SlideShare a Scribd company logo
1 of 40
Download to read offline
Aksi Anak Muda dalam
Aksi Anak Muda dalam
Nature and Biodiversity
Nature and Biodiversity
Protection
Protection
ISSN 2685-5224
Kerentanan Penghidupan
Kerentanan Penghidupan
Masyarakat Pedesaan
Masyarakat Pedesaan
Terhadap Perubahan
Terhadap Perubahan
Iklim
Iklim
Legalitas Menuju Kelestarian
The Monitor
The Monitor
Newsletter Edisi XVIII - 2022
Transformasi SVLK:
Transformasi SVLK:
Hutan Adat (Papua) Menanti Asa:
Hutan Adat (Papua) Menanti Asa:
Peluang Masyarakat Hukum Adat
Peluang Masyarakat Hukum Adat
dalam Pemanfaatan Kayu Menuju
dalam Pemanfaatan Kayu Menuju
Kelola Hutan Lestari
Kelola Hutan Lestari
Rambu - Rambu Percepatan
Rambu - Rambu Percepatan
Pengakuan Hutan Adat dan
Pengakuan Hutan Adat dan
Syarat Dasar Pengelolaan
Syarat Dasar Pengelolaan
Hutan Kayu Lestari di Tana
Hutan Kayu Lestari di Tana
Papua
Papua
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan hidayahNya
newsletter The Monitor dapat kembali hadir ke tengah - tengah pembaca. Pada edisi XVIII ini, kami
menerbitkan 7 buah tulisan dari akademisi, pegiat lingkungan, dan agenda kerja Jaringan
Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Sepanjang tahun 2022 ini, agenda lingkungan baik
secara global dan nasional banyak digelar.
Mulai dari Conference of Parties (COP) ke-27 United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) yang digelar di Sharm El-Sheik, Mesir, pada 6-18 November 2022. Ajang
negosiasi pemimpin-pemimpin dunia dalam menyoroti perubahan iklim global seperti dampaknya
pada ketahanan pangan dan pertanian. Hingga Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI
yang telah berlangsung pada pada 23-30 Oktober 2022 di Jayapura, Papua yang menjadi salah
satu gawai perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh kepastian hak atas wilayahnya.
Pertama kalinya dalam sejarah tujuh SK hutan adat Papua diberikan oleh KLHK. Namun demikian,
torehan positif tersebut masih diganjal legalisasi pengelolaan kayu secara komersiil oleh
masyarakat adat.
Sementara, instrumen penjaminan legalitas hasil hutan sudah berjalan selama kurang lebih 13
tahun yaitu SVLK belum mengakomodir nilai-nilai kultural yang inherent dalam kehidupan
masyarakat adat. Bukan hanya itu, norma-norma penilaian yang ada dalam SVLK-pun masih
belum cukup mampu menjamin kepatuhan bahkan bagi para pelaku bisnis sektor kehutanan
sekalipun. Sehingga, transformasi SVLK bukan lagi sebuah harapan melainkan menjadi
keharusan, dan jauh melampaui perubahan nomenklatur.
Pada akhirnya tim penyusun The Monitor mengucapkan terima kasih kepada semua kontributor
yang telah mengirimkan tulisannya untuk dimuat. Semoga menjadi bacaan yang menambah
wawasan bagi kita semua. Aamiin.
Kata Pengantar
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
Jl. Babakan Sari VI No.5,
Bantarjati, Kec. Bogor Utara,
Kota Bogor, Jawa Barat, 16129
Tel : +62 251 8397371
Email : jpikmail@gmail.com
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
@laporjpik
@laporjpik
The Monitor adalah newsletter triwulanan yang
diterbitkan oleh Jaringan Pemantau Independen
Kehutanan (JPIK). Newsletter ini sebagai salah satu
wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas
JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang
kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia.
JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi
kontributor tulisan, dengan panjang tulisan 1.000-
2.000 kata menggunakan Microsoft Word disertai
foto pendukung
Dinamisator Nasional JPIK, Muhammad Ichwan
The Monitor Edisi XVIII
Daftar Isi
Rambu - Rambu Percepatan Pengakuan
Hutan Adat dan Syarat Dasar
Pengelolaan Hutan Kayu Lestari di Tana
Papua
03
8th Training Workshop on Timber
Legality Assurance, Vietnam
18
Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and
Biodiversity Protection’ melalui Kegiatan
Youth Leadership Camp for Climate
Crisis 2022
Refleksi Akhir Tahun
21
24
29
34
Transformasi SVLK : Legalitas Menuju
Kelestarian
15
Hutan Adat (Papua) Menanti Asa:
Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam
Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan
Lestari
09
Perubahan Iklim dan Kerentanan
Perubahan Penghidupan Masyarakat
Pedesaan
Ringkasan Peristiwa 2022
33
Agenda Kegiatan JPIK 2022
Daftar Pustaka
Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum
Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari
Oleh : Teguh Yuwono
Dinamika Deforestasi di Tana Papua
Tana Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat)
memiliki hutan tropis terluas di Indonesia.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (2018) luas kawasan hutan di
Papua sebesar 38.153.269 hektar terbagi di
Provinsi Papua seluas 29.368.482 hektar dan
Provinsi Papua Barat seluas 8.784.787 hektar
(atau 91,12% dari luas daratan Tana Papua).
Namun perlahan tapi pasti hutan alam di Papua
terus menyusut. Menurut data Auriga
Nusantara (2022), luas hutan alam di Bumi
Cendrawasih hanya tersisa ±33.847.928 hektar,
terbagi di Provinsi Papua seluas 24.993.957
hektar dan Provinsi Papua Barat seluas
8.853.971 hektar.
Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal
konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya
mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71
persen dari total deforestasi yang terjadi di
Tana Papua. Secara terperinci, 474.521,2
hektar deforestasi di dalam konsesi industri
ekstraktif itu disumbang oleh usaha
perkebunan sawit seluas 339.247 hektar,
PBPH-HA seluas 112.373,21 hektar, PBPH-HT
seluas 16.234 hektar dan usaha pertambangan
6.666 hektar.
The Monitor Desember 2022 | 03
Dilihat dari penyebabnya, sebagian besar
deforestasi di Tana Papua terindikasi terjadi di
dalam konsesi usaha industri ekstraktif, baik di
sektor perkebunan, sektor kehutanan dan
sektor pertambangan.
Deforestasi di Indonesia
Sumber: Auriga 2022
1
Pembukaan Hutan untuk
Kebun Kelapa Sawit
Sumber : Auriga 2021
Untuk tahun 2022, menurut analisis peta citra satelit Nusantara Atlas menunjukkan Deforestasi di
Papua sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut
analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan
tanaman industri (Auriga, 2022).
The Monitor Desember 2022 | 04
Trend Laju Deforestasi di Tana Papua Tahun 2001-2019
Sumber : Auriga 2021
Meskipun Papua memiliki kekayaan sumber
daya alam yang melimpah, namun ironisnya
jumlah penduduk miskinnya masuk urutan
teratas. Menurut data Badan Pusat Statistik
(2022), jumlah penduduk Papua pada tahun
2021 sebanyak 5.512.285 jiwa, yang terbagi
atas Provinsi Papua sebanyak 4.355.445 jiwa
dan Provinsi Papua Barat sebanyak 1.156.840
jiwa. Dari populasi penduduk tersebut, jumlah
penduduk miskin di Provinsi Papua sebanyak
26,86%, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak
21,84%.
Makna hutan bagi masyarakat adat Papua
adalah halaman rumah dan pasar raya bagi
masyarakat adat. Semua hal yang dibutuhkan
tersedia secara gratis, tinggal bagaimana
menjaga, merawat dan mewariskannya kepada
generasi berikutnya. Hutan Papua dalam
sistem tenurial dimiliki secara komunal marga,
tidak ada kepemilikan pribadi, dan setiap
anggota marga berhak mengakses sumber
daya hutan.
Meskipun sejak bulan November 2016,
Indonesia mendapat pengakuan dari Uni
Eropa sebagai negara pertama peraih
Lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement
Governance and Trade) Penegakan
Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan
Hutan), sehingga produk kehutanan yang
diekspor ke benua biru tersebut tidak
perlu dilakukan uji tuntas (due diligence),
di lapangan implementasi SVLK belum
berhasil diterapkan sepenuhnya. Masih
banyak kasus para pemegang sertifikat
SVLK yang menerima bahan baku yang
asalnya bukan berasal dari perizinan
yang sah. Sampai dengan tahun 2022 di
Tana Papua masih marak kegiatan illegal
logging. Banyak korporasi pemegang
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
(PBPH) maupun pemegang Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
(PBPHH) yang dalam praktek sehari-hari
melakukan kegiatan illegal logging.
Papua:SurganyaIllegalLogging
Saat ada penangkapan lebih dari 500
kontainer kayu merbau yang dilakukan
Ditjen Penegakan Hukum KLHK di akhir
tahun 2018, dari belasan industri
kehutanan pengirim kayu yang terjaring
operasi tersebut, ternyata sebagian
merupakan pemegang sertifikat SVLK.
Fakta ini membuktikan bahwa bagi
sebagian industri kehutanan, SVLK
hanya sebatas pemenuhan legalitas
namun dalam implementasi penerimaan,
pengolahan, dan pemasaran kayu masih
belum menerapkan kaidah legalitas kayu.
Kayu Merbau dari Papua Hasil Tangkapan Ditjen GAKKUM
Tahun 2018
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
baik UUD 1945, dan Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001,
masyarakat adat sebenarnya sudah mendapatkan
pengakuan, sebagaimana tertulis dalam Amandemen
Kedua UUD 1945 Pasal 188 ayat (2) bahwa “Hak-hak
tradisional masyarakat (hukum) adat untuk mengurus
dan mengatur masyarakatnya dan mengelola sumber
dayanya diakui dan dihormati oleh negara”. Sedangkan
dalam Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001 dijelaskan
bahwa “Negara mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat dalam
pengelolaan sumber daya alam”. Akan tetapi faktanya
salah satu akar dari ragam masalah agraria atas
Masyarakat Adat di Indonesia adalah ketiadaan
pengakuan legal hak dasar atas Tanah-air dan ruang
hidupnya (Cahyono, 2022).
KebijakandanRegulasiPengurusandan
PengelolaanHutan
The Monitor Desember 2022 | 05
Saat rezim Orde Baru berkuasa, dengan
dibukanya pintu bagi korporasi untuk
melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1970-
an, pasca lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1967,
dan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 1970, malah memberangus dan
mengkooptasi peran dan hak-hak masyarakat
hukum adat untuk memanfaatkan hasil hutan.
Meskipun pada tahun 1999 lahir UU Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, namun
pengakuan dan penghormatan terhadap hak-
hak masyarakat hukum adat tidak banyak
mengalami kemajuan. Pasal 5 UU 41/1999
menyatakan bahwa hutan adat menjadi bagian
dari hutan negara. Hal ini membuktikan bahwa
negara belum mau memberikan pengakuan
dan penghormatan atas hak-hak masyarakat
hukum adat dalam mengurus dan mengelola
sumber daya hutan.
Pengakuan dan perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat dan hutan adat belum
mendapat porsi yang seharusnya. Perbedaan
kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dibandingkan dengan ketentuan
sebelum berlakunya UU Cipta Kerja hanyalah
diakomodirnya hutan adat sebagai salah satu
bagian dari skema Perhutanan Sosial,
Kayu Illegal di Teluk Bintuni tahun 2020
Sumber: JPIK
Berkenaan pengakuan hutan adat dan
masyarakat hukum adat, pasca berlakunya UU
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan
peraturan pelaksanaannya posisi masyarakat
hukum adat Papua dalam pengelolaan hutan
tidak banyak mengalami perubahan. Otonomi
Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat yang awalnya telah memberikan peluang-
peluang positif bagi pemerintah provinsi, dan
komunitas masyarakat adat, digerus oleh UU
Cipta Kerja. Peraturan Daerah Khusus yang
diperbarui --sesuai Peraturan Pemerintah No.
106 Tahun 2021 tidak sejalan dengan
semangat Otonomi Khusus sebelumnya.
Pengakuan dan perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat dan hutan adat belum
mendapat porsi yang seharusnya.
akan tetapi dengan dimasukkannya hutan adat
sebagai bagian dari skema Perhutanan Sosial
artinya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan masih memandang hutan adat
sebagai bagian hutan negara, bukan
sebagaimana yang dimandatkan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan
adat adalah bagian dari hutan hak.
Dalam pengakuan hutan adat, pemerintah juga
terkesan setengah hati. Dalam Pasal 92
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, meskipun
masyarakat hukum adat diberikan hak untuk
melakukan pemanfaatan Kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan
atau pemungutan HHK, pemanfaatan atau
pemungutan HHBK namun kegiatan-kegiatan
pemanfaatan dan/atau pemungutan hasil hutan
kayu hanya diperuntukkan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari dan sesuai dengan
Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan.
Masyarakat hukum adat tidak diperbolehkan
melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan
kayu untuk tujuan komersial.
The Monitor Desember 2022 | 06
Percepatan Hutan
Adat dan
Limitasinya
yaitu sekitar 17,7 juta hektar.
Artinya baru 15% wilayah adat
yang sudah diakui oleh pemerintah
daerah. Menyangkut pengakuan
hak masyarakat adat atas hutan
adat oleh pemerintah pusat,
menurut data sampai Oktober
2022 Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan baru
menerbitkan surat keputusan
hutan adat sebanyak 96 hutan
adat dengan luas 116.664,90
hektar.
Berkenaan pengakuan hutan adat,
setelah menunggu selama 10
(sepuluh) tahun sejak terbitnya
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35 tahun 2012 tentang
Status Hutan Adat, di bulan
Oktober 2022 bertepatan dengan
Kongres Masyarakat Adat
Nusantara di Jayapura, Provinsi
Papua, baru diserahkan 7 (tujuh)
Surat Keputusan Penetapan
Status Hutan Adat dari
Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan seluas 40.881,90
hektar kepada masyarakat di Tana
Papua.
Bersandar pada data Badan
Registrasi Wilayah Adat (BRWA),
potensi Hutan Adat di Provinsi
Papua sebesar 6.170.281 hektar
dan Provinsi Papua Barat
1.808.288 hektar. Hingga bulan
Agustus 2022, Badan Registrasi
Wilayah Adat (BRWA, 2022) telah
meregistrasi 1.119 peta wilayah
adat dengan luas mencapai 20,7
juta hektar. Peta wilayah adat
tersebut tersebar di 29 Provinsi
dan 142 kabupaten/kota. Dari data
tersebut, terdapat 189 wilayah
adat dengan luas mencapai 3,1
juta hektar telah memperoleh
pengakuan dalam bentuk
Peraturan Daerah (Peraturan
Daerah) dan Surat Keputusan
kepala daerah provinsi atau
kabupaten/kota. Sedangkan yang
belum memperoleh penetapan
pengakuan wilayah adat masih
sangat besar,
Peluang Kebijakan
dan Regulasi SVLK
Hutan Adat
The Monitor Desember 2022 | 07
Pasca pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 jo
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2008 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua, dilakukan
pengaturan pengelolaan sumber
daya alam dalam kerangka
pengakuan dan penguatan hak
ulayat masyarakat adat di Papua.
Dalam pelaksanaan hak ulayat
melalui penguasaan masyarakat
hukum adat (MHA), Pemerintah
Provinsi Papua wajib mengakui,
menghormati,melindungi,memberd
ayakan,dan mengembangkan hak-
hak MHA. Berkenaan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya
hutan pada tahun 2008
Pemerintah Provinsi papua
menerbitkan Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) Nomor 21
Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan di Provinsi
Papua, Peraturan Daerah Khusus
Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam Masyarakat
Hukum Adat Papua, dan
Peraturan Daerah Khusus Nomor
23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Perorangan Warga Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah.
Sebelum terbitnya Peraturan
Gubernur Nomor 13 Tahun 2010
tentang IUPHHK-MHA, pada tahun
2000-an sudah ada Izin
Pemungutan Kayu Masyarakat
Adat (IPK-MA) yang dikelola oleh
Koperasi Peran Serta Masyarakat
(Kopermas). Sayangnya,
operasional IPK-MA di lapangan
tidak berhasil mewujudkan tujuan
awal pembentukannya. Karena
keterbatasan modal dan
pengetahuan lembaga adat
menyebabkan mereka harus
bermitra dengan pihak lain,
seperti: badan usaha milik daerah/
badan usaha milik negara,
pemegang konsesi swasta, dan
investor swasta lainnya. Di banyak
kasus, IPK-MA disinyalir hanya
menjadi kedok pihak ketiga untuk
memanfaatkan kayu di Papua
dengan cara memanfaatkan
aturan hukum yang tidak
konsisten, tidak tegas, dan
lemahnya pengawasan di
lapangan. Beberapa kali dilakukan
operasi pemberantasan
pembalakan liar yang ditujukan
pada pemilik izin IPK-MA. Izin
yang awalnya legal ini kemudian
dianggap “tidak legal” oleh
pemerintah pusat sehingga
aktivitasnya dibekukan dan
beberapa pihak kurang beruntung
karena dianggap sebagai
pembalakan liar.
Total luas IUPHHK-MHA adalah
78.040 ha. Namun demikian
meskipun mereka sudah memiliki
izin IUPHHK-MHA, namun mereka
tidak bisa mengambil manfaat dari
izin tersebut. Akan tetapi di sisi
lain, menunjukkan masih masifnya
peredaran kayu tanpa izin yang
berada di sekitar lokasi IUPHHK-
MHA. Proses pengakuan hutan
adat sebagai bagian dari hutan
hak sebagai mandat putusan
Mahkamah Konstitusi mem
butuhkan tahapan yang cukup
rumit dan membutuhkan waktu
yang cukup lama. Dalam proses
pengukuhan masyarakat hukum
adat sebagaimana ketentuan
dalam penjelasan pasal 67 UU
Nomor 41 Tahun 1999, diperlukan
payung hukum dalam bentuk
Peraturan Daerah untuk hutan
adat yang lokasinya berada di
kawasan hutan, dan/atau
Keputusan Gubernur / Bupati /
Walikota untuk hutan adat yang
lokasinya berada di luar kawasan
hutan. Meskipun saat ini sudah
ada Peraturan Daerah Khusus
tentang Pedoman Pengakuan
Perlindungan, Pemberdayaan
Masyarakat Hukum Adat dan
Wilayah Adat seperti Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua
Barat Nomor 9 Tahun 2019, dan
IPK-MA dianggap memperluas
terjadinya pembalakan kayu
secara tidak lestari. Melencengnya
kegiatan IPK-MA dari tujuan
awalnya membuat kebijakan yang
hendak memperluas dan
mempertegas akses hak
masyarakat adat atas hutannya
menjadi terhambat, dan
mendapatkan stigma yang buruk.
Masyarakat dianggap belum bisa
dipercaya dalam mengelola hutan
secara lestari.
Untuk kepentingan komersial,
sesuai Perdasus Nomor 21 Tahun
2008, masyarakat adat dapat
membentuk badan usaha. Salah
satu bentuk izin yang terbit
berdasarkan Pasal 38 Perdasus
Nomor 21 Tahun 2008 adalah Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Masyarakat Hukum Adat
(IUPHHK-MHA). Pengaturan lebih
detail berkenaan IUPHHK-MHA
diatur dalam Peraturan Gubernur
Papua Nomor 13 Tahun 2010
tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Masyarakat
Hukum Adat di Provinsi Papua.
Dari data sampai dengan tahun
2017, ada 18 IUPHHK-MHA yang
diterbitkan oleh Pemerintah
Provinsi Papua, dan masih ada
empat IUPHHK-MHA yang dalam
proses perizinan.
The Monitor Desember 2022 | 08
juga Peraturan Daerah di
beberapa kabupaten di Provinsi
Papua atau Provinsi Papua Barat,
namun proses untuk menuju
pengakuan dan penetapan hutan
adat masih cukup berliku.
Setelah adanya Peraturan Daerah
itu perlu dilakukan identifikasi dan
pemetaan batas-batas wilayah
hutan adat, penyiapan
kelembagaan masyarakat hukum
adat, dan penyusunan pranata dan
perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, dan beberapa
persyaratan lain untuk
mengajukan permohonan
pengakuan dan penetapan hutan
adat. Mengingat banyaknya hal-
hal yang perlu dipersiapkan dan
dilengkapi untuk proses
pengakuan hutan adat, diperlukan
sinergisitas para pihak yang
berkepentingan (NGO, akademisi,
praktisi) dan kebijakan politik
(political will) dari pemerintah
daerah untuk mengawal, dan
mendorong proses menuju
pengakuan hutan adat
Papua, ibarat serpihan surga yang terdampar di Bumi Indonesia. Namun kekayaan alam di Papua
belum bisa memberikan kemakmuran yang seutuhnya. Masyarakat hukum adat Papua sebagai
pemilik sah sumber daya alam belum diberikan hak untuk memanfaatkan hutan dan kehutanan,
meskipun sejak tahun 2012 sudah lahir putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Hutan Adat bukan
bagian dari hutan negara namun bagian dari hutan hak.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan konstruktif bagi para
pengambil kebijakan, bagaimana seharusnya hutan adat Papua dikelola dan
posisi MHA dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Papua.
Lalu, kekayaan alam itu berkah atau
bencana bagi OAP? Setidaknya hal itu dapat
dijelaskan dengan dua argumen berikut:
Pertama, Salah kaprah pembangunan yang
mewariskan residual consequences (endapan
konsekuensi) karena mendudukkan Papua
(masih) sebagai “objek” Pembangunan
Nasional. Selama pemerintahan Orde Baru
(1967 - 1998), dengan watak kebijakan
developmentalistik, top-down approach (serba
pendekatan kebijakan dari atas) dan militeristik,
telah terbukti menciptakan ketimpangan
struktural dan ketergantungan (sosial-ekonomi)
serta ketidakadilan (politik) yang mewariskan
trauma dan stigmatisasi buruk pada Orang Asli
Papua hingga sekarang. Di era Reformasi,
masuknya proyek raksasa Merauke Integrated
Food Energy Estate (MIFEE, 2010) menjadi
penanda kelanjutan salah kaprah
pembangunan atas orang Papua dan ruang
hidupnya. Praktik kebijakan pembangunan ini
seolah menutup mata Merauke dan Papua itu
“wilayah berpenghuni” dengan tata ruang adat
mereka atas tanah-air dan alam mereka.
Semua orang tahu, hutan dan sumber daya alam di tanah Papua kaya dan melimpah. Pertanyaannya adalah, apakah
ada garis lurus antara kelimpahan kekayaan alam dengan kesejahteraan bagi Orang Asli Papua (OAP)? Ternyata
masih jauh panggang dari api. Jangankan makmur-sejahtera, sebaliknya, krisis sosial-ekologis, pelanggaran HAM,
deforestasi dan kerusakan alam lainnya masih terus terjadi. Dari kasus deforestasi di Papua disebutkan bahwa sejak
awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak
terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022). Luas deforestasi yang
terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen
dari total deforestasi yang terjadi di Tanah Papua. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di
area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022).
Antara Berkah dan Bencana
Rambu-RambuPercepatanPengakuanHutanAdatdanSyarat
DasarPengelolaanHutanKayuLestaridiTanaPapua
Oleh : Eko Cahyono2
Kedua, ketimpangan struktural tata kelola
sumberdaya alam terutama hutan. Dari sekitar
415.170,37 Km persegi atau 41.517.037 hektar
luas daratan Tanah Papua (Papua dan Papua
Barat), wilayah kelola yang diberikan bagi
masyarakat hanya sekitar 169.665 hektar saja.
Sedangkan total luas izin kelola yang diberikan
korporasi besar swasta sekitar 8.589.282, atau
50 kali lipat lebih besar dari izin yang diberikan
kepada masyarakat. Dengan demikian wilayah
kelola yang diberikan pemerintah kepada OAP
ternyata sangatlah kecil dibandingkan untuk
kepentingan korporasi. Artinya, Papua kaya,
tapi tidak untuk orang Papua.
Ekspansi izin dan konsesi di tanah Papua, baik
pertambangan, perkebunan, perikanan,
pertanian dan proyek-proyek pembangunan
nasional lain yang membutuhkan tanah luas di
Papua selalu diiringi sikap eksploitasi dan
ekstraksi atas sumber kekayaan alam di papua
terutama ekosistem hutan. Inilah sumber
masalah dari deforestasi dan meningkatnya
pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua
(Menatap ke Timur Auriga, 2021)[3].
[2] Peneliti dan Pegiat di Sajooyo Institute (SAINS) dan Wakil Direktur Papua Study Center (PSC)
[3] https://auriga.or.id/flipbooks/report/id/71.
The Monitor Desember 2022 | 09
Secara garis besar setidaknya ada 4 (empat)
upaya perbaikan dan perubahan kebijakan
telah dilakukan untuk memastikan hak OAP
memiliki akses yang lebih baik atas
sumberdaya hutan mereka. Pertama, Otonomi
Khusus (OTSUS). Terobosan politik afirmatif ini
penting ini ternyata dalam pelaksanaanya
masih belum menjadikan OAP menjadi subjek
penentu perubahan dan penerima distribusi
kesejahteraan dari sumber daya alamnya
sendiri. Pada tahun 2008, melalui Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) No. 22 Tahun 2008,
pemerintah daerah menyatakan masyarakat
hukum adat (MHA) Papua memiliki hak atas
hutan sesuai dengan batas wilayah adat
masing-masing. Kedua, otonomi pengelolaan
hasil hutan kayu. Tahun, 2010 juga terbit
Peraturan Gubernur (Pergub) Papua No. 13
Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Masyarakat Adat.
Hasil observasi Tim JPIK, sejak peraturan itu
lahir, tercatat kurang lebih 17 SK IUPHHK-MHA
diterbitkan. Akan tetapi, faktanya Pergub
tersebut belum berjalan dengan baik.
Penyebabnya, KLHK tidak mengakui adanya
IUPHHK MHA dalam nomenklatur tata kelola
kayu di Indonesia.
Ragam Inisiatif untuk Daulat Alam Orang Papua
Sumber: Yayasan Auriga
Ketiga, gagasan awal SVLK Adat. Hal ini
merupakan sebuah terobosan yang coba
dibuka agar masyarakat ada bisa mengakses
kayu di wilayah adatnya secara legal, tidak
hanya untuk kebutuhan domestik atau
subsisten, namun untuk tujuan komersil. Salah
satu tawaran solusi yang bersifat transisi,
sembari menunggu pengakuan Hutan Adat,
diperlukan kebijakan dari KLHK dapat
memberikan perizinan pemanenan kayu adat
dengan payung hukum melalui Peraturan
Daerah (PERDA) atau Peraturan Bupati
(PERBUB)[4]. Keempat, pengakuan
masyarakat adat dan hutannya. Kebijakan
Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
muncul sebagai jalan baru untuk mempercepat
hak atas tanah dan hutan adat. Saat kongres
AMAN ke VI di Papua menjadi tonggak penting
"pecah telur" dengan ditetapkannya 7
pengakuan hutan adat[5].
4] https://betahita.id/news/detail/7937/peluang-kesejahteraan-
dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html?v=1664429888.
[5] https://www.mongabay.co.id/2022/10/26/penetapan-hutan-
dan-wilayah-adat-warnai-kman-di-papua/
The Monitor Desember 2022 | 10
Gerakan Reformasi 1998 memungkinkan
berbagai inisiatif dan beragam gerakan
masyarakat sipil khususnya yang concern ke
perjuangan adat bertunas subur. Benang
merah agenda utamanya bertujuan untuk
pengakuan negara (state recognition),
Proses negaraisasi dan teritorialisasi kawasan
hutan berdampak pada marginalisasi dan
eksklusi masyarakat adat dari ruang hidupnya
sendiri.Watak paradigma politik agraria yang
masih berorientasi ‘pertumbuhan’ dan
kapitalistik-neoliberal memposisikan hutan dan
kekayaan alam yang ada di dalamnya sebagai
komoditas dan “aset ekonomi”. Seringkali
hutan dianggap wilayah ‘tak berpenghuni”,
atau maksimal hanya ada 2 kategori: Kayu
dan Non Kayu. Maka, hutan dinihilkan dari
kehidupan manusia. Hutan ada untuk hutan
saja. Untuk mewujudkan misi hutan yang
bersih dari manusia ini, lalu beragam cara
yang tidak manusiawi dilakukan. Salah
satunya stigmatisasi atas manusia dan
kehidupannya di dalam dan sekitar/pinggiran
hutan dengan istilah berkonotasi negatif,
seperti perambah, perusak, penyerobot hutan,
‘pencuri’ (kayu milik negara), ‘penyabotase’
reboisasi negara, perusak ekosistem hutan,
dan seterusnya (Peluso, 2006). Tak heran, jika
hal ini dianggap sebagai induk semang
lahirnya benih-benih sikap anti sosial dan
dehumanisasi dalam tata kelola kebijakan
kehutanan (Kartodihardjo, 2016). Inilah hulu
masalah yang dapat menjadi argumen
penjelas mengapa hak masyarakat adat, baik
perempuan dan laki-laki di tanah Papua dan
pulau lain di nusantara masih terus terabaikan
hingga kini.
Urgensi Pemenuhan Syarat
Pengakuan Wilayah Adat
penyelesaian konflik dan pemulihan hak
Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup (Li, 2001;
Nababan; 2018). Putusan Mahkamah
Konstitusi No.35/PUU-X/2012 jadi tonggak
penting "Hutan Adat" bukan lagi "Hutan
Negara" Maka, berangsur-angsur pemenuhan
hak dasar masyarakat adat terjadi. Meski
sangat lambat. Kini, merujuk laporan terbaru
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 9
Agustus 2022, terdapat 1.119 peta wilayah
adat yang sudah teregistrasi dengan total luas
20,7 juta hektar, tersebar di 29 provinsi dan
142 kabupaten/kota. BRWA telah melakukan
sertifikasi terhadap 634.216 ha di 47 peta,
verifikasi 3.005.158 ha di 144 peta, registrasi
17.070.397 ha di 923 peta, dan tercatat
74.262 ha di 5 peta.
Namun demikian, proses kebijakan
pengakuan Hutan Adat masih nampak bersifat
“setengah hati”. Pertama, kebijakan
pengakuan yang diberikan, masih di level
pengakuan legalitas hutannya, namun belum
sampai menyentuh pada pengakuan atas
eksistensi identitas pengetahuan adat,
termasuk pengakuan sistem tata ruang
berbasis adat. Kedua, masih adanya ketidak-
sinkronan paradigma pengelolaan kawasan
hutan antara pemerintah dan masyarakat
adat, perubahan lanskap ekologi hutan, dan
dinamika perubahan pola penguasaan tanah
yang terjadi di dalam masyarakat adat sendiri.
[6] (Sajogyo Institute, 2020). Ketiga, mahalnya
ongkos PERDA, masih minimnya political will
dan dukungan Pemerintah Daerah serta
kapasitas yang rendah (BRWA, 2022).
Dengan demikian, percepatan pengakuan
hutan adat penting disyarati dengan kualitas
akurasi dan validitas data empirik yang kokoh
dan komprehensif dengan etnografi kritis
(critical ethnography) adat.
[6] Policy Paper, Tiga Catatan Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute,
2020
The Monitor Desember 2022 | 11
Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian
dan referensi tentang hutan dan masyarakat
adat di Papua[7], tampak ada ‘kekhususan’
manusia dan alam di Papua. Maka tawaran
rambu-rambu percepatan pengakuan adat di
Papua adalah: (1) Pentingnya sikap kepekaan
batin dan pikir bahwa dalam sejarahnya
bahwa semua tanah Papua telah memiliki
‘tuan’/pemilik nya, yakni masyarakat adat
dengan sistem nilai Papua yang beragam; (2)
Pentingnya sikap dasar kepekaan dan
pemahaman yang utuh atas keragaman
sistem sosial-budaya tiap suku, etnis dan
marga dengan berbasis sejarah tenurial dan
lokalitasnya, berikut keragaman lanskapnya,
baik dataran tinggi, perbukitan, lembah,
dataran rendah, savana, rawa-rawa, pesisir-
laut, dst; (3) Penentuan dan penyusunan
batas wilayah adat mesti sampai ke tingkat
satuan Marga, bukan sebatas batas indikatif di
wilayah suku besar atau sub suku. Sebab
kepemilikan tanah dan hutan di Papua
umumnya berbasis marga; (4) Jika timbul
konflik berbasis tanah dan agraria penting
mendahulukan penyelesaiannya dengan
model sistem adat. Hal ini harus digali ulang
Masalah lainnya adalah tumpang tindih dan
disharmoni regulasi pusat dan daerah menjadi
satu masalah penting untuk segera
disinergikan. Sebab, kini di ranah praksis
kebijakan pengakuan atas Hutan Adat
berbenturan dengan kebijakan strategis
pembangunan nasional yang watak dasarnya
kontra tujuan pemenuhan keadilan bagi
masyarakat adat. Misalnya, masuknya kembali
program food estate di Papua, dan
kemudahan dan perluasan izin dan konsesi
pertambangan, perkebunan (terutama sawit)
dan kehutanan yang dilegitimasi Undang-
Undang Cipta Kerja No. 11/2020.
Lalu, Apa Rambu-Rambu
yang Diperlukan untuk
Percepatan Pengakuan Adat
di Papua?
dan ditemukan di komunitas adat yang akan
mendapat pengakuan hutan adat; (5)
Memastikan ulang secara cermat struktur
kelembagaan lokal adat. Hal ini menentukan
dalam politik representasi dan keterwakilan
kelompok masyarakat adat yang akan
dilibatkan dalam pengakuan hutan dan
wilayah adat; (6) Mencegah potensi sikap
eksklusif atas komunitas, marga, etnik dan
adat yang berbeda dalam proses/pasca
pengakuan adat; (7) Penting menjembatani/
membumikan konsep Desa-desa Adat atau
konsep sejenisnya, yang telah diakui oleh
negara untuk diselaraskan dengan sistem
kampung adat yang beragam di tanah Papua.
[7] Diantara hasil riset yang dilakukan oleh Penulis bersama
beberapa lembaga dapat dilihat dan diunduh di link berikut:
https://sajogyo-institute.org/buku-3-konflik-agraria-masyarakat-
hukum-adat-di-kawasan-hutan/, lihat juga, https://fwi.or.id/wp-
content/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-Papua-Hutan-
dan-Manusianya.pdf, lihat juga;
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-
pers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan-sawit-
korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup-di-tanah-
papua/
The Monitor Desember 2022 | 12
Hutan Adat Marga Ogoney, di Distrik
Merdey Kabupaten Teluk Bintuni
Tawaran SVLK Berbasis Adat dan Syarat - Syaratnya
Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2009
peraturan terkait SVLK sudah mengalami
bongkar pasang sebanyak 9 (sembilan) kali
sampai terakhir dikeluarkannya Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 8 Tahun 2021. Hal ini untuk
memperkuat dasar ini tujuan SVLK yakni
memastikan agar semua produk kayu yang
beredar dan diperdagangkan di Indonesia
mempunyai status legalitas yang jelas dan
meyakinkan. Kayu disebut legal bila asal-usul
kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur
penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan
perdagangan atau pemindahtanganan-nya
dapat dibuktikan memenuhi semua
persyaratan legal yang berlaku.
SVLK juga menjadi salah satu upaya strategi
pemerintah untuk mengatasi pembalakan liar
yang terjadi, deforestasi dan juga sebagai
bentuk mempromosikan kayu legal di
Indonesia. Sistem ini juga merupakan upaya
untuk mewujudkan good forest governance
(tata kelola hutan yang baik) menuju
pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan.
Masalah lain yang muncul adalah terkait
dengan definisi legal dalam arti keterlacakan
asal usul kayu atau lacak balak yang
seringkali tidak terlalu dihiraukan dalam
transaksi penjual dan pembeli, asalkan
dokumen-dokumen kayu sudah lengkap. Maka
sejak tahun 2000-an, muncul gagasan untuk
mempercayakan keterlacakan kayu pada
pengetesan DNA (Deoxyribonucleic acid)
kayu.
Sehingga diperlukan terobosan gagasan dan
kebijakan tentang SLVK berbasis Adat. Secara
prinsip SVLK berbasis adat tersebut mengikuti
aturan, regulasi dan mekanisme sebagaimana
SVLK pada umumnya, namun yang mem
bedakannya adalah dalam praktiknya nanti wajib
ditambahkan rambu-rambu dan syarat-syarat yang
selaras dengan sistem adat di Papua.
[8] Arum Budiastuti (2017) In DNA We Trust?: Biolegal Governmentality and Illegal Logging in Contemporary Indonesia, East Asian
Science, Technology and Society: An International Journal, 11:1, 51-70, DOI: 10.1215/18752160-3641422
Tes ini secara ilmiah dan otentik dapat
mengutarakan tentang asal usul kayu yang
sebenarnya, melampaui legalitas dokumen.[8]
Namun, proses ini butuh teknologi, biaya, waktu
dan kompetensi manusia untuk melakukannya.
Atas dasar konteks inilah gagasan me-
ngembangkan bentuk-bentuk SVLK berbasis adat
penting terus ditumbuhkan. Selain itu, masih
tingginya praktik illegal logging kayu adat di
Papua, hingga sekarang, menjadi fakta lain
bahwa bahwa SVLK ‘biasa” yang ada sekarang
masih belum mencukupi untuk melindungi dan
menjamin kelestarian alam dan hasil hutan
khususnya kayu di Tana Papua.
The Monitor Desember 2022 | 13
Kayu Merbau di Kampung Siwis, Papua Barat
1
Memiliki baseline dan pemahaman yang utuh tentang sistem tenurial dan sistem pengetahuan adat terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat, terutama: ragam fungsi hutan dan kayu adat, kepemilikan
dan penguasaan hutan dan kayu adat, ragam bentuk tata ruang adat, sistem ambil-tanam, batas maksimum-
minimum pengambilan kayu, peruntukan dan tujuan pengambilan kayu adat, sistem transaksi (jual beli,
barter, dll.) kayu adat, sistem pemulihan hutan dan kayu adat dst. Hal ini menjadi syarat dasar yang harus
dipenuhi dan diintegrasikan terhadap kebijakan SVLK pada umumnya agar berdimensi adat;
Berikut ini beberapa tawaran syarat - syarat untuk mendorong SVLK
berbasis adat di papua :
2
Sebagaimana SVLK pada umumnya, prinsip dasar untuk menjamin efektifitas implementasi SVLK berbasis
Adat, sangat ditentukan berfungsi/tidaknya tiga pilar utama, yaitu: peran pemerintah sebagai regulator,
Lembaga Sertifikasi (LS) sebagai lembaga auditor, CSO/Gakkum/Pendamping Masyarakat Adat dan
aparat/PI sebagai pemantau pelaksanaan SVLK. Sebab, fakta lapangnya menunjukkan jumlahpemantau dan
penegak hukum tidak sebanding dengan jumlah unit usaha yang dipantau. Tambahan wajib dalam SVLK
berbasis Adat adalah keterlibatan Wakil Masyarakat Adat sebagai Eksekutor, yang harus dilibatkan dalam
keseluruhan proses SVLK berbasis adat;
3
Untuk memastikan ada kepatuhan dari Unit Manajemen menjalankan SVLK berbasis Adat dan PHPL penting
kontrol ketat dari Pemantau Independen yang terintegrasi dari hulu dan hilir. Dalam tujuan ini diperlukan satu
strategi dan upaya serius untuk memastikan keterlibatan Masyarakat Adat sebagai subjek pelaku utama
dengan seluruh sistem pengetahuan adatnya sebagai bagian integral dalam proses Pemantauan Independen,
bukan hanya sebagai penonton, sebab hal ini harus menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar;
The Monitor Desember 2022 | 14
4
Memastikan keselarasan peraturan pusat dan daerah (PERDA Pengakuan Hutan Adat) untuk pengelolaan
kayu hasil hutan adat. Jika belum ada Perda Hutan Adat, penting diskresi kebijakan untuk menyediakan
mekanisme dan strategi transisi regulasi sembari menunggu pengakuan hutan dan wilayah adat diperoleh
secara resmi. Misalnya, memungkinkan transisi pengelolaan kayu hutan adat berdasarkan SK Bupati atau
SK Gubernur yang diintegrasikan dengan SVLK Adat.
5 Penghargaan (reward) bagi unit manajemen yang konsisten melaksanakan SVLK hutan adat dengan seluruh
syarat-syaratnya;
6 Menghormati 7 rambu-rambu pengakuan hutan dan wilayah adat, sebagaimana dijelaskan dalam bab
sebelumnya;
7
Memastikan SVLK hutan adat di Papua mampu mengantisipasi sekaligus dapat memenuhi/menjawab
tantangan pasca pengakuan hutan dan wilayah adat untuk memastikan keadilan sosial-ekologis bagi semua
lapisan sosial masyarakat adat, bukan melanggengkan ketimpangan struktural lama dan baru.
Syarat-syarat SVLK berbasis Adat di Papua ini tentu saja dapat bertumbuh dan berkembang
selaras dengan situasi riil di komunitas adat yang akan menerapkan SVLK berbasis Adat.
Prinsipnya, SVLK berbasis Adat disusun dengan cara mengintegrasikan aturan umum SVLK
dengan menambahkan syarat wajib sistem tenurial dan pengetahuan pengelolaan hutan adat yang
melekat dan dimiliki oleh masing-masing komunitas adat di Papua. Pendasaran pada
penghormatan dan pengintegrasian regulasi/kebijakan negara dan adat inilah yang menjadi
pondasi dari SVLK berbasis Adat di Papua maupun tempat lain yang akan mengadopsinya
nantinya. Tujuan akhirnya adalah memastikan keadilan dan daulat masyarakat adat sepenuhnya
atas tanah-air dan ruang hidupnya.
Selain itu, dukungan klaster industri sebanyak
99 pabrik pulp dan kertas telah dibangun guna
menampung pasokan kayu bulat yang berasal
dari Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Berbagai isu negatif yang muncul dari
pengelolaan HTI di 6 provinsi pun tak lepas dari
isu deforestasi dan konversi lahan gambut dan
juga konflik sosial.
Pada konteks implementasi SVLK, dari 144
perizinan berusaha (HTI), FWI-JPIK berhasil
mengumpulkan resume hasil penilaian
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (sekarang
Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari/S-PHL) dari
51 perusahaan, sebagai bagian dari surat
keterangan yang diberikan kepada perusahaan
yang menjelaskan bagaimana kinerja
perusahaan dalam pengelolaan hutan secara
lestari. Hasil penilaian tersebut dikeluarkan oleh
Lembaga Sertifikasi untuk periode penilaian
tahun 2019 dan 2020 di 6 Provinsi. Meski hasil
penilaian SVLK di dominasi oleh perbaikan atau
keberhasilan dalam mempertahankan kinerja
perusahaan pada setiap aspek yang dinilai,
temuan-temuan hasil pantauan di lapangan
yang dilakukan oleh pemantau independen
menunjukkan masih banyak indikasi-indikasi
pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan
HTI di setiap aspek baik aspek prasyarat, aspek
produksi, aspek ekologi dan juga aspek sosial.
Oleh karena itu policy brief ini bertujuan untuk
mendorong perbaikan sistem melalui penguatan
standar dan pedoman penilaian kinerja
pengelolaan hutan lestari.
Latar Belakang
SVLK adalah sistem untuk memastikan
kredibilitas penjaminan legalitas hasil hutan,
ketelusuran hasil hutan dan/ atau kelestarian
pengelolaan hutan. Kebijakan pemerintah ini
bersifat wajib bagi semua pelaku usaha
kehutanan. Sejak diterapkannya peraturan
SVLK tahun 2009 hingga saat ini, Pemantau
Independen (PI) dan kegiatan pemantauan
selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Pada
Permen LHK 08/2021 Pasal 244 ayat 2
disebutkan ‘Pemantauan dilakukan terhadap
pelayanan publik dibidang SVLK sebagai
bentuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas dan
integritas’. Untuk memotret kepatuhan IUPHHK
Hutan Tanaman Industri (Nomenklatur IUPHHK
saat ini menjadi Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan) dalam menjalankan
kebijakan SVLK, maka pada tahun 2022 FWI
dan JPIK beserta jejaring di daerah telah
melakukan pemantauan pada 6 provinsi; Aceh,
Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera
Selatan dan Sumatera Utara.
Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat
merupakan kantong-kantong konsesi hutan
tanaman industri di Indonesia. Tidak kurang
dari 144 izin telah diberikan dengan luas
sekitar 5,97 juta hektare atau 54 persen dari
luas izin hutan tanaman keseluruhan. Produksi
kayu HTI dari 6 Provinsi ini pada tahun 2019
dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen
dan 89 persen pada produksi kayu nasional
yang berasal dari hutan tanaman
Transformasi SVLK :
Legalitas Menuju Kelestarian
Oleh : FWI & JPIK
The Monitor Desember 2022 | 15
belum dikelola menjadi
perkebunan kelapa sawit;
menurunnya kualitas tanah dan
air akibat operasional HTI;
kegiatan land clearing dengan
melakukan penimbunan sungai;
Pembangunan kanal di dalam
konsesi HTI yang meng-
akibatkan perubahan muka air
gambut dan terancamnya
habitat spesies dilindungi,
termasuk konflik dengan satwa
seperti Gajah dan Harimau
Sumatera.
Tidak ada upaya sosialisasi
secara menyeluruh atas
aktivitas/operasional HTI; Tidak
ada upaya penyelesaian konflik
yang jelas dan dapat diterima
oleh para pihak yang ter-
dampak, sehingga kejadian
konflik tersebut sering terulang,
bahkan bertambah/meningkat
secara jumlah di beberapa
wilayah; tidak ada kejelasan
dan tidak ada pelibatan (secara
partisipatif) mengenai kegiatan
penata batasan; tidak ada
kejelasan mengenai imple-
mentasi tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masya-
rakat di sekitar konsesi.
Ketidaksesuaian implementasi
penataan areal kerja di
lapangan dengan rencana
jangka panjang (RKUPHHK);
Masih minimnya pelibatan
masyarakat (sekitar perusa-
haan), Pemerintah Daerah,
Dinas Kehutanan dan KPH
serta Pemantau Independen
dalam proses penilaian LS
pada Perusahan HTI,
Penilaian yang berbasis pada
ketersediaan dokumen sebagai
bahan verifikasi sudah tidak
relevan dengan situasi di
lapangan karena tidak mampu
menggambarkan kondisi nyata
yang terjadi. Verifier tersebut
terdapat dalam seluruh aspek
penilaian (prasyarat, produksi,
ekologi dan sosial). Terjadinya
tumpang tindih klaim pe-
nguasaan antara perusahaan
dengan masyarakat serta tidak
adanya pengakuan dari
masyarakat terhadap area kerja
perusahaan. Masih dimungkin -
kan pembukaan hutan di areal
ekosistem gambut dan di dalam
kawasan lindung. Rendahnya
implementasi perlindungan dan
pengamanan hutan preemtif
/preventif /represif), seperti
terjadinya kebakaran hutan
yang terjadi di lahan gambut
pada tahun 2015 dan 2019;
terjadi illegal logging dan
perambahan kawasan konsesi
HTI yang masih berhutan atau
Sebagai salah satu instrumen
yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja peng-
elolaan hutan lestari, SVLK
dibangun melalui pengem-
bangan prinsip keberlanjutan
pada aspek ekologi, produksi
dan sosial. Namun demikian,
berdasarkan pemantauan
lapangan, masih terdapat
beberapa kelemahan, antara
lain:
Masih terdapat verifier yang
berpengaruh langsung terhadap
kondisi di lapangan yang
pembobotannya bersifat co
dominan, sehingga tidak
berpengaruh signifikan pada
hasil akhir penilaian. Seperti
verifier yang terkait dengan
ketersediaan dokumen legal
dan administrasi tata batas,
serta realisasinya. Hal ini,
mengakibatkan terjadinya
konflik lahan antara perusahaan
dengan perusahaan, dan konflik
tenurial antara perusahaan
dengan masyarakat.
Permasalahan SVLK
Interview di Dinas Kehutanan Kalimantan Barat
The Monitor Desember 2022 | 16
Kejelasan mengenai kejelasan tata batas
antara konsesi dan wilayah masyarakat adalah
hal penting dan harus mendapat pengakuan
dari masyarakat. Penguatan verifier pada
aspek sosial, dimana indikator ter-
selesaikannya konflik sebagai salah satu
verifier dalam penilaian. Saat ini indikator
penyelesaian konflik hanya terbatas pada
ketersedian prosedur atau langkah
penyelesaian konflik. Dengan adanya indikator
terselesaikannya konflik, mengharuskan
perusahaan untuk lebih serius menyelesaikan
konflik yang ada. Pemerintah (KLHK) harus
melakukan pengawasan dan evaluasi yg ketat
terhadap perusahaan yg kinerjanya tidak
meningkat melalui audit kepatuhan.
Perbaikan kebijakan SVLK dengan
memasukan dan memperkuat peran Peme-
rintah Daerah dan KPH dalam bisnis proses
SVLK. Harus ada dukungan kebijakan dari
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
untuk memperkuat kapasitas Pemerintah
Daerah dan KPH dalam pelaksanaan SVLK.
Rekomendasi
SVLK berfungsi untuk memastikan produk
kayu dan bahan bakunya diperoleh atau
berasal dari sumber asal usul dan
pengelolaannya memenuhi aspek legalitas.
SVLK memuat sejumlah standard, kriteria,
indicator verifier, metode verifikasi, dan
penilaian yang disepakati bersama. Hal ini
merupakan langkah yang dilakukan oleh
pemerintahan Indonesia menuju pengelolaan
hutan yang lestari. Selain memberikan
kepastian hukum, SVLK menyiratkan
komitmen pemerintahan Indonesia dalam
perbaikan tata Kelola kehutanan Indonesia.
Namun demikian, melihat permasalahan
sebagaimana yang diuraikan diatas, SVLK
masih belum mampu menjawab sejumlah
persoalan yang terjadi di tingkat tapak. Maka
dari itu, pemerintah perlu mencermati secara
mendalam persoalan yang terjadi di tingkat
tapak sebagai diuraikan diatas, dan
mempertimbangkan beberapa rekomendasi
berikut sebagai upaya perbaikan pelaksanaan
SVLK kedepan, diantaranya; Penguatan
verifier pada aspek prasyarat terkait kepastian
kawasan.
The Monitor Desember 2022 | 17
FGD membangun sinergitas peran Pemda
dalam implementasi SVLK di Aceh
sehingga tak jarang hasil penilaian LS tidak
sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga
ada indikasi ketidak objektifan dalam
penyusunan laporan LS. Kurangnya peran
pemerintah daerah (Kepala Daerah, Dinas
Kehutanan dan KPH) dalam bimbingan,
pengawasan dan pengendalian dalam
implementasi SVLK. Minimnya sosialisasi,
cepatnya perubahan kebijakan serta belum
padunya skema pendanaan antara kebijakan
pusat dan agenda kegiatan di daerah turut
menghambat peran pemerintah daerah ini.
Minimnya upaya pencegahan, pengawasan
dan penegakan hukum yang efektif dan
berefek jera disertai dengan pemberian sanksi
yang tegas agar pelanggaran yang sama tidak
terulang di kemudian hari. Sanksi pembekuan
dan pencabutan sertifikat yang berjalan
regresif tanpa adanya pencabutan izin operasi,
sehingga peredaran kayu oleh pemilik izin
yang tersandung masalah hukum masih
terjadi. Pemenuhan hak pemantauan
independen meliputi terbatasnya pendanaan,
data dan informasi yang diberikan oleh
lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait
dengan kerja-kerja pemantauan, hingga
jaminan keselamatan serta perlindungan
hukum bagi para pemantau independen.
8TH TRAINING WORKSHOP ON
TIMBER LEGALITY ASSURANCE (TLA-8),
VIETNAM
JPIK mengikuti kegiatan bertajuk “8th Training
Workshop on Timber Legality Assurance (TLA-
8)” yang berlangsung dari tanggal 6 – 8
Desember 2022 di Hotel Grand Saigon Ho Chi
Minh City, Vietnam. Acara tersebut dihadiri
oleh puluhan peserta dari berbagai negara di
Asia seperti Laos, Kamboja, Malaysia,
Thailand, Brunei, Myanmar, Philipina, dan
Vietnam. Turut hadir pula secara daring para
peserta dari Jepang, China, dan Korea
Selatan. Tujuan diadakan kegiatan ini antara
lain:
O L E H : D A N I A L D I A N P R A W A R D A N I
L A P O R A N K E G I A T A N
Meningkatkan pemahaman terhadap
tantangan dan peluang khususnya yang
dimiliki oleh industri kecil dan menengah
pengolahan kayu untuk berpartisipasi
dalam rantai pasok bahan baku legal.
Pertukaran informasi tentang kemajuan
negara anggota ASEAN dan ASEAN +3
Economies (China, Jepang, dan Republik
Korea Selatan) dalam proses TLA dan
pengembangan uji tuntas,
Meningkatkan pemahaman terhadap
kebijakan baru EU dalam kehutanan dan
perdagangan.
Bertukar pengalaman praktis antar negara
ASEAN dalam penyusunan sistem legalitas
kayu.
Meningkatkan kolaborasi para pihak dalam
menghadapi persoalan-persoalan kehutanan,
tata kelola, dan perdagangan kayu.
The Monitor Desember 2022 | 18
Kegiatan TLA-8, dibuka dengan beberapa
sambutan diantaranya dari Delegasi EU untuk
Vietnam, Pejabat senior ASEAN, dan Direktur
Jendral Kehutanan Viet Nam (DDG VN-Forest)
selaku tuan rumah.
Dalam berbagai sambutan tersebut
dipaparkan tentang komitmen para pemangku
kepentingan (swasta, pemerintah, dan pasar)
dalam membangun TLAS yang lebih
komprehensif guna menghadapi tantangan
perubahan lingkungan global (deforestasi,
perubahan iklim, dan perubahan pola
perdagangan di pasar regional), serta
membangun keselarasan TLAS dengan
inisiatif global (REDD+, NDC, SDG, dan
komitmen swasta lainnya).
Turut hadir juga Henriette Færgemann First
Counsellor - Environment, Climate Action, ICT
salah satu delegasi EU untuk Indonesia yang
menyampaikan paparan terkait dengan status
kebijakan baru EUDR (EU Deforestation
Regulation) yang baru disahkan pada 6
Desember 2022. Kebijakan baru bebas
deforestasi digagas sebagai bentuk kontribusi
EU dalam mengurangi deforestasi dan
deforestasi global, melalui mekanisme uji
tuntas bagi operator EU dan pelaku
perdagangan yang menempatkan komoditas
atau produknya dalam lalu lintas ekspor-impor
EU.
[6] Dokumen joint statement dapat diundung pada tautan berikut:
