1. Mengenal Lebih Jauh 31 Alam Kehidupan (Bhūmi)
(Ditinjau dari Kajian Sutta maupun Abhidhamma)
Oleh: Sāmaṇera Santacitto
Hampir setiap agama mengenal kehidupan setelah kematian meskipun masing-masing
memiliki cara pandang berbeda. Agama Buddha, tanpa terkecuali, juga mengenal konsep yang
sama. Tidak hanya kehidupan setelah kematian, agama Buddha juga percaya adanya kehidupan-
kehidupan lampau yang dialami setiap makhluk. Demikianlah, setiap makhluk, dalam perspektif
agama Buddha, telah mengembara dan berputar dalam alam tumimbal lahir (saṃsara) hingga
tidak terhitung banyaknya. Dipercaya ada 31 alam kehidupan di mana makhluk-makhluk dapat
terlahir setelah kematian, dan terkecuali di lima alam Suddhavāsa (alam para Anāgāmī), setiap
makhluk pernah mengembara di alam-alam ini.
Daftar 31 Alam Kehidupan
Keberadaan 31 alam kehidupan telah disebutkan dalam Abhidhammatthasaṅgaha, sebuah
buku yang disusun sekitar abad ke 10 M oleh Bhikkhu Anuruddha. Mereka adalah:
Tingkat 31 Alam Kehidupan Usia Kehidupan
TingkatAlamNon
Materi
31. Bukan persepsi dan bukan-bukan persepsi 84.000 Mk
30. Kekosongan 60.000 Mk
29. Kesadaran tanpa batas 40.000 Mk
28. Ruang tanpa batas 20.000 Mk
2. TingkatalamMateriTinggi
Jhānakelima
27. Alam murni tertinggi (Akaniṭṭhā) 16.000 Mk
26. Alam yang memiliki pandangan terang (Sudassī) 8.000 Mk
25. Alam yang memiliki pandangan indah (Sudassā) 4.000 Mk
24. Alam yang tenang (Atappā) 2.000 Mk
23. Alam yang bertahan lama (Avihā) 1.000 Mk
22. Alam tanpa persepsi (Asaññasattā) 500 Mk
21. Alam dg buah besar (Vehapphalā) 500 Mk
Jhānake
empat
20. Alam dg keindahan yang kokoh (Subhakiṇhā) 64 Mk
19. Alam dg keindahan tanpa batas (Appamānāsubhā) 32 Mk
18. Alam dg keindahan minor (Parittasubhā) 16 Mk
Jhanakedua
danketiga
17. Alam dg cahaya cermerlang (Ābhassarā) 8 Mk
16. Alam dg cahaya tanpa batas (Appamāṇābhā) 4 Mk
15. Alam dg cahaya minor (parittābhā) 2 Mk
Jhāna
pertama
14. Alam Brahma agung (Mahābrahmā) 1 Ask
13. Alam menteri-menteri Brahma (Brahmapurohitā) 1/2 Ask
12. Alam para pengikut Brahma (Brahmapārisajjā) 1/3 Ask
TingkatAlamInderawi
AlamKesenangan
11. Paranimittavasavatti 16.000 Us
10. Nimmānarati 8.000 Us
9. Tusita 4.000 Us
8. Yāma 2.000 Us
7. Tāvatiṃsa 1.000 Us
6. Cātummahārajikā 500 Us
5. Manussa (Manusia) Tidak tentu
Alam
Rendah
4. Asura Tidak tentu
3. Peta Tidak tentu
2. Tiracchana (Binatang) Tidak tentu
1. Niraya (Neraka) Tidak tentu
3. Jangka Usia Makhluk-Makhluk
Dalam tabel yang diberikan di atas, usia kehidupan makhluk-makhluk bervariasi
tergantung pada alam di mana masing-masing dilahirkan. Tabel tersebut menyebutkan beberapa
jangka usia dengan singkatan MK yang berarti Mahākappa, Ask (Asaṅkheyyakappa) dan Us
(Usia Sorgawi). Usia makhluk-makhluk yang terlahir di alam Brahma dari jhāna kedua ke atas
memiliki usia dari satu Mahākappa hingga 84.000 Mahākappa, sedangkan mereka yang terlahir
di alam yang berkaitan dengan jhāna pertama berusia dari 1/3 Asaṅkheyyakappa hingga satu
Asaṅkheyyakappa. Sementara, usia makhluk-makhluk dari alam dewa memiliki rata-rata usia
sesuai dengan alamnya dengan jangka waktu usia sorgawi. Alam manusia ke bawah memiliki
usia yang tidak tentu, terkadang pendek, terkadang sangat panjang.
