SlideShare a Scribd company logo
1 of 96
Download to read offline
1
1. Pendahuluan
1. 1 Latar belakang
Kepulauan Raja Ampat terletak di Provinsi Papua Barat dengan posisi geografis pada 20
25’ Lintang
Utara – 40
25’ Lintang Selatan dan 1300
– 1320
55’ Bujur Timur (Gambar 1). Kepulauan ini membentang
seluas 4.600.000 ha yang meliputi wilayah darat dan laut. Lokasinya berada di pintu masuk Arus Lintas
Indonesia bagian timur laut yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, menjadi
faktor penting bagi kehati Raja Ampat.
Kepulauan Raja Ampat juga merupakan wilayah yang penting di kawasan Segitiga Karang Dunia, sebuah
kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati (kehati) karang tertinggi di dunia, membentang di enam
negara termasuk Indonesia. Hasil pendugaan ekologi secara cepat (Rapid Ecological Assessment – REA)
yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) dan The Nature Conservancy (TNC)
secara berturut-turut pada tahun 2001 dan 2002 menunjukkan kehati laut yang tinggi di Kepulauan Raja
Ampat. Wilayah ini menjadi rumah bagi lebih dari 75% jenis karang dunia.
Sebanyak 553 jenis karang terdapat di wilayah ekoregion Raja Ampat (Veron dkk, 2009). Angka tersebut
menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kehati karang tertinggi di dunia. Terdapat dua jenis terumbu
karang endemik di Raja Ampat dari keluarga Acroporidae yaitu Montipora delacatula dan Montipora
verruculosus (DeVantier dkk., 2009). Selain itu, setidaknya 41 jenis dari 90 genus karang lunak
Alcyonacean dari 14 Famili ada di wilayah ini (Donnelly dkk., 2002). Wilayah ini juga mendukung
keberadaan 699 jenis moluska dan menjadi rumah bagi 5 jenis penyu (McKenna dkk., 2002).
Raja Ampat memiliki kehati jenis ikan karang terkaya di dunia. Sebanyak 1.476 jenis ikan karang ada di
Raja Ampat termasuk jenis-jenis baru dan hanya ditemukan di wilayah ini (Erdmann dan Allen, 2009).
Dengan tingkat keragaman hayati yang begitu tinggi, para ilmuwan menyebut Kepulauan Raja Ampat
sebagai jantung Segitiga Karang Dunia.
Kepulauan Raja Ampat menjadi rumah bagi 15 jenis mamalia laut yang terdiri dari 14 jenis setasea (paus
dan lumba-lumba) dan 1 jenis duyung (Dugong dugon) (Kahn, 2007). Paus sperma (Physeter
2
macrocephalus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah dua dari jenis-jenis setasea
yang sering ditemukan di perairan Raja Ampat.
Beragam ekosistem darat dan laut terdapat di Kepulauan Raja Ampat termasuk hutan hujan tropis dan
savana hingga ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang di wilayah pesisirnya. Karakter
kepulauan sangat menononjol dengan adanya atol, pulau-pulau batu kapur (karst), pulau karang, gosong
karang (patch reefs), dan gunung laut (seamount).
Penelitian yang baru saja dilakukan memberikan informasi bahwa terdapat sebanyak 56 danau air asin di
Raja Ampat, yang terbentuk di antara ekosistem batuan kapur karst di Misool dan Wayag (Becking,
2011). Biota yang tinggal di danau air asin menunjukkan endemisme tinggi karena keterpisahannya dari
ekosistem asli di laut.
Informasi tentang keragaman hayati tumbuhan di Kepulauan Raja Ampat relatif sulit diketahui, tetapi
sebagian besarnya sama dengan tumbuhan di Papua Nugini yang telah yang bersifat endemik dan
memiliki kemiripan dengan tumbuh-tumbuhan di Maluku (Webb, 2004). Karena sebagian besar daerah
di Raja Ampat memiliki ketinggian kurang dari 1.000 meter maka di kepulauan ini tipe tumbuhan
menunjukkan karakter hutan dataran rendah. Satu-satunya tumbuhan endemik Raja Ampat yang
teridentifikasi adalah Rhododendron cornu-bovis.
Sebagai wilayah kepulauan, Raja Ampat memiliki total pulau besar dan kecil sebanyak 610 pulau dengan
garis pantai sepanjang 4.860 km. Sebanyak 34 pulau didiami oleh penduduk. Terdapat empat pulau
besar di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau
Misool.
Wilayah yang kaya keragaman hayati ini pun tidak luput dari berbagai ancaman yang bersumber dari
kegiatan manusia. Meskipun secara keseluruhan kondisi karang di Raja Ampat relatif baik, tetapi tanda-
tanda penggunaan bom dan racun ikan bahkan kondisi tangkap lebih terjadi di sini. Dalam rangka
mengupayakan pengelolaan yang lestari dalam jangka panjang, diperlukan informasi yang utuh dan
perencanaan tata ruang yang tepat yang memperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan potensi
perikanan berkelanjutan dengan memperhatikan kearifan lokal, pendapat, dan kepentingan masyarakat
Raja Ampat.
3
Gambar 1 Peta Kepulauan Raja Ampat dan Posisinya di kawasan Segitiga Karang
Secara administratif Kepulauan Raja Ampat termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat. Sebagai
upaya pengelolaan sumberdaya hayati laut dan ekosistemnya secara berkelanjutan, Pemerintah Kabupaten
Raja Ampat pada tahun 2008 mengeluarkan Peraturan Daerah No. 27 tentang Kawasan Konservasi
Perairan Daerah Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Kepulauan Ayau-Asia, Selat Dampier, Teluk
Mayalibit, Kawe, Kofiau dan Misool.
Pada tahun 2009 terjadi penyerahan pengelolaan beberapa Suaka Margasatwa Laut (SML) dan Suaka
Alam Laut (SAL) dari Departemen Kehutanan Republik Indoensia kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Satu di antaranya adalah penyerahan SML Kepulauan Raja Ampat dan
SML Kepulauan Panjang yang dikenal dengan TPPKD Sayang-Wayag. Berdasarkan Berita Acara Serah-
Terima No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan BA.108/MEN.KP/II/2009 maka kedua SML tersebut berubah
4
penamaannya menjadi Suaka Alam Perairan dengan status pengelolaan sebagai Konservasi Perairan
Nasional (KKPN).
Ketujuh kawasan konservasi perairan tersebut menjalankan fungsi biofisik yang saling mendukung bagi
keberlanjutan kehati dan membentuk sebuah jejaring kawasan perlindungan laut di wilayah Bentang Laut
Kepala Burung Papua (BLKBP). Diperlukan upaya pengelolaan secara terpadu di seluruh kawasan
tersebut untuk memastikan jejaring kawasan konservasi ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya.
Mengacu pada Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2008 dan berdasarkan Undang Undang No 27 Tahun
2007, kawasan konservasi Kabupaten Raja Ampat dikategorikan kedalam Kawasan Konservasi Pesisir
dan Pulau-pulua Kecil (KKP3K) karena terdapatnya sejumlah pulau-pulau kecil didalam kawasan
konservasi ini. Adapun jenisnya sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat yang
terdiri dari 5 wilayah kawasan konservasi yaitu Wilayah I Kepulauan Ayau-Asia, Wilayah II Selat
Dampier, Wilayah III Teluk Mayalibit, Wilayah IV Misool dan Wilayah V Kofiau. Rencana Pengelolaan
ini disusun sebagai arahan dalam pengelolaan ke enam wilayah kawasan konservasi dalam TPPKD Raja
Ampat.
Pembuatan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat mengacu pada peraturan dan arah pembangunan
nasional dan daerah yaitu
1. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan,
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan,
4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan Konservasi Perairan,
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan
Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.
5
1.2 Tujuan dan Sasaran
Penyusunan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat bertujuan untuk merancang pedoman pelaksanaan
pengelolaan yang menyeluruh dan terpadu bagi pengelolaan yang adaptif dan kolaboratif bagi seluruh
TPPKD di wilayah Kabupaten Raja Ampat dengan memperhatikan kelestarian kehati, perikanan yang
berkelanjutan, pariwisata bahari, pendidikan dan pelatihan, serta pemberdayaan dan kesejahteraan
masyarakat.
Sasaran utama Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah sebagai berikut:
1. Memastikan legitimasi penetapan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.
2. Meningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan Taman Pulau-Pulau
Kecil Daerah Raja Ampat.
3. Meningkatkan fungsi pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja dengan upaya
perancangan sistem zonasi.
4. Meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat
pada tingkat kabupaten, distrik dan kampung atau di tingkat lapangan.
5. Membangun kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN
Waigeo Barat dalam konteks jejaring KKP Raja Ampat.
6
2. Potensi dan Permasalahan
2. 1 Potensi Umum
Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati laut yang melimpah.
Gugusan pulau-pulau kecil ini terletak di ‘jantung’ wilayah Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle) yang
merupakan pusat keanekaragaman hayati karang di dunia dengan beragam biota yang berasosiasi
dengannya, seperti ikan dan avertebrata.
Sejumlah 553 jenis karang ditemukan di Kepulauan Raja Ampat (Veron dkk., 2009), angka ini
menunjukkan bahwa keragaman jenis karang di Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia. Keragaman
jenis Moluska (hewan lunak) termasuk tinggi dengan 699 jenis teridentifikasi (Wells dalam Mc. Kenna
dkk, 2002). Tercatat 530 jenis siput-siputan (gastropoda), 159 jenis kerang-kerangan (bivalva), 2 jenis
scaphoppoda, 5 jenis cumi-cumi (cephalopoda), dan 3 jenis chiton. Jenis-jenis hewan tersebut adalah
yang umum ditemukan di daerah karang terlindung.
Beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomis antara lain adalah kerang-kerangan, cumi-cumi (Loligo
sp.), sotong (Sepia sp.), gurita (Octopus sp.), teripang dan tiram mutiara (Pinctada sp). Kawasan ini juga
memiliki jenis kima raksasa (Tridacna gigas) yang berukuran hingga 1,5 m yang dapat ditemukan dengan
mudah. Jenis kima Tridacna crocea dan jenis siput Strombus luhuanus melimpah di beberapa lokasi
(Wells dalam Mc. Kenna dkk, 2002). Keberadaan kerang ini menjadi indikator bahwa kondisi terumbu
karang di wilayah Kepulauan Raja Ampat masih tergolong sehat (McKenna dkk., 2002).
Selain itu, Kepulauan Raja Ampat kaya akan jenis-jenis ikan. Hasil penelitian terbaru menunjukkan total
1427 jenis ikan karang ada di sini (Jones et al., 2011). Beberapa jenis ikan adalah jenis unik dan endemik
untuk wilayah ekologi Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Waigeo merupakan tempat penting
bagi hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus), bengkolo sirip biru - Bluefin Trevally (Caranx
melampygus), Bubara mata besar – bigeye trevally (Caranx sexfasciatus), ikan bidadari – semicircular
angelfish (Pomacanthus semicirculatus), dan ikan sersan mayor – sergeant major (Abudefduf vaigiensis).
Jenis-jenis ikan endemik diantaranya adalah (Moringua abbreviate), (Hemiscyllium freycineti), (Apogon
leptofasciatus), dan (Callionymus brevianalis).
7
Secara umum jenis lamun yang terdapat di Papua adalah Enhalus acroides, Halodule sp., Halophila sp.,
Thalassia hemprichii, Cymodocea sp. (Hutomo dalam Dahuri dkk, 2001). Ekosistem padang lamun
terdapat di bagian timur, selatan dan barat Pulau Kofiau, sekitar Pulau Ayau, bagian barat Pulau Batanta,
sekitar Pulau Gam dan di bagian barat Pulau Waigeo. Sementara rumput laut banyak terdapat di daerah
Distrik Misool, Samate dan Waigeo Utara. Komoditas ini telah dibudidayakan oleh masyarakat,
khususnya rumput laut jenis Euchema cottonii. Perairan Raja Ampat juga memiliki beragam jenis udang
dan kepiting (krustasea). Jenis udang bernilai ekonomi tinggi adalah udang barong (Panulirus sp.); jenis
ini banyak ditemukan di daerah terumbu karang. Selain itu komoditas lainnya adalah kepiting bakau
(Scylla serrata) dan rajungan (Portunnus sp.) yang sering ditemukan di dekat hutan bakau.
Wilayah gugus pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat juga memiliki kekayaan satwa penyu yang
merupakan jenis yang dilindungi, seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia
mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Satwa lainnya yang banyak ditemukan di wilayah
perairan Raja Ampat adalah mamalia laut (setasea) paus dan lumba-lumba.
2.1.1 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
Sektor perikanan merupakan salah satu andalan kegiatan perekonomian di Kabupaten Raja Ampat, baik
perikanan tangkap maupun budidaya. Sebelum Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten, sektor perikanan
menyumbang pendapatan sebesar tidak kurang Rp 1,5 milyar per tahun bagi Kabupaten Sorong (Atlas
Raja Ampat, 2006). Komoditas unggulan lain dari sektor perikanan budidaya di Kabupaten Raja Ampat
adalah rumput laut dan mutiara.
2.1.1.1 Demografi
Jumlah penduduk di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2.000 sebanyak 27.039 jiwa, sedangkan pada
tahun 2006 sebanyak 32.055 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 4 jiwa/km2
. Laju pertumbuhan
penduduk sampai dengan tahun 2006 adalah 18,6%, dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun adalah
3,9%. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk Papua pada tahun 2000
sebesar 3,2%. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Distrik Waigeo Selatan sebesar 8,7%
sedangkan terendah di Distrik Kepulauan Ayau sebesar 0,1% (Atlas Raja Ampat, 2006).
Jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Raja Ampat berdasarkan hasil Penilaian Paritisipatif Pedesaan
(Participatory Rural Appraisal – PRA) 2005 sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan yaitu
sebesar 52.6%. Secara keseluruhan penduduk usia anak-anak (0-14 tahun) merupakan komposisi usia
yang mendominasi sebesar 44%, dan jumlah ini hampir setengah dari total penduduk Kabupaten Raja
8
Ampat. Kondisi ini berdampak pada beban usia produktif (15 – 64 tahun) untuk menghidupi penduduk
usia anak-anak.
2.1.1.2 Pendidikan
Pendaftaran masuk sekolah di wilayah Provinsi Papua Barat berada di bawah rata-rata angka di tingkat
nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 berdampak pada tingkat pendaftaran siswa
masuk sekolah menurun sebanyak 5%. Setelah diterapkanya sistem otonomi daerah pada tahun 2001,
rata-rata tingkat pendaftaran sekolah di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah mengalami
peningkatan menjadi secara berurutan 78% dan 50%. Pada tahun 2001 tercatat bahwa sekitar 96% siswa
dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi (World Bank dan
Pemerintah Provinsi Papua dalam Mollet, 2007).
Sebagian besar (98%) penduduk di Kabupaten Raja Ampat mengenyam pendidikan sampai dasar; hampir
70% dari mereka meneruskan ke tingkat pendidikan menengah, meskipun demikian belum tentu mereka
menyelesaikan pendidikan tersebut (Hess dkk., 2011).
Terdapat sejumlah 80 sekolah dasar, 16 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah umum
diKabupaten Raja Ampat (Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Raja Ampat, 2006). Dengan
kompisisi usia sekolah yang tertinggi di Raja Ampat, keterbatasan jumlah dan pengetahuan guru serta
jumlah ruang kelas di setiap sekolah masih menjadi permasalahan bagi kualitas pendidikan masyarakat di
Raja Ampat.
2.1.1.3 Kesehatan
Fasilitas kesehatan secara umum di Kepulauan Raja Ampat masih terbatas. Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) tersebar di hampir setiap distrik yaitu 3 buah Puskesmas rawat inap di Distrik Waigeo
Selatan, Waigeo Utara, dan Distrik Misool, dan 5 Puskemas rawat jalan. Puskesmas Pembantu berjumlah
23 tersebar di 8 distrik. Pada lokasi yang memiliki kasus malaria tergolong tinggi sudah didirikan Pos
Malaria Desa (Posmaldes).
Penyakit yang umum diderita oleh penduduk Raja Ampat adalah malaria klinis, saluran pernafasan akut
dan penyakit kulit. Kasus kematian ibu waktu melahirkan masih terjadi di Raja Ampat. Pada tahun 2005
tercatat 8 kasus. Kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong rendah, ini
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah karena keterbatasan sarana dan pelayanan kesehatan,
ketersediaan obat-obatan, tidak tersedianya cukup sarana air bersih, dan kurangnya informasi kesehatan.
9
2.1.1.4 Agama
Mayoritas penduduk di Kabupaten Raja Ampat beragama Kristen Protetestan (23.728 jiwa atau 74%),
sedangkan lainnya beragama Islam (26%) dan sisanya beragaman Katolik dan Hindu. Distrik Misool
Timur Selatan merupakan distrik dengan penduduk mayoritas agama Islam terbesar, sementara seluruh
penduduk yang tinggal di Distrik Kepulauan Ayau dan Waigeo Timur beragama Kristen Protestan.
Sarana peribadatan di setiap distrik dan kampung tersedia dengan baik. Secara keseluruhan di Kabupaten
Raja Ampat terdapat 75 gereja dan 25 mesjid. Kerukunan umat beragama terjalin di seluruh wilayah
Kabupaten Raja Ampat.
2.1.1.5 Suku, Bahasa , Budaya, dan Adat Kebiasaan
Masyarakat di Kepulauan Raja Ampat masih menganut sistem adat berdasarkan kekerabatan diantara
beberapa klan. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 tentang Penilaian Desa Pesisir (Hess dkk., 2011)
mendapatkan informasi tentang enam suku yang tinggal di wilayah Kabupaten Raja Ampat yaitu suku
Maya, Matbat, Biak. Moi, Amer, Buton, Biak, Seram, dan Kei. Tiga suku besar asli penduduk Raja
Ampat adalah suku Moi, Biak, dan Amer. Suku-suku tersebut hidup menyebar di kampung-kampung di
Kepulauan Raja Ampat. Adanya kepercayaan bahwa mereka masih berasal dari satu keturunan
menyebabkan interaksi antar suku yang berjalan baik dengan hubungan kekerabatan yang kuat dan rasa
saling menghormati.
Rangkaian kepulauan di Raja Ampat mempengaruhi keadaan bahasa dan penuturnya maupun sistem
sosial yang dianut oleh masyarakat. Lokasinya yang unik berbatasan langsung dengan pulau lain dari
kepulauan berbeda baik provinsi maupun negara, menjadikan daerah ini perbatasan berbagai kelompok
bahasa dan budaya. Ditemukan 12 bahasa termasuk bahasa asli Raja Ampat yaitu Ma’ya. Ambel, Matbat,
Biga, dan bahasa Salawati (Remijsen, 2001). Bahasa Melayu Papua merupakan bahasa yang paling
sering dipergunakan saat ini untuk dapat berkomunikasi di antara beragam suku dan bahasa di Kabupaten
Raja Ampat.
Bagi suku-suku di Raja Ampat tanah merupakan harta pusaka. Mereka percaya bahwa tanah memberikan
berbagai manfaat bagi kehidupan. Dengan adanya tanah, masyarakat Raja Ampat dapat berkebun dan
hasilnya dapat dimakan dengan hasil tangkapan ikan dari laut. Tanah juga memberikan tempat berpijak
untuk mereka tinggal.
Pembagian wilayah hak adat atas pengelolaan laut masih dilakukan di Raja Ampat. Masyarakat Raja
Ampat mengenal pembagian hak dan penentuan batas wilayah ulayat laut. Sasi merupakan istilah yang
umum dipergunakan sebagai sebuah aturan pemanfaatan sumber daya. Sasi laut mengacu pada aturan
dan tata tertib yang mengatur pemanfaatan sumber daya laut dan menetapkan pembatasan atas alat
10
tangkap, spesies yang dipanen, waktu panen, lokasi panen, dan siapa saja yang berhak untuk memanen
(Bailey dan Zerner dalam McLeod, 2007). Kampung Arborek dan Fam mempunyai aturan untuk
pembatasan nelayan dari luar untuk menangkap ikan di salah satu wilayah desa tertentu. Pembatasan
ukuran tangkapan lobster dilakukan masyarakat di Desa Sawinggarai. Desa Arborek menetapkan lola
atau susu bundar pemanenannya diatur berdasarkan ukuran tangkapan tertentu. sistem moratorium (sasi
gereja) untuk teripang, lobster dan lola; jenis-jenis tabu yang tidak boleh ditangkap di daerah tertentu
(Tropika, 2005)
2.1.2 Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di Raja Ampat, sebanyak hampir 80% bergantung pada pemanfaatan langsung
sumber daya laut (perikanan) sebagai mata pencaharian utamanya. Pada tahun 2006 sektor perikanan
menyumbang 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan 82% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Raja Ampat (Huffard dkk., 2010).
Penilaian ekonomis terhadap pemanfaatan sumber daya alam laut di Raja Ampat yaitu perikanan
tradisional dan komersial, budidaya mutiara, penambangan karang dan budidaya rumput laut
menunjukkan diperkirakan sekitar Rp. 126 milyar di tahun 2006 dan diprediksikan akan meningkat
menjadi Rp. 1,2 triliun dalam waktu 20 tahun (Huffard et al., 2010). Pada sektor pariwisata, peningkatan
nilai diperkirakan terjadi secara signifikan menjadi Rp. 2 milyar per tahun dari semula Rp. 14 milyar per
tahun pada tahun 2006. Sektor pariwisata memberikan kontribusi PAD terbesar kedua bagi Kabupaten
Raja Ampat, yang mana 34% dari seluruh pendapatan pariwisata ini disalurkan bagi program
pemberdayaan masyarakat.
Hasil survei pesisir menunjukkan 45% masyarakat Raja Ampat adalah nelayan dan 44% adalah petani
(Larsen dkk., 2011). Meskipun demikian sulit untuk membedakan kedua jenis pekerjaan tersebut, karena
banyak rumah tangga di Raja Ampat melakukan kedua kegiatan tersebut hampir secara bersamaan untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain itu juga terdapat pedagang, pengusaha kayu, pegawai negeri
sipil, guru, tokoh agama dan pencari kerja. Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata
pencaharian pokok yang dianggap memberikan hasil bagi penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan, baik pada siang hari maupun malam hari dan
umumnya masih secara tradisional.
Di antara seluruh distrik di Kabupaten Raja Ampat, masyarakat di Kepulauan Ayau dan Waigeo Selatan
memiliki persentase tertinggi dalam hal pekerjaannya sebagai nelayan, sementara masyarakat di Kofiau
11
dan Waigeo timur paling rendah persentasenya. Lebih dari 90% kelompok masyarakat di Kabupaten Raja
Ampat yang diteliti menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut (Atlas Raja Ampat, 2006).
Meskipun penduduk di Kabupaten Raja Ampat mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, namun
potensi perikanan yang begitu besar masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat. Nelayan-nelayan lokal menggunakan peralatan tangkap yang sangat sederhana sehingga
kalah bersaing dengan kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah tersebut (Atlas Raja Ampat, 2006).
Pada tahun 2000 tercatat sekitar 2.400 kapal asing yang beroperasi di perairan Raja Ampat dan
sekitarnya.
2.1.3 Potensi Perikanan
Perikanan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Kabupaten Raja Ampat baik dari perikanan
tangkap maupun budaya. Visi Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten bahari menempatkan sektor
perikanan dan kelautan sebagai sektor unggulan dalam membangun kabupaten ini.
Potensi lestari maksimum yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield – MSY) di perairan
Raja Ampat adalah sebesar 590.600 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar
472.000 ton/tahun atau 80% dari MSY. Pemanfaatan perikanan tangkap di luar perhitungan perikanan
subsisten pada tahun 2005 tercatat sebesar 38.000 ton/tahun, sehingga diperkirakan masih tersedia
peluang sebesar 434.000 ton/tahun (DKP Raja Ampat, 2005). Saat ini mulai terjadi pengeksploitasian
sumberdaya perikanan, tercatat pada beberapa kasus sudah terjadi penurunan hingga 10% dari jumlah
aslinya (Huffard dkk., 2010).
Komoditas perikanan unggulan di di Kabupaten Raja Ampat, antara lain ikan tuna, cakalang tenggiri,
kerapu, napoleon, kakap merah, teripang, udang dan lobster. Budidaya mutiara, kerapu, dan rumput laut
menjadi komoditas potensial untuk dikembangkan di wilayah ini. Daerah penangkapan ikan kerapu dan
napoleon terdapat di perairan Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Kepulauan Ayau, Batanta, Kofiau dan
Misool; lobster di perairan Waigeo, Misool dan Kofiau; cumi-cumi di perairan Waigeo Selatan dan
Misool; teripang dan ikan tenggiri hampir diseluruh perairan Kabupaten Raja Ampat (Atlas Raja Ampat,
2006).
Alat tangkap yang paling umum dipergunakan di Kepulauan Raja Ampat adalah pancing dasar (88%),
pancing tonda (54%), sisanya menggunakan bagan (Larsen dkk., 2011). Teknologi penangkapan yang
12
dipergunakan nelayan Raja Ampat masih sederhana. Meting, kegiatan pemanenan avertebrata di daerah
terumbu karang, masih sering dilakukan.
Di bidang perikanan, hasil penilaian ilmiah di Teluk Kabui telah mendorong pemerintah Kabupaten Raja
Ampat untuk mengembangkan kebijakan membatasi jumlah armada tangkap yang dapat beroperasi di
perairan Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan penangkapan ikan secara berlebihan serta
penangkapan ikan secara ilegal. Di sisi lain mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan
perikanan lewat pendapatan daerah dari sektor perikanan. Hal ini juga tidak lepas dari rekomendasi ilmiah
lewat Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kabupaten Raja Ampat yang menunjukkan bahwa pilihan
sektor pembangunan yang ideal bagi kabupaten ini adalah Perikanan dan Pariwisata (Dohar dan Aggraeni,
2006).
2.1.4 Potensi Pariwisata dan Alternatif Ekonomi
Pola pemanfaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Raja Ampat adalah dengan cara tradisional,
mengekstraksi sumberdaya alam. Beberapa upaya dilakukan untuk menggali potensi lain dari sumberdaya
di Raja Ampat termasuk memperhatikan aspek potensi pariwisata alam. CI melakukan survei PRA pada
tahun 2008 untuk mengumpulkan data dari seluruh kampunng untuk menilai kondisi sumberdaya alam,
manusia, perekonomian dan memasukkan aspek sosial kemasyarakatan. Hasil survei digunakan untuk
merancang strategi mendorong dan mendemonstrasikan pilihan-pilihan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat diantaranya pariwisata berbasis alam berdasarkan jasa-jasa lingkungan yang bisa dinikmati di
Raja Ampat.
Salah satu peluang yang berpotensi tinggi adalah penerapan sistem tarif masuk bagi wisatawan yang
datang ke Raja Ampat baik domestik maupun internasional. Rangkaian proses dilakukan untuk
menetapkan payung hukum dan tata cara pengelolaan dana pariwisata termasuk menetapkan susunan tim
pengelola:
1. Pelatihan bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk membangun wacana kepariwisataan yang
tepat bagi Kabupaten Raja Ampat
2. Sosialisasi ke seluruh kampung yang akan menjadi tujuan wisata, sosialisasi kepada pemilik
penginapan dan kapal pesiar yang beroperasi di Raja Ampat
3. Melakukan survei kerelaan untuk membayar biaya pariwisata bagi para wisatawan asing
4. Sosialisai kepada instansi terkait
13
5. Pelatihan kepada para pengelola kapal pesiar tentang etika menyelam dan berwisata di Raja
Ampat
6. Diskusi dan lokakarya para pihak mengenai rancangan Peraturan Bupati (Perbup)
7. Penetapan tiga Peraturan Bupati; Perbup No. 63 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Masuk Wisata
di Kabupaten Raja Ampat, Perbup No. 64 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Dana Pengembangan
Kepariwisataan Non-Retribusi bagi Masyarakat Raja Ampat, Perbup No. 65 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan Non-Retribusi bagi
Masyarakat Raja Ampat.
8. Sosialisasi Perbup ke seluruh kampung tujuan wisata, dan
9. Peresmian Perbup oleh Kabupaten Raja Ampat.
Peraturan Bupati secara umum mengatur tata cara wisata di Raja Ampat, yang secara detil menetapkan
biaya berwisata dan peruntukan dana pariwisata seperti berikut:
1. Bagi seluruh wisatawan asing yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus
membayar sejumlah Rp. 500.000,00 per orang per tahun. Dana ini ini dialirkan sebagai
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagian besar sebagai Dana Non-Retribusi kepada Tim
Pengelola.
2. Bagi seluruh wisatawan lokal yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus
membayar sejumlah Rp. 250.000,00 per orang per tahun.
Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan mengelola dana non-retribusi dari pariwisata di
Kabupaten Raja Ampat yang pemanfaatannya diatur sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Kesejahteraan
Masyarakat,
2. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Konservasi, dan
3. Sebesar 20% dari keseluruhan pendapatan akan digunakan untuk biaya administrasi termasuk
diantaranya untuk biaya operasional kantor dan membayar gaji Manajer dan Bendahara.
Tim Pengelola merupakan gabungan berbagai unsur seperti pemerintah daerah, LSM setempat dan
internasional, pengusaha pariwisata, dewan adat, dan PKK dengan susunan keanggotaan seperti pada
tabel berikut.
Peresmian sistem tarif masuk ini dilakukan oleh Bupati Raja Ampat pada tanggal 14 Agustus 2007,
diikuti dengan pembangunan kantor pengelola di Bandara DEO Sorong dan pembukaan perwakilan
pengambilan tanda pembayaran tarif masuk di Bali.
14
Sejak diresmikannya sistem tarif masuk obyek wisata hingga 2011 telah terkumpul dana sebesar Rp.
6.849.000,00. Detil penerimaan dan alokasi sesuai aturan yang berlaku terlihat pada tabel berikut.
Sumber : Data Pendapatan Pariwisata CI, 2011
Gambar 2 Rekapitulasi pendapatan dari tarif masuk wisata Kabupaten Raja Ampat periode 2007 – 2011
Pemanfaatan alokasi dana kesejahteraan masyarakat dilakukan berdasarkan masukan dan usulan dari
masyarakat dan tergantung dari besaran yang diperoleh. Sampai dengan tahun 2010, dana tersebut telah
digunakan untuk mendukung kegiatan Posyandu. Setiap bulan selama satu tahun berjalan, Tim Pengelola
telah menyalurkan kacang hijau dan gula merah ke setiap kampung di mana terdapat Posyandu. Selain itu
dana digunakan untuk pembelian vitamin bagi ibu hamil, seragam bagi setiap kader Posyandu, dan
pencetakan buku kesehatan.
2.1.5 Potensi Biofisik
Kepulauan Raja Ampat kaya keragaman jenis karang. Survei RAP dan REA pada tahun 2001 dan 2002
secara berurutan menginventarisasi keragaman karang sampai kedalaman 34 meter di lebih dari 100
lokasi penyelaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman terumbu karang tertinggi
terdapat di perairan Misool di sebelah Utara pulau Djam dengan 182 spesies karang ditemukan. Sepuluh
2007 2008 2009 2010 2011
Pendapatan (x 1000) 482500 1252750 1520500 2093000 1502250
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
15
lokasi tertinggi keanekargaman karangnya selain Misool diantaranya adalah Teluk Wambong, Kofiau
(174 spesies) dan Tanjung Sool, Kofiau (173 spesies) .
Tipe terumbu yang umum ditemukan di Raja Ampat adalah terumbu tepi (fringing reefs), terumbu cincin
(atol), dan terumbu penghalang (barrier reefs). Atol ditemukan di Kepulauan Ayau-Asia. Gosong
karang (patch reefs) ditemukan di Selat Dampier (DeVantier dkk., 2009).
Keanekaragaman hayati di Raja Ampat ditunjang oleh karakteristik fisik yang khusus yang mendukukung
keberlangsungan sumber daya lautnya. Letak lokasinya di pintu masuk Arus Laut Indonesia memberikan
asupan hara yang cukup bagi perkembangan dan ketahanan spesies di Raja Ampat. Hasil survei proyek
Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecosystem Based Management – EBM) yang merupakan kerjasama
antara tiga lembaga CII, TNC, dan WWF di Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP) mendapatkan
beberapa temuan penting bagi upaya konservasi di Raja Ampat.
Suhu air adalah faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup terumbu karang.
Kenaikan suhu berhubungan dengan keadaan cuaca yang ekstrim dan perubahan iklim dapat
menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching). Pada beberapa lokasi khusus dimana terjadi
upwelling, pengadukkan massa air laut dalam yang bersuhu lebih dingin ke permukaan, terumbu
karangnya memiliki ketahanan yang lebih kuat dan dapat pulih lebih cepat dari ancaman pemutihan
karang. Pencatat suhu permukaan harian yang dipasang di perairan Raja Ampat menunjukkan bahwa
suhu rata-rata adalah 29°C selama rentang waktu 2,5 tahun. Keunikan lain adalah terumbu karang di Raja
Ampat terpapar perbedaan rentang suhu yang besar yaitu mulai dari 17°C hingga 36°C (EBM Infosheet,
2008). Beberapa daerah penting di Raja Ampat yang mengalami upwelling termasuk Misool Timur
Selatan dan Selat Dampier, Selat Sagewin, dan Selat Bougainville di Barat Laut Raja Ampat (Huffard
dkk., 2010).
Dalam hal pelestarian habitat dan populasi penyu, penelitian jejak penyu lewat satelit telah menunjukkan
Raja Ampat sebagai lokasi peneluran yang penting secara regional bagi penyu sisik dan penyu hijau
(Huffard dkk., 2010). Selain itu lewat jejak satelit juga kita dapat mengetahui wilayah ruaya/migrasi
penyu Raja Ampat dalam skala yang luas di luar perairan Raja Ampat. Hasil ini tidak saja mendorong
inisiatif ditetapkannya kawasan pantai peneluran Pulau Sayang, Piay dan Wayag sebagai kawasan
konservasi laut tetapi mengajak pemerintah selain pemerintah Raja Ampat untuk melestarikan habitat
penting lain sebagai tempat mencari makan bagi penyu secara regional termasuk di Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tenggara, Kepulauan Kei Maluku Tenggara, serta Kalimantan Timur.
16
Kabupaten Raja Ampat pun memiliki keunikan danau air laut yang terbentuk di pulau-pulau batuan kapur
Karst. Sejumlah 56 danau air laut ditemukan di Misool dan Wayag (Becking dan Mangubhai, 2011).
Danau air laut yang ditemukan di Raja Ampat lebarnya sekitar 50 – 500 meter dan berkedalaman 2 – 20
meter, terbentuk pada masa evolusi yang masih mudah sekitar 7.000 – 12.000 tahun yang lalu.
2.2 Permasalahan Umum
Berbagai ancaman yang cukup serius terhadap keberlangsungan sumberdaya laut terjadi di seluruh
kawasan konservasi perairan di wilayah TPPKD Raja Ampat dan berpotensi menghancurkan sumber mata
pencaharian serta potensi perikanan dan pariwisata. Penangkapan ikan dengan menggunakan bom sering
dilakukan di seluruh perairan Indonesia dan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di seluruh
wilayah Asia Tenggara (Fox dan Caldwell, 2006), dan Raja Ampat termasuk diantaranya. Peningkatan
tangkap lebih terus terjadi selama kurun waktu 20-30 tahun telah berkontribusi pada penurunan
komunitas terumbu karang dan ikan di wilayah perairan Raja Ampat. Spesies yang bernilai ekonomi
tinggi pun sudah sangat berkurang di beberapa lokasi (Huffard dkk., 2010).
Masalah lain timbul dari penangkapan ikan tanpa ijin yang beresiko tinggi pada kondisi tangkap-lebih dan
hilangnya peluang perolehan pendapatan daerah dari pajak perijinan. Jenis perikanan tanpa ijin yang
terjadi di Raja Ampat termasuk di antaranya adalah perikanan bagan dengan target tangkapan ikan teri
dan cumi-cumi, serta penangkapan ikan hiu untuk kebutuhan siripnya. Alat tangkap pasif seperti sero
menangkap ikan dengan tidak selektif yang menyebabkan tertangkapnya penyu dan duyung. Kegiatan
penangkapan tanpa ijin lainnya adalah pengambilan telur dan pencurian penyu untuk kebutuhan konsumsi
di wilayah tertentu.
Sejalan dengan upaya pembangunan di Kabupaten Raja Ampat, ancaman terhadap sumberdaya laut dan
pesisir juga terjadi secara bersamaan. Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak terkendali dimana
terjadi penebangan bakau dalam jumlah besar dan sedimentasi di daerah padang lamun dan terumbu
karang, serta penambangan karang berdampak pada kerusakan habitat pembesaran dan
perkembangbiakan biota laut.
Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat cepat pada tahun 2010 di Provinsi Papua Barat, termasuk
di wilayah Kabupaten Raja Ampat, mencapai angka pertumbuhan hamper 6% per tahun. Pertumbuhan
populasi yang tinggi seperti ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhandan potensi konflik atas
pemanfaatan sumber daya perikanan, tanah dan infrastruktur, dan polusi seperti aliran limbahm bahan
17
buangan pertanian dan sampah. Berbagai hasi riset menunjukkan bahwa daerah dengan populasi
penduduk yang tinggi memiliki kelimpahan ikan yang rendah akibat terjadinya situasi tangkap-lebih.
Selain itu pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akan menyebabkan peningkatan permintaanakan
sumberdaya alam, masuknya bahan-bahan non alami ke dalam lingkunganm dan perubahan terhadap
habitat alamai yang dapat merusak fungsi ekosistem (Huffard dkk., 2010).
Satu-satunya cara untuk memastikan perlindungan keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumberdaya
alam kelautan yang efektif adalah dengan membangun Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected
Areas-MPAs). Kawasan konservasi laut berfungsi untuk melindungi keberadaan dan keunikan
keanekaragaman hayati laut, menjaga ketersediaan stok dan asupan ikan dan biota laut lainnya, sebagai
sumber bibit atau benih ikan bagi perairan sekitar, melindungi habitat ikan dan biota laut, melindungi
sumberdaya alam setempat dari ancaman perusakan dan pemanfaatan secara besar-besaran dari luar,
melindungi hak petuanan dan nilai-nilai sejarah budaya dan ikatan adat komunitas setempat dengan ruang
hidupnya dan memastikan pengelolaan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya laut membutuhkan kesiapan pihak pengelola untuk menjalankan program
konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara lestari di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Saat ini
pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah berada di bawah tanggung-jawab Dinas Kelautan dan
Perikanan Kelautan Kabupaten Raja Ampat. Kemampuan pihak pengelola dan para pemangku
kepentingan di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat dalam mengelola sumber daya laut diharapkan sudah
dapat memenuhi standar kompetensi dasar pengelola kawasan perlindungan laut. Diperlukan beberapa
upaya untuk menyetarakan pengetahuan, keterampilan, dan kompotensi pihak pengelola yang diharapkan
sudah akan mandiri dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
2.3 Karakteristik Khusus Kawasan Konservasi di Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja
Ampat
2.3.1 Ayau Asia
Kawasan konservasi Ayau-Asia yang merupakan wilayah I dari TPPKD Raja Ampat meliputi Kepulauan
Ayau dan Kepulauan Asia yang memiliki luas 101.440 ha terletak di sebelah utara Pulau Waigeo dan
berbatasan dengan perairan Republik Palau. Terdapat 2 distrik yaitu Distrik Kepulauan Ayau dan Distrik
Ayau dengan 5 kampung di dalam TPPKD Kep. Ayau – Asia yang meliputi Kampung Dorehkar,
Yenkawir, Miosbekwan, Rutum dan Reni.
18
TPPKD Kepulauan Ayau-Asia terletak di daerah paling utara Raja Ampat dan berbatasan dengan Palau
dengan luas kawasan 101.440 ha. Secara geografis TPPKD Ayau-Asia terbagi dalam 3 daerah yaitu Ayau
Kecil, Ayau Besar dan Kepulauan Asia pada koordinat 00
19’52” - 10
06’08” LU dan 1300
53’35” –
1310
17’48” BT. Di sebelah barat kawasan ini terdapat Pulau Moof yang diusulkan juga untuk menjadi
bagian dalam TPPKD Ayau-Asia.
Perencanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup/konservasi melibatkan berbagai pihak
(masyarakat adat, pemerintah, pihak keamanan, LSM lokal, lembaga agama, dan sebagainya) untuk
bersama-sama menjaga dan mengembangkan kawasan ini sebagai sumber ekonomi rakyat yang ramah
lingkungan sehingga ekosistem kawasan ini tetap terjaga. Respon positif dari masyarakat atas pentingnya
ekosistem di kawasan ini ditandai dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
sendiri dengan melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Gambar 3 Peta Kawasan Konservasi Wilayah I Ayau Asia
19
2.3.1.1 Karakteristik Biofisik
Tipe terumbu karang dan tutupan karang
Tipe terumbu karang di Ayau Kecil dan Ayau Besar adalah terumbu karang cincin atau atol, sedangkan di
kepulauan Asia adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Ayau besar merupakan atol di mana terdapat
cincin laguna di dalamnya, sedangkan Ayau Kecil bisa dikatakan ’hampir Atoll’ (Tomascik dkk., 1997).
Kontur terumbu pada ketiga daerah tersebut umumnya curam hingga tegak lurus dengan kecerahan air 5 –
20 meter. Kontur terumbu landai hanya berada di selatan Ayau Kecil, timur Pulau Miosros Ayau Besar
dan utara Pulau Fani.
Persentase penutupan karang hidup di Ayau Kecil berkisar antara 5 – 70% (kategori dari buruk hingga
bagus) dengan rata-rata 30,8% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir utara relatif lebih
baik dibanding tubir selatan. Kondisi terumbu karang khususnya di bagian selatan relatif didominasi oleh
karang mati hingga 85 % dengan rata-rata 40,9%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble (patahan
karang) sebesar 11,1%, pasir 4,3% dan biota lain sebesar 13,1%. Kontur terumbu sebagian besar curam
hingga tegak lurus. Kontur landai hanya di selatan Ayau Kecil dan utara Pulau Urbabo.
Persentase penutupan karang hidup di Ayau Besar berkisar antara 5 – 75% (kategori dari buruk hingga
memuaskan) dengan rata-rata 36,2% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat
hingga selatan Misosbekwan relatif lebih baik dibanding di tubir bagian timur. Rata-rata persentase
penutupan karang mati adalah sebesar 25,8%, pecahan karang 15,2%, pasir 6%, dan biota lain sebesar
16,8%. Kontur terumbu umumnya curam hingga tegak lurus. Kontur landai hanya terdapat di timur
Pulau Miosros hingga timur Rutum.
Persentase penutupan karang hidup di Kepulauan Asia berkisar antara 10 – 60% (kategori dari buruk
hingga bagus) dengan rata-rata 31,7% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat
relatif lebih baik dibanding tubir timur. Di kepulauan ini, penutupan karang mati mendominasi dengan
rata-rata persen penutupan sebesar 39,6%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble 9,2%, pasir
6,1% dan biota lain 13,3%. Kontur terumbu umumnya tegak lurus. Kontur landai hingga curam hanya
terdapat di utara Pulau Fani dan selatan Pulau Miarin.
Daerah-daerah yang diduga mengalami penangkapan destruktif adalah sepanjang tubir selatan Ayau
Kecil, sepanjang tubir timur Ayau Besar dan sebagian tubir selatan Miosbekwan, sepanjang tubir timur
Kep. Asia. Tidak terdapat pemutihan karang (coral bleaching) maupun ledakan populasi mahkota berduri
pada semua kawasan.
20
TPPKD Ayau-Asia menjadi habitat peneluran penyu hijau yang penting secara regional (Huffard dkk.,
2010). Lokasi spesifik ditemukan di Pulau Mof, yang terletak sekitar 40 km dari Pulau Ayau Kecil.
Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan
1. Lokasi pemijahan ikan kerapu di selatan Ayau Besar yang salah satunya terbesar di Indonesia
2. Ikan Napoleon
3. Ikan-ikan pelagis seperti tuna, cakalang dan tengiri
4. Lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Mof dan Pulau Fani
5. Gurita atau sebutan setempat kombrof
6. Cacing laut atau sebutan setempat insonem
7. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dari jenis
a. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus)
b. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris)
c. Paus sperma (Physeter macrocephalus)
2.3.1.2 Karakteristik Sosial-Budaya
Kesadaran terhadap hubungan yang harmonis manusia dengan alam sejak manusia Papua menempati
tanah ini sudah hidup dalam hubungan interaksi alam yang berkesinambungan dari waktu ke waktu.
Keharmonisan hidup antara manusia dan alam selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Manusia dalam
menjaga hubungan antar sesama membangun hubungan kekerabatan sebagai pertalian persaudaraan untuk
membangun kerjasama sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan dalam hubungan kekerabatan
manusia. Dalam konteks yang sama, manusia juga membangun hubungan kekerabatan dengan alam
semesta dimana manusia hidup dan mengelola alam sebagai sumber kehidupan.
Dalam hubungan kekerabatan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam terbangun
kesadaran bersama manusia untuk melambangkan berbagai fenomena alam sebagai simbol kekerabatan.
Alam, dalam hubungan kekerabatan tersebut oleh manusia Papua dilambangkan sebagai seorang “Ibu”.
Simbol alam sebagai seorang ibu, mempunyai makna yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Karena
dalam pandangan kosmologi yang di yakini menempatkan Ibu/Alam adalah sumber kehidupan untuk
manusia. Keyakinan ini pula yang mendorong manusia untuk selalu menghormati dan memperlakukan
alam dengan menjaga hubungan keharmonisannya. Selain itu Alam dipandang sebagai pusat kekuatan
21
supernatural, sumber kehidupan, tempat manusia berkarya, dan tempat manusia melangsungkan
kehidupannya.
Keyakinan akan nilai-nilai kearifan alam dan budaya hidup manusia inilah yang terus diperjuangkan oleh
manusia sejak menempati tanah Papua-Raja Ampat dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi
hingga saat ini. Warisan kearifan leluhur ini, terus menjadi simbol perjuangan manusia Raja Ampat dalam
menjaga keharmonisan hubungan dengan alam. Pesan-pesan kearifan ini menjadi spirit untuk terus
dikomunikasikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan.
Kearifan leluhur terus diperjuangkan untuk dikomunikasikan kepada masyarakat adat dan berbagai pihak
(pemerintah, penegak hukum, pengusaha, kelompok swadaya dan masyarakat adat) di berbagai tempat,
dan kegiatan-kegiatan nyata di masyarakat untuk bagaimana menjaga, melestarikan alam sebagai sumber
kehidupan bagi masyarakat.
Terbentuknya sejumlah Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Raja Ampat juga merupakan
contoh nilai-nilai leluhur yang terus dipertahankan. Dengan semangat kebaharian, pemerintah bertekad
untuk mendukung kebijakan pengelolaan yang berbasis ekosistem dengan menetapkan sejumlah TPPKD
dalam kerangka kebijakan pembangunan kabupaten “Bahari” Raja Ampat. Dukungan dari pihak
pemangku adat dalam wujud Deklarasi Adat pada tahun 2009 memberikan kontribusi penting dalam
upaya pelestarian di Kepulauan Ayau-Asia. Dukungan adat menunjukkan adanya kesadaran tentang
pentingnya tata kelola sumberdaya alam yang eksosentris dalam menentukan kebijakan pengelolaan
kawasan.
Upaya penyadartahuan juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal tentang lingkungan
hidup (PLH). Media komunikasi (seperti lembar informasi, tabloid) digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan kearifan leluhur kepada masyarakat di berbagai tingkatan. PLH kepada anak usia sekolah,
kegiatan-kegiatan rohani (Kristen-Muslim), kegiatan masyarakat, siaran di radio (RRI Sorong dan Radio
Komunitas), menyiapkan mata pencaharian alternatif kepada masyarakat, mempersiapkan masyarakat
untuk menggunakan cara-cara baru (patroli masyarakat kampung) untuk menjaga alam kawasan
kampungnya, dan kegiatan-kegiatan penelitian dan pemantauan terumbu karang terus dilakukan. Kegiatan
penting lainnya adalah kampanye sadar wisata dan kesehatan. Kebijakan pembangunan pun menjadi
target kampanye untuk menyadarkan pelaku pembangunan agar mengelola sumberdaya alam di Raja
Ampat secara lestari dengan kebijakan perundangan yang tegas.
22
2.3.1.3 Pengelolaan
Pengawasan
Pengawasan TPPKD Ayau Asia telah dilakukan secara rutin oleh masyarakat. Telah terbentuk sebuah tim
patroli yang melakukan pengawasan terhadap kawasan. Fungsi utama mereka adalah melakukan
pencegahan terhadap pelanggaran baik penangkapan ilegal dan secara merusak dari luar maupun
pelanggaran zonasi. Tim patroli TPPKD Ayau Asia terdiri dari 42 orang masyarakat yang bertugas
bergantian dengan menggunakan sebuah Speed Boat “INSONEM” dan bahan bakar yang difasilitasi oleh
CI. Sebagai dukungan terhadap patroli masyarakat ini, pemerintah distrik Ayau juga mengikutsertakan
polisi pamong praja distrik.
Selain patroli yang dilakukan masyarakat, telah dilaksanakan pula patroli bersama yang beranggotakan
polres, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat, polisi pamong praja dan masyarakat. Dari
seluruh kegiatan pengawasan yang dilakukan pada tahun 2008, tim ini telah berhasil mengurangi kegiatan
perusakan terumbu karang sampai dengan 60%. Hal ini diindikasikan dengan sudah tidak adanya praktek
pemboman dan sianida di 3 kampung Dorehkar, Meosbekwan dan Yenkawir kecuali beberapa yang masih
difasilitasi dari pihak luar di Reni dan Rutum. Pelanggaran-pelanggaran yang masih terus datang,
umumnya berasal dari luar seperti Sorong bahkan dari Sulawesi. Satu hal yang masih intensif
ditanggulangi adalah penangkapan ikan hias di perairan Reni dan Rutum.
Pemantauan
Ada dua jenis monitoring yang telah dilaksanakan di TPPKD Ayau Asia yaitu kesehatan terumbu karang
dengan menggunakan metoda Manta Tow dan monitoring SPAGs (Spawning Aggregation Sites) atau
lokasi pemijahan ikan kerapu. Monitoring kesehatan terumbu karang pertama dilakukan untuk
mendapatkan data dasar kondisi terumbu karang saat ini. Pemantauan SPAG telah dilakukan sejak
beberapa tahun sebelumnya untuk melihat perubahan atau perkembangan populasi kerapu setelah
dilakukan pengelolaan dan melindungi lokasi ini menjadi kawasan larang ambil (no take zone). Pelibatan
masyarakat setempat dalam setiap kegiatan monitoring di kawasan ini telah menambah keterampilan dan
pengetahuan masyarakat terhadap potensi kawasan maupun teknik metode monitoring itu sendiri.
Zonasi
Pendekatan budaya secara holistik untuk sosialisasi, diskusi tingkat marga, menjaring informasi daerah
sasaran penangkapan ikan kerapu, dan kesepakatan untuk menetapkan dan memasang pelampung di
daerah Zonasi TPPKD terus dilakukan dengan berbagai metode dan melibatkan masyarakat adat. Zonasi
kawasan konservasi laut kemudian ditetapkan masyarakat sebagai langkah awal positif untuk menjaga
kawasan ini tetap terjaga dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat. Terdapat 6
23
kawasan yang diusulkan menjadi kawasan larang ambil dan diberi tanda dengan pelampung oleh
masyarakat sendiri. Kawasan yang diusulkan tersebut masing–masing terdiri dari zona milik marga
Imbir, Mambrisau, Umpes, Burdam, zona milik masyarakat kampung Yenkawir dan zona masyarakat
kampung Rutum.
Pengusulan tersebut diikuti dengan dibuatnya aturan adat tertulis untuk tidak melakukan berbagai
kegiatan penangkapan di dalam kawasan tersebut. Sanksi-sanksi dikenakan kepada masyarakat adat
ataupun penduduk yang melanggar aturan adat tersebut.
Kesadaran masyarakat akan arti penting kawasan konservasi laut ini secara sadar tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya di masyarakat, walaupun disadari masih membutuhkan proses panjang
untuk terus-menerus bersama masyarakat membangun rasa hormat, peduli, kebersamaan dan cinta
terhadap lingkungan hidup. Hambatan lain yang terjadi adalah sering masuknya kapal – kapal penangkap
ikan hias, kapal pengumpul ikan kerapu, Napoleon, dan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan untuk
pemenuhan terhadap kapal-kapal tersebut.
2.3.2 Teluk Mayalibit
Kawasan konservasi Teluk Mayalibit merupakan wilayah II dari TPPKD Raja Ampat terletak di Pulau
Waigeo dengan luas 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang yang hampir memisahkan
Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit
sebagai kawasan yang relatif tertutup. Secara geografis teluk ini terletak pada koordinat 00
22’14” –
00
05’00” LS – 1300
36’43” – 1300
59’10” BT. Kampung-kampung di dalam TPPKD Teluk Mayalibit
adalah Kampung Yensner, Mumes, Warsamdim, Lopintol, Kalitoko, Warimak, Waifoi, Go, Beo, Arawai,
dan Kampung Kabilol.
2.3.2.1 Karakteristik Biofisik
Tipe terumbu karang & tutupan karang
Teluk Mayalibit memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan karang
penghalang (barrier reef). Tipe terumbu karang penghalang berada di depan mulut teluk yang
membentang dari timur hingga ke selatan Pulau Waigeo. Karena kondisinya yang tertutup dengan
kisaran kecerahan air horizontal 0 – 12 m dan rata-rata 6 m. Ekosistem terumbu karang tidak hidup subur
di daerah ini. Terumbu karang hanya tumbuh sedikit di mulut teluk dan sebagian dalam teluk yang relatif
masih dekat dengan mulut teluk. Itupun hanya tumbuh antara kedalaman 0 – 5 m. Selebihnya dasar teluk