https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view
The Monitor Desember 2022 | 19
Perusahaan perlu memastikan akses
informasi terhadap komoditas yang
mereka tempatkan pada pasar UE, antara
lain berupa: jenis dan jumlah komoditas,
pemasok, negara yang memproduksi, dll.
Persyaratan utama, pada langkah ini,
adalah mendapatkan koordinat geografis
bidang tanah atau lokasi komoditas
tersebut di diproduksi. Penggunaan
koordinat geolokasi dianggap cara yang
paling sederhana dan hemat biaya untuk
memperoleh informasi geografis yang
diperlukan agar pihak berwenang di EU
dapat melakukan pemantauan jarak jauh .
Aturan uji tuntas ditempuh melalui tiga
langkah yaitu:
melalui citra satelit untuk memastikan bahwa
produk dan komoditas yang ditempatkan di
EU bebas dari deforestasi.
Langkah kedua, perusahaan perlu
menggunakan informasi tentang petak lahan
yang digunakan untuk memproduksi
komoditas untuk menganalisis dan meng-
evaluasi risiko dalam rantai pasokan.
Perusahaan juga perlu menyusun tindakan
mitigasi yang memadai dan proporsional
terhadap resiko yang ada.
Sedangkan cakupan dari regulasi deforestasi
EU tersebut meliputi :
Komoditas yang dicakup: Kedelai, minyak
sawit, ternak, kakao, dan kopi & beberapa
produk turunan (misalnya kulit, cokelat,
furnitur)-dasar: penilaian dampak produk
mana yang benar-benar berkontribusi
terhadap deforestasi
Tidak ada diskriminasi: Berlaku sama untuk
produk yang diproduksi di UE dan diimpor dari
luar negara negara anggota UE
Cakupan progresif: Cakupan produk akan
diperluas seiring waktu
Tanggal batas (cut-off date) 31 Desember
2020: Tidak ada komoditas yang diizinkan
memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan
yang mengalami deforestasi setelah tanggal
tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen
SDG
1.
2.
3.
4.
Update implementasi dari rencana kerja
FLEG di ASEAN 2016 – 2025
Update dan Rencana tindak lanjut UEDDR
proposal
Sharing & learning dari pengalaman
implementasi dan perkembangan verifikasi
legalitas kayu dari masing-masing negara
ASEAN.
Diskusi hasil kajian FLEGT ASIA:
Partisipasi UMKM dalam rantai pasok kayu
legal.
Pembelajaran dari Sustainable Landscapes
Initiative
Dampak Covid-19 pada perdagangan kayu
negara - negara ASEAN
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini
juga membahas beberapa agenda, antara lain:
1.
2.
3.
4.
Sebagai satu-satunya negara pemegang
FLEGT License, Indonesia berbagi
pengalamannya dalam penyusunan SVLK dan
VPA (voluntary partnership agreement) dengan
EU. Keterlibatan pemangku kepentingan dan
konsultasi publik di bawah VPA Indonesia
menandai proses negosiasi FLEGT-VPA EU-
Indonesia, yang sudah dimulai sejak tahun
2006, hingga mencapai keberhasilannya bulan
November 2016 dengan penerbitan FLEGT
License pertama.
Acara ditutup dengan agenda field trip pada
Asosiasi Furniture di Binh Duong untuk
mendapatkan wawasan tentang manajemen
rantai pasok bahan baku impor dan domestik.
Saat ini beberapa negara yang ikut menjadi
peserta pelatihan tengah menjajaki
pengembangan TLAS dan menjalin kerjasama
dengan EU. Misalnya, Vietnam di tahun 2016
juga menandatangani kesepakatan terkait
kewajiban pembangunan sistem jaminan
legalitas kayu terhadap produk-produk yang
dijual ke Uni Eropa, mengikuti jejak Indonesia.
Para peserta juga mendapatkan kesempatan
melakukan FGD untuk membahas topik-topik
spesifik seperti pengalaman dalam design dan
implementasi TLA pada masing-masing
negara, pemenuhan informasi yang dibutuhkan
untuk melakukan uji tuntas, dan partisipasi
SME dalam rantai pasok kayu legal.
The Monitor Desember 2022 | 20
Uni Eropa juga akan menerapkan
benchmarking (penilaian risiko) bagi tiap
negara. Tiap negara akan ada kategori
berdasarkan tingkat deforestasinya yaitu,
rendah, standar dan tinggi. JPIK bersama
sejumlah CSO di Indonesia juga sempat
menyoroti terkait inisiatif EUDR yang
dituangkan melalui pernyataan bersama (joint
statement)[6]. Dalam pernyataan tersebut
EUDR didorong agar menjadi pendekatan yang
lebih holistik dengan memper- timbangkan
pemberian insentif dan dukungan pada upaya
pengurangan dan pencegahan deforestasi,
serta reformasi pola produksi komoditas di
negara produsen, serta mencermati dampak
langsung dari regulasi bagi petani swadaya.
Namun demikian, pasca disahkannya EUDR
masih terbuka ruang untuk mengkaji poin-poin
kebijakan selama implementasinya dalam 2 – 5
lima tahun ke depan, seperti peran dan
tanggung jawab lembaga keuangan dalam
investasi bebas deforestasi akan dikaji dalam
dua tahun mendatang.
Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and
Biodiversity Protection’ melalui
Kegiatan Youth Leadership Camp
for Climate Crisis 2022
Perubahan iklim terjadi
begitu saja dan terasa
sangat cepat sehingga
membutuhkan aksi
berbagai pihak untuk
memerangi krisis iklim.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa pemuda berada di
garda terdepan dalam
aksi perubahan iklim
sesuai poin ke 13 SDG’s
yaitu Climate Action.
Bicara tentang perubahan iklim, artinya tidak jauh
dari aktivitas dan kegiatan manusia di dalamnya.
Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global
yang dipicu oleh adanya efek rumah kaca.
Manusia tidak bisa lepas sebagai salah satu
penyebab terjadinya efek rumah kaca tersebut.
YLCCC juga membekali wawasan,
melakukan kampanye, dan advocacy untuk
anak muda sehingga mampu melakukan
aksi nyata. Kegiatan ini diadakan dengan 3
sesi, yaitu pre-camp, camp, dan post-camp.
Diadakannya kegiatan ini guna mening-
katkan pengetahuan solusi berbasis alam
dan membangun jaringan pemuda
Indonesia yang peduli pada lingkungan dan
keanekaragaman hayati untuk mengambil
tindakan nyata.
Oleh : Zahra Amani
Youth Leadership Camp for Climate Crisis
(YLCCC) tahun 2022 hadir dengan fokus pada
“Nature and Biodiversity Protection: Water
Protection”. Kegiatan YLCCC mengajak para
anak muda untuk ikut memahami isu perubahan
iklim dan dampaknya terhadap keanekaragaman
hayati di Indonesia.
The Monitor Desember 2022 | 21
Peserta diawali dengan menerima materi
BiodiverSEAty: Protect the Nature oleh 30x30
Southeast Asia Coalition (SEA) pada sesi pre-
camp. Dalam materinya, 30x30 SEA
membuka pandangan mengenai pentingnya
Asia Tenggara sebagai ‘rumah’ bagi 20%
biodiversity di dunia dan Indonesia sebagai
negara kedua dengan biodiversitas tertinggi di
dunia. Sayangnya, Indonesia juga meng-
hadapi ancaman pada keanekaragaman
hayatinya. Perubahan iklim dan
keanekaragaman hayati merupakan krisis
yang tidak dapat dipisahkan. Terjadinya
perubahan iklim akan berdampak pada
biodiversity loss di Indonesia.
Pemutihan karang akan mengurangi kapasitas
tangkapan karbon di laut, dan masih banyak
dampak yang akan terjadi. Kemudian apa
yang bisa kita lakukan? 30x30 SEA
menambahkan bahwa populasi masyarakat
adat hanya sebanyak 6% populasi dunia, tapi
mereka menjaga 80% hutan dan biodiversitas
dunia. Indonesia berada di peringkat ketiga
dunia sebagai negara dengan keragaman
budaya tertinggi yang terdiri dari 370
kelompok dengan kurang lebih 50 - 70 juta
masyarakat adat. Hal ini menjadi potensi
untuk Indonesia dalam melakukan lobi,
komunikasi, dan pembangunan koalisi dengan
masyarakat adat untuk sama-sama menjaga
biodiversitas yang masih ada.
Kenaikan tinggi muka air laut akan
menyebabkan erosi dan rusaknya ekosistem
hutan di pesisir laut,
Pada hari pertama kegiatan camp
berlangsung, peserta menerima materi yang
luar biasa mengenai Climate 101 oleh
Mauriza Arivia dan Laetania Belai. Materi
selanjutnya disampaikan oleh Dr. Puji Rianti
seorang researcher dari IPB University
mengenai The Power of Biodiversity. Beliau
menyampaikan bahwa Indonesia merupakan
rumah bagi 10% spesies flora dan 17%
spesies fauna dunia. Dengan potensi tersebut,
keanekaragaman hayati di Indonesia
mengalami masalah penting antara lain
degradasi dan hilangnya habitat, fragmentasi
habitat, dan invasi spesies. Dr Puji Rianti
menekankan pentingnya Ecotistical
Worldview dibandingkan dengan Egotistical
Worldview.
Berlanjut pada hari kedua kegiatan camp,
peserta menerima materi SWOT Analysis and
Theory of Changes oleh Arifah Handayani
selaku Community Action Manager, The
Climate Reality Indonesia. Materi dibuka
dengan bencana yang terjadi akibat
perubahan iklim. Dengan dampak yang begitu
hebat dari perubahan iklim, peserta diberikan
pandangan bagaimana cara mengambil sikap
sebagai agent of change melalui Strengths,
Weaknesses, Opportunities, dan Threats
(SWOT) Analysis. Dalam sesi presentasinya,
Arifah menutupnya dengan sebuah quote dari
Margaret Mead, “Never doubt that a small
group of people can change the world. Indeed,
it is the only thing that ever has”.
The Monitor Desember 2022 | 22
Materi Rencana Tindak Lanjut (RTL) juga
disampaikan oleh Ari W. Adipratomo sebagai
Advocacy Manager, The Climate Reality
Indonesia. Ari menekankan bahwa RTL
diperlukan agar rencana yang sudah
ditetapkan bisa lebih efektif dan efisien. RTL
juga yang akan menjadi standar dalam kontrol
dan evaluasi seluruh kegiatannya. Dalam sesi
ini, Ari juga menyampaikan bagaimana project
stages dan timeline yang terukur supaya
kegiatan dapat berjalan dengan lancar.
Sesi Coaching oleh Amanda Katili selaku
Director, The Climate Reality Indonesia
merupakan materi terakhir yang diterima
peserta pada kegiatan camp. Melalui materi
ini, Amanda menyampaikan bahwa team dan
group coaching mampu memaksimalkan
kemampuan dan potensi untuk mencapai
tujuan bersama. Team dan group coaching
merupakan proses ko-kreatif dan reflektif
dengan sebuah kelompok melalui cara yang
saling menginspirasi. Model GROW (Goal,
Reality, Options, dan Will) Coaching juga
dipaparkan guna menuliskan satu per satu
apa yang menjadi tujuan dalam pemecahan
masalah, situasi terkini yang sedang terjadi
termasuk tantangannya, kemungkinan dan
kekuatan dalam pemecahan masalah, dan
tindakan terukur untuk pemecahan masalah.
Tidak hanya menerima begitu banyak materi,
Trekking Pos to Pos menjadi sarana peserta
untuk meningkatkan pengetahuan solusi
berbasis alam selama kegiatan camp.
Kegiatan pada pos pertama yaitu pengenalan
sustainable agroforestry dengan adanya
kebun alpukat dan hutan bambu. Dilanjutkan
dengan interaksi peserta di alam mengenai
biodiversity dan water protection. Peserta
diminta untuk melakukan permainan yang
melibatkan unsur hutan, mata air, satwa, dan
manusia. Output dari permainan ini
menunjukkan bahwa setiap unsur tersebut
saling terkait sehingga harus dijaga
kelestariannya. Pos terakhir, peserta diminta
untuk membaca kondisi di sekitar dengan
terdapatnya penambangan batu kapur dan
dampaknya pada lingkungan.
“Never doubt that a small
group of people can
change the world. Indeed,
it is the only thing that ever
has”
Luaran dari kegiatan YLCCC 2022 yaitu mencetak pemuda yang mampu melakukan tindakan
nyata dalam penyelamatan lingkungan khususnya dalam permasalahan perubahan iklim. Setelah
kegiatan camp dilakukan, peserta melakukan kegiatan post-camp dengan kembali ke daerah
masing-masing. Terdapat 6 kelompok yang siap melakukan advokasi melalui aksi yang berbeda-
beda. Mereka adalah kelompok Airin, Badak Hijau, Flores, Climate Rangers, Kirana, dan
Kalpataru. Mauriza Arivia Azmi selaku Project Lead YLCCC 2022 menyampaikan, “Youth need to
be involved in the climate crisis because it is impacting our generation. We are the generation that
has grown up with climate change”. Dengan aksi nyata ini, diharapkan semakin tinggi awareness
pemuda dan seluruh generasi untuk terlibat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
The Monitor Desember 2022 | 23
KERENTANAN PENGHIDUPAN
MASYARAKAT PEDESAAN TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia
selama satu dekade terakhir. Isu ini tak luput
menjadi perhatian pemerintah Indonesia,
utamanya melalui Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai tindak
lanjut dari ratifikasi Paris Agreement, dokumen
Nationally Determined Contribution (NDC) dan
roadmap implementasinya telah disusun oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan
Iklim (DJPPI KLHK) sebagai acuan
implementasi aksi terkait perubahan iklim.
Pemerintah telah menyatakan komitmen
mitigasi dengan rencana pengurangan emisi
gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar
29% (tanpa syarat) menjadi 41% (dengan
dukungan internasional).
Selain KLHK, Kementerian Keuangan melalui
Badan Kebijakan Fiskal juga menggandeng
Asian Development Bank (ADB) dalam
Mekanisme Transisi Energi (ETM) untuk
mendukung transisi energi bersih sebagai
upaya pengendalian perubahan iklim.
Selanjutnya, dalam pertemuan Environment
Deputies Meeting and Climate Sustainability
Working Group (EDM-CSWG) yang dihadiri
negara-negara anggota Presidensi G20 2022,
upaya pengendalian perubahan iklim dan
pembangunan berkelanjutan menjadi fokus
utama yang dibahas.
Apabila ditinjau dalam konteks perubahan iklim,
istilah kerentanan mengacu pada kondisi yang
dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi
dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko
terhadap dampak bahaya akibat perubahan
iklim. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) mencirikan kerentanan
perubahan iklim sebagai tingkat kecenderungan
atau ketidakberdayaan suatu sistem alam atau
sosial terhadap pengaruh perubahan iklim [7].
Kerentanan perubahan iklim mencakup
kapasitas adaptif dan potensi dampak yang
kemudian bergantung pada keterpaparan dan
sensitivitas sistem tersebut.
Oleh : Divina Umanita Iliyyan
Menilai faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap kerentanan suatu sistem atau
masyarakat merupakan langkah pertama yang
perlu dilakukan dalam mengembangkan strategi
adaptasi dan kebijakan yang tepat sasaran
untukmenangani dampak perubahan iklim.
Pendekatan yang dilakukan akan menilai
seberapa rentan suatu kelompok masyarakat
dibandingkan dengan kelompok yang lain dan
komponen mana yang paling memengaruhi
tingkat kerentanan dalam kelompok masyarakat
tersebut. Pendekatan kerentanan berdasarkan
kerangka kerja IPCC merupakan instrumen
analisis yang paling umum digunakan.
[7] Y.A. Izrael, S. Semenov, O. Anisimov, Y.A. Anokhin, A. Velichko, B. Revich, I. Shiklomanov, The fourth assessment report of the
intergovernmental panel on climate change: Working group II contribution, Russ. Meteorol. Hydrol. 32 (2007) 551–556.
The Monitor Desember 2022 | 24
Konsep Kerentanan Penghidupan
terhadap Perubahan Iklim
Penilaian Kerentanan Perubahan Iklim
Komponen kapasitas adaptif (adaptive capacity)
mengidentifikasi kapasitas sistem, masing-
masing individu, maupun ekosistem dalam
melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap
potensi bahaya yang ada. Komponen ini juga
menyorot seberapa baik sistem mampu
menemukan celah dan menemukan alternatif,
serta bagaimana respon terhadap berbagai
konsekuensi yang muncul. Komponen
keterpaparan (exposure) menilai bentuk
pengaturan dan lokasi individu, sistem biologi,
kapasitas ekologi, infrastruktur, serta sumber-
daya sosial yang dapat menyebabkan sistem
tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim
secara tidak menguntungkan. Komponen
sensitivitas (sensitivity) menggambarkan
seberapa besar suatu sistem dipengaruhi,
secara menguntungkan atau tidak, oleh
variabilitas maupun perubahan iklim [8].
Meski dampaknya bervariasi antar wilayah,
negara, sektor, dan masyarakat, dapat disadari
bahwa masyarakat di Indonesia merupakan
salah satu kalangan yang paling rentan
terhadap perubahan iklim. Hal ini umumnya
Penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim
dilakukan melalui serangkaian metode yang
sistematis dan terintegrasi untuk menjelaskan
interaksi manusia dan lingkungan fisik maupun
sosialnya. Upaya kuantifikasi masalah yang
bersifat multidimensional umumnya dilakukan
dengan menggunakan indikator. Indikator-
indikator ini kemudian digabungkan menjadi
sebuah indeks komposit melalui pembobotan.
Menentukan indikator kerentanan adalah
langkah pertama dalam melakukan penilaian
kerentanan suatu sistem.
The Monitor Desember 2022 | 25
akibat kapasitas adaptasi yang masih rendah
dan akses yang terbatas ke alat produksi
alternatif. Perubahan iklim mengakibatkan
peningkatan intensitas frekuensi cuaca ekstrim
dan peningkatan laju perubahan parameter
cuaca seperti suhu udara, curah hujan, tekanan
udara, kelembaban udara, kecepatan dan arah
angin, serta kondisi awan.
Sebuah studi tentang kerentanan penghidupan
masyarakat terhadap perubahan iklim telah
dilakukan di dua desa yaitu Tanah Merah dan
Lobuk, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur [8].
Dengan menggunakan metode Livelihood
Vulnerability Index (LVI) dan Sistem Informasi
Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK,
dilakukan asesmen untuk menilai kerentanan
penghidupan masyarakat melalui beberapa
komponen dari data kuisioner. Komponen yang
dinilai meliputi komponen-komponen yang
mempengaruhi dan mendukung rumah tangga
dalam memenuhi penghidupannya. Komponen
ini meliputi profil sosiodemografi, finansial,
perumahan dan lahan, pangan, air, kesehatan,
jaringan sosial, bencana alam dan variabilitas
iklim, strategi mata pencaharian, serta
pengetahuan dan keterampilan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kedua desa
memiliki profil kerentanan yang sama. Tanah
Merah dan Lobuk tergolong dalam kategori
rentan dari kedua metode penilaian kerentanan
yang dipilih. Komponen profil sosiodemografi
disusun dari beberapa indikator yang fokus
pada kondisi demografi rumah tangga.
Komponen ini disusun oleh indikator persentase
rumah tangga dengan kepala rumah tangga
wanita, rasio ketergantungan, dll. Kepala
keluarga wanita dianggap lebih rentan karena
perempuan memiliki banyak kerugian dalam hal
beban kerja ganda dalam mencari nafkah dan
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga,
kesempatan kerja yang terbatas, serta kondisi
fisik dan biologis. Rasio ketergantungan
mewakili distribusi usia dalam rumah tangga
yang juga berpengaruh pada kemampuan
mencari nafkah. Secara umum, dari profil
sosiodemografi, Tanah Merah memiliki
kerentanan yang lebih tinggi daripada Lobuk.
Komponen finansial menilai kondisi ekonomi
rumah tangga dari indikator pendapatan,
Masyarakat Pedesaan dan Perubahan
Iklim : Studi Kasus Sumenep, Madura
The Monitor Desember 2022 | 22
Hahn et al. (2009) mengembangkan metode
LVI (Livelihood Vulnerability Index) sebagai
metode penilaian kerentanan berbasis indikator
yang representatif dan dapat digunakan untuk
ragam konteks yang luas. Analisis ini dapat
mengidentifikasi sumber dan bentuk kerentanan
yang spesifik sehingga mampu membantu
pemerintah memahami dan membangun
ketahanan masyarakat. Luaran dari analisis ini
juga dapat memberi gambaran untuk
memahami faktor demografi, sosial dan faktor
terkait lainnya yang berkontribusi terhadap
kerentanan masyarakat kepada organisasi
pembangunan dan pembuat kebijakan lokal.
Selain indikator yang representatif, diperlukan
pula pendekatan yang dapat menilai komponen
yang mendorong profil kerentanan dalam
sistem tersebut.
Penilaian kerentanan perubahan iklim juga
dapat bersifat luas atau spesifik. Penilaian
kerentanan yang lebih luas menargetkan
beberapa sektor atau area kebijakan yang
bersifat global. Penilaian kerentanan yang
spesifik menargetkan masalah-masalah yang
telah diidentifikasi sebelumnya untuk
merekomendasikan tindakan intervensi untuk
mengurangi kerentanan. Selain itu, Füssel dan
Klein (2006) juga membagi penilaian
kerentanan menjadi dua generasi. Generasi
pertama adalah saat penilaian kerentanan
relatif terfokus pada bagaimana dampak iklim
terhadap kondisi baseline, sementara generasi
kedua mulai menggabungkan komponen
kapasitas adaptif. Penambahan komponen ini
juga diiringi oleh munculnya beragam
interpretasi tentang penerapan aspek
keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan
adaptif.
The Monitor Desember 2022 | 26
kepemilikan tabungan dan hutang, serta akses
terhadap kredit. Persentase rumah tangga yang
tidak memiliki tabungan di Tanah Merah lebih
tinggi dibandingkan di Lobuk. Masyarakat
enggan menabung karena lebih mengutamakan
melunasi hutang terlebih dahulu. Berbeda
dengan Tanah Merah, responden di Lobuk
memilih menabung pada BMT (Baitul Maal wa
Tamwil) atau koperasi syariah yang sering
berkeliling dan memberikan bantuan keuangan.
Rumah tangga yang tidak memiliki akses kredit
atau pinjaman menggambarkan rendahnya
kapasitas adaptif rumah tangga dari
ketidakmampuan mereka memberikan jaminan
untuk menerima akses kredit maupun
membayarkannya.
Pada komponen strategi mata pencaharian,
rumah tangga yang mata pencaharian
utamanya bergantung pada alam mengalami
ketidakpastian akibat cuaca, perubahan iklim
dan musim, serta bencana. Mata pencaharian
masyarakat di Tanah Merah lebih bervariasi,
terutama di daerah hilir. Kawasan ini lebih
strategis dan dapat diakses oleh jalan provinsi,
sehingga memungkinkan mobilitas penduduk
yang lebih tinggi. Lobuk terdiri dari daerah
pesisir dan dataran rendah. Mata pencaharian
masyarakat di daerah pesisir sebagian besar
adalah petani rumput laut, nelayan, kuli angkut
pabrik perikanan, atau pengumpul ikan,
sedangkan di dataran rendah sebagian besar
penduduknya adalah petani.
The Monitor Desember 2022 | 27
Adapun pada komponen variabilitas bencana
alam dan iklim, responden Lobuk di pesisir
menyatakan bencana yang paling sering terjadi
adalah angin kencang. Hal ini mengakibatkan
kerusakan material dinding dan atap rumah
namun tidak menimbulkan korban jiwa.
Indikator rumah tangga yang tidak mendapat
peringatan dini bencana menggambarkan
kesiapsiagaan pemerintah daerah dalam
mitigasi bencana. Responden dari kedua desa
melaporkan bahwa peringatan dini umumnya
disebarkan melalui WhatsApp, mikrofon masjid,
dan dari berita mulut ke mulut.
Komponen jaringan sosial menilai kekuatan
hubungan dalam komunitas, karena dapat
mengindikasikan kapasitas adaptif suatu
masyarakat. Jaringan sosial yang kuat dapat
ditemukan dalam komunitas dengan tradisi
gotong royong, norma sosial, dan rasa percaya.
Skor komponen ini antara Tanah Merah dan
Lobuk tidak berbeda jauh. Receive:Give ratio
dan Borrow:Lend money ratio mengukur sejauh
mana rumah tangga bergantung pada bantuan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan
mengatasi masalah. Rumah tangga yang
menerima lebih banyak tetapi tidak banyak
memberikan bantuan dianggap lebih rentan
daripada rumah tangga dengan kelebihan
sumber daya untuk diberikan kepada rumah
tangga lain.
Revolusi Kerentanan dan Resiliensi Iklim
dengan Pembangunan Berkelanjutan
The Monitor Desember 2022 | 22
Dalam Assessment Report 6 (AR6) yang
diterbitkan pada tahun 2022, Working Group 2
(WGII) Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) memiliki fokus khusus pada
adaptasi transformasional terhadap perubahan
iklim. Adaptasi transformasional ini mencakup
perubahan perilaku masyarakat yang bertujuan
untuk mengembangkan adaptasi iklim,
manajemen risiko bencana, dan pembangunan
berkelanjutan. Transformasi dipandang sebagai
solusi yang dapat dilakukan dalam upaya
menghadapi perubahan iklim dengan tujuan
meningkatkan resiliensi iklim masyarakat.
Resiliensi iklim memegang peranan penting
dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan, mengingat eratnya hubungan
antara tingkat resiliensi iklim suatu masyarakat
dengan tingkat keberhasilan pembangunan
berkelanjutan.
[8] J. Amuzu, A.T. Kabo-Bah, B.P. Jallow, S. Yaffa, Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change and Climate Variability: A
Case Study of the Coastal Zone, The Gambia, J. Environ. Earth Sci. 8 (2018) 35–46.
[9] H.-M. Füssel, R.J. Klein, Climate change vulnerability assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim. Change. 75 (2006)
301–329.
[10] M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing risks from climate
variability and change—A case study in Mozambique, Glob. Environ. Change. 19 (2009) 74–88.
Hasil studi ini juga menunjukkan perbedaan
indikator kunci yang mendorong kerentanan di
kedua desa. Indikator kunci di Desa Tanah
Merah adalah rumah tangga tanpa pengelolaan
sampah, pelatihan dari pemerintah, dan tidak
ada sistem peringatan dini. Sebaliknya,
indikator utama yang mendorong kerentanan
Lobuk adalah rumah tangga dengan
kepemilikan tanah kecil dan rumah tangga
dengan hutang. Selanjutnya, beberapa
rekomendasi aksi untuk Tanah Merah adalah
menyediakan bank sampah dan fasilitas
pemilahan sampah, meningkatkan kapasitas
publik melalui penyuluhan dan lokakarya, dan
mengadopsi media sosial untuk berbagi
informasi terkait iklim. Untuk Lobuk, beberapa
rekomendasi aksi yang dapat dilakukan adalah
penetapan instrumen regulasi terkait
pemanfaatan ruang di kawasan pesisir,
pemetaan wilayah terdampak perubahan iklim,
dan peningkatan literasi keuangan terutama
mendorong penghematan di masyarakat.
