Laporan ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Jawa BAB SERAT WEDHATAMA Kelas XI Semester II Tahun Pelajaran 2016/2017.
Editor oleh Adinda Gifary (XI MIPA 3) SMA Negeri 1 Surakarta.
1. TUGAS BAHASA JAWA
SERAT WEDHATAMA
Disusun Oleh:
Kelompok 4 XI MIPA 3
SMA NEGERI 1 SURAKARTA
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
2. ANGGOTA KELOMPOK
1. Nama Lengkap : Adinda Fatkhah Gifary
Nomor Abs. : 02
2. Nama Lengkap : Rizky Mazaya
Nomor Abs. :
3. Nama Lengkap : Tsana Salsabila Putri
Nomor Abs. : 30
4. Nama Lengkap : Puput Noviyanti Rafiqka Ningrum
Nomor Abs. : 22
5. Nama Lengkap : Muchmirul Yusa
Nomor Abs. : 18
6. Nama Lengkap : Farizqinanda
Nomor Abs. : 14
7. Nama Lengkap : Niabela Imania Putri
Nomor Abs. :
3. KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Bahasa Jawa Serat
Wedhatama.
Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Tugas
Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini.
Akhir kata kami berharap semoga Tugas Bahasa Jawa Serat Wedhatama ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Wa’alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh.
Surakarta, Agustus 2015
Penyusun,
4. DAFTAR ISI
Anggota Kelompok .................................................................................................................. ii
Kata Pengantar ........................................................................................................................ iii
Daftar Isi .................................................................................................................,................ iv
SERAT WEDHATAMA .......................................................................................................... 1
1. Identitas Serat Wedhatama ........................................................................................... 1
a. Penulis Asli Wedhatama ........................................................................................ 1
b. Tahun Dituis ........................................................................................................... 2
c. Tahun Terbit Ulang & Penulis ............................................................................... 2
2. Ikhtisar Wedhatama ...................................................................................................... 3
3. Isi Wedhatama .............................................................................................................. 8
4. Gancaran Pupuh Pocung Pada ke-4 s/d ke-6 ................................................................ 8
5. Daftar Pustaka ............................................................................................................ 10
5. SERAT WEDHATAMA
1. Identitas SeratWedhatama
a. PenulisAsli
Mangkunegoro IV
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
(K.G.P.A.A) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama
Raden Mas Sudiro, lahir pada tanggal 1 Sapar tahun
Jimakir 1736 windu Sancaya atau Masehi tanggal 3
Maret 1811, Minggu Legi jam 11 malam di dalam
Hadiwijayan.
Beliau putra Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya
I yang nomor 7 (atau nomor 3 yang laki-laki). Dari
garis keturunan ayah beliau cucu Bandara Raden Mas
Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit (buyut)
dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya
yang gugur di Kali Abu daerah Salaman Kedu (gugur tatkala melawan
Kompeni/VOC). Ibu beliau adalah puteri Mangkunegoro II, jadi beliau ini cucu
Mangkunegoro II dan ia diangkat sebagai anak sendiri oleh Mangkunegoro III yang
kemudian dinikahkan dengan anaknya sehingga beliau menjadi menantu
Mangkunegoro III.
Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya Mangkunegara II, setelah berumur
10 tahun oleh kakeknya ia diserahkan kepada Sarengat alias Pangeran Rio, saudara
sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegoro III, Pangeran Rio diserahi tugas
untuk mendidik Sudiro tentang membaca, menulis, berbagai cabang kesenian dan
kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya lima tahun ia belajar dengan tekun di
bawah bimbingan Pangeran Rio.
Pada usia muda sekitar 15 tahun ia telah masuk dinas militer, dan menjadi taruna
infantri legiun Mangkunegoro, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten,
lalu ia nikah dengan puteri KPH Surya Mataram dengan sebutan baru RMH
Gondokusumo. Karena kecakapan dan memiliki bobot kepemimpinan yang tinggi
ia memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro
III dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam) selanjutnya
menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun
Mangkunegoro dengan pangkat Mayor. Agar lebih menjadi akrab lagi dengan
Mangkunegoro III, maka ia dinikahkan pula dengan puterinya yang sulung bernama
BRA Dunuk.
Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang
jauh, kewibawaan yaitu dalam kemiliteran, ketrampilannya dalam
pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia
6. diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah beliau wafat, ia diangkat
dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel infantri legiun Mangkunegaran
pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau tanggal 24 Maret 1853.
Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27 Sura tahun
Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 47
tahun.
Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak
sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab setelah ia menduduki jabatan
tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik, pemerintahan,
ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain, sehingga ia memiliki otonomi penuh
mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Dan ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya
menjamin ketenteraman dan kesejahteraan mereka sebagai penguasa penuh di
daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja ketiga di samping Sunan Surakarta
dan Sultan Yogyakarta sehingga pada masa pemerintahannya daerahnya bertambah
luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat bantuannya kepada pemerintah
Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan Yogyakarta.
Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV diterangkan bahwa beliau
mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga Mangkunegoro IV merupakan
negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro IV terutama sebagai
seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam karya-karya sastra
yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa, Nayakawara,
Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan lain-lain. Dari
hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang sebagai salah seorang
sastrawan dalam masa kebangkitan kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa
Surakarta.
b. Tahun Ditulis
Serat Wedhatama ditulis asli oleh KGPAA Mangkunegoro IV pada kurun tahun
1853 sampai dengan tahun 1881.
c. Tahun Terbit Ulang & Penulis
Katalog : #158
Titel : Wedhatama
Versi : Padmasusastra
Tahun : 1898
Image : Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158
Tipe : Terbitan
Bentuk : Tembang
Bahasa : Jawa
Aksara : Jawa
Ikhtisar : Berisi ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani
kehidupan Panembahan Senapati dalam mengendalikan hawa nafsu dan cinta
7. terhadap sesama manusia. Di samping itu, juga memuat ajaran untuk mencapai
kesempurnaan hidup dan ilmu, yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada
Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, dan sembah rasa.
Kata kunci : aksara, cetak, cithak, jawa, jawi, tembang, sekar, wulang, wucal
Data digital :
1. Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158. Agama dan Kepercayaan | Wulang
#1289.
2. Wedhatama, Padmasusastra, 1898, #158. Huruf Jawa | Bacaan #151.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa Serat Wedhatama ditulis ulang
pada tahun Padmasusastra pada tahun 1898.
2. Ikhtisar Wedhatama
Berisi ajaran filsafat hidup orang Jawa agar meneladani kehidupan Panembahan
Senapati dalam mengendalikan hawa nafsu dan cinta terhadap sesama manusia. Di
samping itu, juga memuat ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu,
yang mencakup 4 macam ajaran sembah kepada Tuhan, yaitu: sembah raga, sembah
jiwa, sembah cipta, dan sembah rasa. Berikut akan diuraikan biografi Panembahan
Senopati sehingga bisa menjadi panutan dalam menjalani kehidupan.
Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan
Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar
Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.
Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat
hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad
karangan para pujangga zaman berikutnya.
Danang Sutawijaya atau Dananjaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng
Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah
keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan
Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya
para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai
keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang
kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa
besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang
sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu
belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara
pasa.
Di setiap bangsa pasti ada sosok dan tokoh yang menjadi panutan. Demikian
pula dalam Kejawen. Banyak tokoh-tokoh Kejawen yang bisa menjadi panutan.
Dalam Serat Wedhatama ini, tokoh yang menjadi panutan adalah Panembahan
Senopati.
8. Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutawijaya. Beliau adalah
pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah 1587-1601 dengan bergelar
Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.
Panembahan Senopati yang juga pendiri kerajaan Mataram Islam itu memiliki
kegemaran melakukan tapa brata. Tiada hari tanpa lelaku. Karena kelebihan dan
kesaktian yang dianugerahkan GUSTI ALLAH, Panembahan Senopati bisa
melakukan semedi di tengah samudera. Nah, sekarang kita simak apa saja pesan
dari Mangkunegara IV bagi kita untuk meneladani Panembahan Senopati? Simak
Pupuh II (Sinom) dari Serat Wedhatama. r sehingga ia pun terkenal dengan sebutan
Raden Ngabehi Loring Pasar. Berikut ringkasan dari profil Panembahan Senopati.
Tempat Lahir : Demak
Nama Kecil : Danang Sutawijaya
Meninggal : Jenar, 1601.
