menyatakan bahwa kekuatan otot dasar panggul terpengaruh segera setelah persalinan pervaginam dan akan kembali normal dalam waktu dua bulan. Pada primipara yang mengalami persalinan pervaginam didapati penurunan kekuatan otot dasar panggul sebesar 22% selama kehamilan dan 35% pada post partum. Mascharenhas T mengukur kekuatan otot dasar panggul dengan perineometri dan digital pada 66 primigravida antepartum, 6 minggu post partum dan 6 bulan post
  • 8. 5 partum dengan hasil terdapat penurunan kekuatan otot dasar panggul yang bermakna pada wanita yang melahirkan pervaginam dibanding seksiosesarea (p=0,049). Persalinan pervaginam juga merupakan faktor utama yang berkontribusi untuk terjadinya stres inkontinensia urin. Hal ini tidak hanya disebabkan karena kondisi kehamilan yang menyebaban perubahan mekanik dan hormonal, namun juga terjadi kerusakan jaringan otot dan persyarafan. Pada persalinan pervaginam terjadi regangan kuat pada saat proses persalinan yang mengakibatkan kelemahan dan kerusakan otot dasar panggul, sehingga menyebabkan berkurangnya tahanan tekanan sfingter uretra terhadap tekanan kandung kemih. Regangan kuat tersebut juga mengenai bladder neck, otot-otot sfingter uretra dan ligamentumnya. Beberapa faktor risiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian stres inkontinensia urin pada wanita post partum adalah usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, episiotomi, ruptur perineum spontan, lingkar kepala bayi, ekstraksi vakum atau forsep.2 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa melemahnya kekuatan otot dasar panggul akibat hamil dan persalinan dapat menyebabkan stres inkontinensia urin, namun penelitian mengenai rerata selisih kekuatan otot dasar pangul sebelum dan sesudah persalinan spontan terhadap stress inkontinensia urin masih belum ada sampai saat ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah persalinan spontan antara kelompok stress inkontinensia urin dengan kelompok normal.3
  • 9. 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Dasar Panggul Dasar panggul adalah area tubuh yang melibatkan sejumlah besar tulang, otot, organ, dan jaringan yang mendukung struktur panggul. Panggul merupakan bagian tubuh yang penting karena berperan dalam dukungan tubuh, gerakan, serta mekanisme persalinan. Pemahaman mengenai anatomi dasar panggul wanita penting untuk diagnosis dan pengelolaan masalah kesehatan reproduksi, serta untuk memberikan perawatan yang sesuai selama kehamilan dan persalinan.3 2.1.1. Ligamen Gambar 1. Ligamen inguinal meregang di antara anterior superior iliak spine dan tuberkel pubis. Dari tuberkel pubis, dipantulkan ligamen lakunar, yang membentuk batas medial kanal femoral. Ligamen Cooper adalah struktur kuat yang melekat pada garis iliopubik (lihat gambar kecil). Antara tulang iskial dan aspek lateral sakrum terdapat ligamen sakrospinosus. Ligamen ini juga membentuk foramen sakrosciatic yang lebih besar dan lebih kecil.6
  • 10. 7 Gambar 2. Tampak samping, terlihat membran obturator, serta ligamen sakrotuberous. Ligamen sakrotuberous dimulai dari tuberositas iskial dan berakhir pada tepi lateral sacrum.6 Gambar 3. Tampilan posterior yang digabungkan dengan tampilan outlet. Ligamen sakrotuberous dan ligamen sakrospinosus saling bersilangan.6
  • 11. 8 2.1.2. Otot Otot dasar panggul yang berada di permukaan terdiri dari otot bulbospongiosus, ischiocavernosus, dan otot perineum transversal yang dangkal dan dalam. Otot dasar panggul yang berada di dalam dinding panggul adalah levator ani dan koksi yang, bersama dengan fascia endopelvik, membentuk diafragma panggul. Levator ani terdiri dari 3 otot—puborectalis, pubococcygeus, dan iliococcygeus. Pubococcygeus terletak paling anterior. Itu berasal dari tulang pubis posterior dan bagian anterior dari arcus tendineus; ia menyisip pada ligamen anococcygeal dan koksi. Iliococcygeus adalah bagian posterior dari levator ani. Itu berasal dari bagian posterior arcus tendineus dan ischial spine serta melekat pada raphe anococcygeal dan koksi. Terakhir, puborectalis terletak di bawah pubococcygeus dan membentuk sling berbentuk U di sekitar rektum. Aksinya seperti sfingter menarik persimpangan anorektal ke depan, berkontribusi pada kontinens.7 Otot koksi berbentuk segitiga, memperkuat dasar panggul posterior dengan berasal dari ischial spine dan menyisipkan pada tulang sacral-coccygeal yang lebih rendah serta bersambung dengan ligamen sacrospinous. Perineal body atau tendon perineum pusat terletak antara vagina dan anus. Ini adalah tempat di mana otot dan sfingter panggul berkumpul untuk memberikan dukungan pada dasar panggul. Robekan entitas ini selama persalinan dapat menyebabkan prolaps organ panggul. 7 Tabel 1. Otot dasar panggul, origo, insersi, persarafan dan fungsinya7
  • 12. 9 Gambar 4. Otot-otot (A) dasar panggul superfisial dan (B) dasar panggul dalam.7 . Gambar 5. Ligamen telah dihilangkan. Tampilan dilakukan melalui outlet panggul. Otot obturator internus, piriformis, dan kokigeus terlihat dengan detail dan tajam.6
  • 13. 10 Gambar 6. Otot besar obturator internus yang ditutupi oleh fasia obturator yang kuat membentuk dinding samping panggul. Arcus tendineus, atau garis putih, dihasilkan oleh area tebal fasia obturator. Otot levator ani berasal dari arcus ini. Bagian yang dipotong dari levator ditunjukkan di sisi kanan pasien (sisi kiri pembaca). Levator kiri telah dihilangkan. Penutupan panggul dilengkapi oleh otot piriformis dan koksigeus.6 Gambar 7. Tampilan ini menunjukkan otot levator ani yang utuh yang berasal dari sepanjang arcus tendineus. Perhatikan ruang retropubik yang terbuka, bersama dengan tepi uretra dan vagina.6
  • 14. 11 Gambar 8. Hubungan otot dasar panggul dan dinding samping serta perlekatan mereka dari tampilan abdominal. Arcus tendineus fasciae pelvis telah dihapus di sebelah kiri, menunjukkan asal otot levator ani. Di sebelah kanan, arcus tendineus fasciae pelvis tetap utuh, menunjukkan lampiran vagina lateral melalui fascia endopelvik (dipotong).6 Gambar 9. Tampak depan levator ani berbentuk corong dan hubungannya dengan vulva dan otot-otot superfisial perineum. Levator ani sebagian berasal dari tepi inferior tulang pubis. Seniman telah menumpangkan arcus tendineus (garis putih putus-putus) ke otot obturator internus dan tulang pubis.6