Resiliensi iklim berperan penting dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan,
mengingat eratnya hubungan antara keduanya.
Terdapat hubungan timbal balik berupa sinergi
dan trade-off antara resiliensi iklim dengan
tingkat keberhasilan implementasi (SDGs) [9].
Kendati demikian, kekuatan hubungannya
ditentukan oleh banyak faktor seperti kerjasama
antar daerah, aksi mitigasi, tata kelola, dan
desain kebijakan. Dalam AR6 Bab 18, IPCC
juga telah merumuskan Climate Resilient
Development (CRD) sebagai alat dan panduan
untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan. IPCC mendefinisikan Climate
Resilient Development (CRD) sebagai proses
penerapan opsi mitigasi dan adaptasi gas
rumah kaca untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan [10].
The Monitor Desember 2022 | 28
Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) awalnya menjadi salah satu inisiatif untuk
memperbaiki tata kelola industri perkayuan Indonesia, untuk memudahkan pengawasan dan
pengendalian terhadap illegal logging. Namun demikian rupanya marwah yang diembannya cukup
besar, sebab berangkat dari keprihatinan masyarakat dunia akan nasib hutan tropis yang terus
mengalami deforestasi dan degradasi.
Gambaran hulu sepanjang tahun 2022, JPIK dan FWI mengevaluasi pengelolaan HTI di enam
provinsi yaitu: Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat yang
menjadi kantong-kantong konsesi hutan tanaman industri di Indonesia. Tercatat produksi kayu HTI
dari provinsi tersebut pada tahun 2019 dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen dan 89
persen pada produksi kayu nasional yang berasal dari hutan tanaman. Dari 144 perizinan berusaha
(PBPH) HTI, hanya 51 perusahaan yang berhasil dikumpulkan hasil penilaian kinerja pengelolaan
hutan lestari dalam SVLK. Sayangnya, temuan-temuan di lapangan yang dilakukan oleh pemantau
independen masih banyak menunjukkan adanya indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan HTI di setiap aspek penilaiannya baik aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi
dan juga aspek sosial.
SVLK adalah mengakomodir pengelolaan hutan secara bertanggung jawab, berintegritas,
dan kredibel bukan hanya secara ekonomi, namun juga sosial maupun ekologi. Lantas
sejauh apa SVLK sebagai sebuah sistem mampu mengakomodir kompleksitas persoalan
kehutanan di Indonesia?
Refleksi Akhir Tahun
Oleh : JPIK
Selama hampir tiga belas tahun Implementasi SVLK di Indonesia telah mengalami sembilan kali
perubahan. Berbagai bentuk pemutakhiran, mulai dari kebijakan / peraturan perundangan hingga
pelibatan masyarakat sipil sebagai pemantau independen rantai pasok produk kayu dari hulu
hingga hilir. Indonesia bahkan memperoleh otoritas untuk menerbitkan lisensi FLEGT di tahun
2016 silam, dan bisa jadi salah satu pencapaian besarnya. Sehingga produk-produk kayu
Indonesia bebas memasuki pasar Uni-Eropa. Mungkin ketir diucap, namun dinamika dan capaian
SVLK masih mendudukkannya sebatas instrumen pasar moderat dan masih jauh dari cita-cita
bangunan sistem yang holistik. Berikut torehan catatan JPIK sepanjang tahun 2022 terhadap
implementasi SVLK di hulu dan hilir industri.
The Monitor Desember 2022 | 29
1. Kapasitas dan pemahaman terhadap SVLK
Masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap dinamika perubahan kebijakan SVLK di tingkat
tapak, selain itu juga keterbatasan kapasitas SDM untuk mengawal implementasinya.
2. Kelembagaan
Minimnya keterlibatan pemerintah daerah (Dishut/DLH, dan KPH) dalam monitoring kinerja PHL
dan VLK bagi pemehang perizinan berusaha, ditengah minimnya personel, anggaran dan
koordinasi dengan pemerintah pusat. Selain itu, belum terbangunnya mekanisme penanganan
yang bersumber dari pelaporan masyarakat atau pemantau independen.
3. Kebijakan
Terbatasnya petunjuk teknis yang mendukung proses pelaksanaan SVLK.
4. Akses dan Sistem informasi
Minimnya informasi perencanaan pemegang perizinan berusaha yang dimiliki pemerintah daerah
(khususnya KPH) yang membantu dalam pelaksanaan pengawasan. Selain itu juga belum tersedia
sistem informasi untuk mengontrol pemanfataan dan peredaran hasil hutan kayu (khususnya
industry kecil, dan hutan hak).
Hasil studi dinamika dan penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK di
enam provinsi juga menekankan pentingya kolaborasi para pihak khususnya pemerintah daerah
dan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang memiliki tanggung jawab normatif bimbingan,
pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan kegiatan kehutanan sesuai dengan PP No
23/2021. Namun demikian, hingga hari ini belum peran para pemangku kepentingan tersebut masih
belum berjalan secara optimal. Terdapat beberapa kendala dan tantangan dalam pengurusan
hutan dan implementasi SVLK yang memberikan gambaran realitas pelaksanaannya di masing-
masing wilayah (Purba, 2022), antara lain:
Sengketa tata batas, eksploitasi lahan gambut, kebakaran lahan, konflik masyarakat adat,
overlapping konsesi, hingga pencemaran lingkungan melengkapi isu negatif pengelolaan HTI
Indonesia dan SVLK masih gagap menyelesaikan persoalaan yang terjadi. Bagaimana tidak, SVLK
masih mempertahankan penilaian yang berbasis pada ketersediaan dokumen sebagai bahan
penilaian, sehingga tidak mampu menggambarkan kondisi faktual di lapangan. Selain masih
membutuhkan penguatan kriteria indikator dalam bobot penilaian.
The Monitor Desember 2022 | 30
SVLK juga menghadapi tuntutan responsivitas
terhadap persoalan masyarakat adat. Berangkat
perjuangan masyarakat adat dalam dalam
memperoleh pengakuan hutan adat di Papua.
Kongres ke VI Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara di Jayapura mencetak sejarah yaitu
diserahkannya 7 (tujuh) Surat Keputusan
Penetapan Status Hutan Adat dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas
40.881,90 hektar kepada masyarakat di Tanah
Papua. Namun demikian, patut disayangkan di
dalam SK tersebut tidak mengakomodir
pemanfaatan kayu secara komersial oleh
masyarakat adat. Dengan kata lain, masyarakat
adat hanya diperbolehkan melakukan
pemanfaatan hasil hutan kayu secara subsisten
saja.
Sehingga, diperlukan penyusunan Kerangka
Acuan Kerja yang terukur meliputi kebijakan
(regulasi), kelembagaan, teknologi informasi dan
sumber daya manusia, serta ditunjang sinergi
dengan pemantau independen untuk membantu
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
SVLK agar dapat berjalan secara optimal.
Pada akhirnya mendatangkan kerugian
negara, dan jauh dari upaya penguatan tata
kelola serta peningkatan kesejahteraan bagi
masyarakat. Dalam rangka memperkuat tata
kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara
legal dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat adat Papua, JPIK bersama
Auriga telah melaksanakan rangkaian
kegiatan bersama multipihak, dalam hal ini
pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga
sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat
sipil. Rangkaian tersebut mencakup diskusi
publik, serial FGD terbatas sebanyak 6 kali,
FGD lanjutan, dan hasil beberapa FGD
tersebut telah ditindaklanjuti melalui
penyusunan Policy Brief yang juga telah
didiseminasikan melalui seminar nasional.
Sinkronisasi kebijakan dan tawaran SVLK
adat menjadi landasan di masa mendatang
untuk mengembalikan model pengelolaan
hasil hutan dan sumberdaya alam yang
mandiri dan berdaulat oleh masyarakat adat
umumnya dan di Papua khususnya (Yuwono
& Cahyono, 2022).
Sementara, hutan adat memiliki zona-zona
pemanfaatan lestari berdasarkan kultur yang
melekat di dalamnya. Absennya pengakuan
terhadap pemanfaatan kayu secara komersial
oleh masyrakat adat justru memperbesar potensi
terjadinya pencucian dan penyelundupan kayu
hasil hutan adat.
The Monitor Desember 2022 | 31
Harimau di Barumun Nagary Wildlife Sanctuary
Rimba Hutan Nimas
Satu catatan kecil di sektor hilir tahun 2022,
JPIK melakukan penelusuran terhadap adanya
dugaan pasokan bahan baku hasil illegal
logging yang berasal dari hutan lindung, pada
industri primer dan lanjutan yang ada
Kalimantan Tengah. Hasil verifikasi di
lapangan menujukkan kegiatan illegal logging
memang marak terjadi di hutan lindung sekitar
kota Palangkaraya, dan Kabupaten Pulang
Pisau. Mirisnya kayu dalam list appendix II
CITES, yaitu Kayu Ramin tak luput dari
sasaran pembalakan liar. Kayu-kayu tersebut
diangkut menggunakan perahu motor melalui
Sungai Kahayan dan didistribusikan ke
sawmill-sawmill yang diduga tak jelas izinnya
di daerah Bukit Pinang dan Pahandut
Seberang Kota Palangkaraya. Kayu-kayu
tersebut kemudian diolah dan dikirim menuju
industri lanjutan ber-SLK untuk diolah kembali
produk jadi. Tak tanggung-tangung, produk jadi
tersebut lolos ekspor ke mancanegara. Unsur
pemalsuan dokumen nota angkut dan ekspor
melengkapi kelemahan validatif SVLK untuk
mendeteksi aktivitas pencucian kayu, ditambah
lambannya upaya penegakan hukum yang
sarat alasan klasik tentang personel dan
anggaran. Tentu saja, tanpa mengecilkan
torehan Gakkum KLHK atas sitaan 57
kontainer kayu olahan Merbau Papua pada 15
Desember 2022 lalu[11].
Desakan Uni-Eropa terhadap komoditas-
komoditas bebas deforestasi dan degradasi
melalui EU-Deforestation Regulation (EUDR),
[11] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5181/klhk-amankan-57-kontainer-kayu-merbau-ilegal-asal-papua-di-pelabuhan-
tanjung-perak diakses 29 Desember 2022
[12] Lihat joint statement pada tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view?
usp=sharing
[13] https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/qanda_21_5919 diakses 31 desember 2022
diharapkan dapat menjadi pendorong baru
bagi perbaikan tata kelola kehutanan di
Indonesia dan SVLK khususnya, terlepas
masih adanya beberapa catatan kritis[12] di
dalamnya. Aturan yang baru disahkan pada 6
Desember 2022 lalu ini akan mewajibkan
perusahaan (operator dan pedagang) yang
menempatkan komoditasnya di EU untuk
mengumpulkan informasi tentang rantai
pasokan mereka sebagai informasi yang
digunakan untuk melakukan pemantauan dan
pengawasan lalu lintas perdagangan EU,
melakukan penilaian risiko, dan menerapkan
tindakan mitigasi risiko jika diperlukan.
Namun demikian, komisi EU juga telah berjanji
menganggarkan 1 milliar euro untuk
mendukung dan membantu para negara
mitranya dalam penerapan aturan baru ini
melalui penguatan tata kelola hutan,
pengembangan undang-undang, dan
peningkatan kapasitas dalam bentuk kemitraan
kehutanan (forest partnerships) yang sesuai
dengan kondisi negara mitranya[13]. Indonesia
sebagai satu-satunya negara pemegang
FLEGT License dengan SVLK-nya mungkin
tidak terlalu banyak mengalami penyesuaian
akibat aturan baru EUDR. Hanya saja
diperlukan, komunikasi bilateral dan multi-
lateral dengan EU untuk membangun roadmap
bersama dalam memperkuat reformasi tata
kelola yang sudah dicapai.
The Monitor Desember 2022 | 32
RINGKASAN PERISTIWA
2022
JPIK sedang dalam tahap perubahan menjadi
lembaga berbadan hukum. Hal ini berdasarkan
tindak lanjut dari agenda Pertemuan Nasional
(Pernas) JPIK 2022.
Februari- sekarang
Persiapan Legalitas JPIK
24 - 30 Oktober
Kongres AMAN (KMAN) VI
perhelatan lima tahunan sekali dan menjadi area
dalam pengambilan keputusan strategis
tertinggi, di mana masyarakat adat merumuskan
sikap, mengkonsolidasikan gerakan, melakukan
dialog secara konstruktif, dan menetapkan
mekanisme organisasi.
20 November
COP 27 Mesir
diadakan di Mesir Sharm el-Sheikh.
Pembahasan terfokus pada tiga masalah, yaitu
penghimpunan dana adaptasi krisis iklim,
pembentukan penghimpunan dana kerugian dan
kerusakan akibat bencana iklim (loss and
damage), dan memberhentikan seluruh
penggunaan energi fosil pada 2030.
6 Desember
Pengesahan EUDDR
UU yang dibuat Uni Eropa dalam upaya untuk
memastikan serangkaian barang utama yang
ditempatkan di pasar (Uni Eropa) tidak akan
lagi berkontribusi pada deforestasi dan
degradasi hutan di Uni Eropa serta di tempat
lain di dunia.
26 Desember
Finalisasi Standar Pedoman
SVLK
Pembahasan mengenai standar pedoman SVLK
terbaru sudah dimulai sejak 2021 hingga
terakhir sudah memasuki tahap finalisasi pada
Desember 2022. Dokumen masih dalam tahap
persiapan sebelum nantinya disosialisasikan.
The Monitor Desember 2022 | 33
Melakukan follow up hasil Pernas JPIK ke XI untuk menentukan badan hukum yang paling
tepat bagi JPIK baik dalam bentuk Perkumpulan maupun Yayasan dengan memperhatikan
aspek keanggotaan.
Mempersiapkan struktur dan alat kelengkapan organisasi sebagaimana peraturan yang berlaku
di Indonesia.
Mempresentasikan perkembangan hasil diskusi kepada seluruh elemen JPIK
Atas berbagai pertimbangan dari aspek kemaslahatan dan memperhatian keanggotaan maka
bentuk badan hukum yang dirasa tepat bagi JPIK adalah PERKUMPULAN
Berkaitan dengan struktur dan alat kelengkapan organiasi Tim juga telah merumuskan draf
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) JPIK
Untuk mendapatkan masukan atas draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD
dan ART) JPIK telah disampaikan kepada Focal Point/perwakilan anggota melalui email pada
bulan Desember 2022
Agenda Pertemuan Nasional (Pernas) Ke XI JPIK tahun 2022 menghasilkan mandat kepada Tim
Harmonisasi Legalitas JPIK. Adapun tugas dari tim Harmonisasi Legalitas JPIK sebagai berikut :
1.
2.
3.
Tim Harmonisasi Legalitas JPIK sejak dibentuk hingga saat ini telah merumuskan beberapa hal
terkait dengan kewenangannya diantaranya :
1.
2.
3.
Proses legalitas JPIK ini sudah dimulai sejak Februari 2022 hingga sekarang, dan saat ini tengah
menunggu hasil input ADRT dari para anggota. Direncanakan proses ini akan masuk tahap
finalisasi dan pengesahan pada Pernas ke XII di Bulan Januari 2023.
Agenda Kegiatan
JPIK 2022
Proses Legalitas JPIK
(Februari 2022 - Sekarang)
The Monitor Desember 2022 | 34
Implementasi SVLK dan NDPE
di Enam Provinsi
(Juni 2021 - Juli 2022)
Penyusunan modul pemantauan yang
disesuaikan dengan Peraturan Menteri LHK No.
8/2021
FGD membangun sinergi antara Pemantau
Independen dan Pemerintah Daerah
Kajian dinamika dan penguatan peran Pemda
dalam penyelenggaraan SVLK
Pelatihan pemantauan dan SVLK
Pemantauan implementasi SVLK pada PBPH -
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Penyusunan hasil kegiatan berupa : Policy Brief,
Factsheet, Laporan Pemantauan, Siniar
(Podcast), Film dokumenter dan Animasi
Promosi SVLK
Siaran pers bersama untuk mendiseminasikan
hasil laporan kegiatan
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI)
menyelenggarakan beberapa kegiatan dalam rangka
mendukung dan memperkuat implementasi SVLK di
enam provinsi yaitu: Jambi, Riau, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan Barat.
Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Diskusi publik,
Serial FGD terbatas sebanyak 6 kali dan FGD lanjutan
Hasil beberapa FGD tersebut telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Policy Brief
Seminar nasional, untuk mendiseminasikan Policy Brief dengan tujuan memberikan tawaran
gagasan bagi para pengambil kebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk
peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial-ekologis bagi masyarakat hukum adat (MHA)
dan masyarakat di Tanah Papua.
JPIK berkolaborasi dengan Auriga telah melaksanakan rangkaian kegiatan multipihak yaitu dengan
pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil dalam
rangka memperkuat tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara legal dalam mewujudkan
kesejahteraan Masyarakat Adat Papua. Rangkaian tersebut mencakup:
1.
2.
3.
4.
JPIK dan Auriga Nusantara
(Agustus 2022 - November 2022)
The Monitor Desember 2022 | 35
Pemantauan Illegal Logging
Ramin di Kalimantan Tengah
(Oktober - November 2022)
FGD dengan BRIN untuk mendapatkan input dan wawasan terkait kebijakan CITES di
Indonesia, dan Manajemen Kayu Ramin di Indonesia
FGD dengan BKSA Kalimantan Tengah, untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi
populasi dan sebaran Kayu Ramin.
Pemantauan Kayu Ramin di Hutan Lindung Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah.
Pengujian sampel temuan Kayu Ramin pada Pustarhut
Penyusunan Laporan Hasil pemantauan dan Laporan tidak lanjut pemantauan ke penegak
hukum yaitu Bareskrim Polri.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan hutan rawa gambut terluas yang juga
menjadi habitat alami bagi Kayu Ramin (appendix II CITES). Hasil pemantauan JPIK bersama
Kaharingan Institute pada periode bulan Oktober s/d November tahun 2022 menemukan aktivitas
penebangan liar masif terjadi bahkan di Kawasan hutan lindung yang ada di Kalimantan Tengah.
Hal tersebut tentu saja meningkatkan resiko keterancaman terhadap populasi kayu ramin yang
sebarannya semakin terbatas. Rangkaian kegiatan pemantauan yang dilakukan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Pelatihan Platform GFW dan Metode Pantau Jejak
(19 - 21 Desember 2022)
Hari pertama berisi materi perkenalan aplikasi Global Forest Watch dan Forest Watcher
Hari kedua digunakan untuk percobaan simulasi cara pengolahan data Global Forest Watch
dan Forest Watcher menggunakan ArcMap dan QGIS.
Hari ketiga, para peserta melakukan kegiatan verifikasi lapangan berdasarkan hasil simulasi
yang didapat di hari sebelumnya
JPIK bersama WRI Indonesia melakukan kegiatan pelatihan Global Forest Watch dan pantau
jejak (Forest Watcher) pada 19 - 21 Desember 2022 di Kota Padang Sumatera Barat. Kegiatan
pelatihan dihadiri oleh peserta dari masyarakat sipil dan anggota JPIK yang ada di Sumatera
Barat, dan Jambi. Pelatihan berlangsung selama 3 hari dengan agenda kegiatan sebagai berikut:
1.
2.
3.
The Monitor Desember 2022 | 36
Cahyono, Daulat Masyarakat Adat, Opini Tempo, 17
agustus 2022. Dapat dilihat di:
https://koran.tempo.co/read/opini/475808/kedaulatan-
masyarakat-adat-atas-tanah-air-dan-ruang-hidupnya-di-
hutan-adat.
Cahyono, dkk (2020) Ringkasan Eksekutif, Ekspansi
Perkebunan Sawit, Korupsi Struktural dan
Penghancuran Ruang Hidup di Tanah Papua,
Greenpeace Indonesia: Jakarta. Dapat diuduh di:
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-
pers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan-
sawit-korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup-
di-tanah-papua/.
Cahyono, dkk, Konflik Agraria Masyarakat Adat di Dalam
Kawasan Hutan.Laporan Inkuiri Nasional KOMNAS
HAM, Buku 3. Dapat diunduh di: https://dev.sajogyo-
institute.org/publikasi/buku/buku-3-konflik-agraria-
masyarakat-hukum-adat-di-kawasan-hutan/.
Cahyono, Eko, (2016). Konflik Agraria dan Hak
Masyarakat Hukum Adat di dalam Kawasan Hutan,
(Sajogyo Institute, Bogor) dapat diunduh di:
https://sajogyo-institute.org/wp-
content/uploads/2016/05/PP-01-PP-SAINS-2016.pdf.
D.U. Iliyyan, R. Boer, R. Hidayati, Kerentanan
Penghidupan Masyarakat Desa Tanah Merah dan Lobuk
Kabupaten Sumenep terhadap Perubahan Iklim, (2022).
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111157
(accessed November 24, 2022).
H.-M. Füssel, R.J. Klein, Climate change vulnerability
assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim.
Change. 75 (2006) 301–329.
H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, M.M.B. Tignor, E.S.
Poloczanska, K. Mintenbeck, A. Alegría, M. Craig, S.
Langsdorf, S. Löschke, V. Möller, A. Okem, B. Rama,
eds., Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and
Vulnerability. Contribution of Working Group II to the
Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change., 2022.
Daftar Pustaka
Hall, Derek, Philip Hirsch, Philip dan Murray Li, Tania,
(2011), Power of Exclusion, Land Dilemmas in
Southeast Asia, National University of Singapore.
https://betahita.id/news/detail/7937/peluang-
kesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html?
v=1664429888.
J. Amuzu, A.T. Kabo-Bah, B.P. Jallow, S. Yaffa,
Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change
and Climate Variability: A Case Study of the Coastal
Zone, The Gambia, J. Environ. Earth Sci. 8 (2018) 35–
46.
J. Roy, A. Prakash, S. Some, C. Singh, R. Bezner Kerr,
M.A. Caretta, C. Conde, M.R. Ferre, C. Schuster-
Wallace, M.C. Tirado-von der Pahlen, E. Totin, S. Vij, E.
Baker, G. Dean, E. Hillenbrand, A. Irvine, F. Islam, K.
McGlade, H. Nyantakyi-Frimpong, F. Ravera, A.
Segnon, D. Solomon, I. Tandon, Synergies and trade-
offs between climate change adaptation options and
gender equality: a review of the global literature,
Humanit. Soc. Sci. Commun. 9 (2022) 1–13.
https://doi.org/10.1057/s41599-022-01266-6.
Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan
Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan
kebijakan institusi—Politik Kawasan Hutan: Menelusuri
Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam
di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim
Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016.
J. Roy, A. Prakash, S. Some, C. Singh, R. Bezner Kerr,
M.A. Caretta, C. Conde, M.R. Ferre, C. Schuster-
Wallace, M.C. Tirado-von der Pahlen, E. Totin, S. Vij, E.
Baker, G. Dean, E. Hillenbrand, A. Irvine, F. Islam, K.
McGlade, H. Nyantakyi-Frimpong, F. Ravera, A.
Segnon, D. Solomon, I. Tandon, Synergies and trade-
offs between climate change adaptation options and
gender equality: a review of the global literature,
Humanit. Soc. Sci. Commun. 9 (2022) 1–13.
https://doi.org/10.1057/s41599-022-01266-6.
Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan
Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan
kebijakan institusi—Politik Kawasan Hutan: Menelusuri
Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam
di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim
Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016.
The Monitor Desember 2022 | 37
Kartodihardjo, Hariadi, Ed. (2013). Kembali ke Jalan
Lurus : Kritik Ilmu dan Praktik Kehutanan Indonesia,
Tanah Air Beta, Yogyakarta dan FORCI.
Laporan Koalisi Anti-Mafia Hutan diterbitkan oleh Auriga
Nusantara et al. 2018. Pengaturan Setengah Hati:
Sebuah Studi Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Oleh
Masyarakat Adat di Tanah Papua. Jakarta, Indonesia.
M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood
Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing
risks from climate variability and change—A case study
in Mozambique, Glob. Environ. Change. 19 (2009) 74–
88.
Mufthi Fathul Bahrri, dkk, Bio Region Papua; Hutan dan
Manusianya. Hasil Study Baseline, Hutan dan Manusia
di Bio Region Papua, (2020), Forest Watch dan Sajogyo
Institute, Bogor. Dapat diunduh di: https://fwi.or.id/wp-
content/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-Papua-
Hutan-dan-Manusianya.pdf
Muntaza, (2014). MIFEE dan Perempuan Adat Suku
Malind, (Sajogyo Institute, Bogor). Dapat diunduh di:
https://sajogyo-institute.org/wp-
content/uploads/2016/05/Muntaza-2014.pdf.
Peluso, Nancy, (2006), Hutan Kaya, Rakyat Melarat:
Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa/
[Rich Forest, Poor People: Resource Control and
Resistance in Java (University of California Press,
1994)]/ Nancy Lee Peluso/ Landung Simatupang (trans.)/
Noer Fauzi (ed.)/ Konphalindo & INSISTPress.
Purba, C. B. (2022). Dinamika penguatan peran
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK.
Bogor: FWI-JPIK.
Sajogyo Institute, Policy Paper (2020).Tiga Catatan
Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang
Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute – KSI -
DIFAT.
Vandergeest P (1996). Mapping nature: Territorialization
of forest rights in Thailand. Society & Natural Resources.
(9):159-175.
Vandergeest P, Peluso NL (1995). Territorialization and
state power in Thailand. Theory & Society. 24(3): 385-
426.
Wicaksono, Rade Aryo (2022).Peluang Kesejahteraan
dari SVLK Adat di Papua, dapat diunduh di:
https://betahita.id/news/detail/7937/peluang-
kesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html?
v=1664429888
Y.A. Izrael, S. Semenov, O. Anisimov, Y.A. Anokhin, A.
Velichko, B. Revich, I. Shiklomanov, The fourth
assessment report of the intergovernmental panel on
climate change: Working group II contribution, Russ.
Meteorol. Hydrol. 32 (2007) 551–556.
Yuwono, T., & Cahyono, E. (2022). Menuju legalisasi
kayu hutan adat di tana Papua. Bogor: JPIK-Auriga
Nusantara.
The Monitor Desember 2022 | 38
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
Jl. Babakan Sari VI No.5,
Bantarjati, Kec. Bogor Utara,
Kota Bogor, Jawa Barat, 16129
Tel : +62 251 8397371
Email : jpikmail@gmail.com
JPIK secara rutin mempublikasikan newsletter setiap 3
bulan sekali, Newsletter ini sebagai salah satu wadah
untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan
mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi
terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak
anda berpartisipasi menjadi kontributor, anda bisa
mengirimkan karya tulisan ke alamat dan kontak di
bawah ini :

