Pria ini mengalami perubahan minat dari studi fiqih ke studi ushul fiqih, maqashid syariah, dan politik hukum Islam setelah menjelaskan konsep isyfaq kepada organisasi Muhammadiyah. Ia merasa sedang mengalami kondisi isyfaq yang dicirikan dengan kewaspadaan dan kasih sayang. Ia berharap dapat terus belajar fiqih dengan semangat tauhid.
1. 1
Apakah Saya Sedang Mengalami Isyfāq?
Hari Ahad Malam (yang lalu), 29 Maret 2015, saya diminta oleh
teman-teman dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta
untuk menjelaskan konsep Isyfâq, yang antara lain ditulis oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya: Madârijus Sâlikîn.
Saya pun menyetujui dan datang tepat waktu.
Setelah menjadi Imam Shalat ‘Isya’ di Masjid KHA Dahlan (di
lingkungan kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota
Yogyakarta), segera – saya dan para jamaah – menuju Aula Kantor
tersebut.
Setelah usia bertadarus al-Quran bersama Ketua Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta (Ustadz Aris Madani),
segeralah saya dipersilakan untuk menjelaskan konsep Isyfâq (dalam
durasi waktu +/- 60 menit).
Setelah usai presentasi, ada beberapa pertanyaan dari para
jamaah yang mengusik diri saya, antara lain: (1) Kapan dan seperti apa
isyfâq itu terjadi pada diri kita? (2) Bagiamana cara kita meraih isyfâq,
dan (3) Bagaimana seharusnya kita menyikapinya kita berada dalam
kondisi isyfâq?
Sejak itulah, saya mulai merenung dan bahkan beberapa kali
berkontemplasi. Dan, tiba-tiba saya ingin bertanya pada diri saya
sendiri: “Jangan-jangan saya pun pernah mengalami isyfâq itu”
Begini ceritanya.
Saya tidak tahu persis, sejak kapan dan bagaimana diri saya tiba-
tiba lebih tertarik untuk belajar Ilmu Ushul Fiqih, kajian tentang Maqashid
Syari’ah dan Politik Hukum (Utamanya: Politik Hukum Islam), setelah
beberapa kali membaca disertasi Guru Saya: “Prof.Dr. Mahfud MD,
ditambab lagi dengan keadaan Indonesia saat itu. Saya menjadi sangat
penasaran: “Apakah keresahan saya ini mirip dengan dengan Paul
Ormerod, atau sama sekali berbeda, ketika Dia menulis buku yang
berjudul the Death of Economics? Yang jelas saya tahu, di pertengahan
bukunya Pak Paul menulis seperti ini:
2. 2
Kini, sedikitnya di Harvard, ilmu politik telah mengalahkan ilmu
ekonomi sebagai mata kuliah favorit. Makin banyak ekonom memertanyakan
absahnya dalil-dalil pokok ilmu ekonomi. Sebagian karya mereka merupakan
paduan dari ilmu-ilmu lain, seperti ilmu politik dan biologi. Pendekatan,
metode, dan teknik baru yang mereka kembangkan pada gilirannya telah
menyingkapkan kerapuhan ilmu ekonomi ortodoks.
Asumsi saya sementara, kondisi ini agak mirip dengan apa yang
terjadi di Indonesia sekarang. Kini, fakultas berbasis teknologi informasi
dan komputer sangat diminati khalayak. Terkadang fakultas ekonomi
hanya sebagai cadangan saja, itu pun sudah digandeng pula dengan ilmu
lain. Misalnya seperti mata kuliah komputer akuntansi.
Jika Paul menjabarkan transformasi itu dikarenakan perubahan
pandangan para pengikut ekonomi ortodoks yang memberontak dan
hengkang, saya yakin di Indonesia perubahan tersebut lebih disebabkan
oleh kehausan akan teknologi dan kesadaran bahwa di era globalisasi
ini, segala yang berbau teknologi dan komputer lebih menjanjikan
kemapanan.