adalah pasir hingga berlumpur.
24
Berdasarkan survei Mantatow tahun 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 70%
dengan rata-rata tutupan 8,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya termasuk di
dalamnya adalah karang lunak adalah 27,2%. Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21,9%,
sedangkan persentase penutupan pasir dan patahan karang masing-masing adalah 26,7% dan 9,5%.
Gambar 4 Peta Kawasan Konservasi Wilayah II Teluk Mayalibit
Teluk Mayalibit memiliki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik. Lebar hamparan padang lamun
dapat mencapai 70 m dari tepi hutan mangrove menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah
sebelum Kalitoko, terdapat formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di
daerah antara Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai. Meskipun persentase karang keras
relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai tempat pembesaran ikan konsumsi
penting masyarakat Raja Ampat seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara, kakap, kepiting bakau,
dan ikan lema atau kembung (Rastreliger kanagurta).
25
Peran aktif masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dari ancaman
kerusakan yang bersumber dari dalam (masyarakat setempat) dan luar (nelayan pendatang), sekarang
ancaman alami, serangkaian pertemuan dilakukan untuk merancang upaya pelestarian secara bersama-
sama para pemangku kepentingan di Teluk Mayalibit seperti berikut ini:
1. Pertemuan para pemangku kepentingan Raja Ampat pada tanggal 2 September 2006 di Sorong,
2. Pertemuan seluruh kepala kampung dari seluruh distrik Teluk Mayalibit pada tanggal 21
September 2006 di Warsambin,
3. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan tentang persiapan kawasan konservasi perairan
Teluk Mayalibit pada tangggal 27 September – 3 Oktober 2006, yang dilanjutkan dengan
4. Pengukuhan kawasan laut Teluk Mayalibit secara adat tanggal 15 November 2006, dan
5. Deklarasi tingkat kabupaten pada tanggal 15 Desember 2006 yang dikukuhkan dengan Peraturan
Bupati (Perbup) No. 66 Tahun 2007.
Ekosistem pesisir
Ekosistem pesisir di Teluk Mayalibit relatif didominasi oleh hutan mangrove di TPPKD Teluk Mayalibit.
Mangrove menghampar dari luar mulut teluk hingga di teluk bagian terdalam. Hutan mangrove ini
memberikan potensi kepiting bakau dan rebon sebagai sumber penghasilan bagi masyarakatnya. Dari sisi
potensi perikanan, Teluk Mayalibit merupakan daerah ikan lema (Rastrelliger kanagurta) bagi
masyarakat Teluk Mayalibit.
Padang lamun tumbuh sedikit di mulut teluk dan pesisir bagian dalam teluk, sedangkan pesisir di luar
mulut teluk sebagian besar komunitas di dangkalan didominasi oleh alga Sargassum.
Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan
 Titik penyelaman pada mulut teluk dengan tipe penyelaman mengikuti arus (drift dive) dan
penyelaman air keruh (muck dive)
 Olah raga kayak menyusuri sungai
 Lokasi relatif dekat kurang-lebih 20 km dengan ibukota Kabupaten Raja Ampat
 Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung di daerah mulut teluknya
o Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrochepalus)
o Paus pembunuh atau killer whale (Orchinus orca)
o Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus)
o Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus)
26
o Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
o Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris)
o Lumba-lumba risso (Grampus griseus)
o Lumba-lumba bongkok atau lumba-lumba putih (Sousa chinensis)
o Duyung (Dugong dugon)
 Perikanan tangkap ikan lema (ikan kembung) (Rastrelliger kanagurta)
 Penghasil anak udang (rebon) atau kasia (nama lokal)
 Penghasil kepiting bakau
Kondisi Teluk Mayalibit dengan mulut teluknya yang sempit dan teluknya yang dalam menyebabkan
ekosistem pesisirnya didominasi oleh hutan mangrove dengan sedikit padang lamun dan terumbu karang.
Kondisi tertutup ini cenderung rentan dari kerusakan, sehingga pengelolaan kawasan teluk yang bijak
mampu membuat potensi sumberdaya alamnya bisa dinikmati masyarakatnya secara lestari. Potensi
kerusakan yang ada adalah pembukaan tambang di areal teluk dan penangkapan ikan tidak ramah
lingkungan. Kerusakan akibat alam yaitu pada musim tertentu terjadi kelimpahan alga merah (red tide)
yang mengakibatkan banyak ikan yang mati.
2.3.2.2 Pengelolaan
Pengawasan
Kegiatan patroli dianggap sangat penting untuk didahulukan untuk tetap menjaga potensi kawasan ini dari
kerusakan sambil menunggu komponen pengelolaan lainnya siap dijalankan. Dari sisi kondisi geografis,
Teluk Mayalibit relatif mudah diawasi karena semua armada yang masuk ke dalam teluk melewati satu
pintu masuk yang relatif kecil dan mudah dikontrol. Dalam beberapa kasus terjadi penyalahgunaan
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat setempat kepada nelayan pendatang, yang mendorong
penangkapan berlebih dan menggunakan alat tangkap yang merusak. Penyalahgunaan surat ijin
penangkapan dari pemerintah juga masih terjadi di sini.
Pengawasan dilakukan selain dengan speedboat “Djoko Walut” juga dibangun posko lapangan di
Kampung Warkabu. Pos tersebut berfungsi sebagai pos patroli tim TPPKD dan pusat aktifitas beragam
kegiatan bersama masyarakat Teluk Mayalibit.
27
Zonasi
Mengingat wilayahnya yang relatif kecil perancangan zonasi bertujuan antara lain untuk melindungi
terumbu karang sebagai rumah berlindung bagi ikan, melindungi ketersediaan teripang sebagai salah satu
biota penting bagi ekonomi masyarakat. Zona untuk teripang ini dibangun di kampung-kampung yang
cocok seperti Warimak, Waifoy dan Kabilol berbentuk sasi sementara maupun permanen. Rencana zonasi
lainnya adalah zona penangkapan ikan lema. Zona ini sedang dalam taraf negosiasi dengan masyarakat
untuk membatasi atau mengatur penangkapan untuk tujuan ketersediaan jangka panjang.
Zona lain yang direncanakan adalah zona mangrove yang merupakan salah satu komunitas terbesar di
Teluk Mayalibit dan merupakan tempat berkembangbiaknya ikan dan kepiting sebagai biota penting
untuk ekonomi masyarakat.
2.3.3 Selat Dampier
Kawasan konservasi Selat Dampier merupakan wilayah III dari TPPKD Raja Ampat berada antara selatan
Pulau Waigeo dan utara Pulau Batanta hingga timur Pulau Salawati, dengan luas 336.000 ha. Letaknya
yang relatif dekat dengan Sorong dan Waisai, menjadikan kawasan ini memiliki pengguna sumberdaya
paling beragam dibandingkan kawasan lainnya.
Terdapat 4 distrik dan 24 kampung pada kawasan tersebut. Distrik Samate, Selat Sagawin, Waigeo
Selatan dan Distrik Meos Mansar. Sedangkan 24 Kampung adalah Jeffman, Kapatlap ; Kampung
Yensawai dan Arefi ; Kampung Arborek, Sawinggrai dan Yenbuba ; dan Kampung Yenbeser dan
Friwen
TPPKD Selat Dampier terletak di selatan Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Pulau-pulau yang terletak di
kawasan ini meliputi Pulau Saonek, Pulau Saonek Monde, Pulau Mioskon, Pulau Friwen, Pulau Friwen
Bonda, Pulau Mansuar, Pulau Kri, Pulau Koh dan Pulau Arborek dengan luas kawasan 46.240 ha. Secara
geografis TPPKD Selat Dampier terletak pada koordinat 00
37’ - 00
24’30” LS dan 1300
27’43” –
1300
48’16” BT. Kawasan ini merupakan wilayah yang paling ramai oleh berbagai pemanfaatan laut
dibandingkan TPPKD lainnya.
Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai,
sehingga aktifitas pengembangan dan pembangunan daerah (seperti pelabuhan, dermaga, bandara, jalan
dan pengembangan pemukiman) turut mempengaruhi keberadaan TPPKD. Selain itu, Selat Dampier juga
merupakan pusat pengembangan infrastruktur pariwisata baik oleh investor lokal maupun asing.
Pemanfaatan perikanan di daerah ini cukup tinggi (Bailey dkk., 2008). Teluk Kabui yang berdekatan
28
dengan Selat Dampier telah menjadi pusat penangkapan ikan teri yang diketahui merupakan dasar rantai
makanan bagi biota-biota besar lainnya.
Kegiatan pengelolaan TPPKD Selat Dampier telah dimulai oleh Project Coremap Tahap II dan DKP.
Sejumlah Daerah Perlindungan Laut (DPL) telah ditetapkan oleh masyarakat kampung di TPPKD Selat
Dampier. Dalam sistem zonasi TPPKD, DPL-DPL ini akan berfungsi sebagai kawasan larang-ambil (no
take zone) dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan pengelolaannya.
Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan kegiatan bersama dengan
COREMAP. Beberapa diantaranya adalah Lokakarya Patroli Pengawasan yang dilakukan masyarakat
melalui sistem Pokmaswas atau Kelompok Masyarakat Pengawas. Pokmaswas dibentuk di setiap
kampung.
Kegiatan patroli secara bersama menggunakan Inbekwan juga telah dilakukan, dalam kegiatannya tim
patroli telah berhasil menangkap 2 kapal ilegal dan 37 buah perahu penangkap cumi-cumi yang berasal
dari Sulawesi.
Kegiatan lainnya adalah pengembangan pariwisata. Upaya pengelolaan Selat Dampier diarahkan untuk
untuk perlindungan kehati untuk tujuan pariwisata disamping perlindungan atas sumberdaya
perikanannya. Kawasan wisata yang dikembangkan oleh masyarakat dan didukung oleh PEMDA dan
mitra pembangunan antara lain adalah di Pulau Dayan. Selain pengembangan infrastruktur di darat,
lokasi ini juga dilindungi oleh masyarakat Yensawai Batanta dari perusakan terumbu karang dan
penangkapan ikan.
Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai TPPKD, bekerja sama dengan DKP dan
COREMAP untuk membangun Rencana Pengelolaan TPPKD Selat Dampier sebagai proyek perintis
dalam pengembangan rencana pengelolaan TPPKD di Raja Ampat.
29
Gambar 5 Peta Kawasan Konservasi Wilayah III Selat Dampier
2.3.3.1 Karakteristik Biofisik
Tipe terumbu karang & tutupan karang
Selat Dampier memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef) dan gosong karang (patch reef).
Sebagian besar gosong karang berada di antara selatan Pulau Waigeo dan utara Batanta. Beberapa patch
reef merupakan tempat berkumpulnya ikan pari manta dan mempunyai schooling ikan yang tinggi
sehingga banyak dive point untuk pariwisata selam di daerah ini.
Berdasarkan survei Manta Tow 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 85% dengan
rata-rata tutupan 24,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya adalah 22,7%.
Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21%, sedangkan persentase penutupan pasir dan
patahan karang masing-masing adalah 12,1% dan 18,9%.
30
Ekosistem pesisir
Hutan mangrove di TPPKD Selat Dampier tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo, Selatan Pulau Gam,
utara Pulau Batanta dan timur hingga tenggara Pulau Salawati dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Beberapa hutan mangrove merupakan dive point yang biasa disebut blue water mangrove, yaitu di selatan
Pulau Gam dan Teluk Gam. Konsentrasi tertinggi habitat mangrove berada di sebelah utara Pulau
Batanta (DeVantier dkk., 2009)
Padang lamun tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo hingga selatan Pulau Gam, sebelah utara Pulau
Batanta dan sebelah timur Pulau Salawati. Daerah padang lamun ini merupakan habitat bagi duyung
(Dugong dugon), ikan baronang (Siganus sp.) dan sebagai tempat pembesaran larva ikan lainnya.
Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan
1. Titik-titik penyelaman yang memiliki kehati tertinggi di Raja Ampat dan telah menjadi tujuan wisata
paling awal di Raja Ampat dengan tipe penyelaman paling lengkap yaitu penyelaman berarus (drift
dive), penyelaman goa (cave diving), penyelaman obyek makro di air keruh (muck dive), manta point
dan penyelaman wisata pada umumnya
2. Keberadaan landbase resort meliputi: Papua Diving (Kri Eco Resort dan Sorido Eco Resort) di Pulau
Kri, Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar dan Papua Paradise Resort di Pulau Batanta
3. Homestay dan kampung-kampung wisata meliputi: homestay di Yenbuba dan Sawingrai; kampung
wisata di Saondarek, Sawingrai, Arborek, Waiweser, dan Marandanweser
4. Akses terdekat dari ibukota Raja Ampat, Waisai
5. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung, meliputi:
a. Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrocephalus)
b. Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca) atau masyarakat Selat Dampier menyebutnya
rowetroyer
c. Paus Bryde (Balaenoptera brydei)
d. Paus Bryde kerdil (Balaenoptera edeni)
e. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus)
f. Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus)
g. Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
h. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris)
i. Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus)
j. Duyung (Dugong dugon)
6. Perikanan tangkap pelagis tradisional dengan tengiri sebagai unggulan
7. Perikanan bagan dengan ikan teri sebagai unggulan
8. Pemantauan burung di Yenwaupnor, Sawinggrai, Sarporkren, Yenbeser dan Waiwo
31
2.3.4 Kofiau
2.3.4.1 Karakteristik Biofisik
Secara geografis kepulauan Kofiau – Boo terletak pada 129°
17,9’ – 129°
58,4’ Bujur Timur dan 1°
09’ – 1°
17’ Lintang Selatan. Kepulauan ini terletak di sebelah utara Pulau Misool atau sebelah barat Pulau
Salawati dan Pulau Batanta. Berdasarkan Perda Raja Ampat No. 27 Tahun 2008, kawasan konservasi
Kofiau-Boo yang mempunyai luasan 170.000 ha terletak pada koordinat 129°
14’ 47’’ BT dan 1°
07’ 37’’
LS menuju ke timur koordinat 129°
59’ 32’’ BT dan 1°
07’ 28’’ LS menuju ke selatan.
Keragaman karang di Kofiau tinggi, ditemukan 292 jenis karang pada 6 titik pengamatan REA (Donnelly
dkk., 2002). Terumbu karang di perairaran ini menunjukkan keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan
dengan terumbu karang di Misool. Untuk ukuran pulau yang kecil seperti Kofiau, keragaman jenis
karangnya merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya.
Kondisi terumbu karang di Kepulauan Kofiau - Boo berdasarkan hasil survei dan monitoring tahun 2008
– 2010, diketahui seluas kurang-lebih 10.724 ha dan terdiri dari beberapa tipe terumbu karang utama
(DeVantier dkk., 2009) yaitu
1) Gosong karang di sebelah utara Pulau Kofiau, sebelah utara Pulau Boo Besar dan sebelah selatan
Pulau Boo Kecil
2) Terumbu karang tepi terletak di sepanjang pantai utara Pulau Kofiau, di sebelah tenggara Pulau
Kofiau
3) Terumbu karang penghalang berada di sepanjang selatan Pulau Boo Besar dan Pulau Boo Kecil
4) Beberapa laguna terdapat di sekitar Pulau Tolobi memiliki karang yang unik dan beragam
5) Atol terdapat di bagian selatan Kepulauan Boo
Selain habitat terumbu karang dijumpai juga hutan mangrove, padang lamun serta habitat peneluran
penyu dan peneluran burung laut, yang merupakan satu kesatuan ekosistem laut di perairan Kofiau.
Hutan mangrove yang diketahui, luasnya sekitar 3.409 ha dan berada di sebelah selatan Pulau Kofiau
serta pulau-pulau kecil lainnya, sedangkan padang lamun yang teridentifikasi luasnya hanya 770 ha di
daerah laguna Pulau Tolobi.
32
Gambar 6 Peta Kawasan Konservasi Wilayah V Kofiau
Berdasarkan hasil temuan saat survei terumbu karang, sering dijumpai dua jenis penyu laut yaitu penyu
hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir dan Lantang, 2009).
Pemantauan darat untuk habitat penyu memberikan informasi tentang 11 pulau kecil yang berpotensi
sebagai pantai peneluran.
Berdasarkan data biofisik di atas, beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya serta
mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Taman Pulau Kecil Kofiau serta dapat dikembangkan di
masa depan dalam pengelolaan kawasan, yaitu:
1) Potensi terumbu karang; luasan terumbu karang di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah 10.724 ha.
Lokasi ini masih asli karena tingkat kerusakan karang sangat kecil. Lokasi ini diusulkan sebagai
daerah larang tangkap dan hanya diperuntukkan bagi pariwisata selam.
33
2) Potensi ikan karang; Ikan-ikan karang seperti kerapu dan Napoleon masih banyak ditemukan di
lokasi-lokasi penyelaman. Kondisi ini sangat mendukung untuk pengembangana wisata bahari,
khususnya wisata selam.
3) Potensi hutan mangrove; kawasan hutan mangrove di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah seluas 770
ha. Hutan mangrove ini selain berfungsi sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan
habitat penting dalam siklus hidup berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, kepiting, dll. Berbagai
jenis ikan karang menjalani hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove.
Selainnya itu hutan mangrove juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea.
Hutan mangrove dapat dimanfaatkan juga sebagai lokasi konjungan wisata terbatas untuk tujuan
pendidikan dan penelitian.
4) Potensi (lokasi) peneluran penyu; terdapat 11 buah pulau yang telah diidentifikasi sebagai lokasi
peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam hidupnya dan
semakin langka diperairan laut Raja Ampat.
5) Potensi (lokasi) peneluran burung laut; Pulau Marmar Kecil di Taman Pulau Kecil Kofiau
merupakan lokasi penting bagi burung-burung laut sebagai tempat bersarang dan bertelur. Bebek laut
banyak ditemukan di Teluk Kofiau.
6) Potensi Perikanan Ikan Komersial; Taman Pulau Kecil Kofiau merupakan lokasi penting bagi
perikanan. Jenis-jenis ikan komersial penting banyak ditangkap di daerah ini seperti ikan kerapu,
kakap, Napoleon, tuna dan ikan-ikan pelagis lainnya. Hutan mangrove di sekitar pulau ini merupakan
tempat bertelur ikan, udang, dan berbagai jenis krustasea sehingga menjadi daerah penyokong
makanan untuk berbagai jenis ikan di wilayah ini.
7) Potensi Budidaya Perikanan; Karakteristik perairan Kofiau sangat mendukung bagi perikanan.
Saat ini masyarakat setempat memanfaatkan wilayah perairan Kofiau sebagai tempat pembesaran
secara terbatas untuk jenis mutiara, kerapu, dan teripang. Sebagian besar masyarakat menggunakan
sistem sasi gereja untuk pembesaran jenis-jenis yang bernilai ekonomis penting. Pembesaran dengan
menggunakan karamba apung digunakan masyarakat untuk memenuhi permintaan ikan hidup. Untuk
kegiatan di masa datang, perikanan budidaya dapat menjadi alternatif di Taman Pulau Kecil Kofiau.
8) Potensi Wisata Alam Bahari; keragaman jenis yang tinggi akan karang dan biota yang berasosiasi
dengannya serta merupakan daerah penting bagi ruaya setasea, Taman Pulau Kecil Kofiau cocok
untuk wisata selam.
34
9) Potensi Wisata Pengamatan Setasea dan Duyung; sebagai tempat perlintasan setasea (paus dan
lumba-lumba) serta menjadi habitat duyung, maka lokasi ini sangat penting untuk perlindungan
bahari. Beberapa jenis setasea dan duyung yang dijumpai di Taman Pulau Kecil Kofiau yaitu
a) Paus sperma (Physeter macrocephalus)
b) Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca).
c) Paus Bryde (Balaenoptera brydei)
d) Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus)
e) Lumba-lumba hidung botol Indopasifik (Tursiops aduncus)
f) Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens)
g) Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris)
h) Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus)
i) Duyung (Dugong dugon)
10) Potensi sasi; masyarakat Kofiau memiliki budaya sasi yaitu upaya pelestarian secara tradisional
berdasarkan hukum adat yang diberlakukan dalam jangka waktu tertentu (biasanya 1 – 3 tahun) untuk
melindungi jenis-jenis penting tanaman pangan atau biota komersial penting (seperti teripang, udang,
kima, ataupun lola-Trochus). Sasi bertujuan untuk memberikan kesempatan pada jenis target penting
berkembang-biak di alam sehingga populasi jenis tersebut terjaga dan/atau bahkan meningkat.
Pemanenan jenis yang disasi dapat dilakukan apabila hasil pemantauan tokoh adat terhadap jenis
tersebut menunjukkan ukuran dan jumlah yang memadai untuk dipanen, maka sasi akan dibuka dan
anggota masyarakat dapat memanen hasil sasi. Konsep pengelolaan tradisional sasi dapat menjadi
dasar untuk memadukan pengelolaan konservasi modern dan pengelolaan tradisional di Taman Pulau
Kecil Kofiau.
11) Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Kofiau adalah masyarakat yang sangat religius serta
memiliki ikatan adat-istiadat yang sangat kuat terutama terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya.
Upacara adat dan ritual penting keagamaan, seperti saat penutupan dan pembukaan sasi yang dihadiri
oleh seluruh komunitas mayarakat adat, menjadi daya tarik untuk promosi wisata budaya di Kofiau.
35
2.3.4.2 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya
Demografi
Penduduk Kofiau berdasarkan data pada tahun 2008 berjumlah 2.579 jiwa, dan tersebar di 3 kampung
besar, yaitu Kampung Deer, Kampung Dibalal dan Kampung Tolobi. Mayoritas penduduk adalah suku
Beteuw. Suku ini adalah salah satu suku asli di Papua yang bermigrasi dari Pulau Biak ke Kepulauan
Raja Ampat dan menetap di Kofiau pada puluhan tahun yang lalu. Komposisi jumlah penduduk dan
kepala keluarga di Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1 Jumlah penduduk di Taman Pulau Kecil Kofiau
No Kampung
Penduduk
KK Jiwa Sub Total
1 Deer 204 1092 1092
2 Dibalal 174 828 828
3 Tolobi 132 659 659
Total 510 2.579 2.579
(Sumber : Data Distrik Kofiau, 2007)
Beberapa marga asli dari suku Beteuw yang hidup di Pulau Kofiau antara lain adalah marga Ambrauw,
Watem, Mambrasar, Dimara, Umpaim, Mayor, Mambraku, Waropen, Mandurun, Kalapain, Kapitarau
dan Meosido. Saat ini sudah mulai terjadi percampuran suku dari para pendatang atau akibat perkawinan
dengan suku setempat. Beberapa suku pendatang di Distrik Kofiau yang terdata adalah suku Menui dan
Toraja (Sulawesi), Batak (Sumatera), dan suku Biak (Papua daratan).
Masyarakat Kofiau sebagian besar tamat sekolah dasar, hanya sedikit saja yang melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Data pemantauan persepsi tahun 2005 menunjukkan hanya seperlima dari
responden survey melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah ke atas (Hess dkk., 2011). Anggota
masyarakat yang merantau ke luar kampung asal bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tentara, polisi, dan
karyawan swasta di beberapa ibukota kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam strata sosial,
suku Beteuw Kofiau memiliki tingkatan yang lebih tinggi karena keberhasilan dan keuletannya bekerja.
Perekonomian
Keadaan ekonomi masyarakat di pulau Kofiau tergolong rendah sampai sedang. Sumber pendapatan
utama masyarakat diperoleh dari hasil pertanian kelapa (kopra) dengan harga di kampung Rp. 2.500,00
per kilogram dan minyak kelapa Rp. 15.000,00 per liter, kakao Rp. 12.500 per kilogram, sedangkan hasil
yang diperoleh sebagai nelayan umumnya untuk dikonsumsi sendiri.
36
Pada tahun 2003 saat penangkapan ikan hias sangat marak, Pulau Kofiau menjadi salah satu lokasi
penangkapan ikan hias dengan menggunakan obat bius. Harga tangkapan ikan sangat rendah sekitar Rp.
3.000,00 – 5.000,00 per ekor untuk ikan hias, sedangkan ikan kerapu hidup dapat dijual dengan harga Rp.
10.000,00 - 15.000,00 per kilogram. Ikan asin dibeli dengan harga Rp. 10.000,00 per kilogram. Usaha
penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Menui dari Sulawesi.
Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola, dan lobster, banyak ditemukan
di Kofiau. Tetapi seiring dengan bertambahnya nelayan dari luar yang beroperasi di Kofiau, dengan
mendapatkan izin dari kepala kampung atau tokoh adat setempat, menyebabkan turunnyapopulasi biota
laut penting tersebut dengan cepat. Dampak negatif perekonomian ini dirasakan oleh masyarakat
setempat. Kesadaran masyarakat timbul akan pentingnya melindungi biota laut bernilai ekonomi tinggi
dengan melakukan sasi atau pelarangang untuk meningkatkan populasi spesies penting seperti teripang,
lola, dan lobster.
2.3.4.3 Permasalahan
Secara umum Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan karena
masyarakat yang mendiami kawasan pulau ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan
mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang terdapat di sekitar kawasan konservasi ini.
Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk melakukan patroli
pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak boleh menangkap ikan di daerah
ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
Permasalahan yang umum dan sering kali ditemukan di masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
kawasan ini disebabkan oleh tingkat pemanfataan yang berlebihan sebagian besar dari nelayan-nelayan
dari luar, baik dari Kabupaten Sorong maupun dari luar provinsi Papua Barat, yaitu dari Ternate,
Halmahera, dan Sulawesi Selatan. Permasalahan itu antara lain adalah :
Alat tangkap merusak
Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan terjadi di Kofiau. Penggunaan bubu, bius, sianida
dan bom. Hasil pemantauan sumber daya pada tahun 2006, 2007 dan 2008 menunjukkan bahwa
penggunaan kompresor mengalami penurunan drastis sepanjang tahun dan penggunaan bom dan
sianida hanya terjadi pada tahun 2007 oleh satu orang nelayan Tolobi (Muljadi, 2009). Perikanan
tangkap dengan cara merusak membahayakan populasi jenis-jenis ikan dan tertangkapnya hewan
yang dilindungi, serta rusaknya habitat terumbu karang. Kompresor digunakan untuk menyelam pada
37
kedalaman 10 – 20 meter untuk menangkap teripang, lobster dan jenis-jenis moluska komersial.
Beberapa nelayan asal Sorong masih melakukan pemboman di daerah Kofiau. Penangkapan biasanya
menggunakan kapal bermesin 40 PK. Modus penangkapan dilakukan saat masyarakat kampung
mengikuti ibadah gereja pada hari Minggu.
Penangkapan Berlebihan
Penangkapan berlebihan biasanya dilakukan dengan menggunakan pukat harimau, pukat pantai,
