Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Membandingkan pendekatan sistem lunak (soft system methodology/SSM) dan sistem keras (hard system methodology) dalam pemecahan masalah, di mana SSM lebih menitikberatkan pada pemahaman masalah secara holistik sedangkan pendekatan sistem keras bersifat teknis.
2) Memberikan contoh penerapan SSM dalam pengelolaan perikanan tonda dengan rumpon di Malang yang melibatkan berbagai aspek.
SI-PI, Siti Maesaroh, Hapzi Ali, Infrastruktur TI dan Teknologi Baru, Univers...
C451170081 imam teguh santausa - Hard and Soft System Fisheries
1. PERBEDAAN
(Soft System Methodology dan Hard System Methodology)
DOSEN: Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si
DISUSUN OLEH:
IMAM TEGUH SANTAUSA
C451170081
TEKNOLOGI PERIKANAN LAUT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
2. 1
A. Soft System Methodology (SSM)
Soft system methodology merupakan kerangka kerja pemecahan masalah
yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakekat masalah sulit
didefinisikan (Konseptual).
Menurut Rahmah Alvi et al (2006), soft system methodology dilaksanakan
melalui tujuh tahap yaitu :
1) Pemahaman permasalahan tidak terstruktur.
Pemahaman permasalahan dilakukan melalui kajian pustaka, analisis data
statistik, observasi lapang dan diskusi dengan para pemangku kepentingan di lokasi
penelitian.
2) Merumuskan permasalahan secara holistic.
Pengungkapan situasi masalah secara terstruktur melalui 3 analisis, yaitu
intervention analysis, social system analysis, dan polytical system analysis. Tahap
ini menghasilkan rich picture, yaitu gambaran dari kompleksitas masalah yang
ada secara detail dan kaya. Rich picture merupakan jalan awal untuk menyusun
relevan system.
3) Menyusun definisi permasalahan (rootdefinition/RDs);
Membangun definisi akar permasalahan dengan persepektif yang berbeda
atau dibangun sebagai suatu ekspresi dari aktivitas bertujuan terhadap suatu
proses transformasi (T). Root definition membentuk CATWOE (customers,actors,
transformation process, weltanschauung, owners, and environmental constraints).
Customers merupakan pihak yang menerima dampak proses transformasi; actors
adalah orang yang melakukan aktivitas-aktivitas pada proses transformasi;
transformation process merupakan proses yang mengubah input menjadi output;
weltanschauung adalah sudut pandang, kerangka kerja, atau image yang membuat
proses transformasi bermakna; owners adalah orang yang memiliki kepentingan
terbesar terhadap sistem dan dapat menghentikan proses transformasi, dan
environmental constraints adalah elemenelemen diluar sistem yang dapat
mempengaruhi tetapi tidak dapat mengendalikan sistem tersebut atau dapat
dinyatakan sebagai apa adanya (given).
4) Membuat model konseptual;
Dapat dilakukan jika suatu aspek kajian belum mempunyai pola sistem
yang sudah berjalan. Jika aspek kajian sudah memiliki pola sistem yang berjalan,
maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki atau menambahkan tahapan agar
sistem dapat diperbaiki dan berjalan normal sesuai tujuan yang diinginkan.
5) Membandingkan model konseptual dengan fakta lapangan (Membandingkan
model dengan dunia nyata).
3. 2
6) Menentukan perubahan yang diinginkan (Menetapkan perubahan dan
membuat debat publik untuk mengindentifikasi perubahan yang layak).
7) Melakukan langkah tindakan untuk perbaikan (Melakukan tindakan
perbaikan).
Kelebihan pendekatan SSM dibandingkan pendekatan sistem lainnya
adalah pengidentifikasian masalah lebih mendalam dan terstuktur serta keterkaitan
antar pihak dan masalah yang terlibat dalam sistem lebih terlihat. Pendekatan
SSM juga menghasilkan model konseptual yang dapat dijadikan salah satu acuan
dalam memperbaiki sistem yang ada.
Contoh Kasus :
Pengelolaan perikanan tonda dengan rumpon melalui pendekatan Soft System
Methodology (SSM) di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang yang dilakukan
oleh Rahmah A (2013). Formulasi masalah yang dijabarkan pada penelitian
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Aspek Teknis
Pendugaan telah terjadinya tekanan penangkapan atau overfishing pada
daerah penangkapan unit perikanan tonda nelayan Sendang Biru terlihat dari
perhitungan nilai rata-rata produktivitas alat tangkap dan nelayan yang menurun
pada tahun 2012 dibanding pada tahun 2010, yaitu sebesar 0.13 ton/unit (Gambar
1a) dan 0.03 ton/orang.
