3. 1
DAFTAR ISI
Pengelolaan Platform Start-Up Lomba Mahasiswa Dalam Era
Digital (Distrupsi) Sebagai Wadah Pengembangan Diri
Mahasiswa 3
Eksistensi Organisasi Mahasiswa Daerah di Daerah Asal
(Berkaitan dengan gaya kepemimpinan) 13
Analisis Perlawanan Budaya Patriarki melalui Kepemimpinan
Perempuan pada Komunitas “Ibu Bekerja” 24
Kepemimpinan Fauzan sebagai Seorang Milenial 36
Gaya Kepemimpinan pada Organisasi Mahasiswa Daerah
IKPMJ Yogyakarta 45
Sekolah sebagai Pembentuk Pemimpin Masa Depan yang
Melayani : Studi Kasus di SMA Kolese de Britto 51
Pemimpin, Pengetahuan, dan Gaya Kepemimpinan Komunitas
Kebudayaan Jepang: Studi Kasus Komunitas Gamabunta 60
Keberagaman Mindset, Pola Pikir, dan Wawasan: Berangkat
dari Keberagaman Genre Buku hingga Menjadi Pegangan
Penting Librario 69
Kepemimpinan Millennial : Strategi Faktor Internal (Human
Resource, Marketing, Finance, Operational) Start-up Rumah
Harmonis Menuju Keberhasilan 77
4. 2
Kepemimpinan: Treatment Ala Pendiri Gerakan Pemuda
Relawan Cita Menjaga Komitmen Anggota dan Keberlanjutan
Hidup Organisasi 87
Kepemimpinan Masa Kini : Komunitas Kepemudaan Bantul
Bergerak, Menginspirasi Bumi Projotamansari 94
Peran Digital Dalam Pergerakan : Studi Kasus Pergerakan
Mahasiswa Dalam Aksi Gejayan Memanggil 2019 102
5. 3
PENGELOLAAN PLATFORM START-UP LOMBA
MAHASISWA DALAM ERA DIGITAL (DISTRUPSI) SEBAGAI
WADAH PENGEMBANGAN DIRI MAHASISWA
Oleh: Muhammad Harrafi Mulki
Startup pada umumnya adalah sebuah usaha untuk
mendigitalisasi kegiatan ekonomi, sosial, budaya ataupun hal
lainnya yang digunakan dalam menjawab tantangan saat ini.
Menurut Ries, 2011 Start-Up adalah institusi yang dibuat manusia
dalam rancangannya untuk menciptakan produk ataupun jasa
ditengah ketidakpastian yang esktrem. Masyarakat dihadapkan
dalam era distrupsi pada sektor sektor ekonomi, sosial dan tidak
terlepas pada sektor pendidikan terkhususnya tingkat perguruan
tinggi. Distrupsi tersebut masuk kedalam ranah ranah akademis
maupun non akademis. Mulai dari cara belajar, cara mengajar,
kegiatan akses internet untuk mengambil informasi maupun
mengikuti lomba lomba baik penekanannya pada kebugaran
tubuh/olahraga ataupun pembuatan karya tulis ilmiah/essai
lainnya. Mahasiswa mengikuti lomba tentu beragam macam alasan.
Bisa untuk coba coba karena hadiahnya besar hingga mereka yang
memang memfokuskan diri mereka dalam pengembangan diri
sehingga merasa bisa lebih unggul dari mahasiswa lain. Memang
klasik, namun itulah yang mendasari mereka mengikuti lomba
lomba yang ada.
Anak muda dianggap para pendahulu atau para tetua sebagai
generasi penerus bangsa. Memang kata kata demikian ada
benarnya, masyarakat terus menerus mengalami re-generasi
sehingga harus ada kontribusi dan secercah harapan para
pendahulu dapat diwujudkan oleh generasi selanjutnya. Hal
6. 4
tersebut dapat dilakukan melalui persaingan yang kompetitif
sehingga memunculkan hal hal baru yang dianggap masih fresh
sehingga hal ini menjadi suatu acuan. Kemudian, menuangkan ide
baru tersebut dengan memiliki semangat kompetitif ada dimana?
Ya, jawabannya adalah perlombaan.
Lomba adalah salah satu nafas dari mahasiswa. Dengan
adanya lomba, mahasiswa merasa terfasilitasi dalam menuangkan
ide ide kreatif mereka dalam bentuk tulisan ataupun bentuk bentuk
lainnya. Sehingga dalam hal ini Lomba Mahasiswa hadir sebagai
wadah untuk mempermudah akses mahasiswa menemukan
aktivitas kegiatan lomba. Lebih detail berikut beberapa informasi
umum mengenai lomba mahasiswa dan bagaimana peran anak
muda dalam mengelolanya.
Sejarah Lomba Mahasiswa
CEO sekaligus Founder Adhika mendirikan sebuah platform
start-up yang bernamakan Lomba Mahasiswa pada tanggal 30
Agustus 2018. Beliau aktif untuk mencari info lomba door to door
(menghubungi pihak himpunan mahasiswa) mencari info tentang
lomba. Yang ia temui adalah banyak lomba hanya spam semata
padahal keren, keliatan berserakan sehingga tidak tersusun secara
baik. Kemudian Adhika merasa harus membuat instagram untuk
menampung info info lomba tersebut sehingga tersusun secara baik.
Selama satu bulan Lomba mahasiswa berhasil mendapat 1000
followers pada platform instagram.
Asal muasal planningnya memang diproyeksikan untuk
menjadi start-up. Hal itu kemudian diwujudkan dengan inisiatif
mereka untuk mendaftarkan idenya kepada inkubasi fisipol yang
dinamakan creative-hub dan hasilnya diterima. Dari situ lah
Adhika sebagai Founder dan Rilo sebagai Co-Founder menjajaki
awal untuk menjadikan Platform Lomba Mahasiswa menjadi lebih
matang lagi. Beliau diajarkan bagaimana cara membangun Start-up
7. 5
yang baik. Selain itu bagaimana mengembangkan model bisnis,
kemudian bagaimana marketingnya, selanjutnya sustainabilitynya
seperti apa serta problem solving untuk membangun pondasi awal
Start-up. Selama 6 bulan atau setengah tahun beliau rutin untuk
belajar dikelas creativ-hub. Kelas kelas tersebut mengajarkan untuk
menjadikan start-up yang ingin mereka bangun sebagai basis dari
sociopreneur. Dapat dikatakan sebagai kewiralembagaan yang
melandasi bentuk watak dasar Platform Start-Up Lomba
Mahasiswa. Dalam dinamikanya, tujuan awal mereka adalah untuk
memberikan dampak sosial yang positif kepada sesama.
Latar Belakang Terbentuknya Startup Lomba Mahasiswa
Tentu dari setiap adanya ide ada alasan yang mendasari
pembentukan ide tersebut. Dalam hal ini, Platform Lomba
Mahasiswa mempunyai dasar pemikiran dalam membangun
sebuah start-up yakni memajukan dunia Pendidikan lewat
perlombaan. Lomba Mahasiswa percaya pada hasil riset yang
dilakukan oleh Insead dalam cakupnnya di seluruh dunia termasuk
salah satunya indonesia untuk mengukur skala kompetitifness
(semangat untuk bersaing). Memetakan setidaknya 120 negara
dengan peringkat dari 1 hingga 120. Dan Indonesia menempati
peringkat 67. Kemudian dari hasi literatur mereka membaca jurnal
yang dimana hasilnya adalah asia tenggara di indonesia khususnya
memang rendah dalam tingkat semangat untuk berkompetisi.
Padahal komptetisi sangat dibutuhkan pada suatu negara
sehingga mereka saling berlomba lomba dalam menciptakan hal hal
baru. Dalam hal ini indonesia tidak punya semangat untuk bersaing
(dalam hal positif). Berbanding terbalik dengan negara negara lain
seperti China dan Jerman. Negara tersebut Kreatif, Inovatif dan
Berani untuk menunjukkan kontribusinya. Berarti bisa dibayangkan
bagaimana peringkat indonesia dalam persaingan/berkompetisi
dalam menciptakan sebuah kreasi, inovasi dan daya cipta.
8. 6
Kemudian Adhika dan Rilo melihat adanya ketidak beresan dalam
hal ini. Maka dari itu mereka berinisiatif untuk mengambil langkah
pasti dalam membangun platform start-up Lomba Mahasiswa
untuk menumbuhkan semangat berkompetisi pada mahasiswa.
Kemudian selanjutnya yang kedua, Rilo menyadari bahwa
sebaik baiknya perlombaan adalah berlomba dalam kebaikan.
Dengan semangat ini, mereka kemudian mencoba memposisikan
diri sebagai seseorang yang ingin berbuat baik kepada sesama.
Adhika sebagai Founder mempunyai Visi besar untuk pendidikan
indonesia harus begini begini dan begini, dapat dikatakan Adhika
selaku founder yang memetakan harus apa apa dan apa. Sedangkan
Rilo sebagai co-founder terjun kelapangan untuk memastikan
kondisi.
Selanjutnya adalah masalah seperti manajemen/cara
mengelola perlombaan yang dilakukan Himpunan Mahasiswa
Jurusan di indonesia masih terkesan ribet (dalam hal administrasi,
birokrasi, martketing, finansial). Harus mencari sponsor sendiri,
harus memikirkan bagaimana publikasi yang keren, kemudian
dana, dan sistem pembayarannya. Yang ditekankan disini adalah
Ribetnya pembayaran biaya administrasi, dengan melakukan
payment perlombaannya sendiri maka ada risiko yang harus
ditanggung. Yakni salah input rekening dan gagal transfer. Belajar
dari pengalaman sendiri mereka pernah salah input rekening dan
harus urus dibank, dan itu memakan waktu juga. Platform Start-up
Lomba Mahasiswa kemudian mempunyai keinginan kedepannya
Platform ini dapat menawarkan Fitur payment perlombaan yang
simple. Seperti diberlakukannya dompet digital, ovo, gopay, dana
sehingga simple dan tidak ribet.
Dampak kebermanfaat dari lomba mahasiswa untuk mahasiswa.
Dalam mekanisme posting info lomba yang diberlakukan pada
platform Lomba Mahasiswa. Mereka mempunyai sistem
9. 7
pembayaran dengan standardnya masing masing. Yang pertama
bisa secara Gratis dan yang kedua bayar konvensional/digital.
Dengan menerapkan mekanisme seperti demikian, Adhika dan Rilo
mencoba untuk membangun kepercayaan kepada stakeholder
sehingga postingan yang masuk kedalam Instagram Lomba
Mahasiswa itu bukanlah Lomba yang Abal Abal dan sudah pasti
terjamin keasliannya. Karena Rilo sendiri pernah menemukan info
perlombaan bodong yang memang hal itu berdampak negatif
kepada Rilo Sendiri jika beliau tetap mengikutinya.
Dampaknya kemudian yang muncul adalah mahasiswa tidak
takut untuk mengikuti perlombaan yang mereka lihat pada
instagram Lomba Mahasiswa dan dengan mudahnya dapat
mengakses info info lomba pada gadget mereka masing masing.
Kemudian dalam hal pendidikan. Adhika dan Rilo mencoba untuk
memberikan stimulus kepada mahasiswa untuk bisa berkompetisi
secara sehat dalam menumbuhkan ide ide baru yang kelak nantinya
bisa jadi diadopsi oleh pemerintah dalam sektor sektor
pembangunan. Kemudian dalam hal Budaya, Adhika dan Rilo
ingin menciptakan era baru untuk indonesia kedepannya dengan
semangat budaya konstruktif dan kompetitif dalam
mengembangkan diri mereka sendiri sehingga terjadi dialektika
berfikir untuk sama sama membangun bangsa indonesia. Tentu ada
nilai yang ingin dibawa. Yakni pendidikan yang kreatif inovatif.
Menurut Rilo sebagai Co-Founder, kekuatan utama dan salah
satu kunci kesuksesan Start-up dapat dibangun terletak pada
Foundernya. Karena Founder bertugas untuk Mengelola segala
sesuatu yang menjadi instrumen instrument Start-Up. Namun
demikian, Rilo sendiri menyadari bahwa memang sikap sikap
memimpin itu ada beragam cara, termasuk dirinya. Beliau
mendefinisikan dirinya sebagai seorang yang Visioner, Praktikal,
dan Oportunis. Penekanannya dilihat dari bukan hanya sekedar
kata kata yang kita ucapkan. Melainkan tindakan yang seharusnya
10. 8
di manifestasikan. Selain itu Rilo juga berpendapat, bahwa dirinya
adalah seseorang yang mempunyai keinginan sebagai seseorang
yang mempunyai jiwa Altruisme. Yakni kebermanfaatan tidak
hanya diterima oleh dirinya sendiri melainkan kebermanfaatan
yang lebih luas lagi. Sebagai Contoh Bill Gates sebagai seorang
yang memberikan dampak dampak kebermanfaatan bukan hanya
berasal dari ide dan hasil karyanya. Melainkan juga dari kekayaan
yang sudah Bill Gates sumbangkan kepada orang orang yang
membutuhkan di belahan dunia Afrika.
Menciptakan era baru (semangat kompetitifness) Rilo
berpendapat dirinya sebagai seorang yang harus mempunyai sikap
Visioner, Praktikal, Oportunis dan Altruisme (belum tercapai)
Sehingga pengelolaan start-up bisa stabil dan meningkat setiap
waktunya. Kedepannya, diharapkan Platform Start-Up ini bisa
berkembang dan kemudian dapat membuka akses lapangan kerja
kepada semua pihak sehingga kebermanfaatan tadi tidak dimiliki
perorangan tetapi dimiliki secara luas.
Tantangan yang dihadapi
Tentu dalam mengembangkan suatu usaha akan selalu
dihadapkan dengan masalah serta rintangan. Namun, Adhika dan
Rilo tidak ingin menyerah dengan keadaan. Meskipun tantangan
dan rintangan itu bagai ombak yang terus menerus datang. Mereka
tetap teguh akan pendiriannya tentang nilai kebermanfaatan yang
ingin mereka bawa dalam bentuk bentuk perubahan positif demi
bangsa indonesia. Salah dua rintangan yang mereka hadapi adalah
tentang resource (Sumber Daya) dan Waktu.