rawai, dan sebagainya. Alat-alat ini menyebabkan ada jenis hewan tertentu tertangkap secara tidak
sengaja misalnya penyu, lumba-lumba dan duyung. Penangkapan hiu dengan rawai bertujuan untuk
mengambil sirip dan ekornya, sementara bagian tubuh lainnya hanya dibuang.
Penyalahgunaan Izin Penangkapan
Dari beberapa kasus penangkapan nelayan luar di Kofiau oleh kapal patroli gabungan dengan Kapal
Motor (KM) Imbekwan, ditemukan beberapa dokumen ijin penangkapan yang disalah-gunakan oleh
nelayan, misalnya dalam dokumen disebutkan tidak boleh menangkap ikan di TPPKD Selat Dampier
dan Kawe, lalu nelayan tersebut menangkap ikan di Kofiau atau Misool. Juga terdapat kasus
penyalahgunaan surat izin penangkapan yang dikeluarkana oleh DKP Sorong untuk beroperasi di
wilayah perairan Sorong tetapi dipergunakan untuk menangkap di wilayah perairan Kofiau. Beberapa
nelayan memiliki ijin untuk menangkap di Halmahera, Ternate dan perairan Sulawesi Selatan tetapi
pada prakteknya nelayan-nelayan ini melakukan aktifitas penangkapan di Kofiau.
Pengawasan dan penegakkan hukum
Pengawasan dan penegakan hukum adalah permasalahan klasik yang dialami di semua kawasan
konservasi laut di Indonesia termasuk di Kofiau. Khusus di Kofiau, masyarakat memiliki komitmen
untuk melakukan pengawasan secara swadaya di setiap kampung. Kekecewaan timbul di masyarakat
yang melakukan patrol karena tidak ada proses hukum oleh aparat penegak hukum setelah
penangkapan dilakukan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi pasif untuk melakukan tindakan
untuk membantu karena kekhawatiran penegakkan hukum tidak akan berjalan sesuai yang
diharapkan. Sebagai sebuah Kabupaten Konservasi, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mempunyai
tugas penting untuk menindaklanjuti kasus pengawasan dan penegakkan aturan di wilayah Taman
Pulau Kecil Kofiau.
38
2.3.5 Misool
2.3.5.1 Potensi Biofisik
Kawasan konservasi Misool sebagai wilayah IV TPPKD Raja Ampat memiliki luas 366.000 hektar,
terletak di 3 distrik yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool Selatan dan Distrik Misool Barat. Status
hukum Taman Pulau Kecil Misool ditetapkan dengan Perda Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008
tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Posisi geografis kawasan Taman
Pulau Kecil Misool meliputi kawasan yang dihubungkan dengan batas sebelah Utara pada koordinat 130o
27’ 23’’ BT dan 1o
49’ 57” LS, menuju Timur Laut pada koordinat 130o
29’ 55’’ dan 1o
49’ 40” LS,
kemudian ke bagian tenggara dengan koordinat 130o
51’ 46’’ BT dan 1o
50’ 05’’ LS, menuju tenggara ke
titik koordinat 131o
03’ 09’’ BT dan 2o
16’ 12’’ LS, kemudian ke barat pada koordinat 130o
03’ 23’’ BT
dan 02 16’ 13’’ LS dan ke Utara pada koordinat 130 03’ 23” BT dan 02 01’ 38” LS, selanjutnya menuju
ke titik awal batas mengikuti garis pantai pada batas pasang tertinggi.
Gambar 7 Peta Kawasan Konservasi Wilayah IV Misool
39
Terdapat 6 habitat karang di Taman Pulau Kecil Misool (DeVantier dkk., 2009). Kurang lebih 339 jenis
karang keras ditemukan di 8 titik pengamatan Misool (Donnelly dkk., 2002). Habitat-habitat hamparan
karang yang paling menarik dan luar biasa dijumpai di dalam dan di sekitar punggung bukit pulau-pulau
yang memanjang dari Misool. Punggung bukit karst yang terjal dan berupa patahan memanjang ke arah
timur bertemu dengan terusan tegak lurus terhadap arah utara-selatan, menyebabkan arus-arus pasang
yang bergerak di sekitar punggung bukit bergerak cepat maju dan mundur melalui terusan-terusan yang
ukurannya sempit. Pada lokasi dimana bukit karst berbatasan dengan laut, serambi bukit yang terpotong
oleh arus menciptakan kondisi yang unik bagi habitat dan pengelompokkan beragam jenis karang yang
luar biasa. Dengan kondisi khusus ini, banyak jenis-jenis karang keras dan lunak yang biasanya
ditemukan di laut dengan cahaya terbatas dapat hidup di kedalaman yang dekat permukaan. Arus-arus
yang bergerak cepat membawa asupan hara yang mencukupi bagi pertumbuhan karang lunak (soft coral)
dari keluarga Dendronephthea yang berlimpah di perairan dangkal Misool.
Keunikan kawasan Taman Pulau Kecil Misool terletak pada bentang alam yang spektakuler dengan
kepulauan batu kapur yang berasosiasi langsung dengan sistem dan keragaman terumbu karang kompleks
di Raja Ampat. Kawasan ini pun memiliki setidaknya empat puluh danau air asin yang berperan penting
dalam perlindungan biota endemis (Becking, 2011). Kawasan ini kaya akan tipe habitat meliputi gunung
laut, karang tepi, dan karang datar, laguna yang tertutup maupun semi tertutup, danau air asin, padang
lamun, hutan mangrove, dan pantai berpasir (Donnelly dkk., 2002).
Keberadaan ekosistem terumbu karang ini semakin menarik karena dihuni tidak kurang 300 jenis ikan
(Donnelly, 2002) lumba-lumba dan duyung (Dugong dugon) yang sering ditemukan di lokasi ini. Hutan
mangrove yang tercatat terdapat di kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap dan Tomolol.
Data yang diperoleh dari kegiatan pemantauan karang menunjukkan bahwa sering kali ditermukan dua
jenis penyu yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir and
Lantang, 2009). Hasil pemantauan empat kelompok Patroli Perlindungan Penyu dari Kampung Fafanlap,
Yellu, Lilinta dan Kapatcol di 20 lokasi pengamatan pada bulan Oktober dan November 2010
menemukan bahwa pantai peneluran potensial terdapat di Pulau Yan yang terletak di antara Kampung
Kapatcol dan Lilinta. Masyarakat mengusulkan daerah ini sebagai daerah perlindungan penyu.
Berdasarkan data biofisik diatas, maka beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya
serta mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Misool serta dapat dikembangkan dimasa depan
dalam pengelolaan kawasan, yaitu :
40
1. Potensi terumbu karang; Misool memiliki keragaman jenis karang paling tinggi, sebanyak 339
jenis karang tercatat pada survei REA tahun 2001. Lokasi – lokasi ini masih asli karena tingkat
kerusakan karang sangat kecil. Banyak lokasi yang diusulkan sebagai daerah larang tangkap dan
hanya diperuntukan bagi pariwisata selam.
2. Potensi ikan karang; dengan luas areal karang yang cukup besar maka maka potensi biomassa
ikan karang cukup tinggi. . Beberapa jenis ikan dilindungi seperti ikan Napoleon, dan jenis ikan
karang lainnya ditemukan dalam jumlah banyak pada setiap lokasi penyelaman. Kekayaan jenis ini
menjadikan wilayah perairan Misool penting bagi keberlanjutan produktifitas ikan di seluruh
kawasan konservasi perairan juga berpotensi bagi wisata selam.
3. Potensi hutan mangrove; hutan manggrove cukup luas di Misool penyebarannya, mulai dari
daerah Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap serta Tomolol. Mangrove ini selain berfungsi
sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan habitat penting dalam siklus hidup
berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, dan kepiting. Berbagai jenis ikan karang menjalani
hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove. Selainnya itu hutan mangrove
juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea. Hutan mangrove dapat
dimanfaatkan juga sebagai lokasi kunjungan wisata terbatas untuk tujuan pendidikan dan
penelitian.
4. Potensi (lokasi) peneluran penyu: terdapat 20 lokasi yang telah diidentifikasi sebagai lokasi
peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata). Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam
hidupnya dan semakin langka diperairan laut Raja Ampat.
5. Potensi (lokasi) peneluran burung laut; di beberapa pulau di Misool menjadi tempat persarangan
dan peneluran burung-burung laut. Hal ini penting untuk perlindungan berbagai spesies burung
laut.
6. Potensi Perikanan Pelagis; Taman Pulau Kecil Misool merupakan lokasi penting bagi
penangkapan ikan kerapu, tuna serta ikan puri (anchovies). Beberapa spesies ikan seperti kerapu,
kakap merah, Napoleon, tuna, cakalang dan tenggiri adalah jenis komersial penting yang banyak
ditangkap di wilayah ini. Keberadaan hutan bakau yang baik di Misool menjadi habitat penting
bagi tempat bertelur ikan, udang, dan jenis-jenis avertebrata lainnya yang memungkinkan untuk
41
ketersediaan stok makanan bagi berbagai jenis ikan pemangsa lainnya di wilayah Taman Pulau
Kecil Misool.
7. Potensi Budidaya Perikanan. Saat itu kawasan perariran Taman Pulau Kecil Misool di beberapa
tempat telah dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara dan rumput laut. Masyarakat setempat
memanfaatkan sejumlah lokasi sebagai lokasi sasi untuk pembesaran jenis-jenis teripang dan lola.
Budidaya ikan ekonomis penting sangat berpotensi untuk dilakukan di TPPKD ini.
8. Potensi Wisata Alam Bahari. Karena memiliki luasan areal terumbu karang yang luas serta
berbagai tipe habitat, antara lain : terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, pesisir pantai
peneluran penyu, peneluran burung laut, dan pulau-pulau kecil yang panoramanya masih asli,
maka potensi ini dapat dikembangkan sebagai salah satu tujuan paket wisata bahari.
9. Potensi Wisata Pengamatan Setasea, Duyung dan Manta; Taman Pulau Kecil Misool
merupakan daerah perlintasan setasea yang penting di jejaring TPPKD Raja Ampat. Jenis
karismatik yang ditemui di wilayah Misool adalah lumba-lumba, paus, duyung, dan pari manta.
10. Potensi Sasi; masyarakat di Taman Pulau Kecil Misool masih menjalankan sasi. Ritual
pembukaan dan penutupan menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata. Sasi berpotensi untuk
melestarikan jenis-jenis penting baik ikan, tanaman pangan, dan jenis-jenis moluska yang dipanen
oleh masyarakat. Dalam perancangan dan pengelolaan wilayah Taman Pulau Kecil Misool, sasi
dapat dipadukan dengan upaya konservasi konvensional. Pembukaan sasi, saat masyarakat
setempat bisa memanen hasil, dilakukan pada umumnya pada bulan Oktober sampai dengan bulan
Januari.
11. Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Misool adalah masyarakat yang masih kuat memegang
adat istiadat terutama suku Matbat. Upacara keagamaan dan ritual budaya masih dilakukan di sini.
Beberapa gua keramat serta tempat-tempat yang dikeramatkan banyak terdapat di Misool. Gua-
gua tersebut menunjukkan nilai seni yang bersumber dari sejarah, adat-kebiasaan leluhur
masyarakat Misool. Keunikan gua-gua yang berada di gunung kapur Misool dapat menjadi daya
tarik pariwisata tersendiri.
42
2.3.5.2 Karakteristik Sosial dan Budaya
Demografi
Terdapat 3 distrik di wilayah Taman Pulau Kecil Misool yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool
Barat dan Distrik Selatan. Terdapat 13 kampung di dalam Taman Pulau Kecil Misool. Kampung-
kampung yang berada di wilayah Misool Selatan meliputi kampung Harapan Jaya, Yellu, Dabatan,
Kayarepop dan Fafanlap. Sedangkan di Distrik Misool Barat meliputi kampung Kayarepop, Lilinta, Biga,
Gamta dan Magei. Distrik Misool Timur meliputi kampung Usaha Jaya, Tomolol dan Folley, 12 kampung
terletak dalam wilayah Taman Pulau Kecil Misool sedangkan 1 kampung yakni kampung Folley di zona
penyangga.
Tahun 2008, hanya terdapat 10 kampung namun pada tahun 2010 terjadi pemekaran dari kampung Yellu
dibagi menjadi 3 kampung yakni kampung Yellu, Dabatan dan Kayarepop. Kampung Dabatan yang baru
menjadi ibukota Distrik Misool Selatan saat ini.
Jumlah penduduk yang terbesar saat ini terdapat di kampung Yellu. Keberadaan tiga perusahaan mutiara
di Kampung Yellu menarik minat penduduk untuk tinggal dan mencari kerja. Sebagian besar pekerjanya
adalah perempuan. Ketiga perusahaan mutiara tersebut adalah Lima, perusahaan mutiara Kabalam dan
perusahaan mutiara Mate. Kebanyakan penduduk adalah penduduk migran yang mencari kerja di
perusahaan mutiara Misool berasal dari Halmahera, Kei, Ambon dan Seram.
Masyarakat di pulau bagian selatan Misool terdiri dari dua suku besar yakni masyarakat Matbat dan
Matlol, yang sejalan dengan perkembangan terjadi percampuran dari kedua suku ini. Masyarakat Matbat
mendiami Kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei dan Tomolol, dan masih memegang adat istiadat
dengan kuat.
Pendidikan
Hampir semua kampung di wilayah Taman Pulau Kecil Misool memiliki fasilitas sekolah dasar enam
tahun, namun terkendala oleh terbatasnya jumlah guru yang mengajar di sini. Praktek yang umum terjadi
adalah keterlibatan aparat desa atau para sukarelawan yang datang membantu untuk mengajar di sekolah.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat di Kampung Lilinta, Fafanlap, Folley dan Magei. Saat ini
sudah dibangun SMP di Kampung Dabatan dan juga SD dengan pola asrama di Kampung Folley.
Sedangkan Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat hanya di 3 kampung yakni Folley, Lilinta dan
Fafanlap.
43
Saat ini telah dibangun SMP teladan di Kampung Dabatan dan telah dibangun juga SMP pola asrama di
Kampung Folley. Kebanyakan siswa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Kota Sorong. Namun
ada juga yang melanjutkan kuliahnya ke Jayapura, Makasar atau ke Pulau Jawa.
Tabel 2 Data Penduduk di Distrik Misool Timur, Barat dan Selatan (Mei 2010)
No Distrik (Kecamatan) Kampung (Desa) Jumlah KK
Jumlah
Laki-laki Perempuan Total
1 Misool Timur
1 Folley 80 223 225 448
2 Tomolol 90 220 186 406
3 Usaha Jaya 53 113 98 211
2 Misool Selatan
1 Harapan Jaya 76 186 184 370
2 Yelu 260 622 641 1,263
3 Fafanlap 160 378 347 725
4. Dabatan 22 55 48 103
5.Kayarepop 25 60 50 110
3 Misool Barat
1.Gamta 28 57 52 109
2.Magey 26 68 57 125
3.Biga 69 187 155 342
4 Lilinta 101 257 236 493
5. Kapacol 29 76 78 154
TOTAL 1019 2502 2357 4859
Sumber: Data Statistik Distrik, 2010
Kesehatan
Penyebaran jenis penyakit dan masalah kesehatan masyarakat
Jenis penyakit yang sering diderita masyarakat Misool adalah diare, malaria tropika (falsiparum) dan
malaria tertiana. Pada beberapa kasus ditemukan juga penyakit infeksi paru-paru Tuberculosa (TBC)
yang diderita oleh pasien usia produktif (TNC dan MER-C, 2008). Keterbatasan tenaga dokter, pola
hidup masyarakat dan keterbatasan obat-obatan merupakan permasalahan kesehatan di wilayah Taman
Pulau Kecil Misool. Penyebaran penyakit di wilayah ini seringkali bersumber dari ketersediaan air bersih
dan jamban. Penyakit diare seringkali mewabah pada musim pancaroba.
Sarana dan Prasaranan Pelayanan Kesehatan
Sarana kesehatan di ketiga distrik yang terdiri dari 14 kampung dalam kawasan Taman Pulau Kecil
Misool kondisi dan keberadaannya bervariasi. Bebeberapa kampung memiliki sarana kesehatan berupa
pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan Puskesmas Pembantu (PUSTU). Meski wilayah ini telah
44
dimekarkan menjadi tiga distrik, namun baru tersedia satu puskesmas yang terletak di distrik induk yaitu
di Kampung Folley, Dabatan dan Yellu. Sebaliknya ada juga kampung yang tidak memiliki sarana
puskesmas maupun pustu. Keberadaan pusat kesehatan belum tentu diiringi oleh ketersediaan medis di
lapangan. Beberapa kampung juga sudah memiliki pos pelayanan terpadu (POSYANDU), namun
demikian tidak semua pos tersebut memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu, anak, dan balita.
Keterbatasan tenaga medis yang bertugas di wilayah Taman Pulau Kecil Misool menjadi permasalahan
lain. Hanya tersedia satu orang dokter yang bertugas untuk melayani masyarakart di seluruh distrik
Taman Pulau Kecil Misool.
Obat-obatan yang merupakan kebutuhan penting dalam pelayanan kesehatan juga tidak cukup tersedia.
Banyak bidan dan perawat sering kesulitan menangani pasien akibatnya kurang tersedianyan obat-obatan
di puskesmas atau pustu. Banyak pasien yang harus dirujuk ke kota karena kurang tersedianya obat-
obatan padahal pasien bisa saja ditangani di puskesmas atau pustu.
Memperhatikan kualitas hidup masyarakat di Misool, pembangunan di wilayah ini juga harus
memperhatikan aspek kesehatan masyarakat. Dibutuhkan setidaknya tiga orang dokter, tambahan bidan
dan perawat yang dapat melayani tiga distrik di Misool yang disertai dengan ketersediaan pasokan obat
dan sarana kesehatan yang baik bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Perekonomian Lokal
Masyarakat yang tinggal di wilayah Taman Pulau Kecil Misool bekerja sebagai petani, nelayan, dan
karayawan pada perusahaan mutiara. Kegiatan penangkapan ikan, pengambilan teripang, bia dan lola
untuk dijual di pasar setempat.
Moluska bernilai ekonomis penting bagi masyarakat di Raja Ampat. Bia lola (susu bundar – Trochus
niloticus) di pasar tradisional setempat berkisar antara Rp. 25.000,00 – Rp. 35.000,00 per kilogram.
Teripang malam (Holothuridae) dihargai sebesar Rp. 40.000,00 per kilogram, teripang gosok dan teripang
minyak Rp. 70.000,00 per kilogram, dan teripang tewer seharga Rp. 175.000,00 per kilogram. Lobster
menjadi komoditas penting bagi perekonomian masyarakat. Harga pasaran berkisar antara Rp.
120.000,00 per kilogram untuk jenis lobster bambo dan lobster setan sampai dengan Rp. 200.000,00 per
kilogram untuk jenis udang hias (TNC, 2010).
Pada musim laut tenang (setelah musim selatan antara Juli – September) masyarakat di Misool mulai
berkegiatan untuk menangkap ikan dan membuka sasi. Sasi lola dan teripang dibuka oleh pemegang hak
ulayat setempat dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat dari wilayah sasi berada.
45
2.3.5.3 Permasalahan
Secara umum pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Pulau Kecil Misool dapat dikelola dengan
baik dan berkelanjutan karena masyarakat yang mendiami kawasan ini memiliki komitmen yang kuat
untuk menjaga dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang ada di sekitar kawasan
konservasi ini. Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk
melakukan patroli pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak menangkap
ikan di daerah ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
Beberapa permasalahan yang terjadi di Taman Pulau Kecil Misool adalah:
Penggunaan alat tangkap yang merusak dan tidak ramah lingkungan
Masih ditemukan penggunaan kompresor untuk mencari teripang bukan saja nelayan lokal namun
juga ditemukan nelayan dari luar seperti masyarakat pulau wejim bahkan nelayan dari Madura.
Penggunaan Bubu yang berukuran besar juga ditemukan. Pengguna bubu ini berasal dari Sorong dan
Menui (Sulawesi) tetapi dikoordinir oleh oleh nelayan lokal. Target utama bubu adalah untuk
penangkapan ikan kerapu yang mempunyai nilai jual yang tinggi karena menjadi target perdagangan
ikan hidup di Misool. Bubu yang ditemukan di Taman Pulau Kecil Misool berukuran sangat besar
dengan panjang 2 meter, lebar 1 meter, tinggi 1 meter, dan sangat berpotensi merusak terumbu karang
tempat dipasangnya bubu. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh penggunaan pemberat dari
karang hidup atau karang yang secara langsung tertimpa oleh bubu yang berat, alat ini juga
didentifikasi dapat menyebabkan over fishing atau penangkapan berlebih karena ukuran yang besar
dan jumlah yang banyak.
Penangkapan berlebihan
Penangkapan ikan berlebihan ini dilakukan kebanyakan dari nelayan dari luar Misooll seperti dari
Sorong, Seram, Madura dan bahkan Buton. Seperti Nelayan ini melakukan penangkapan ikan hiu
dengan alat tangkap Rawai Dasar. Selain itupula adanya bagan-bagan puri yang melakukan
penangkapan puri untuk kapal-kapal mincing tuna dalam TPPKD.
Penangkapan Jenis yang Dilindungi
Selama tim patroli melakukan patroli sering menemukan kelompok nelayan yang melakukan
penangkapan penyu. Penangkapan penyu dilakukan oleh beberapa kelompok nelayan asal Misool
maupun nelayan dari luar. Alasan untuk memenuhi kebutuhan makan dan untuk memenuhi kebutuhan
acara suatu perayaan adat di Kampung. Lima jenis penyu yang sering ditemukan di seluruh perariran
46
Indonesia statusnya adalah hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999.
Penyalahgunaan Izin Penangkapan dan Penangkapan Ilegal
Penangkapan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool dalam beberapa kasus dilakukan dengan
menggunakan izin yang tidak seharusnya. Hasil /pemantauan pemanfaatan surmberdaya pada tahun
2008 menunjukkan bahwa penyalagunaan izin penangkapan terjadi saat nelayan menggunakan izin
penangkapan di wilayah selain Taman Pulau Kecil Misool dan menggunakan izin alat tangkap yang
seharusnya tidak beroperasi di wilayah Taman Pulau Kecil Misool.
Pengawasan dan penegakkan aturan
Berdasarkan hasil pemantauan Tim Patroli Raja Ampat, masih terdapat beberapa kasus
penyalahgunaan izin penangkapan yang dipergunakan bagi beberapa kapal dan izin yang kadaluarsa.
Ketidakpahaman nelayan akan keterangan yang tertera dalam surat izin penangkapan menyebabkan
beberapa nelayan melaukan pelanggaran penangkapan ikan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool.
Kekurangpahaman kepala kampung atau tokoh adat terhadap prosedur perizinan mengakibatkan
permasalahan sosial di masyarakat. Pada beberapa lokasi, kepala kampung mengeluarkan izin
penangkapan ikan kepada nelayan yang berasal dari luar TPPKD untuk dapat menangkap di dalam
wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Praktek seperti ini dapat merugikan nelayan setempat karena
peningkatan intensitas persaingan pemanfaatan sumberdaya laut di dalam wilayah TPPKD, yang
sebenarnya hanya sedikit saja pihak yang mendapat keuntungan dari dikeluarkannya surat izin
tersebut.
47
3. Arah Kebijakan Pengelolaan
Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat merupakan sebuah jejaring dari lima Kawasan
Konservasi Perairan Daerah yang ditetapkan dengan tujuan untuk membentuk kawasan laut dan pesisir
yang dilindungi dan berfungsi untuk mempertahankan fungsi reproduksi dan stok ikan, sebagai kawasan
wisata bahari yang ramah lingkungan, sebagai kawasan bagi pengembangan sosial ekonomi masyarakat
yang dimanfaatkan secara lestari, dan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan pengembangan di
Kabupaten Raja Ampat.
Pembentukan kawasan konservasi Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau dan Misool
dilakukan berdasarkan Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008
tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat. Penamaan kelima kawasan konservasi ini
mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 dan Undang-Undang No.
27 Tahun 2007 sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat. Dalam upaya pengelolaan
TPPKD Raja Ampat yang mencakup luasan hampir 80% dari wilayah Kabupaten Raja Ampat, PEMDA
Raja Ampat menetapkan pembentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPPKD yang berada di
bawah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat berdasarkan Peraturan Bupati No. 16 Tahun
2009 dan Peraturan Bupati No. 7 Tahun 2011.
Dalam menentukan arah pengelolaan sumberdaya laut hayati jangka panjang di seluruh wilayah Taman
Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat diperlukan kerangka arahan kebijakan pengelolaan yang menjadi
panduan dalam pelaksanaan program. Arahan pengelolaan ini tidak hanya semata-mata mencakup
pengelolaan kelima kawasan konservasi sebagai sebuah TPPKD Raja Ampat, namun juga mencakup
arahan kerjasama pengelolaan antara TTPKD Raja Ampat dengan KKPN yang terdapat di Raja Ampat
yaitu SAP Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat sebagai sebuah jejaring KKP di Raja Ampat
3.1 Visi dan Misi
Visi pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah terwujudnya tata kelola jejaring TPPKD Raja Ampat
sebagai sarana peningkatan produksi perikanan dan jasa jasa kelautan serta wisata bahari secara
berkelanjutan demi tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat.
48
Misi pengelolaan adalah
(1) Penataan kawasan melalui sistem zonasi
(2) Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat
(3) Pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan lokal masyarakat
(4) Pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat
(5) Penguatan kearifan lokal untuk mendukung pengelolaan TPPKD secara berkelanjutan
(6) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan TPPKD
(7) Pembangunan kerjasama pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN
Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat
3.2 Tujuan dan Sasaran Pengelolaan
Tujuan pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah untuk
1) Memanfaatkan kawasan pesisir pulau-pulau kecil dalam TPPKD sesuai peruntukkan
berdasarkan zona yang telah ditetapkan.
2) Menumbuhkembangkan sumber mata pencaharian baru seperti budidaya laut, pengolahan hasil
laut dan ekonomi kreatif.
3) Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
alam.
4) Mengembangkan teknologi tepat guna bagi masyarakat untuk peningkatan ekonomi masyarakat.
5) Menerapkan dan melestarikan nilai – nilai kearifan lokal dalam pengelolaan TPPKD.
6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TPPKD.
7) Mengembangkan kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan
KKPN Raja Ampat sebagai jejaring KKP Raja Ampat.
Sasaran yang ingin dicapai dari pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah:
1) Terkelolanya lima TPPKD sesuai peruntukkannya yakni di KKDP Selat Dampier, TPPKD
Teluk Mayalibit, TPPKD Ayau Asia, Taman Pulau Kecil Kofiau dan Taman Pulau Kecil Misool.
2) Adanya pengembangan sumber-sumber mata pencaharian baru dalam hal budidaya laut,
pengolahan hasil laut dan ekonomi kreatif.
3) Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di kelima TPPKD.
4) Tersedianya teknologi tepat guna yang dapat diterapkan oleh masyarakat.
5) Teradopsinya nilai – nilai kearifan lokal sebagai model pengelolaan di kelima TPPKD.
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat
Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat

More Related Content

What's hot

Parque Nacional do Jau
Parque Nacional do JauParque Nacional do Jau
Parque Nacional do JauHanas Yordi
 
Tentang sumber daya laut
Tentang sumber daya lautTentang sumber daya laut
Tentang sumber daya lautmineshaft12
 
Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) akb78
 
140304 presentasi penyu
140304 presentasi penyu140304 presentasi penyu
140304 presentasi penyuVeda Santiaji
 
INVENTARISASI JENIS- JENIS IKAN KARANG
INVENTARISASI  JENIS- JENIS IKAN KARANGINVENTARISASI  JENIS- JENIS IKAN KARANG
INVENTARISASI JENIS- JENIS IKAN KARANGAmos Pangkatana
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritimanBunda Rara
 
Makalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangMakalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangAdy Purnomo
 
Ekonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananEkonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananPT. SASA
 
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alam
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alamTerumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alam
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alamRuwidia Putri
 
Keindahan terumbu karang indonesia
Keindahan terumbu karang indonesiaKeindahan terumbu karang indonesia
Keindahan terumbu karang indonesiaAhmad Fahrizald
 
Sumber Daya Alam (P)
Sumber Daya Alam (P)Sumber Daya Alam (P)
Sumber Daya Alam (P)ESTIOLIM
 
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaSejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaLestari Moerdijat
 

What's hot (20)

Kepiting Bakau
Kepiting BakauKepiting Bakau
Kepiting Bakau
 
Parque Nacional do Jau
Parque Nacional do JauParque Nacional do Jau
Parque Nacional do Jau
 
Tentang sumber daya laut
Tentang sumber daya lautTentang sumber daya laut
Tentang sumber daya laut
 
Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut)
 
Inovasi Kemaritiman
Inovasi KemaritimanInovasi Kemaritiman
Inovasi Kemaritiman
 
140304 presentasi penyu
140304 presentasi penyu140304 presentasi penyu
140304 presentasi penyu
 
INVENTARISASI JENIS- JENIS IKAN KARANG
INVENTARISASI  JENIS- JENIS IKAN KARANGINVENTARISASI  JENIS- JENIS IKAN KARANG
INVENTARISASI JENIS- JENIS IKAN KARANG
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritiman
 
Makalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangMakalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu Karang
 
Paper Ekologi Laut Tropis 2
Paper Ekologi Laut Tropis 2Paper Ekologi Laut Tropis 2
Paper Ekologi Laut Tropis 2
 
Terumbu karang
Terumbu karangTerumbu karang
Terumbu karang
 
MAteri SIG
MAteri SIGMAteri SIG
MAteri SIG
 
Ekonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikananEkonomi kelautan dan perikanan
Ekonomi kelautan dan perikanan
 
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alam
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alamTerumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alam
Terumbu karang kepulauan raja ampat tugas konservasi alam
 
Bab ii baluran
Bab ii baluranBab ii baluran
Bab ii baluran
 
Keindahan terumbu karang indonesia
Keindahan terumbu karang indonesiaKeindahan terumbu karang indonesia
Keindahan terumbu karang indonesia
 
Sumber Daya Alam (P)
Sumber Daya Alam (P)Sumber Daya Alam (P)
Sumber Daya Alam (P)
 
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaSejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
 
Mangrove ppt
Mangrove pptMangrove ppt
Mangrove ppt
 
5. sumber daya laut
5. sumber daya laut5. sumber daya laut
5. sumber daya laut
 

Similar to Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat

Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptx
Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptxWilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptx
Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptxKathrynPanjaitan
 
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampatadetriputra3
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiamasmukriyadi
 
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptxPPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptxSuBagio6
 
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTB
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTBPertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTB
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTBBudiatman Dani
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveerikakurnia
 
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...Andi Mahardika
 
Aquatic biodiversity present 2
Aquatic biodiversity present 2Aquatic biodiversity present 2
Aquatic biodiversity present 2aswar hamzah
 
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdfVinnaYasin
 
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_Umar Tangke
 
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Sutrisna Sandi
 
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Mujiyanto -
 
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016hadiarnowo
 
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannya
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannyaVersi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannya
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannyaMujiyanto -
 
Paparan kasudin keg, terangi
Paparan kasudin  keg, terangiPaparan kasudin  keg, terangi
Paparan kasudin keg, terangiYayasan TERANGI
 
Presentasi Terumbu Karang
Presentasi Terumbu KarangPresentasi Terumbu Karang
Presentasi Terumbu KarangAlfian Muhammad
 
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. okasyawalarkan
 

Similar to Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat (20)

Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptx
Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptxWilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptx
Wilayah Pengelolaan Perikanan 1 & 2.pptx
 
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
 
8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim
 
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptxPPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
 
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTB
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTBPertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTB
Pertemuan Kedua | Budidaya Tiram Mutiara| Potensi Biota Laut Indonesia dan NTB
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
 
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...
Pendahuluan Manajemen Operasional Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kabupaten ...
 