  • 15. 12 Gambar 10. Otot-otot yang membentuk dasar panggul ditunjukkan di sini. Area krural terlihat jelas. Otot bulbocavernosus berada tepat di lateral ke dinding luar vagina. Ischiocavernosus terletak di sepanjang tepi ramus pubis. Di antara otot-otot ini terdapat struktur jaringan ikat yang kuat yang disebut membran perineum.6 2.2. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Hamil Perubahan fisiologis dasar panggul pada ibu hamil adalah respons kompleks tubuh terhadap kehamilan. Pemahaman yang mendalam tentang perubahan ini memungkinkan pemberian perawatan dan dukungan yang lebih baik selama perjalanan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan janin.7 Banyak perubahan muskuloskeletal terjadi selama kehamilan untuk menyesuaikan diri dengan pertumbuhan janin dan mempersiapkan tubuh wanita untuk persalinan. Selain peningkatan massa tubuh, otot perut memanjang, terjadi peningkatan lordosis lumbar, peningkatan kesejajaran panggul anterior, peningkatan kemiringan panggul, dan pusat gravitasi bergeser ke depan seiring pertumbuhan janin. Perubahan hormonal juga meningkatkan kekenduran sendi. Semua perubahan ini menyebabkan peningkatan permintaan pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor plantar pergelangan kaki, dan otot dasar panggul. 7
  • 16. 13 Interaksi antara otot dasar panggul dan jaringan ikat memberikan dukungan pada organ panggul. Sebagai hasil dari perubahan hormonal, terdapat adaptasi signifikan untuk mempersiapkan dasar panggul dan jalan lahir untuk persalinan. Bukti klinis dari hal ini telah diamati menggunakan sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP–Q) yang terstandardisasi. O'Boyle dkk. (2002) menemukan bahwa wanita hamil nulipara lebih cenderung memiliki prolaps organ panggul ringan dibandingkan dengan rekan nulligravid mereka.5 Konsisten dengan perubahan klinis yang dicatat sebelumnya, studi molekuler dan histologis jaringan vagina telah menunjukkan peningkatan jumlah material matriks ekstraseluler dalam lapisan fibromuskular. Kolagen menjadi kurang padat, dan sel otot polos berubah menjadi fenotip nonkontraktil (Daucher dkk., 2007). Akibat dari perubahan ini adalah peningkatan distensibilitas vagina, kemungkinan untuk memungkinkan peregangan genital selama persalinan (Alperin dkk., 2010).5 Kemunculan model mencit yang dirancang secara genetik (LOXL-1 dan FBN- 5) telah memberikan wawasan lebih lanjut untuk perubahan dalam homeostasis elastin selama kehamilan, dan potensi bahwa mekanisme yang bertanggung jawab atas regenerasi sifat elastis vagina dapat terganggu pada hewan-hewan yang mengalami prolaps serta gangguan dasar panggul lainnya pasca persalinan.5 Studi klinis menyediakan bukti yang cukup bahwa otot-otot rangka dasar panggul merupakan kontributor utama pada fungsi dasar panggul wanita yang baik. Defek dan disfungsi otot-otot rangka dasar panggul yang terdeteksi secara radiologis terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan terhadap gangguan dasar panggul, serta kambuhnya prolaps organ panggul setelah pengobatan bedah. Otot-otot rangka dasar panggul terdiri dari otot koksigeus dan kompleks otot levator ani; namun, sebagian besar penelitian yang diterbitkan menggunakan Otot-otot rangka dasar panggul dan otot levator ani secara bergantian dan tidak termasuk otot koksigeus.8 Persalinan diidentifikasi sebagai penyebab utama trauma pada Otot-otot rangka dasar panggul . Alasan untuk trauma, seperti yang disarankan oleh studi pemodelan dan pencitraan, adalah tegangan Otot-otot rangka dasar panggul yang berlebihan yang terjadi selama persalinan pervaginam. Menariknya, meskipun adanya prediksi ini,
  • 17. 14 banyak wanita yang telah melahirkan tidak mengalami cedera pada Otot-otot rangka dasar panggul . Oleh karena itu, kemungkinan besar, untuk mencapai tegangan ekstrafisiologis tanpa cedera, adaptasi yang diinduksi oleh kehamilan terjadi dalam otot-otot ini. Sebelumnya, kami menunjukkan bahwa Otot-otot rangka dasar panggul menyesuaikan arsitektur kontraktif mereka untuk meningkatkan ekskursi, atau rentang gerakan, sebagai persiapan untuk persalinan. Komponen otot rangka utama lainnya adalah jaringan matriks ekstraseluler, yang terdiri dari endomisium yang meliputi serat otot individu, perimisium yang menghubungkan serat-serat berdekatan dan melingkupi bundel otot dan fasikel, serta epimisium yang melapisi seluruh otot. Studi manusia dan hewan mengenai ligamen, simfisis pubis, serviks, dan jaringan ikat vagina menunjukkan perubahan dramatis dalam properti mekanik struktur ini selama kehamilan. Perubahan biokimia dan remodelasi jaringan matriks ekstraseluler diyakini berkontribusi pada penurunan kekakuan dan peningkatan distensibilitas jaringan ini, yang memudahkan proses persalinan janin dan melindungi dari cedera saat persalinan maternal.8 Secara keseluruhan, temuan ini mendukung bahwa adaptasi perlindungan yang diinduksi oleh kehamilan juga terjadi dalam jaringan matriks ekstraseluler otot-otot rangka dasar panggul . salah satu fungsi utama jaringan matriks ekstraseluler intramuskular adalah melindungi miofibril dari stres dan tekanan mekanik dengan meningkatkan tegangan pasif, yaitu tegangan yang dihasilkan ketika otot meregang secara independen dari aktivasi listrik otot. Dengan demikian, dihipotesiskan, berbeda dengan jaringan panggul lainnya, kekakuan Otot-otot rangka dasar panggul dapat meningkat selama kehamilan sebagai respons terhadap tuntutan mekanik yang meningkat, dan hal ini dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap cedera pada komponen kontraktif otot selama persalinan.8 Dengan adanya batasan etika yang jelas terkait pengadaan jumlah yang memadai dari jaringan otot dasar panggul manusia dari wanita hamil untuk melakukan studi semacam itu, digunakan model tikus untuk mengidentifikasi perubahan matriks ekstraseluler otot dasar panggul selama masa kehamilan. perbandingan parameter struktural otot dasar panggul antara manusia dan tikus menunjukkan kemiripan
  • 18. 15 arsitektur, menunjukkan bahwa keduanya memiliki desain fungsional yang serupa. Model tikus juga terbukti bermanfaat dalam banyak penelitian tentang perubahan terkait kehamilan pada struktur panggul lainnya. Selain itu, baru-baru ini dilaporkan bahwa ada adaptasi selama kehamilan pada miofibril Otot-otot rangka dasar panggul tikus, yang meningkatkan panjangnya dengan menambahkan sarkomer secara berurutan. Sebagai tambahan, penelitian ini secara utama berfokus pada sifat biomekanik otot dasar panggul jaringan matriks ekstraseluler untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai potensi perubahan fungsional otot-otot rangka dasar panggul manusia yang diinduksi oleh kehamilan dan patogenesis cedera Otot-otot rangka dasar panggul pada saat persalinan.8 Selama kehamilan, terjadi perubahan biokimia pada matriks ekstraseluler otot dasar panggul yang berpotensi menyebabkan perubahan pada sifat mekanik otot. Kehamilan menyebabkan perubahan yang signifikan dalam rasio isoform kolagen dan peningkatan elastin dalam jaringan ikat vagina.8 2.3. Perubahan Fisiologis Dasar Panggul pada Ibu Bersalin Perubahan fisiologis dasar panggul pada ibu saat bersalin adalah serangkaian adaptasi tubuh yang kompleks untuk memungkinkan kelahiran bayi.5 Gerakan dan adaptasi kompleks struktur panggul untuk memfasilitasi keluarnya bayi selama proses persalinan; 1. Kontak Awal: Saat kepala bayi menyentuh dasar panggul, segmen otot levator ani mulai bergerak dari belakang ke depan. 2. Dampak Otot: Otot ischiococcygeus pertama kali merasakan dampak, tetapi kepala seringkali didahului oleh cairan ketuban dan selaput, yang mentransfer sebagian besar tekanan ke bagian depan otot pubococcygeus. 3. Perubahan Posisi: Raphe anococcygeal didorong ke bawah sampai menjadi tegak. Otot ischiococcygeus berubah menjadi posisi tegak dan bertindak sebagai permukaan pembelokan untuk kepala yang turun. 4. Gerakan Kepala: Setelah mengatasi hambatan, kepala berpindah ke segmen pubococcygeus, meregangkannya ke arah anteroposterior dan perifer. Tubuh
