1. Tugas Marka III: Opini
Vickynisasai: Fenomena Bahasa yang Kerap Diulang
Bahasa sepertinya sedang mendapat sorotan saat ini, tepatnya pasca mencuatnya
kasus Vicky dan Zaskia Gotik beserta wawancaranya yang begitu super dengan kata-kata
ajaib dan tata bahasa gado-gado. Kata-kata dan frasa-frasa itu seperti ‘kontroversi hati’, ‘labil
ekonomi’, hingga ‘konspirasi kemakmuran’, dan sebagainya. Kelakuannya itulah yang
membuat Vicky sukses menjadi bahan candaan dan olok-olokan di dunia maya.
Mungkin bagi orang awam yang mendengar ucapan Vicky akan beranggapan bahwa
ia adalah orang yang hebat dan intelek karena berbicara menggunakan bahasa yang kelihatan
‘tinggi’. Namun sebenarnya kata-kata dan frasa-frasa hasil ciptaan Vicky tak pernah ada
dalam daftar kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia, alias hanya bualan belaka. Bisa jadi ia
lakukan hal itu hanyalah semata-mata untuk menaikkan pamornya saja, tanpa memikirkan
akibat yang akan diterima.
Sebenarnya apa yang dilakukan Vicky bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia.
Fenomena itu pada kenyataannya kerap kali terjadi berulang-ulang. Hanya saja kita tidak
menyadari karena sudah terlalu terbiasa. Dari rakyat biasa, hingga publik figur, bahkan tak
segan-segan para pejabat yang notabene berpendidikan tinggi pun tak jarang melakukannya:
berbahasa sok intelek tetapi tidak tahu apakah yang diucapkan itu tepat atau tidak dalam arti
dan penggunaanya.
Memang benar bahwa bahasa bersifat dinamis, tetapi dalam penggunaannya masih
harus berpegang pada aturannya yang telah disempurnakan. Dalam hal ini, EyD-lah yang
menjadi patokan. Kita tidak boleh seenaknya mengubah pola penggunaan atau pola rumusan
penulisan dan pengucapan suatu bahasa. Apalagi sampai menciptakan kata-kata ataupun
frasa-frasa baru yang tak pernah dikenal sebelumnya.
Fenomena Vickynisasi ini adakalanya tidak hanya dijadikan sebagai olok-olok dan
lelucon belaka. Introspeksi diri lah yang lebih penting dilakukan mengingta fenomena seperti
ini sudah kerap kali dilakukan. Tepat di bulan Oktober yang dikenal sebagai bulan bahasa ini,
semoga tak hanya para pengamat bahasa saja yang wajib meluruskan kesalahan yang telah
lama terjadi, tetapi seluruh lapisan masyarakat juga wajib turut serta membenahi kecacatan
pengucapan dan penggunaan bahasa dengan lebih hati-hati dan tepat dalam berbahasa.