Hal ini disebabkan oleh setiap satu rumpon dimanfaatkan oleh 1 kelompok
kapal yang terdiri dari 5-9 unit kapal tonda. Peningkatan jumlah kapal yang
beroperasi dan pemanfaatan rumpon ternyata berakibat pada konflik horizontal
karena perebutan daerah penangkapan dan tidak berizinnya pengoperasian unit
perikanan tonda dan rumpon, yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi
sumberdaya ikan.
2) Aspek Ekologi
Ukuran hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap trip cenderung
menurun, khususnya jenis ikan tuna. Kecenderungan menurunnya ukuran hasil
tangkapan ini merupakan salah satu indikasi terjadinya tekanan penangkapan di
wilayah pengoperasian unit perikanan tonda, yaitu di sekitar Samudera Hindia.
Zulbainarni (2012) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan yang bersifat
common property (kepemilikan bersama) memungkinkan terjadinya pemanfaatan
secara berlebih sehingga menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan input, return
yang rendah, dan overfishing (tangkap lebih).
3) Aspek Kelembagaan
Nelayan sebagai pelaku utama sudah seharusnya memahami peraturan yang
berlaku dan harus dipenuhi dalam pengoperasian unit perikanan di daerah
penangkapan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Kurangnya kekompakan
4. 3
diantara nelayan menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah sosial dalam
masyarakat nelayan, yang akan berpengaruh terhadap sistem perikanan seperti
perikanan tonda di Sendang Biru. Kasus yang pernah terjadi dalam kurun waktu 5
tahun terakhir adalah pencurian hasil tangkapan oleh nelayan purse seine
Pekalongan dengan memanfaatkan rumpon nelayan tonda Sendang Biru. Hal
serupa juga pernah terjadi dengan nelayan asal Tuban. Kasus ini hanya
diselesaikan secara kekeluargaan tanpa ada perjanjian tertulis dari kedua belah
pihak, sehingga konflik yang sama berpeluang terjadi lagi dikarenakan tidak ada
sanksi yang jelas yang diberikan kepada pelaku.
Rumpon yang dipasang nelayan di perairan juga tidak memiliki izin dari
pemerintah, sehingga adanya penambahan atau pengurangan jumlah rumpon
setiap periode waktu tertentu tidak tercatat. Pengurusan izin kapal nelayan di PPP
Pondokdadap sebenarnya telah dibantu oleh organisasi nelayan Rukun Jaya.
Hambatan seperti proses administrasi yang cukup lama dan biaya yang mahal
membuat nelayan merasa kewalahan untuk mengurus dokumendokumen tersebut.
Kondisi ini menjadi keprihatinan tersendiri, disaat nelayan mulai berusaha untuk
memperhatikan dan mengurusi perizinan, petugas perikanan dari pemerintah
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Gambar 1. Rich picture
Perumusan model konseptual ini diharapkan dapat memberikan langkah
perubahan berupa strategi yang dijalankan untuk memperbaiki sistem. Pembuatan
model konseptual didahului dengan memformulasikan root definition berdasarkan
elemen-elemen pembentuknya (CATWOE) seperti yang telah dikemukakan pada
subbab analisis data sebelumnya. Root definition dijadikan sebagai acuan dalam
perumusan model konseptual yang akan direkomendasikan. Penentuan root
definition pada aspek teknis dan ekologi (Gambar 2) didasari dari permasalahan
yang ada yang selanjutnya digunakan untuk membuat model konseptual menjadi
solusi awal terhadap permasalahan yang ada (Gambar 3).
5. 4
Gambar 2. CATWOE dan root definition terhadap permasalahan teknis dan
ekologi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
Gambar 3. Model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan pada
unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
6. 5
B. Hard System Methodology
Hard system methodology merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah yang dirancang secara teknis beserta penerapannya untuk mencapai
sasaran sesuai dengan fungsinya.
Metodologi pendekatan sistem menurut Nurani T.W (2010) mencakup
empat tahap utama yang dapat diuraikan ke dalam sub-sub tahap. Tahap tersebut
meliputi
1. Analisis sistem, mencakup perumusan masalah, pengorganisasian,
pendefinisikan, perumusan tujuan, penggalian informasi, serta pengumpulan
data teoritis dan lapang
Tahap-tahap yang perlu dilakukan yaitu:
a. Analisis kebutuhan, pengamatan secara langsung.
b. Formulasi masalah, permasalahan spesifik yang dihadapi sistem
menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara optimal.
c. Identifikasi sistem, gambaran sistem yang memperlihatkan rantai
hubungan antara kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi
Deskripsi awal sistem dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Analisis kebutuhan pelaku sistem
b. Formulasi permasalahan yang ada dalam Sistem Pengembangan.
Permasalahan yang dihadapi sistem dapat diformulasikan sebagai berikut:
a. Keberadaan stok sumberdaya ikan tidak dapat diprediksikan dengan tepat.