  • 19. 16 perineum didorong ke bawah saat kepala bergerak sepanjang sumbu pintu bawah panggul. 5. Peregangan Jaringan: Serat-sekat septum rektovaginal direntangkan dan sering robek. Otot di sekitar pintu bawah panggul (bulbocavernosus, ischiocavernosus, transversus perinei, dan otot periurethral) melebar dan berubah menjadi tabung otot pendek sepanjang sumbu pintu bawah panggul. 6. Adaptasi Akhir: Saat diameter biparietal kepala bayi mencapai diameter transversal pintu bawah panggul, saluran uterus-vagina menjadi celah yang kontinu. Ligamen lateral serviks uteri (fascia endopelvik) menjadi datar di sekelilingnya dan meregang secara vertikal. Vagina melebar secara sferis, dan diafragma panggul berubah dari posisi miring menjadi posisi tegak. Otot levator ani memiliki fungsi yang kompleks. Hal ini termasuk kemampuan untuk menjaga tonus istirahat, kemampuan untuk berkontraksi, dan kemampuan untuk relaksasi. Meskipun kontraksi dasar panggul biasanya mengurangi dimensi levator hiatal, melakukan maneuver Valsalva dengan baik terkait dengan peningkatan dimensi levator hiatal, yang mencerminkan distensibilitas dasar panggul dan relaksasi otot levator ani yang adekuat.9 Selama proses persalinan, relaksasi dasar panggul saat melakukan dorongan memungkinkan peningkatan dimensi levator hiatal, menciptakan lebih banyak ruang, dan mengurangi resistensi terhadap penurunan kepala janin dalam saluran persalinan. Meskipun demikian, tidak semua wanita secara spontan dapat merelaksasikan dasar panggul mereka selama dorongan. Beberapa wanita justru melakukan kontraksi, bukan relaksasi, pada otot dasar panggul saat melakukan maneuver Valsalva. Fenomena ini dikenal sebagai koaktivasi otot levator ani.10 Koaktivasi otot levator ani terjadi ketika diameter anteroposterior pada dorongan maksimal lebih kecil dibandingkan dengan diameter istirahat. Meskipun koaktivasi lebih umum terjadi pada wanita dengan dasar panggul yang hipertonik akibat nyeri panggul kronis, seperti pada kasus endometriosis infiltratif, koaktivasi juga dapat ditemukan pada wanita sehat. Dalam studi oleh Ornö, 22 dari 50 wanita nulipara
  • 20. 17 pada usia kehamilan 36-38 minggu menunjukkan adanya koaktivasi otot levator ani pada evaluasi pertama mereka.10 Penulis menggunakan edukasi dan umpan balik visual ultrasonografi untuk membantu wanita mengembangkan cara dorongan yang memadai. Ini melibatkan panduan kepada wanita untuk menghindari kontraksi levator selama dorongan, dengan menunjukkan perubahan pada kedua bidang midsagital dan aksial pada monitor ultrasonografi. Hasil dari pendekatan ini menunjukkan efisiensi dalam koreksi koaktivasi pada sebagian wanita, sementara sebagian lainnya (11 wanita) tetap mengalami koaktivasi otot levator yang persisten.10 Namun, studi ini tidak mengevaluasi korelasi antara koaktivasi dan hasil persalinan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai hubungan antara koaktivasi otot levator ani dan hasil persalinan. Koaktivasi otot levator ani yang persisten pada wanita nulipara yang didiagnosis menjelang persalinan terkait dengan tahap kedua persalinan yang lebih lama dan tahap kedua persalinan yang aktif. Dalam studi pada wanita yang menjalani persalinan vakum, penulis menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, kepala janin tidak berkembang atau bahkan mundur selama dorongan. Penulis berspekulasi bahwa koaktivasi otot levator ani mungkin menjadi penjelasan dalam kasus-kasus tersebut.10 Studi terbaru oleh Youssef et al. mengevaluasi hubungan antara mundurnya kepala janin selama dorongan maternal dan koaktivasi otot levator ani pada wanita nulipara menjelang persalinan. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua fenomena ini jarang terjadi bersamaan, menunjukkan bahwa koaktivasi otot levator ani dan mundurnya kepala janin adalah dua fenomena yang berbeda. Namun, hubungan antara kedua fenomena ini selama persalinan masih perlu dinilai lebih lanjut.11 Posisi dan penurunan kepala janin dalam jalan lahir dapat diukur secara dapat diandalkan melalui ultrasonografi. Beberapa parameter ultrasonografi transperineal telah diusulkan untuk mengevaluasi posisi kepala janin. Ini termasuk di antaranya jarak progresi kepala janin, sudut progresi, jarak kepala janin-perineum, arah kepala janin, dan jarak kepala janin-sinfisis. Stasiun kepala yang lebih rendah, seperti yang diukur oleh ultrasonografi transperineal baik sebelum maupun selama persalinan, berkorelasi
  • 21. 18 kuat dengan keberhasilan persalinan pervaginam. Sudut progresi adalah parameter ultrasonografi transperineal yang paling sering digunakan. Ini adalah sudut antara garis yang melewati sumbu panjang simfisis pubis dan garis lain yang melewati tepi paling bawah simfisis pubis dan menyentuh bagian paling terlibat dari tengkorak janin. Semakin lebar sudut progresi, semakin terlibat kepala janin. Menariknya, Youssef et al. menunjukkan bahwa dimensi lantai panggul yang lebih kecil dan koaktivasi otot levator ani pada usia kehamilan menjelang persalinan sebelum persalinan berkaitan dengan stasiun kepala janin yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh sudut progresi yang lebih sempit.11 Gambar 11. Manuver valsava berhubungan dengan relaksasi dasar panggul yang tepat. Fenomena tersebut dapat ditunjukkan dengan meningkatnya diameter anteroposterior hiatus levator pada gambar USG 2 dimensi dari keadaan istirahat (A) ke manuver Valsava (B), peningkatan luas area hiatus pada rekonstruksi USG 4 dimensi dari keadaan istirahat (C) ke Valsava. manuver (D) dan ilustrasi grafis (E dan F).10
  • 22. 19 Gambar 12. Manuver valsalva berhubungan dengan koaktivasi otot levator ani. Fenomena tersebut dapat ditunjukkan dengan berkurangnya diameter anteroposterior hiatus levator pada gambar USG 2 dimensi dan 4 dimensi dari keadaan diam (A dan C) menjadi manuver Valsava (B dan D) dan pada ilustrasi grafis (E dan F).10 Studi ultrasonografi menunjukkan bahwa lantai panggul memainkan peran kunci dalam persalinan. Selain itu, ultrasonografi transperineal memiliki potensi untuk meningkatkan hasil persalinan dengan membantu wanita untuk lebih baik merelaksasikan lantai panggul mereka. Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa pelatihan, fisioterapi, dan umpan balik visual ultrasonografi dapat menyebabkan peningkatan relaksasi lantai panggul pada wanita nonhamil dengan hipertonus lantai panggul. Umpan balik visual ultrasonografi memanfaatkan visualisasi perubahan dinamis lantai panggul wanita untuk membantu mereka mengoptimalkan baik kontraksi maupun relaksasi saat mendorong. Hal ini dapat menghasilkan peningkatan dimensi levator hiatal dan penenggelaman kepala janin yang lebih besar pada usia kehamilan dan persalinan.12 Hasil dari studi yang menilai manfaat klinis dari edukasi lantai panggul prenatal terhadap hasil persalinan kontradiktif. Salvesen dan Mørkved menunjukkan bahwa wanita yang menjalani program pelatihan lantai panggul terstruktur memiliki tahap