Resource (Sumber daya) yang dimiliki oleh Adhika dan Rilo
adalah soal Dana. Dalam membangun sebuah usaha maka harus
dibutuhkan beberapa kapital. Salah satunya dalam bentuk
material. Sebagai mahasiswa Rilo memberitahukan bahwasanya
untuk makan pun perlu dipikirkan dalam pengeluaran biaya.
11. 9
Apalagi untuk mengeluarkan dana untuk Start-up yang belum pasti
dan masih dalam tahap maintance. Lebih parahnya lagi, kompetitor
yang sudah makan asam garam dalam bidang ini pun ikut
membatasi/menghambat laju jalannya start-up Lomba Mahasiswa.
Bagaimana kompetitor tersebut dapat menghambat Start-Up Lomba
Mahasiswa yang dikembangkan Adhika dan Rilo? Ketika adanya
Adhika dan Rilo mengikuti lomba pengembangan start-Up dan
lawannya adalah mereka yang sudah tadi saya jelaskan terkait
dengan pengalaman dan jam terbang yang sudah banyak. Memang
sebenarnya Mereka yang sudah berpengalaman tidak dapat
disalahkan namun pada kenyataanya hal ini menghambat Adhika
dan Rilo untuk menarik Investor dalam hal Pendanaan. Bahwa
yang dilirik oleh Investor bukanlah Adhika dan Rilo melainkan
kompetitor lain mereka. Disitulah letak hambatannya.
Selain itu soal kemapanan Adhika dan Rilo yang di ragukan
oleh Investor untuk memberikan dana kepada mereka (Supporting
System). Menjadi pertanyaan apakah Adhika dan Rilo berkompeten
dalam mengalokasikan dana dan pengelolaan dana? Kita belum
tahu, karena Investor belum pernah mencoba untuk anak muda
turun langsung dalam mengelola keuangan. Namun demikian
masalah yang dihadapi Adhika dan Rilo tidak sampai disini,
Mereka kemudian rela untuk merelakan uang pribadi dan uang
uang yang mereka terima dari hasil menang lomba dalam
pengembangan Start-Up. Dari sini kita dapat memetik sebuah
pembelajaran bahwa bila ingin sesuatu berhasil maka salah satu
wujud yang harus dilakukan adalah rela berkorban. Dan hal ini
mereka lakukan hingga sampai saat ini.
Dalam hal ini Rilo menekankan bahwa dalam membangun
suatu usaha dan memimpin harus siap susah terlebih dahulu. Start-
Up bukan profit dalam jangka pendek tetapi investasi kebaikan
(dampak yang lebih besar) dalam jangka panjang. Dengan niat itu
12. 10
Rilo Iklas untuk menuangkan segala aktivitasnya demi kemajuan
start-Up yang ia bangun.
Untuk mewujudkan segala keinginannya Adhika dan Rilo
mempunyai Tagline yang dirumuskan dalam kata kata Start Your
Competition Here. Dengan tagline yang dibuat tersebut diharapkan
banyak mahasiswa yang mengirimkan informasi tentang lomba
lomba. Sehingga jika informasi lomba semakin bertebaran maka
harapannya mahasiswa akan lebih punya variasi dalam memilih
lomba yang ia inginkan dan kemudian mendorong mahasiswa yang
mempunyai potensi, daya inovasi, daya cipta, untuk bisa lebih
berkreasi. Karena pada dasarnya kita tidak kalah dengan negara
lain dan sebenarnya kita mampu untuk menghasilkan ide ide
kreatif. Kemudian Visi yang diusung oleh Adhika dan Rilo
dirumuskan dalam kalimat “memajukan pendidikan dan sumber daya
manusia di indonesia melalui perlombaan dan semangat berkompetisi (Hal
positif)”
Kemudian dengan begitu, Rilo memiliki kebahagiaan tersendiri
dalam hal memberikan manfaat kepada orang orang yang ia cintai.
Hal itu menjadi semangat rilo untuk setiap harinya dalam proses
proses dinamika membangun Start-Up mereka dan menjadikan
Rilo mempunyai keinginan untuk setiap harinya hidup dalam
kebaikan yang semakin meningkat
Strategi untuk mendapat atau mencapai tujuan
Dalam memimpin, Adhika dan Rilo mempunyai
karakteristiknya masing masing. Untuk Adhika. Seorang pemimpin
membutuhkan 3 komponen penting. Yang Pertama, Komitmen
terhadap Visi. Seorang pemimpin harus mempunyai Visi yang jelas
sehingga dapat dipahami oleh setiap anggota, dan anggota tersebut
akan paham apa yang harus mereka lakukan. Visi yang besar itu
diturunkan dengan misi misi yang ada sehingga tujuan akan
tercapai. Kemudian yang kedua adalah membangun kepercayaan
13. 11
antar anggota. Ketika pemimpin memberikan kepercayaan kepada
anggota maka anggotapun akan sebaliknya memberikan
kepercyaan kepada pemimpin sehingga nantinya akan ada kerja
sama tim yang baik (team work) sehingga visi dan misi yang
diusung akan tercapai. Yang ketiga adalah mendengar kritik,
masukan, dan pendapat. Harapannya adalah terwujudnya wadah
yang interaktif antar pemimpin dan anggota. Dengan berinteraksi,
seorang pemimpin dapat mempunyai alternatif solusi dari berbagai
masalah yang mungkin muncul dari menjalankan platform
sociopreneur. Karena tidak dipungkkiri masalah tersebut harus
dilakukan secara bersama sama sehingga didapatkan hasil yang
maksimal. 3 komponen yang sudah Adhika jelaskan mempunyai
peranan penting untuk menjadi seorang pemimpin.
Rilo menambahkan beberapa aspek lainnya yang harus
diperhatikan. Yakni dalam berusaha kita juga harus bekerja secara
Keras dan Cerdas. Apa maknanya? Makna Kerja Keras adalah terus
menerus menjalin koneksi dan networking dengan dunia per-Start-
up-an (Di Jogja) yaitu soal Relasi sehingga kita berada dalam
lingkaran yang dapat saling membantu. Berdialektika dan berbagi
paham mengenai Start-UP sehingga terus menerus pemahaman
yang kita miliki selalu terbaharui. Kemudian membangun Sumber
daya sendiri dengan cara belajar setiap hari, memahami kondisi
setiap hari, membaca inside tiap hari sehingga pemahaman kita
bertambah. Beliau terinspirasi dari cerita Warren Buffet yang
menjadi milioner untuk pertama kali dalam hidupnya pada umur
60 tahun. Kemudian Rilo menceritakan keberhasilan warren buffet
tidak terlepas dari yang namanya kerja keras selama 55 tahun
sebelum ia menjadi milioner untuk pertama kali dalam hidupnya.
Dalam hal ini penekanannya ada pada kegagalan yang kamu alami
dan seberapa mau kamu untuk bangkit lagi hingga kamu berhasil.
Kemudian Kerja Cerdas yakni selalu melihat peluang peluang yang
14. 12
bertebaran. Sehingga pergerakan dilakukan secara efektif dan
efesien.
Dapat dikatakan Founder dan Co Founder juga menentukan
keberhasilan start-up karena sinergitas penting dalam
mengorganisasikan atau mengelola sesatu. Dalam konteks ini,
adhika sebagai founder mempunyai keinginan yang ingin
diwujudkan dan menuangkan ide tersebut dalam visi yang besar
kemudian rilo sebagai co founder terjun kelapangan untuk
menganalisa kemudian untuk memahami keadaan harus
bagaimana kedepannya start-up ini dibangun. Sinergi tersebut
penting dilakukan untuk menjalankan sebuah Start-up.
Daftar Pustaka :
Jaya, Mardi Arya. Ferdiana, Ridi. Fauzati, Silmi. 2017. Analisis Faktor
Keberhasilan Startup Digital di Yogyakarta. Prosiding Snatif.
Hal 167-173. By
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/SNA/article/view/126
1/876
15. 13
EKSISTENSI ORGANISASI MAHASISWA DAERAH DI
DAERAH ASAL (BERKAITAN DENGAN GAYA
KEPEMIMPINAN)
Oleh : Ratu Chika Fathiatul Jannah
Pendahuluan
Secara sederhana, organisasi dapat diartikan sebagai suatu
kesatuan yang merupakan wadah atau sarana untuk mencapai
berbagai tujuan atau sasaran. Organisasi sendiri terdiri dari
berbagai komponen yang melandasi diantaranya terdapat banyak
orang, tata hubungan kerja, spesialisasi pekerjaan dan kesadaran
rasional diri dari anggota sesuai dengan kemampuan dan
spesialisasi mereka masing-masing. Organisasi selain dipandang
sebagai wadah untuk melakukan suatu kegiatan untuk mencapai
tujuan tertentu, juga dipandang sebagai suatu proses, yang mana
menyoroti interaksi diantara orang-orang yang menjadi anggota
organisasi. Keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh kualitas
sumberdaya manusia yang saling berinteraksi dan
mengembangkan organisasi yang bersangkutan
Pengalaman berorganisasi dapat memberikan bekal kepada
lulusan perguruan tinggi dalam berbagai hal, antara lain:
kemampuan beinteraksi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
berpikir logis-sistematis, kemampuan menyampaikan gagasan di
muka umum, kemampuan melaksanakan fungsi manajemen,
seperti peencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi,
kemampuan memimpin, serta kemampuan memecahkan
permasalahan. (Miftahuddin, 2013)
Dalam ruang lingkup perguruan tinggi, organisasi yang biasa
kita temui disebut sebagai organisasi kemahasiswaan, dimana
16. 14
organisasi kemahasiswaan merupakan bentuk kegiatan di
perguruan tinggi yang diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh,
dan untuk mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa
yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan adalah orang yang
memberikan kontribusi bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Organisasi kemahasiswaan merupakan wahana dan sarana
pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan
peningkatan ilmu dan pengetahuan serta integritas kepribadian
mahasiswa.( Sukirman dalam Ardi dan Aryani, 2010).
Ada dua bentuk organisasi kemahasiswaan menurut As’ari
(2007) yaitu organisasi intra kampus dan organisasi ekstra kampus.
Organisasi intra kampus merupakan organisasi yang berada di
dalam kampus yang ruang lingkup kegiatan dan keanggotaannya
hanya terbatas pada mahasiswa yang ada di kampus tersebut.
sedangkan organisasi ekstra kampus merupakan organisasi yang
berada diluar kampus, dimana ruang lingkup dan keanggotaannya
adalah mahasiswa seperguruan tinggi atau lintas perguruan tinggi.
Salah satu contoh dari organisasi ekstra kampus adalah Organisasi
Mahasiswa Daerah (Ormada). Ormada adalah sebuah wadah
organisasi yang didalamnya terdiri dari mahasiswa yang berasal
dari satu daerah kabupaten, kota, atau provinsi. Ormada dibentuk
dengan tujuan mengumpulkan mahasiswa yang berasal dari suatu
daerah untuk menjalin silaturahmi satu sama lain di tanah rantau.
Layaknya organisasi pada umumnya, Ormada tidak hanya
bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi, melainkan juga memiliki
tujuan untuk memberikan perubahan yang membangun bagi tanah
asalnya apabila mereka pulang ke kampung halaman. Hal itu
dinyatakan dengan banyaknya program-program yang diinisiasi
oleh Ormada dari tiap daerah yang bertujuan untuk membangun
daerahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya Ormada itu
sendiri harus cukup eksis di daerah asalnya sehingga dapat dengan
mudah menjalankan program – program yang ada. Kembali ke
17. 15
pernyataan awal bahwa keberhasilan suatu organisasi didasarkan
pada kualitas sumberdaya manusia yang ada di dalamnya, begitu
pula dalam Ormada, untuk menjadi eksis di daerah asalnya
dibutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang bagus sehingga
mampu mengembangkan Ormada tersebut hingga eksistensinya
dapat diakui di daerah asalnya.
Kinerja organisasi dijadikan sebagai salah satu ukuran berhasil
tidaknya suatu organisasi dimana hal tersebut ditentukan oleh
sumberdaya manusia yang ada didalamnya. Tuntutan yang
semakin ketat untuk terus bertahan dan mengembangkan
organisasi membuat manajemen sumberdaya manusia harus
dikelola dengan baik dengan memperhatikan segala kebutuhan
demi tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan,
sedangkan manajemen sumberdaya manusia tidak terlepas dari
kepemimpinan yang berjalan (Faturahman, 2018). Selain itu,
pentingnya kepemimpinan dalam organisasi seperti yang dikutip
oleh Faturahman dari Suranta (2002) dikarenakan pemimpin
memiliki peran strategis dalam usaha mencapai tujuan organisasi
sesuai visi dan misi organisasi.
Tinjauan Pustaka
Gaya kepemimpinan dalam berorganisasi
Setiap organisasi tentu memiliki gaya kepemimpinan yang
tidak sama antara satu dan yang lainnya, karena gaya
kepemimpinan cukup beragam dan penerapannya pun tergantung
situasi dan kondisi yang ada dalam organisasi itu sendiri. Selain itu,
kemampuan pemimpin juga dapat mempengaruhi gaya
kepemimpinan yang diterapkan. Salah satu gaya kepemimpinan
yang menuntut kemapuan dari seorang pemimpin tersebut yaitu
gaya kepemimpinan transformasional dengan memotivasi para
bawahan untuk berbuat lebih baik sesuai harapan dari bawahan
18. 16
dengan meningkatkan nilai tugas dengan mendorong bawahannya
mengorbankan diri sendiri demi kepentingan organisasi.
Seperti yang dikutip dari Faturahman (2018) gaya
kepemimpinan merupakan norma perilaku dari seseorang yang
dipakai saat orang tersebut berusaha mengarahkan atau
mempengaruhi orang lain dengan berbagai kelebihan dan
kelemahan. Seorang pemimpin akan menggunakan gaya
kepemimpinan sesuai dengan potensi kemampuan dan
kepribadiannya. Dengan kata lain pemimpin memiliki sifat antusias
untuk mempengaruhi orang lain dalam pencapaian tujuan
organsiasi. dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemimpin
dalam menjalankan tugasnya sangat mungkin organisasi berjalan
efektif dalam mencapai tujuan.