Berkaitan dengan ukuran waktu dengan jangka yang sangat panjang, agama Buddha
mengenal tiga ukuran waktu demikian, yakni antarakappa, mahākappa dan asaṅkheyyakappa.
Jangka waktu antarakappa dikatakan sama seperti jangka waktu ketika umur manusia rata-rata
sepuluh tahun kemudian meningkat hingga jangka waktu maksimal manusia yang berumur
ribuan tahun dan kemudian kembali lagi hingga umur rata-rata sepuluh tahun. Duapuluh kali
jangka waktu antarakappa adalah satu asaṅkheyyakappa, dan empat kali asaṅkheyyakappa
adalah satu mahākappa. Sungguh lama adalah jangka waktu satu mahākappa. Dalam Pabbata
Sutta dari Saṃyuttanikāya Sang Buddha mengatakan bahwa jangka waktu satu mahākappa jauh
lebih lama dibandingkan ketika misalnya ada seseorang mampu menghabiskan satu batu karang
padat dengan tinggi dan lebar satu yojana (satu yojana: tujuh mil) dengan cara mengusapnya
dengan kain sutra seratus tahun sekali.
Umur alam-alam dewa lebih pendek dari alam-alam Brahma. Menurut Vibhaṅga, kitab
kedua Abhidhamma dan juga Visākhā Sutta dari Aṅguttaranikāya, dikatakan bahwa sehari di
alam Cātummāharājikā sama dengan 50 tahun di alam manusia. Sementara itu, satu hari di alam
Tāvatiṃsa adalah sama dengan 100 tahun alam manusia; di alam Yāma, 200 ratus tahun di alam
manusia; dan seterusnya, dikalikan dua dalam masing-masing alam-alam dewa yang lebih tinggi.
Jika dihitung sesuai dengan umur manusia, makhluk-makhluk di alam Cātummahārājikā
berumur sekitar 9 juta umur manusia, Tāvatiṃsa 30 enam juta, Yāma 144 juta, Tusita 576 juta,
Nimmānarati dua milyar tigaratus empat juta, Paranimmitavasavatti sembilan milyar duaratus
enambelas juta.
Makhluk-makhluk yang terlahir di alam manusia dan ke bawah, seperti yang disebutkan
di atas, memiliki umur yang tidak tentu. Ada yang baru lahir bisa meninggal, dan ada pula
memiliki usia yang sangat panjang. Saat ini, misalnya, rata-rata umur manusia 80 tahun, tetapi
ada kalanya umur manusia bisa mencapai 100.000 tahun. Bahkan mereka yang terlahir di alam
neraka juga terkadang tidak berada di sana dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh, Ratu
Mallikhā, istri Raja Pasenadi, setelah meninggal dunia terlahir di alam neraka dan hidup di sana
hanya tujuh hari. Tetapi, ada juga yang mengalami penderitaan di alam neraka dalam jangka
waktu yang sangat lama. Misalnya, Devadatta karena kejahatannya harus menderita di alam
neraka Avici selama 100 kappa (mahākappa).