  • 23. 20 kedua persalinan yang lebih pendek. Sebaliknya, Phipps et al. tidak menunjukkan manfaat klinis pada wanita yang menjalani edukasi prenatal dengan mengamati perineum dan pemeriksaan vagina. Hasil yang tidak jelas juga ditunjukkan pada umpan balik visual di tahap kedua persalinan, yang juga didefinisikan sebagai pelatihan ultrasonografi intrapartum. Menurut pandangan penulis, alasan utama untuk hasil yang konflik atau tidak jelas adalah inklusi populasi tanpa pemilihan. Kami berpendapat bahwa sebagian besar wanita tidak memerlukan pelatihan khusus untuk mendorong dengan efisien. Setiap intervensi, termasuk wanita yang secara alami mendorong dengan baik dan spontan, tidak mungkin menemukan manfaat dari intervensi tersebut. Intervensi prenatal dan intrapartum yang bertujuan untuk mengoptimalkan dorongan maternal seharusnya lebih dulu diselidiki pada wanita dengan relaksasi lantai panggul yang buruk atau teknik dorongan yang kurang baik. Kami percaya bahwa ultrasonografi transperineal dapat menjadi pemilihan yang sangat berguna, yang dapat mengidentifikasi wanita yang mungkin mendapat manfaat lebih banyak dari tindakan korektif apa pun (misalnya, wanita dengan koaktivasi otot levator ani atau wanita dengan penurunan kepala yang minimal atau tidak ada saat dorongan).13,14 2.4. Efek Kehamilan dan Persalinan terhadap Otot Dasar Panggul Dampak dari metode persalinan dan efek yang timbul pada kesehatan panggul jangka panjang terus diteliti. Selain berpotensi menyebabkan robekan perineum, proses persalinan pervaginal telah diindikasikan sebagai penyebab kerusakan inervasi pada dasar panggul. Cedera kompresi atau peregangan yang terjadi selama persalinan menyebabkan neuropati pada saraf pudendal, yang dapat mengakibatkan inkontinensia urin dan anorektal serta prolaps organ panggul. Persalinan dapat menyebabkan atau memperburuk hipertonisitas dasar panggul yang sudah ada sebelumnya atau titik pemicu. Spasme yang diinduksi oleh kontraksi otot dapat menyebabkan referred pain atau gejala iritatif sepanjang jalur saraf pudendal dan struktur yang berdekatan. Karena saraf pudendal mengatur beberapa jalur refleks dari respons seksual wanita yang melekat, kerusakan ini dapat menyebabkan penyebab fisiologis disfungsi seksual pada wanita.5
  • 24. 21 Mungkin sebagai akibat dari peningkatan tekanan abdominal dan/atau perubahan jaringan ikat, kehamilan sendiri telah terbukti menjadi faktor risiko gangguan dasar panggul. Namun, faktor utama pemicu gangguan dasar panggul pada wanita yang telah melahirkan kemungkinan besar adalah persalinan. Nygaard dkk. (2008) melaporkan bahwa proporsi wanita yang melaporkan setidaknya satu gangguan dasar panggul meningkat secara bertahap dengan paritas: 12,8%, 18,4%, 24,6%, dan 32,4% untuk 0, 1, 2, dan 3 atau lebih persalinan, masing-masing (P < 0,001).15 Untuk lebih mengevaluasi hubungan antara gangguan dasar panggul dan mode persalinan, Handa dkk. (2012) melakukan studi kohort longitudinal yang mengikuti wanita selama 5 hingga 10 tahun setelah persalinan pertama. Dibandingkan dengan persalinan sesar sebelum inpartu, persalinan pervaginal spontan terkait dengan kemungkinan lebih tinggi dari stres inkontinensia (OR 2,9 (95% CI, 1,5-5,5)) dan prolaps di atau melebihi hymen (OR 5,6 (95% CI, 2,2-14,7)). Persalinan pervaginal operatif dan robekan perineum juga terkait dengan gangguan dasar panggul. Borello- France dkk. (2006) melaporkan bahwa wanita dengan cedera sfingter anal setelah persalinan pervaginal memiliki dua kali lipat kemungkinan melaporkan inkontinensia fecal postpartum dibandingkan dengan wanita tanpa robekan sfingter.16 Tentang mekanisme potensial cedera setelah persalinan pervaginal, DeLancey dkk. (2007) menemukan bahwa wanita dengan prolaps memiliki cacat lebih sering pada otot levator ani dan menghasilkan kekuatan penutupan vagina yang lebih rendah selama kontraksi maksimal dibandingkan dengan kontrol. Dalam sebuah studi menggunakan ultrasonografi translabial 4D dan pemeriksaan panggul, ditemukan bahwa wanita dengan cacat avulsi levator ani memiliki risiko peningkatan prolaps organ panggul grade II atau lebih tinggi (Dietz dkk., 2008). Asosiasi ini paling kuat untuk sistocele (RR 2,3, 95% CI, 2,0-2,7) dan prolaps uterus (RR 4,0, 95% CI, 2,5- 6,5).17 Cedera Otot Lien dkk. (2004) menggunakan teknik pencitraan dan teknik rekayasa yang canggih untuk mengembangkan model biomekanik guna menjelaskan perubahan pada otot levator ani saat kepala janin turun melalui vagina. Otot medial pubococcygeus
  • 25. 22 mencapai rasio peregangan yang mengesankan (didefinisikan sebagai panjang jaringan yang ditarik / panjang jaringan asli) sebesar 3,26. Menurut para penulis, ini melebihi rasio peregangan terbesar (1,5) yang terjadi pada otot polos pasif wanita nonhamil sebesar 217%. Memperbesar diameter kepala janin sebesar 9% meningkatkan peregangan otot medial pubococcygeus dengan proporsi yang sama. Model ini menunjukkan bahwa otot medial kompleks levator ani memiliki risiko cedera paling tinggi dari semua otot levator ani selama kala II persalinan. Asumsi ini didukung oleh pencitraan resonansi magnetic dan penelitian ultrasound tiga dimensi/empat dimensi yang mengungkapkan kelainan pada area ini pada 20% hingga 36% wanita primipara setelah persalinan pervaginam.18 Bukti ini, termasuk observasi yang begitu baik oleh Power, bukanlah konsekuensi yang mengejutkan dari kehamilan dan persalinan. Tetapi mengapa beberapa wanita kemudian mengalami prolap atau inkontinensia sedangkan yang lain tidak bergejala? Baru-baru ini telah didemonstrasikan bahwa wanita dengan gangguan dasar panggul lebih mungkin memiliki cedera levator ani yang terbukti didapat setelah persalinan — tentu saja, bukti yang sangat kuat menentang cedera terhadap struktur penting ini.19 Beberapa jawaban tentang mengapa beberapa wanita mengembangkan gangguan dasar panggul dan yang lainnya tidak mungkin juga dapat diberikan melalui pelajaran yang dipelajari dari model knockout pada tikus. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa beberapa galur tikus kekurangan protein yang bertanggung jawab atas sintesis dan homeostasis kolagen dan elastin. Beberapa galur ini akan mengembangkan prolap secara spontan, seperti pada tikus knockout fibulin-5 (Wieslander et al., 2006). Namun, yang lain, seperti tikus knockout LOXL-1 (Liu et al., 2006), sering memerlukan peristiwa pemicu traumatis seperti persalinan pervaginam untuk menunjukkan fenotipe prolap. Kekurangan dalam homeostasis jaringan ikat dapat memperparah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh cedera yang terjadi selama persalinan karena ketidakmampuan untuk memperbaiki pasca persalinan. Kebutuhan akan perbaikan dan regenerasi yang efektif kemungkinan berlaku untuk cedera pada sistem otot dan saraf yang terjadi setelah kehamilan dan
