Makalah ini membahas pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Islam dan demokrasi. Gus Dur lahir pada 1940 di Jombang dan menempuh pendidikan di berbagai pesantren serta perguruan tinggi di Mesir, Irak, dan Belanda. Ia mendirikan berbagai lembaga keagamaan dan politik serta banyak menulis tentang demokrasi, pluralisme, dan hubungan antaragama. Gus Dur memandang demokrasi sesuai dengan nilai-
1. ISLAM DAN DEMOKRASI
(STUDI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag
Disusun Oleh :
Ali Murfi 11470082
Jurusan Kependidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Semester Gasal Tahun Ajaran 2012/2013
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan nikmat-Nya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya
dengan judul “ Islam dan Demokrasi (Studi Pemikiran Abdurrahman Wahid) ”
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sedalam - dalamnya kepada :
1) Bapak Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag . Selaku Dosen pengampu mata kuliah
Filsafat Pendidikan, yang telah dengan sabar memberi pengarahan dalam penyusunan
karya tulis ini.
2) Seluruh teman – teman jurusan Kependidikan Islam kelas C, yang telah bersedia untuk
bekerja sama dalam penyusunan karya tulis ini.
Terlepas dari segala kekurangan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif untuk perbaikan pada masa yang akan datang.
Yogyakarta, 22 Oktober 2012
Penyusun
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kuatnya tuntutan demokratisasi dan maraknya diskursus demokrasi tidak lain
karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang bisa menjamin
keteraturan publik dan sekaligus mendorong transformasi masyarakat menuju suatu
struktur sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang lebih ideal. Ideal dalam arti,
manusiawi dan berkeadilan. Demokrasi telah diyakini sebagai sistem yang paling
realistis dan rasional untuk mencegah suatu struktur masyarakat yang dominatif, represif
dan otoritarian.
Bagaimana tuntutan demoktratisasi dan diskursus demokrasi di “negara-negara
Islam” atau negara berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia? Apa yang disebut
Huntington sebagai gelombang demokratisasi ketiga merupakan kecenderungan global
yang terjadi hampir di semua negara, meskipun dalam kapasitas dan intensitas yang
berbeda-beda, tergantung pada beberapa factor pendorong yang melingkupinya. Tuntutan
demokratisasi dan maraknya diskursus demokrasi dalam derajat intensitas yang cukup
tinggi juga terjadi di beberapa “negara Islam” yang membentang dari Maroko di Afrika
Barat sampai di ujung Asia Tenggara.
Persoalan yang menarik dalam kaitan ini adalah kenyataan bahwa kaum
intelektual itu secara terbuka menerima gagasan demokrasi modern. Fenomena ini
menjadi menarik karena setelah beberapa abad sikap seperti itu tidak terlihat, karena
adanya sikap anti Barat yang berlebihan.
Ada beberapa konsep pembenaran teologis sosiologis yang digunakan oleh
sejumlah intelektual Muslim dalam menerima gagasan demokrasi. Secara umum konsep
ini merupakan hasil perenungan intelektual dan kreativitas berfikir (ijtihad) yang
dilakukan secara terbuka, bebas rasa rendah diri dan prasangka-prasangka buruk yang
berlebihan terhadap nilai-nilai dari luar Islam.
Fokus kajian dalam penulisan ini adalah pada pemikiran Abdurrahaman Wahid,
karena beliau adalah tokoh intelektual Muslim Indonesia yang secara tegas menerima
demokrasi sebagai preferensi final bagi sebuah sistem politiok atau kenegaraan. Visi
pemikiran Abdurrahman Wahid dalam diskursus demokrasi Indonesia sangat terasa
pengaruhnya, khususnya sejak awal 1990-an.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang tertulis dalam latar belakang, maka penulis dalam hal ini akan
merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan.
1. Bagaimana latar belakang (Biografi) Abdurrahman Wahid ?
2. Bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan Demokrasi ?
4. 3. Bagaimana kontribusi pemikiran politik Abdurrahman Wahid bagi perkembangan
diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia ?