Kebahagiaan dan Penderitaan Alam Saṃsara
Sesuai dengan tingkat alam kehidupan, pengalaman yang dialami oleh makhluk-makhluk
juga berbeda. Alam terendah dari 31 alam kehidupan adalah Niraya (Neraka). Alam Neraka juga
4. dibagi menjadi beberapa tingkat. Terdapat 8 tingkat di alam ini yang mana alam terendah adalah
Neraka Avici. Kokālika Sutta dari Suttanipāta telah memberikan deskripsi penderitaan bhikkhu
Kokālika yang karena kejahatannya terlahir di alam Neraka Paduma (Salah satu tingkatan alam
Avici). Ia harus tersiksa di alam tersebut di mana ia harus tertusuk oleh tombak dan harus
memakan bola besi api membara. Ia pun harus direbus di dalam besi yang meleleh dalam jangka
waktu yang sangat lama, direbus di antara nanah dan darah, direbus di dalam air dengan kutu-
kutu, ia harus memasuki kondisi seperti hutan yang penuh dengan pedang tajam.
Kontras dengan penderitaan di alam neraka, alam-alam dewa apalagi brahma
memberikan kebahagiaan yang tidak terbayangkan. Sebuah perumpamaan telah diberikan dalam
Bālapaṇḍita Sutta. Misalnya, ada seorang Raja Cakkavatti yang begitu menikmati
kebahagiaannya karena memiliki tujuh permata, seperti gajah terbang yang mana dengannya
Sang Raja bisa keliling dunia. Meskipun kebahagiaan Sang Raja sangat besar, kebahagiaannya
itu ibarat batu sebesar tangan, sedangkan kebahagiaan alam dewa ibarat gunung Himalaya, raja
semua gunung. Demikianlah, karena kebahagiaan yang begitu besar itulah, tidak mengherankan
jika banyak dewa begitu melekat dengan alamnya dan kesulitan untuk mengenal Dhamma jika
tidak ada seorang Buddha yang membantu menunjukkan ajaran kebenaran. Oleh karena itulah,
seorang Buddha hanya akan muncul di alam manusia, karena di alam ini kebahagiaan dan
penderitaan didapatkan. Pemahaman yang sempurna akan direalisasi ketika seseorang melihat
penderitaan secara menyeluruh. Alam manusia memberikan kesempatan terhadap seorang calon
Buddha untuk merealisasikan kebudhaannya.
Kamma dan Kelahiran
Kamma mengacu kepada perbuatan yang dilakukan oleh makhluk. Agama Buddha
memandang bahwa setiap perbuatan pada umumnya menghasilkan buah. Perbuatan tidak hanya
berbuah di alam kehidupan sekarang, tetapi juga di kehidupan setelah kematian. Baik dan
buruknya kehidupan sekarang sangat dipengaruhi oleh perbuatan-perbuatan masa lampau,
sedangkan perbuatan-perbuatan pada kehidupan sekarang mempengaruhi kehidupan-kehidupan
yang akan datang.
Secara umum, menurut pandangan agama Buddha, perbuatan jahat mengakibatkan
kelahiran di alam-alam penderitaan, sementara perbuatan baik membuahkan kebahagiaan dengan
kelahiran-kelahiran di alam bahagia. Biasanya dalam sutta-sutta, sebagai contoh dalam
Bālapaṇḍita Sutta, disebutkan bahwa seorang bijak yang senang melakukan kebajikan melalui
ucapan, perbuatan jasmani dan pikiran, setelah kematiannya, akan terlahir di alam bahagia,
bahkan di alam surgawi. Sementara itu, seorang bodoh yang suka melakukan kejahatan baik
melalui ucapan, perbuatan jasmani dan pikiran, setelah kematiannya, akan terlahir di alam
menderita, alam sengsara, dan bahkan dapat terlahir di alam neraka.