Organisasi Mahasiswa Daerah
Organisasi Mahasiswa Daerah berdasarkan alasan
terbentuknya, dapat dikatakan sebagai sebuah organsiasi
primordial, yang mana organisasi ini terbentuk atas kesamaan
identitas budaya.. Ormada sangat dibutuhkan mengingat fungsinya
sebagai wadah pemersatu sesama mahasiswa perantau yang
membutuhkan keluarga yang mampu menjaga dan membantu
selama berada jauh dari rumah. Selain itu Ormada juga diharapkan
mampu menjadi sarana kontribusi para anak rantau untuk daerah
asalnya dengan fokus pembangunan daerah asal. Organisasi ini
juga berfungsi untuk menjaga nilai-nilai kedaerahan agar tidak
luntur di tengah arus modernisasi dan heterogenitas budaya yang
ada di kampus. Yang menarik disini adalah bagaimana gaya
kepemimpinan yang terdapat di dalam Ormada.
Ironisnya, saat ini organisasi jenis ini cenderung kurang
diminati karena dianggap kurang menunjang masa depan di
bandingkan organisasi intra kampus. Masalah bertambah besar
karena di beberapa Ormada, banyak yang memiliki arahan kerja
19. 17
yang kurang jelas, fungsi yang kurang optimal, anggota kurang
terikat, minim dukungan dari kampus hingga rawan dipolitisasi
untuk pemilihan daerah. Hal-hal diataslah yang menyebabkan
banyak Ormada yang eksistensinya kurang diakui di daerah
asalnya atau bahkan dibubarkan. Jika kembali kepada pernyataan
awal bahwa keberhasilan dalam sebuah organisasi ditentukan oleh
kualitas dan juga manajemen sumberdaya manusianya yang mana
hal tersebut juga tidak terlepas dari kepemimpinan yang dilakukan,
lalu kepemimpinan seperti apakah yang dapat membawa
keberhasilan dalam suatu Ormada? Untuk studi kasus ini, akan
dilakukan pengamatan dari dua Ormada yang ada di Universitas
Gadjah Mada yaitu Kaskagama (Ormada Karanganyar) dan juga
Jawaragama (Ormada Banten).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode
kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara sumber
primer yaitu ketua dari Kaskagama yang bernama Ilham Ali dan
juga ketua Jawaragama yang bernama Syarli Jumarta. Data tersebut
kemudian diolah secara deskriptif.
Pembahasan
Kepemimpinan Dalam Ormada Kaskagama
Kaskagama merupakan nama dari Ormada Karanganyar yang
memiliki kepanjangan “Keluarga Mahasiswa Karanganyar
Universitas Gadjah Mada” yang berdiri sekitar tahun 2005-2006.
Ormada ini terdiri dari Ketua umum , Wakil ketua, 18 PH
(Pengurus Harian) dan 70 anggota aktif. 18 PH itu sendiri teterdiri
dari 5 divisi yaitu PSDM, Humas, Minat dan Bakat, Kekeluargaan
dan Medinfo. Kaskagama sendiri dikenal sebagai Ormada yang
cukup terkenal di kalangan Ormada lain dan juga sangat eksis di
daerah asalnya. Hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan
program-progam yang mereka selenggarakan di Karanganyar
20. 18
sendiri. Mereka memiliki dua program yaitu Gama AKSARA (
Gajdah Mada Aksi Nyata untuk Karanganyar ) dan juga Bakti Desa.
Gama AKSARA sendiri memiliki 3 rangkaian acara yaitu
KaskaCare, Kuas Impian, dan juga TryOut. Sedangkan Bakti Desa
merupakan program pengabdian di desa – desa terpencil yang ada
di Karanganyar.
Keadaan internal Kaskagama sendiri dikenal cukup erat rasa
kekeluargaannya, yang mana menurut Ilham hal tersebut
dilatarbelakangi faktor budaya Karanganyar yang dekat dengan
Keraton Surakarta sehingga mereka memiliki budaya paguyuban
yang cukup kental. Sehingga selama kepemimpinannya ia tidak
terlalu sulit untuk mengakrabkan anggota antara satu dengan yang
lainnya. Kepemimpinan yang dilakukan Ilham sendiri dikenal tidak
otoriter dan sangat demokratis, dimana ia selalu melibatkan
anggotanya dalam setiap keputusan yang akan dia ambil. Tidak
seperti kepemimpinan di Organisasi lain yang biasanya cukup
otoriter, terutama dalam hal waktu jika akan dilakukan pertemuan
seperti pemberlakuan ROTG apabila jika ada yang telat, Ilham
sendiri lebih memilih untuk menuntut kesadaran diri mereka agar
tidak telat dengan memberikan penekanan terkait pukul berapa
mereka harus datang. Namun meskipun demikian, cara tersebut
rupanya cukup efektif untuk anggota Kaskagama sendiri.
Meskipun kepemimpinan Ilham terlihat sangat demokratis,
bukan berarti ia tidak tegas terhadap anggotanya, menurutnya
sebagai seorang pemimpin ia harus bisa menempatkan diri saat
kapan ia harus bersikap tegas dan disiplin ataupun kapan saat ia
harus bersikap santai dan demokratis. Selain itu sebagai seorang
pemimpin, Ilham juga sebenarnya tidak terlalu memerdulikan
kedudukan dalam Kaskagama, menurutnya kekeluargaan adalah
hal yang utama tanpa perlu melihat status. Sehingga dengan
demikian anggotanya akan merasa nyaman dan senang untuk
menjadi bagian dari Kaskagama. Menurut Ilham, apabila seorang
21. 19
anggota sudah nyaman dan merasa menjadi bagian dari sebuah
organisasi, maka akan sangat mudah bagi pemimpin untuk
mengkoordinir mereka untuk melakukan suatu program, sehingga
nantinya peluang untuk program tersebut dapat berhasil akan lebih
besar.
Menariknya, meskipun Kaskagam cukup popular dikalangan
mahasiswa Ormada lain, rupanya Ilham sendiri mengaku bahwa
mereka tidak pernah mem-branding diri secara berlebihan. Bahkan
Ia sendiri baru tahu bahwa Kaskagama cukup popular akhir-akhir
ini. Ia berpendapat bahwa selama mereka menjalankan organisasi
dengan baik sampai tujuan dari organisasi tersebut tercapai, kita
tidak perlu susah-susah untuk mem-branding diri lagi karena sudah
pasti orang lain akan mengetahui keberadaan mereka melalui
program-program sukses yang mereka lakukan.
Kepemimpinan Dalam Ormada Jawaragama
Jawaragama merupakan Ormada asal Banten yang saat ini
diketuai oleh Syarli Jumarta. Jawaragama sendiri masih dapat
dikategorikan cukup baru dimana ia berdiri pada tahun 2014.
Struktur Jawaragama hanya terdiri dari 1 Ketua umum ,4 PH dan
jumlah anggota 101. PH sendiri hanya terdiri dari 4 divisi yaitu
PSDM, Pengabdian Masyarakat, Medinfo dan SekBen (Sekertaris
Bendahara). Tidak seperti Kaskagama yang sudah terkenal,
Jawaragama sendiri hanya diketahui sedikit orang. Seperti Ormada
pada umumnya, Jawaragama juga memiliki program yang
ditujukan untuk menunjang eksistensi mereka di daerah asal. Ada
dua program didalam Jawaragama yaitu SKEMA dan juga Jamasi.
SKEMA sendiri merupakan singkatan dari “ Sukses Kejar Masa
Depan” dimana acara tersebut merupakan TryOut Simultan yang
dilakukan di Banten, juga ada Jamasi yang merupakan singkatan
dari “Jawaragama mengabdi”, seperti namanya ini merupakan
22. 20
acara pengabdian oleh anggota Jawaragama di daerah-daerah
terpencil di Banten.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pernyataan dari
Syarli selaku ketua Jawaragama, internal Jawaragama sendiri
memang belum cukup baik, dimana anggotanya masih sedikit yang
sudah berhasil mengakrabkan diri dalam Jawaragama. Hal ini
disebabkan karena memang di Banten sendiri sudah terkena
dampak westernisasi yang cukup kuat mengingat letak
geografisnya yang dekat dengan Jakarta membuat budaya
kekeluargaan Banten sendiri mulai memudar. Sehingga masyarakat
Banten cenderung memiliki sifat yang individualis. Ini menjadi
tantangan utama bagi Syarli sebagai pemimpin dimana ia harus
bisa merangkul semua anggota dan meredam sifat individualis
yang ada dalam diri anggota tersebut.
Melihat dari sudut pandang gaya kepemimpinan,
kepemimpinan Syarli di Jawaragama sendiri selalu memberikan
kebebasan bagi para anggotanya, sehingga Ia tidak pernah
menetapkan suatu hal dan selalu mengikuti kemauan anggotanya,
menurutnya dengan demikian diharapkan para anggotanya akan
merasa didengar sehingga mau untuk berpartisipasi dan nyaman
berada didalam Jawaragama sendiri. Namun faktanya cara tersebut
tidak cukup efektif seperti apa yang diharapkan. Justru sebaliknya,
hal tersebut malah membuat kepemimpinan Syarli seperti tidak
jelas arahnya, sehingga tak jarang pula banyak yang mengeluarkan
diri dari Jawaragama sendiri karena merasa bahwa tidak ada
manfaat yang ia rasakan saat berada ataupun tidak berada didalam
Jawaragama sendiri. Meskipun dari segi jumlah anggota
Jawaragama terbilang banyak, namun hanya sedikit yang benar-
benar bersedia untuk berpartisipasi dalam kegiatan Jawaragama
sehingga kegiatan seperti SKEMA dan Jamasi tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Hal ini pula lah yang menjadi salah satu faktor
mengapa Jawaragama tidak begitu eksis di daerah Banten sendiri.
23. 21
Perbandingan Gaya Kepemimpinan Dalam Keduanya
Dari berbagai pemaparan diatas bisa kita bandingkan bahwa
kedua Ormada tersebut memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda. Jika dianalisis lebih dalam, berdasarkan gaya
kepemimpinan menurut Hasibuan (2007:170) kepemimpinan
Kaskagama lebih masuk kedalam gaya kepemimpinan partisipatif.
Dimana dalam kepemimpinannya, Ilham menjalankannya dengan
cara persuasif, dengan menciptakan kerjasama yang serasi,
berusaha menumbuhkan loyalitas dan partisipasi para anggotanya.
Ia juga merasa bahwa anggotanya harus berpartisipasi memberikan
saran, ide, dan pertimbangan dalam proses pengambilan
keputusan.
Sedangkan dalam Jawaragama sendiri, jika diklasifikasikan
menurut menurut Sutikno (2014:35), kepemimpinan Syarli masuk
kedalam kategori tipe kendali bebas (Laisez Faire). Dalam
kepemimpinan tipe ini sang pemimpin biasanya menunjukkan
perilaku yang pasif. Seorang pemimpin yang kendali bebas
cenderung memilh peran yang pasif dan membiarkan organisasi
berjalan menurut temponya sendiri. Disini seorang pemimpin
mempunyai keyakinan bebas dengan memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya terhadap anggota maka semua usahanya akan cepat
berhasil. Persis seperti yang dilakukan oleh Syarli, dimana ia lebih
pasif dibandingkan anggotanya sendiri, dimana ia memberikan
kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada anggotanya untuk
mengekspresikan diri dengan cara meg-iya-kan setiap apa yang
diinginkan oleh anggotanya.
Penerapan gaya kepemimpinan dari Kaskagama dan
Jawaragama sendiri memiliki kesamaan dimana dalam
penerapannya, keduanya sama – sama dipengaruhi oleh latar
belakang budayanya masing-masing, yang mana hal tersebut
rupanya cukup berpengaruh dalam keberhasilan dari gaya
24. 22
kepemimpinan itu sendiri. Terbukti dari kepemimpinan
Kaskagama yang partisipatif dengan dilatarbelakangi oleh
kebudayaan Jawa yang paguyubannya sangat kental, tentunya gaya
tersebut sangat cocok untuk diterapkan. sedangkan dalam
Jawaragama sendiri dengan latar belakang budaya yang cukup
individualis dan cukup sulit untuk mengordinir semua anggota
maka dilakukan gaya kepemimpinan kendali bebas dengan
harapan mereka dapat ‘kerasan’ dalam Jawaragama, meskipun jika
dilihat mungkin penerapan gaya kepemimpinan kendali bebas
kurang tepat dikarenakan hasilnya tidak seperti yang diharapkan,
maka jelas terlihat bahwa latar belakang budaya sangat
berpengaruh.
Kesimpulan dan Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dipahami bahwa
eksistensi Ormada di daerah asalnya tidak hanya tentang persoalan
mem-branding diri semata, ada hal-hal lain yang menjadi penunjang
bagi eksistensi Ormada di daerah asalnya dan salah satunya terkait
dengan gaya kepemimpinan. Karena seperti yang sudah diketahui
bahwa keberhasilan suatu organisasi juga dipengaruhi oleh
kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpinnya sendiri, oleh
sebab itu penting bagi kita untuk menerapkan gaya kepemimpinan
yang tepat yang sesuai dengan kemampuan diri dan juga keadaan
dalam organisasi itu sendiri. Terlebih lagi jika memimpin sebuah
Ormada, penting sekali untuk menerapkan gaya kepemimpinan
yang sesuai dengan latar belakang budayanya, karena hal tersebut
juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dari
organisasi itu sendiri.
25. 23
Referensi
Ahmaini, D., 2010. Perbedaan Akademik Antara Mahasiswa Yang Aktif
Dengan Mahasiswa Yang Tidak Aktif Dalam Organisasi
Kemahasiswaan Pema USU, Medan: Universitas Sumatra Utara.
Ardi, M. & Aryani, L., 2010. Hubungan Antara Persepsi Terhadap
Organisasi dengan Minat Berorganisasi Pada Mahasiswa.
Jurnal Fakultas Psikologi UIN Suska.
As'ari, D. K., 2007. Mengenal Mahasiswa dan Seputaran Organisasinya,
s.l.: s.n.
Faturhman, B. M., 2018. Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi.
MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, Volume 1,
pp. 1-11.
Hasibuan, S. M., 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Bandung: PT. Bumi Aksa.
Hidayat, T., 2015. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keikutsertaan
Berorganisasi Mahasiswa Fikes UMP, s.l.: s.n.
Miftahuddin, 2013. Mahasiswa Ideal: Berprestasi, Berorganisasi,
dan Berbudi Pekerti.
Sutikno, 2014. Pemimpin dan Kepemimpinan: Tips Praktis untuk
Menjadi Pemimpin yang diidolakan. Lombok: Holistica Lombok.
26. 24
ANALISIS PERLAWANAN BUDAYA PATRIARKI MELALUI
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN PADA KOMUNITAS “IBU
BEKERJA”
Oleh : Maulidya Indah Mega Saputri
Semakin berkembangnya waktu dan kemajuan zaman, civil
society yaitu masyarakat yang beradab dalam membangun,
menjalani, dan memaknai kehidupannya dituntut agar mampu
menyesuaikan diri secara terus menerus untuk melakukan
perubahan dan perbaikan. Adaptasi wajib dilakukan demi
keselarasan antara visi misi pergerakan dengan kondisi maupun isu
yang sedang berkembang di lingkungannya. Civil society yang
berkumpul memadukan tujuan dapat membentuk suatu kumpulan
seperti start up, organisasi, dan komunitas. Ketiganya pada
dasarnya memiliki persamaan fondasi yang fundamental dalam
aspek tata perilaku dan model kepemimpinan yang baik dan
diharapkan seluruh elemen. Tetapi memiliki perbedaan di bidang
model susunan dan struktur pembagian kerja, lemah atau kuatnya
keterikatan dan tujuan visi misi. Membahas tentang start up,
organisasi, dan komunitas yang baik tentu erat kaitannya dengan
model kepemimpinan. Karena yang sangat mempengaruhi proses
pencapaian tujuan perkumpulan civil society adalah manusia, maka
setiap kumpulan civil society pada umumnya mengharapkan
memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing
tinggi sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya secara
efektif, produktif, dan professional untuk memajukan program dan
visi misinya. Manusia sebagai salah satu sumber daya yang sangat
penting dalam mewujudkan tujuan, karena manusia dalam
melakukan aktivitas di dalam organisasi diwujudkan melalui karya,
27. 25
bakat, kreativitas, dan peran nyata yang dapat diukur
produktivitasnya (Siagian, 1988 dalam Amiruddin, 2007:9).
Djumhariati (2008:46) mengemukakan bahwa di dalam
sebuah kumpulan civil society, sumber daya manusia merupakan
aset yang paling penting dalam keberhasilan membangun budaya.
Oleh karena itu, sumber daya manusia merupakan penentu berhasil
atau tidaknya tujuan program kerja yang akan dicapai. Budaya
komunitas yang kuat merupakan kunci kesuksesan dari sebuah
komunitas, baik itu komunitas yang mikro ataupun makro. Untuk
menjamin tercapainya tujuan komunitas yang telah disusun, maka
diperlukan pemimpin yang bertugas secara terus menerus
memelihara dan mengembangkan komunitas secara struktural,
ideal, dan fungsional sehingga dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Syafe’i, 2009:40). Komunitas yang berhasil dalam
mencapai tujuan serta mampu memenuhi tanggug jawab sosialnya
akan sangat tergantung pada para manajernya (pimpinan). Bila
pimpinan mampu melaksanakan dengan baik, sangat mungkin
keseluruhan elemen anggota tersebut akan mencapai sasarannya.
Suatu komunitas, start up maupun organisasi sama-sama
membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai
kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau
bawahannya. Jadi, seorang pemimpin atau kepala suatu
perkumpulan civil society akan diakui sebagai seorang pemimpin
apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu mengarahkan
bawahannya kearah pencapaian tujuan seluruh elemen anggotanya.
Di era 4.0 yang semakin memanas ini, ternyata berdampak
terhadap berubahnya sistem perilaku dan tata kebiasaan elemen
masyarakat tanpa memandang gender, usia, dan ras. Seluruh
masyarakat tanpa terkecuali memiliki pengetahuan yang semakin
luas, pemikiran yang semakin kritis, dan timbul pemberontakan
dari masing-masing manusia tentang ketidaksetaraan dan
ketidakadilan tentang suatu hal dalam porsi yang berbeda-beda
28. 26
sesuai tempat domisili mereka tinggal dan intensitas sentuhan
media komunikasi. Seluruh kemajuan tersebut tidak terlepas
sebagai dampak dari berkembangnya media daring online yang
semakin gencar dalam menyebarkan informasi. Salah satu isu yang
sensitif dan menarik untuk dibahas adalah tentang ketidaksetaraan
dan penindasan gender oleh budaya patriarki yang diwariskan
secara turun temurun. Di tempat penulis tinggal, yaitu di Desa
Ndongki, Kota Blitar, Jawa Timur muncul suatu komunitas ibu
rumah tangga yang bergerak melawan stereotype bahwa perempuan
hanya pantas bekerja di sektor domestik. Komunitas ini muncul
pada tahun 2017 dengan nama “Ibu Bekerja” yang dipimpin oleh
ibu penulis dengan visi misi utamanya adalah meningkatkan
pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga supaya memiliki
produktivitas tinggi tanpa melupakan kiprah dan etika. Penulis
mengangkat tema dan narasumber ini karena dirasa kolaborasi isu
tentang perlawanan patriarki dan produktivitas ibu rumah tangga
adalah hal yang sangat menarik dan perlu digencarkan di seluruh
daerah. Selanjutnya, tulisan ini akan memaparkan penjelasan mulai
dari hal yang paling fundamental yaitu pengertian kepemimpinan
menurut ahli, kepemimpinan sosial, perbedaan kepemimpinan di
era dahulu dengan era sekarang, evaluasi dari kepemimpinan
sebelumnya (hal yang baik dan buruk), aspek yang perlu dirombak,
pengertian komunitas, deskripsi latar belakang hingga visi misi
komunitas “Ibu Bekerja”, konteks kepemimpinan di era masa kini,
basis pengumpulan data hingga kesimpulan yang menghantarkan
suatu statement pergerakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata
kepemimpinan adalah perihal pemimpin dan cara memimpin.
Sedangkan secara etimologi, kepemimpinan merupakan terjemahan
dari kata “leadership” yang berasal dari kata “leader”. Pemimpin
(leader) adalah orang yang memimpin, sedangkan pimpinan
merupakan jabatannya. Dalam pengertian lain, secara etimologi
29. 27
istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya
bimbing atau tuntunan. Dari “pimpin” maka lahirlah kata kerja
“memimpinc” yang artinya membimbing atau menuntun.
Sedangkan secara terminologi dari beberapa ahli, menurut Robbins
kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi
sekelompok anggota agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran.
Sumber dari pengaruh dapat diperoleh secara forma, yaitu
menduduki suatu jabatan manajerial yang diduduki.
Sedangkan menurut Pancasila, sebagai dasar filosofis dan
nilai luhur masyarakat Indonesia, terdapat ungkapan mengeai
kepemimpinan yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha” yang artinya
pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya
menjadikan dirinya sebagai pola anutan dan ikutan bagi orang
yang dipimimpinnya, lalu “Ing Madya Mangun Karsa” yang artinya
pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa
dan berkreasi pada orang yang dibimbingnya, dan “Tut Wuri
Handayani” yang artinya bahwa pemimpin harus mampu
mendorong orang-orang yang diasuhnya berani berjalan di depan
dan sanggup bertanggung jawab. Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat kita simpulkan bahwa pengertian
kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan untuk
menggerakan, memengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan,
menasehati, membina membimbing, melatih, menyuruh,
memerintah, melarang, dan bahkan menghukum dengan maksud
agar manusia sebagai bagian dari perkumpulan civil society mau
bekerja dalam rangka mencapai tujuan dirinya sendiri dan
kumpulannya secara efektif dan efisien. Pengertian ini
menunjukkan bahwa terdapat tiga unsur utama dalam
kepemimpinan yaitu pemimpin (leader), anggota (followers), dan
situasi (situation).
Suatu kepemimpinan sosial selalu memiliki gaya
kepemimpinan khasnya masing-masing, yang diadaptasi dari
30. 28
kepentingan dan suasana elemen anggota. Gaya kepemimpinan
dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang
untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adapun definisi gaya
kepemimpinan menurut ahli, diantaranya sebagai berikut. Menurut
Rivai (2008:64), gaya kepemimpinan didefinisikan sebagai pola
menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Menurut Thoha
(2007:49), gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Menurut
Hasibuan (2007:170), gaya kepemimpinan adalah suatu cara
pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya, agar mereka mau
bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan
organisasi. Maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya gaya
kepemimpinan adalah pola tingkah laku para pemimpin dalam
mengarahkan para bawahannya untuk mengikuti kehendaknya
dalam mencapai suatu tujuan.
Adapun macam gaya kepemimpinan dari situasi yang telah
terjadi di era sebelumnya, Menurut Thoha (2007:42) teori Path Goal
berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin
terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan
bawahannya. Teori Path Goal membagi empat gaya kepemimpinan
yaitu Kepemimpinan direktif, supportif, partisipatif, dan prestatif.
Tipe direktif sama dengan model kepemimpinan otokratis bahwa
bawahan tahu dengan pasti apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model
ini tidak ada partisipasi dari bawahannya. Lalu supportif
merupakan kepemimpinan yang mempunyai kesediaan untuk
menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai
perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya.
Lalu kepemimpinan partisipatif yaitu pemimpin berusaha meminta
31. 29
dan menggunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun
pengambilan keputusan masih tetap berpusat pada atasan. Lalu
kepemimpinan berorientasi pada prestasi yaitu menetapkan
serangkaian tujuan yang menantang bawahannya untuk
berpartisipasi. Pemimpin juga memberikan keyakinan kepada
mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan
mencapai tujuan secara baik (Thoha, 2007:42).
Menurut Habsari (2008:12), dari paparan mengenai macam-
macam gaya kepemimpinan sosial, maka dapat diidentifikasi gaya
kepemimpinan yang efektif dengan ciri ciri sebagai berikut. Yaitu
memperhitungkan minat sampai hasil akhir, memahami bahwa
hasil adalah selalu penilaian terakhir, memiliki semangat
menyelesaikan masalah, lebih demokratis dari pada autority,
memberikan kesempatan untuk mencapai potensi setiap orang,
memiliki etika dan moral yang tinggi dan mengambil tanggung
jawab terhadap hasil tim. Gaya kepemimpinan yang sebaiknya
dijalankan oleh seorang pemimpin terhadap organisasinya sangat
tergantung pada kondisi anggota organisasi itu sendiri. Karena
pada dasarnya tiap gaya kepemimpinan hanya cocok untuk kondisi
tertentu saja. Dengan mengetahui kondisi nyata anggota, seorang
pemimpin dapat memilih model kepemimpinan yang tepat. Tidak
menutup kemungkinan bahwa seorang pemimpin menerapkan
gaya yang berbeda untuk divisi atau seksi atau organisasi,
komunitas, dan start up yang berbeda.
Selanjutnya, sesuai sub tema yang penulis pilih yaitu
kepemimpinan di komunitas, maka akan dijelaskan pengertian
komunitas secara fundamental. Pada mulanya, komunitas berasal
dari bahasa latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian
dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi
oleh semua atau banyak". Komunitas merupakan kelompok sosial
dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan dan umumnya
memiliki ketertarikan serta habitat yang sama. Dalam komunitas
32. 30
manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,
kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan
sejumlah kondisi lain yang serupa (Soenarno, 2002). Dapat
didefinisikan bahwa komunitas adalah sebuah identifikasi dan
interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan
fungsional dimana terjadi relasi pribadi yang erat antar para
anggota komunitas di dalamnya karena adanya kesamaan interest
atau values. Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa anggota itu
dapat merupakan anggota dari beberapa kelompok; dan kecuali
keluarga (sebagai primary group) kesemuanya mungkin dapat
dikategorikan sebagai community atau komunitas.
Loren O. Osbarn dan Martin H. Neumeyer (1984 : 59)
menyatakan bahwa komunitas adalah “a group of a people having in a
contiguous geographic area, having common centers interests and
activities, and functioning together in the chief concern of life”. Dengan
demikian suatu komunitas merupakan suatu kelompok sosial yang
dapat dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok
yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-
batas tertentu pula, dimana kelompok itu dapat memenuhi
kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta
interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya.
Menurut Crow dan Allan, komunitas dapat terbagi menjadi
2 komponen yaitu berdasarkan lokasi sebagai tempat dimana
sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis,
dan berdasarkan minat sekelompok orang yang mendirikan suatu
komunitas karena mempunyai ketertarikan dan minat yang sama,
misalnya agama, pekerjaan, suku, ras, maupun berdasarkan
kelainan seksual. Komunitas “Ibu Bekerja” yang selanjutnya akan
menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini merupakan kombinasi
antara keduanya (komponen persamaan lokasi dan ketertarikan
minat kepentingan).
33. 31
Komunitas “Ibu Bekerja” merupakan kumpulan ibu rumah
tangga tanpa batasan usia dan ras yang berkembang di Desa
Ndongki, Kota Blitar, Jawa Timur. Komunitas ini bergerak di
bidang peningkatan produktifitas dan berusaha membunuh
stereotip patriarki yang masih mengalir di masa kini. Dipelopori
oleh kolaborasi antara Isti Chomah, yaitu ibu penulis yang menjabat
sebagai ketua PKK RT 01 RW 08 yang selanjutnya memegang posisi
sebagai pemimpin komunitas. Ide dilahirkannya komunitas “Ibu
Bekerja” lahir sejak tahun 2016 yang direalisasikan secara stagnan
pada tahun 2017. Ide muncul dari Maulidya Indah yaitu anak dari
pemimpin komunitas yang resah terhadap situasi dan kondisi di
desa kelahirannya dimana nasib ibu rumah tangga masih terkekang
oleh penindasan budaya patriarki dan kesenjangan gender yang
mengalir terus menerus di lingkungan pemikiran kuno. Maulidya
dengan bekal studinya di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,
semakin terbuka pemikiran dan kepeduliannya mengenai
pentingnya perlawanan patriarki.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan
laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi
dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan
penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut
ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta
benda. Di lingkungan rumahnya, Maulidya kerap mendengar
pernyataan di mana kaum laki-laki melarang istrinya bekerja
karena dianggap melanggar tradisi dan tidak elok dipandang.