  • 26. 23 persalinan, yang menimbulkan minat yang signifikan dalam menggunakan sel punca untuk membantu dalam regenerasi tersebut.20 Gambar 13. Efek simulasi penurunan kepala janin pada otot levator ani selama kala II persalinan. (Atas, kiri) Tampak samping kiri menunjukkan kepala janin (bulat) yang terletak posterior dan inferior terhadap simfisis pubis (PS) di depan sakrum (S). Lima gambar pada sisi kiri menunjukkan kepala janin saat menurun 1,1, 2,9, 4,7, 7,9, dan 9,9 cm di bawah spine iskial saat kepala melewati kurva Carus (ditunjukkan oleh tabung transparan, abu-abu, melengkung). Lima gambar pada sisi kanan adalah pandangan
  • 27. 24 depan kiri, tiga perempat sesuai dengan yang ditunjukkan di sisi kiri. (Courtecy, Biomechanics Research Lab, University of Michigan, Ann Arbor, MI. Dicetak ulang dengan izin dari Lien K, Mooney B, DeLancey JO, Ashton–Miller JA. Levator ani muscle stretch induced by simulated vaginal birth. Obstet Gynecol 2004; 103:31.).5 Dampak Persalinan pada Gangguan Spesifik pada Dasar Panggul Kehamilan dan persalinan menyebabkan perubahan anatomi dan fisiologi yang signifikan. Sebagian besar temuan ini diyakini berkaitan dengan onset gangguan pada dasar panggul (Pelvic Floor Disorders, PFDs), baik secara langsung setelah persalinan atau bertahun-tahun kemudian. Berikut beberapa bukti tentang bagaimana persalinan, dan metode persalinan, memengaruhi risiko mengembangkan tanda atau gejala gangguan ini.5 Inkontinensia Urin Dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional tahun 2005 hingga 2006 yang melibatkan komunitas besar, 1961 wanita melaporkan gangguan dasar panggul 6,5% dari wanita nullipara mengalami inkontinensia urin, tetapi hampir 24% dari wanita yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mengalaminya. Terdapat hubungan positif yang jelas antara paritas dan peningkatan prevalensi inkontinensia urin. Wanita yang sedang hamil dan belum pernah hamil atau melahirkan sebelumnya lebih sering mengalami inkontinensia urin dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil dan belum pernah melahirkan. Bahkan, banyak penelitian lintas-seksi menunjukkan bahwa 25% hingga 75% wanita melaporkan gejala stress urinary incontinence selama kehamilan. Dalam salah satu studi prospektif dengan pemantauan jangka panjang yang terbatas, Viktrup et al. (1992) menemukan bahwa 32% dari 305 primipara mengembangkan stres inkontinensia urin selama kehamilan dan 7% setelah persalinan. Namun, setahun setelah melahirkan, hanya 3% yang masih mengalami stres inkontinensia urin . namun, dalam tindak lanjut berikutnya pada wanita yang sama 5 tahun kemudian, Viktrup dan Lose (2001) melaporkan bahwa 19% dari wanita yang awalnya tanpa gejala setelah persalinan pertama mengalami stres inkontinensia urin ; dari wanita yang mengalami stres inkontinensia urin 3 bulan setelah persalinan (sebagian besar di antaranya sudah sembuh pada tahun ke-1), 92% masih mengalami stres inkontinensia urin 5 tahun kemudian. Dalam studi kohort prospektif terhadap 523
  • 28. 25 wanita, Burgio et al. (2003) melaporkan bahwa 13% melaporkan inkontinensia urin pada 12 bulan postpartum. Angka ini mirip dengan pada 3 bulan postpartum, tetapi untuk sebagian besar wanita, tingkat dan frekuensi inkontinensia urin berkurang setahun kemudian. Inkontinensia antepartum sangat memprediksi inkontinensia postpartum. dengan demikian, gejala stres inkontinensia urin muncul sebagai konsekuensi alami dari kehamilan dan persalinan, dan umumnya menghilang atau menurun keparahannya setelahnya. Namun, inkontinensia postpartum yang bersifat sementara mungkin merupakan penanda bagi inkontinensia yang persisten di masa depan.5 Apakah kehamilan itu sendiri atau persalinan pervaginam adalah faktor risiko untuk mengembangkan inkontinensia urin pada sebagian besar wanita masih belum jelas. Terutama pada wanita muda, persalinan pervaginam meningkatkan risiko hampir dua kali lipat untuk mengalami inkontinensia urin, setelah disesuaikan dengan penyebab potensial lainnya. Meskipun inkontinensia urin sesekali umum terjadi tetapi seringkali tidak mengganggu; oleh karena itu, lebih tepat untuk menilai dampak persalinan pervaginam pada inkontinensia urin yang lebih signifikan secara klinis.5 Kehamilan dan persalinan pervaginam dapat meningkatkan risiko inkontinensia urin pada wanita. Proses kehamilan dapat menyebabkan stres pada otot panggul dan jaringan di sekitar kandung kemih, sementara persalinan dapat menyebabkan cedera pada otot dan saraf panggul. Perubahan hormonal dan tekanan tambahan pada kandung kemih akibat peningkatan berat badan selama kehamilan juga berkontribusi terhadap risiko ini. Meskipun tidak semua wanita mengalami inkontinensia urin setelah kehamilan atau persalinan, faktor-faktor seperti keturunan, umur, dan gaya hidup juga dapat memainkan peran dalam risiko ini. Pencegahan dan perawatan, termasuk latihan otot panggul dan manajemen berat badan, dapat membantu mengatasi atau mengurangi risiko inkontinensia urin.5 Dalam studi berbasis populasi besar di Norwegia, Rortveit et al. (2003) menemukan bahwa wanita yang melahirkan pervaginam memiliki risiko 2,2 kali lipat lebih tinggi mengalami inkontinensia urin sedang atau berat dibandingkan dengan mereka yang melahirkan sepenuhnya dengan operasi caesar (setelah disesuaikan
  • 29. 26 dengan faktor risiko lainnya). Mereka menyimpulkan bahwa risiko wanita mengalami inkontinensia sedang atau berat akan berkurang, dari sekitar 10% menjadi sekitar 5%, jika semua anaknya dilahirkan melalui operasi caesar. Dalam survei lintas-seksi pada wanita 5 hingga 10 tahun setelah persalinan pertama, Handa et al. (2011) melaporkan bahwa 7% dari wanita yang menjalani operasi caesar mengalami inkontinensia, sedangkan 14% dari mereka yang melahirkan pervaginam saja mengalami inkontinensia. Dalam studi kohort prospektif oleh Yip et al. (2003), di mana wanita dipantau selama 4 tahun setelah persalinan pervaginam pertama, angka stres inkontinensia urin (yang didefinisikan sebagai dua episode atau lebih inkontinensia yang terjadi dalam sebulan terakhir) adalah 21,1% pada mereka yang memiliki dan 28,6% pada mereka yang tidak memiliki persalinan berikutnya. Dengan demikian, satu persalinan interval tidak meningkatkan risiko stres inkontinensia urin jangka pendek. meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan antara persalinan pervaginam dan inkontinensia