3. PENDAHULUAN
Dunia kehutanan bukanlah merupakan dunia yang
sempit, yang hanya bertumpu pada hasil hutan
kayu saja.
Dunia kehutanan dari berbagai aspeknya
menyimpan berbagai fungsi dan ilmu, mulai dunia
mikro-organisme, organisme sampai rentetan
komunitas hingga pengaruh iklim.
Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang
kompleks dan merupakan bagian dari rantai
ekosistem.
4. Bila ada rantai sistem ekologi yang rusak,
maka akan timbul kepincangan ekologi dan
menimbulkan efek terhadap simpul-simpul
rantainya, baik itu simpul sistem hayati
termasuk kehidupan manusia dan hewan di
dalamnya maupun non hayati yang berada di
lingkungannya.
5. Produksi kayu yang lestari dan efisien masih
menjadi tujuan utama kehutanan disamping:
➢Air berkualitas tinggi
➢Margasatwa
➢Rekreasi dan estetika, dan
➢Tanpa disertai degredasi lingkungan.
6. Hal ini menimbulkan konflik dalam penggunaan
tanah, menimbulkan pertanyaan tentang
keselarasan tujuan ganda, dan telah menimbulkan
tuntutan agar masyarakat terlibat dalam
pengambilan keputusan.
7. Ketersediaan hutan serbaguna yang luas dan
mampu menjalankan fungsinya, hanya dapat
dicapai dan dipertahankan melalui
pengelolaan hutan yang terarah, terutama
sekali yang bersifat membangun hutan.
8. Sejauh ini pengelolaan secara intensif hanya
trbatas pd perkebunan, pembibitan, persemaian
kayu tropis yang cepat tumbuh (fast growing
species) dengan tujuan untuk mencapai kenaikan
produksi kayu secara cepat.
Pengelolaan tersebut biasanya dilakukan
dengan cara tebang habis hutan, lalu diikuti
dengan penanaman jenis pohon yang
diinginkan.
9. Pada hutan-hutan klimaks dan hutan
sekunder yang lebih tua kadang-kadang
muncul peremajaan spontan yang sering
tidak tampak, tetapi jenisnya berbeda dari
kelompok pohon yang ada.
Pada hutan-hutan ini sering tidak terdapat
jenis pohon bernilai ekonomis yang
diinginkan.
10. Peremajaan hutan dengan jenis pohon dengan
nilai ekonomis tinggi, sangat tergantung kepada
jumlah sinar yang masuk.
Sehingga proses peremajaan hutan tropis harus
mengutamakan teknik pengaturan intensitas
sinar matahari.
11. Sebelum teknik ini dijelaskan lebih lanjut,
perlu diperhatikan bahwa agar keberhasilan
peremajaan selektif baru dapat dicapai setelah
usaha yang berlangsung selama puluhan
tahun.
Usaha ini mempergunakan metode silvikultur
yang mencakup pembersihan dan penebangan
pohon-pohon yang tidak dibutuhkan, dan
sebagainya. Melalui cara ini, dapat diatur
komposisi pohon induk bagi hutan masa
depan yang diinginkan.
12. Silvikultur merangkum cara-cara mempermuda
hutan secara alami dan buatan, serta pemeliharaan
tegakan sepanjang hidupnya.
Termasuk ke dalam silvikultur ialah pengertian
tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh
pohon, perilakunya terhadap berbagai intensitas
cahaya matahari kemampuannya untuk tumbuh
secara murni atau campuran, dan hal-hal lain yang
mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Jadi, sangatlah penting untuk mengetahui
silvikultur masing-masing jenis pohon, sebelum kita
dapat mengelola suatu hutan dengan baik.
13. Baker (1950) membagi ilmu silvikultur atas dua
bagian, yaitu silvik dan silvikultur.
Demikian pula pembagian tersebut dapat
diartikan sebagai dasar teori silvik dan
penerapan praktek silvikultur.
Tanpa memahami dasar teori, memang sulit
untuk mengembangkan penerapan silvikultur di
lapangan.
14. Silvik
ialah ilmu yang mempelajari sejarah hidup dan
ciri-ciri umum pohon dan tegakan hutan dalam
kaitannya dengan faktor-faktor lingkungannya.
Silvikultur
ialah ilmu dan seni menghasilkan dan
memelihara hutan dengan menggunakan
pengetahuan silvik untuk memperlakukan
hutan serta mengendalikan susunan dan
pertumbuhannya.
15. Teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-
teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk
mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas hutan. Perlakuan tersebut dapat
dilakukan pada tahap: permudaan,
pemeliharaan & penjarangan,
serta pemanenan.
Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri
Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, antara
lain berupa: pemilihan jenis, pemuliaan pohon,
penyediaan bibit, manipulasi lingkungan,
penanaman dan pemeliharaan.
14
16. Aspek pengembang teknik dan teknologi sangat
penting dalam pengembangan system-system
silvikultur yang meliputi aspek pemuliaan pohon.
Manipulasi lingkungan dan pengendalian hama
terpadu.
Perlakuan teknik silvikultur sangat tergantung
dari system silvikultur yang dipergunakan dan
tujuan pengelolan hutan. Perlakuan silvikultur
yang memberikan input/energi yang besar
disebut silvikultur intensif/SILIN, sedangkan
perlakuan silvikultur yang memberikan input
energi yang kecil atau hanya diserahkan pada
alam disebut silvikultur extensif/SILEX.
18. Silvikultur berkenaan dengan kontrol
pembentukan, pertumbuhan, komposisi, dan
kualitas vegetasi hutan. Hal ini hanya dapat
dilakukan pada setiap hutan yang berlokasi
tertentu, bila tersedia tujuan pengelolaan
yang jelas dan tegas, yang melukiskan apa
yang akan dicapai. Kemudian setiap tujuan
pengelolaan harus ditafsirkan dalam arti
macam struktur tegakan hutan yang paling
cocok.
21
19. Tujuan yang bervariasi di antara produksi kayu,
air, margasatwa dan rekreasi menghendaki
struktur hutan yang sangat berbeda.
Terdapatnya serasah, rumput, belukar,
permudaan, sapihan, tiang, pohon masak
tebang, dan pohon lewat masak tebang yang
bervariasi bergantung pada tujuan pengelolaan.
20. Tujuan sederhana seperti produksi kayu
umumnya menghendaki struktur yg sederhana
& efisien.
Tujuan kompleks yg melibatkan penggunaan
ganda umumnya menghendaki struktur yg jg
kompleks &beragam dg kemungkinan
kehilangan sebagian efisiensi untuk suatu
penggunaan tertentu. Karena itu, perumusan
strategi silvikultur tgt pd pemahaman tujuan
pengelolaan tegakan scr keseluruhan.
Dengan berubahnya tujuan, kaidah-kaidah
silvikultur berubah pula, karena mungkin
dikehendaki struktur tegakan yang berbeda.
21. Kontrol silvikultur thd struktur tegakan
menghendaki kaidah-kaidah yg memadukan
pengetahuan biologi, pengelolaan & ekonomi.
Kaidah-kaidah ini harus sesuai dg kerangka yg
dapat diterima masyarakat.
Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang benar-
benar merupakan silvikultur yang baik, bila
pada saat bersamaan tidak mengandung
pengertian pengelolaan &nilai sosial yang baik.
22. Pengembangan kaidah-kaidah silvikultur
menyangkut pengertian yg baik & lengkap tentang
prinsip-prinsip dasar & penjabarannya ke dlm
praktek-praktek yg direkomendasikan. Kedua
komponen ini memiliki perbedaan namun saling
tergantung.
Prinsip-prinsip silvikultur berkisar pd pengertian
yg sempurna ttg interaksi tumbuhan dg
lingkungannya. Manipulasi pembentukan,pertum-
buhan, komposisi, &kualitas hutan utk memenuhi
tujuan ttt yg menghendaki silvikulturis menghargai
saling berhubungannya antara pertumbuhan
vegetasi hutan dg komponen fisik &biologi
lingkungannya.
23. Oleh karena itu, pengetahuan tentang potensi
pertumbuhan individu pohon, belukar, dan
jenis rumput menjadi dasar untuk
mengontrol pertumbuhan tegakan. Gambar
berikut merupakan konsep dasarnya.
24. Gbr 1. Ramalan perubahan komposisi
tegakan &modifikasi komposisi melalui
perlakuan silvikultur (Baker, 1950)
Komposisi
tegkan dimasa
lalu
Komposisi
tegkan sekarang
Ramalan
komposisi di
kemudian hari Komposisi tegkan yang
dikehendaki untuk
memenuhi tujuan
pengelolaan
25. 1. mengerti sepenuhnya & mendeskripsikan
struktur yg ada & interaksi tegakan tsb dlm
tanah, vegetasi, serangga, iklim mikro &
interaksi ekologis.