Tetapi di lain sisi, ekonomi keluarga kian memburuk karena sosok
suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Kekurangan
ekonomi tersebut menghantarkan pada masalah-masalah
berikutnya yaitu kekerasan anak, kekerasan dalam rumah tangga,
tindak kriminal, dan berujung pada perceraian disertai dengan
traumatis psikologis bagi istri dan anak. Jika kondisi ini dibiarkan,
34. 32
maka angka kemiskinan, kekerasan dan kesenjangan kian naik
sehingga kesejahteraan gagal untuk dicapai. Dengan mengusung
latar belakang lingkungan yang “tidak sehat”, penulis
mempercayakan kepada ibunya yang pada tahun 2017 memegang
peranan strategis sebagai ketua ibu PKK untuk melahirkan
komunitas ibu rumah tangga yang dirasa tidak berdaya. Meskipun
demikian, yang harus diketahui bahwa komunitas ini adalah murni
independen tanpa adanya intervensi dari pemerintah.
Narasumber memberi penjelasan bahwa sebenarnya
kualitas hidup perempuan di satu dasawarsa terakhir sudah
membaik, perempuan Indonesia adalah sumber daya potensial
yang jika diberi kesempatan akan maju dan meningkatkan
kualitasnya secara mandiri dan menjadi penggerak dalam dimensi
kehidupan dan pembangunan bangsa. Namun terdapat fakta
kurang menyenangkan bagi perempuan yaitu seperti masih
tingginya tingkat kekerasan pada perempuan, kesenjangan
pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses
sebagian besar perempuan terhadap fasilitas kesehatan yang lebih
baik, pendidikan yang lebih tinggi, kurangnya peran perempuan
dalam lembaga publik yang lebih luas . Dan ketika perempuan
menjadi pemimpin apakah mereka akan memiliki keberpihakan
kepada perempuan? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh
perempuan di berbagai bidang masing-masing. Secara kultural,
perempuan masih dibelenggu oleh budaya patriarki, perempuan di
sektor domestik, laki-laki disektor publik. Akses dan partisipasi
perempuan dalam kepemimpinan masih rendah.
Adapun secara garis besar, visi misi “Ibu Bekerja” adalah
meningkatkan produktifitas ibu rumah tangga tanpa meninggalkan
pekerjaan domestik. Pada intinya, patriarki dilawan perlahan bukan
secara tiba-tiba dipangkas begitu saja. Program kerjanya adalah
seputar pelatihan menjahit pakaian, membuat kain batik, membuat
aksesoris (tas, hiasan meja, gantungan kunci, gelang, kalung, pot
35. 33
bunga, asbak) dari barang bekas dan membuat olahan makanan
(sambal pecel, manisan pepaya, wajik kletik). Pelatihan dibagi
secara periodik dan berlangsung secara kekeluargaan selayaknya
hubungan tetangga yang harmonis. Struktur organisasi untuk
sementara diketuai oleh Isti Chomah sebagai ketua PKK, sekretaris
oleh Villa Purwani sebagai sekretaris RT, dan bendahara oleh Ninik
sebagai bendahara RT. Asupan dana bersumber pada akumulasi
iuran yang masuk dalam kas RT sejak tahun 2010. Dan penanggung
jawab pelatih dikoordinir oleh pemilik home industry masing-
masing aspek pelatihan dalam satu RT. Sehingga hal ini berdampak
pada penghematan biaya operasional dan akomodasi yang semakin
mudah. Tertulis hingga Bulan November 2019, telah sukses
program yang dijalankan sesuai rancangan dengan 15 anggota ibu
rumah tangga di bidang pelatihan pembuatan kain batik pada
Januari 2019, pelatihan pembuatan bunga kertas dari barang bekas
pada Agustus 2019 dan pelatihan pembuatan sambal pecel pada
Oktober 2019. Seluruh hasil produk telah dipasarkan dan
dipamerkan dalam acara pameran rutin mingguan di Kelurahan,
Kecamatan, maupun Kota dan telah laku terjual seluruhnya. Laba
dari penjualan ini 20% masuk ke dalam kas dan sisanya sebagai
ganti biaya operasional selama pelatihan. Selanjutnya, ibu rumah
tangga yang bergabung sebagai anggota, akan diarahkan menuju
kemampuannya di salah satu bidang yang diminati dan direkrut
sebagai pekerja home industry dengan kemudahan bisa
mengerjakan produk di rumahnya masing-masing. Sehingga ibu
rumah tangga tetap bisa bekerja menghasilkan uang tanpa
meninggalkan tanggungannya untuk mengasuh anak atau urusan
lain di bidang domestik.
Ciri khas yang dapat diambil dari kepemimpinan
komunitas ini selain dipimpin oleh perempuan, adalah adanya
motif mulia untuk menyejahterakan sesama dan bukan untuk
meraih keuntungan semata . Kepemimpinan dan komunitas lebih
36. 34
fleksibel dengan peraturan moral yang tidak tertulis. Menekankan
pada peningkatan keberdayaan perempuan tanpa meninggalkan
urusan di bidang domestik. Menurut Ir. Suryati Soeharjo, untuk
menjadi pengusaha dan mengusahakan sesama supaya sukses
banyak hal yang perlu diperjuangkan. Proses yang panjang dan
hambatan besar selalu menghadang. Salah satu contohnya adalah
pandangan remeh dan pertentangan dari para suami.
Maka “Ibu Pekerja” muncul sebagai inovasi pemberian
solusi ibu rumah tangga supaya tetap bisa produktif dan
menghasilkan uang tanpa meninggalkan rumah dan tanggungan
sebagian pekerjaan domestiknya. Pemberian label “peningkatan
keberdayaan perempuan” karena perempuan selalu dianggap
sebagai objek dari pembangunan, padahal sudah lama ditemukan
bukti bahwa perempuan sudah berhasil menjadi subjek dari
pembangunan, sehingga istilah “pemberdayaan perempuan” sudah
tidak lagi cocok digunakan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan,
bahwa kepemimpinan di era dahulu didominasi oleh laki-laki
sedangkan di era masa kini telah banyak bermunculan perempuan
sebagai pelopor suatu komunitas sebagai bentuk perlawanan
terhadap sistem patriarki yang dilanggengkan oleh budaya sendiri.
Dan sejalan dengan perkembangan zaman yang menggunakan
media internet di seluruh aspek kehidupan, maka mempermudah
penyebaran ajakan kebangkitan perempuan.
Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hasanati, Nida. Alternatif Model Kepemimpinan pada Era Globalisasi.
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Jurnal Psikologika, Vol. 17, No. 1, Januari 2012.
Hasannah, Dessy., Sakina Ade. Menyoroti Budaya Patriarki di
Indonesia. Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjajaran.
Jurnal Social Work, Vol. 7, No. 1, Januari 2017, 1-129.
37. 35
Purnama, Nursya’bani. Kepemimpinan Masa Depan Konsep dan
Strategi Keefektifan. Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis, Vol. 1, No. 5, Januari 2015,
115-129.
38. 36
KEPEMIMPINAN FAUZAN SEBAGAI SEORANG MILENIAL
Oleh : Jiwaning Angger Pamukti
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat menjalani
kehidupan tanpa bantuan orang lain. Dalam menjalani kehidupan,
manusia selalu melakukan interaksi terhadap individu lainnya
yang menyebabkan terjadinya hubungan antara individu satu
dengan individu lainnya atau individu dengan kelompok yang ada
di dalam masyarakat. Ketika proses manusia sebagai makhluk
sosial terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat, individu
dibenturkan dengan permasalahan yang dimiliki oleh individu
lainnya yang bahkan permasalahan individu sendiri belum selesai.
Akibatnya, timbul permasalahan antara individu dengan individu
atau individu dengan kelompok yang dapat menyebabkan
disintergrasi. Untuk menghindarinya maka diperlukannya individu
yang mampu menengahi atau bahkan menyelesaikan dan
mengontrol permasalahan tersebut. Dengan kata lain,
diperlukannya seorang pemimpin untuk mengatasi permasalahan
diatas. Sebagaimana dijelaskan oleh (Kartono, 2003), “Pemimpin
adalah kemampuan untuk memengaruhi, mengarahkan atau
mengkoordinasi individu lainnya agar tujuan yang telah ditetapkan
dapat dicapai”. Namun tak hanya itu, pemimpin harus mampu
sebagai penyalur pikiran dari anggotanya dan memiliki sifat mutlak
dari kekuasaan (Kartono, 2003).
Generasi milenial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah individu yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an.
Maka di era sekarang ini, kepemimpinan didominasi oleh individu-
individu dari generasi milenial. Banyak terlihat generasi milenial
39. 37
saat ini mendominasi di posisi seorang pemimpin dalam kehidupan
sehari-hari. Bukan tidak mungkin pada tahun 2025 akan banyak
sektor-sektor yang ada didominasi oleh generasi milenial. Sektor
seperti ruang lingkup kampung melalui Karang Taruna, sekolah-
sekolah melalui OSIS, lingkungan kampus melalui berbagai macam
organisasi yang ada telah dipimpin oleh generasi milenial.
Kedepannya, sektor pengusaha-pengusaha atau perusahaan kecil
maupun besar, menteri, pimpinan politk akan semakin banyak
dipimpin oleh generasi milenial. Generasi ini merupakan aset dari
suatu Negara karena kedepannya merekalah yang akan menjadi
tonggak dalam melakukan pembangunan dan perbaikan
kehidupan Indonesia di masa datang. Namun yang menjadi
masalah adalah arus globalisasi yang semakin kuat memunculkan
perkembangan teknologi dan masuknya kebiasaan atau budaya
dari luar yang justru membuat pola pikir dari generasi milenial
berubah. Menurut Badan Pusat Statistik, milenial bercirikan mudah
mengkritik, teknologi nomor satu, meninggalkan kebiasaan lama,
dan susah untuk menjadi contoh karena kasus tawuran, pergaulan
bebas, narkoba yang menjerat milenial (Statistik, 2018). Bahkan
penggunaan narkoba meningkat 4%-8% dari tahun sebelumnya
menjadi 24%-28% (PUSLITDATIN, 2019). Berdasarkan permasalah
tersebut, tulisan ini akan mengonfirmasi permasalahan tersebut
melalui salah satu gaya kepemimpinan dimana seorang generasi
milenial memimpin sebuah organisasi himpunan mahasiswa yang
ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada yaitu himpunan Keluarga Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan (Kapstra). Metode untuk mendapatkan data adalah
dengan wawancara secara langsung terhadap pimpinan dari
himpunan Kapstra yaitu Fauzan M Bachtiar dan juga beberapa
literatur yang mendukung tulisan ini.
40. 38
Sejarah Kapstra
Keluarga Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra)
merupakan himpunan mahasiswa departemen Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada. Kapstra berdiri pada tahun 2010
karena sebelumnya himpunan mahasiswa PSdK bernama Korps
Mahasiswa Ilmu Sosiatri (Komatri). Pergantian ini dikarenakan
pergantian nama departemen yang sebelumnya bernama Ilmu
Sosiatri berubah menjadi PSdK pada tahun 2010. Kapstra
beranggotakan semua mahasiswa aktif departemen PSdK tetapi
untuk kepengurusannya adalah orang-orang mahasiswa aktif yang
telah mengikuti serangkaian perekrutan terbuka. Alasan
dibentuknya Kapstra adalah untuk mewadahi mahasiswa PSdK
dalam berkegiatan maupun mewadahi minat dan bakat baik di
bidaang akademik maupun non akademik (Fauzan, 2019).
Biografi Singkat Presiden Kapstra
Fauzan Cahya Bachtiar lahir di Tangerang pada tanggal 7
Oktober 1999. Ia merupakan mahasiswa aktif Universitas Gadjah
Mada, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan tahun 2017. Fauzan
menjabat sebagai Presiden dari himpunan mahasiswa departemen
PSdK yaitu Kapstra periode 2018-2019. Apabila didasarkan pada
pengertian milenial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka
Fauzan dapat dikatan sebagai salah satu dari generasi milenial.
Gaya Kepemimpinan Fauzan Cahya Bachtiar
Fauzan memahami arti dari seorang pemimpin adalah
bentuk dari pengabdian (Fauzan, 2019). Maksudnya, bentuk
pengabdian adalah seorang pemimpin harus siap dua kali bekerja
lebih keras, dua kali berpikir lebih keras, dan dua kali lebih keras
dalam meluangkan waktunya. Bentuk nyata dari pengabdian
41. 39
adalah pemimpin harus mengorbankan apa yang ingin dirahinya
karena pemimpin sadar bahwa waktu yang dimilikinya terbatas
bisa itu kegiatan, cita-cita, maupun hal lain yang telah ditetapkan
oleh seorang pemimpin sebelum ia memperoleh amanah menjadi
seorang pemimpin. Analogi mengenai bentuk pengorbanan seorang
pemimpin seperti ini, pemimpin dan bawahannya sama-sama
memiliki 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari
dalam sebulan, tetapi pemimpin harus bisa memilih mana yang
harus diprioritaskan dan mana yang harus dikorbankan untuk
amanah yang dipegangnya. Pengorbanan seorang pemimpin itu
perlu adanya, karena untuk menjalankan amanah yang telah
dititipkannya dan agar ia dapat fokus pada organisasi ataupun
sesuatu yang dipimpinnya.
Ketika memahami pemimpin yang ideal, ia mengatakan
bahwa seorang pemimpin ideal adalah pemimpin yang ditunjuk
bukan yang mengajukan diri sebagai pemimpin (Fauzan, 2019).