Namun beberapa sumber lain baik dari Tipiṭaka maupun kitab-kitab komentar terkadang
memberikan secara spesifik jenis perbuatan atau kecenderungan apa yang dapat menimbulkan
makhluk terlahir di alam-alam yang berbeda. Devadutta Sutta dari Majjhimanikāya, sebagai
contoh, menegaskan mereka yang senang berbuat kejahatan melalui tiga pintu perbuatan serta
suka menghina para bijak akan terlahir di alam peta, binatang ataupun neraka. Sebaliknya,
mereka yang menghindari kejahatan demikian akan terlahir di alam manusia ataupun alam dewa.
5. Sementara itu, Sāleyyaka Sutta dari Majjhimanikāya menyatakana secara spesifik bahwa
kelahiran di alam-alam menderita disebabkan karena sepuluh perbuatan jahat (dasa
akusalakammapatha), sedangkan kelahiran di alam-alam dewa bahkan di alam-alam brahma
serta pencapaian-pencapaian kesucian disebabkan oleh sepuluh perbuatan baik (dasa
kusalakammapatha). Penjabaran menarik telah diberikan oleh Kitab Komentar. Sepuluh
perbuatan bajik yang meliputi perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran di sini disebut
sebagai bagian dari moral (sīla). Mereka hanya membuahkan kelahiran di alam-alam dewa dari
Cātummahārājikā hingga Paranimmittavasavatti. Sementara itu, kelahiran di alam-alam Brahma
disebabkan oleh pencapaian-pencapaian jhāna, sedangkan moralitas atau sepuluh perbuatan bajik
di sini hanya menjadi pondasi saja. Mereka yang mencapai jhāna pertama terlahir di alam yang
berkaitan dengan jhāna pertama, dst. Lebih lanjut, mereka yang terlahir di alam Suddhavasa
dikatakan terlahir di sana setelah memiliki sīla, jhāna dan mengembangkan meditasi pandangan
terang (vipassanā).
Abhidhammatthasaṅgaha mengaitkan hukum kamma dengan citta. Mereka yang terlahir
di alam kesenangan inderawi disebabkan oleh 20 citta (12 citta buruk, dan 8 baik) yang berada
dalam kategori kāmavacara. 12 citta yang buruk yang berakar dari lobha, dosa dan moha
menyebabkan kelahiran di alam rendah, sedangkan 8 citta yang baik menyebabka n kelahiran di
tujuh alam surga. Sementara itu citta yang berkaitan dengan jhāna baik materi maupun non-
materi menyebabkan kelahiran di alam brahma baik rūpa maupun arūpa.
Proses Pikiran dalam Kematian dan Kelahiran
Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pelopor. Agama Buddha melihat bahwa pikiran
adalah faktor yang menyebabkan kelahiran. Meski di atas disebutkan tentang perbuatan (kamma)
yang menimbulkan kelahiran kembali, perlu ditekankan pula bahwa perbuatan itu sendiri adalah
pikiran. Sang Buddha mengatakan bahwa kehendak (cetana) yang mana merupakan bentuk
pikiran adalah perbuatan itu sendiri. Tidak hanya pikiran menjadi penyebab kelahiran, faktor
yang berlanjut di alam mendatang itu sendiri juga adalah pikiran. Pikiran adalah pembuat, dan
pikiran pula yang harus mengalami kelanjutan (kelahiran). Namun meskipun pikiran merupakan
faktor yang menjadi sumber kelahiran dan faktor yang berlanjut untuk dilahirkan, hal ini tetap
jangan diartikan bahwa pikiran adalah kekal, eternal, dari satu kelahiran ke kelahiran lain.
Pikiran juga tidak kekal. Ia berubah setiap saat tergantung pada obyek yang diperhatikan.
Kelahiran terjadi karena pikiran tidak mengalami penghentian (nirodha).