More Related Content

Similar to THE MONITOR 18 2022_compressed (1).pdf

Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)
Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)
Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)Luluk Uliyah
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllnita292601
 
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan MasyarakatAndhika Vega Praputra
 
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialPeningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialRamlanNugraha3
 
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdfPT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdfSubditSumberdayaPend
 
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...CIFOR-ICRAF
 
Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaAksi SETAPAK
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganAksi SETAPAK
 
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdfoheokhr73
 
Walhi Riau Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di Riau
Walhi Riau   Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di RiauWalhi Riau   Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di Riau
Walhi Riau Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di RiauPeople Power
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauPeople Power
 
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdf
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdfBuku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdf
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdfJelawat1
 
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfTropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfSubditSumberdayaPend
 
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdf
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdfBisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdf
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdfAvioAviensi1
 
Paper Concept Jeda Tebang Hutan
Paper Concept   Jeda Tebang HutanPaper Concept   Jeda Tebang Hutan
Paper Concept Jeda Tebang HutanPeople Power
 

Similar to THE MONITOR 18 2022_compressed (1).pdf (20)

Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)
Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)
Petisi Penyelamatan Jawa (Desember 2015)
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
 
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
 
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialPeningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
 
Jurnal.pdf
Jurnal.pdfJurnal.pdf
Jurnal.pdf
 
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdfPT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
 
Hutan adat
Hutan adat Hutan adat
Hutan adat
 
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...
Membangun Ketahanan Ekonomi Regional dan Masyarakat Adat Melalui Hasil Hutan ...
 
Lingkungan Riau
Lingkungan RiauLingkungan Riau
Lingkungan Riau
 
Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesia
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
 
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
 
Walhi Riau Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di Riau
Walhi Riau   Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di RiauWalhi Riau   Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di Riau
Walhi Riau Kondisi Dan Tingkat Kerusakan Hutan Di Riau
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
 
Masyarakat Adat Di Tengah Kepungan Industri Ekstraktif
Masyarakat Adat Di Tengah Kepungan Industri EkstraktifMasyarakat Adat Di Tengah Kepungan Industri Ekstraktif
Masyarakat Adat Di Tengah Kepungan Industri Ekstraktif
 
Mati di Tanah Kaya
Mati di Tanah KayaMati di Tanah Kaya
Mati di Tanah Kaya
 
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdf
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdfBuku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdf
Buku_Kredit_Pembiayaan_Perkebunan_dan_Industri_Kelapa_Sawit.pdf
 
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdfTropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
Tropenbos_Pengalaman Perencanaan KEE dan HCV.pdf
 
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdf
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdfBisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdf
Bisnis KPH NTB-Menuju KPH Mandiri-KPHL Dit_Julmansyah.pdf
 
Paper Concept Jeda Tebang Hutan
Paper Concept   Jeda Tebang HutanPaper Concept   Jeda Tebang Hutan
Paper Concept Jeda Tebang Hutan
 

Recently uploaded

mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1RomaDoni5
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxwansyahrahman77
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024DEDI45443
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditYOSUAGETMIRAJAGUKGUK1
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...mayfanalf
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara HukumMAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukumbrunojahur
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorDi Prihantony
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...citraislamiah02
 

Recently uploaded (13)

mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
 
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka KreditPermen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
Permen PANRB Nomor 3 Tahun 2023 - Tentang Penetapan Angka Kredit
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara HukumMAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
MAKALAH KELOMPOK II (1).pdf Prinsip Negara Hukum
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
 