1.3. TUJUAN MASALAH
Dengan berdasar pada poin-poin pertanyaan tersebut di atas, maka penulis mempunyai
tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui dan memahami latar belakang (Biografi) Abdurrahman Wahid.
2. Mengetahui dan memahami pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan
Demokrasi.
3. Mengetahui dan memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid bagi
perkembangan diskursus Islam dan Demokrasi di Indonesia.
5. BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
2.1.1. RIWAYAT HIDUP
Abdurrahman Wahid, yang dipanggil akrab Gus Dur, dan dengan nama
lengkap Abdurrahman Al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di
Denanyar, Jombang. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya bernama
wahid Hasyim, adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren
Tebu Ireng dan pendiri Nahdatul Ulama (NU). Ibunya bernama Hj. Sholehah,
juga putri tokoh besar Nahdatul Ulama (NU), K.H. Bisri Syamsuri, pendiri
pondok pesantren Denanyar Jombang dan Ro’is Am Syuriah Pengurus Besar
Nahdatul Ulama (PBNU) setelah K.H. Abdul Wahab.1
2.2.1. RIWAYAT PENDIDIKAN
Pada saat kecil Gus Dur pernah bercita-cita menjadi tentara, masuk
AKABRI. Namun, cita-cita itu kandas, sebab pada usia 14 tahun, ia harus
memakai kaca mata minus.
Setelah menamatkan dari sekolah dasar di Jakarta, Gus Dur melanjutkan ke
SMEP di Tanah Abang Jakarta, akan tetapi setelah setahun, dia dipindahkan ke
SMEP Gowongan Yogyakarta. Ketika Gus Dur sekolah di SMEP Yogya,
diusahakan pula dan diatur bagaimana ia dapat pergi ke pesantren Al-
Munawwir di Krapyak tiga kali. Di sini ia belajar bahasa Arab dengan K.H. Ali
Ma`sum.
Setelah menamatkan sekolah di SMEP Yogya pada tahun 1957, Gus
Dur pindah ke Magelang di Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan kiai
karismatik, kiai Khudori, dari sinilah Gus Dur mempelajari secara penuh dunia
pesantren berserta keilmuannya.
Pada saat yang sama, selama dua tahun Gus Dur juga belajar paro
waktu di Pesantren Denanyar Jombang di bawah bimbingan kakeknya dari
pihak ibu, Kiai Bisri Syamsuri.setelah itu Gus Dur melanjutkan ke pondok
Pesantren Tambak Beras, di bawah asuhan Kiai Wahab Hasbullah,.
Awal belajar di luar negeri, pada tahun 1964-1969. Gus Dur masuk di
Departement of Higher Islamic and Arabic Studies, Al-Azhar Islamic
University, Cairo Mesir.
1
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2005), Cet.Ke-3, hlm. 338-339
6. Perjalanan proses belajar Gus Dur di Mesir tidak semulus dan semudah
dijalankan, karena memang harus terganjal dengan pengurusan terhadap
pengakuan ijazahnya dan mata kuliah yang sudah dipelajarinya di Indonesia.
Gus Dur merasa banyak hal dalam pelajaran yang diulang ketika belajar di
Mesir, sehingga ia begitu enggan melakukan studi formalnya dan sering tidak
masuk kuliah, sehingga ia memutuskan untuk keluar dari Al-Azhar dan pindah
ke Baghdad.
Kemudian pada tahun 1970-1972 Gus Dur pindah kuliah di Fakultas
Sastra Universitas Baghdad Irak.Di sinilah Gus Dur mempunyai jadwal yang
cukup ketat, mulai dari memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di
Indonesia dan ia pun diberikan akses yang mudah untuk pelaksanan tahapan
risetnya. Ia juga mempelajari bahasa Perancis.