Proses pikiran kaitannya dengan proses kematian dan kelahiran telah dijelaskan dalam
Abhidhamma. Menurut Abhidhamma dan juga kitab-kitab komentar, ketika seseorang berada
pada ambang kematian, ia akan mendapatkan gambaran batin, entah mengingat perbuatan yang
telah dilakukan (kamma), atau mendapatkan gambaran batin berupa simbol-simbol berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan masa lampaunya (kammanimitta) atau memperoleh gambaran batin
yang berkaitan dengan alam di mana ia akan dilahirkan (gatinimitta). Tiga bentuk gambaran
batin ini menjadi pertanda kemana ia akan dilahirkan setelah kematian. Jika gambaran batinnya
tidak menyenangkan atau menakutkan, ia kemungkian akan dilahirkan di alam menderita, tetapi
jika gambaran batin yang muncul adalah baik, ini adalah pertanda ia akan dilahirkan di alam
baik.
Gambaran batin yang disebutkan di atas akan menjadi obyek kesadaran sebelum kesadaran
memasuki kesadaran kematian (cuticitta). Di sini, kesadaran penerus (bhavaṅga) akan bergetar
6. karena munculnya obyek yang berkenaan dengan gambaran batin tersebut. Kemudian kesadaran
tersebut memasuki proses biasanya yakni selanjutnya kesadaran penerus berhenti dan dilanjutkan
dengan respon lima pintu indera (jika obyek yang muncul terkait dengan obyek yang dapat
dilihat, dst oleh lima pintu indera), kesadaran menerima (sampaṭicchana), kesadaran menyelidik
(santīraṇa), kesadaran memutuskan (votthapana), dan dilanjutkan dengan lima muncul dan
lenyapnya momen kesadaran (javana), dan diteruskan dengan kemunculan kesadaran mencatat
(tadārammaṇa) dua kali, bhavaṅga dua kali dan muncullah cuticitta. Terkadang jika obyeknya
tidak kuat, setelah javana, langsung muncul bhavaṅga dua kali dan setelahnya cuticitta, dan
bahkan bisa langsung cuticitta. Jika obyeknya kuat, maka dapat muncul seperti penjelasan
pertama dan juga dapat pula setelah javana, muncul tadārammaṇa dua kali dan berlanjut cuticitta.
Perlu dicatat bahwa jika obyek yang muncul hanya berkaitan dengan pikiran semata dan lewat
melalui pintu indera pikiran (manodvāra) saja, maka setelah manodvāra, langsung memasuki
lima javana.
Sesegera kesadaran memasuki cuticitta, kesadaran berlanjut pada kesadaran pertama
kelahiran yang sering disebut sebagai paṭisandhiviññāna. Kesadaran ini dipengaruhi sekali
dengan javana terakhir yang muncul sebelum cuticitta. Secara garis besar, jika kesadaran
diambang kematian menuju pada kelahiran yang tidak baik, paṭisandhiviññāna yang muncul juga
disertai oleh kesadaran yang tidak baik, dan tentu sebaliknya. Dikatakan dalam
Abhidhammatthasaṅgaha terdapat 19 jenis kesadaran yang dapat menyertai patisandhiviññāṇa.
Sebagai contoh, jika seseorang dilahirkan di alam rendah, paṭisandhiviññāna saat itu adalah
kesadaran menyelidik yang merupakan buah perbuatan tidak baik yang disertai kondisi netral
(akusalavipāka upekkhasahagatasantīraṇa).