urin pada wanita muda, dua fakta layak mendapat perhatian karena membantu membuka diskusi mengenai peran persalinan caesar "profilaksis". Pertama, dalam penelitian ini, beberapa wanita yang hanya melahirkan melalui operasi caesar juga mengalami inkontinensia sedang atau berat. Kedua, efek perlindungan dari persalinan caesar dan nulliparitas terhadap inkontinensia urin menurun seiring bertambahnya usia, sehingga wanita yang lebih tua memiliki tingkat inkontinensia urin yang sama terlepas dari status persalinannya.16,21 Bukti yang bertentangan ada mengenai peran variabel obstetrik lainnya (selain persalinan pervaginam) dalam perkembangan stres inkontinensia urin . meskipun beberapa studi melaporkan lebih banyak stres inkontinensia urin dengan tahap kedua yang berkepanjangan, lingkar kepala janin yang lebih besar, berat badan lahir yang lebih besar, anestesi epidural, dan penggunaan oksitosin, yang lain tidak melakukannya. Dalam uji klinis acak prospektif, episiotomi tidak melindungi wanita dari perkembangan stres inkontinensia urin setelah persalinan. Episiotomi juga tidak tampak memengaruhi periode laten saraf perineum, tekanan sfingter uretra, atau kekuatan otot panggul.5
  • 30. 27 Sebuah uji klinis acak yang menilai perbedaan gejala dasar panggul setelah persalinan caesar elektif yang direncanakan atau persalinan pervaginam yang direncanakan, yang dilakukan oleh Hannah et al. (2002). Kuesioner diisi oleh 1596 wanita dari 110 pusat di seluruh dunia 3 bulan postpartum. Meskipun kesimpulan terbatas oleh jumlah besar wanita dalam kelompok persalinan pervaginam yang seharusnya, tetapi melahirkan melalui operasi caesar direncanakan memberikan hasil menarik dalam jangka pendek. Wanita dalam kelompok persalinan caesar yang direncanakan melaporkan lebih sedikit inkontinensia urin dibandingkan dengan mereka dalam kelompok persalinan pervaginam yang direncanakan (4,5% versus 7,3%; RR, 0,62; CI 95%, 0,41-0,93). Hasil lainnya tidak berbeda. Tingkat inkontinensia yang lebih rendah dalam penelitian ini, dibandingkan dengan yang lain yang menilai inkontinensia urin postpartum, mungkin karena wanita ditanya tentang gejala inkontinensia urin hanya selama seminggu sebelum mengisi kuesioner. Selain itu, wanita dari negara-negara yang berbeda mungkin menafsirkan kuesioner gejala dengan cara yang berbeda.22 Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Barca JA dkk tentang morbiditas dasar panggul setelah persalinan pervaginam versus persalinan sesar menyimpulkan bahwa jenis persalinan memiliki dampak langsung pada morbiditas dasar panggul. Meta-analisis yang dilakukan menghasilkan rasio heterogenitas yang dapat diterima, mendukung kesimpulan tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa persalinan pervaginam berkaitan dengan komplikasi yang signifikan dan dampak morbiditas yang lebih besar dibandingkan dengan persalinan caesar.23 Studi ini menekankan pentingnya mempertimbangkan peristiwa morbiditas berdasarkan jenis persalinan, dengan membedakan antara persalinan pervaginam dan persalinan pervaginam dengan bantuan instrumen medis. Penelitian mendukung perlunya fokus pada pengidentifikasian dan korelasi peristiwa morbiditas dalam konteks persalinan pervaginam.23 Secara ringkas, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan langsung antara persalinan pervaginam dan munculnya patologi dasar panggul, terutama prolaps organ panggul, inkontinensia urin, dan inkontinensia alvi. Meskipun kejadian inkontinensia
  • 31. 28 urin pasca persalinan lebih tinggi pada persalinan pervaginam (27.9%), prolaps organ panggul menunjukkan risiko lebih tinggi (OR = 3.28) dibandingkan dengan inkontinensia urin pada persalinan caesar.23 Studi ini menyarankan untuk mempertimbangkan risiko prolaps organ panggul pasca persalinan pervaginam dan menekankan perlunya pengendalian dan pengobatan pada tahap awal selama periode pasca persalinan. Studi selanjutnya, terutama uji acak, diperlukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pengetahuan gangguan dasar panggul. Studi mendesak agar fokus penelitian mendatang mencakup determinan multifaktorial, seperti membedakan jenis persalinan pervaginam, dengan atau tanpa bantuan instrumen medis, dan mengidentifikasi kasus-kasus di mana peristiwa morbiditas dasar panggul (inkontinensia urin, prolaps organ panggul, inkontinensia alvi) terjadi, guna dapat mengaitkan setiap jenis persalinan pervaginam dengan patologi yang terkait. Pengetahuan tentang topik ini membantu dokter menemukan strategi efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya prolaps organ panggul setelah melahirkan dan memperhatikan kondisi ini lebih baik dalam perawatan dasar panggul pasca persalinan.23 Hage-Fransen dkk, dalam penelitian mereka, menemukan bahwa inkontinensia urin selama kehamilan, episiotomi, robekan pada persalinan pervaginam dengan bantuan instrumen medis, dan konstipasi adalah faktor risiko untuk inkontinensia urin pada masa pascamelahirkan. Adapun inkontinensia alvi selama kehamilan, usia ibu > 35 tahun, indeks massa tubuh prenatal > 30 kg/m2 , persalinan pervaginam dengan bantuan instrumen medis, persalinan pervaginam spontan, augmentasi oksitosin, dan berat bayi > 4000 g merupakan faktor risiko untuk inkontinensia alvi pada masa pascamelahirkan.24 Inkontinensia Alvi Dalam studi kohort prospektif besar pada wanita hamil atau baru melahirkan, inkontinensia baik untuk flatus maupun tinja berkisar antara 6% hingga 25%. Persalinan pervaginam dengan bantuan forceps, dan dalam beberapa kasus, vakum, meningkatkan kemungkinan inkontinensia alvi pasca persalinan. Seperti yang dibahas
  • 32. 29 sebelumnya, episiotomi midline sangat terkait dengan cedera sfingter tetapi dalam sebagian besar studi, tidak tampak menjadi faktor risiko independen untuk inkontinensia alvi. Studi yang menilai prevalensi inkontinensia alvi pada berbagai interval postpartum pada wanita dengan robekan sfingter yang diketahui menunjukkan prevalensi inkontinensia flatus antara 17% hingga 59% dan inkontinensia tinja cair dan padat antara 3% hingga 27%.5 Beberapa studi telah dirancang untuk memeriksa perbedaan inkontinensia alvi setelah persalinan caesar dibandingkan dengan persalinan pervaginam, dan hasil studi tersebut bersifat kontradiktif. Dalam studi prospektif oleh Fynes et al. (1998), dari 234 wanita yang menghadiri klinik antepartum di Dublin, tidak ada dari 34 wanita yang menjalani persalinan caesar melaporkan inkontinensia alvi. Demikian pula, Abramowitz et al. (2000) melaporkan bahwa dari 259 wanita yang melahirkan secara berurutan di sebuah rumah sakit, tidak ada dari 31 yang melahirkan dengan caesar melaporkan inkontinensia alvi dibandingkan dengan 13% pada wanita primipara yang melahirkan pervaginam. Dalam studi prospektif besar oleh Chaliha et al. (1999), dari 549 wanita hamil nulipara, proporsi yang lebih besar dari wanita melaporkan urgensi alvi setelah persalinan