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
 

THE MONITOR 18 2022_compressed (1).pdf

  • 1. Aksi Anak Muda dalam Aksi Anak Muda dalam Nature and Biodiversity Nature and Biodiversity Protection Protection ISSN 2685-5224 Kerentanan Penghidupan Kerentanan Penghidupan Masyarakat Pedesaan Masyarakat Pedesaan Terhadap Perubahan Terhadap Perubahan Iklim Iklim Legalitas Menuju Kelestarian The Monitor The Monitor Newsletter Edisi XVIII - 2022 Transformasi SVLK: Transformasi SVLK: Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari Kelola Hutan Lestari Rambu - Rambu Percepatan Rambu - Rambu Percepatan Pengakuan Hutan Adat dan Pengakuan Hutan Adat dan Syarat Dasar Pengelolaan Syarat Dasar Pengelolaan Hutan Kayu Lestari di Tana Hutan Kayu Lestari di Tana Papua Papua
  • 2. Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan hidayahNya newsletter The Monitor dapat kembali hadir ke tengah - tengah pembaca. Pada edisi XVIII ini, kami menerbitkan 7 buah tulisan dari akademisi, pegiat lingkungan, dan agenda kerja Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Sepanjang tahun 2022 ini, agenda lingkungan baik secara global dan nasional banyak digelar. Mulai dari Conference of Parties (COP) ke-27 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang digelar di Sharm El-Sheik, Mesir, pada 6-18 November 2022. Ajang negosiasi pemimpin-pemimpin dunia dalam menyoroti perubahan iklim global seperti dampaknya pada ketahanan pangan dan pertanian. Hingga Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI yang telah berlangsung pada pada 23-30 Oktober 2022 di Jayapura, Papua yang menjadi salah satu gawai perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh kepastian hak atas wilayahnya. Pertama kalinya dalam sejarah tujuh SK hutan adat Papua diberikan oleh KLHK. Namun demikian, torehan positif tersebut masih diganjal legalisasi pengelolaan kayu secara komersiil oleh masyarakat adat. Sementara, instrumen penjaminan legalitas hasil hutan sudah berjalan selama kurang lebih 13 tahun yaitu SVLK belum mengakomodir nilai-nilai kultural yang inherent dalam kehidupan masyarakat adat. Bukan hanya itu, norma-norma penilaian yang ada dalam SVLK-pun masih belum cukup mampu menjamin kepatuhan bahkan bagi para pelaku bisnis sektor kehutanan sekalipun. Sehingga, transformasi SVLK bukan lagi sebuah harapan melainkan menjadi keharusan, dan jauh melampaui perubahan nomenklatur. Pada akhirnya tim penyusun The Monitor mengucapkan terima kasih kepada semua kontributor yang telah mengirimkan tulisannya untuk dimuat. Semoga menjadi bacaan yang menambah wawasan bagi kita semua. Aamiin. Kata Pengantar Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl. Babakan Sari VI No.5, Bantarjati, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel : +62 251 8397371 Email : jpikmail@gmail.com Jaringan Pemantau Independen Kehutanan @laporjpik @laporjpik The Monitor adalah newsletter triwulanan yang diterbitkan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor tulisan, dengan panjang tulisan 1.000- 2.000 kata menggunakan Microsoft Word disertai foto pendukung Dinamisator Nasional JPIK, Muhammad Ichwan
  • 3. The Monitor Edisi XVIII Daftar Isi Rambu - Rambu Percepatan Pengakuan Hutan Adat dan Syarat Dasar Pengelolaan Hutan Kayu Lestari di Tana Papua 03 8th Training Workshop on Timber Legality Assurance, Vietnam 18 Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and Biodiversity Protection’ melalui Kegiatan Youth Leadership Camp for Climate Crisis 2022 Refleksi Akhir Tahun 21 24 29 34 Transformasi SVLK : Legalitas Menuju Kelestarian 15 Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari 09 Perubahan Iklim dan Kerentanan Perubahan Penghidupan Masyarakat Pedesaan Ringkasan Peristiwa 2022 33 Agenda Kegiatan JPIK 2022 Daftar Pustaka
  • 4. Hutan Adat (Papua) Menanti Asa: Peluang Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Kayu Menuju Kelola Hutan Lestari Oleh : Teguh Yuwono Dinamika Deforestasi di Tana Papua Tana Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) memiliki hutan tropis terluas di Indonesia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018) luas kawasan hutan di Papua sebesar 38.153.269 hektar terbagi di Provinsi Papua seluas 29.368.482 hektar dan Provinsi Papua Barat seluas 8.784.787 hektar (atau 91,12% dari luas daratan Tana Papua). Namun perlahan tapi pasti hutan alam di Papua terus menyusut. Menurut data Auriga Nusantara (2022), luas hutan alam di Bumi Cendrawasih hanya tersisa ±33.847.928 hektar, terbagi di Provinsi Papua seluas 24.993.957 hektar dan Provinsi Papua Barat seluas 8.853.971 hektar. Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tana Papua. Secara terperinci, 474.521,2 hektar deforestasi di dalam konsesi industri ekstraktif itu disumbang oleh usaha perkebunan sawit seluas 339.247 hektar, PBPH-HA seluas 112.373,21 hektar, PBPH-HT seluas 16.234 hektar dan usaha pertambangan 6.666 hektar. The Monitor Desember 2022 | 03 Dilihat dari penyebabnya, sebagian besar deforestasi di Tana Papua terindikasi terjadi di dalam konsesi usaha industri ekstraktif, baik di sektor perkebunan, sektor kehutanan dan sektor pertambangan. Deforestasi di Indonesia Sumber: Auriga 2022 1
  • 5. Pembukaan Hutan untuk Kebun Kelapa Sawit Sumber : Auriga 2021 Untuk tahun 2022, menurut analisis peta citra satelit Nusantara Atlas menunjukkan Deforestasi di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022). The Monitor Desember 2022 | 04 Trend Laju Deforestasi di Tana Papua Tahun 2001-2019 Sumber : Auriga 2021 Meskipun Papua memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun ironisnya jumlah penduduk miskinnya masuk urutan teratas. Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), jumlah penduduk Papua pada tahun 2021 sebanyak 5.512.285 jiwa, yang terbagi atas Provinsi Papua sebanyak 4.355.445 jiwa dan Provinsi Papua Barat sebanyak 1.156.840 jiwa. Dari populasi penduduk tersebut, jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua sebanyak 26,86%, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak 21,84%. Makna hutan bagi masyarakat adat Papua adalah halaman rumah dan pasar raya bagi masyarakat adat. Semua hal yang dibutuhkan tersedia secara gratis, tinggal bagaimana menjaga, merawat dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Hutan Papua dalam sistem tenurial dimiliki secara komunal marga, tidak ada kepemilikan pribadi, dan setiap anggota marga berhak mengakses sumber daya hutan.
  • 6. Meskipun sejak bulan November 2016, Indonesia mendapat pengakuan dari Uni Eropa sebagai negara pertama peraih Lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan), sehingga produk kehutanan yang diekspor ke benua biru tersebut tidak perlu dilakukan uji tuntas (due diligence), di lapangan implementasi SVLK belum berhasil diterapkan sepenuhnya. Masih banyak kasus para pemegang sertifikat SVLK yang menerima bahan baku yang asalnya bukan berasal dari perizinan yang sah. Sampai dengan tahun 2022 di Tana Papua masih marak kegiatan illegal logging. Banyak korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) maupun pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH) yang dalam praktek sehari-hari melakukan kegiatan illegal logging. Papua:SurganyaIllegalLogging Saat ada penangkapan lebih dari 500 kontainer kayu merbau yang dilakukan Ditjen Penegakan Hukum KLHK di akhir tahun 2018, dari belasan industri kehutanan pengirim kayu yang terjaring operasi tersebut, ternyata sebagian merupakan pemegang sertifikat SVLK. Fakta ini membuktikan bahwa bagi sebagian industri kehutanan, SVLK hanya sebatas pemenuhan legalitas namun dalam implementasi penerimaan, pengolahan, dan pemasaran kayu masih belum menerapkan kaidah legalitas kayu. Kayu Merbau dari Papua Hasil Tangkapan Ditjen GAKKUM Tahun 2018 Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik UUD 1945, dan Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001, masyarakat adat sebenarnya sudah mendapatkan pengakuan, sebagaimana tertulis dalam Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 188 ayat (2) bahwa “Hak-hak tradisional masyarakat (hukum) adat untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya dan mengelola sumber dayanya diakui dan dihormati oleh negara”. Sedangkan dalam Tap MPR Nomor 91 Tahun 2001 dijelaskan bahwa “Negara mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat (hukum) adat dalam pengelolaan sumber daya alam”. Akan tetapi faktanya salah satu akar dari ragam masalah agraria atas Masyarakat Adat di Indonesia adalah ketiadaan pengakuan legal hak dasar atas Tanah-air dan ruang hidupnya (Cahyono, 2022). KebijakandanRegulasiPengurusandan PengelolaanHutan The Monitor Desember 2022 | 05
  • 7. Saat rezim Orde Baru berkuasa, dengan dibukanya pintu bagi korporasi untuk melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1970- an, pasca lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1967, dan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1970, malah memberangus dan mengkooptasi peran dan hak-hak masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan hasil hutan. Meskipun pada tahun 1999 lahir UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, namun pengakuan dan penghormatan terhadap hak- hak masyarakat hukum adat tidak banyak mengalami kemajuan. Pasal 5 UU 41/1999 menyatakan bahwa hutan adat menjadi bagian dari hutan negara. Hal ini membuktikan bahwa negara belum mau memberikan pengakuan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat hukum adat dalam mengurus dan mengelola sumber daya hutan. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat belum mendapat porsi yang seharusnya. Perbedaan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibandingkan dengan ketentuan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja hanyalah diakomodirnya hutan adat sebagai salah satu bagian dari skema Perhutanan Sosial, Kayu Illegal di Teluk Bintuni tahun 2020 Sumber: JPIK Berkenaan pengakuan hutan adat dan masyarakat hukum adat, pasca berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya posisi masyarakat hukum adat Papua dalam pengelolaan hutan tidak banyak mengalami perubahan. Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang awalnya telah memberikan peluang- peluang positif bagi pemerintah provinsi, dan komunitas masyarakat adat, digerus oleh UU Cipta Kerja. Peraturan Daerah Khusus yang diperbarui --sesuai Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2021 tidak sejalan dengan semangat Otonomi Khusus sebelumnya. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat belum mendapat porsi yang seharusnya. akan tetapi dengan dimasukkannya hutan adat sebagai bagian dari skema Perhutanan Sosial artinya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih memandang hutan adat sebagai bagian hutan negara, bukan sebagaimana yang dimandatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan hak. Dalam pengakuan hutan adat, pemerintah juga terkesan setengah hati. Dalam Pasal 92 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021, meskipun masyarakat hukum adat diberikan hak untuk melakukan pemanfaatan Kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan atau pemungutan HHK, pemanfaatan atau pemungutan HHBK namun kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan/atau pemungutan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan sesuai dengan Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk tujuan komersial. The Monitor Desember 2022 | 06
  • 8. Percepatan Hutan Adat dan Limitasinya yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Artinya baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah. Menyangkut pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat oleh pemerintah pusat, menurut data sampai Oktober 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menerbitkan surat keputusan hutan adat sebanyak 96 hutan adat dengan luas 116.664,90 hektar. Berkenaan pengakuan hutan adat, setelah menunggu selama 10 (sepuluh) tahun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 tentang Status Hutan Adat, di bulan Oktober 2022 bertepatan dengan Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jayapura, Provinsi Papua, baru diserahkan 7 (tujuh) Surat Keputusan Penetapan Status Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 40.881,90 hektar kepada masyarakat di Tana Papua. Bersandar pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), potensi Hutan Adat di Provinsi Papua sebesar 6.170.281 hektar dan Provinsi Papua Barat 1.808.288 hektar. Hingga bulan Agustus 2022, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA, 2022) telah meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. Dari data tersebut, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Peraturan Daerah) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, Peluang Kebijakan dan Regulasi SVLK Hutan Adat The Monitor Desember 2022 | 07 Pasca pemberlakuan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dilakukan pengaturan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pengakuan dan penguatan hak ulayat masyarakat adat di Papua. Dalam pelaksanaan hak ulayat melalui penguasaan masyarakat hukum adat (MHA), Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati,melindungi,memberd ayakan,dan mengembangkan hak- hak MHA. Berkenaan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua, dan Peraturan Daerah Khusus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Sebelum terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA, pada tahun 2000-an sudah ada Izin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA) yang dikelola oleh Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas). Sayangnya, operasional IPK-MA di lapangan tidak berhasil mewujudkan tujuan awal pembentukannya. Karena keterbatasan modal dan pengetahuan lembaga adat menyebabkan mereka harus bermitra dengan pihak lain, seperti: badan usaha milik daerah/ badan usaha milik negara, pemegang konsesi swasta, dan investor swasta lainnya. Di banyak kasus, IPK-MA disinyalir hanya menjadi kedok pihak ketiga untuk memanfaatkan kayu di Papua dengan cara memanfaatkan aturan hukum yang tidak konsisten, tidak tegas, dan lemahnya pengawasan di lapangan. Beberapa kali dilakukan operasi pemberantasan pembalakan liar yang ditujukan pada pemilik izin IPK-MA. Izin yang awalnya legal ini kemudian dianggap “tidak legal” oleh pemerintah pusat sehingga aktivitasnya dibekukan dan beberapa pihak kurang beruntung karena dianggap sebagai pembalakan liar.
  • 9. Total luas IUPHHK-MHA adalah 78.040 ha. Namun demikian meskipun mereka sudah memiliki izin IUPHHK-MHA, namun mereka tidak bisa mengambil manfaat dari izin tersebut. Akan tetapi di sisi lain, menunjukkan masih masifnya peredaran kayu tanpa izin yang berada di sekitar lokasi IUPHHK- MHA. Proses pengakuan hutan adat sebagai bagian dari hutan hak sebagai mandat putusan Mahkamah Konstitusi mem butuhkan tahapan yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam proses pengukuhan masyarakat hukum adat sebagaimana ketentuan dalam penjelasan pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999, diperlukan payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah untuk hutan adat yang lokasinya berada di kawasan hutan, dan/atau Keputusan Gubernur / Bupati / Walikota untuk hutan adat yang lokasinya berada di luar kawasan hutan. Meskipun saat ini sudah ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat seperti Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 9 Tahun 2019, dan IPK-MA dianggap memperluas terjadinya pembalakan kayu secara tidak lestari. Melencengnya kegiatan IPK-MA dari tujuan awalnya membuat kebijakan yang hendak memperluas dan mempertegas akses hak masyarakat adat atas hutannya menjadi terhambat, dan mendapatkan stigma yang buruk. Masyarakat dianggap belum bisa dipercaya dalam mengelola hutan secara lestari. Untuk kepentingan komersial, sesuai Perdasus Nomor 21 Tahun 2008, masyarakat adat dapat membentuk badan usaha. Salah satu bentuk izin yang terbit berdasarkan Pasal 38 Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA). Pengaturan lebih detail berkenaan IUPHHK-MHA diatur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua. Dari data sampai dengan tahun 2017, ada 18 IUPHHK-MHA yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua, dan masih ada empat IUPHHK-MHA yang dalam proses perizinan. The Monitor Desember 2022 | 08 juga Peraturan Daerah di beberapa kabupaten di Provinsi Papua atau Provinsi Papua Barat, namun proses untuk menuju pengakuan dan penetapan hutan adat masih cukup berliku. Setelah adanya Peraturan Daerah itu perlu dilakukan identifikasi dan pemetaan batas-batas wilayah hutan adat, penyiapan kelembagaan masyarakat hukum adat, dan penyusunan pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, dan beberapa persyaratan lain untuk mengajukan permohonan pengakuan dan penetapan hutan adat. Mengingat banyaknya hal- hal yang perlu dipersiapkan dan dilengkapi untuk proses pengakuan hutan adat, diperlukan sinergisitas para pihak yang berkepentingan (NGO, akademisi, praktisi) dan kebijakan politik (political will) dari pemerintah daerah untuk mengawal, dan mendorong proses menuju pengakuan hutan adat Papua, ibarat serpihan surga yang terdampar di Bumi Indonesia. Namun kekayaan alam di Papua belum bisa memberikan kemakmuran yang seutuhnya. Masyarakat hukum adat Papua sebagai pemilik sah sumber daya alam belum diberikan hak untuk memanfaatkan hutan dan kehutanan, meskipun sejak tahun 2012 sudah lahir putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Hutan Adat bukan bagian dari hutan negara namun bagian dari hutan hak. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan konstruktif bagi para pengambil kebijakan, bagaimana seharusnya hutan adat Papua dikelola dan posisi MHA dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Papua.
  • 10. Lalu, kekayaan alam itu berkah atau bencana bagi OAP? Setidaknya hal itu dapat dijelaskan dengan dua argumen berikut: Pertama, Salah kaprah pembangunan yang mewariskan residual consequences (endapan konsekuensi) karena mendudukkan Papua (masih) sebagai “objek” Pembangunan Nasional. Selama pemerintahan Orde Baru (1967 - 1998), dengan watak kebijakan developmentalistik, top-down approach (serba pendekatan kebijakan dari atas) dan militeristik, telah terbukti menciptakan ketimpangan struktural dan ketergantungan (sosial-ekonomi) serta ketidakadilan (politik) yang mewariskan trauma dan stigmatisasi buruk pada Orang Asli Papua hingga sekarang. Di era Reformasi, masuknya proyek raksasa Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE, 2010) menjadi penanda kelanjutan salah kaprah pembangunan atas orang Papua dan ruang hidupnya. Praktik kebijakan pembangunan ini seolah menutup mata Merauke dan Papua itu “wilayah berpenghuni” dengan tata ruang adat mereka atas tanah-air dan alam mereka. Semua orang tahu, hutan dan sumber daya alam di tanah Papua kaya dan melimpah. Pertanyaannya adalah, apakah ada garis lurus antara kelimpahan kekayaan alam dengan kesejahteraan bagi Orang Asli Papua (OAP)? Ternyata masih jauh panggang dari api. Jangankan makmur-sejahtera, sebaliknya, krisis sosial-ekologis, pelanggaran HAM, deforestasi dan kerusakan alam lainnya masih terus terjadi. Dari kasus deforestasi di Papua disebutkan bahwa sejak awal Januari – Juni 2022 mencapai lebih dari 1.150 Ha. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022). Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tanah Papua. Area deforestasi, menurut analisis tersebut, paling banyak terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (Auriga, 2022). Antara Berkah dan Bencana Rambu-RambuPercepatanPengakuanHutanAdatdanSyarat DasarPengelolaanHutanKayuLestaridiTanaPapua Oleh : Eko Cahyono2 Kedua, ketimpangan struktural tata kelola sumberdaya alam terutama hutan. Dari sekitar 415.170,37 Km persegi atau 41.517.037 hektar luas daratan Tanah Papua (Papua dan Papua Barat), wilayah kelola yang diberikan bagi masyarakat hanya sekitar 169.665 hektar saja. Sedangkan total luas izin kelola yang diberikan korporasi besar swasta sekitar 8.589.282, atau 50 kali lipat lebih besar dari izin yang diberikan kepada masyarakat. Dengan demikian wilayah kelola yang diberikan pemerintah kepada OAP ternyata sangatlah kecil dibandingkan untuk kepentingan korporasi. Artinya, Papua kaya, tapi tidak untuk orang Papua. Ekspansi izin dan konsesi di tanah Papua, baik pertambangan, perkebunan, perikanan, pertanian dan proyek-proyek pembangunan nasional lain yang membutuhkan tanah luas di Papua selalu diiringi sikap eksploitasi dan ekstraksi atas sumber kekayaan alam di papua terutama ekosistem hutan. Inilah sumber masalah dari deforestasi dan meningkatnya pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua (Menatap ke Timur Auriga, 2021)[3]. [2] Peneliti dan Pegiat di Sajooyo Institute (SAINS) dan Wakil Direktur Papua Study Center (PSC) [3] https://auriga.or.id/flipbooks/report/id/71. The Monitor Desember 2022 | 09
  • 11. Secara garis besar setidaknya ada 4 (empat) upaya perbaikan dan perubahan kebijakan telah dilakukan untuk memastikan hak OAP memiliki akses yang lebih baik atas sumberdaya hutan mereka. Pertama, Otonomi Khusus (OTSUS). Terobosan politik afirmatif ini penting ini ternyata dalam pelaksanaanya masih belum menjadikan OAP menjadi subjek penentu perubahan dan penerima distribusi kesejahteraan dari sumber daya alamnya sendiri. Pada tahun 2008, melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) No. 22 Tahun 2008, pemerintah daerah menyatakan masyarakat hukum adat (MHA) Papua memiliki hak atas hutan sesuai dengan batas wilayah adat masing-masing. Kedua, otonomi pengelolaan hasil hutan kayu. Tahun, 2010 juga terbit Peraturan Gubernur (Pergub) Papua No. 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Masyarakat Adat. Hasil observasi Tim JPIK, sejak peraturan itu lahir, tercatat kurang lebih 17 SK IUPHHK-MHA diterbitkan. Akan tetapi, faktanya Pergub tersebut belum berjalan dengan baik. Penyebabnya, KLHK tidak mengakui adanya IUPHHK MHA dalam nomenklatur tata kelola kayu di Indonesia. Ragam Inisiatif untuk Daulat Alam Orang Papua Sumber: Yayasan Auriga Ketiga, gagasan awal SVLK Adat. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang coba dibuka agar masyarakat ada bisa mengakses kayu di wilayah adatnya secara legal, tidak hanya untuk kebutuhan domestik atau subsisten, namun untuk tujuan komersil. Salah satu tawaran solusi yang bersifat transisi, sembari menunggu pengakuan Hutan Adat, diperlukan kebijakan dari KLHK dapat memberikan perizinan pemanenan kayu adat dengan payung hukum melalui Peraturan Daerah (PERDA) atau Peraturan Bupati (PERBUB)[4]. Keempat, pengakuan masyarakat adat dan hutannya. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial muncul sebagai jalan baru untuk mempercepat hak atas tanah dan hutan adat. Saat kongres AMAN ke VI di Papua menjadi tonggak penting "pecah telur" dengan ditetapkannya 7 pengakuan hutan adat[5]. 4] https://betahita.id/news/detail/7937/peluang-kesejahteraan- dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html?v=1664429888. [5] https://www.mongabay.co.id/2022/10/26/penetapan-hutan- dan-wilayah-adat-warnai-kman-di-papua/ The Monitor Desember 2022 | 10
  • 12. Gerakan Reformasi 1998 memungkinkan berbagai inisiatif dan beragam gerakan masyarakat sipil khususnya yang concern ke perjuangan adat bertunas subur. Benang merah agenda utamanya bertujuan untuk pengakuan negara (state recognition), Proses negaraisasi dan teritorialisasi kawasan hutan berdampak pada marginalisasi dan eksklusi masyarakat adat dari ruang hidupnya sendiri.Watak paradigma politik agraria yang masih berorientasi ‘pertumbuhan’ dan kapitalistik-neoliberal memposisikan hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya sebagai komoditas dan “aset ekonomi”. Seringkali hutan dianggap wilayah ‘tak berpenghuni”, atau maksimal hanya ada 2 kategori: Kayu dan Non Kayu. Maka, hutan dinihilkan dari kehidupan manusia. Hutan ada untuk hutan saja. Untuk mewujudkan misi hutan yang bersih dari manusia ini, lalu beragam cara yang tidak manusiawi dilakukan. Salah satunya stigmatisasi atas manusia dan kehidupannya di dalam dan sekitar/pinggiran hutan dengan istilah berkonotasi negatif, seperti perambah, perusak, penyerobot hutan, ‘pencuri’ (kayu milik negara), ‘penyabotase’ reboisasi negara, perusak ekosistem hutan, dan seterusnya (Peluso, 2006). Tak heran, jika hal ini dianggap sebagai induk semang lahirnya benih-benih sikap anti sosial dan dehumanisasi dalam tata kelola kebijakan kehutanan (Kartodihardjo, 2016). Inilah hulu masalah yang dapat menjadi argumen penjelas mengapa hak masyarakat adat, baik perempuan dan laki-laki di tanah Papua dan pulau lain di nusantara masih terus terabaikan hingga kini. Urgensi Pemenuhan Syarat Pengakuan Wilayah Adat penyelesaian konflik dan pemulihan hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (Li, 2001; Nababan; 2018). Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 jadi tonggak penting "Hutan Adat" bukan lagi "Hutan Negara" Maka, berangsur-angsur pemenuhan hak dasar masyarakat adat terjadi. Meski sangat lambat. Kini, merujuk laporan terbaru Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 9 Agustus 2022, terdapat 1.119 peta wilayah adat yang sudah teregistrasi dengan total luas 20,7 juta hektar, tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota. BRWA telah melakukan sertifikasi terhadap 634.216 ha di 47 peta, verifikasi 3.005.158 ha di 144 peta, registrasi 17.070.397 ha di 923 peta, dan tercatat 74.262 ha di 5 peta. Namun demikian, proses kebijakan pengakuan Hutan Adat masih nampak bersifat “setengah hati”. Pertama, kebijakan pengakuan yang diberikan, masih di level pengakuan legalitas hutannya, namun belum sampai menyentuh pada pengakuan atas eksistensi identitas pengetahuan adat, termasuk pengakuan sistem tata ruang berbasis adat. Kedua, masih adanya ketidak- sinkronan paradigma pengelolaan kawasan hutan antara pemerintah dan masyarakat adat, perubahan lanskap ekologi hutan, dan dinamika perubahan pola penguasaan tanah yang terjadi di dalam masyarakat adat sendiri. [6] (Sajogyo Institute, 2020). Ketiga, mahalnya ongkos PERDA, masih minimnya political will dan dukungan Pemerintah Daerah serta kapasitas yang rendah (BRWA, 2022). Dengan demikian, percepatan pengakuan hutan adat penting disyarati dengan kualitas akurasi dan validitas data empirik yang kokoh dan komprehensif dengan etnografi kritis (critical ethnography) adat. [6] Policy Paper, Tiga Catatan Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute, 2020 The Monitor Desember 2022 | 11
  • 13. Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian dan referensi tentang hutan dan masyarakat adat di Papua[7], tampak ada ‘kekhususan’ manusia dan alam di Papua. Maka tawaran rambu-rambu percepatan pengakuan adat di Papua adalah: (1) Pentingnya sikap kepekaan batin dan pikir bahwa dalam sejarahnya bahwa semua tanah Papua telah memiliki ‘tuan’/pemilik nya, yakni masyarakat adat dengan sistem nilai Papua yang beragam; (2) Pentingnya sikap dasar kepekaan dan pemahaman yang utuh atas keragaman sistem sosial-budaya tiap suku, etnis dan marga dengan berbasis sejarah tenurial dan lokalitasnya, berikut keragaman lanskapnya, baik dataran tinggi, perbukitan, lembah, dataran rendah, savana, rawa-rawa, pesisir- laut, dst; (3) Penentuan dan penyusunan batas wilayah adat mesti sampai ke tingkat satuan Marga, bukan sebatas batas indikatif di wilayah suku besar atau sub suku. Sebab kepemilikan tanah dan hutan di Papua umumnya berbasis marga; (4) Jika timbul konflik berbasis tanah dan agraria penting mendahulukan penyelesaiannya dengan model sistem adat. Hal ini harus digali ulang Masalah lainnya adalah tumpang tindih dan disharmoni regulasi pusat dan daerah menjadi satu masalah penting untuk segera disinergikan. Sebab, kini di ranah praksis kebijakan pengakuan atas Hutan Adat berbenturan dengan kebijakan strategis pembangunan nasional yang watak dasarnya kontra tujuan pemenuhan keadilan bagi masyarakat adat. Misalnya, masuknya kembali program food estate di Papua, dan kemudahan dan perluasan izin dan konsesi pertambangan, perkebunan (terutama sawit) dan kehutanan yang dilegitimasi Undang- Undang Cipta Kerja No. 11/2020. Lalu, Apa Rambu-Rambu yang Diperlukan untuk Percepatan Pengakuan Adat di Papua? dan ditemukan di komunitas adat yang akan mendapat pengakuan hutan adat; (5) Memastikan ulang secara cermat struktur kelembagaan lokal adat. Hal ini menentukan dalam politik representasi dan keterwakilan kelompok masyarakat adat yang akan dilibatkan dalam pengakuan hutan dan wilayah adat; (6) Mencegah potensi sikap eksklusif atas komunitas, marga, etnik dan adat yang berbeda dalam proses/pasca pengakuan adat; (7) Penting menjembatani/ membumikan konsep Desa-desa Adat atau konsep sejenisnya, yang telah diakui oleh negara untuk diselaraskan dengan sistem kampung adat yang beragam di tanah Papua. [7] Diantara hasil riset yang dilakukan oleh Penulis bersama beberapa lembaga dapat dilihat dan diunduh di link berikut: https://sajogyo-institute.org/buku-3-konflik-agraria-masyarakat- hukum-adat-di-kawasan-hutan/, lihat juga, https://fwi.or.id/wp- content/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-Papua-Hutan- dan-Manusianya.pdf, lihat juga; https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran- pers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan-sawit- korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup-di-tanah- papua/ The Monitor Desember 2022 | 12 Hutan Adat Marga Ogoney, di Distrik Merdey Kabupaten Teluk Bintuni
  • 14. Tawaran SVLK Berbasis Adat dan Syarat - Syaratnya Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2009 peraturan terkait SVLK sudah mengalami bongkar pasang sebanyak 9 (sembilan) kali sampai terakhir dikeluarkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021. Hal ini untuk memperkuat dasar ini tujuan SVLK yakni memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia mempunyai status legalitas yang jelas dan meyakinkan. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganan-nya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. SVLK juga menjadi salah satu upaya strategi pemerintah untuk mengatasi pembalakan liar yang terjadi, deforestasi dan juga sebagai bentuk mempromosikan kayu legal di Indonesia. Sistem ini juga merupakan upaya untuk mewujudkan good forest governance (tata kelola hutan yang baik) menuju pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Masalah lain yang muncul adalah terkait dengan definisi legal dalam arti keterlacakan asal usul kayu atau lacak balak yang seringkali tidak terlalu dihiraukan dalam transaksi penjual dan pembeli, asalkan dokumen-dokumen kayu sudah lengkap. Maka sejak tahun 2000-an, muncul gagasan untuk mempercayakan keterlacakan kayu pada pengetesan DNA (Deoxyribonucleic acid) kayu. Sehingga diperlukan terobosan gagasan dan kebijakan tentang SLVK berbasis Adat. Secara prinsip SVLK berbasis adat tersebut mengikuti aturan, regulasi dan mekanisme sebagaimana SVLK pada umumnya, namun yang mem bedakannya adalah dalam praktiknya nanti wajib ditambahkan rambu-rambu dan syarat-syarat yang selaras dengan sistem adat di Papua. [8] Arum Budiastuti (2017) In DNA We Trust?: Biolegal Governmentality and Illegal Logging in Contemporary Indonesia, East Asian Science, Technology and Society: An International Journal, 11:1, 51-70, DOI: 10.1215/18752160-3641422 Tes ini secara ilmiah dan otentik dapat mengutarakan tentang asal usul kayu yang sebenarnya, melampaui legalitas dokumen.[8] Namun, proses ini butuh teknologi, biaya, waktu dan kompetensi manusia untuk melakukannya. Atas dasar konteks inilah gagasan me- ngembangkan bentuk-bentuk SVLK berbasis adat penting terus ditumbuhkan. Selain itu, masih tingginya praktik illegal logging kayu adat di Papua, hingga sekarang, menjadi fakta lain bahwa bahwa SVLK ‘biasa” yang ada sekarang masih belum mencukupi untuk melindungi dan menjamin kelestarian alam dan hasil hutan khususnya kayu di Tana Papua. The Monitor Desember 2022 | 13 Kayu Merbau di Kampung Siwis, Papua Barat