Karena ketika seorang pemimpin itu ditunjuk, ia membawa amanah
dari individu yang lain dan bebas dari kepentingan. Sedangkan
ketika pemimpin itu mengajukan diri, kebanyakan dari mereka
lebih memberatkan pada kepentingan yang ia bawa. Tetapi hal
tersebut juga tidak sepenuhnya tepat karena banyak faktor yang
melandasinya dalam arti bahwa tidak semua pemimpin yang
mengajukan diri itu tidak baik maupun tidak semua pemimpin
yang ditunjuk itu baik, hanya ideal dari seorang pemimpin adalah
semacam itu. Berlanjut ke tokoh yang menurutnya ideal menjadi
seorang pemimpin. Menurutnya hanya ada satu tokoh ideal, yaitu
Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW merupakan contoh
ideal dari seorang pemimpin dimana ia memiliki sifat-sifat yang
dapat meneteramkan, tidak hanya kepada pengikutnya tetapi juga
pada dunia. Tetapi untuk pemimpin saat ini, Fauzan belum
menemukan pemimpin ideal. Ia hanya mengambil sepenggal-
sepenggal sifat dari pemimpin saat ini untuk diterapkan ke gaya
42. 40
kepemimpinannya. Sebagai contoh sifat dari pak Joko Widodo yang
suka turun ke masyarakat atau istilahnya “blusukan”, sopan
santunnya, dan tidak membedakan kelas. Selanjutnya sifat dari pak
Ahok yang tegas dan kritis terhadap permasalahan yang ada,
walaupun diakui oleh Fauzan ia masih belajar dalam menerapkan
sifat ini ke dirinya. Terakhir sifat dari pak Ganjar Pranowo,
menurutnya cara berkomunikasi pak Ganjar memukau. Ia dapat
memengaruhi audience melalui penempatan cara komunikasi yang
tepat. Jadi, tidak ada figure yg sempurna kecuali Nabi Muhammad
SAW.
Selanjutnya, dalam memimpin Kapstra, Fauzan
menerapkan gaya kepemimpinan berdasarkan tokoh-tokoh diatas,
dimana kepemimpinan yang memberikan contoh/teladan bukan
hanya sekedar intruksi saja. Intruksi tanpa memberikan contoh
hanya akan mengarah pada mobilisasi dan bawahannya tidak
dapat bergerak sendiri serta terlau sering mengandalkan intruksi
(Fauzan, 2019). Tetapi ketika ia memberikan contoh/teladan,
Fauzan berharap bahwa bawahannya dapat berpikir melalui hal
yang ia contohkan sehingga bawahannya tidak hanya terpaku pada
intruksi saja tetapi dapat mengembangkan/mengatasi apabila
terjadi masalah. Selain itu, Fauzan juga menerapkan gaya
kepemimpinan turun kebawah. Pengalamannya juga memengaruhi
kenapa Fauzan menerapkan gaya kepemimpinan turun kebawah,
karena ketika dulu ia menjadi bawahan, ia merasa bahwa
pemimpinnya saat itu terlalu jauh dari bawahannya sehingga ketika
ia menjadi pemimpin, ia tidak menerapkan gaya kepemimpinan
yang seperti itu. Sebagai langkah konkret turun kebawahnya, ia
selalu menyapa bawahannya secara langsung ketika berpapasan
untuk menciptakan tidak adanya sekat antara pimpinan dan
bawahan tetapi ia juga tetap mengajarkan bagaimana sopan santun
terhadap atasan. Sama halnya dengan pengambilan keputusan,
sebelumnya mengambil keputusan ia selalu meminta pendapat
43. 41
ataupun bertukar pikiran kepada bawahannya. Selain itu, ketika
proses monitoring/pengawasan ia juga mengupayakan agar selalu
mengawasi dengan terjun langsung ke kegiatan/program kerja
yang sedang berlangsung. Tetapi ketika ia tidak bisa mengawasi
secara langsung, ia meminta individu yang menjadi penanggung
jawab untuk mengabarkan keadaan yang sedang berlangsung
Dalam menghadapi persoalan di era modern ini, kemajuan
teknologi itu merapakan tantangan bagi setiap invidu, teknologi
dapat membantu individu atau menjadi boomerang bagi individu
tersebut. Dalam menjalankan kepemimpinannya, ia ingin
mengurangi pemakaian teknologi, bukan berarti dia gaptek, dia
lebih suka cara-cara interaksi langsung. Sebagai contoh ketika
berinteraksi melalui chat. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain
melalui chat, maksud, tujuan, intonasi, mimik, gesture tubuh
terkadang salah diinterpretasikan oleh si pembaca karena di dalam
chat hanya memenuhi unsur kalimat saja. Sehingga hal tersebut
rawan untuk terjadi salah persepsi. Fauzan menggarisbawahi
bahwa pemanfaatan fitur chatting boleh dilakukan, asal dalam
keaadan yang darurat saja. Memanfaatkan, bukan dimanfaatkan,
maka dari itu perlu kehati-hatian dalam penggunaan teknologi
(Fauzan, 2019).
Selanjutnya mengenai isu yang mudah mengkritik namun
enggan dalam dikritik. Dalam menanggapi persoalan ini, Fauzan
memberikan contoh ketika ia mengambil keputusan. Menurutnya,
tugas pemimpin paling berat adalah dibagian pengambilan
keputusan, karena ketika pemimpin mengambil keputusan maka ia
harus bertanggung jawab penuh terhadap keputusannya. Ketika ia
mengambil keputusan dan keputusan itu ditentang atau dikritik
oleh bawahannya atau eksternalnya, maka ia tidak dengan cepat
langsung menyerang balik si pengkritik. Fauzan akan membuat
refleksi diri dulu sebelum bertindak, apakah benar apa yang
dikatakan oleh si pengkritik. Bahkan ia tidak akan malu untuk
44. 42
mengakui kesalahannya ketika itu memang dirasa dirinya salah,
tetapi ketika keputusan yang diambil menurutnya sudah baik,
maka ia akan memberikan pemahaman ke orang lain dengan
mengambil win win solution atau bahkan mengambil irisan dari
permasalahan tersebut. Sama halnya ketika sedang menjalankan
program kerja, ia juga tidak menelan mentah-mentah apabila ada
kritik karena program kerja yang dijalankan kurang sesuai dengan
ekspetasi. Ia akan memberikan pemahaman kepada orang lain
ataupun bawahannya mengenai letak kesalahannya dimana dengan
cara bukan untuk menjatuhkan bawahannya, tetapi dengan
memberikan pemahaman agar tidak melakukan hal ini di lain
waktu.
Terakhir, Fauzan mendapatkan hal berharga ketika ia
menjadi Presiden Kapstra. Ia belajar mengenai manajemen.
Manajemen yang dimaksud ini dalam arti luas, seperti manajemen
waktu, manajemen emosi, manajemen berpikir, manajemen
keputusan, manajemen sumber daya manusia, manajemen resiko,
manajemen perencanaan, dan semacamnya. Ia juga belajar
bagaimana cara menyelesaikan masalah tanpa memunculkan
masalah lagi. Intinya, melalui menjadi Presiden, ia belajar
bagaimana menata kehidupan, tidak hanya kehidupan dirinya
sendiri, tetapi juga kehidupan organisasi maupun kehidupan
bawahannya (Fauzan, 2019).
Kesimpulan
Menjadi seorang pemimpin adalah suatu bentuk
pengabdian dan pengorbanan terhadap apa yang dipimpinnya
(Fauzan, 2019). Sebagai generasi milenial yang banyak diberitakan
hal negative, Fauzan mencoba menjawab permasalahan tersebut
melalui tokoh ideal dan sifat dari beberapa tokoh yang ia tiru serta
pengalaman yang pernah ia dapatkan juga turut ia
implementasikan ke gaya kepemimpinannya dalam memimpin
45. 43
Kapstra. Mengenai gaya kepemimpinannya, Fauzan memadukan
beberapa gaya kepemimpinan seperti demokratis, moralis, dan
transaksional. Kepemimpinan Demokratis yang bercirikan
memberikan kesempatan anggota untuk berkembang,
berpartisipasi, dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan.
(Tumbol, Tewal, & Sepang, 2014). Selanjutnya moralis yang
ditunjukan melalui sikap hangat, sopan, dan menghargai
bawahannya (Thoha, 1995). Terakhir, kepemimpinan transaksional
yang ditunjukan juga melalui membimbing atau memotivasi
bawahan agar memperjelas peran untuk mencapai tujuannya
(Robbins, 2003). Selain itu, kemajuan teknologi ia sikapi dengan
bijak dan tenang serta mencoba untuk memanfaatkan teknologi
tetapi bukan untuk dimanfaatkan.
Daftar Pustaka
Bachtiar, F. C. (2019, November 15). Gaya Kepemimpinan Presiden
Kapstra 2018-2019. (J. A. Pamukti, Interviewer)
Kartono, K. (2003). Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah
Kepemimpinan Abnormal itu). Jakarta: P.T Raja Grafindo
Persada.
PUSLITDATIN. (2019, August 12). Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia. Retrieved November 22, 2019, from
https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-
meningkat/
Robbins, S. P. (2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: Index.
Statistik, B. P. (2018). Profil Generasi Milenial Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
Thoha, M. (1995). Kepemimpinan dalam Manajemen CV. Jakarta:
Rajawali.
Tumbol, C. L., Tewal, B., & Sepang, J. L. (2014). Gaya
Kepemimpinan Otokratis, Demokratik, dan Laissez Faire
47. 45
GAYA KEPEMIMPINAN PADA ORGANISASI MAHASISWA
DAERAH IKPMJ YOGYAKARTA
Oleh : Realdy Zamora Armansyah
Manusia merupakan makhluk sosial yang dimana tentunya
membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup. Menurut
Solikin.dkk (2017) dalam hidup, manusia akan selalu berinteraksi
dengan sesama serta dengan lingkungannya sehingga manusia
dalam semasa hidupnya akan berkelompok baik dalam kelompok
besar maupun dalam kelompok kecil yang tentunya akan
dibutuhkannya seorang pemimpin dalam kelompok tersebut. Tak
terkecuali dalam suatu kelompok masyarakat, tentunya juga
terdapat seorang leader atau pemimpin. Hal tersebut dikarenakan
agar sistem yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat
tersebut dapat berjalan dengan baik. Pemimpin ditunjuk oleh
anggotanya untuk menjadi komando di dalam kelompok
masyarakat karena dinilai memiliki track record yang bagus selama
menjadi anggota dan memiliki jiwa kepemimpinan sehingga
dipercaya untuk dapat memimpin kelompoknya. Seorang
pemimpin juga dapat dikatakan sebagai pionner atau sebagai
pelopor yang dimana seorang pemimpin dapat menjadi inisiator
dalam menggerakan anggotanya untuk bekerja. Hal tersebut juga
berlaku di dalam organisasi. Pentingnya seorang pemimpin di
dalam organisasi ialah agar dapat mengkomandoi anggotanya
dalam mencapai tujuan bersama dengan mengarahkan anggotanya
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti juga apa yang
telah disampaikan oleh Suranta (2002) pentingnya adanya seorang
pemimpin di dalam organisasi dikarenakan pemimpin memiliki
peran yang strategis dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi
48. 46
sesuai visi dan misi organisasi yang ada. Tentunya dengan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan organisasi tersebut, maka
fungsi yang ada di dalam organisasi tersebut dapat berjalan.
Menurut Yulianti (2018) seorang pemimpin dengan gaya
kepemimpinannya merupakan salah satu kondisi sine qua non atau
sebab akibat yang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin
organisasi. Artinya, keberhasilan seorang pemimpin dalam
memimpin anggotanya maka juga akan memberikan dampak
kepada keberhasilan anggotanya pula. Salah satu contoh sine qua
non yang bisa kita ambil yaitu gaya kepemimpinan yang terdapat
pada ketua di organisasi mahasiswa daerah IKPMJ. IKPMJ sendiri
merupakan suatu ormada yang dimana anggotanya merupakan
mahasiswa yang berasal dari Jember yang kuliah di Jogja. Sebelum
kita lebih lanjut membahas bagaimana gaya kepemimpinan dari
seorang pemimpin IKPMJ itu sendiri, terlebih dahulu kita
membahas sedikit sejarah dan latar belakang dari berdirinya
IKMPJ.
Organisasi IKPMJ yang merupakan kepanjangan dari Ikatan
Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Jember yang ada di Yogyakarta
lahir pada tepatnya tanggal 15 Juni 1968 di Yogyakarta yang
didirikan oleh beberapa alumni asal Jember yang pernah berkuliah
di Jogjja. Latar belakang berdirinya IKPMJ ialah bahwasannya pada
sekitar tahun 60-an, sekolah yang ada di Jember masih sedikit
sehinggga para pelajar yang ada di Jember memilih untuk
merantau ke kota lain termasuk Yogyakarta yang notabenenya
menjadi kota pelajar. Yang membedakan IKPMJ sama ormada
lainnya ialah di IKPMJ ini tidak hanya orang-orang yang berasal
dari Jember saja, tetapi orang luar pun yang pernah bersekolah atau
menetap di Jember dapat tergabung dalam ormada IKPMJ. Maksud
dari orang luar itu sendiri ialah orang yang bukan asli Jember dan
bukan keturunan orang Jember dapat masuk dalam ormada IKPMJ.
Seperti layaknya organisasi pada umumnya, IKPMJ juga memiliki
49. 47
struktur organisasi yang terdiri atas Ketua, Wakil ketua, Sekretaris
dan Bendahara serta dilengkapi oleh beberapa depertemen-
depertemen lainnya, seperti Hubungan Masyarakat (Humas),
Pengabdian Masyarakat (Pemas), Pengembangan Sumberdaya
Manusia (PSDM), Departemen Kesenian, Departemen Olahraga,
dan Departemen Medinfo.
Pada setiap era kepemimpinan di IKPMJ tentunya memiliki ciri
khas tertentu, namun aspek kekeluargaan yang menjadi prinsip
tetap dipertahankan dari dulu hingga sekarang. Pada bagian ini
kita akan membahas mengenai gaya kepemimpinan pada era
kepengurusan IKPMJ saat ini dan implikasinya terhadap para
anggota IKPMJ. Pada kepengurusan untuk periode 2018/2019
diketuai oleh Bion Biondi atau lebih akrab disapa Mas Bion. Mas
Bion lahir di Bogor, 7 November 1998 dan beliau merupakan
mahasiswa UPN Yogyakarta di fakultas teknik perminyakan
angkatan 2016. Sebelum menjabat sebagai ketua IKPMJ periode
2018/2019, Mas Bion sendiri pernah menjabat sebagai ketua
departemen kesenian untuk periode 2017/2018. Selama di IKPMJ,
Mas Bion sangat aktif dalam menjalani kegiatan atau event yang
pernah dilakukan oleh IKPMJ, salah satu contohnya yaitu kesenian
musik patrol yang merupakan proker dari departemen kesenian.