pervaginam dibandingkan dengan persalinan caesar (7,3% versus 3,1%, secara berurutan). Dalam studi Childbirth and Pelvic Symptoms yang diselesaikan oleh Pelvic Floor Disorders Network pada tahun 2006, 17% dari wanita yang mengalami robekan sfingter mengalami inkontinensia alvi dibandingkan dengan 8% dari mereka yang melahirkan pervaginam tanpa keterlibatan sfingter yang jelas (Borello-France et al., 2006). Menariknya, dalam kohort wanita yang melahirkan dengan caesar, tingkat inkontinensia alvi tidak berbeda dengan kelompok persalinan pervaginam, menunjukkan bahwa persalinan caesar tidak sepenuhnya melindungi terhadap gejala inkontinensia alvi, bahkan jika cedera sfingter terhindarkan.25 Dampak tipe persalinan pada inkontinensia alvi cenderung menurun dengan bertambahnya usia. Dalam sebuah studi retrospektif oleh Nygaard et al. (1997), prevalensi melaporkan inkontinensia alvi 30 tahun setelah persalinan serupa, terlepas dari jenis persalinan. Sebagian besar studi tidak memeriksa secara terpisah efek robekan laceration tipe ketiga dibandingkan dengan tipe keempat terhadap kontrol usus
  • 33. 30 di masa mendatang. Dalam sebuah studi retrospektif di satu situs oleh Fenner et al. (2003), 831 wanita (tingkat respons 29%) menyelesaikan kuesioner usus 6 bulan setelah persalinan pertama mereka. Insiden kontrol usus yang buruk dibandingkan sebelum kehamilan hampir 10 kali lebih besar pada wanita dengan laceration tipe keempat (30,8%) dibandingkan dengan wanita dengan laceration tipe ketiga (3,6%). Meskipun perbedaan ini mungkin disebabkan oleh partisipasi lebih banyak dari wanita dengan gejala lebih parah, juga mungkin bahwa peningkatan insiden inkontinensia alvi yang terkait dengan laceration tipe keempat disebabkan oleh hilangnya sebagian otot sfingter anal internal. Studi lebih lanjut diperlukan mengenai peran sfingter anal internal dalam kontinens, dan metode terbaik untuk memperbaiki otot ini pada saat robekan.26 Meskipun sebagian inkontinensia alvi setelah disrupsi sfingter kemungkinan terkait dengan kontrol neurologis yang terganggu dari kontinens, pemisahan otot yang sudah diperbaiki juga dapat memainkan peran. Fitzpatrick et al. (2000) memeriksa 154 wanita 3 bulan setelah perbaikan primer pada disruption sfingter anal. Sepertiga dari mereka memiliki bukti ultrasonografi dari cacat sfingter anal yang persisten, besar (lebih besar dari satu kuadran); ini tidak dipengaruhi oleh apakah perbaikan dilakukan secara end-to-end atau dengan tumpang tindih.5 Prolaps Organ Panggul Defek dukungan organ panggul tampaknya terjadi selama kehamilan tetapi sebelum persalinan. O'Boyle et al. (2002) menemukan bahwa wanita hamil nulligravid lebih cenderung memiliki prolaps organ panggul daripada rekan-rekan nulliparous mereka.27 Paritas meningkatkan risiko baik prolaps organ panggul maupun operasi untuk prolaps organ panggul. Pada wanita yang berpartisipasi dalam Women's Health Initiative, mereka yang telah melahirkan setidaknya satu anak memiliki dua kali lipat kemungkinan mengalami prolaps uterus, rektokel, dan sistokel dibandingkan dengan wanita nulliparous, setelah disesuaikan dengan usia, etnis, indeks massa tubuh, dan faktor lainnya. Demikian pula, dalam studi terhadap 487 wanita Swedia, Samuelsson
  • 34. 31 et al. (1999) melaporkan bahwa 31% mengalami sejumlah derajat prolaps organ panggul pada pemeriksaan; paritas dan usia meningkatkan risiko prolaps organ panggul, setelah disesuaikan dengan variabel lainnya. 5 Dalam sebuah studi kohort Inggris yang dilakukan oleh Mant et al. (1997) terhadap 17.000 wanita, paritas adalah variabel yang paling kuat terkait dengan operasi untuk prolaps organ panggul. Risiko ini meningkat dengan setiap anak, tetapi laju peningkatannya menurun setelah wanita melahirkan dua anak. Dalam sebuah studi kasus-kontrol, Rinne dan Kirkinen (1999) menemukan bahwa wanita yang berusia kurang dari 45 tahun yang menjalani operasi untuk prolaps organ panggul memiliki lebih banyak persalinan dan bayi yang lebih berat dibandingkan dengan subjek kontrol yang sebaya yang dioperasi karena tumor ovarium jinak.5 Dalam sebuah studi kohort terbaru dari Johns Hopkins di mana gangguan fungsi panggul dibandingkan dengan rute persalinan, Handa et al. (2011) menunjukkan pada wanita yang rata-rata telah melahirkan selama 7,4 tahun bahwa 13% dari wanita yang melahirkan secara spontan mengalami prolaps pada pemeriksaan, tetapi hanya 3% dari wanita yang sama memiliki gejala prolaps pada kuesioner yang divalidasi. menunjukkan lebih banyak data untuk prolaps dan gangguan fungsi panggul lainnya.16 Fistula Fistula vesikovaginal dan fistula rektovaginal adalah komplikasi yang dapat timbul setelah persalinan yang sulit. Mayoritas fistula vesikovaginal obstetri terjadi di dunia berkembang, sebagai hasil dari persalinan obstetri, tetapi juga dapat terjadi setelah persalinan pervaginam maupun persalinan sesar (terutama pada persalinan sesar ulang yang sulit) di dunia maju. Fistula rektovaginal paling sering terjadi setelah cedera obstetri, umumnya ketika terjadi disrupsi sfingter anal, seperti pada laserasi tipe ketiga atau keempat. 5
  • 35. 32 BAB 3 KESIMPULAN 1. Dasar panggul memiliki peran penting dalam dukungan tubuh, gerakan, dan mekanisme persalinan. Pemahaman mendalam tentang anatomi dan perubahan fisiologis dasar panggul pada wanita selama kehamilan menjadi krusial untuk diagnosis, pengelolaan masalah kesehatan reproduksi, serta pemberian perawatan yang sesuai selama kehamilan dan persalinan. 2. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan, seperti pertumbuhan janin dan penyesuaian otot, merupakan respons tubuh yang kompleks. Pemahaman yang baik terhadap perubahan ini memungkinkan pemberian perawatan dan dukungan yang lebih baik selama perjalanan kehamilan, bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan janin. 3. Proses persalinan melibatkan adaptasi tubuh yang kompleks, termasuk relaksasi dasar panggul selama dorongan untuk memfasilitasi penurunan kepala janin dalam saluran persalinan. Namun, tidak semua wanita dapat merelaksasikan dasar panggul mereka secara spontan, dan beberapa mengalami koaktivasi otot levator ani, di mana kontraksi terjadi saat seharusnya terjadi relaksasi. 4. Metode persalinan dan dampak jangka panjangnya terus menjadi fokus penelitian. Persalinan pervaginal dapat menyebabkan robekan perineum dan kerusakan inervasi pada dasar panggul. Gangguan spesifik pada dasar panggul, seperti inkontinensia urin, inkontinensia alvi, prolaps organ panggul, dan fistula, dapat timbul sebagai dampak dari proses persalinan. 5. Studi menunjukkan bahwa faktor seperti paritas dan jenis persalinan dapat mempengaruhi risiko gangguan dasar panggul. Oleh karena itu, perawatan dan intervensi selama kehamilan dan persalinan, khususnya pada wanita dengan risiko tinggi, dapat membantu mengurangi dampak negatif pada dasar panggul dan meningkatkan kesejahteraan ibu.