Nah, saya -- alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga --
yang dulu sangat mencintai Ilmu Fiqih, tiba-tiba ‘bosan’ untuk
memelajarinya. Kalau pun saya membacanya kembali, itu terjadi karena
saya adalah ‘mubaligh kampung’ yang dipaksa orang untuk menjelaskan
Islam dengan pendekatan Fiqih dan menjawab hamper semua
pertanyaan dengan Ilmu Fiqih yang sudah agar saya jauhi itu.
Bahkan di tengah kebosanan saya untuk bersentuhan dengan
Ilmu Fiqih itu, pernah menjadikan diri saya – untuk sementara – akrab
dengan Kajian Tasawuf.
Kini, saya tengah ‘menikmati’ kajian Ushul Fiqih, Maqashid
Syari’ah dan Politik Hukum (Utamanya: Politik Hukum Islam) yang untuk
sementara ini saya cermati dengan ‘kerinduan yang sangat dalam’.
Bahkan, karena provokasi dari beberapa guru saya: Prof.Dr. Mahfid
MD, Prof.Dr. Muchtar Masud, Prof.Dr. Bambang Cipto, Prof.Dr. Tulus
Warsito dan Prof.Dr. Syamsul Anwar, saya tengah benar-benar
menikmati bacaan dan kajian-kajian Ushul Fiqih, Maqashid Syari’ah dan
Politik Hukum (Utamanya: Politik Hukum Islam), dan banyak
menghabiskan waktu saya untuk mengkajinya, di samping sesekali
3. 3
membaca buku-buku Tasawuf yang agak beragam. Padahal, saya -- saat
ini – tengah mengajar mata kuliah: Fiqih Mu’amalah, yang – dengan
sedikit memaksa diri – saya harus tetap bersentuhan dengan buku-buku
dan kajian-kajian tentang Fiqih Mu’amalah, baik yang klasik maupun
kontemporer.
Saya tidak tahu, apakah saya ini sedang tersesat atau ‘sedang’
galau. Yang jelas ‘saya’ pernah menyatakan pada diri saya sendiri:
“insyaallah saya masih dalam keadaan “‘isyfâq”, yang oleh al-Harawi –
dalam kitab Manâzilus Sâirin -- disebut sebagai: “kewaspadaan secara
terus-menerus yang disertai dengan rasa kasih-sayang”. Saya tetap
mencinta sesuatu yang pantas saya cintai: “Ilmu Fiqih”, tetapi untuk
sementara waktu tengah bermesraan dengan: Kajian Ushul Fiqih,
Maqashid Syari’ah dan Politik Hukum (Utamanya: Politik Hukum Islam).
Saya tidak tahu, sampai kapan saya mengalami kondisi semacam
ini. Tetapi, yang jelas ‘saya’ tetap sadar bahwa saya tidak boleh lengah
untuk senantiasa (tetap) berdzikir (baca: dzikrullâh) dengan ucapan,
tindakan dan hati saya, kapan pun dan di mana pun saya berada.
Jadi, isyfâq yang saya alami saat ini bisa saya maknai sebagai
sebuah sikap kehati-hatian dalam rangka mengantisipasi terjadinya
sesuatu yang tidak baik, dan untuk selanjutnya saya tetap akan bersikap
bersikap proaktif dengan cara melakukan tindakan apa pun yang bisa
mencegah terjadinya keburukan-keburukan dengan tetap memilih jalan
yang terbaik.
Kesadaran saya untuk tetap merenungi kalimat:“ َكَاّيِإَو ُدُبْعَن َكَاّيِإ
ُنِيعَتْسَن” sampai saat ini – insyaallah – masih lekat. Dan saya tetap
berharap bisa memelajari Ilmu Fiqih dengan semangat TAUHÎD, hingga
bisa mengamalkannya secara proporsional dalam bingkai TAUHÎD pula.
Nashrun Minallâhi wa Fathun Qarîb.