  • 15. 1 Memiliki baseline dan pemahaman yang utuh tentang sistem tenurial dan sistem pengetahuan adat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat, terutama: ragam fungsi hutan dan kayu adat, kepemilikan dan penguasaan hutan dan kayu adat, ragam bentuk tata ruang adat, sistem ambil-tanam, batas maksimum- minimum pengambilan kayu, peruntukan dan tujuan pengambilan kayu adat, sistem transaksi (jual beli, barter, dll.) kayu adat, sistem pemulihan hutan dan kayu adat dst. Hal ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi dan diintegrasikan terhadap kebijakan SVLK pada umumnya agar berdimensi adat; Berikut ini beberapa tawaran syarat - syarat untuk mendorong SVLK berbasis adat di papua : 2 Sebagaimana SVLK pada umumnya, prinsip dasar untuk menjamin efektifitas implementasi SVLK berbasis Adat, sangat ditentukan berfungsi/tidaknya tiga pilar utama, yaitu: peran pemerintah sebagai regulator, Lembaga Sertifikasi (LS) sebagai lembaga auditor, CSO/Gakkum/Pendamping Masyarakat Adat dan aparat/PI sebagai pemantau pelaksanaan SVLK. Sebab, fakta lapangnya menunjukkan jumlahpemantau dan penegak hukum tidak sebanding dengan jumlah unit usaha yang dipantau. Tambahan wajib dalam SVLK berbasis Adat adalah keterlibatan Wakil Masyarakat Adat sebagai Eksekutor, yang harus dilibatkan dalam keseluruhan proses SVLK berbasis adat; 3 Untuk memastikan ada kepatuhan dari Unit Manajemen menjalankan SVLK berbasis Adat dan PHPL penting kontrol ketat dari Pemantau Independen yang terintegrasi dari hulu dan hilir. Dalam tujuan ini diperlukan satu strategi dan upaya serius untuk memastikan keterlibatan Masyarakat Adat sebagai subjek pelaku utama dengan seluruh sistem pengetahuan adatnya sebagai bagian integral dalam proses Pemantauan Independen, bukan hanya sebagai penonton, sebab hal ini harus menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar; The Monitor Desember 2022 | 14 4 Memastikan keselarasan peraturan pusat dan daerah (PERDA Pengakuan Hutan Adat) untuk pengelolaan kayu hasil hutan adat. Jika belum ada Perda Hutan Adat, penting diskresi kebijakan untuk menyediakan mekanisme dan strategi transisi regulasi sembari menunggu pengakuan hutan dan wilayah adat diperoleh secara resmi. Misalnya, memungkinkan transisi pengelolaan kayu hutan adat berdasarkan SK Bupati atau SK Gubernur yang diintegrasikan dengan SVLK Adat. 5 Penghargaan (reward) bagi unit manajemen yang konsisten melaksanakan SVLK hutan adat dengan seluruh syarat-syaratnya; 6 Menghormati 7 rambu-rambu pengakuan hutan dan wilayah adat, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya; 7 Memastikan SVLK hutan adat di Papua mampu mengantisipasi sekaligus dapat memenuhi/menjawab tantangan pasca pengakuan hutan dan wilayah adat untuk memastikan keadilan sosial-ekologis bagi semua lapisan sosial masyarakat adat, bukan melanggengkan ketimpangan struktural lama dan baru. Syarat-syarat SVLK berbasis Adat di Papua ini tentu saja dapat bertumbuh dan berkembang selaras dengan situasi riil di komunitas adat yang akan menerapkan SVLK berbasis Adat. Prinsipnya, SVLK berbasis Adat disusun dengan cara mengintegrasikan aturan umum SVLK dengan menambahkan syarat wajib sistem tenurial dan pengetahuan pengelolaan hutan adat yang melekat dan dimiliki oleh masing-masing komunitas adat di Papua. Pendasaran pada penghormatan dan pengintegrasian regulasi/kebijakan negara dan adat inilah yang menjadi pondasi dari SVLK berbasis Adat di Papua maupun tempat lain yang akan mengadopsinya nantinya. Tujuan akhirnya adalah memastikan keadilan dan daulat masyarakat adat sepenuhnya atas tanah-air dan ruang hidupnya.
  • 16. Selain itu, dukungan klaster industri sebanyak 99 pabrik pulp dan kertas telah dibangun guna menampung pasokan kayu bulat yang berasal dari Sumatera, Kalimantan dan Papua. Berbagai isu negatif yang muncul dari pengelolaan HTI di 6 provinsi pun tak lepas dari isu deforestasi dan konversi lahan gambut dan juga konflik sosial. Pada konteks implementasi SVLK, dari 144 perizinan berusaha (HTI), FWI-JPIK berhasil mengumpulkan resume hasil penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (sekarang Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari/S-PHL) dari 51 perusahaan, sebagai bagian dari surat keterangan yang diberikan kepada perusahaan yang menjelaskan bagaimana kinerja perusahaan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Hasil penilaian tersebut dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi untuk periode penilaian tahun 2019 dan 2020 di 6 Provinsi. Meski hasil penilaian SVLK di dominasi oleh perbaikan atau keberhasilan dalam mempertahankan kinerja perusahaan pada setiap aspek yang dinilai, temuan-temuan hasil pantauan di lapangan yang dilakukan oleh pemantau independen menunjukkan masih banyak indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan HTI di setiap aspek baik aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi dan juga aspek sosial. Oleh karena itu policy brief ini bertujuan untuk mendorong perbaikan sistem melalui penguatan standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari. Latar Belakang SVLK adalah sistem untuk memastikan kredibilitas penjaminan legalitas hasil hutan, ketelusuran hasil hutan dan/ atau kelestarian pengelolaan hutan. Kebijakan pemerintah ini bersifat wajib bagi semua pelaku usaha kehutanan. Sejak diterapkannya peraturan SVLK tahun 2009 hingga saat ini, Pemantau Independen (PI) dan kegiatan pemantauan selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Pada Permen LHK 08/2021 Pasal 244 ayat 2 disebutkan ‘Pemantauan dilakukan terhadap pelayanan publik dibidang SVLK sebagai bentuk menjaga akuntabilitas, kredibilitas dan integritas’. Untuk memotret kepatuhan IUPHHK Hutan Tanaman Industri (Nomenklatur IUPHHK saat ini menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dalam menjalankan kebijakan SVLK, maka pada tahun 2022 FWI dan JPIK beserta jejaring di daerah telah melakukan pemantauan pada 6 provinsi; Aceh, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat merupakan kantong-kantong konsesi hutan tanaman industri di Indonesia. Tidak kurang dari 144 izin telah diberikan dengan luas sekitar 5,97 juta hektare atau 54 persen dari luas izin hutan tanaman keseluruhan. Produksi kayu HTI dari 6 Provinsi ini pada tahun 2019 dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen dan 89 persen pada produksi kayu nasional yang berasal dari hutan tanaman Transformasi SVLK : Legalitas Menuju Kelestarian Oleh : FWI & JPIK The Monitor Desember 2022 | 15
  • 17. belum dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit; menurunnya kualitas tanah dan air akibat operasional HTI; kegiatan land clearing dengan melakukan penimbunan sungai; Pembangunan kanal di dalam konsesi HTI yang meng- akibatkan perubahan muka air gambut dan terancamnya habitat spesies dilindungi, termasuk konflik dengan satwa seperti Gajah dan Harimau Sumatera. Tidak ada upaya sosialisasi secara menyeluruh atas aktivitas/operasional HTI; Tidak ada upaya penyelesaian konflik yang jelas dan dapat diterima oleh para pihak yang ter- dampak, sehingga kejadian konflik tersebut sering terulang, bahkan bertambah/meningkat secara jumlah di beberapa wilayah; tidak ada kejelasan dan tidak ada pelibatan (secara partisipatif) mengenai kegiatan penata batasan; tidak ada kejelasan mengenai imple- mentasi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masya- rakat di sekitar konsesi. Ketidaksesuaian implementasi penataan areal kerja di lapangan dengan rencana jangka panjang (RKUPHHK); Masih minimnya pelibatan masyarakat (sekitar perusa- haan), Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan dan KPH serta Pemantau Independen dalam proses penilaian LS pada Perusahan HTI, Penilaian yang berbasis pada ketersediaan dokumen sebagai bahan verifikasi sudah tidak relevan dengan situasi di lapangan karena tidak mampu menggambarkan kondisi nyata yang terjadi. Verifier tersebut terdapat dalam seluruh aspek penilaian (prasyarat, produksi, ekologi dan sosial). Terjadinya tumpang tindih klaim pe- nguasaan antara perusahaan dengan masyarakat serta tidak adanya pengakuan dari masyarakat terhadap area kerja perusahaan. Masih dimungkin - kan pembukaan hutan di areal ekosistem gambut dan di dalam kawasan lindung. Rendahnya implementasi perlindungan dan pengamanan hutan preemtif /preventif /represif), seperti terjadinya kebakaran hutan yang terjadi di lahan gambut pada tahun 2015 dan 2019; terjadi illegal logging dan perambahan kawasan konsesi HTI yang masih berhutan atau Sebagai salah satu instrumen yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja peng- elolaan hutan lestari, SVLK dibangun melalui pengem- bangan prinsip keberlanjutan pada aspek ekologi, produksi dan sosial. Namun demikian, berdasarkan pemantauan lapangan, masih terdapat beberapa kelemahan, antara lain: Masih terdapat verifier yang berpengaruh langsung terhadap kondisi di lapangan yang pembobotannya bersifat co dominan, sehingga tidak berpengaruh signifikan pada hasil akhir penilaian. Seperti verifier yang terkait dengan ketersediaan dokumen legal dan administrasi tata batas, serta realisasinya. Hal ini, mengakibatkan terjadinya konflik lahan antara perusahaan dengan perusahaan, dan konflik tenurial antara perusahaan dengan masyarakat. Permasalahan SVLK Interview di Dinas Kehutanan Kalimantan Barat The Monitor Desember 2022 | 16
  • 18. Kejelasan mengenai kejelasan tata batas antara konsesi dan wilayah masyarakat adalah hal penting dan harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Penguatan verifier pada aspek sosial, dimana indikator ter- selesaikannya konflik sebagai salah satu verifier dalam penilaian. Saat ini indikator penyelesaian konflik hanya terbatas pada ketersedian prosedur atau langkah penyelesaian konflik. Dengan adanya indikator terselesaikannya konflik, mengharuskan perusahaan untuk lebih serius menyelesaikan konflik yang ada. Pemerintah (KLHK) harus melakukan pengawasan dan evaluasi yg ketat terhadap perusahaan yg kinerjanya tidak meningkat melalui audit kepatuhan. Perbaikan kebijakan SVLK dengan memasukan dan memperkuat peran Peme- rintah Daerah dan KPH dalam bisnis proses SVLK. Harus ada dukungan kebijakan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memperkuat kapasitas Pemerintah Daerah dan KPH dalam pelaksanaan SVLK. Rekomendasi SVLK berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber asal usul dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. SVLK memuat sejumlah standard, kriteria, indicator verifier, metode verifikasi, dan penilaian yang disepakati bersama. Hal ini merupakan langkah yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia menuju pengelolaan hutan yang lestari. Selain memberikan kepastian hukum, SVLK menyiratkan komitmen pemerintahan Indonesia dalam perbaikan tata Kelola kehutanan Indonesia. Namun demikian, melihat permasalahan sebagaimana yang diuraikan diatas, SVLK masih belum mampu menjawab sejumlah persoalan yang terjadi di tingkat tapak. Maka dari itu, pemerintah perlu mencermati secara mendalam persoalan yang terjadi di tingkat tapak sebagai diuraikan diatas, dan mempertimbangkan beberapa rekomendasi berikut sebagai upaya perbaikan pelaksanaan SVLK kedepan, diantaranya; Penguatan verifier pada aspek prasyarat terkait kepastian kawasan. The Monitor Desember 2022 | 17 FGD membangun sinergitas peran Pemda dalam implementasi SVLK di Aceh sehingga tak jarang hasil penilaian LS tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga ada indikasi ketidak objektifan dalam penyusunan laporan LS. Kurangnya peran pemerintah daerah (Kepala Daerah, Dinas Kehutanan dan KPH) dalam bimbingan, pengawasan dan pengendalian dalam implementasi SVLK. Minimnya sosialisasi, cepatnya perubahan kebijakan serta belum padunya skema pendanaan antara kebijakan pusat dan agenda kegiatan di daerah turut menghambat peran pemerintah daerah ini. Minimnya upaya pencegahan, pengawasan dan penegakan hukum yang efektif dan berefek jera disertai dengan pemberian sanksi yang tegas agar pelanggaran yang sama tidak terulang di kemudian hari. Sanksi pembekuan dan pencabutan sertifikat yang berjalan regresif tanpa adanya pencabutan izin operasi, sehingga peredaran kayu oleh pemilik izin yang tersandung masalah hukum masih terjadi. Pemenuhan hak pemantauan independen meliputi terbatasnya pendanaan, data dan informasi yang diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dengan kerja-kerja pemantauan, hingga jaminan keselamatan serta perlindungan hukum bagi para pemantau independen.
  • 19. 8TH TRAINING WORKSHOP ON TIMBER LEGALITY ASSURANCE (TLA-8), VIETNAM JPIK mengikuti kegiatan bertajuk “8th Training Workshop on Timber Legality Assurance (TLA- 8)” yang berlangsung dari tanggal 6 – 8 Desember 2022 di Hotel Grand Saigon Ho Chi Minh City, Vietnam. Acara tersebut dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai negara di Asia seperti Laos, Kamboja, Malaysia, Thailand, Brunei, Myanmar, Philipina, dan Vietnam. Turut hadir pula secara daring para peserta dari Jepang, China, dan Korea Selatan. Tujuan diadakan kegiatan ini antara lain: O L E H : D A N I A L D I A N P R A W A R D A N I L A P O R A N K E G I A T A N Meningkatkan pemahaman terhadap tantangan dan peluang khususnya yang dimiliki oleh industri kecil dan menengah pengolahan kayu untuk berpartisipasi dalam rantai pasok bahan baku legal. Pertukaran informasi tentang kemajuan negara anggota ASEAN dan ASEAN +3 Economies (China, Jepang, dan Republik Korea Selatan) dalam proses TLA dan pengembangan uji tuntas, Meningkatkan pemahaman terhadap kebijakan baru EU dalam kehutanan dan perdagangan. Bertukar pengalaman praktis antar negara ASEAN dalam penyusunan sistem legalitas kayu. Meningkatkan kolaborasi para pihak dalam menghadapi persoalan-persoalan kehutanan, tata kelola, dan perdagangan kayu. The Monitor Desember 2022 | 18 Kegiatan TLA-8, dibuka dengan beberapa sambutan diantaranya dari Delegasi EU untuk Vietnam, Pejabat senior ASEAN, dan Direktur Jendral Kehutanan Viet Nam (DDG VN-Forest) selaku tuan rumah.
  • 20. Dalam berbagai sambutan tersebut dipaparkan tentang komitmen para pemangku kepentingan (swasta, pemerintah, dan pasar) dalam membangun TLAS yang lebih komprehensif guna menghadapi tantangan perubahan lingkungan global (deforestasi, perubahan iklim, dan perubahan pola perdagangan di pasar regional), serta membangun keselarasan TLAS dengan inisiatif global (REDD+, NDC, SDG, dan komitmen swasta lainnya). Turut hadir juga Henriette Færgemann First Counsellor - Environment, Climate Action, ICT salah satu delegasi EU untuk Indonesia yang menyampaikan paparan terkait dengan status kebijakan baru EUDR (EU Deforestation Regulation) yang baru disahkan pada 6 Desember 2022. Kebijakan baru bebas deforestasi digagas sebagai bentuk kontribusi EU dalam mengurangi deforestasi dan deforestasi global, melalui mekanisme uji tuntas bagi operator EU dan pelaku perdagangan yang menempatkan komoditas atau produknya dalam lalu lintas ekspor-impor EU. [6] Dokumen joint statement dapat diundung pada tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view The Monitor Desember 2022 | 19 Perusahaan perlu memastikan akses informasi terhadap komoditas yang mereka tempatkan pada pasar UE, antara lain berupa: jenis dan jumlah komoditas, pemasok, negara yang memproduksi, dll. Persyaratan utama, pada langkah ini, adalah mendapatkan koordinat geografis bidang tanah atau lokasi komoditas tersebut di diproduksi. Penggunaan koordinat geolokasi dianggap cara yang paling sederhana dan hemat biaya untuk memperoleh informasi geografis yang diperlukan agar pihak berwenang di EU dapat melakukan pemantauan jarak jauh . Aturan uji tuntas ditempuh melalui tiga langkah yaitu: melalui citra satelit untuk memastikan bahwa produk dan komoditas yang ditempatkan di EU bebas dari deforestasi. Langkah kedua, perusahaan perlu menggunakan informasi tentang petak lahan yang digunakan untuk memproduksi komoditas untuk menganalisis dan meng- evaluasi risiko dalam rantai pasokan. Perusahaan juga perlu menyusun tindakan mitigasi yang memadai dan proporsional terhadap resiko yang ada. Sedangkan cakupan dari regulasi deforestasi EU tersebut meliputi : Komoditas yang dicakup: Kedelai, minyak sawit, ternak, kakao, dan kopi & beberapa produk turunan (misalnya kulit, cokelat, furnitur)-dasar: penilaian dampak produk mana yang benar-benar berkontribusi terhadap deforestasi Tidak ada diskriminasi: Berlaku sama untuk produk yang diproduksi di UE dan diimpor dari luar negara negara anggota UE Cakupan progresif: Cakupan produk akan diperluas seiring waktu Tanggal batas (cut-off date) 31 Desember 2020: Tidak ada komoditas yang diizinkan memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen SDG 1. 2. 3. 4.
  • 21. Update implementasi dari rencana kerja FLEG di ASEAN 2016 – 2025 Update dan Rencana tindak lanjut UEDDR proposal Sharing & learning dari pengalaman implementasi dan perkembangan verifikasi legalitas kayu dari masing-masing negara ASEAN. Diskusi hasil kajian FLEGT ASIA: Partisipasi UMKM dalam rantai pasok kayu legal. Pembelajaran dari Sustainable Landscapes Initiative Dampak Covid-19 pada perdagangan kayu negara - negara ASEAN Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini juga membahas beberapa agenda, antara lain: 1. 2. 3. 4. Sebagai satu-satunya negara pemegang FLEGT License, Indonesia berbagi pengalamannya dalam penyusunan SVLK dan VPA (voluntary partnership agreement) dengan EU. Keterlibatan pemangku kepentingan dan konsultasi publik di bawah VPA Indonesia menandai proses negosiasi FLEGT-VPA EU- Indonesia, yang sudah dimulai sejak tahun 2006, hingga mencapai keberhasilannya bulan November 2016 dengan penerbitan FLEGT License pertama. Acara ditutup dengan agenda field trip pada Asosiasi Furniture di Binh Duong untuk mendapatkan wawasan tentang manajemen rantai pasok bahan baku impor dan domestik. Saat ini beberapa negara yang ikut menjadi peserta pelatihan tengah menjajaki pengembangan TLAS dan menjalin kerjasama dengan EU. Misalnya, Vietnam di tahun 2016 juga menandatangani kesepakatan terkait kewajiban pembangunan sistem jaminan legalitas kayu terhadap produk-produk yang dijual ke Uni Eropa, mengikuti jejak Indonesia. Para peserta juga mendapatkan kesempatan melakukan FGD untuk membahas topik-topik spesifik seperti pengalaman dalam design dan implementasi TLA pada masing-masing negara, pemenuhan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan uji tuntas, dan partisipasi SME dalam rantai pasok kayu legal. The Monitor Desember 2022 | 20 Uni Eropa juga akan menerapkan benchmarking (penilaian risiko) bagi tiap negara. Tiap negara akan ada kategori berdasarkan tingkat deforestasinya yaitu, rendah, standar dan tinggi. JPIK bersama sejumlah CSO di Indonesia juga sempat menyoroti terkait inisiatif EUDR yang dituangkan melalui pernyataan bersama (joint statement)[6]. Dalam pernyataan tersebut EUDR didorong agar menjadi pendekatan yang lebih holistik dengan memper- timbangkan pemberian insentif dan dukungan pada upaya pengurangan dan pencegahan deforestasi, serta reformasi pola produksi komoditas di negara produsen, serta mencermati dampak langsung dari regulasi bagi petani swadaya. Namun demikian, pasca disahkannya EUDR masih terbuka ruang untuk mengkaji poin-poin kebijakan selama implementasinya dalam 2 – 5 lima tahun ke depan, seperti peran dan tanggung jawab lembaga keuangan dalam investasi bebas deforestasi akan dikaji dalam dua tahun mendatang.
  • 22. Aksi Anak Muda untuk ‘Nature and Biodiversity Protection’ melalui Kegiatan Youth Leadership Camp for Climate Crisis 2022 Perubahan iklim terjadi begitu saja dan terasa sangat cepat sehingga membutuhkan aksi berbagai pihak untuk memerangi krisis iklim. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemuda berada di garda terdepan dalam aksi perubahan iklim sesuai poin ke 13 SDG’s yaitu Climate Action. Bicara tentang perubahan iklim, artinya tidak jauh dari aktivitas dan kegiatan manusia di dalamnya. Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global yang dipicu oleh adanya efek rumah kaca. Manusia tidak bisa lepas sebagai salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca tersebut. YLCCC juga membekali wawasan, melakukan kampanye, dan advocacy untuk anak muda sehingga mampu melakukan aksi nyata. Kegiatan ini diadakan dengan 3 sesi, yaitu pre-camp, camp, dan post-camp. Diadakannya kegiatan ini guna mening- katkan pengetahuan solusi berbasis alam dan membangun jaringan pemuda Indonesia yang peduli pada lingkungan dan keanekaragaman hayati untuk mengambil tindakan nyata. Oleh : Zahra Amani Youth Leadership Camp for Climate Crisis (YLCCC) tahun 2022 hadir dengan fokus pada “Nature and Biodiversity Protection: Water Protection”. Kegiatan YLCCC mengajak para anak muda untuk ikut memahami isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia. The Monitor Desember 2022 | 21
  • 23. Peserta diawali dengan menerima materi BiodiverSEAty: Protect the Nature oleh 30x30 Southeast Asia Coalition (SEA) pada sesi pre- camp. Dalam materinya, 30x30 SEA membuka pandangan mengenai pentingnya Asia Tenggara sebagai ‘rumah’ bagi 20% biodiversity di dunia dan Indonesia sebagai negara kedua dengan biodiversitas tertinggi di dunia. Sayangnya, Indonesia juga meng- hadapi ancaman pada keanekaragaman hayatinya. Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati merupakan krisis yang tidak dapat dipisahkan. Terjadinya perubahan iklim akan berdampak pada biodiversity loss di Indonesia. Pemutihan karang akan mengurangi kapasitas tangkapan karbon di laut, dan masih banyak dampak yang akan terjadi. Kemudian apa yang bisa kita lakukan? 30x30 SEA menambahkan bahwa populasi masyarakat adat hanya sebanyak 6% populasi dunia, tapi mereka menjaga 80% hutan dan biodiversitas dunia. Indonesia berada di peringkat ketiga dunia sebagai negara dengan keragaman budaya tertinggi yang terdiri dari 370 kelompok dengan kurang lebih 50 - 70 juta masyarakat adat. Hal ini menjadi potensi untuk Indonesia dalam melakukan lobi, komunikasi, dan pembangunan koalisi dengan masyarakat adat untuk sama-sama menjaga biodiversitas yang masih ada. Kenaikan tinggi muka air laut akan menyebabkan erosi dan rusaknya ekosistem hutan di pesisir laut, Pada hari pertama kegiatan camp berlangsung, peserta menerima materi yang luar biasa mengenai Climate 101 oleh Mauriza Arivia dan Laetania Belai. Materi selanjutnya disampaikan oleh Dr. Puji Rianti seorang researcher dari IPB University mengenai The Power of Biodiversity. Beliau menyampaikan bahwa Indonesia merupakan rumah bagi 10% spesies flora dan 17% spesies fauna dunia. Dengan potensi tersebut, keanekaragaman hayati di Indonesia mengalami masalah penting antara lain degradasi dan hilangnya habitat, fragmentasi habitat, dan invasi spesies. Dr Puji Rianti menekankan pentingnya Ecotistical Worldview dibandingkan dengan Egotistical Worldview. Berlanjut pada hari kedua kegiatan camp, peserta menerima materi SWOT Analysis and Theory of Changes oleh Arifah Handayani selaku Community Action Manager, The Climate Reality Indonesia. Materi dibuka dengan bencana yang terjadi akibat perubahan iklim. Dengan dampak yang begitu hebat dari perubahan iklim, peserta diberikan pandangan bagaimana cara mengambil sikap sebagai agent of change melalui Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) Analysis. Dalam sesi presentasinya, Arifah menutupnya dengan sebuah quote dari Margaret Mead, “Never doubt that a small group of people can change the world. Indeed, it is the only thing that ever has”. The Monitor Desember 2022 | 22
  • 24. Materi Rencana Tindak Lanjut (RTL) juga disampaikan oleh Ari W. Adipratomo sebagai Advocacy Manager, The Climate Reality Indonesia. Ari menekankan bahwa RTL diperlukan agar rencana yang sudah ditetapkan bisa lebih efektif dan efisien. RTL juga yang akan menjadi standar dalam kontrol dan evaluasi seluruh kegiatannya. Dalam sesi ini, Ari juga menyampaikan bagaimana project stages dan timeline yang terukur supaya kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Sesi Coaching oleh Amanda Katili selaku Director, The Climate Reality Indonesia merupakan materi terakhir yang diterima peserta pada kegiatan camp. Melalui materi ini, Amanda menyampaikan bahwa team dan group coaching mampu memaksimalkan kemampuan dan potensi untuk mencapai tujuan bersama. Team dan group coaching merupakan proses ko-kreatif dan reflektif dengan sebuah kelompok melalui cara yang saling menginspirasi. Model GROW (Goal, Reality, Options, dan Will) Coaching juga dipaparkan guna menuliskan satu per satu apa yang menjadi tujuan dalam pemecahan masalah, situasi terkini yang sedang terjadi termasuk tantangannya, kemungkinan dan kekuatan dalam pemecahan masalah, dan tindakan terukur untuk pemecahan masalah. Tidak hanya menerima begitu banyak materi, Trekking Pos to Pos menjadi sarana peserta untuk meningkatkan pengetahuan solusi berbasis alam selama kegiatan camp. Kegiatan pada pos pertama yaitu pengenalan sustainable agroforestry dengan adanya kebun alpukat dan hutan bambu. Dilanjutkan dengan interaksi peserta di alam mengenai biodiversity dan water protection. Peserta diminta untuk melakukan permainan yang melibatkan unsur hutan, mata air, satwa, dan manusia. Output dari permainan ini menunjukkan bahwa setiap unsur tersebut saling terkait sehingga harus dijaga kelestariannya. Pos terakhir, peserta diminta untuk membaca kondisi di sekitar dengan terdapatnya penambangan batu kapur dan dampaknya pada lingkungan. “Never doubt that a small group of people can change the world. Indeed, it is the only thing that ever has” Luaran dari kegiatan YLCCC 2022 yaitu mencetak pemuda yang mampu melakukan tindakan nyata dalam penyelamatan lingkungan khususnya dalam permasalahan perubahan iklim. Setelah kegiatan camp dilakukan, peserta melakukan kegiatan post-camp dengan kembali ke daerah masing-masing. Terdapat 6 kelompok yang siap melakukan advokasi melalui aksi yang berbeda- beda. Mereka adalah kelompok Airin, Badak Hijau, Flores, Climate Rangers, Kirana, dan Kalpataru. Mauriza Arivia Azmi selaku Project Lead YLCCC 2022 menyampaikan, “Youth need to be involved in the climate crisis because it is impacting our generation. We are the generation that has grown up with climate change”. Dengan aksi nyata ini, diharapkan semakin tinggi awareness pemuda dan seluruh generasi untuk terlibat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. The Monitor Desember 2022 | 23
  • 25. KERENTANAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT PEDESAAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia selama satu dekade terakhir. Isu ini tak luput menjadi perhatian pemerintah Indonesia, utamanya melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Paris Agreement, dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan roadmap implementasinya telah disusun oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI KLHK) sebagai acuan implementasi aksi terkait perubahan iklim. Pemerintah telah menyatakan komitmen mitigasi dengan rencana pengurangan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29% (tanpa syarat) menjadi 41% (dengan dukungan internasional). Selain KLHK, Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal juga menggandeng Asian Development Bank (ADB) dalam Mekanisme Transisi Energi (ETM) untuk mendukung transisi energi bersih sebagai upaya pengendalian perubahan iklim. Selanjutnya, dalam pertemuan Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG) yang dihadiri negara-negara anggota Presidensi G20 2022, upaya pengendalian perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan menjadi fokus utama yang dibahas. Apabila ditinjau dalam konteks perubahan iklim, istilah kerentanan mengacu pada kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya akibat perubahan iklim. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencirikan kerentanan perubahan iklim sebagai tingkat kecenderungan atau ketidakberdayaan suatu sistem alam atau sosial terhadap pengaruh perubahan iklim [7]. Kerentanan perubahan iklim mencakup kapasitas adaptif dan potensi dampak yang kemudian bergantung pada keterpaparan dan sensitivitas sistem tersebut. Oleh : Divina Umanita Iliyyan Menilai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kerentanan suatu sistem atau masyarakat merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan dalam mengembangkan strategi adaptasi dan kebijakan yang tepat sasaran untukmenangani dampak perubahan iklim. Pendekatan yang dilakukan akan menilai seberapa rentan suatu kelompok masyarakat dibandingkan dengan kelompok yang lain dan komponen mana yang paling memengaruhi tingkat kerentanan dalam kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan kerentanan berdasarkan kerangka kerja IPCC merupakan instrumen analisis yang paling umum digunakan. [7] Y.A. Izrael, S. Semenov, O. Anisimov, Y.A. Anokhin, A. Velichko, B. Revich, I. Shiklomanov, The fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change: Working group II contribution, Russ. Meteorol. Hydrol. 32 (2007) 551–556. The Monitor Desember 2022 | 24 Konsep Kerentanan Penghidupan terhadap Perubahan Iklim
  • 26. Penilaian Kerentanan Perubahan Iklim Komponen kapasitas adaptif (adaptive capacity) mengidentifikasi kapasitas sistem, masing- masing individu, maupun ekosistem dalam melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap potensi bahaya yang ada. Komponen ini juga menyorot seberapa baik sistem mampu menemukan celah dan menemukan alternatif, serta bagaimana respon terhadap berbagai konsekuensi yang muncul. Komponen keterpaparan (exposure) menilai bentuk pengaturan dan lokasi individu, sistem biologi, kapasitas ekologi, infrastruktur, serta sumber- daya sosial yang dapat menyebabkan sistem tersebut dipengaruhi oleh perubahan iklim secara tidak menguntungkan. Komponen sensitivitas (sensitivity) menggambarkan seberapa besar suatu sistem dipengaruhi, secara menguntungkan atau tidak, oleh variabilitas maupun perubahan iklim [8]. Meski dampaknya bervariasi antar wilayah, negara, sektor, dan masyarakat, dapat disadari bahwa masyarakat di Indonesia merupakan salah satu kalangan yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini umumnya Penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim dilakukan melalui serangkaian metode yang sistematis dan terintegrasi untuk menjelaskan interaksi manusia dan lingkungan fisik maupun sosialnya. Upaya kuantifikasi masalah yang bersifat multidimensional umumnya dilakukan dengan menggunakan indikator. Indikator- indikator ini kemudian digabungkan menjadi sebuah indeks komposit melalui pembobotan. Menentukan indikator kerentanan adalah langkah pertama dalam melakukan penilaian kerentanan suatu sistem. The Monitor Desember 2022 | 25 akibat kapasitas adaptasi yang masih rendah dan akses yang terbatas ke alat produksi alternatif. Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan intensitas frekuensi cuaca ekstrim dan peningkatan laju perubahan parameter cuaca seperti suhu udara, curah hujan, tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, serta kondisi awan.