Aquatic biodiversity present 2
Aquatic biodiversity present 2Aquatic biodiversity present 2
Aquatic biodiversity present 2
 
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
 
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
 
EKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUTEKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUT
 
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
 
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
 
Aplikom
AplikomAplikom
Aplikom
 
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016
Bahan tayang pwp3 wt-ddrtp 2016
 
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannya
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannyaVersi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannya
Versi power point kondisi ekosistem terumbu karang serta strategi pengelolaannya
 
Paparan kasudin keg, terangi
Paparan kasudin  keg, terangiPaparan kasudin  keg, terangi
Paparan kasudin keg, terangi
 
Presentasi Terumbu Karang
Presentasi Terumbu KarangPresentasi Terumbu Karang
Presentasi Terumbu Karang
 
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok
(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok
 

Kekayaan Hayati Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat

  • 1. 1 1. Pendahuluan 1. 1 Latar belakang Kepulauan Raja Ampat terletak di Provinsi Papua Barat dengan posisi geografis pada 20 25’ Lintang Utara – 40 25’ Lintang Selatan dan 1300 – 1320 55’ Bujur Timur (Gambar 1). Kepulauan ini membentang seluas 4.600.000 ha yang meliputi wilayah darat dan laut. Lokasinya berada di pintu masuk Arus Lintas Indonesia bagian timur laut yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, menjadi faktor penting bagi kehati Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat juga merupakan wilayah yang penting di kawasan Segitiga Karang Dunia, sebuah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati (kehati) karang tertinggi di dunia, membentang di enam negara termasuk Indonesia. Hasil pendugaan ekologi secara cepat (Rapid Ecological Assessment – REA) yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) dan The Nature Conservancy (TNC) secara berturut-turut pada tahun 2001 dan 2002 menunjukkan kehati laut yang tinggi di Kepulauan Raja Ampat. Wilayah ini menjadi rumah bagi lebih dari 75% jenis karang dunia. Sebanyak 553 jenis karang terdapat di wilayah ekoregion Raja Ampat (Veron dkk, 2009). Angka tersebut menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki kehati karang tertinggi di dunia. Terdapat dua jenis terumbu karang endemik di Raja Ampat dari keluarga Acroporidae yaitu Montipora delacatula dan Montipora verruculosus (DeVantier dkk., 2009). Selain itu, setidaknya 41 jenis dari 90 genus karang lunak Alcyonacean dari 14 Famili ada di wilayah ini (Donnelly dkk., 2002). Wilayah ini juga mendukung keberadaan 699 jenis moluska dan menjadi rumah bagi 5 jenis penyu (McKenna dkk., 2002). Raja Ampat memiliki kehati jenis ikan karang terkaya di dunia. Sebanyak 1.476 jenis ikan karang ada di Raja Ampat termasuk jenis-jenis baru dan hanya ditemukan di wilayah ini (Erdmann dan Allen, 2009). Dengan tingkat keragaman hayati yang begitu tinggi, para ilmuwan menyebut Kepulauan Raja Ampat sebagai jantung Segitiga Karang Dunia. Kepulauan Raja Ampat menjadi rumah bagi 15 jenis mamalia laut yang terdiri dari 14 jenis setasea (paus dan lumba-lumba) dan 1 jenis duyung (Dugong dugon) (Kahn, 2007). Paus sperma (Physeter
  • 2. 2 macrocephalus) dan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah dua dari jenis-jenis setasea yang sering ditemukan di perairan Raja Ampat. Beragam ekosistem darat dan laut terdapat di Kepulauan Raja Ampat termasuk hutan hujan tropis dan savana hingga ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang di wilayah pesisirnya. Karakter kepulauan sangat menononjol dengan adanya atol, pulau-pulau batu kapur (karst), pulau karang, gosong karang (patch reefs), dan gunung laut (seamount). Penelitian yang baru saja dilakukan memberikan informasi bahwa terdapat sebanyak 56 danau air asin di Raja Ampat, yang terbentuk di antara ekosistem batuan kapur karst di Misool dan Wayag (Becking, 2011). Biota yang tinggal di danau air asin menunjukkan endemisme tinggi karena keterpisahannya dari ekosistem asli di laut. Informasi tentang keragaman hayati tumbuhan di Kepulauan Raja Ampat relatif sulit diketahui, tetapi sebagian besarnya sama dengan tumbuhan di Papua Nugini yang telah yang bersifat endemik dan memiliki kemiripan dengan tumbuh-tumbuhan di Maluku (Webb, 2004). Karena sebagian besar daerah di Raja Ampat memiliki ketinggian kurang dari 1.000 meter maka di kepulauan ini tipe tumbuhan menunjukkan karakter hutan dataran rendah. Satu-satunya tumbuhan endemik Raja Ampat yang teridentifikasi adalah Rhododendron cornu-bovis. Sebagai wilayah kepulauan, Raja Ampat memiliki total pulau besar dan kecil sebanyak 610 pulau dengan garis pantai sepanjang 4.860 km. Sebanyak 34 pulau didiami oleh penduduk. Terdapat empat pulau besar di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Pulau Waigeo, Pulau Batanta, Pulau Salawati, dan Pulau Misool. Wilayah yang kaya keragaman hayati ini pun tidak luput dari berbagai ancaman yang bersumber dari kegiatan manusia. Meskipun secara keseluruhan kondisi karang di Raja Ampat relatif baik, tetapi tanda- tanda penggunaan bom dan racun ikan bahkan kondisi tangkap lebih terjadi di sini. Dalam rangka mengupayakan pengelolaan yang lestari dalam jangka panjang, diperlukan informasi yang utuh dan perencanaan tata ruang yang tepat yang memperhatikan aspek konservasi dan pemanfaatan potensi perikanan berkelanjutan dengan memperhatikan kearifan lokal, pendapat, dan kepentingan masyarakat Raja Ampat.
  • 3. 3 Gambar 1 Peta Kepulauan Raja Ampat dan Posisinya di kawasan Segitiga Karang Secara administratif Kepulauan Raja Ampat termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat. Sebagai upaya pengelolaan sumberdaya hayati laut dan ekosistemnya secara berkelanjutan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2008 mengeluarkan Peraturan Daerah No. 27 tentang Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Raja Ampat yang meliputi Kepulauan Ayau-Asia, Selat Dampier, Teluk Mayalibit, Kawe, Kofiau dan Misool. Pada tahun 2009 terjadi penyerahan pengelolaan beberapa Suaka Margasatwa Laut (SML) dan Suaka Alam Laut (SAL) dari Departemen Kehutanan Republik Indoensia kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Satu di antaranya adalah penyerahan SML Kepulauan Raja Ampat dan SML Kepulauan Panjang yang dikenal dengan TPPKD Sayang-Wayag. Berdasarkan Berita Acara Serah- Terima No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan BA.108/MEN.KP/II/2009 maka kedua SML tersebut berubah
  • 4. 4 penamaannya menjadi Suaka Alam Perairan dengan status pengelolaan sebagai Konservasi Perairan Nasional (KKPN). Ketujuh kawasan konservasi perairan tersebut menjalankan fungsi biofisik yang saling mendukung bagi keberlanjutan kehati dan membentuk sebuah jejaring kawasan perlindungan laut di wilayah Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Diperlukan upaya pengelolaan secara terpadu di seluruh kawasan tersebut untuk memastikan jejaring kawasan konservasi ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya. Mengacu pada Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2008 dan berdasarkan Undang Undang No 27 Tahun 2007, kawasan konservasi Kabupaten Raja Ampat dikategorikan kedalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulua Kecil (KKP3K) karena terdapatnya sejumlah pulau-pulau kecil didalam kawasan konservasi ini. Adapun jenisnya sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat yang terdiri dari 5 wilayah kawasan konservasi yaitu Wilayah I Kepulauan Ayau-Asia, Wilayah II Selat Dampier, Wilayah III Teluk Mayalibit, Wilayah IV Misool dan Wilayah V Kofiau. Rencana Pengelolaan ini disusun sebagai arahan dalam pengelolaan ke enam wilayah kawasan konservasi dalam TPPKD Raja Ampat. Pembuatan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat mengacu pada peraturan dan arah pembangunan nasional dan daerah yaitu 1. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, 6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.
  • 5. 5 1.2 Tujuan dan Sasaran Penyusunan Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat bertujuan untuk merancang pedoman pelaksanaan pengelolaan yang menyeluruh dan terpadu bagi pengelolaan yang adaptif dan kolaboratif bagi seluruh TPPKD di wilayah Kabupaten Raja Ampat dengan memperhatikan kelestarian kehati, perikanan yang berkelanjutan, pariwisata bahari, pendidikan dan pelatihan, serta pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Sasaran utama Rencana Pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah sebagai berikut: 1. Memastikan legitimasi penetapan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. 2. Meningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat. 3. Meningkatkan fungsi pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja dengan upaya perancangan sistem zonasi. 4. Meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelola Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat pada tingkat kabupaten, distrik dan kampung atau di tingkat lapangan. 5. Membangun kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Raja Ampat dan KKPN Waigeo Barat dalam konteks jejaring KKP Raja Ampat.
  • 6. 6 2. Potensi dan Permasalahan 2. 1 Potensi Umum Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati laut yang melimpah. Gugusan pulau-pulau kecil ini terletak di ‘jantung’ wilayah Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati karang di dunia dengan beragam biota yang berasosiasi dengannya, seperti ikan dan avertebrata. Sejumlah 553 jenis karang ditemukan di Kepulauan Raja Ampat (Veron dkk., 2009), angka ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang di Raja Ampat adalah yang tertinggi di dunia. Keragaman jenis Moluska (hewan lunak) termasuk tinggi dengan 699 jenis teridentifikasi (Wells dalam Mc. Kenna dkk, 2002). Tercatat 530 jenis siput-siputan (gastropoda), 159 jenis kerang-kerangan (bivalva), 2 jenis scaphoppoda, 5 jenis cumi-cumi (cephalopoda), dan 3 jenis chiton. Jenis-jenis hewan tersebut adalah yang umum ditemukan di daerah karang terlindung. Beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomis antara lain adalah kerang-kerangan, cumi-cumi (Loligo sp.), sotong (Sepia sp.), gurita (Octopus sp.), teripang dan tiram mutiara (Pinctada sp). Kawasan ini juga memiliki jenis kima raksasa (Tridacna gigas) yang berukuran hingga 1,5 m yang dapat ditemukan dengan mudah. Jenis kima Tridacna crocea dan jenis siput Strombus luhuanus melimpah di beberapa lokasi (Wells dalam Mc. Kenna dkk, 2002). Keberadaan kerang ini menjadi indikator bahwa kondisi terumbu karang di wilayah Kepulauan Raja Ampat masih tergolong sehat (McKenna dkk., 2002). Selain itu, Kepulauan Raja Ampat kaya akan jenis-jenis ikan. Hasil penelitian terbaru menunjukkan total 1427 jenis ikan karang ada di sini (Jones et al., 2011). Beberapa jenis ikan adalah jenis unik dan endemik untuk wilayah ekologi Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP). Waigeo merupakan tempat penting bagi hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus), bengkolo sirip biru - Bluefin Trevally (Caranx melampygus), Bubara mata besar – bigeye trevally (Caranx sexfasciatus), ikan bidadari – semicircular angelfish (Pomacanthus semicirculatus), dan ikan sersan mayor – sergeant major (Abudefduf vaigiensis). Jenis-jenis ikan endemik diantaranya adalah (Moringua abbreviate), (Hemiscyllium freycineti), (Apogon leptofasciatus), dan (Callionymus brevianalis).
  • 7. 7 Secara umum jenis lamun yang terdapat di Papua adalah Enhalus acroides, Halodule sp., Halophila sp., Thalassia hemprichii, Cymodocea sp. (Hutomo dalam Dahuri dkk, 2001). Ekosistem padang lamun terdapat di bagian timur, selatan dan barat Pulau Kofiau, sekitar Pulau Ayau, bagian barat Pulau Batanta, sekitar Pulau Gam dan di bagian barat Pulau Waigeo. Sementara rumput laut banyak terdapat di daerah Distrik Misool, Samate dan Waigeo Utara. Komoditas ini telah dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya rumput laut jenis Euchema cottonii. Perairan Raja Ampat juga memiliki beragam jenis udang dan kepiting (krustasea). Jenis udang bernilai ekonomi tinggi adalah udang barong (Panulirus sp.); jenis ini banyak ditemukan di daerah terumbu karang. Selain itu komoditas lainnya adalah kepiting bakau (Scylla serrata) dan rajungan (Portunnus sp.) yang sering ditemukan di dekat hutan bakau. Wilayah gugus pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat juga memiliki kekayaan satwa penyu yang merupakan jenis yang dilindungi, seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Satwa lainnya yang banyak ditemukan di wilayah perairan Raja Ampat adalah mamalia laut (setasea) paus dan lumba-lumba. 2.1.1 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Sektor perikanan merupakan salah satu andalan kegiatan perekonomian di Kabupaten Raja Ampat, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Sebelum Raja Ampat menjadi sebuah kabupaten, sektor perikanan menyumbang pendapatan sebesar tidak kurang Rp 1,5 milyar per tahun bagi Kabupaten Sorong (Atlas Raja Ampat, 2006). Komoditas unggulan lain dari sektor perikanan budidaya di Kabupaten Raja Ampat adalah rumput laut dan mutiara. 2.1.1.1 Demografi Jumlah penduduk di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2.000 sebanyak 27.039 jiwa, sedangkan pada tahun 2006 sebanyak 32.055 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 4 jiwa/km2 . Laju pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2006 adalah 18,6%, dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun adalah 3,9%. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk Papua pada tahun 2000 sebesar 3,2%. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Distrik Waigeo Selatan sebesar 8,7% sedangkan terendah di Distrik Kepulauan Ayau sebesar 0,1% (Atlas Raja Ampat, 2006). Jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Raja Ampat berdasarkan hasil Penilaian Paritisipatif Pedesaan (Participatory Rural Appraisal – PRA) 2005 sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan yaitu sebesar 52.6%. Secara keseluruhan penduduk usia anak-anak (0-14 tahun) merupakan komposisi usia yang mendominasi sebesar 44%, dan jumlah ini hampir setengah dari total penduduk Kabupaten Raja
  • 8. 8 Ampat. Kondisi ini berdampak pada beban usia produktif (15 – 64 tahun) untuk menghidupi penduduk usia anak-anak. 2.1.1.2 Pendidikan Pendaftaran masuk sekolah di wilayah Provinsi Papua Barat berada di bawah rata-rata angka di tingkat nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 berdampak pada tingkat pendaftaran siswa masuk sekolah menurun sebanyak 5%. Setelah diterapkanya sistem otonomi daerah pada tahun 2001, rata-rata tingkat pendaftaran sekolah di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah mengalami peningkatan menjadi secara berurutan 78% dan 50%. Pada tahun 2001 tercatat bahwa sekitar 96% siswa dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi (World Bank dan Pemerintah Provinsi Papua dalam Mollet, 2007). Sebagian besar (98%) penduduk di Kabupaten Raja Ampat mengenyam pendidikan sampai dasar; hampir 70% dari mereka meneruskan ke tingkat pendidikan menengah, meskipun demikian belum tentu mereka menyelesaikan pendidikan tersebut (Hess dkk., 2011). Terdapat sejumlah 80 sekolah dasar, 16 sekolah menengah pertama, 3 sekolah menengah umum diKabupaten Raja Ampat (Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Raja Ampat, 2006). Dengan kompisisi usia sekolah yang tertinggi di Raja Ampat, keterbatasan jumlah dan pengetahuan guru serta jumlah ruang kelas di setiap sekolah masih menjadi permasalahan bagi kualitas pendidikan masyarakat di Raja Ampat. 2.1.1.3 Kesehatan Fasilitas kesehatan secara umum di Kepulauan Raja Ampat masih terbatas. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tersebar di hampir setiap distrik yaitu 3 buah Puskesmas rawat inap di Distrik Waigeo Selatan, Waigeo Utara, dan Distrik Misool, dan 5 Puskemas rawat jalan. Puskesmas Pembantu berjumlah 23 tersebar di 8 distrik. Pada lokasi yang memiliki kasus malaria tergolong tinggi sudah didirikan Pos Malaria Desa (Posmaldes). Penyakit yang umum diderita oleh penduduk Raja Ampat adalah malaria klinis, saluran pernafasan akut dan penyakit kulit. Kasus kematian ibu waktu melahirkan masih terjadi di Raja Ampat. Pada tahun 2005 tercatat 8 kasus. Kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong rendah, ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah karena keterbatasan sarana dan pelayanan kesehatan, ketersediaan obat-obatan, tidak tersedianya cukup sarana air bersih, dan kurangnya informasi kesehatan.
  • 9. 9 2.1.1.4 Agama Mayoritas penduduk di Kabupaten Raja Ampat beragama Kristen Protetestan (23.728 jiwa atau 74%), sedangkan lainnya beragama Islam (26%) dan sisanya beragaman Katolik dan Hindu. Distrik Misool Timur Selatan merupakan distrik dengan penduduk mayoritas agama Islam terbesar, sementara seluruh penduduk yang tinggal di Distrik Kepulauan Ayau dan Waigeo Timur beragama Kristen Protestan. Sarana peribadatan di setiap distrik dan kampung tersedia dengan baik. Secara keseluruhan di Kabupaten Raja Ampat terdapat 75 gereja dan 25 mesjid. Kerukunan umat beragama terjalin di seluruh wilayah Kabupaten Raja Ampat. 2.1.1.5 Suku, Bahasa , Budaya, dan Adat Kebiasaan Masyarakat di Kepulauan Raja Ampat masih menganut sistem adat berdasarkan kekerabatan diantara beberapa klan. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 tentang Penilaian Desa Pesisir (Hess dkk., 2011) mendapatkan informasi tentang enam suku yang tinggal di wilayah Kabupaten Raja Ampat yaitu suku Maya, Matbat, Biak. Moi, Amer, Buton, Biak, Seram, dan Kei. Tiga suku besar asli penduduk Raja Ampat adalah suku Moi, Biak, dan Amer. Suku-suku tersebut hidup menyebar di kampung-kampung di Kepulauan Raja Ampat. Adanya kepercayaan bahwa mereka masih berasal dari satu keturunan menyebabkan interaksi antar suku yang berjalan baik dengan hubungan kekerabatan yang kuat dan rasa saling menghormati. Rangkaian kepulauan di Raja Ampat mempengaruhi keadaan bahasa dan penuturnya maupun sistem sosial yang dianut oleh masyarakat. Lokasinya yang unik berbatasan langsung dengan pulau lain dari kepulauan berbeda baik provinsi maupun negara, menjadikan daerah ini perbatasan berbagai kelompok bahasa dan budaya. Ditemukan 12 bahasa termasuk bahasa asli Raja Ampat yaitu Ma’ya. Ambel, Matbat, Biga, dan bahasa Salawati (Remijsen, 2001). Bahasa Melayu Papua merupakan bahasa yang paling sering dipergunakan saat ini untuk dapat berkomunikasi di antara beragam suku dan bahasa di Kabupaten Raja Ampat. Bagi suku-suku di Raja Ampat tanah merupakan harta pusaka. Mereka percaya bahwa tanah memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan. Dengan adanya tanah, masyarakat Raja Ampat dapat berkebun dan hasilnya dapat dimakan dengan hasil tangkapan ikan dari laut. Tanah juga memberikan tempat berpijak untuk mereka tinggal. Pembagian wilayah hak adat atas pengelolaan laut masih dilakukan di Raja Ampat. Masyarakat Raja Ampat mengenal pembagian hak dan penentuan batas wilayah ulayat laut. Sasi merupakan istilah yang umum dipergunakan sebagai sebuah aturan pemanfaatan sumber daya. Sasi laut mengacu pada aturan dan tata tertib yang mengatur pemanfaatan sumber daya laut dan menetapkan pembatasan atas alat
  • 10. 10 tangkap, spesies yang dipanen, waktu panen, lokasi panen, dan siapa saja yang berhak untuk memanen (Bailey dan Zerner dalam McLeod, 2007). Kampung Arborek dan Fam mempunyai aturan untuk pembatasan nelayan dari luar untuk menangkap ikan di salah satu wilayah desa tertentu. Pembatasan ukuran tangkapan lobster dilakukan masyarakat di Desa Sawinggarai. Desa Arborek menetapkan lola atau susu bundar pemanenannya diatur berdasarkan ukuran tangkapan tertentu. sistem moratorium (sasi gereja) untuk teripang, lobster dan lola; jenis-jenis tabu yang tidak boleh ditangkap di daerah tertentu (Tropika, 2005) 2.1.2 Ekonomi Sebagian besar masyarakat di Raja Ampat, sebanyak hampir 80% bergantung pada pemanfaatan langsung sumber daya laut (perikanan) sebagai mata pencaharian utamanya. Pada tahun 2006 sektor perikanan menyumbang 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan 82% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat (Huffard dkk., 2010). Penilaian ekonomis terhadap pemanfaatan sumber daya alam laut di Raja Ampat yaitu perikanan tradisional dan komersial, budidaya mutiara, penambangan karang dan budidaya rumput laut menunjukkan diperkirakan sekitar Rp. 126 milyar di tahun 2006 dan diprediksikan akan meningkat menjadi Rp. 1,2 triliun dalam waktu 20 tahun (Huffard et al., 2010). Pada sektor pariwisata, peningkatan nilai diperkirakan terjadi secara signifikan menjadi Rp. 2 milyar per tahun dari semula Rp. 14 milyar per tahun pada tahun 2006. Sektor pariwisata memberikan kontribusi PAD terbesar kedua bagi Kabupaten Raja Ampat, yang mana 34% dari seluruh pendapatan pariwisata ini disalurkan bagi program pemberdayaan masyarakat. Hasil survei pesisir menunjukkan 45% masyarakat Raja Ampat adalah nelayan dan 44% adalah petani (Larsen dkk., 2011). Meskipun demikian sulit untuk membedakan kedua jenis pekerjaan tersebut, karena banyak rumah tangga di Raja Ampat melakukan kedua kegiatan tersebut hampir secara bersamaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Selain itu juga terdapat pedagang, pengusaha kayu, pegawai negeri sipil, guru, tokoh agama dan pencari kerja. Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian pokok yang dianggap memberikan hasil bagi penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan, baik pada siang hari maupun malam hari dan umumnya masih secara tradisional. Di antara seluruh distrik di Kabupaten Raja Ampat, masyarakat di Kepulauan Ayau dan Waigeo Selatan memiliki persentase tertinggi dalam hal pekerjaannya sebagai nelayan, sementara masyarakat di Kofiau
  • 11. 11 dan Waigeo timur paling rendah persentasenya. Lebih dari 90% kelompok masyarakat di Kabupaten Raja Ampat yang diteliti menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut (Atlas Raja Ampat, 2006). Meskipun penduduk di Kabupaten Raja Ampat mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, namun potensi perikanan yang begitu besar masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Nelayan-nelayan lokal menggunakan peralatan tangkap yang sangat sederhana sehingga kalah bersaing dengan kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah tersebut (Atlas Raja Ampat, 2006). Pada tahun 2000 tercatat sekitar 2.400 kapal asing yang beroperasi di perairan Raja Ampat dan sekitarnya. 2.1.3 Potensi Perikanan Perikanan merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Kabupaten Raja Ampat baik dari perikanan tangkap maupun budaya. Visi Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten bahari menempatkan sektor perikanan dan kelautan sebagai sektor unggulan dalam membangun kabupaten ini. Potensi lestari maksimum yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield – MSY) di perairan Raja Ampat adalah sebesar 590.600 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar 472.000 ton/tahun atau 80% dari MSY. Pemanfaatan perikanan tangkap di luar perhitungan perikanan subsisten pada tahun 2005 tercatat sebesar 38.000 ton/tahun, sehingga diperkirakan masih tersedia peluang sebesar 434.000 ton/tahun (DKP Raja Ampat, 2005). Saat ini mulai terjadi pengeksploitasian sumberdaya perikanan, tercatat pada beberapa kasus sudah terjadi penurunan hingga 10% dari jumlah aslinya (Huffard dkk., 2010). Komoditas perikanan unggulan di di Kabupaten Raja Ampat, antara lain ikan tuna, cakalang tenggiri, kerapu, napoleon, kakap merah, teripang, udang dan lobster. Budidaya mutiara, kerapu, dan rumput laut menjadi komoditas potensial untuk dikembangkan di wilayah ini. Daerah penangkapan ikan kerapu dan napoleon terdapat di perairan Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Kepulauan Ayau, Batanta, Kofiau dan Misool; lobster di perairan Waigeo, Misool dan Kofiau; cumi-cumi di perairan Waigeo Selatan dan Misool; teripang dan ikan tenggiri hampir diseluruh perairan Kabupaten Raja Ampat (Atlas Raja Ampat, 2006). Alat tangkap yang paling umum dipergunakan di Kepulauan Raja Ampat adalah pancing dasar (88%), pancing tonda (54%), sisanya menggunakan bagan (Larsen dkk., 2011). Teknologi penangkapan yang
  • 12. 12 dipergunakan nelayan Raja Ampat masih sederhana. Meting, kegiatan pemanenan avertebrata di daerah terumbu karang, masih sering dilakukan. Di bidang perikanan, hasil penilaian ilmiah di Teluk Kabui telah mendorong pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk mengembangkan kebijakan membatasi jumlah armada tangkap yang dapat beroperasi di perairan Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan penangkapan ikan secara berlebihan serta penangkapan ikan secara ilegal. Di sisi lain mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan lewat pendapatan daerah dari sektor perikanan. Hal ini juga tidak lepas dari rekomendasi ilmiah lewat Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kabupaten Raja Ampat yang menunjukkan bahwa pilihan sektor pembangunan yang ideal bagi kabupaten ini adalah Perikanan dan Pariwisata (Dohar dan Aggraeni, 2006). 2.1.4 Potensi Pariwisata dan Alternatif Ekonomi Pola pemanfaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Raja Ampat adalah dengan cara tradisional, mengekstraksi sumberdaya alam. Beberapa upaya dilakukan untuk menggali potensi lain dari sumberdaya di Raja Ampat termasuk memperhatikan aspek potensi pariwisata alam. CI melakukan survei PRA pada tahun 2008 untuk mengumpulkan data dari seluruh kampunng untuk menilai kondisi sumberdaya alam, manusia, perekonomian dan memasukkan aspek sosial kemasyarakatan. Hasil survei digunakan untuk merancang strategi mendorong dan mendemonstrasikan pilihan-pilihan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat diantaranya pariwisata berbasis alam berdasarkan jasa-jasa lingkungan yang bisa dinikmati di Raja Ampat. Salah satu peluang yang berpotensi tinggi adalah penerapan sistem tarif masuk bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat baik domestik maupun internasional. Rangkaian proses dilakukan untuk menetapkan payung hukum dan tata cara pengelolaan dana pariwisata termasuk menetapkan susunan tim pengelola: 1. Pelatihan bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk membangun wacana kepariwisataan yang tepat bagi Kabupaten Raja Ampat 2. Sosialisasi ke seluruh kampung yang akan menjadi tujuan wisata, sosialisasi kepada pemilik penginapan dan kapal pesiar yang beroperasi di Raja Ampat 3. Melakukan survei kerelaan untuk membayar biaya pariwisata bagi para wisatawan asing 4. Sosialisai kepada instansi terkait
  • 13. 13 5. Pelatihan kepada para pengelola kapal pesiar tentang etika menyelam dan berwisata di Raja Ampat 6. Diskusi dan lokakarya para pihak mengenai rancangan Peraturan Bupati (Perbup) 7. Penetapan tiga Peraturan Bupati; Perbup No. 63 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Masuk Wisata di Kabupaten Raja Ampat, Perbup No. 64 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Dana Pengembangan Kepariwisataan Non-Retribusi bagi Masyarakat Raja Ampat, Perbup No. 65 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan Non-Retribusi bagi Masyarakat Raja Ampat. 8. Sosialisasi Perbup ke seluruh kampung tujuan wisata, dan 9. Peresmian Perbup oleh Kabupaten Raja Ampat. Peraturan Bupati secara umum mengatur tata cara wisata di Raja Ampat, yang secara detil menetapkan biaya berwisata dan peruntukan dana pariwisata seperti berikut: 1. Bagi seluruh wisatawan asing yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus membayar sejumlah Rp. 500.000,00 per orang per tahun. Dana ini ini dialirkan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagian besar sebagai Dana Non-Retribusi kepada Tim Pengelola. 2. Bagi seluruh wisatawan lokal yang masuk ke Kabupaten Raja Ampat untuk tujuan wisata harus membayar sejumlah Rp. 250.000,00 per orang per tahun. Tim Pengelola Dana Pengembangan Kepariwisataan mengelola dana non-retribusi dari pariwisata di Kabupaten Raja Ampat yang pemanfaatannya diatur sebagai berikut: 1. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Kesejahteraan Masyarakat, 2. Sebesar 40% dari keseluruhan pendapatan akan dialokasikan untuk Dana Konservasi, dan 3. Sebesar 20% dari keseluruhan pendapatan akan digunakan untuk biaya administrasi termasuk diantaranya untuk biaya operasional kantor dan membayar gaji Manajer dan Bendahara. Tim Pengelola merupakan gabungan berbagai unsur seperti pemerintah daerah, LSM setempat dan internasional, pengusaha pariwisata, dewan adat, dan PKK dengan susunan keanggotaan seperti pada tabel berikut. Peresmian sistem tarif masuk ini dilakukan oleh Bupati Raja Ampat pada tanggal 14 Agustus 2007, diikuti dengan pembangunan kantor pengelola di Bandara DEO Sorong dan pembukaan perwakilan pengambilan tanda pembayaran tarif masuk di Bali.
  • 14. 14 Sejak diresmikannya sistem tarif masuk obyek wisata hingga 2011 telah terkumpul dana sebesar Rp. 6.849.000,00. Detil penerimaan dan alokasi sesuai aturan yang berlaku terlihat pada tabel berikut. Sumber : Data Pendapatan Pariwisata CI, 2011 Gambar 2 Rekapitulasi pendapatan dari tarif masuk wisata Kabupaten Raja Ampat periode 2007 – 2011 Pemanfaatan alokasi dana kesejahteraan masyarakat dilakukan berdasarkan masukan dan usulan dari masyarakat dan tergantung dari besaran yang diperoleh. Sampai dengan tahun 2010, dana tersebut telah digunakan untuk mendukung kegiatan Posyandu. Setiap bulan selama satu tahun berjalan, Tim Pengelola telah menyalurkan kacang hijau dan gula merah ke setiap kampung di mana terdapat Posyandu. Selain itu dana digunakan untuk pembelian vitamin bagi ibu hamil, seragam bagi setiap kader Posyandu, dan pencetakan buku kesehatan. 2.1.5 Potensi Biofisik Kepulauan Raja Ampat kaya keragaman jenis karang. Survei RAP dan REA pada tahun 2001 dan 2002 secara berurutan menginventarisasi keragaman karang sampai kedalaman 34 meter di lebih dari 100 lokasi penyelaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman terumbu karang tertinggi terdapat di perairan Misool di sebelah Utara pulau Djam dengan 182 spesies karang ditemukan. Sepuluh 2007 2008 2009 2010 2011 Pendapatan (x 1000) 482500 1252750 1520500 2093000 1502250 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000
  • 15. 15 lokasi tertinggi keanekargaman karangnya selain Misool diantaranya adalah Teluk Wambong, Kofiau (174 spesies) dan Tanjung Sool, Kofiau (173 spesies) . Tipe terumbu yang umum ditemukan di Raja Ampat adalah terumbu tepi (fringing reefs), terumbu cincin (atol), dan terumbu penghalang (barrier reefs). Atol ditemukan di Kepulauan Ayau-Asia. Gosong karang (patch reefs) ditemukan di Selat Dampier (DeVantier dkk., 2009). Keanekaragaman hayati di Raja Ampat ditunjang oleh karakteristik fisik yang khusus yang mendukukung keberlangsungan sumber daya lautnya. Letak lokasinya di pintu masuk Arus Laut Indonesia memberikan asupan hara yang cukup bagi perkembangan dan ketahanan spesies di Raja Ampat. Hasil survei proyek Pengelolaan Berbasis Ekosistem (Ecosystem Based Management – EBM) yang merupakan kerjasama antara tiga lembaga CII, TNC, dan WWF di Bentang Laut Kepala Burung Papua (BLKBP) mendapatkan beberapa temuan penting bagi upaya konservasi di Raja Ampat. Suhu air adalah faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup terumbu karang. Kenaikan suhu berhubungan dengan keadaan cuaca yang ekstrim dan perubahan iklim dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching). Pada beberapa lokasi khusus dimana terjadi upwelling, pengadukkan massa air laut dalam yang bersuhu lebih dingin ke permukaan, terumbu karangnya memiliki ketahanan yang lebih kuat dan dapat pulih lebih cepat dari ancaman pemutihan karang. Pencatat suhu permukaan harian yang dipasang di perairan Raja Ampat menunjukkan bahwa suhu rata-rata adalah 29°C selama rentang waktu 2,5 tahun. Keunikan lain adalah terumbu karang di Raja Ampat terpapar perbedaan rentang suhu yang besar yaitu mulai dari 17°C hingga 36°C (EBM Infosheet, 2008). Beberapa daerah penting di Raja Ampat yang mengalami upwelling termasuk Misool Timur Selatan dan Selat Dampier, Selat Sagewin, dan Selat Bougainville di Barat Laut Raja Ampat (Huffard dkk., 2010). Dalam hal pelestarian habitat dan populasi penyu, penelitian jejak penyu lewat satelit telah menunjukkan Raja Ampat sebagai lokasi peneluran yang penting secara regional bagi penyu sisik dan penyu hijau (Huffard dkk., 2010). Selain itu lewat jejak satelit juga kita dapat mengetahui wilayah ruaya/migrasi penyu Raja Ampat dalam skala yang luas di luar perairan Raja Ampat. Hasil ini tidak saja mendorong inisiatif ditetapkannya kawasan pantai peneluran Pulau Sayang, Piay dan Wayag sebagai kawasan konservasi laut tetapi mengajak pemerintah selain pemerintah Raja Ampat untuk melestarikan habitat penting lain sebagai tempat mencari makan bagi penyu secara regional termasuk di Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Kei Maluku Tenggara, serta Kalimantan Timur.