Prediksi jumlah stok dilakukan dengan suatu pendekatan analisis, prediksi
diperlukan sebagai basis pemanfaatan sumberdaya ikan.
b. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten berlomba-lomba membangun
prasarana dan sarana untuk pengembangan kegiatan perikanan tanpa
mempertimbangkan nilai manfaat yang diperoleh.
c. Penguasaan teknologi oleh nelayan yang masih terbatas.
d. Mutu produk yang masih rendah
e. Aksebilitas pemasaran terbatas.
f. Iklim usaha belum tercipta dengan baik.
g. Prasarana dan sarana terbatas.
h. Kebijakan Pemerintah tidak mendukung.
i. Kelembagaan perikanan yang belum memberikanan dukungan yang nyata
terhadapa pengembangan perikanan.
7. 6
2. Desain sistem, mencakup peramalan, bangunan model, optimasi, control, dan
realiability.
Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kinerja sistem
saat ini dan mencari factor yang menjadi penyebab kenapa permasalahan timbul.
Hasil analisis ini dijadikan sebagai landasan untuk mencari solusi yang tepat
untuk mengatasi masalah.
3. Implementasi, mencakup dokumentasi dan konstruksi
4. Operasi, mencakup operasi awal, evaluasi, dan pengembangan
Contoh kasus Supriantoro Pandu (2017):
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan sebagian urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, dalam urusan pengawasan di
KKP mempunyai unit eselon I yaitu Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) dengan unit eselon II yaitu
Direktorat Pengawasan Sumber daya Perikanan. Direktorat Pengawasan
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan telah melaksanakan kegiatan pengawasan
penangkapan ikan, dimana salah satunya melalui kegiatan evaluasi ketaatan kapal
perikanan berdasarkan laporan Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) dan Penerbitan
Surat Laik Operasi (SLO) serta Buku Lapor Pangkalan Kapal Perikanan yang
dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT), Satker Pengawasan SDKP dan Pos
Pengawasan SDKP Lingkup Ditjen PSDKP yang melaksananakan pelayanan
Penerbitan SLO dan Buku Lapor Pangkalan Kapal Perikanan. Hasil pemeriksaan
kapal perikanan tersebut dituangkan dalam Form HPK Keberangkatan, bila hasil
pemeriksaan kapal perikanan tersebut telah memenuhi persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis maka Surat Laik Operasi (SLO) diterbitkan oleh Pengawas
Perikanan. Sebagai instrumen pengawasan penangkapan ikan yang digunakan
untuk mengetahui tingkat kelaikan operasional kapal dan pengawasan ikan hasil
tangkapan yang didaratkan, maka evaluasi penerapan HPK dan SLO sangat
diperlukan dan merupakan tugas pokok dan fungsi dari Direktorat Pengawasan
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, maka diperlukan pengembangan suatu
sistem informasi yang berdiri sendiri khusus untuk manajemen pengolahan data
pengawasan penangkapan ikan. Sistem informasi dikembangkan berbasis website
dengan rancangan strategis yang matang dan tepat sesuai kebutuhan dengan nama
“Sistem Informasi Manajemen Pengolahan Data Pengawasan Penangkapan Ikan
Untuk memaksimalkan sistem informasi dalam sebuah instansi
pemerintahan kita perlu terlebih dahulu mengetahui elemen sistem dalam strategi
implementasi sistem informasi. Sistem informasi tersebut berguna jika dalam
implementasi sistem berhasil dengan baik. Adapun untuk mengetahui elemen
8. 7
sistem pada strategi yang diterapkan untuk keberhasilan implementasi sistem
informasi yaitu dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling
(ISM).
Hasil penelitian menunjukkan untuk implementasi model, terdapat tujuh
elemen sistem yang perlu diperhatikan. Tujuh elemen sistem dengan masing-
masing subelemen kuncinya, yaitu Dirjen PSDKP sebagai sektor yang
terpengaruh, Dukungan kebijakan/ Peraturan, up date data perizinan yang
kontinuitas dan tenaga ahli IT, terlaksanannya program pengawasan sumber daya
perikanan berbasis IT, sebagian besar operator daerah mulai menggunakan sistem
informasi pengawasan sumber daya perikanan, peningkatan akses data dan
informasi lintas eselon lingkup Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) dan
keterlibatan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga yang terlibat
dalam keberhasilan program.
9. 8
DAFTAR PUSTAKA
Saptoriantoro, P. 2017. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Data
Pengawasan Penangkapan Ikan Berbasis Website Di Direktorat
PPSDP. Tesis: IPB (Bogor).
Nurani, T.W. Model Pengembangan Perikanan (Suatu Kajian Pendekatan Sistem).
Bogor (ID): IPB. 2010
Rahmah Alvi et al. 2013. Pengelolaan Perikanan Tonda Dengan Rumpon Melalui
Pendekatan Soft System Methodology (SSM) Di PPP Pondokdadap
Sendang Biru, Malang. Vol. 4. No. 1: 73-88