Setelah menamatkan masa studinya di Timur Tengah, Gus Dur
kemudian pindah ke Eropa untuk melanjutkan studi Pascasarjananya. Pada
mulanya Gus Dur tinggal di Belanda dan berkeinginan masuk di Universitas
Leiden, akan tetapi yang terjadi pada beberapa universitas Eropa termasuk
Leiden tidak dapat menerima lulusan dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun
kecewa dengan hal ini, untuk mengurangi beban kekecewaannya ia pun
berkelana selama setahun di Eropa dan pada pertengahan tahun 1971 Gus Dur
balik ke Indonesia.
Beragam ilmu pengetahuan dan segala prosesnya dalam kemandirian,
seorang Gus Dur mampu menembus batas-batas sisi kemanusiaan yang wajar,
bahkan upaya untuk dapat mandiri dalam hidupnya pun ia mampu.
Begitulah Gus Dur dalam kisahnya mencari ilmu, selain diajar oleh
guru informal yang kuat, bisa jadi Gus Dur juga diberi karunia oleh Allah
sehingga dapat cepat memahami sebuah bacaan dan memiliki ingatan yang luar
biasa akan bacaan tersebut. Mungkin inilah yang menjadi dasar bagi seorang
calon pemimpin di masa mendatang.2
2.3.1. KARYA-KARYA
Karya-karya intelektual Gus Dur sejak awal 1970-an hingga akhir
1990-an, karya intelektual itu tersebar dalam berbagai bentuk tulisan dan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut, dalam bentuk buku sebanyak 12, 1 buku
terjemahan, 20 kata pengantar buku, 1 epilog buku, 41 antologi buku, 105
tulisan dalam bentuk kolom, 50 makalah, 263 artikel yang tersebar dalam
berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media massa.
2
Ibid, hlm. 339-347
7. Tim peneliti dari INCReS (Institut of Culture and Religion Studies)
secara simpel memberikan gambaran dari karya-karya besar yang dihasilkan
dari pemikiran seorang Gus Dur, karya tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh
tema pokok, ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang
menjadi perhatian Gus Dur selama ini. Tujuh hal itu adalah pandangan dunia
pesantren, pribumisasi Islam, keharusan demokrasi, finalitas negara-bangsa
Pancasila, pluralisme agama, humanitarinisme universal dan antropologi kiai.
Berikut daftar karya dalam perjalanan karir dan perjuangan Gus Dur:3
1. Guru Madrasah Mu`allimat, Jombang (1959-1953)
2. Dosen Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-1974)
3. Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy`ari, Jombang (1972-
1974)
4. Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974-1979)
5. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (1976-2009)
6. Pendiri dan anggota Fordem (forum Demokrasi), 1990.
7. NU (Nahdlatul Ulama), katib Awwal PBNU 1980-1984, Ketua dewan
Tanfidz PBNU, 1994-2000.
8. Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
9. P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat)
10. Pendiri The Wahid Institut.
11. Gerakan Moral rekonsiliasi Nasional, 2003, sebagai penasihat.
12. Solidaritas korban pelanggaran ham, 2002, sebagai penasihat.
13. Festifal Film Indonesia, 1986-1987, sebagai juri.
14. Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
15. Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Cairo Mesir, 1965, sebagai wakil
ketua.
16. Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden, 2003-
sampai beliau meninggal.
17. International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel.
18. Anggota dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, ehud barak dan
carl bild, 2003-sampai beliau meninggal.
19. International Islamic Christian Organization for Reconciliation and
Reconstrukction (IICORR), London, Inggris. Sebagai presiden
kehormatan, 2003-sampai beliau meninggal.
3
http://sosok.kompasiana.com/2012/06/09/biografi-gusdur/IKamis, 18 Oktober 2012I18.45I
8. 20. International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP). New
York, Amerika Serikat. Anggota dewan penasihat Internasional. 2002-
sampai beliau meninggal.
21. Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York,
Amerika Serikat, Presiden, 2002.
22. Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel. Pendiri dan anggota.