2. berdasarkan pengetahuan sejarah tegakan &
penafsiran ekologis, silvikulturis dpt mengerti
struktur tegakan dimasa lalu, & sifat serta
tingkat perubahan ekosistem.
Hal ini memungkinkan suatu proyeksi ttg hubg
sifat struktur tegakan yg tak dikelola pd masa
yang akan datang.
24
26. Jika tingkat perubahan dan perkembangan
secara alami struktur tegakan sesuai dengan
tujuan pengelolaan, maka hanya diperlukan
sedikit tindakan silvikultur.
Walaupun demikian, jika perkembangan
tegakan alami tidak sesuai, maka diperlukan
perlakuan yang sesuai tujuan tersebut.
Silvikulturis kemudian perlu merinci macam,
intensitas, waktu dan biaya perlakuan;
menentukan rekomendasi; dan meramal
konsekuensi perlakuan dari segi silvikultur
dan lingkungan.
27. 1. Kendala Ekologis
a) Kualitas tempat tumbuh. Kualitas tempat
tumbuh alami atau potensi produktivitas
merupakan faktor yang dominan.
Kesuburan tanah; kedalaman tanah;
ketinggian; arah kelerengan; dan faktor-
faktor tempat tumbuh lainnya berpengaruh
kuat terhadap tindakan silvikultur. Pada
umumnya, semakin produktif tempat
tumbuh, semakin banyak perlakuan yang
dapat dipertimbangkan.
28. b) Vegetasi yang ada.
Sifat vegetasi yg ada pd setiap tegakan hrs
diperhitungkan &dijadikan modal.
Terdapatnya genotip ttt &ciri-ciri fisiologis
relatifnya mempengaruhi pemilihan perlakuan
silvikultur.
Hal ini disebabkan perlakuan silvikultur
bertujuan mengurangi beberapa komponen
campuran vegetasi, sedangkan yang lain
sengaja bertujuan untuk pembebasan.
Kemampuan tumbuhan memberikan respon
terhadap alternatif cara-cara ini yang harus
ditentukan.
29. c) Lingkungan mikro. Krn pertumbuhan
tanaman dipengaruhi oleh lingkungan,
khususnya lingkungan mikro spt; intensitas
chy, suhu, tekanan evaporasi, &tersedianya
kelembaban tanah dalam setiap agregasi
vegetasi yg seragam dlm tegakan, atau dlm
setiap tipe habitat. Lingkungan mikro ini hrs
diperhitungkan dlm memilih perlakuan untuk
mempercepat pertumbuhan tanaman yang
ada atau menciptakan permudaan baru.
d) Serangga. Potensi binatang yg ada,
serangga, penyakit, atau vegetasi pesaing
hendaknya dievaluasi dan dimasukkan dalam
pedoman tindakan silvikultur
30. a) Teknis. Termasuk faktor-faktor seperti
persyaratan operasional atau pembatasan
peralatan tertentu, persyaratan rencana
pengelolaan yang bias membatasi etat
tebangan atau menetapkan prosedur
tertentu, dan pertimbangan-pertimbangan
ekonomis.
b) Kebijaksanaan. Kegiatan-kegiatan dpt
dikendala oleh keputusan kebijaksanaan yg
mengatur praktek-praktek tertentu pd areal
yg berdekatan dg jalan-jalan raya.
31. a) Perundangan. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur bidang kehutanan
dan pengelolaan hutan.
b) Tekanan Sosial. Ini berkembang melalui
lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti
aktifitas kelompok konservasi, dan
sebagainya.
BAB 2
32. Jadi kekuatan ekologis, pengelolaan dan sosial
memberikan kerangka, baik melalui dorongan
maupun kendala, yang harus mendasari
semua rekomendasi silvikultur yang sesuai
dengannya.
Problema-problema di masa lalu yang telah
menimbulkan perhatian masyarakat umum
dan profesional, telah berkembang terhadap
aspek-aspek pengelolaan dan pembuatan
keputusan.
Dengan kata lain, perkembangan perubahan
praktek kehutanan belum sama cepatnya
dengan tingkat perubahan lingkungan sosial
yang merupakan wahana kerja kehutanan.