Kelahiran Berulang-ulang adalah Dukkha
Tujuan Sang Buddha menunjukkan keberadaan 31 alam kehidupan adalah selain untuk
mengingatkan manusia agar selalu mengembangkan kebajikan supaya dapat meminimalisir
penderitaan dengan terlahir di alam-alam bahagia, juga yang jauh lebih penting lagi, untuk
menunjukkan bahwa kelahiran di alam saṃsara adalah penderitaan. Kelahiran di alam tumimbal
lahir bagi setiap makhluk sudah tidak terhitung jumlahnya. Setiap makhluk biasa (puthujjana)
pernah terlahir di alam-alam yang bahagia (kecuali Suddhavāsa) dan juga di alam-alam
menderita bahkan direbus di alam neraka. Dalam khotbah-khotbahnya Sang Buddha
mengumpamakan seandainya seseorang mengumpulkan air mata yang keluar karena kehilangan
ibunya, maka air mata tersebut masih jauh lebih banyak dari air yang ada di empat samudera,
atau seandainya mengumpulkan darah ketika ia harus terlahir sebagai sapi di alam
pengembaraan, darah tersebut masih jauh lebih banyak ketimbang air yang ada di empat
samudera.
Sungguh, pengembaraan di alam saṃsara adalah penderitaan. Oleh karena itu, pekik
kemenangan yang diungkapkan Sang Buddha ketika belum lama mencapai pencerahan sempurna
menyebutkan dan menegaskan bahwa kelahiran yang berulang-ulang adalah penderitaan.
Pengetahuan bahwa pengembaraan ini adalah penderitaan harus menjadi perenungan bagi setiap
umat Buddha agar muncul semangat untuk lebih tekun mempraktikkan Dhamma.
Pengembaraan di alam tumimbal lahir merupakan penderitaan karena kehidupan
seseorang tidak pasti. Apapun kebahagiaan yang didapat bahkan kehidupan di alam dewa atau
brahma sekalipun tidak kekal dan akan ditinggalkan. Dalam pengembaraan ini, kemungkinan
7. untuk kembali terjatuh lagi ke dalam alam menderita bahkan alam neraka masih terbuka. Oleh
karena itu, seseorang harus melihat dan merenungkan bahayanya hidup mengembara di alam
saṃsara. Perenungan ini perlu dikembangkan agar muncul semangat untuk lebih tekun lagi
mempraktikkan Dhamma. Berhubungan dengan ini, pernyataan inspiratif diberikan,
“saṃsarabhaye avekkhati’ti idaṃ vuccati bhikkhu” yang artinya “seorang bhikkhu disebut
demikian karena ia melihat bahaya-bahaya di alam pengembaraan”. Demikianlah, seorang
bhikkhu dan bahkan siapapun hendaknya senantiasa merenungkan bahaya-bahaya yang ada
dalam pengembaraan. Di sini, setiap makhluk harus mengalami kesedihan, ratap tangis,
perpisahan dengan apa yang dicintai, dll. Melihat demikian tidak berarti mengajak seseorang
untuk pesimis, tetapi agar semangat untuk terbebas dari alam pengembaraan semakin besar.
Tujuan Umat Buddha: Keluar dari Saṃsara
Melihat bahaya-bahaya muncul dalam pengembaraan tumimbal lahir, seorang Buddhis
didorong untuk berupaya agar terbebas dari alam saṃsara ini. Ini adalah tujuan setiap praktisi
Dhamma. Bebas dari alam saṃsara, tiada lain, adalah nibbāna, pembebasan sejati.
Perlu digarisbawahi kembali di sini bahwa mempelajari keberadaan 31 alam kehidupan
bukan bertujuan, utamanya, agar terlahir di alam-alam dewa. Tetapi agar melihat betapa tidak
pastinya kehidupan di alam saṃsara. Oleh karena itu, dalam beberapa khotbahya terutama
khotbah bertingkat (anupubbikathā), setelah memberikan deskripsi kebahagiaan alam dewa,
Sang Buddha kemudian melanjutkan untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan alam surgawi pun
tidak kekal. Beliau menunjukkan pentingnya membebaskan diri dari bahkan kebahagiaan alam
surgawi yang pada hakekatnya juga bagian dari dukkha. Ketika batin pendengar telah siap dan
matang, Sang Buddha biasanya akan meneruskan untuk membabarkan Empat Kebenaran Mulia
sehingga orang tersebut mampu melihat Dhamma dan merealisasi pembebasan.