Tidak hanya aktif di departemennya saja, namun beliau juga aktif
dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh departemen
lain seperti Makrab Sakera (Makrab kepada anggota IKPMJ yang
baru dan anggota IKPMJ yang lama), futsal bersama ormada lain,
gerakan berbagi nasi bungkus dan lain sebagainya. Karena Mas
Bion dinilai sangat aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan IKPMJ
meskipun ditengah kesibukannya kuliah di teknik perminyakan
UPN, akhirnya para anggota lainnya memberikan dukungan
kepada Mas Bion untuk mencalonkan diri sebagai Ketua IKPMJ
untuk periode 2018/2019. Dan dari 3 kandidat yang terpilih, jabatan
50. 48
ketua diamanahkan kepada Mas Bion dan menjadi Ketua IKPMJ
untuk periode 2018/2019.
` Menurut salah satu narasumber yang merupakan anggota aktif
IKPMJ angkatan 2018, Muhammad Sofyan Hadi dari fakultas Ilmu
Budaya UGM, selama menjabat sebagai ketua IKPMJ, beliau dapat
dikatakan memiliki kemampuan untuk merangkul semua anggota
IKPMJ, terutama kepada anggota IKPMJ yang baru sehingga Mas
Bion dinilai sebagai pemimpin yang ideal bagi IKPMJ. Selain itu
juga, menurut beberapa anggota IKPMJ baik angkatan 2017 sampai
2019, Mas Bion merupakan sosok pemimpin yang partisipatoris
yang dimana beliau akan langsung ikut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh IKPMJ. Beliau juga
merupakan orang yang terbuka dalam artian beliau akan menerima
semua pendapat, saran, dan kritikan dari anggota IKPMJ yang lain
terkait kepemimpinannya selama periode 2018/2019. Terbukti pada
acara Culfest yang diadakan oleh UGM Residence pada 5 Mei 2019,
IKPMJ dinobatkan sebagai ormada terfavorit dan pawai budaya
terbaik. Tentunya hal ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa
yang didapat oleh IKPMJ karena dapat bersaing dengan ormada-
ormada lainnya. Dilihat dari prestasi yang didapat tentunya tidak
terlepas dari bimbingan Mas Bion sebagai ketua IKPMJ sendiri.
Meskipun beliau bukanlah orang Jember asli, namun kontribusi
yang dilakukan untuk IKPMJ dalam mengharumkan nama Jember
sangatlah luar biasa. Beliau akan melakukan segala cara untuk
mengenalkan budaya Jember kepada daerah-daerah lain, terutama
kepada masyarakat Yogja.
Dari beberapa pernyataan diatas, kesimpulan yang dapat kita
tarik bersama adalah bahwasannya sebelum menjadi seorang
pemimpin harus memiliki modal dahulu. Modal yang dimaksud
adalah pengetahuan yang dimiliki mengenai bagaimana cara
memimpin di dalam suatu kelompok yang dipimpinnya. Seorang
pemimpin harus bisa menciptakan dan mempertahankan
51. 49
keselarasan yang tercipta di dalam kelompoknya agar para
anggotanya dapat melakukan pekerjaannya dengan optimal. Selain
itu juga, simpatisan dari anggota lainnya juga menjadi faktor
penting dalam mencapai keberhasilan dalam menjadi seorang
pemimpin. Dilihat dari apa yang telah dilakukan oleh Mas Bion
ketika beliau masih menjadi anggota dan menjadi ketua
departemen kesenian, ia telah menunjukan kontribusinya di IKPMJ
sehingga memiliki track record yang baik di IKPMJ. Tentunya hal
ini menjadi langkah awal yang baik untuk menjadi ketua dalam
suatu organisasi masyarakat dan ketika ia menjadi ketua di IKPMJ,
ia dianggap sebagai panutan sehingga anggotanya dapat menuruti
semua perintah dan arahan dari Mas Bion. Seperti apa yang
disampaikan oleh Solikin.dkk (2017) bahwasannya seorang
pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu
tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan
mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya.
Jadi setinggi apapun prestasi yang didapat oleh pemimpin itu akan
sia-sia jika ia tidak mampu merangkul dan menumbuhkan rasa
kepercayaan kepada anggotanya. Hal tersebut diimplementasikan
oleh Mas Bion dan menjadikan momen itu sebagai suatu
kesempatan untuk menjadi ketua IKPMJ periode 2018/2019 dan
akhirnya terwujud karena kepercayaan dari anggota-anggota
IKPMJ lainnya. Selain itu juga, kondisi sine qua non juga terjadi pada
gaya kepemimpinan Mas Bion sehingga menciptakan suatu kondisi
yang harmonis dan dapat membawa prestasi bagi IKPMJ sendiri.
Daftar Pustaka
Faturahman, Burhanudin Mukhamad. (2018). Kepemimpinan
dalam Budaya Organisasi. Madani : Jurnal Politik dan Sosial
Kemasyarakatan. Vol 10 No 1. http://e-
jurnal.unisda.ac.id/index.php/MADANI/article/view/186.
Diakses pada 17 November 2019.
52. 50
Solikin, Asep., H.M Fatchurahman, dan Supardi. (2017). Pemimpin
yang Melayani dalam Membangun Bangsa yang Mandiri.
Anterior Jurnal. Vol 6 No 2.
https://media.neliti.com/media/publications/258565-
pemimpin-yang-melayani-dalam-membangun-b-e1d3abc2.pdf.
Diakses pada 19 November 2019.
Jatmiko. (2013). Pemimpin dan Kepemimpinan Organisasi. Forum
Ilmiah. Vol 10 No 2.
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-3514-
Jatmiko.pdf. Diakses pada 20 November 2019.
Yulianti, Reny., Dedi Dwi Putra, dan Pulus Diki Takanjanji. (2018).
Women Leadership: Telaah Kapasitas Perempuan Sebagai
Pemimpin. Madani : Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan. Vol
10 No 2. https://media.neliti.com/media/publications/259901-
women-leadership-telaah-kapasitas-peremp-80a95acb.pdf.
Diakses pada 20 November 2019.
53. 51
SEKOLAH SEBAGAI PEMBENTUK PEMIMPIN MASA DEPAN
YANG MELAYANI : STUDI KASUS DI SMA KOLESE DE
BRITTO
Oleh : Patrisius Favian D M
Pengantar
Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sangat penting,
karena kepemimpinan dapat menentukan maju atau mundurnya
suatu organisasi. Keahlian seorang pemimpin tidak dapat
dilepaskan dari cara atau gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh
pemimpin tersebut karena gaya kepemimpinannya akan
menentukan keberhasilannya sebagai pemimpin. Setiap pemimpin
yang ingin berhasil, sebaiknya mempelajari gaya kepemimpinan
yang paling tepat untuk dijalankan pada organisasinya.
Kepemimpinan yang melayani adalah kemampuan yang muncul
dalam diri seseorang yang sedang atau ingin memimpin dengan
memprioritaskan kepentingan organisasi dan pengikutnya serta
mampu berkontribusi di masyarakat luas sehingga membawa
dampak yang positif bagi organisasi dan masyarakat yang ada di
lingkungan tersebut. Kepemimpinan yang melayani terbentuk oleh
suatu keadaan yang ada di sekitarnya. Kepemimpinan yang
melayani (servant leadership) berfungsi untuk mengurangi kompetisi
dalam organisasi, meningkatkan egalitarianisme, serta
menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Kepemimpinan
Melayani (servant leadership) juga merupakan kepemimpinan yang
lebih mengutamakan pelayanan (service) kepada orang-orang yang
dipimpinnya, bukan lebih mengutamakan kepentingan pribadi
pemimpinannya (Spears, 1995, 1996). Tugas pemimpin adalah
melayani kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.
54. 52
Konsep kepemimpinan melayani mulanya dicetuskan oleh
Greenleaf (Greenleaf,1997). Kemudian banyak penulis, yaitu para
ahli kepemimpinan dan para praktisi (yaitu CEO, konsultan
manajemen dll) yang mendukung konsep tersebut. Selain
pengembangan konsep kepemimpinan yang melayani pada tingkat
individual, seorang ahli kepemimpinan bernama James Alan Laub,
telah mengembangkan konsep kepemimpinan melayani pada
tingkat organisasi. Ia telah membuat konsep teoretikal dan
penelitian lapangan, yang akhirnya menghasilkan alat untuk
mengukur karakteristik kepemimpinan melayani pada tingkat
organisasi yang disebut dengan Organizational Leadership Assesment
(OLA) atau Servant Organizational Leadership Assesment (SOLA)
(Laub,1999).
Sekolah Kolese di Indonesia
Di zaman yang serba praktis ini, pendidikan menjadi hal
utama yang harus dikejar oleh seluruh manusia dalam menunjang
hidupnya. Pendidikan pun telah berkembang dan menghasilkan
banyak macamnya untuk ditekuni. Unsur utama yang merupakan
saluran dalam pendidikan adalah sekolah. Saat ini masyarakat
berlomba-lomba untuk bersekolah setinggi-tingginya mengingat
pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Lembaga pendidikan pun
juga ikut meningkatkan kualitas pendidikannya agar mendapatkan
predikat integritas yang tinggi. Masyarakat pun berusaha
memasukkan generasi-generasi muda bangsa ke dalam lembaga
pendidikan yang terbaik. Salah satu sekolah yang diminati adalah
Kolese. Mungkin sebagian orang telah mengenal apa itu Kolese.
Namun masih banyak juga yang belum mengerti dan mengetahui
keberadaan Kolese khususnya di Indonesia. Kolese adalah sekolah
yang berdiri dalam naungan Serikat Yesus yang dibangun oleh St.
Ignasius Loyola dan dikelola oleh para Jesuit. Keberadaan Kolese di
Indonesia pun sudah tersebar hingga saat ini terdapat tujuh Kolese
55. 53
yang berada di Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Meskipun
Kolese merupakan sekolah yang berada dalam naungan ordo
Katolik, namun Kolese berbeda dengan sekolah-sekolah Katolik
biasanya.
Terdapat tujuh Kolese di Indonesia, yaitu Kolese Kanisius,
Kolese Gonzaga, Kolese Loyola, Kolese de Britto, Kolese Mikael,
Kolese Pika, dan juga Kolese Le Cocq. Kolese-kolese tersebut
tersebar di seluruh Indonesia. Hal yang membedakan Kolese
dengan sekolah lain adalah cara belajar yang dimiliki setiap
Kolesenya. Setiap sekolah Kolese menanamkan semangat-semangat
Ignasian yang dijadikan sebagai dasar pembelajarannya. Salah satu
semangat yang paling terkenal adalah “Non Scholae Sed Vitae
Discimus” yang artinya sekolah tidak hanya untuk mengejar nilai
namun juga untuk belajar hidup. Semangat ini merupakan
semangat dasar yang membangun karakteristik Kolese di dunia.
Setiap Kolese mengajarkan anak didiknya untuk sekolah tidak
hanya mengejar nilai-nilai akademis dan prestasi, namun juga
dengan belajar nilai-nilai kehidupan sebagai dasar dalam
pembentukan karakter kedepannya. Penanaman nilai-nilai ini
sudah dibiasakan sejak masa orientasi siswa. Keunikan lain dari
Kolese adalah masa orientasi siswa (MOS) atau di SMA Kolese de
Britto disebut dengan masa Inisiasi. Setiap Kolese memiliki
sistemnya sendiri-sendiri dalam mengorientasi siswa. Namun, pada
dasarnya hampir semua Kolese memiliki makna yang sama dalam
MOSnya. Masa orientasi tersebut tidak digunakan sebagai masa
untuk menindas junior ataupun wadah pembalasan dendam.
Hampir di seluruh Kolese di Indonesia, MOS selalu dibuat sangat
berkesan dan bahkan menjadi turning point bagi seluruh siswanya.
Di sinilah kekeluargaan dibentuk dan karakter-karakter baik
bermunculan. Meskipun terlihat berat, namun masa orientasi yang
dialami sangat berkesan dan membentuk karakter penerus bangsa
yang berkualitas.
56. 54
Pendidikan Bebas di SMA Kolese de Britto Sebagai Sikap Dasar
SMA Kolese de Britto memberanikan diri memakai istilah
pendidikan bebas, yang dimaksud pendidikan bebas bukanlah
suatu pendidikan ke arah anarki, namun suatu sistem yang bebas
dari peraturan yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Bukan
pula suatu sistem yang merestui segala penyelewengan dari nilai-
nilai yang dicita-citakan, melainkan suatu sikap dalam mencari
pengarahan tindak-tanduk, berlandas pada pengakuan bahwa
karunia manusia yang paling asasi dan luhur adalah kebebasan
yang harus diprioritaskan dalam pembentukan kepribadian. Dalam
hal ini para pendidik justru berperan dalam membantu mencarikan
pengarahan kepada anak didik supaya dapat memilih jalan hidup
serta perbuatan sendiri, tanpa sebelumnya atau sesudahnya
menutup rapat-rapat kemungkinan pemilihan lain. Kemampuan
dan kesanggupan untuk menentukan pilihan pribadi bagi tindak-
tanduknya dan jalan hidupnya sendiri dengan tanggungjawab
pribadi, tidak lain dan tidak bukan adalah kebebasannya.
Pengarahan pemilikan itu tetap mengandaikan anak didik aktif dan
sadar akan kemampuannya, bebas untuk berpikir dan menilik yang
baik atau yang tidak baik, yang ini atau yang itu, (mungkin) sama
baiknya, bahkan yang sama buruknya. Keagungan manusia justru
terletak pada kemungkinan untuk memilih yang kurang baik,
bahkan yang jahat sekalipun, tetapi akhirnya (mungkin dengan
banyak pengorbanan), masih berani dengan bebas memilih yang
baik. Memang ada risikonya (penyelewengan), tetapi risiko
mengandung kemungkinan positif “pemanusiaan” yang
mahadasyat. Pemilihan itu tidak ditentukan oleh penilaian baik
atau buruk menurut pandangan sewenang-wenang (pemilih bebas)
itu sendiri.