  • 16. 16 Kabupaten Raja Ampat pun memiliki keunikan danau air laut yang terbentuk di pulau-pulau batuan kapur Karst. Sejumlah 56 danau air laut ditemukan di Misool dan Wayag (Becking dan Mangubhai, 2011). Danau air laut yang ditemukan di Raja Ampat lebarnya sekitar 50 – 500 meter dan berkedalaman 2 – 20 meter, terbentuk pada masa evolusi yang masih mudah sekitar 7.000 – 12.000 tahun yang lalu. 2.2 Permasalahan Umum Berbagai ancaman yang cukup serius terhadap keberlangsungan sumberdaya laut terjadi di seluruh kawasan konservasi perairan di wilayah TPPKD Raja Ampat dan berpotensi menghancurkan sumber mata pencaharian serta potensi perikanan dan pariwisata. Penangkapan ikan dengan menggunakan bom sering dilakukan di seluruh perairan Indonesia dan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di seluruh wilayah Asia Tenggara (Fox dan Caldwell, 2006), dan Raja Ampat termasuk diantaranya. Peningkatan tangkap lebih terus terjadi selama kurun waktu 20-30 tahun telah berkontribusi pada penurunan komunitas terumbu karang dan ikan di wilayah perairan Raja Ampat. Spesies yang bernilai ekonomi tinggi pun sudah sangat berkurang di beberapa lokasi (Huffard dkk., 2010). Masalah lain timbul dari penangkapan ikan tanpa ijin yang beresiko tinggi pada kondisi tangkap-lebih dan hilangnya peluang perolehan pendapatan daerah dari pajak perijinan. Jenis perikanan tanpa ijin yang terjadi di Raja Ampat termasuk di antaranya adalah perikanan bagan dengan target tangkapan ikan teri dan cumi-cumi, serta penangkapan ikan hiu untuk kebutuhan siripnya. Alat tangkap pasif seperti sero menangkap ikan dengan tidak selektif yang menyebabkan tertangkapnya penyu dan duyung. Kegiatan penangkapan tanpa ijin lainnya adalah pengambilan telur dan pencurian penyu untuk kebutuhan konsumsi di wilayah tertentu. Sejalan dengan upaya pembangunan di Kabupaten Raja Ampat, ancaman terhadap sumberdaya laut dan pesisir juga terjadi secara bersamaan. Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak terkendali dimana terjadi penebangan bakau dalam jumlah besar dan sedimentasi di daerah padang lamun dan terumbu karang, serta penambangan karang berdampak pada kerusakan habitat pembesaran dan perkembangbiakan biota laut. Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat cepat pada tahun 2010 di Provinsi Papua Barat, termasuk di wilayah Kabupaten Raja Ampat, mencapai angka pertumbuhan hamper 6% per tahun. Pertumbuhan populasi yang tinggi seperti ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhandan potensi konflik atas pemanfaatan sumber daya perikanan, tanah dan infrastruktur, dan polusi seperti aliran limbahm bahan
  • 17. 17 buangan pertanian dan sampah. Berbagai hasi riset menunjukkan bahwa daerah dengan populasi penduduk yang tinggi memiliki kelimpahan ikan yang rendah akibat terjadinya situasi tangkap-lebih. Selain itu pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akan menyebabkan peningkatan permintaanakan sumberdaya alam, masuknya bahan-bahan non alami ke dalam lingkunganm dan perubahan terhadap habitat alamai yang dapat merusak fungsi ekosistem (Huffard dkk., 2010). Satu-satunya cara untuk memastikan perlindungan keanekaragaman hayati dan ketersediaan sumberdaya alam kelautan yang efektif adalah dengan membangun Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Areas-MPAs). Kawasan konservasi laut berfungsi untuk melindungi keberadaan dan keunikan keanekaragaman hayati laut, menjaga ketersediaan stok dan asupan ikan dan biota laut lainnya, sebagai sumber bibit atau benih ikan bagi perairan sekitar, melindungi habitat ikan dan biota laut, melindungi sumberdaya alam setempat dari ancaman perusakan dan pemanfaatan secara besar-besaran dari luar, melindungi hak petuanan dan nilai-nilai sejarah budaya dan ikatan adat komunitas setempat dengan ruang hidupnya dan memastikan pengelolaan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya laut membutuhkan kesiapan pihak pengelola untuk menjalankan program konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara lestari di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Saat ini pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah berada di bawah tanggung-jawab Dinas Kelautan dan Perikanan Kelautan Kabupaten Raja Ampat. Kemampuan pihak pengelola dan para pemangku kepentingan di seluruh wilayah TPPKD Raja Ampat dalam mengelola sumber daya laut diharapkan sudah dapat memenuhi standar kompetensi dasar pengelola kawasan perlindungan laut. Diperlukan beberapa upaya untuk menyetarakan pengetahuan, keterampilan, dan kompotensi pihak pengelola yang diharapkan sudah akan mandiri dalam kurun waktu lima tahun ke depan. 2.3 Karakteristik Khusus Kawasan Konservasi di Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat 2.3.1 Ayau Asia Kawasan konservasi Ayau-Asia yang merupakan wilayah I dari TPPKD Raja Ampat meliputi Kepulauan Ayau dan Kepulauan Asia yang memiliki luas 101.440 ha terletak di sebelah utara Pulau Waigeo dan berbatasan dengan perairan Republik Palau. Terdapat 2 distrik yaitu Distrik Kepulauan Ayau dan Distrik Ayau dengan 5 kampung di dalam TPPKD Kep. Ayau – Asia yang meliputi Kampung Dorehkar, Yenkawir, Miosbekwan, Rutum dan Reni.
  • 18. 18 TPPKD Kepulauan Ayau-Asia terletak di daerah paling utara Raja Ampat dan berbatasan dengan Palau dengan luas kawasan 101.440 ha. Secara geografis TPPKD Ayau-Asia terbagi dalam 3 daerah yaitu Ayau Kecil, Ayau Besar dan Kepulauan Asia pada koordinat 00 19’52” - 10 06’08” LU dan 1300 53’35” – 1310 17’48” BT. Di sebelah barat kawasan ini terdapat Pulau Moof yang diusulkan juga untuk menjadi bagian dalam TPPKD Ayau-Asia. Perencanaan pembangunan berwawasan lingkungan hidup/konservasi melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, pihak keamanan, LSM lokal, lembaga agama, dan sebagainya) untuk bersama-sama menjaga dan mengembangkan kawasan ini sebagai sumber ekonomi rakyat yang ramah lingkungan sehingga ekosistem kawasan ini tetap terjaga. Respon positif dari masyarakat atas pentingnya ekosistem di kawasan ini ditandai dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Gambar 3 Peta Kawasan Konservasi Wilayah I Ayau Asia
  • 19. 19 2.3.1.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang dan tutupan karang Tipe terumbu karang di Ayau Kecil dan Ayau Besar adalah terumbu karang cincin atau atol, sedangkan di kepulauan Asia adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Ayau besar merupakan atol di mana terdapat cincin laguna di dalamnya, sedangkan Ayau Kecil bisa dikatakan ’hampir Atoll’ (Tomascik dkk., 1997). Kontur terumbu pada ketiga daerah tersebut umumnya curam hingga tegak lurus dengan kecerahan air 5 – 20 meter. Kontur terumbu landai hanya berada di selatan Ayau Kecil, timur Pulau Miosros Ayau Besar dan utara Pulau Fani. Persentase penutupan karang hidup di Ayau Kecil berkisar antara 5 – 70% (kategori dari buruk hingga bagus) dengan rata-rata 30,8% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir utara relatif lebih baik dibanding tubir selatan. Kondisi terumbu karang khususnya di bagian selatan relatif didominasi oleh karang mati hingga 85 % dengan rata-rata 40,9%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble (patahan karang) sebesar 11,1%, pasir 4,3% dan biota lain sebesar 13,1%. Kontur terumbu sebagian besar curam hingga tegak lurus. Kontur landai hanya di selatan Ayau Kecil dan utara Pulau Urbabo. Persentase penutupan karang hidup di Ayau Besar berkisar antara 5 – 75% (kategori dari buruk hingga memuaskan) dengan rata-rata 36,2% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat hingga selatan Misosbekwan relatif lebih baik dibanding di tubir bagian timur. Rata-rata persentase penutupan karang mati adalah sebesar 25,8%, pecahan karang 15,2%, pasir 6%, dan biota lain sebesar 16,8%. Kontur terumbu umumnya curam hingga tegak lurus. Kontur landai hanya terdapat di timur Pulau Miosros hingga timur Rutum. Persentase penutupan karang hidup di Kepulauan Asia berkisar antara 10 – 60% (kategori dari buruk hingga bagus) dengan rata-rata 31,7% (kategori sedang). Secara umum kondisi karang di tubir barat relatif lebih baik dibanding tubir timur. Di kepulauan ini, penutupan karang mati mendominasi dengan rata-rata persen penutupan sebesar 39,6%. selebihnya, rata-rata persen penutupan rubble 9,2%, pasir 6,1% dan biota lain 13,3%. Kontur terumbu umumnya tegak lurus. Kontur landai hingga curam hanya terdapat di utara Pulau Fani dan selatan Pulau Miarin. Daerah-daerah yang diduga mengalami penangkapan destruktif adalah sepanjang tubir selatan Ayau Kecil, sepanjang tubir timur Ayau Besar dan sebagian tubir selatan Miosbekwan, sepanjang tubir timur Kep. Asia. Tidak terdapat pemutihan karang (coral bleaching) maupun ledakan populasi mahkota berduri pada semua kawasan.
  • 20. 20 TPPKD Ayau-Asia menjadi habitat peneluran penyu hijau yang penting secara regional (Huffard dkk., 2010). Lokasi spesifik ditemukan di Pulau Mof, yang terletak sekitar 40 km dari Pulau Ayau Kecil. Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan 1. Lokasi pemijahan ikan kerapu di selatan Ayau Besar yang salah satunya terbesar di Indonesia 2. Ikan Napoleon 3. Ikan-ikan pelagis seperti tuna, cakalang dan tengiri 4. Lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Mof dan Pulau Fani 5. Gurita atau sebutan setempat kombrof 6. Cacing laut atau sebutan setempat insonem 7. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dari jenis a. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) b. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) c. Paus sperma (Physeter macrocephalus) 2.3.1.2 Karakteristik Sosial-Budaya Kesadaran terhadap hubungan yang harmonis manusia dengan alam sejak manusia Papua menempati tanah ini sudah hidup dalam hubungan interaksi alam yang berkesinambungan dari waktu ke waktu. Keharmonisan hidup antara manusia dan alam selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Manusia dalam menjaga hubungan antar sesama membangun hubungan kekerabatan sebagai pertalian persaudaraan untuk membangun kerjasama sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan dalam hubungan kekerabatan manusia. Dalam konteks yang sama, manusia juga membangun hubungan kekerabatan dengan alam semesta dimana manusia hidup dan mengelola alam sebagai sumber kehidupan. Dalam hubungan kekerabatan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam terbangun kesadaran bersama manusia untuk melambangkan berbagai fenomena alam sebagai simbol kekerabatan. Alam, dalam hubungan kekerabatan tersebut oleh manusia Papua dilambangkan sebagai seorang “Ibu”. Simbol alam sebagai seorang ibu, mempunyai makna yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Karena dalam pandangan kosmologi yang di yakini menempatkan Ibu/Alam adalah sumber kehidupan untuk manusia. Keyakinan ini pula yang mendorong manusia untuk selalu menghormati dan memperlakukan alam dengan menjaga hubungan keharmonisannya. Selain itu Alam dipandang sebagai pusat kekuatan
  • 21. 21 supernatural, sumber kehidupan, tempat manusia berkarya, dan tempat manusia melangsungkan kehidupannya. Keyakinan akan nilai-nilai kearifan alam dan budaya hidup manusia inilah yang terus diperjuangkan oleh manusia sejak menempati tanah Papua-Raja Ampat dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Warisan kearifan leluhur ini, terus menjadi simbol perjuangan manusia Raja Ampat dalam menjaga keharmonisan hubungan dengan alam. Pesan-pesan kearifan ini menjadi spirit untuk terus dikomunikasikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan. Kearifan leluhur terus diperjuangkan untuk dikomunikasikan kepada masyarakat adat dan berbagai pihak (pemerintah, penegak hukum, pengusaha, kelompok swadaya dan masyarakat adat) di berbagai tempat, dan kegiatan-kegiatan nyata di masyarakat untuk bagaimana menjaga, melestarikan alam sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat. Terbentuknya sejumlah Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Raja Ampat juga merupakan contoh nilai-nilai leluhur yang terus dipertahankan. Dengan semangat kebaharian, pemerintah bertekad untuk mendukung kebijakan pengelolaan yang berbasis ekosistem dengan menetapkan sejumlah TPPKD dalam kerangka kebijakan pembangunan kabupaten “Bahari” Raja Ampat. Dukungan dari pihak pemangku adat dalam wujud Deklarasi Adat pada tahun 2009 memberikan kontribusi penting dalam upaya pelestarian di Kepulauan Ayau-Asia. Dukungan adat menunjukkan adanya kesadaran tentang pentingnya tata kelola sumberdaya alam yang eksosentris dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan. Upaya penyadartahuan juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal tentang lingkungan hidup (PLH). Media komunikasi (seperti lembar informasi, tabloid) digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan leluhur kepada masyarakat di berbagai tingkatan. PLH kepada anak usia sekolah, kegiatan-kegiatan rohani (Kristen-Muslim), kegiatan masyarakat, siaran di radio (RRI Sorong dan Radio Komunitas), menyiapkan mata pencaharian alternatif kepada masyarakat, mempersiapkan masyarakat untuk menggunakan cara-cara baru (patroli masyarakat kampung) untuk menjaga alam kawasan kampungnya, dan kegiatan-kegiatan penelitian dan pemantauan terumbu karang terus dilakukan. Kegiatan penting lainnya adalah kampanye sadar wisata dan kesehatan. Kebijakan pembangunan pun menjadi target kampanye untuk menyadarkan pelaku pembangunan agar mengelola sumberdaya alam di Raja Ampat secara lestari dengan kebijakan perundangan yang tegas.
  • 22. 22 2.3.1.3 Pengelolaan Pengawasan Pengawasan TPPKD Ayau Asia telah dilakukan secara rutin oleh masyarakat. Telah terbentuk sebuah tim patroli yang melakukan pengawasan terhadap kawasan. Fungsi utama mereka adalah melakukan pencegahan terhadap pelanggaran baik penangkapan ilegal dan secara merusak dari luar maupun pelanggaran zonasi. Tim patroli TPPKD Ayau Asia terdiri dari 42 orang masyarakat yang bertugas bergantian dengan menggunakan sebuah Speed Boat “INSONEM” dan bahan bakar yang difasilitasi oleh CI. Sebagai dukungan terhadap patroli masyarakat ini, pemerintah distrik Ayau juga mengikutsertakan polisi pamong praja distrik. Selain patroli yang dilakukan masyarakat, telah dilaksanakan pula patroli bersama yang beranggotakan polres, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat, polisi pamong praja dan masyarakat. Dari seluruh kegiatan pengawasan yang dilakukan pada tahun 2008, tim ini telah berhasil mengurangi kegiatan perusakan terumbu karang sampai dengan 60%. Hal ini diindikasikan dengan sudah tidak adanya praktek pemboman dan sianida di 3 kampung Dorehkar, Meosbekwan dan Yenkawir kecuali beberapa yang masih difasilitasi dari pihak luar di Reni dan Rutum. Pelanggaran-pelanggaran yang masih terus datang, umumnya berasal dari luar seperti Sorong bahkan dari Sulawesi. Satu hal yang masih intensif ditanggulangi adalah penangkapan ikan hias di perairan Reni dan Rutum. Pemantauan Ada dua jenis monitoring yang telah dilaksanakan di TPPKD Ayau Asia yaitu kesehatan terumbu karang dengan menggunakan metoda Manta Tow dan monitoring SPAGs (Spawning Aggregation Sites) atau lokasi pemijahan ikan kerapu. Monitoring kesehatan terumbu karang pertama dilakukan untuk mendapatkan data dasar kondisi terumbu karang saat ini. Pemantauan SPAG telah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya untuk melihat perubahan atau perkembangan populasi kerapu setelah dilakukan pengelolaan dan melindungi lokasi ini menjadi kawasan larang ambil (no take zone). Pelibatan masyarakat setempat dalam setiap kegiatan monitoring di kawasan ini telah menambah keterampilan dan pengetahuan masyarakat terhadap potensi kawasan maupun teknik metode monitoring itu sendiri. Zonasi Pendekatan budaya secara holistik untuk sosialisasi, diskusi tingkat marga, menjaring informasi daerah sasaran penangkapan ikan kerapu, dan kesepakatan untuk menetapkan dan memasang pelampung di daerah Zonasi TPPKD terus dilakukan dengan berbagai metode dan melibatkan masyarakat adat. Zonasi kawasan konservasi laut kemudian ditetapkan masyarakat sebagai langkah awal positif untuk menjaga kawasan ini tetap terjaga dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat. Terdapat 6
  • 23. 23 kawasan yang diusulkan menjadi kawasan larang ambil dan diberi tanda dengan pelampung oleh masyarakat sendiri. Kawasan yang diusulkan tersebut masing–masing terdiri dari zona milik marga Imbir, Mambrisau, Umpes, Burdam, zona milik masyarakat kampung Yenkawir dan zona masyarakat kampung Rutum. Pengusulan tersebut diikuti dengan dibuatnya aturan adat tertulis untuk tidak melakukan berbagai kegiatan penangkapan di dalam kawasan tersebut. Sanksi-sanksi dikenakan kepada masyarakat adat ataupun penduduk yang melanggar aturan adat tersebut. Kesadaran masyarakat akan arti penting kawasan konservasi laut ini secara sadar tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat, walaupun disadari masih membutuhkan proses panjang untuk terus-menerus bersama masyarakat membangun rasa hormat, peduli, kebersamaan dan cinta terhadap lingkungan hidup. Hambatan lain yang terjadi adalah sering masuknya kapal – kapal penangkap ikan hias, kapal pengumpul ikan kerapu, Napoleon, dan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan untuk pemenuhan terhadap kapal-kapal tersebut. 2.3.2 Teluk Mayalibit Kawasan konservasi Teluk Mayalibit merupakan wilayah II dari TPPKD Raja Ampat terletak di Pulau Waigeo dengan luas 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif tertutup. Secara geografis teluk ini terletak pada koordinat 00 22’14” – 00 05’00” LS – 1300 36’43” – 1300 59’10” BT. Kampung-kampung di dalam TPPKD Teluk Mayalibit adalah Kampung Yensner, Mumes, Warsamdim, Lopintol, Kalitoko, Warimak, Waifoi, Go, Beo, Arawai, dan Kampung Kabilol. 2.3.2.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang & tutupan karang Teluk Mayalibit memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan karang penghalang (barrier reef). Tipe terumbu karang penghalang berada di depan mulut teluk yang membentang dari timur hingga ke selatan Pulau Waigeo. Karena kondisinya yang tertutup dengan kisaran kecerahan air horizontal 0 – 12 m dan rata-rata 6 m. Ekosistem terumbu karang tidak hidup subur di daerah ini. Terumbu karang hanya tumbuh sedikit di mulut teluk dan sebagian dalam teluk yang relatif masih dekat dengan mulut teluk. Itupun hanya tumbuh antara kedalaman 0 – 5 m. Selebihnya dasar teluk adalah pasir hingga berlumpur.
  • 24. 24 Berdasarkan survei Mantatow tahun 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 70% dengan rata-rata tutupan 8,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya termasuk di dalamnya adalah karang lunak adalah 27,2%. Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21,9%, sedangkan persentase penutupan pasir dan patahan karang masing-masing adalah 26,7% dan 9,5%. Gambar 4 Peta Kawasan Konservasi Wilayah II Teluk Mayalibit Teluk Mayalibit memiliki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik. Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 m dari tepi hutan mangrove menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah antara Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai. Meskipun persentase karang keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai tempat pembesaran ikan konsumsi penting masyarakat Raja Ampat seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara, kakap, kepiting bakau, dan ikan lema atau kembung (Rastreliger kanagurta).
  • 25. 25 Peran aktif masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dari ancaman kerusakan yang bersumber dari dalam (masyarakat setempat) dan luar (nelayan pendatang), sekarang ancaman alami, serangkaian pertemuan dilakukan untuk merancang upaya pelestarian secara bersama- sama para pemangku kepentingan di Teluk Mayalibit seperti berikut ini: 1. Pertemuan para pemangku kepentingan Raja Ampat pada tanggal 2 September 2006 di Sorong, 2. Pertemuan seluruh kepala kampung dari seluruh distrik Teluk Mayalibit pada tanggal 21 September 2006 di Warsambin, 3. Konsultasi dengan para pemangku kepentingan tentang persiapan kawasan konservasi perairan Teluk Mayalibit pada tangggal 27 September – 3 Oktober 2006, yang dilanjutkan dengan 4. Pengukuhan kawasan laut Teluk Mayalibit secara adat tanggal 15 November 2006, dan 5. Deklarasi tingkat kabupaten pada tanggal 15 Desember 2006 yang dikukuhkan dengan Peraturan Bupati (Perbup) No. 66 Tahun 2007. Ekosistem pesisir Ekosistem pesisir di Teluk Mayalibit relatif didominasi oleh hutan mangrove di TPPKD Teluk Mayalibit. Mangrove menghampar dari luar mulut teluk hingga di teluk bagian terdalam. Hutan mangrove ini memberikan potensi kepiting bakau dan rebon sebagai sumber penghasilan bagi masyarakatnya. Dari sisi potensi perikanan, Teluk Mayalibit merupakan daerah ikan lema (Rastrelliger kanagurta) bagi masyarakat Teluk Mayalibit. Padang lamun tumbuh sedikit di mulut teluk dan pesisir bagian dalam teluk, sedangkan pesisir di luar mulut teluk sebagian besar komunitas di dangkalan didominasi oleh alga Sargassum. Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan  Titik penyelaman pada mulut teluk dengan tipe penyelaman mengikuti arus (drift dive) dan penyelaman air keruh (muck dive)  Olah raga kayak menyusuri sungai  Lokasi relatif dekat kurang-lebih 20 km dengan ibukota Kabupaten Raja Ampat  Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung di daerah mulut teluknya o Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrochepalus) o Paus pembunuh atau killer whale (Orchinus orca) o Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) o Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus)
  • 26. 26 o Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) o Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) o Lumba-lumba risso (Grampus griseus) o Lumba-lumba bongkok atau lumba-lumba putih (Sousa chinensis) o Duyung (Dugong dugon)  Perikanan tangkap ikan lema (ikan kembung) (Rastrelliger kanagurta)  Penghasil anak udang (rebon) atau kasia (nama lokal)  Penghasil kepiting bakau Kondisi Teluk Mayalibit dengan mulut teluknya yang sempit dan teluknya yang dalam menyebabkan ekosistem pesisirnya didominasi oleh hutan mangrove dengan sedikit padang lamun dan terumbu karang. Kondisi tertutup ini cenderung rentan dari kerusakan, sehingga pengelolaan kawasan teluk yang bijak mampu membuat potensi sumberdaya alamnya bisa dinikmati masyarakatnya secara lestari. Potensi kerusakan yang ada adalah pembukaan tambang di areal teluk dan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Kerusakan akibat alam yaitu pada musim tertentu terjadi kelimpahan alga merah (red tide) yang mengakibatkan banyak ikan yang mati. 2.3.2.2 Pengelolaan Pengawasan Kegiatan patroli dianggap sangat penting untuk didahulukan untuk tetap menjaga potensi kawasan ini dari kerusakan sambil menunggu komponen pengelolaan lainnya siap dijalankan. Dari sisi kondisi geografis, Teluk Mayalibit relatif mudah diawasi karena semua armada yang masuk ke dalam teluk melewati satu pintu masuk yang relatif kecil dan mudah dikontrol. Dalam beberapa kasus terjadi penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat setempat kepada nelayan pendatang, yang mendorong penangkapan berlebih dan menggunakan alat tangkap yang merusak. Penyalahgunaan surat ijin penangkapan dari pemerintah juga masih terjadi di sini. Pengawasan dilakukan selain dengan speedboat “Djoko Walut” juga dibangun posko lapangan di Kampung Warkabu. Pos tersebut berfungsi sebagai pos patroli tim TPPKD dan pusat aktifitas beragam kegiatan bersama masyarakat Teluk Mayalibit.
  • 27. 27 Zonasi Mengingat wilayahnya yang relatif kecil perancangan zonasi bertujuan antara lain untuk melindungi terumbu karang sebagai rumah berlindung bagi ikan, melindungi ketersediaan teripang sebagai salah satu biota penting bagi ekonomi masyarakat. Zona untuk teripang ini dibangun di kampung-kampung yang cocok seperti Warimak, Waifoy dan Kabilol berbentuk sasi sementara maupun permanen. Rencana zonasi lainnya adalah zona penangkapan ikan lema. Zona ini sedang dalam taraf negosiasi dengan masyarakat untuk membatasi atau mengatur penangkapan untuk tujuan ketersediaan jangka panjang. Zona lain yang direncanakan adalah zona mangrove yang merupakan salah satu komunitas terbesar di Teluk Mayalibit dan merupakan tempat berkembangbiaknya ikan dan kepiting sebagai biota penting untuk ekonomi masyarakat. 2.3.3 Selat Dampier Kawasan konservasi Selat Dampier merupakan wilayah III dari TPPKD Raja Ampat berada antara selatan Pulau Waigeo dan utara Pulau Batanta hingga timur Pulau Salawati, dengan luas 336.000 ha. Letaknya yang relatif dekat dengan Sorong dan Waisai, menjadikan kawasan ini memiliki pengguna sumberdaya paling beragam dibandingkan kawasan lainnya. Terdapat 4 distrik dan 24 kampung pada kawasan tersebut. Distrik Samate, Selat Sagawin, Waigeo Selatan dan Distrik Meos Mansar. Sedangkan 24 Kampung adalah Jeffman, Kapatlap ; Kampung Yensawai dan Arefi ; Kampung Arborek, Sawinggrai dan Yenbuba ; dan Kampung Yenbeser dan Friwen TPPKD Selat Dampier terletak di selatan Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Pulau-pulau yang terletak di kawasan ini meliputi Pulau Saonek, Pulau Saonek Monde, Pulau Mioskon, Pulau Friwen, Pulau Friwen Bonda, Pulau Mansuar, Pulau Kri, Pulau Koh dan Pulau Arborek dengan luas kawasan 46.240 ha. Secara geografis TPPKD Selat Dampier terletak pada koordinat 00 37’ - 00 24’30” LS dan 1300 27’43” – 1300 48’16” BT. Kawasan ini merupakan wilayah yang paling ramai oleh berbagai pemanfaatan laut dibandingkan TPPKD lainnya. Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan dan pembangunan daerah (seperti pelabuhan, dermaga, bandara, jalan dan pengembangan pemukiman) turut mempengaruhi keberadaan TPPKD. Selain itu, Selat Dampier juga merupakan pusat pengembangan infrastruktur pariwisata baik oleh investor lokal maupun asing. Pemanfaatan perikanan di daerah ini cukup tinggi (Bailey dkk., 2008). Teluk Kabui yang berdekatan
  • 28. 28 dengan Selat Dampier telah menjadi pusat penangkapan ikan teri yang diketahui merupakan dasar rantai makanan bagi biota-biota besar lainnya. Kegiatan pengelolaan TPPKD Selat Dampier telah dimulai oleh Project Coremap Tahap II dan DKP. Sejumlah Daerah Perlindungan Laut (DPL) telah ditetapkan oleh masyarakat kampung di TPPKD Selat Dampier. Dalam sistem zonasi TPPKD, DPL-DPL ini akan berfungsi sebagai kawasan larang-ambil (no take zone) dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan pengelolaannya. Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan kegiatan bersama dengan COREMAP. Beberapa diantaranya adalah Lokakarya Patroli Pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui sistem Pokmaswas atau Kelompok Masyarakat Pengawas. Pokmaswas dibentuk di setiap kampung. Kegiatan patroli secara bersama menggunakan Inbekwan juga telah dilakukan, dalam kegiatannya tim patroli telah berhasil menangkap 2 kapal ilegal dan 37 buah perahu penangkap cumi-cumi yang berasal dari Sulawesi. Kegiatan lainnya adalah pengembangan pariwisata. Upaya pengelolaan Selat Dampier diarahkan untuk untuk perlindungan kehati untuk tujuan pariwisata disamping perlindungan atas sumberdaya perikanannya. Kawasan wisata yang dikembangkan oleh masyarakat dan didukung oleh PEMDA dan mitra pembangunan antara lain adalah di Pulau Dayan. Selain pengembangan infrastruktur di darat, lokasi ini juga dilindungi oleh masyarakat Yensawai Batanta dari perusakan terumbu karang dan penangkapan ikan. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai TPPKD, bekerja sama dengan DKP dan COREMAP untuk membangun Rencana Pengelolaan TPPKD Selat Dampier sebagai proyek perintis dalam pengembangan rencana pengelolaan TPPKD di Raja Ampat.
  • 29. 29 Gambar 5 Peta Kawasan Konservasi Wilayah III Selat Dampier 2.3.3.1 Karakteristik Biofisik Tipe terumbu karang & tutupan karang Selat Dampier memiliki tipe terumbu karang tepi (fringing reef) dan gosong karang (patch reef). Sebagian besar gosong karang berada di antara selatan Pulau Waigeo dan utara Batanta. Beberapa patch reef merupakan tempat berkumpulnya ikan pari manta dan mempunyai schooling ikan yang tinggi sehingga banyak dive point untuk pariwisata selam di daerah ini. Berdasarkan survei Manta Tow 2008, persentase penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 85% dengan rata-rata tutupan 24,8%, sedangkan rata-rata persentase penutupan biota lainnya adalah 22,7%. Persentase penutupan rata-rata karang mati adalah 21%, sedangkan persentase penutupan pasir dan patahan karang masing-masing adalah 12,1% dan 18,9%.
  • 30. 30 Ekosistem pesisir Hutan mangrove di TPPKD Selat Dampier tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo, Selatan Pulau Gam, utara Pulau Batanta dan timur hingga tenggara Pulau Salawati dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Beberapa hutan mangrove merupakan dive point yang biasa disebut blue water mangrove, yaitu di selatan Pulau Gam dan Teluk Gam. Konsentrasi tertinggi habitat mangrove berada di sebelah utara Pulau Batanta (DeVantier dkk., 2009) Padang lamun tumbuh subur di selatan Pulau Waigeo hingga selatan Pulau Gam, sebelah utara Pulau Batanta dan sebelah timur Pulau Salawati. Daerah padang lamun ini merupakan habitat bagi duyung (Dugong dugon), ikan baronang (Siganus sp.) dan sebagai tempat pembesaran larva ikan lainnya. Potensi perikanan, kelautan dan jasa lingkungan 1. Titik-titik penyelaman yang memiliki kehati tertinggi di Raja Ampat dan telah menjadi tujuan wisata paling awal di Raja Ampat dengan tipe penyelaman paling lengkap yaitu penyelaman berarus (drift dive), penyelaman goa (cave diving), penyelaman obyek makro di air keruh (muck dive), manta point dan penyelaman wisata pada umumnya 2. Keberadaan landbase resort meliputi: Papua Diving (Kri Eco Resort dan Sorido Eco Resort) di Pulau Kri, Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar dan Papua Paradise Resort di Pulau Batanta 3. Homestay dan kampung-kampung wisata meliputi: homestay di Yenbuba dan Sawingrai; kampung wisata di Saondarek, Sawingrai, Arborek, Waiweser, dan Marandanweser 4. Akses terdekat dari ibukota Raja Ampat, Waisai 5. Perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) dan duyung, meliputi: a. Paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrocephalus) b. Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca) atau masyarakat Selat Dampier menyebutnya rowetroyer c. Paus Bryde (Balaenoptera brydei) d. Paus Bryde kerdil (Balaenoptera edeni) e. Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) f. Lumba-lumba hidung botol indopasifik (Tursiops aduncus) g. Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) h. Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) i. Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) j. Duyung (Dugong dugon) 6. Perikanan tangkap pelagis tradisional dengan tengiri sebagai unggulan 7. Perikanan bagan dengan ikan teri sebagai unggulan 8. Pemantauan burung di Yenwaupnor, Sawinggrai, Sarporkren, Yenbeser dan Waiwo
  • 31. 31 2.3.4 Kofiau 2.3.4.1 Karakteristik Biofisik Secara geografis kepulauan Kofiau – Boo terletak pada 129° 17,9’ – 129° 58,4’ Bujur Timur dan 1° 09’ – 1° 17’ Lintang Selatan. Kepulauan ini terletak di sebelah utara Pulau Misool atau sebelah barat Pulau Salawati dan Pulau Batanta. Berdasarkan Perda Raja Ampat No. 27 Tahun 2008, kawasan konservasi Kofiau-Boo yang mempunyai luasan 170.000 ha terletak pada koordinat 129° 14’ 47’’ BT dan 1° 07’ 37’’ LS menuju ke timur koordinat 129° 59’ 32’’ BT dan 1° 07’ 28’’ LS menuju ke selatan. Keragaman karang di Kofiau tinggi, ditemukan 292 jenis karang pada 6 titik pengamatan REA (Donnelly dkk., 2002). Terumbu karang di perairaran ini menunjukkan keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang di Misool. Untuk ukuran pulau yang kecil seperti Kofiau, keragaman jenis karangnya merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Kofiau - Boo berdasarkan hasil survei dan monitoring tahun 2008 – 2010, diketahui seluas kurang-lebih 10.724 ha dan terdiri dari beberapa tipe terumbu karang utama (DeVantier dkk., 2009) yaitu 1) Gosong karang di sebelah utara Pulau Kofiau, sebelah utara Pulau Boo Besar dan sebelah selatan Pulau Boo Kecil 2) Terumbu karang tepi terletak di sepanjang pantai utara Pulau Kofiau, di sebelah tenggara Pulau Kofiau 3) Terumbu karang penghalang berada di sepanjang selatan Pulau Boo Besar dan Pulau Boo Kecil 4) Beberapa laguna terdapat di sekitar Pulau Tolobi memiliki karang yang unik dan beragam 5) Atol terdapat di bagian selatan Kepulauan Boo Selain habitat terumbu karang dijumpai juga hutan mangrove, padang lamun serta habitat peneluran penyu dan peneluran burung laut, yang merupakan satu kesatuan ekosistem laut di perairan Kofiau. Hutan mangrove yang diketahui, luasnya sekitar 3.409 ha dan berada di sebelah selatan Pulau Kofiau serta pulau-pulau kecil lainnya, sedangkan padang lamun yang teridentifikasi luasnya hanya 770 ha di daerah laguna Pulau Tolobi.
  • 32. 32 Gambar 6 Peta Kawasan Konservasi Wilayah V Kofiau Berdasarkan hasil temuan saat survei terumbu karang, sering dijumpai dua jenis penyu laut yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir dan Lantang, 2009). Pemantauan darat untuk habitat penyu memberikan informasi tentang 11 pulau kecil yang berpotensi sebagai pantai peneluran. Berdasarkan data biofisik di atas, beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya serta mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Taman Pulau Kecil Kofiau serta dapat dikembangkan di masa depan dalam pengelolaan kawasan, yaitu: 1) Potensi terumbu karang; luasan terumbu karang di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah 10.724 ha. Lokasi ini masih asli karena tingkat kerusakan karang sangat kecil. Lokasi ini diusulkan sebagai daerah larang tangkap dan hanya diperuntukkan bagi pariwisata selam.