Pendiri : Kesultanan Mataram
Gelar : Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama
Ayah : Ki Ageng Pamanahan
Ibu : Nyai Sabinah
Sebutan : Raden Ngabehi Loring Pasar
Selain itu, juga memuat 4 ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ilmu.
Berikut akan diuraikan 4 ajaran tersebut.
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga,
sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Berikut uraiannya.
1. Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak
laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya
sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu).
Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan
mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait
berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine
asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking
wawaton 34. Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang
merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang
magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian),
orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku,
pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci
yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku
umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata
lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya
lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah
lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim)
9. dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton).
Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti
(wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan
syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu
waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan
rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah,
namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang
magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga
menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke
tahap kerohanian yang lebih tinggi.
2. Sembah Cipta (Kalbu)
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang
disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1
terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut:
Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang
kagungan narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau
keinginan yang tersimpan di dalam hati 36 , kalbu berarti hati 37 , maka
sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan
sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh
segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai
pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning
kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat.
Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua,
membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga,
membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina.
Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang
keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin.
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih
menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan
yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara
membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua
dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan
diri dari pelanggaran dan dosa.
Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi
dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa
saja yang selain Allah.
10. 3. Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) 39 dengan
mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran
kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan
jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa
henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus,
seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang
Sukma suksmanen saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa
sutengong.
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut
terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia
disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah
akhir perjalann hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah
raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu
dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada
dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa
penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait
berikut:
Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang
tumrap bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama
amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang
laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata
cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian
jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan
kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan
menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan
pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya
mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk
mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan
kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah
dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung
menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan
disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka
untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati
dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang
demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
“Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad
agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring
kelaping alam kono.”
11. 4. Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia
didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang
dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam,
demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat
batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti
menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa
berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat
batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling
halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati
yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling
halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia
terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh
(telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan
urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan
bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan
salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara
IV dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah
rasa karasa wosing dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing
batos.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian
tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah
sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan
sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain,
seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan
suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing
gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat
oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat,
maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah
rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah
memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli
dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek
batiniahnya sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang
salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang
menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada
Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian
12. dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami
dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena
itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala
ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur
diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan.
Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait
berikut:
Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena
ginurokake/ yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan
ing lautan/ tanpa tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan
iku yayi eneng ening wardaya.
3. Isi Wedhatama
Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi dalam
lima lagu, yaitu:
Pangkur (14 pupuh, I - XIV)
Sinom (18 pupuh, XV - XXXII)
Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII)
Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII)
Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)
Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa,
bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi
orang berwatak ksatria.
Terdapat beberapa bagian yang dapat dianggap sebagai kritik terhadap konsep
pengajaran Islam yang ortodoks, yang mencerminkan pergulatan budaya Jawa
dengan gerakan pemurnian Islam (gerakan Wahabi) yang marak pada masa itu.
4. Gancaran Pupuh Pocung Pada ke4 s/d ke-6
No. Pupuh Arti
4..
Taman limut
Durgameng tyas kang weh limput
Karem ing karamat
Karana karoban ing sih
Sihing sukma ngrebda saardi
pengira
DIRI PRIBADI, selalu menyuarakan
kebenaran, sehingga hawa nafsu tidak dapat
menggoda mereka lagi.
Sesungguhnya, kehadiran DIRI PRIBADI itu
merupakan anugerah Allah yang paling besar.
5.
Yeku patut tinulat tulat tinurut
Sapituduhira,
Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut
diikuti
13. Aja kaya jaman mangkin
Keh pra mudha mundhi diri
Rapal makna.
seperti semua nasehatku.
Jangan seperti zaman nanti
Banyak anak muda yang menyombongkan diri
dengan hafalan ayat.
6.
Durung becus kesusu selak besus
Amaknani rapal
Kaya sayid weton mesir
Pendhak-pendhak angendhak
Gunaning jalma
Belum mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan ayat
seperti sayid lulusan Mesir
Setiap saat meremehkan
kemampuan orang lain.