  • 36. 33 DAFTAR PUSTAKA 1. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffiths D, Rosier P, Ulmsten U, et al. The standarisation of terminology of lower urinary tract function: report from the standarisation sub-comitte of the international continence society. Am J Obstet Gynecol 2002;187;167-78 2. Culligan PJ, Heit M. Urinary incontinence in woman: evaluation and management. Am Fam Physician 2000;62:2433-44. 3. Anatomical detail of female pelvic anatomy. Adapted from Netter [2002] 4. Anatomy of the Pelvis in Obstetrics Kahkashan Jeelani 5. Walters, M. D., &amp; Karram, M. M. (2015). Urogynecology and reconstructive pelvic surgery. Elsevier/Saunders. 6. Baggish, M. S., &amp; Karram, M. M. (2011). Atlas of Pelvic Anatomy and Gynecologic Surgery. Elsevier. 7. Eickmeyer SM. Anatomy and physiology of the pelvic floor. Physical Medicine and Rehabilitation Clinics. 2017 Aug 1;28(3):455-60. 8. Alperin M, Kaddis T, Pichika R, Esparza MC, Lieber RL. Pregnancy-induced adaptations in intramuscular extracellular matrix of rat pelvic floor muscles. American journal of obstetrics and gynecology. 2016 Aug 1;215(2):210-e1. 9. Nyhus MØ, Oversand SH, Salvesen Ø, Salvesen KÅ, Mathew S, Volløyhaug I. Ultra-sound assessment of pelvic floor muscle contraction: reliability and development of an ultrasound-based contraction scale. Ultrasound Obstet Gynecol 2020;55:125–31. 10. Youssef A, Brunelli E, Fiorentini M, Pilu G, Spelzini F. The role of the maternal pelvic floor in vaginal delivery. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2023 Jul 20. 11. Youssef A, Brunelli E, Fiorentini M, Pilu G, El-Balat A. The correlation between levator ani co-activation and fetal head regression on maternal pushing at term. J Matern Fetal Neonatal Med 2022;35:9654–60. 12. Youssef A, Brunelli E, Azzarone C, Di Donna G, Casadio P, Pilu G. Fetal head
  • 37. 34 pro-gression and regression on maternal pushing at term and labor outcome. Ultrasound Obstet Gynecol 2021;58:105–10. 13. Salvesen KA, Mørkved S. Randomised controlled trial of pelvic floor muscle training during pregnancy. BMJ 2004;329:378–80. 14. Phipps H, Charlton S, Dietz HP. Can ante-natal education influence how women push in labour? Aust N Z J Obstet Gynaecol 2009;49: 274–8. 15. Nygaard I, Barber MD, Burgio KL, et al. Prevalence of symptomatic pelvic floor disorders in US women. JAMA. 2008;300:1311. 16. Handa VL, Blomquist JL, McDermott KC, Friedman S, Muñoz A. Pelvic floor disorders after vaginal birth: effect of episiotomy, perineal laceration, and operative birth. Obstet Gynecol. 2012;119:233. 17. Dietz HP, Simpson JM. Levator trauma is associated with pelvic organ prolapse. BJOG. 2008;115:979. 18. Lien KC, Mooney B, DeLancey JOL, et al. Levator ani muscle stretch induced by simulated vaginal birth. Obstet Gynecol. 2004;103:31. 19. DeLancey JO, Morgan DM, Fenner DE, et al. Comparison of levator ani muscle defects and function in women with and without pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol. 2007;109:295. 20. Pathi SD, Acevedo JF, Keller PW, et al. Recovery of the injured external anal sphincter after injection of local or intravenous mesenchymal stem cells. Obstet Gynecol. 2012;119:134. 21. Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, Hunskaar S. Urinary incontinence after vaginal delivery or cesarean section. N Engl J Med. 2003;348:900. 22. Hannah ME, Hannah WJ, Hodnett ED, et al. Outcomes at 3 monthscafter planned cesarean vs planned vaginal delivery for breech presentation at term: The International Randomized Term Breech Trial. JAMA. 2002;287:1822. 23. Barca JA, Bravo C, Pintado-Recarte MP, Asúnsolo Á, Cueto-Hernández I, Ruiz- Labarta J, Buján J, Ortega MA, De León-Luis JA. Pelvic floor morbidity following vaginal delivery versus cesarean delivery: systematic review and meta-analysis. Journal of Clinical Medicine. 2021 Apr 13;10(8):1652.
  • 38. 35 24. Hage-Fransen, M.A.H.; Wiezer, M.; Otto, A.; Wieffer-Platvoet, M.S.; Slotman, M.H.; der Sanden, M.W.G.N.; Pool-Goudzwaard,A.L. Pregnancy- and obstetric- related risk factors for urinary incontinence, fecal incontinence, or pelvic organ prolapse later in life: A systematic review and meta-analysis. Acta Obstet. Gynecol. Scand. 2021, 100, 373–382. 25. Borello-France D, Burgio KL, Richter HE, et al. Pelvic floor disorders network. Fecal and urinary incontinence in primiparous women. Obstet Gynecol. 2006;108:863. 26. DE, Genberg B, Brahma P, et al. Fecal and urinary incontinence after vaginal delivery with anal sphincter disruption in an obstetrics unit in the United States. Am J Obstet Gynecol. 2003;189:1543. 27. O’Boyle AL, Woodman PL, O’Boyle JD, et al. Pelvic organ support in nulliparous pregnant and non-pregnant women: a case control study. Am J Obstet Gynecol. 2002;187:99