Rasul Paulus memberikan tiga resep untuk mengatasi virus egoisme, popularisme, dan kesombongan dalam diri umat Kristen: 1) Hiduplah di dalam Kristus; 2) Hiduplah seperti Kristus dengan berpikir dan merasa seperti Kristus; 3) Hiduplah untuk Kristus dengan meninggikan nama-Nya."
2. Bacalah: Filipi 2:1-11
Jemaat di kota Filipi Gereja di Filipi merupakan komunitas Kristen pertama yang dirintis
oleh Paulus di Eropa Timur. Kebanyakan penduduknya adalah mantan tentara Romawi
yang terkenal dengan nasionalisme dan patriotismenya. Di kota Filipi inilah Paulus dari
awal pelayanannya menghadapi perlawanan karena memberitakan bahwa Yesuslah
raja yang sejati di dunia. Setelah Paulus pindah dari Filipi dan dipenjarakan karena Injil,
jemaat di sana masih terus mengalami perlawanan, bahkan penganiayaan. Namun
mereka tetap menjadi komunitas yang hidup, mereka tetap setia kepada Jalan Yesus.
Surat Filipi ditulis sebagai ungkapan syukur atas perhatian jemaat Filipi, tetapi juga
ungkapan sayang Paulus. Dalam surat ini Rasul Paulus memberikan nasihat-nasihat
yang sangat berharga, bagi jemaat Filipi. Hal yang patut kita syukuri adalah bahwa
nasihat-nasihat Paulus dalam surat ini, masih sangat relevan bagi kita, gereja Tuhan
masa kini. Kita yang membutuhkan penguatan, karena kita disadarkan melalui virus
Corona ini, bahwa “lembah bayang-bayang maut” sesungguhnya sangat dekat dengan
kita. Kita yang bergumul sebagai gereja, bagaimana kita dapat tetap bersaksi,
bersekutu, dan melayani, di tengah situasi yang sulit serba tak pasti ini.
Rasul Paulus juga mengalami penderitaan, bahkan penderitaan yang teramat sangat
karena iman kepada Kristus. Meski demikian Paulus justru mengingatkan jemaat Filipi
dan kita, akan pentingnya hidup yang berpusatkan pada Injil Kristus. Dari awal surat
ini, 16 kali Paulus menyebutkan tentang Injil. Di dalam Filipi 1:27 Rasul Paulus berkata
kepada jemaat “hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus,” dan hidup
berpadanan dengan Injil Kristus itu hendaklah kamu wujudkan dengan teguh berdiri
dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil.
Menariknya, dalam bahasa Yunani, Rasul Paulus memilih menggunakan kata “hidup”
yang tidak lazim dia gunakan. Kali ini Paulus menggunakan kata “hidup” yang lain
(politeuomai), yang bermakna “status kewarganegaraan”. Kata yang sama juga
digunakannya di Filipi 3:20 “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga” Paulus
mengingatkan bahwa kita bukan hanya warga dunia, tetapi kita juga warga Kerajaan
sorga. Bagaimana kita seharusnya menjalani hidup kita sebagai warga kerajaan
sorga?
Rasul Paulus berkata “hiduplah berpadanan dengan Injil Kristus”. Kata “berpadanan”
dalam bahasa Yunani menggunakan kata “axiōs” (Yun.) yang mengandung makna
“bernilai”, “ilahi” dan “layak”. Dengan kata lain Rasul Paulus mau mengingatkan kita
bahwa sebagai warga kerajaan sorga, seharusnya kita menjalani hidup yang mulia,
hidup yang mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah, hidup yang berkenan di hadapan
Kristus, raja kita.
3. Barulah kemudian Rasul Paulus masuk ke pasal dua, dan di ayat ke-2-3, dia meminta
jemaat Filipi untuk mewaspadai adanya tiga virus yang dapat menyebabkan mereka
tidak lagi hidup tidak berpadanan dengan Injil. Tiga virus itu adalah egoisme,
popularisme, dan kesombongan. Egoisme bertumbuh, ketika masing-masing kita
hanya mencari kepentingan diri sendiri. Popularisme, tumbuh subur ketika masing-
masing kita hanya mencari puji-pujian yang sia-sia. Kesombongan merebak ketika kita
menganggap diri kita lebih utama daripada orang lain.