  • 33. 33 2) Potensi ikan karang; Ikan-ikan karang seperti kerapu dan Napoleon masih banyak ditemukan di lokasi-lokasi penyelaman. Kondisi ini sangat mendukung untuk pengembangana wisata bahari, khususnya wisata selam. 3) Potensi hutan mangrove; kawasan hutan mangrove di Taman Pulau Kecil Kofiau adalah seluas 770 ha. Hutan mangrove ini selain berfungsi sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan habitat penting dalam siklus hidup berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, kepiting, dll. Berbagai jenis ikan karang menjalani hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove. Selainnya itu hutan mangrove juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan juga sebagai lokasi konjungan wisata terbatas untuk tujuan pendidikan dan penelitian. 4) Potensi (lokasi) peneluran penyu; terdapat 11 buah pulau yang telah diidentifikasi sebagai lokasi peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam hidupnya dan semakin langka diperairan laut Raja Ampat. 5) Potensi (lokasi) peneluran burung laut; Pulau Marmar Kecil di Taman Pulau Kecil Kofiau merupakan lokasi penting bagi burung-burung laut sebagai tempat bersarang dan bertelur. Bebek laut banyak ditemukan di Teluk Kofiau. 6) Potensi Perikanan Ikan Komersial; Taman Pulau Kecil Kofiau merupakan lokasi penting bagi perikanan. Jenis-jenis ikan komersial penting banyak ditangkap di daerah ini seperti ikan kerapu, kakap, Napoleon, tuna dan ikan-ikan pelagis lainnya. Hutan mangrove di sekitar pulau ini merupakan tempat bertelur ikan, udang, dan berbagai jenis krustasea sehingga menjadi daerah penyokong makanan untuk berbagai jenis ikan di wilayah ini. 7) Potensi Budidaya Perikanan; Karakteristik perairan Kofiau sangat mendukung bagi perikanan. Saat ini masyarakat setempat memanfaatkan wilayah perairan Kofiau sebagai tempat pembesaran secara terbatas untuk jenis mutiara, kerapu, dan teripang. Sebagian besar masyarakat menggunakan sistem sasi gereja untuk pembesaran jenis-jenis yang bernilai ekonomis penting. Pembesaran dengan menggunakan karamba apung digunakan masyarakat untuk memenuhi permintaan ikan hidup. Untuk kegiatan di masa datang, perikanan budidaya dapat menjadi alternatif di Taman Pulau Kecil Kofiau. 8) Potensi Wisata Alam Bahari; keragaman jenis yang tinggi akan karang dan biota yang berasosiasi dengannya serta merupakan daerah penting bagi ruaya setasea, Taman Pulau Kecil Kofiau cocok untuk wisata selam.
  • 34. 34 9) Potensi Wisata Pengamatan Setasea dan Duyung; sebagai tempat perlintasan setasea (paus dan lumba-lumba) serta menjadi habitat duyung, maka lokasi ini sangat penting untuk perlindungan bahari. Beberapa jenis setasea dan duyung yang dijumpai di Taman Pulau Kecil Kofiau yaitu a) Paus sperma (Physeter macrocephalus) b) Paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca). c) Paus Bryde (Balaenoptera brydei) d) Lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus) e) Lumba-lumba hidung botol Indopasifik (Tursiops aduncus) f) Paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) g) Lumba-lumba spinner (Stenella longirostris) h) Paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) i) Duyung (Dugong dugon) 10) Potensi sasi; masyarakat Kofiau memiliki budaya sasi yaitu upaya pelestarian secara tradisional berdasarkan hukum adat yang diberlakukan dalam jangka waktu tertentu (biasanya 1 – 3 tahun) untuk melindungi jenis-jenis penting tanaman pangan atau biota komersial penting (seperti teripang, udang, kima, ataupun lola-Trochus). Sasi bertujuan untuk memberikan kesempatan pada jenis target penting berkembang-biak di alam sehingga populasi jenis tersebut terjaga dan/atau bahkan meningkat. Pemanenan jenis yang disasi dapat dilakukan apabila hasil pemantauan tokoh adat terhadap jenis tersebut menunjukkan ukuran dan jumlah yang memadai untuk dipanen, maka sasi akan dibuka dan anggota masyarakat dapat memanen hasil sasi. Konsep pengelolaan tradisional sasi dapat menjadi dasar untuk memadukan pengelolaan konservasi modern dan pengelolaan tradisional di Taman Pulau Kecil Kofiau. 11) Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Kofiau adalah masyarakat yang sangat religius serta memiliki ikatan adat-istiadat yang sangat kuat terutama terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Upacara adat dan ritual penting keagamaan, seperti saat penutupan dan pembukaan sasi yang dihadiri oleh seluruh komunitas mayarakat adat, menjadi daya tarik untuk promosi wisata budaya di Kofiau.
  • 35. 35 2.3.4.2 Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Demografi Penduduk Kofiau berdasarkan data pada tahun 2008 berjumlah 2.579 jiwa, dan tersebar di 3 kampung besar, yaitu Kampung Deer, Kampung Dibalal dan Kampung Tolobi. Mayoritas penduduk adalah suku Beteuw. Suku ini adalah salah satu suku asli di Papua yang bermigrasi dari Pulau Biak ke Kepulauan Raja Ampat dan menetap di Kofiau pada puluhan tahun yang lalu. Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga di Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Jumlah penduduk di Taman Pulau Kecil Kofiau No Kampung Penduduk KK Jiwa Sub Total 1 Deer 204 1092 1092 2 Dibalal 174 828 828 3 Tolobi 132 659 659 Total 510 2.579 2.579 (Sumber : Data Distrik Kofiau, 2007) Beberapa marga asli dari suku Beteuw yang hidup di Pulau Kofiau antara lain adalah marga Ambrauw, Watem, Mambrasar, Dimara, Umpaim, Mayor, Mambraku, Waropen, Mandurun, Kalapain, Kapitarau dan Meosido. Saat ini sudah mulai terjadi percampuran suku dari para pendatang atau akibat perkawinan dengan suku setempat. Beberapa suku pendatang di Distrik Kofiau yang terdata adalah suku Menui dan Toraja (Sulawesi), Batak (Sumatera), dan suku Biak (Papua daratan). Masyarakat Kofiau sebagian besar tamat sekolah dasar, hanya sedikit saja yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Data pemantauan persepsi tahun 2005 menunjukkan hanya seperlima dari responden survey melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah ke atas (Hess dkk., 2011). Anggota masyarakat yang merantau ke luar kampung asal bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tentara, polisi, dan karyawan swasta di beberapa ibukota kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam strata sosial, suku Beteuw Kofiau memiliki tingkatan yang lebih tinggi karena keberhasilan dan keuletannya bekerja. Perekonomian Keadaan ekonomi masyarakat di pulau Kofiau tergolong rendah sampai sedang. Sumber pendapatan utama masyarakat diperoleh dari hasil pertanian kelapa (kopra) dengan harga di kampung Rp. 2.500,00 per kilogram dan minyak kelapa Rp. 15.000,00 per liter, kakao Rp. 12.500 per kilogram, sedangkan hasil yang diperoleh sebagai nelayan umumnya untuk dikonsumsi sendiri.
  • 36. 36 Pada tahun 2003 saat penangkapan ikan hias sangat marak, Pulau Kofiau menjadi salah satu lokasi penangkapan ikan hias dengan menggunakan obat bius. Harga tangkapan ikan sangat rendah sekitar Rp. 3.000,00 – 5.000,00 per ekor untuk ikan hias, sedangkan ikan kerapu hidup dapat dijual dengan harga Rp. 10.000,00 - 15.000,00 per kilogram. Ikan asin dibeli dengan harga Rp. 10.000,00 per kilogram. Usaha penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Menui dari Sulawesi. Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola, dan lobster, banyak ditemukan di Kofiau. Tetapi seiring dengan bertambahnya nelayan dari luar yang beroperasi di Kofiau, dengan mendapatkan izin dari kepala kampung atau tokoh adat setempat, menyebabkan turunnyapopulasi biota laut penting tersebut dengan cepat. Dampak negatif perekonomian ini dirasakan oleh masyarakat setempat. Kesadaran masyarakat timbul akan pentingnya melindungi biota laut bernilai ekonomi tinggi dengan melakukan sasi atau pelarangang untuk meningkatkan populasi spesies penting seperti teripang, lola, dan lobster. 2.3.4.3 Permasalahan Secara umum Taman Pulau Kecil Kofiau dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan karena masyarakat yang mendiami kawasan pulau ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang terdapat di sekitar kawasan konservasi ini. Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk melakukan patroli pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak boleh menangkap ikan di daerah ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Permasalahan yang umum dan sering kali ditemukan di masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan ini disebabkan oleh tingkat pemanfataan yang berlebihan sebagian besar dari nelayan-nelayan dari luar, baik dari Kabupaten Sorong maupun dari luar provinsi Papua Barat, yaitu dari Ternate, Halmahera, dan Sulawesi Selatan. Permasalahan itu antara lain adalah : Alat tangkap merusak Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan terjadi di Kofiau. Penggunaan bubu, bius, sianida dan bom. Hasil pemantauan sumber daya pada tahun 2006, 2007 dan 2008 menunjukkan bahwa penggunaan kompresor mengalami penurunan drastis sepanjang tahun dan penggunaan bom dan sianida hanya terjadi pada tahun 2007 oleh satu orang nelayan Tolobi (Muljadi, 2009). Perikanan tangkap dengan cara merusak membahayakan populasi jenis-jenis ikan dan tertangkapnya hewan yang dilindungi, serta rusaknya habitat terumbu karang. Kompresor digunakan untuk menyelam pada
  • 37. 37 kedalaman 10 – 20 meter untuk menangkap teripang, lobster dan jenis-jenis moluska komersial. Beberapa nelayan asal Sorong masih melakukan pemboman di daerah Kofiau. Penangkapan biasanya menggunakan kapal bermesin 40 PK. Modus penangkapan dilakukan saat masyarakat kampung mengikuti ibadah gereja pada hari Minggu. Penangkapan Berlebihan Penangkapan berlebihan biasanya dilakukan dengan menggunakan pukat harimau, pukat pantai, rawai, dan sebagainya. Alat-alat ini menyebabkan ada jenis hewan tertentu tertangkap secara tidak sengaja misalnya penyu, lumba-lumba dan duyung. Penangkapan hiu dengan rawai bertujuan untuk mengambil sirip dan ekornya, sementara bagian tubuh lainnya hanya dibuang. Penyalahgunaan Izin Penangkapan Dari beberapa kasus penangkapan nelayan luar di Kofiau oleh kapal patroli gabungan dengan Kapal Motor (KM) Imbekwan, ditemukan beberapa dokumen ijin penangkapan yang disalah-gunakan oleh nelayan, misalnya dalam dokumen disebutkan tidak boleh menangkap ikan di TPPKD Selat Dampier dan Kawe, lalu nelayan tersebut menangkap ikan di Kofiau atau Misool. Juga terdapat kasus penyalahgunaan surat izin penangkapan yang dikeluarkana oleh DKP Sorong untuk beroperasi di wilayah perairan Sorong tetapi dipergunakan untuk menangkap di wilayah perairan Kofiau. Beberapa nelayan memiliki ijin untuk menangkap di Halmahera, Ternate dan perairan Sulawesi Selatan tetapi pada prakteknya nelayan-nelayan ini melakukan aktifitas penangkapan di Kofiau. Pengawasan dan penegakkan hukum Pengawasan dan penegakan hukum adalah permasalahan klasik yang dialami di semua kawasan konservasi laut di Indonesia termasuk di Kofiau. Khusus di Kofiau, masyarakat memiliki komitmen untuk melakukan pengawasan secara swadaya di setiap kampung. Kekecewaan timbul di masyarakat yang melakukan patrol karena tidak ada proses hukum oleh aparat penegak hukum setelah penangkapan dilakukan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi pasif untuk melakukan tindakan untuk membantu karena kekhawatiran penegakkan hukum tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan. Sebagai sebuah Kabupaten Konservasi, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mempunyai tugas penting untuk menindaklanjuti kasus pengawasan dan penegakkan aturan di wilayah Taman Pulau Kecil Kofiau.
  • 38. 38 2.3.5 Misool 2.3.5.1 Potensi Biofisik Kawasan konservasi Misool sebagai wilayah IV TPPKD Raja Ampat memiliki luas 366.000 hektar, terletak di 3 distrik yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool Selatan dan Distrik Misool Barat. Status hukum Taman Pulau Kecil Misool ditetapkan dengan Perda Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Posisi geografis kawasan Taman Pulau Kecil Misool meliputi kawasan yang dihubungkan dengan batas sebelah Utara pada koordinat 130o 27’ 23’’ BT dan 1o 49’ 57” LS, menuju Timur Laut pada koordinat 130o 29’ 55’’ dan 1o 49’ 40” LS, kemudian ke bagian tenggara dengan koordinat 130o 51’ 46’’ BT dan 1o 50’ 05’’ LS, menuju tenggara ke titik koordinat 131o 03’ 09’’ BT dan 2o 16’ 12’’ LS, kemudian ke barat pada koordinat 130o 03’ 23’’ BT dan 02 16’ 13’’ LS dan ke Utara pada koordinat 130 03’ 23” BT dan 02 01’ 38” LS, selanjutnya menuju ke titik awal batas mengikuti garis pantai pada batas pasang tertinggi. Gambar 7 Peta Kawasan Konservasi Wilayah IV Misool
  • 39. 39 Terdapat 6 habitat karang di Taman Pulau Kecil Misool (DeVantier dkk., 2009). Kurang lebih 339 jenis karang keras ditemukan di 8 titik pengamatan Misool (Donnelly dkk., 2002). Habitat-habitat hamparan karang yang paling menarik dan luar biasa dijumpai di dalam dan di sekitar punggung bukit pulau-pulau yang memanjang dari Misool. Punggung bukit karst yang terjal dan berupa patahan memanjang ke arah timur bertemu dengan terusan tegak lurus terhadap arah utara-selatan, menyebabkan arus-arus pasang yang bergerak di sekitar punggung bukit bergerak cepat maju dan mundur melalui terusan-terusan yang ukurannya sempit. Pada lokasi dimana bukit karst berbatasan dengan laut, serambi bukit yang terpotong oleh arus menciptakan kondisi yang unik bagi habitat dan pengelompokkan beragam jenis karang yang luar biasa. Dengan kondisi khusus ini, banyak jenis-jenis karang keras dan lunak yang biasanya ditemukan di laut dengan cahaya terbatas dapat hidup di kedalaman yang dekat permukaan. Arus-arus yang bergerak cepat membawa asupan hara yang mencukupi bagi pertumbuhan karang lunak (soft coral) dari keluarga Dendronephthea yang berlimpah di perairan dangkal Misool. Keunikan kawasan Taman Pulau Kecil Misool terletak pada bentang alam yang spektakuler dengan kepulauan batu kapur yang berasosiasi langsung dengan sistem dan keragaman terumbu karang kompleks di Raja Ampat. Kawasan ini pun memiliki setidaknya empat puluh danau air asin yang berperan penting dalam perlindungan biota endemis (Becking, 2011). Kawasan ini kaya akan tipe habitat meliputi gunung laut, karang tepi, dan karang datar, laguna yang tertutup maupun semi tertutup, danau air asin, padang lamun, hutan mangrove, dan pantai berpasir (Donnelly dkk., 2002). Keberadaan ekosistem terumbu karang ini semakin menarik karena dihuni tidak kurang 300 jenis ikan (Donnelly, 2002) lumba-lumba dan duyung (Dugong dugon) yang sering ditemukan di lokasi ini. Hutan mangrove yang tercatat terdapat di kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap dan Tomolol. Data yang diperoleh dari kegiatan pemantauan karang menunjukkan bahwa sering kali ditermukan dua jenis penyu yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Syakir and Lantang, 2009). Hasil pemantauan empat kelompok Patroli Perlindungan Penyu dari Kampung Fafanlap, Yellu, Lilinta dan Kapatcol di 20 lokasi pengamatan pada bulan Oktober dan November 2010 menemukan bahwa pantai peneluran potensial terdapat di Pulau Yan yang terletak di antara Kampung Kapatcol dan Lilinta. Masyarakat mengusulkan daerah ini sebagai daerah perlindungan penyu. Berdasarkan data biofisik diatas, maka beberapa potensi yang perlu tetap dipertahankan kelestariannya serta mendapat perhatian dalam penentuan zonasi di Misool serta dapat dikembangkan dimasa depan dalam pengelolaan kawasan, yaitu :
  • 40. 40 1. Potensi terumbu karang; Misool memiliki keragaman jenis karang paling tinggi, sebanyak 339 jenis karang tercatat pada survei REA tahun 2001. Lokasi – lokasi ini masih asli karena tingkat kerusakan karang sangat kecil. Banyak lokasi yang diusulkan sebagai daerah larang tangkap dan hanya diperuntukan bagi pariwisata selam. 2. Potensi ikan karang; dengan luas areal karang yang cukup besar maka maka potensi biomassa ikan karang cukup tinggi. . Beberapa jenis ikan dilindungi seperti ikan Napoleon, dan jenis ikan karang lainnya ditemukan dalam jumlah banyak pada setiap lokasi penyelaman. Kekayaan jenis ini menjadikan wilayah perairan Misool penting bagi keberlanjutan produktifitas ikan di seluruh kawasan konservasi perairan juga berpotensi bagi wisata selam. 3. Potensi hutan mangrove; hutan manggrove cukup luas di Misool penyebarannya, mulai dari daerah Kapatcol, Biga, Gamta, Magei, Fafanlap serta Tomolol. Mangrove ini selain berfungsi sebagai pelindung terhadap abrasi pantai, juga merupakan habitat penting dalam siklus hidup berbagai jenis biota laut seperti ikan, udang, dan kepiting. Berbagai jenis ikan karang menjalani hidup sebagai telur dan larva, serta anakan ikan didaerah mangrove. Selainnya itu hutan mangrove juga merupakan tempat bertelur udang dan berbagai jenis crustacea. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan juga sebagai lokasi kunjungan wisata terbatas untuk tujuan pendidikan dan penelitian. 4. Potensi (lokasi) peneluran penyu: terdapat 20 lokasi yang telah diidentifikasi sebagai lokasi peneluran penyu, terutama penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Lokasi ini penting bagi pelestarian spesies penyu karena hewan ini sangat terancam hidupnya dan semakin langka diperairan laut Raja Ampat. 5. Potensi (lokasi) peneluran burung laut; di beberapa pulau di Misool menjadi tempat persarangan dan peneluran burung-burung laut. Hal ini penting untuk perlindungan berbagai spesies burung laut. 6. Potensi Perikanan Pelagis; Taman Pulau Kecil Misool merupakan lokasi penting bagi penangkapan ikan kerapu, tuna serta ikan puri (anchovies). Beberapa spesies ikan seperti kerapu, kakap merah, Napoleon, tuna, cakalang dan tenggiri adalah jenis komersial penting yang banyak ditangkap di wilayah ini. Keberadaan hutan bakau yang baik di Misool menjadi habitat penting bagi tempat bertelur ikan, udang, dan jenis-jenis avertebrata lainnya yang memungkinkan untuk
  • 41. 41 ketersediaan stok makanan bagi berbagai jenis ikan pemangsa lainnya di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. 7. Potensi Budidaya Perikanan. Saat itu kawasan perariran Taman Pulau Kecil Misool di beberapa tempat telah dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara dan rumput laut. Masyarakat setempat memanfaatkan sejumlah lokasi sebagai lokasi sasi untuk pembesaran jenis-jenis teripang dan lola. Budidaya ikan ekonomis penting sangat berpotensi untuk dilakukan di TPPKD ini. 8. Potensi Wisata Alam Bahari. Karena memiliki luasan areal terumbu karang yang luas serta berbagai tipe habitat, antara lain : terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, pesisir pantai peneluran penyu, peneluran burung laut, dan pulau-pulau kecil yang panoramanya masih asli, maka potensi ini dapat dikembangkan sebagai salah satu tujuan paket wisata bahari. 9. Potensi Wisata Pengamatan Setasea, Duyung dan Manta; Taman Pulau Kecil Misool merupakan daerah perlintasan setasea yang penting di jejaring TPPKD Raja Ampat. Jenis karismatik yang ditemui di wilayah Misool adalah lumba-lumba, paus, duyung, dan pari manta. 10. Potensi Sasi; masyarakat di Taman Pulau Kecil Misool masih menjalankan sasi. Ritual pembukaan dan penutupan menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata. Sasi berpotensi untuk melestarikan jenis-jenis penting baik ikan, tanaman pangan, dan jenis-jenis moluska yang dipanen oleh masyarakat. Dalam perancangan dan pengelolaan wilayah Taman Pulau Kecil Misool, sasi dapat dipadukan dengan upaya konservasi konvensional. Pembukaan sasi, saat masyarakat setempat bisa memanen hasil, dilakukan pada umumnya pada bulan Oktober sampai dengan bulan Januari. 11. Potensi Pariwisata Budaya; masyarakat Misool adalah masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat terutama suku Matbat. Upacara keagamaan dan ritual budaya masih dilakukan di sini. Beberapa gua keramat serta tempat-tempat yang dikeramatkan banyak terdapat di Misool. Gua- gua tersebut menunjukkan nilai seni yang bersumber dari sejarah, adat-kebiasaan leluhur masyarakat Misool. Keunikan gua-gua yang berada di gunung kapur Misool dapat menjadi daya tarik pariwisata tersendiri.
  • 42. 42 2.3.5.2 Karakteristik Sosial dan Budaya Demografi Terdapat 3 distrik di wilayah Taman Pulau Kecil Misool yakni Distrik Misool Timur, Distrik Misool Barat dan Distrik Selatan. Terdapat 13 kampung di dalam Taman Pulau Kecil Misool. Kampung- kampung yang berada di wilayah Misool Selatan meliputi kampung Harapan Jaya, Yellu, Dabatan, Kayarepop dan Fafanlap. Sedangkan di Distrik Misool Barat meliputi kampung Kayarepop, Lilinta, Biga, Gamta dan Magei. Distrik Misool Timur meliputi kampung Usaha Jaya, Tomolol dan Folley, 12 kampung terletak dalam wilayah Taman Pulau Kecil Misool sedangkan 1 kampung yakni kampung Folley di zona penyangga. Tahun 2008, hanya terdapat 10 kampung namun pada tahun 2010 terjadi pemekaran dari kampung Yellu dibagi menjadi 3 kampung yakni kampung Yellu, Dabatan dan Kayarepop. Kampung Dabatan yang baru menjadi ibukota Distrik Misool Selatan saat ini. Jumlah penduduk yang terbesar saat ini terdapat di kampung Yellu. Keberadaan tiga perusahaan mutiara di Kampung Yellu menarik minat penduduk untuk tinggal dan mencari kerja. Sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Ketiga perusahaan mutiara tersebut adalah Lima, perusahaan mutiara Kabalam dan perusahaan mutiara Mate. Kebanyakan penduduk adalah penduduk migran yang mencari kerja di perusahaan mutiara Misool berasal dari Halmahera, Kei, Ambon dan Seram. Masyarakat di pulau bagian selatan Misool terdiri dari dua suku besar yakni masyarakat Matbat dan Matlol, yang sejalan dengan perkembangan terjadi percampuran dari kedua suku ini. Masyarakat Matbat mendiami Kampung Kapatcol, Biga, Gamta, Magei dan Tomolol, dan masih memegang adat istiadat dengan kuat. Pendidikan Hampir semua kampung di wilayah Taman Pulau Kecil Misool memiliki fasilitas sekolah dasar enam tahun, namun terkendala oleh terbatasnya jumlah guru yang mengajar di sini. Praktek yang umum terjadi adalah keterlibatan aparat desa atau para sukarelawan yang datang membantu untuk mengajar di sekolah. Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat di Kampung Lilinta, Fafanlap, Folley dan Magei. Saat ini sudah dibangun SMP di Kampung Dabatan dan juga SD dengan pola asrama di Kampung Folley. Sedangkan Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat hanya di 3 kampung yakni Folley, Lilinta dan Fafanlap.
  • 43. 43 Saat ini telah dibangun SMP teladan di Kampung Dabatan dan telah dibangun juga SMP pola asrama di Kampung Folley. Kebanyakan siswa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Kota Sorong. Namun ada juga yang melanjutkan kuliahnya ke Jayapura, Makasar atau ke Pulau Jawa. Tabel 2 Data Penduduk di Distrik Misool Timur, Barat dan Selatan (Mei 2010) No Distrik (Kecamatan) Kampung (Desa) Jumlah KK Jumlah Laki-laki Perempuan Total 1 Misool Timur 1 Folley 80 223 225 448 2 Tomolol 90 220 186 406 3 Usaha Jaya 53 113 98 211 2 Misool Selatan 1 Harapan Jaya 76 186 184 370 2 Yelu 260 622 641 1,263 3 Fafanlap 160 378 347 725 4. Dabatan 22 55 48 103 5.Kayarepop 25 60 50 110 3 Misool Barat 1.Gamta 28 57 52 109 2.Magey 26 68 57 125 3.Biga 69 187 155 342 4 Lilinta 101 257 236 493 5. Kapacol 29 76 78 154 TOTAL 1019 2502 2357 4859 Sumber: Data Statistik Distrik, 2010 Kesehatan Penyebaran jenis penyakit dan masalah kesehatan masyarakat Jenis penyakit yang sering diderita masyarakat Misool adalah diare, malaria tropika (falsiparum) dan malaria tertiana. Pada beberapa kasus ditemukan juga penyakit infeksi paru-paru Tuberculosa (TBC) yang diderita oleh pasien usia produktif (TNC dan MER-C, 2008). Keterbatasan tenaga dokter, pola hidup masyarakat dan keterbatasan obat-obatan merupakan permasalahan kesehatan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Penyebaran penyakit di wilayah ini seringkali bersumber dari ketersediaan air bersih dan jamban. Penyakit diare seringkali mewabah pada musim pancaroba. Sarana dan Prasaranan Pelayanan Kesehatan Sarana kesehatan di ketiga distrik yang terdiri dari 14 kampung dalam kawasan Taman Pulau Kecil Misool kondisi dan keberadaannya bervariasi. Bebeberapa kampung memiliki sarana kesehatan berupa pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) dan Puskesmas Pembantu (PUSTU). Meski wilayah ini telah
  • 44. 44 dimekarkan menjadi tiga distrik, namun baru tersedia satu puskesmas yang terletak di distrik induk yaitu di Kampung Folley, Dabatan dan Yellu. Sebaliknya ada juga kampung yang tidak memiliki sarana puskesmas maupun pustu. Keberadaan pusat kesehatan belum tentu diiringi oleh ketersediaan medis di lapangan. Beberapa kampung juga sudah memiliki pos pelayanan terpadu (POSYANDU), namun demikian tidak semua pos tersebut memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu, anak, dan balita. Keterbatasan tenaga medis yang bertugas di wilayah Taman Pulau Kecil Misool menjadi permasalahan lain. Hanya tersedia satu orang dokter yang bertugas untuk melayani masyarakart di seluruh distrik Taman Pulau Kecil Misool. Obat-obatan yang merupakan kebutuhan penting dalam pelayanan kesehatan juga tidak cukup tersedia. Banyak bidan dan perawat sering kesulitan menangani pasien akibatnya kurang tersedianyan obat-obatan di puskesmas atau pustu. Banyak pasien yang harus dirujuk ke kota karena kurang tersedianya obat- obatan padahal pasien bisa saja ditangani di puskesmas atau pustu. Memperhatikan kualitas hidup masyarakat di Misool, pembangunan di wilayah ini juga harus memperhatikan aspek kesehatan masyarakat. Dibutuhkan setidaknya tiga orang dokter, tambahan bidan dan perawat yang dapat melayani tiga distrik di Misool yang disertai dengan ketersediaan pasokan obat dan sarana kesehatan yang baik bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Perekonomian Lokal Masyarakat yang tinggal di wilayah Taman Pulau Kecil Misool bekerja sebagai petani, nelayan, dan karayawan pada perusahaan mutiara. Kegiatan penangkapan ikan, pengambilan teripang, bia dan lola untuk dijual di pasar setempat. Moluska bernilai ekonomis penting bagi masyarakat di Raja Ampat. Bia lola (susu bundar – Trochus niloticus) di pasar tradisional setempat berkisar antara Rp. 25.000,00 – Rp. 35.000,00 per kilogram. Teripang malam (Holothuridae) dihargai sebesar Rp. 40.000,00 per kilogram, teripang gosok dan teripang minyak Rp. 70.000,00 per kilogram, dan teripang tewer seharga Rp. 175.000,00 per kilogram. Lobster menjadi komoditas penting bagi perekonomian masyarakat. Harga pasaran berkisar antara Rp. 120.000,00 per kilogram untuk jenis lobster bambo dan lobster setan sampai dengan Rp. 200.000,00 per kilogram untuk jenis udang hias (TNC, 2010). Pada musim laut tenang (setelah musim selatan antara Juli – September) masyarakat di Misool mulai berkegiatan untuk menangkap ikan dan membuka sasi. Sasi lola dan teripang dibuka oleh pemegang hak ulayat setempat dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat dari wilayah sasi berada.
  • 45. 45 2.3.5.3 Permasalahan Secara umum pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Pulau Kecil Misool dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan karena masyarakat yang mendiami kawasan ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan mengelola secara berkelanjutan sumberdaya alam laut yang ada di sekitar kawasan konservasi ini. Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif lokal yang muncul dari masyarakat untuk melakukan patroli pengawasan di sekitar kampung masing-masing agar nelayan luar tidak menangkap ikan di daerah ini dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Beberapa permasalahan yang terjadi di Taman Pulau Kecil Misool adalah: Penggunaan alat tangkap yang merusak dan tidak ramah lingkungan Masih ditemukan penggunaan kompresor untuk mencari teripang bukan saja nelayan lokal namun juga ditemukan nelayan dari luar seperti masyarakat pulau wejim bahkan nelayan dari Madura. Penggunaan Bubu yang berukuran besar juga ditemukan. Pengguna bubu ini berasal dari Sorong dan Menui (Sulawesi) tetapi dikoordinir oleh oleh nelayan lokal. Target utama bubu adalah untuk penangkapan ikan kerapu yang mempunyai nilai jual yang tinggi karena menjadi target perdagangan ikan hidup di Misool. Bubu yang ditemukan di Taman Pulau Kecil Misool berukuran sangat besar dengan panjang 2 meter, lebar 1 meter, tinggi 1 meter, dan sangat berpotensi merusak terumbu karang tempat dipasangnya bubu. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh penggunaan pemberat dari karang hidup atau karang yang secara langsung tertimpa oleh bubu yang berat, alat ini juga didentifikasi dapat menyebabkan over fishing atau penangkapan berlebih karena ukuran yang besar dan jumlah yang banyak. Penangkapan berlebihan Penangkapan ikan berlebihan ini dilakukan kebanyakan dari nelayan dari luar Misooll seperti dari Sorong, Seram, Madura dan bahkan Buton. Seperti Nelayan ini melakukan penangkapan ikan hiu dengan alat tangkap Rawai Dasar. Selain itupula adanya bagan-bagan puri yang melakukan penangkapan puri untuk kapal-kapal mincing tuna dalam TPPKD. Penangkapan Jenis yang Dilindungi Selama tim patroli melakukan patroli sering menemukan kelompok nelayan yang melakukan penangkapan penyu. Penangkapan penyu dilakukan oleh beberapa kelompok nelayan asal Misool maupun nelayan dari luar. Alasan untuk memenuhi kebutuhan makan dan untuk memenuhi kebutuhan acara suatu perayaan adat di Kampung. Lima jenis penyu yang sering ditemukan di seluruh perariran
  • 46. 46 Indonesia statusnya adalah hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Penyalahgunaan Izin Penangkapan dan Penangkapan Ilegal Penangkapan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool dalam beberapa kasus dilakukan dengan menggunakan izin yang tidak seharusnya. Hasil /pemantauan pemanfaatan surmberdaya pada tahun 2008 menunjukkan bahwa penyalagunaan izin penangkapan terjadi saat nelayan menggunakan izin penangkapan di wilayah selain Taman Pulau Kecil Misool dan menggunakan izin alat tangkap yang seharusnya tidak beroperasi di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Pengawasan dan penegakkan aturan Berdasarkan hasil pemantauan Tim Patroli Raja Ampat, masih terdapat beberapa kasus penyalahgunaan izin penangkapan yang dipergunakan bagi beberapa kapal dan izin yang kadaluarsa. Ketidakpahaman nelayan akan keterangan yang tertera dalam surat izin penangkapan menyebabkan beberapa nelayan melaukan pelanggaran penangkapan ikan di wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Kekurangpahaman kepala kampung atau tokoh adat terhadap prosedur perizinan mengakibatkan permasalahan sosial di masyarakat. Pada beberapa lokasi, kepala kampung mengeluarkan izin penangkapan ikan kepada nelayan yang berasal dari luar TPPKD untuk dapat menangkap di dalam wilayah Taman Pulau Kecil Misool. Praktek seperti ini dapat merugikan nelayan setempat karena peningkatan intensitas persaingan pemanfaatan sumberdaya laut di dalam wilayah TPPKD, yang sebenarnya hanya sedikit saja pihak yang mendapat keuntungan dari dikeluarkannya surat izin tersebut.
  • 47. 47 3. Arah Kebijakan Pengelolaan Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat merupakan sebuah jejaring dari lima Kawasan Konservasi Perairan Daerah yang ditetapkan dengan tujuan untuk membentuk kawasan laut dan pesisir yang dilindungi dan berfungsi untuk mempertahankan fungsi reproduksi dan stok ikan, sebagai kawasan wisata bahari yang ramah lingkungan, sebagai kawasan bagi pengembangan sosial ekonomi masyarakat yang dimanfaatkan secara lestari, dan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan pengembangan di Kabupaten Raja Ampat. Pembentukan kawasan konservasi Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau dan Misool dilakukan berdasarkan Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat. Penamaan kelima kawasan konservasi ini mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagai Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat. Dalam upaya pengelolaan TPPKD Raja Ampat yang mencakup luasan hampir 80% dari wilayah Kabupaten Raja Ampat, PEMDA Raja Ampat menetapkan pembentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPPKD yang berada di bawah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat berdasarkan Peraturan Bupati No. 16 Tahun 2009 dan Peraturan Bupati No. 7 Tahun 2011. Dalam menentukan arah pengelolaan sumberdaya laut hayati jangka panjang di seluruh wilayah Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Raja Ampat diperlukan kerangka arahan kebijakan pengelolaan yang menjadi panduan dalam pelaksanaan program. Arahan pengelolaan ini tidak hanya semata-mata mencakup pengelolaan kelima kawasan konservasi sebagai sebuah TPPKD Raja Ampat, namun juga mencakup arahan kerjasama pengelolaan antara TTPKD Raja Ampat dengan KKPN yang terdapat di Raja Ampat yaitu SAP Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat sebagai sebuah jejaring KKP di Raja Ampat 3.1 Visi dan Misi Visi pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah terwujudnya tata kelola jejaring TPPKD Raja Ampat sebagai sarana peningkatan produksi perikanan dan jasa jasa kelautan serta wisata bahari secara berkelanjutan demi tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat.
  • 48. 48 Misi pengelolaan adalah (1) Penataan kawasan melalui sistem zonasi (2) Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat (3) Pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan lokal masyarakat (4) Pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat (5) Penguatan kearifan lokal untuk mendukung pengelolaan TPPKD secara berkelanjutan (6) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan TPPKD (7) Pembangunan kerjasama pengelolaan jejaring TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat 3.2 Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Tujuan pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah untuk 1) Memanfaatkan kawasan pesisir pulau-pulau kecil dalam TPPKD sesuai peruntukkan berdasarkan zona yang telah ditetapkan. 2) Menumbuhkembangkan sumber mata pencaharian baru seperti budidaya laut, pengolahan hasil laut dan ekonomi kreatif. 3) Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. 4) Mengembangkan teknologi tepat guna bagi masyarakat untuk peningkatan ekonomi masyarakat. 5) Menerapkan dan melestarikan nilai – nilai kearifan lokal dalam pengelolaan TPPKD. 6) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TPPKD. 7) Mengembangkan kerjasama pengelolaan TPPKD Raja Ampat dengan KKPN Waigeo Barat dan KKPN Raja Ampat sebagai jejaring KKP Raja Ampat. Sasaran yang ingin dicapai dari pengelolaan TPPKD Raja Ampat adalah: 1) Terkelolanya lima TPPKD sesuai peruntukkannya yakni di KKDP Selat Dampier, TPPKD Teluk Mayalibit, TPPKD Ayau Asia, Taman Pulau Kecil Kofiau dan Taman Pulau Kecil Misool. 2) Adanya pengembangan sumber-sumber mata pencaharian baru dalam hal budidaya laut, pengolahan hasil laut dan ekonomi kreatif. 3) Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di kelima TPPKD. 4) Tersedianya teknologi tepat guna yang dapat diterapkan oleh masyarakat. 5) Teradopsinya nilai – nilai kearifan lokal sebagai model pengelolaan di kelima TPPKD.