1994-sampai beliau meninggal.
23. World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika
Serikat, Presiden, 1994-1998.
24. International dialogue project for area study and law, den hag, belanda,
sebagai penasihat, 1994.
25. The Aga khan Award for Islamic Architecture, anggota dewan juri, 1980-
1983.
2.2. ABDURRAHMAN WAHID, ISLAM DAN DEMOKRASI
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah
penolakanya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam 4. Sebaliknya,
Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini
untuk berkembang secara cultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan
apresiasi kepada upaya kulturalisasi. Ketidaksetujuan Gus Dur terhadap formalisasi
Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al-Qur’an yang berbunyi “udhkulu
fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pendukung Islam
formalis. Jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata
“Islami”, Gus Dur menafsirkan kata “al silmi” dengan “perdamaian”.
Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi
yang luas. Mereka yang terbiasa dengan dengan formalisasi, akan terikat kepada
upaya-upaya untuk mewujudakn “system Islami” secara fundamental dengan
mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan
menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus
Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima
prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong
mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesinalisme, dan bersikap
sabar ketika menghadapiu cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sitem
Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat
Muslim yang taat.
4
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi,
(Jakarta: the WAHID Institute, 2006), Cet.ke-2, hlm. XV
9. Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam.
Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuaivdengan perkembangan Islam di
Indonesia, yang dikenal “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia,
menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian cultural yang tidak berbaju ideologis.
Disisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam
kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal
terhdap teks-teks keagamaan.
Implikasi yang paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya
sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideology alternative Pancasila,
serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam
Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah Pemerinytah Daerh dan DPRD yang
mengeluarkan peraturan-peraturan daerah berdasarkan “syari’at Islam”. Menurut Gus
Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syari’at-kan”
peraturan-peraturan daerah bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan
UUD ’45. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya
syari’atisasi semacam itu menurut ilmu Fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil
(melakuakan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu
mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Sikapnya ini
didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memilki
konsep yang jelas tentang negara. Gusdur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah
mencri dengan dengan sia-sia manusia yang bernama negara Islam itu. “sampai saat
hari ini belum saya temukan, sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam
memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan”.
Dari paparan tersebut di atas, cukup jelas kiranya kea arah mana alur
pemikiran politik gusdur, yaitu; Substantif-Inklusif.
10. BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Dilihat dari segi latar pendidikan, Gus Dur adalah seorang tokoh yang memiliki
pengalaman pendidikan yang lengkap anatara pendidikan agama dan pendidikan
umum.
2. Dilihat dari kiprah dan pengabdianya, Gus Dur bukan hanya mengabdikan dirinya
untuk kepentingan komunitas Islam atau untuk kepentingan bangsa Indonesia saja
melainkan untuk kepentingan kemanusiaan di seluruh dunia.
3. Paradigma yang dipakai Abdurrahman Wahid untuk menemukan hubungan Islam
dan Demokrasi didasarkan pada pemikiran yang Substantif-Inklusif, ditandai
dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep
teoritis yang berhubungan dengan politik. Dengan kata lain, bahwa tak ada satu
pun ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan negara
Islam.
4. Refleksi dalam bidang politiknya adalah melakukan upaya yang signifikan
terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial
dari nilai-nilai Islam dalm aktifitas politiknya.
11. DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. Jakarta: the WAHID Institute.
Dharwis, Elyassa K.H. 1994. Gus Dur-NU-dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Lkis
Wahid, Abdurrahman. 1998. Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas,
Reformasi Cultural. Yogyakarta: LKiS
Afandi, Arief. 1997. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemic Strategi Perjuangan Umat
Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Iskandar, Muhaimin. 2007. Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia. Yogyakarta:
KLIK.R
Dhakiri, Hanif M. 2010. 41 Warisan Kebesaran Gusdur. Yogyakarta: LkiS
http://sosok.kompasiana.com/2012/06/09/biografi-gusdur/IKamis, 18 Oktober 2012I18.45I