Tujuan utama Sang Buddha membabarkan Dhamma hanya untuk pembebasan telah
ditegaskan Beliau dalam Alagaddūpama Sutta. Beliau menyatakan bahwa dari dulu hingga
sekarang Beliau hanya mengajarkan tentang dukkha dan lenyapnya dukkha. Jika demikian
halnya, alasan beliau menunjukkan keberadaan alam-alam kehidupan adalah agar seseorang
semakin sadar untuk berbuat baik dan membebaskan dirinya dari penderitaan karena kelahiran
terus menerus. Seperti yang disebutkan dalam Accenti Sutta dari Saṃyuttanikāya, ketika seorang
dewa datang kepada Sang Buddha dan mengumandangkan puisinya yang berisi anjuran agar
seseorang segera berbuat kebajikan (puñña) setelah melihat bahaya kematian, Sang Buddha
menjawabnya dengan sebuah pernyataan tegas bahwa setelah melihat bahaya kematian seseorang
hendaknya melenyapkan umpan dunia yang membuat seseorang terus terjerat di dalam alam
tumimbal lahir.
Demikianlah, menjadi umat Buddha adalah upaya agar terbebas dari penderitaan alam
samsara. Bagaimana jalan yang dapat ditempuh agar terbebas? Tentu dengan melenyapkan
kotoran batin melalui praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan atau dapat dipersingkat dengan sīla
(moral), samādhi (konsentrasi) dan paññā (kebijaksanaan). Dengan jalan ini, kotoran batin secara
bertahap dapat lenyap. Jika setidaknya telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai kesucian
sotāpanna, seseorang telah membuat dirinya aman dan tidak akan lagi terlahir di empat alam
rendah. Ia dikatakan sambodhiparayana (sudah dipastikan mencapai pencerahan).
8. Kesimpulan
Agama Buddha mengenal bahwa kehidupan tidak hanya ada di sini saja. Setiap makhluk
telah mengalami kelahiran dan kematian berulang-ulang di berbagai kehidupan. Dalam
pengembaraan, terkadang seseorang terlahir di alam-alam bahagia karena kekuatan kebajikan
yang telah diperbuatnya. Namun demikian, karena akar kejahatan yang belum lenyap dan karena
masih dikuasai oleh kegelapan batin, seringkali pula, seseorang terjatuh ke dalam alam-alam
menderita dan harus direbus di dalam penderitaan yang tidak terbayangkan. Karena hal inilah,
tujuan Sang Buddha menunjukkan keberadaan berbagai alam kehidupan adalah agar seseorang
semakin waspada dalam perbuatannya agar tidak terjerumus ke dalam alam-alam yang
menderita. Lebih dari itu, pemahaman tentang alam-alam kehidupan yang pada hakekatnya
adalah tidak kekal, memberikan ketidakpuasan dan tidak dapat dianggap sebagai milik,
diharapkan dapat menjadi pemicu bagi seseorang untuk membebaskan diri dari lingkaran
saṃsara yang penuh dengan bahaya penderitaan.
Sumber Pustaka
1. Bhikkhu Bodhi, trans. Abhidhammatthasaṅgaha (A Comprehensive Manual of Abhidhamma).
Kandy: Buddhist Publication Society, 1999.
2. Bodhi, Bhikkhu. trans. The Connected Discourses of the Buddha (Saṃyuttanikāya), Vol. II.
Boston: Wisdom Publication, 2000.
3. Bodhi, Bhikkhu, trans. The Middle Length Discourses of the Buddha (Majjhimanikāya).
Kandy: Buddhist Publication Society, 1995.
4. Hare, E. M, trans. The Book of the Gradual Sayings (Aṅguttaranikāya), Vol. IV. London:
Pali Text Society, 1973.
5. J. H. Woods and D, ed. Kosambi Majjhimanikāya Atthakathā, Vol. I, London: Pali Text
Society, 1977.