  • 27. Sebuah studi tentang kerentanan penghidupan masyarakat terhadap perubahan iklim telah dilakukan di dua desa yaitu Tanah Merah dan Lobuk, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur [8]. Dengan menggunakan metode Livelihood Vulnerability Index (LVI) dan Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK, dilakukan asesmen untuk menilai kerentanan penghidupan masyarakat melalui beberapa komponen dari data kuisioner. Komponen yang dinilai meliputi komponen-komponen yang mempengaruhi dan mendukung rumah tangga dalam memenuhi penghidupannya. Komponen ini meliputi profil sosiodemografi, finansial, perumahan dan lahan, pangan, air, kesehatan, jaringan sosial, bencana alam dan variabilitas iklim, strategi mata pencaharian, serta pengetahuan dan keterampilan. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua desa memiliki profil kerentanan yang sama. Tanah Merah dan Lobuk tergolong dalam kategori rentan dari kedua metode penilaian kerentanan yang dipilih. Komponen profil sosiodemografi disusun dari beberapa indikator yang fokus pada kondisi demografi rumah tangga. Komponen ini disusun oleh indikator persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga wanita, rasio ketergantungan, dll. Kepala keluarga wanita dianggap lebih rentan karena perempuan memiliki banyak kerugian dalam hal beban kerja ganda dalam mencari nafkah dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, kesempatan kerja yang terbatas, serta kondisi fisik dan biologis. Rasio ketergantungan mewakili distribusi usia dalam rumah tangga yang juga berpengaruh pada kemampuan mencari nafkah. Secara umum, dari profil sosiodemografi, Tanah Merah memiliki kerentanan yang lebih tinggi daripada Lobuk. Komponen finansial menilai kondisi ekonomi rumah tangga dari indikator pendapatan, Masyarakat Pedesaan dan Perubahan Iklim : Studi Kasus Sumenep, Madura The Monitor Desember 2022 | 22 Hahn et al. (2009) mengembangkan metode LVI (Livelihood Vulnerability Index) sebagai metode penilaian kerentanan berbasis indikator yang representatif dan dapat digunakan untuk ragam konteks yang luas. Analisis ini dapat mengidentifikasi sumber dan bentuk kerentanan yang spesifik sehingga mampu membantu pemerintah memahami dan membangun ketahanan masyarakat. Luaran dari analisis ini juga dapat memberi gambaran untuk memahami faktor demografi, sosial dan faktor terkait lainnya yang berkontribusi terhadap kerentanan masyarakat kepada organisasi pembangunan dan pembuat kebijakan lokal. Selain indikator yang representatif, diperlukan pula pendekatan yang dapat menilai komponen yang mendorong profil kerentanan dalam sistem tersebut. Penilaian kerentanan perubahan iklim juga dapat bersifat luas atau spesifik. Penilaian kerentanan yang lebih luas menargetkan beberapa sektor atau area kebijakan yang bersifat global. Penilaian kerentanan yang spesifik menargetkan masalah-masalah yang telah diidentifikasi sebelumnya untuk merekomendasikan tindakan intervensi untuk mengurangi kerentanan. Selain itu, Füssel dan Klein (2006) juga membagi penilaian kerentanan menjadi dua generasi. Generasi pertama adalah saat penilaian kerentanan relatif terfokus pada bagaimana dampak iklim terhadap kondisi baseline, sementara generasi kedua mulai menggabungkan komponen kapasitas adaptif. Penambahan komponen ini juga diiringi oleh munculnya beragam interpretasi tentang penerapan aspek keterpaparan, sensitivitas, dan kemampuan adaptif. The Monitor Desember 2022 | 26
  • 28. kepemilikan tabungan dan hutang, serta akses terhadap kredit. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki tabungan di Tanah Merah lebih tinggi dibandingkan di Lobuk. Masyarakat enggan menabung karena lebih mengutamakan melunasi hutang terlebih dahulu. Berbeda dengan Tanah Merah, responden di Lobuk memilih menabung pada BMT (Baitul Maal wa Tamwil) atau koperasi syariah yang sering berkeliling dan memberikan bantuan keuangan. Rumah tangga yang tidak memiliki akses kredit atau pinjaman menggambarkan rendahnya kapasitas adaptif rumah tangga dari ketidakmampuan mereka memberikan jaminan untuk menerima akses kredit maupun membayarkannya. Pada komponen strategi mata pencaharian, rumah tangga yang mata pencaharian utamanya bergantung pada alam mengalami ketidakpastian akibat cuaca, perubahan iklim dan musim, serta bencana. Mata pencaharian masyarakat di Tanah Merah lebih bervariasi, terutama di daerah hilir. Kawasan ini lebih strategis dan dapat diakses oleh jalan provinsi, sehingga memungkinkan mobilitas penduduk yang lebih tinggi. Lobuk terdiri dari daerah pesisir dan dataran rendah. Mata pencaharian masyarakat di daerah pesisir sebagian besar adalah petani rumput laut, nelayan, kuli angkut pabrik perikanan, atau pengumpul ikan, sedangkan di dataran rendah sebagian besar penduduknya adalah petani. The Monitor Desember 2022 | 27 Adapun pada komponen variabilitas bencana alam dan iklim, responden Lobuk di pesisir menyatakan bencana yang paling sering terjadi adalah angin kencang. Hal ini mengakibatkan kerusakan material dinding dan atap rumah namun tidak menimbulkan korban jiwa. Indikator rumah tangga yang tidak mendapat peringatan dini bencana menggambarkan kesiapsiagaan pemerintah daerah dalam mitigasi bencana. Responden dari kedua desa melaporkan bahwa peringatan dini umumnya disebarkan melalui WhatsApp, mikrofon masjid, dan dari berita mulut ke mulut. Komponen jaringan sosial menilai kekuatan hubungan dalam komunitas, karena dapat mengindikasikan kapasitas adaptif suatu masyarakat. Jaringan sosial yang kuat dapat ditemukan dalam komunitas dengan tradisi gotong royong, norma sosial, dan rasa percaya. Skor komponen ini antara Tanah Merah dan Lobuk tidak berbeda jauh. Receive:Give ratio dan Borrow:Lend money ratio mengukur sejauh mana rumah tangga bergantung pada bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah. Rumah tangga yang menerima lebih banyak tetapi tidak banyak memberikan bantuan dianggap lebih rentan daripada rumah tangga dengan kelebihan sumber daya untuk diberikan kepada rumah tangga lain.
  • 29. Revolusi Kerentanan dan Resiliensi Iklim dengan Pembangunan Berkelanjutan The Monitor Desember 2022 | 22 Dalam Assessment Report 6 (AR6) yang diterbitkan pada tahun 2022, Working Group 2 (WGII) Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memiliki fokus khusus pada adaptasi transformasional terhadap perubahan iklim. Adaptasi transformasional ini mencakup perubahan perilaku masyarakat yang bertujuan untuk mengembangkan adaptasi iklim, manajemen risiko bencana, dan pembangunan berkelanjutan. Transformasi dipandang sebagai solusi yang dapat dilakukan dalam upaya menghadapi perubahan iklim dengan tujuan meningkatkan resiliensi iklim masyarakat. Resiliensi iklim memegang peranan penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mengingat eratnya hubungan antara tingkat resiliensi iklim suatu masyarakat dengan tingkat keberhasilan pembangunan berkelanjutan. [8] J. Amuzu, A.T. Kabo-Bah, B.P. Jallow, S. Yaffa, Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change and Climate Variability: A Case Study of the Coastal Zone, The Gambia, J. Environ. Earth Sci. 8 (2018) 35–46. [9] H.-M. Füssel, R.J. Klein, Climate change vulnerability assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim. Change. 75 (2006) 301–329. [10] M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing risks from climate variability and change—A case study in Mozambique, Glob. Environ. Change. 19 (2009) 74–88. Hasil studi ini juga menunjukkan perbedaan indikator kunci yang mendorong kerentanan di kedua desa. Indikator kunci di Desa Tanah Merah adalah rumah tangga tanpa pengelolaan sampah, pelatihan dari pemerintah, dan tidak ada sistem peringatan dini. Sebaliknya, indikator utama yang mendorong kerentanan Lobuk adalah rumah tangga dengan kepemilikan tanah kecil dan rumah tangga dengan hutang. Selanjutnya, beberapa rekomendasi aksi untuk Tanah Merah adalah menyediakan bank sampah dan fasilitas pemilahan sampah, meningkatkan kapasitas publik melalui penyuluhan dan lokakarya, dan mengadopsi media sosial untuk berbagi informasi terkait iklim. Untuk Lobuk, beberapa rekomendasi aksi yang dapat dilakukan adalah penetapan instrumen regulasi terkait pemanfaatan ruang di kawasan pesisir, pemetaan wilayah terdampak perubahan iklim, dan peningkatan literasi keuangan terutama mendorong penghematan di masyarakat. Resiliensi iklim berperan penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mengingat eratnya hubungan antara keduanya. Terdapat hubungan timbal balik berupa sinergi dan trade-off antara resiliensi iklim dengan tingkat keberhasilan implementasi (SDGs) [9]. Kendati demikian, kekuatan hubungannya ditentukan oleh banyak faktor seperti kerjasama antar daerah, aksi mitigasi, tata kelola, dan desain kebijakan. Dalam AR6 Bab 18, IPCC juga telah merumuskan Climate Resilient Development (CRD) sebagai alat dan panduan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. IPCC mendefinisikan Climate Resilient Development (CRD) sebagai proses penerapan opsi mitigasi dan adaptasi gas rumah kaca untuk mendukung pembangunan berkelanjutan [10]. The Monitor Desember 2022 | 28
  • 30. Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) awalnya menjadi salah satu inisiatif untuk memperbaiki tata kelola industri perkayuan Indonesia, untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian terhadap illegal logging. Namun demikian rupanya marwah yang diembannya cukup besar, sebab berangkat dari keprihatinan masyarakat dunia akan nasib hutan tropis yang terus mengalami deforestasi dan degradasi. Gambaran hulu sepanjang tahun 2022, JPIK dan FWI mengevaluasi pengelolaan HTI di enam provinsi yaitu: Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat yang menjadi kantong-kantong konsesi hutan tanaman industri di Indonesia. Tercatat produksi kayu HTI dari provinsi tersebut pada tahun 2019 dan 2020 juga berkontribusi sebesar 85 persen dan 89 persen pada produksi kayu nasional yang berasal dari hutan tanaman. Dari 144 perizinan berusaha (PBPH) HTI, hanya 51 perusahaan yang berhasil dikumpulkan hasil penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dalam SVLK. Sayangnya, temuan-temuan di lapangan yang dilakukan oleh pemantau independen masih banyak menunjukkan adanya indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan HTI di setiap aspek penilaiannya baik aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi dan juga aspek sosial. SVLK adalah mengakomodir pengelolaan hutan secara bertanggung jawab, berintegritas, dan kredibel bukan hanya secara ekonomi, namun juga sosial maupun ekologi. Lantas sejauh apa SVLK sebagai sebuah sistem mampu mengakomodir kompleksitas persoalan kehutanan di Indonesia? Refleksi Akhir Tahun Oleh : JPIK Selama hampir tiga belas tahun Implementasi SVLK di Indonesia telah mengalami sembilan kali perubahan. Berbagai bentuk pemutakhiran, mulai dari kebijakan / peraturan perundangan hingga pelibatan masyarakat sipil sebagai pemantau independen rantai pasok produk kayu dari hulu hingga hilir. Indonesia bahkan memperoleh otoritas untuk menerbitkan lisensi FLEGT di tahun 2016 silam, dan bisa jadi salah satu pencapaian besarnya. Sehingga produk-produk kayu Indonesia bebas memasuki pasar Uni-Eropa. Mungkin ketir diucap, namun dinamika dan capaian SVLK masih mendudukkannya sebatas instrumen pasar moderat dan masih jauh dari cita-cita bangunan sistem yang holistik. Berikut torehan catatan JPIK sepanjang tahun 2022 terhadap implementasi SVLK di hulu dan hilir industri. The Monitor Desember 2022 | 29
  • 31. 1. Kapasitas dan pemahaman terhadap SVLK Masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap dinamika perubahan kebijakan SVLK di tingkat tapak, selain itu juga keterbatasan kapasitas SDM untuk mengawal implementasinya. 2. Kelembagaan Minimnya keterlibatan pemerintah daerah (Dishut/DLH, dan KPH) dalam monitoring kinerja PHL dan VLK bagi pemehang perizinan berusaha, ditengah minimnya personel, anggaran dan koordinasi dengan pemerintah pusat. Selain itu, belum terbangunnya mekanisme penanganan yang bersumber dari pelaporan masyarakat atau pemantau independen. 3. Kebijakan Terbatasnya petunjuk teknis yang mendukung proses pelaksanaan SVLK. 4. Akses dan Sistem informasi Minimnya informasi perencanaan pemegang perizinan berusaha yang dimiliki pemerintah daerah (khususnya KPH) yang membantu dalam pelaksanaan pengawasan. Selain itu juga belum tersedia sistem informasi untuk mengontrol pemanfataan dan peredaran hasil hutan kayu (khususnya industry kecil, dan hutan hak). Hasil studi dinamika dan penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK di enam provinsi juga menekankan pentingya kolaborasi para pihak khususnya pemerintah daerah dan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang memiliki tanggung jawab normatif bimbingan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan kegiatan kehutanan sesuai dengan PP No 23/2021. Namun demikian, hingga hari ini belum peran para pemangku kepentingan tersebut masih belum berjalan secara optimal. Terdapat beberapa kendala dan tantangan dalam pengurusan hutan dan implementasi SVLK yang memberikan gambaran realitas pelaksanaannya di masing- masing wilayah (Purba, 2022), antara lain: Sengketa tata batas, eksploitasi lahan gambut, kebakaran lahan, konflik masyarakat adat, overlapping konsesi, hingga pencemaran lingkungan melengkapi isu negatif pengelolaan HTI Indonesia dan SVLK masih gagap menyelesaikan persoalaan yang terjadi. Bagaimana tidak, SVLK masih mempertahankan penilaian yang berbasis pada ketersediaan dokumen sebagai bahan penilaian, sehingga tidak mampu menggambarkan kondisi faktual di lapangan. Selain masih membutuhkan penguatan kriteria indikator dalam bobot penilaian. The Monitor Desember 2022 | 30
  • 32. SVLK juga menghadapi tuntutan responsivitas terhadap persoalan masyarakat adat. Berangkat perjuangan masyarakat adat dalam dalam memperoleh pengakuan hutan adat di Papua. Kongres ke VI Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jayapura mencetak sejarah yaitu diserahkannya 7 (tujuh) Surat Keputusan Penetapan Status Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 40.881,90 hektar kepada masyarakat di Tanah Papua. Namun demikian, patut disayangkan di dalam SK tersebut tidak mengakomodir pemanfaatan kayu secara komersial oleh masyarakat adat. Dengan kata lain, masyarakat adat hanya diperbolehkan melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu secara subsisten saja. Sehingga, diperlukan penyusunan Kerangka Acuan Kerja yang terukur meliputi kebijakan (regulasi), kelembagaan, teknologi informasi dan sumber daya manusia, serta ditunjang sinergi dengan pemantau independen untuk membantu pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK agar dapat berjalan secara optimal. Pada akhirnya mendatangkan kerugian negara, dan jauh dari upaya penguatan tata kelola serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam rangka memperkuat tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara legal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat adat Papua, JPIK bersama Auriga telah melaksanakan rangkaian kegiatan bersama multipihak, dalam hal ini pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil. Rangkaian tersebut mencakup diskusi publik, serial FGD terbatas sebanyak 6 kali, FGD lanjutan, dan hasil beberapa FGD tersebut telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Policy Brief yang juga telah didiseminasikan melalui seminar nasional. Sinkronisasi kebijakan dan tawaran SVLK adat menjadi landasan di masa mendatang untuk mengembalikan model pengelolaan hasil hutan dan sumberdaya alam yang mandiri dan berdaulat oleh masyarakat adat umumnya dan di Papua khususnya (Yuwono & Cahyono, 2022). Sementara, hutan adat memiliki zona-zona pemanfaatan lestari berdasarkan kultur yang melekat di dalamnya. Absennya pengakuan terhadap pemanfaatan kayu secara komersial oleh masyrakat adat justru memperbesar potensi terjadinya pencucian dan penyelundupan kayu hasil hutan adat. The Monitor Desember 2022 | 31 Harimau di Barumun Nagary Wildlife Sanctuary Rimba Hutan Nimas
  • 33. Satu catatan kecil di sektor hilir tahun 2022, JPIK melakukan penelusuran terhadap adanya dugaan pasokan bahan baku hasil illegal logging yang berasal dari hutan lindung, pada industri primer dan lanjutan yang ada Kalimantan Tengah. Hasil verifikasi di lapangan menujukkan kegiatan illegal logging memang marak terjadi di hutan lindung sekitar kota Palangkaraya, dan Kabupaten Pulang Pisau. Mirisnya kayu dalam list appendix II CITES, yaitu Kayu Ramin tak luput dari sasaran pembalakan liar. Kayu-kayu tersebut diangkut menggunakan perahu motor melalui Sungai Kahayan dan didistribusikan ke sawmill-sawmill yang diduga tak jelas izinnya di daerah Bukit Pinang dan Pahandut Seberang Kota Palangkaraya. Kayu-kayu tersebut kemudian diolah dan dikirim menuju industri lanjutan ber-SLK untuk diolah kembali produk jadi. Tak tanggung-tangung, produk jadi tersebut lolos ekspor ke mancanegara. Unsur pemalsuan dokumen nota angkut dan ekspor melengkapi kelemahan validatif SVLK untuk mendeteksi aktivitas pencucian kayu, ditambah lambannya upaya penegakan hukum yang sarat alasan klasik tentang personel dan anggaran. Tentu saja, tanpa mengecilkan torehan Gakkum KLHK atas sitaan 57 kontainer kayu olahan Merbau Papua pada 15 Desember 2022 lalu[11]. Desakan Uni-Eropa terhadap komoditas- komoditas bebas deforestasi dan degradasi melalui EU-Deforestation Regulation (EUDR), [11] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/5181/klhk-amankan-57-kontainer-kayu-merbau-ilegal-asal-papua-di-pelabuhan- tanjung-perak diakses 29 Desember 2022 [12] Lihat joint statement pada tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1qs95d7jqfA8Tr59L6t_Ot73ELepPO-eM/view? usp=sharing [13] https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/qanda_21_5919 diakses 31 desember 2022 diharapkan dapat menjadi pendorong baru bagi perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia dan SVLK khususnya, terlepas masih adanya beberapa catatan kritis[12] di dalamnya. Aturan yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 lalu ini akan mewajibkan perusahaan (operator dan pedagang) yang menempatkan komoditasnya di EU untuk mengumpulkan informasi tentang rantai pasokan mereka sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan lalu lintas perdagangan EU, melakukan penilaian risiko, dan menerapkan tindakan mitigasi risiko jika diperlukan. Namun demikian, komisi EU juga telah berjanji menganggarkan 1 milliar euro untuk mendukung dan membantu para negara mitranya dalam penerapan aturan baru ini melalui penguatan tata kelola hutan, pengembangan undang-undang, dan peningkatan kapasitas dalam bentuk kemitraan kehutanan (forest partnerships) yang sesuai dengan kondisi negara mitranya[13]. Indonesia sebagai satu-satunya negara pemegang FLEGT License dengan SVLK-nya mungkin tidak terlalu banyak mengalami penyesuaian akibat aturan baru EUDR. Hanya saja diperlukan, komunikasi bilateral dan multi- lateral dengan EU untuk membangun roadmap bersama dalam memperkuat reformasi tata kelola yang sudah dicapai. The Monitor Desember 2022 | 32
  • 34. RINGKASAN PERISTIWA 2022 JPIK sedang dalam tahap perubahan menjadi lembaga berbadan hukum. Hal ini berdasarkan tindak lanjut dari agenda Pertemuan Nasional (Pernas) JPIK 2022. Februari- sekarang Persiapan Legalitas JPIK 24 - 30 Oktober Kongres AMAN (KMAN) VI perhelatan lima tahunan sekali dan menjadi area dalam pengambilan keputusan strategis tertinggi, di mana masyarakat adat merumuskan sikap, mengkonsolidasikan gerakan, melakukan dialog secara konstruktif, dan menetapkan mekanisme organisasi. 20 November COP 27 Mesir diadakan di Mesir Sharm el-Sheikh. Pembahasan terfokus pada tiga masalah, yaitu penghimpunan dana adaptasi krisis iklim, pembentukan penghimpunan dana kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim (loss and damage), dan memberhentikan seluruh penggunaan energi fosil pada 2030. 6 Desember Pengesahan EUDDR UU yang dibuat Uni Eropa dalam upaya untuk memastikan serangkaian barang utama yang ditempatkan di pasar (Uni Eropa) tidak akan lagi berkontribusi pada deforestasi dan degradasi hutan di Uni Eropa serta di tempat lain di dunia. 26 Desember Finalisasi Standar Pedoman SVLK Pembahasan mengenai standar pedoman SVLK terbaru sudah dimulai sejak 2021 hingga terakhir sudah memasuki tahap finalisasi pada Desember 2022. Dokumen masih dalam tahap persiapan sebelum nantinya disosialisasikan. The Monitor Desember 2022 | 33
  • 35. Melakukan follow up hasil Pernas JPIK ke XI untuk menentukan badan hukum yang paling tepat bagi JPIK baik dalam bentuk Perkumpulan maupun Yayasan dengan memperhatikan aspek keanggotaan. Mempersiapkan struktur dan alat kelengkapan organisasi sebagaimana peraturan yang berlaku di Indonesia. Mempresentasikan perkembangan hasil diskusi kepada seluruh elemen JPIK Atas berbagai pertimbangan dari aspek kemaslahatan dan memperhatian keanggotaan maka bentuk badan hukum yang dirasa tepat bagi JPIK adalah PERKUMPULAN Berkaitan dengan struktur dan alat kelengkapan organiasi Tim juga telah merumuskan draf Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) JPIK Untuk mendapatkan masukan atas draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) JPIK telah disampaikan kepada Focal Point/perwakilan anggota melalui email pada bulan Desember 2022 Agenda Pertemuan Nasional (Pernas) Ke XI JPIK tahun 2022 menghasilkan mandat kepada Tim Harmonisasi Legalitas JPIK. Adapun tugas dari tim Harmonisasi Legalitas JPIK sebagai berikut : 1. 2. 3. Tim Harmonisasi Legalitas JPIK sejak dibentuk hingga saat ini telah merumuskan beberapa hal terkait dengan kewenangannya diantaranya : 1. 2. 3. Proses legalitas JPIK ini sudah dimulai sejak Februari 2022 hingga sekarang, dan saat ini tengah menunggu hasil input ADRT dari para anggota. Direncanakan proses ini akan masuk tahap finalisasi dan pengesahan pada Pernas ke XII di Bulan Januari 2023. Agenda Kegiatan JPIK 2022 Proses Legalitas JPIK (Februari 2022 - Sekarang) The Monitor Desember 2022 | 34
  • 36. Implementasi SVLK dan NDPE di Enam Provinsi (Juni 2021 - Juli 2022) Penyusunan modul pemantauan yang disesuaikan dengan Peraturan Menteri LHK No. 8/2021 FGD membangun sinergi antara Pemantau Independen dan Pemerintah Daerah Kajian dinamika dan penguatan peran Pemda dalam penyelenggaraan SVLK Pelatihan pemantauan dan SVLK Pemantauan implementasi SVLK pada PBPH - Hutan Tanaman Industri (HTI) Penyusunan hasil kegiatan berupa : Policy Brief, Factsheet, Laporan Pemantauan, Siniar (Podcast), Film dokumenter dan Animasi Promosi SVLK Siaran pers bersama untuk mendiseminasikan hasil laporan kegiatan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI) menyelenggarakan beberapa kegiatan dalam rangka mendukung dan memperkuat implementasi SVLK di enam provinsi yaitu: Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan Barat. Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Diskusi publik, Serial FGD terbatas sebanyak 6 kali dan FGD lanjutan Hasil beberapa FGD tersebut telah ditindaklanjuti melalui penyusunan Policy Brief Seminar nasional, untuk mendiseminasikan Policy Brief dengan tujuan memberikan tawaran gagasan bagi para pengambil kebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial-ekologis bagi masyarakat hukum adat (MHA) dan masyarakat di Tanah Papua. JPIK berkolaborasi dengan Auriga telah melaksanakan rangkaian kegiatan multipihak yaitu dengan pemerintah, akademisi, asosiasi, lembaga sertifikasi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil dalam rangka memperkuat tata kelola dan pemanfaatan hasil hutan secara legal dalam mewujudkan kesejahteraan Masyarakat Adat Papua. Rangkaian tersebut mencakup: 1. 2. 3. 4. JPIK dan Auriga Nusantara (Agustus 2022 - November 2022) The Monitor Desember 2022 | 35
  • 37. Pemantauan Illegal Logging Ramin di Kalimantan Tengah (Oktober - November 2022) FGD dengan BRIN untuk mendapatkan input dan wawasan terkait kebijakan CITES di Indonesia, dan Manajemen Kayu Ramin di Indonesia FGD dengan BKSA Kalimantan Tengah, untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi populasi dan sebaran Kayu Ramin. Pemantauan Kayu Ramin di Hutan Lindung Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pengujian sampel temuan Kayu Ramin pada Pustarhut Penyusunan Laporan Hasil pemantauan dan Laporan tidak lanjut pemantauan ke penegak hukum yaitu Bareskrim Polri. Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan hutan rawa gambut terluas yang juga menjadi habitat alami bagi Kayu Ramin (appendix II CITES). Hasil pemantauan JPIK bersama Kaharingan Institute pada periode bulan Oktober s/d November tahun 2022 menemukan aktivitas penebangan liar masif terjadi bahkan di Kawasan hutan lindung yang ada di Kalimantan Tengah. Hal tersebut tentu saja meningkatkan resiko keterancaman terhadap populasi kayu ramin yang sebarannya semakin terbatas. Rangkaian kegiatan pemantauan yang dilakukan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Pelatihan Platform GFW dan Metode Pantau Jejak (19 - 21 Desember 2022) Hari pertama berisi materi perkenalan aplikasi Global Forest Watch dan Forest Watcher Hari kedua digunakan untuk percobaan simulasi cara pengolahan data Global Forest Watch dan Forest Watcher menggunakan ArcMap dan QGIS. Hari ketiga, para peserta melakukan kegiatan verifikasi lapangan berdasarkan hasil simulasi yang didapat di hari sebelumnya JPIK bersama WRI Indonesia melakukan kegiatan pelatihan Global Forest Watch dan pantau jejak (Forest Watcher) pada 19 - 21 Desember 2022 di Kota Padang Sumatera Barat. Kegiatan pelatihan dihadiri oleh peserta dari masyarakat sipil dan anggota JPIK yang ada di Sumatera Barat, dan Jambi. Pelatihan berlangsung selama 3 hari dengan agenda kegiatan sebagai berikut: 1. 2. 3. The Monitor Desember 2022 | 36
  • 38. Cahyono, Daulat Masyarakat Adat, Opini Tempo, 17 agustus 2022. Dapat dilihat di: https://koran.tempo.co/read/opini/475808/kedaulatan- masyarakat-adat-atas-tanah-air-dan-ruang-hidupnya-di- hutan-adat. Cahyono, dkk (2020) Ringkasan Eksekutif, Ekspansi Perkebunan Sawit, Korupsi Struktural dan Penghancuran Ruang Hidup di Tanah Papua, Greenpeace Indonesia: Jakarta. Dapat diuduh di: https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran- pers/5510/ringkasan-eksekutif-ekspansi-perkebunan- sawit-korupsi-struktural-dan-penghancuran-ruang-hidup- di-tanah-papua/. Cahyono, dkk, Konflik Agraria Masyarakat Adat di Dalam Kawasan Hutan.Laporan Inkuiri Nasional KOMNAS HAM, Buku 3. Dapat diunduh di: https://dev.sajogyo- institute.org/publikasi/buku/buku-3-konflik-agraria- masyarakat-hukum-adat-di-kawasan-hutan/. Cahyono, Eko, (2016). Konflik Agraria dan Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam Kawasan Hutan, (Sajogyo Institute, Bogor) dapat diunduh di: https://sajogyo-institute.org/wp- content/uploads/2016/05/PP-01-PP-SAINS-2016.pdf. D.U. Iliyyan, R. Boer, R. Hidayati, Kerentanan Penghidupan Masyarakat Desa Tanah Merah dan Lobuk Kabupaten Sumenep terhadap Perubahan Iklim, (2022). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111157 (accessed November 24, 2022). H.-M. Füssel, R.J. Klein, Climate change vulnerability assessments: an evolution of conceptual thinking, Clim. Change. 75 (2006) 301–329. H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, M.M.B. Tignor, E.S. Poloczanska, K. Mintenbeck, A. Alegría, M. Craig, S. Langsdorf, S. Löschke, V. Möller, A. Okem, B. Rama, eds., Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., 2022. Daftar Pustaka Hall, Derek, Philip Hirsch, Philip dan Murray Li, Tania, (2011), Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, National University of Singapore. https://betahita.id/news/detail/7937/peluang- kesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html? v=1664429888. J. Amuzu, A.T. Kabo-Bah, B.P. Jallow, S. Yaffa, Households’ Livelihood Vulnerability to Climate Change and Climate Variability: A Case Study of the Coastal Zone, The Gambia, J. Environ. Earth Sci. 8 (2018) 35– 46. J. Roy, A. Prakash, S. Some, C. Singh, R. Bezner Kerr, M.A. Caretta, C. Conde, M.R. Ferre, C. Schuster- Wallace, M.C. Tirado-von der Pahlen, E. Totin, S. Vij, E. Baker, G. Dean, E. Hillenbrand, A. Irvine, F. Islam, K. McGlade, H. Nyantakyi-Frimpong, F. Ravera, A. Segnon, D. Solomon, I. Tandon, Synergies and trade- offs between climate change adaptation options and gender equality: a review of the global literature, Humanit. Soc. Sci. Commun. 9 (2022) 1–13. https://doi.org/10.1057/s41599-022-01266-6. Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan kebijakan institusi—Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016. J. Roy, A. Prakash, S. Some, C. Singh, R. Bezner Kerr, M.A. Caretta, C. Conde, M.R. Ferre, C. Schuster- Wallace, M.C. Tirado-von der Pahlen, E. Totin, S. Vij, E. Baker, G. Dean, E. Hillenbrand, A. Irvine, F. Islam, K. McGlade, H. Nyantakyi-Frimpong, F. Ravera, A. Segnon, D. Solomon, I. Tandon, Synergies and trade- offs between climate change adaptation options and gender equality: a review of the global literature, Humanit. Soc. Sci. Commun. 9 (2022) 1–13. https://doi.org/10.1057/s41599-022-01266-6. Kartodihardjo (2016) Pidato Guru Besar Tetap Kebijakan Fakultas Kehutanan, IPB,dengan judul Diskursus dan kebijakan institusi—Politik Kawasan Hutan: Menelusuri Studi Kebijakan dan Gerakan sosial Sumberdaya Alam di Indonesia, Auditorium Rektorat Gedung Andi Hakim Nasution Institut Pertanian Bogor, 13 Februari 2016. The Monitor Desember 2022 | 37
  • 39. Kartodihardjo, Hariadi, Ed. (2013). Kembali ke Jalan Lurus : Kritik Ilmu dan Praktik Kehutanan Indonesia, Tanah Air Beta, Yogyakarta dan FORCI. Laporan Koalisi Anti-Mafia Hutan diterbitkan oleh Auriga Nusantara et al. 2018. Pengaturan Setengah Hati: Sebuah Studi Tentang Izin Pemanfaatan Kayu Oleh Masyarakat Adat di Tanah Papua. Jakarta, Indonesia. M.B. Hahn, A.M. Riederer, S.O. Foster, The Livelihood Vulnerability Index: A pragmatic approach to assessing risks from climate variability and change—A case study in Mozambique, Glob. Environ. Change. 19 (2009) 74– 88. Mufthi Fathul Bahrri, dkk, Bio Region Papua; Hutan dan Manusianya. Hasil Study Baseline, Hutan dan Manusia di Bio Region Papua, (2020), Forest Watch dan Sajogyo Institute, Bogor. Dapat diunduh di: https://fwi.or.id/wp- content/uploads/2020/06/FWI-2019-Bioregion-Papua- Hutan-dan-Manusianya.pdf Muntaza, (2014). MIFEE dan Perempuan Adat Suku Malind, (Sajogyo Institute, Bogor). Dapat diunduh di: https://sajogyo-institute.org/wp- content/uploads/2016/05/Muntaza-2014.pdf. Peluso, Nancy, (2006), Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa/ [Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java (University of California Press, 1994)]/ Nancy Lee Peluso/ Landung Simatupang (trans.)/ Noer Fauzi (ed.)/ Konphalindo & INSISTPress. Purba, C. B. (2022). Dinamika penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan SVLK. Bogor: FWI-JPIK. Sajogyo Institute, Policy Paper (2020).Tiga Catatan Pentapan Hutan Adat: Kasepuhan Karang dan Tapang Sambas-Tapang Kemayu, Sajogyo Institute – KSI - DIFAT. Vandergeest P (1996). Mapping nature: Territorialization of forest rights in Thailand. Society & Natural Resources. (9):159-175. Vandergeest P, Peluso NL (1995). Territorialization and state power in Thailand. Theory & Society. 24(3): 385- 426. Wicaksono, Rade Aryo (2022).Peluang Kesejahteraan dari SVLK Adat di Papua, dapat diunduh di: https://betahita.id/news/detail/7937/peluang- kesejahteraan-dari-svlk-kayu-adat-di-tanah-papua.html? v=1664429888 Y.A. Izrael, S. Semenov, O. Anisimov, Y.A. Anokhin, A. Velichko, B. Revich, I. Shiklomanov, The fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change: Working group II contribution, Russ. Meteorol. Hydrol. 32 (2007) 551–556. Yuwono, T., & Cahyono, E. (2022). Menuju legalisasi kayu hutan adat di tana Papua. Bogor: JPIK-Auriga Nusantara. The Monitor Desember 2022 | 38
  • 40. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Jl. Babakan Sari VI No.5, Bantarjati, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat, 16129 Tel : +62 251 8397371 Email : jpikmail@gmail.com JPIK secara rutin mempublikasikan newsletter setiap 3 bulan sekali, Newsletter ini sebagai salah satu wadah untuk berbagi informasi mengenai aktivitas JPIK dan mitra, serta pihak terkait lainnya tentang kondisi terkini pengelolaan hutan di Indonesia. JPIK mengajak anda berpartisipasi menjadi kontributor, anda bisa mengirimkan karya tulisan ke alamat dan kontak di bawah ini :