Memilih secara manusia tidak berarti bahwa dia hidup sendiri
tidak perlu peduli orang lain, atau sebaliknya dia bahkan hanyut
57. 55
tenggelam dalam dunia dimana perikemanusian sudah kabur.
Secara manusiawi, manusia harus dapat memberikan
pertanggungjawaban pada dirinya sendiri dan pada manusia lain
tentang apa yang dilakukannya. Jadi, sama sekali tidak berarti
bahwa dia “bebas” untuk memberikan atau tidak memberikan
pertanggungjawaban apa-apa. Sudah barang tentu tanggungjawab
itu untuk setiap orang tidak sama. Ini jelas bahwa manusia yang
tidak memiliki kebebasan tidak mungkin dapat dimintai
pertanggungjawaban. Hal ini jelas kebebasan tidak berkembang
secara untung-untungan sebagaimana juga tidak dengan sifat-sifat
yang lain, misalnya kejujuran, ketekuanan, dll. Semuanya perlu
dilatih, kebebasan juga mengalami perkembangan oleh karena itu
perlu adanya kesempatan untuk berkembang. Sebagaimana cinta
mengenal seni untuk membangkitkan tanggapan cinta, begitu pula
“kebebasan yang dihayati” akan mampu menumbuhkan
penghayatan kebebasan pada mereka yang ingin merdeka. Bebas,
merdeka tidak sebagai sesuatu yang berdiri lepas dari tindak-
tanduk kehidupan sehari-hari, tetapi sebagai suatu tanda
perikemanusian segenap tingkah laku serta perbuatan kita sehari-
hari. Ini merupakan proses yang tidak terjadi secara untung-
untungan (kemerdekaan harus diperjuangkan). Kebebasan untuk
dipertanggungjawabkan, karena manusia pada hakikatnya bebas,
yaitu dikaruniai kesanggupan atau kemampuan untuk memilih
melaksanakan sesuatu yang baik atau memilih untuk tidak
melaksanakannya. Tidak hanya “bebas dari” tetapi “bebas untuk”.
Misalnya, bebas dari paksaan peraturan yang tidak adil, bebas
untuk menaati peraturan serta bebas untuk memilih.
Leader of Service di SMA Kolese de Britto
Orientasi pendidikan di SMA Kolese de Britto tidak hanya
menekankan kepada pendidikan akademis saja melainkan juga
pendidikan karakter yang dikemas menjadi empat poin penting,
58. 56
yakni competence (kepandaian), conscience (hati nurani), compassion
(kepedulian), dan Leadership (kepemimpinan). Artinya output
dari pendidikan di SMA Kolese de Britto adalah nantinya para
peserta didik mampu menjadi pemimpin-pemimpin masa depan
yang siap melayani. Sebagai seorang pemimpin, tentunya harus
memiliki kecerdasan karena seorang pemimpin yang cerdaslah
yang mampu memberikan pengaruh luas di masyarakat. Oleh
karena itu setiap siswa SMA Kolese de Britto harus
mengembangkan akal budi dan dimensi intelektualnya seoptimal
mungkin. Sisi competence mendapat tekanan lebih dominan di
dalam ranah olah budi ini. Selain mengolah budi, tentunya seorang
pemimpin juga harus memiliki raga yang baik sehingga mengolah
raga juga perlu. Sisi compassion mendapat tekanan dalam mengolah
raga ini. Hal ini mengingat bahwa kepedulian tidak cukup dengan
hati saja tetapi juga perlu menggunakan seluruh diri fisik tubuhnya.
Hal utama lainnya yang perlu dikembangkan adalah mengolah rasa
karena hanya pemimpin yang berhati peka yang mampu menjadi
seorang pemimpin yang peduli. Tidak ada gunanya jika cerdas,
sehat, dan bugar akan tetapi tidak mempunyai hati yang peka
untuk peduli pada orang lain dan tidak mempunyai relasi yang
dekat dengan Tuhannya.
Dinamika di SMA Kolese de Britto dalam Membentuk Karakter
Sebagai Seorang Pemimpin yang Melayani
Masa Inisiasi atau MOS merupakan awal dari pembentukan
karakter tersebut. Pada saat itu para siswa dibentuk mentalnya
untuk memiliki semangat bela rasa dan bukan ajang balas dendam
antara senior dengan junior. Saat masa Inisiasi dikenal dengan dua
tahap yakni Inisiasi Pagi dan juga Inisiasi Siang. Dimana Inisiasi
pagi merupakan pengenalan terhadap lingkungan yang ada di
Kolese tersebut dan Inisiasi siang merupakan tahapan untuk
pembentukan karakter para siswa baru. Inisiasi siang dikenal
59. 57
dengan beberapa kepanitiaan salah satu aktor utamanya adalah sie
disiplin, tutor, dan refleksi. Kepanitian tersebut diisi oleh teman-
teman kelas 11 dan 12 yang sebelumnya diseleksi dan harus
memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota kepantiaan tersebut
yang dimana para koordinatornya ditempati oleh para pendidik
atau guru. Sie Tutor berperan sebagai kakak-kakak yang nantinya
membantu membimbing siswa baru dalam menjalani proses inisiasi
selama seminggu. Dalam kata lain sie tutor berperan dalam
memberikan dukungan dan juga pendampingan kepada siswa-
siswa baru dalam berdinamika di Inisiasi. Sedangkan Sie disiplin
berperan sebagai aktor yang akan memarahi siswa-siswa baru jika
mereka tidak menjalakan tugas-tugas dengan baik atau melakukan
tindakan indisipliner. Sehingga peran dari sie disiplin memberikan
suasan menjadi tegang dan membentuk semangat “man for and with
others” bagi para siswa baru. Ketika salah seorang anggota dari
kelompok tersebut ada yang melakukan tindakan indispliner tentu
yang terkena imbasnya bukan hanya si pelakunya saja atau ketua
kelomponya saja namun seluruh anggota kelompok tersebut yang
harus bertanggungjawab. Bahkan peran dari ketua kelompok
tersebut juga akan diuji. Dan yang terakhir adalah peran dari sie
disiplin dalam membantu siswa-siswa baru tersebut dalam
mengolah rasa atau hati nurani mereka dalam bentuk examen atau
refleksi.
Inisiasi memang menjadi awal dari perjalanan pembentukan
karakter para siswa SMA de Britto . Latihan Dasar Kepemimpinan
(LDK) dan Live in Sosial menjadi contoh berikutnya dalam
pembentukan karakter para siswa de Britto. Latihan Dasar
Kepemimpinan diberikan kepada siswa-siswa kelas 10 untuk
menanamkan butir-butir nilai kepemimpinan kedalam diri siswa
sejak dini. Jadi dalam waktu seminggu para siswa kelas 10
diberikan kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan dari
sekolah sampai dengan tempat tujuan. Misalnya yang terjadi di
60. 58
tahun 2014 yang lalu kami diberikan kesempatan untuk melakukan
suatu perjalan tanpa dibekali uang sepeser pun untuk melakukan
suatu perjalanan kelompok dari sekolah menuju ke kamp militer
yang ada di Gunung Kidul. Kekompakan dan rasa saling
mendukung tentu menjadi kunci utama demi tercapainya tujuan
bersama tersebut. Serta peran kepemimpinan tersebut juga tidak
hanya dibebankan kepada ketua kelompok namun atas dasar
kesadaran dari seluruh anggota kelompok tersebut. Sedangkan
Live-in sosial merupakan suatu kegiatan dalam bentuk tinggal dan
hidup bersama dalam masyarakat marjinal untuk beberapa hari
agar siswa dapat mengalami dan belajar memahami situasi
masyarakat. Live-in sosial sendiri memiliki tujuan untuk
memberikan sarana kepada siswa untuk mewujudkan nilai “man for
and with others” dengan hidup bersama di dalam masyarakat yang
tidak beruntung. Serta memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar peduli kepada orang lain dalam wujud karya,
perhatian, dan keterlibatannya dalam aktivitas keseharian
komunitas tempat siswa tinggal. Hal itu juga dipertegas oleh salah
seorang alumni de Britto angkatan 2017 yang ketika masih menjadi
siswa mendapat kesempatan untuk live-in sosial di wilayah
Cilincing, Jakarta Utara. Saat itu ia berada di wilayah komunitas
para pemulung sehingga ia juga ikut merasakan dinamika
kehidupan menjadi seorang pemulung dimana ia juga ikut tinggal
bersama keluarga dari induk semang yang berprofesi sebagai
pemulung tersebut. Sepulang dari live-in sosial ia merasa menjadi
lebih bersyukur terhadap kehidupan yang ia jalani dan sikap
kepeduliannya terhadap sesama menjadi lebih tumbuh atas
pengalaman berharga itu. Selain LDK dan live-in sosial tentu masih
banyak lagi dinamika-dinamika pendidikan yang lain dalam
membentuk karakter para siswa di SMA Kolese de Britto untuk
memiliki jiwa kepemimpinan yang melayani, misalnya LKTL,
Kepanitian, Presidium, Liga JB, Paguyuban Alumni dsb.
61. 59
Kesimpulan
Sekolah merupakan tempat dan sarana belajar bagi para
siswanya tak terkecuali dalam pendidikan karakter. Terlebih lagi
sekolah-sekolah Kolese memiliki keunikan dalam mendidik para
perserta didiknya. Hal ini salah satunya dapat digambarkan melalui
dinamika pendidikan karakter yang dilakukan SMA Kolese de
Britto melalui penerapan pendidikan bebas bertanggung jawab
yang diaplikasikan melalui 3C dan 1L (Competence, Conscience,
Compassion, dan Leadership). Penerapan 3C dan 1L dalam
pendidikan karakter bertujuan untuk menciptakan pemimpin masa
depan yang memiliki jiwa melayani.
Daftar Pustaka
Maria M. 2012. Model Kepemimpinan Melayani (Servant Leadership)
pada Perguruan Tinggi Katolik di Indonesia. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Program Pascasarjana. Universitas Katolik
Parahyangan: Bandung.
SMA Kolese de Britto. 2016. Student Handbook. Yogyakarta :
Kanisius.
62. 60
PEMIMPIN, PENGETAHUAN, DAN GAYA KEPEMIMPINAN
KOMUNITAS KEBUDAYAAN JEPANG: STUDI KASUS
KOMUNITAS GAMABUNTA
Oleh: Bagus Tri Prakoso
Pengantar
Perkembangan kehidupan manusia dalam era globalisasi ini
menyebabkan setiap jenis kebudayaan yang berasal dari luar dapat
dengan mudah diterima dan bebas masuk ke dalam kehidupan
masyarakat. Akan tetapi, setiap budaya luar yang masuk harus
disaring terlebih dahulu karena tidak semua kebudayaan dari luar
merupakan kebudayaan yang sesuai dengan nilai dan norma
masyarakat Indonesia. Di era globalisasi saat ini, dalam beberapa
tahun terakhir kebudayaan Jepang terutama budaya pop
merupakan salah satu kebudayaan primadona yang digemari oleh
remaja termasuk di dalamnya adalah mahasiswa. Menjamurnya
kegemaran remaja terhadap kebudayaan pop Jepang ini
menjadikan para remaja ingin menyatukan kesamaan minat
maupun aspirasi mereka dengan membentuk sebuah kelompok
sosial yang pada perkembangan berikutnya disebut sebagai
komunitas.
Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok sosial yang
terdiri dari beberapa anggota dan masing-masing anggota memiliki
kesamaan baik dari kesamaan motif, hobi, tujuan, maupun kondisi
lain yang serupa sehingga mereka cenderung akan merasa nyaman
dengan kelompoknya karena kesamaan tersebut. Kemunculan
komunitas pecinta kebudayaan Jepang merupakan salah satu
bentuk media dalam mengekspresikan diri dan eksplorasi terhadap
63. 61
minat dan bakat mereka yang selama ini tidak ditunjukkan kepada
banyak orang akibat dari rasa percaya diri yang kurang.
Masuknya kebudayaan Jepang di Indonesia menyebabkan
semakin banyak komunitas pecinta kebudayaan Jepang
berkembang di kota-kota besar, termasuk Kota Yogyakarta. Pada
Kota Yogyakarta terdapat beberapa komunitas pecinta kebudayaan
Jepang, salah satunya adalah Gamabunta. Gamabunta merupakan
komunitas pecinta kebudayaan Jepang yang terdapat di Universitas
Gadjah Mada (UGM) yang anggotanya merupakan mahasiswa
UGM dari berbagai jurusan dan juga berasal dari berbagai
universitas lain di Yogyakarta. Tercatat pada tahun 2019
keanggotaan komunitas ini berjumlah 140 anggota yang berasal
dari berbagai universitas yang ada di Yogyakarta.
Sifat keanggotaan komunitas Gamabunta yang terbuka untuk
umum tidak terlepas dari tujuan Gamabunta untuk merangkul
semua mahasiswa dari berbagai universitas yang memiliki minat
dan keinginan untuk memperdalam mengenai kebudayaan Jepang
dan memperkenalkan kebudayaan Jepang kepada masyarakat luas.
Karenanya, Gamabunta selaku komunitas dalam mencapai tujuan
bersama membutuhkan peran dari seorang pemimpin dalam
menentukan arah perubahan. Menurut Henry Kissinger seorang
pemimpin mempunyai tugas menggerakkan orang-orangnya dari
tempat mereka sekarang ke tempat yang belum pernah mereka
kunjungi dengan cara mempengaruhi anggotanya (dalam Alfian,
2009). Selanjutnya, bagaimana seorang pemimpin mencapai
perubahan dengan mempengaruhi anggotanya, dalam konteks ini
disebut dengan gaya kepemimpinan. Karenanya, untuk dapat
mengetahui pola gaya kepemimpinan terlebih dahulu diketahui
profil pemimpin komunitas ini.