Gereja harus membangun daya tahan tubuh yang kuat dalam menghadapi ketiga virus
tersebut. Bagaimana caranya? Rasul Paulus menunjukkan tiga resep yang sangat
manjur:
Resep pertama, hiduplah di dalam Kristus (2:1-4). Rasul Paulus berkata: “Jadi
karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada
kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini:
hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (ay.1-2)
Di dalam diri-Nya, Kristus telah mempersatukan kita. Kristus mempersatukan kita yang
percaya kepada-Nya dengan Allah. Kematian-Nya telah membuat tabir Bait Suci
terbelah dua dari atas sampai ke bawah.(Mark 15:38). Di dalam Kristus tak ada lagi
penghalang antara kita dengan Allah. Dia adalah Imam Besar, pengantara kekal bagi
kita dengan Allah. Di dalam diri-Nya, Kristus juga telah mempersatukan kita dengan
sesama kita. Kristus mempersatukan kita yang berbeda-beda. Dia telah merubuhkan
tembok pemisah, yaitu perseteruan (Ef 2:14). Jadi, di dalam Kristus kita telah
dipersatukan dengan Allah dan dengan sesama orang percaya lainnya (gereja),
Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa di dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan
kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan. Pertanyaannya:
Apakah kita masih mendengarkan suara nasihat-Nya? Apakah dalam kesusahan kita,
kita masih menemukan penghiburan kasih-Nya? Apakah kita masih mengalami
dikuatkan oleh persekutuan Roh Kudus? Apakah kita masih merasakan kasih mesra
dari Tuhan? Jika tidak, mengapa? Mungkin, karena kita tak lagi sungguh-sungguh
tinggal di dalam Kristus. Kita tak lagi mencondongkan telinga kita untuk mendengarkan
suara-Nya? Jangan-jangan kita lebih suka mendengarkan hiruk pikuk dan kebisingan
dunia ini.
Jelas sekali Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak berbuah, jikalau kita tidak tinggal di
dalam Dia (Yoh 15:4); bahwa di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:4-5).
Yesus berkata: “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam
kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh
15:7); dan Yesus juga berkata “Tinggallah di dalam kasih-Ku, Jikalau kamu menuruti
perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, . (Yoh 15:9-10).”
4. Nabi Yesaya dipanggil Allah untuk menyampaikan pesan-pesan Allah kepada bangsa
Israel. Acapkali dia ditolak dan dipersulit, justru oleh saudara sebangsa yang
dikasihinya. Tapi menariknya Yesaya tidak kehilangan arah. Dia tetap teguh pada
panggilannya. Apa rahasianya? Yesaya bersaksi: "Tuhan ALLAH telah memberikan
kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi
semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam
pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid" (Yes 50:4). Nabi Yesaya
mengingatkan kita bahwa ada korelasi yang sangat erat antara apa yang kita
katakan/lakukan dengan apa yang kita dengarkan atau pelajari. Yesaya memilih
memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan suara Tuhan. Dari sana dia
teguh berdiri dalam panggilannya memberikan pengharapan kepada mereka yang letih
lesu.
Kita juga perlu memahami ungkapan Paulus di ayat ke-2, “Sempurnakankah sukacitaku
dengan ini . . .”. Sukacita Paulus adalah sukacita Tuhan. Paulus hidup berpaut dan
begitu dekat dengan Kristus, apa yang Kristus mau itu yang Paulus kerjakan, dan apa
yang Kristus rasakan itu yang dirasakan oleh Paulus. Dengan kata lain, inilah hal yang
menjadi sukacita Tuhan, ketika kita umat-Nya hidup sehati sepikir, dalam satu kasih,
satu jiwa, satu tujuan” (ay.1-2). Inilah resep yang pertama dari Tuhan untuk mengatasi
virus egoisme, virus popularisme, dan virus kesombongan; hiduplah di dalam Kristus.
Resep kedua, hiduplah seperti Kristus (2: 5-8). “Hendaklah kamu dalam hidupmu
bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,” (Fpl
2:5).”
Di sini Rasul Paulus menasihati kita untuk berpikir dan merasa seperti Kristus. Dia
“yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu
sebagai milik yang harus dipertahankan” (ay. 6). Bagi Kristus, yang terpenting
bukanlah pendapatku, pendapatmu, atau pendapat orang lain; tetapi yang terpenting
adalah mewujudkan misi Allah, yaitu memulihkan gambar dan rupa Allah dalam diri
setiap manusia, itulah yang harus dikedepankan. Yesus rela membayar harga yang
mahal untuk itu.
Kristus juga “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (ay.7). Predikat "hamba" menunjuk
kepada orang yang hidupnya hanya untuk melayani kebutuhan orang lain. Seorang
yang tidak lagi mengkonsentrasikan hidupnya pada kepentingan dirinya sendiri. Bukan
saja rela menjadi hamba dan menjadi sama dengan manusia. Bahkan, “dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib.” (ay.8)
Jiwa inilah yang perlu selalu bergelora di dalam hati setiap kita, orang-orang Kristen;
jiwa yang rela berkorban, seperti Juruselamat kita, Yesus Kristus. Di sini ada sebuah
teguran bagi saya, dan juga mungkin bagi saudara. Betapa mudahnya kita terjebak
dan ribut karena perkara-perkara kecil yang tidak signifikan dalam hidup bersama kita.
Kita bisa meributkan banyak hal, tetapi kemudian melupakan kepentingan yang lebih
besar, yaitu kepentingan Kerajaan Allah.
5. Mari kita mengevaluasi kehidupan kita selama ini. Apakah semakin hari kita semakin
rendah hati? Adakah kita dengan rendah hati menerima kesalahan yang kita buat, atau
cenderung untuk melemparkannya kepada orang lain? Apakah kita mudah tersinggung
dengan ide atau perkataan orang lain? Apakah kita tetap dengan rendah hati
mendukung program-program gereja walaupun kita tidak lagi menjabat di dalamnya?
Saudara yang terkasih, kita bisa mengatasi perbedaan kita, dan kita bisa menyelesaikan
persoalan kita; bila kita memiliki hati dan pikiran Kristus. Mari kita teladani kerendahan
hati Kristus di dalam pelayanan kita. Mari kita tunaikan pelayanan kita dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan pikiran dan perasaan Kristus.
Resep ketiga, hiduplah untuk Kristus (2:9-11). Itulah sebabnya Allah sangat
meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya
dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi
dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan,"
bagi kemuliaan Allah, Bapa! (2:9-11)
Ayat ini berbicara tentang passion dan motivasi terdalam yang seharusnya ada di hati
setiap pengikut Kristus. Perhatikan ayat ke-9: “Itulah sebabnya Allah sangat
meninggikan Dia” . . . Jika Allah saja sangat meninggikan Yesus, maka tidak ada alasan
bagi kita untuk tidak meninggikan Yesus dalam hidup kita. Meninggikan nama Tuhan
seharusnya menjadi motivasi terdalam kita untuk hidup. Ingat saudara, meninggikan
nama Tuhan, bukan meninggikan nama kita; bukan pula meninggikan nama gereja kita.
“Demi kehormatan nama Kristus” seharusnya menjadi semangat kita dalam menjalani
kehidupan kita Tidak ada semangat yang lebih kuat daripada kerinduan agar Kristus
diberi kehormatan yang layak bagi nama-Nya. Yesus Kristus layak untuk kita tinggikan.
Setiap kita dipanggil untuk memiliki, menjaga dan menjunjung semangat ini; semangat
“demi kehormatan bagi nama Yesus.” Pertanyaannya: Adakah nama Yesus digemari
orang karena melihat hidup kita? Ataukah nama itu justru dicemari oleh tingkah laku
kita?
Setiap kita bisa merasa sedih, marah, dan kecewa oleh banyak hal. Tapi semuanya itu
tidak boleh membuat kita berhenti untuk berkarya bagi Tuhan. Mungkin sikap, kata, dan
perlakuan sesama membuat kita lemah, tapi kita harus tetap bangkit dan bersikap positif
demi menjaga kehormatan nama Tuhan.
Marilah kita bersepakat dengan firman Allah, bahwa kita mau sungguh-sungguh tinggal di
dalam Yesus, lebih sungguh lagi meneladani karakter Kristus, dan meninggikan Kristus
dalam setiap aspek hidup kita. Jika kita melakukannya tak ada lagi ruang bagi virus
egoisme, popularisme, kesombongan. Tak ada lagi medium tempat virus-virus itu dapat
bercokol, karena seluruh hidup kita sudah menjadi panggung kemuliaan Allah. Tuhan
memberkati kita. Amin.