Hadis ini menjelaskan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Niat merupakan syarat utama agar amal ibadah mendapatkan pahala. Perbuatan hanya bernilai jika dilakukan dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah.
2. NAWAWI KECIL
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-
Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun
631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang
sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang
terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib
(tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum
menginjak usia baligh
3. IMAM AN NAWAWI
Imam Nawawi dijuluki dengan Al-imam Al-hafizh al-auhad (satu-
satunya) al-qudwah (tauladan) Syaikhul Islam (syaikh islam) ilmu awliya
(pemimpin para wali) Muhyiddin ( pemberi kehidupan agama) Abu
Zakariya (Bapaknya Zakaria) Yahya bin Syaraf bin Muri Al-Khuzami Al-
Hawaribi As-Syafi’i. Beliau lahir pada bulan Muharram tahun 631 H
4. PEMBELAJAR SEJATI
Pada tahun 649, atau pada umur 10 tahun beliau berkelana menuju kota Damaskus dan
tinggal di sana untuk menuntut ilmu, menghafal kitab at-tanbiih dalam kurun waktu 4,5
bulan, menghafal kitab al-muhadzdzab dalam kurun setengah tahun di hadapan gurunya Al-
Kamal bin Ahmad, kemudian menunaikan ibadah haji bersama orang tuanya dan tinggal di
kota Madinah selama satu setengah bulan, dan menuntut ilmu di sana. Dikisahkan oleh
Syeikh Abul Hasan bin Al-Atthar bahwa imam Nawawi setiap belajar 12 mata pelajaran dan
menghafalnya di hadapan guru-gurunya dengan syarah yang begitu gamblang dan benar;
dua pelajaran pada kitab al-wasith, satu pelajaran kitab al-muhadzab, satu pelajaran pada
kitab al-jam’u baina as-shahihain, satu pelajaran pada kitab shahih Muslim, satu pelajaran
pada kitab al-Luma’ karangan Ibnu Jana, satu pelajaran pada kitab ishlahul mantiq, satu
pelajaran pada kitab tashrif, satu pelajaran pada kitab ushul fiqh, satu pelajaran pada kitab
“Asmaur rijal”, satu pelajaran pada kitab ushuluddin.
5. PARA GURU
Imam Nawawi berguru pada syaikh Ar-Ridha bin al-Burhan, Syaikh
Abdul Aziz bin Muhammad Al-Anshari, Zainuddin bin Abdul Daim,
Imaduddin Abdul Karim Al-Khurasani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf,
Taqiyyuddin bin Abil Yasar, Jamaluddin bin As-Shayarfi, Syamsuddin bin
Abi Umar dan ulama-ulama lainnya yang sederajat.
Beliau banyak belajar kitab-kitab hadits seperti kutub sittah, al-Musnad,
al-Muwattha, Syarah Sunnah karangan Al-Baghwi, Sunan Ad-
Daruquthni, dan kitab-kitab lainnya.
6. MURIDNYA
Adapun murid-murid Imam Nawawi yang menjadi ulama terkenal
setelah beliau adalah Al-Khatib Shadr Sulaiman Al-Ja’fari, Syihabuddin
Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin Al-Arbadi, Alauddin bin Al-Atthar, Ibnu
Abi Al-Fath dan Al-Mazi serta Ibnu Al-Atthar.
7. MUALIF PRODUKTIF
Dikisahkan oleh syeikh Ibnu Al-Atthar: Bahwa Imam Nawawi bercerita
kepadanya, beliau tidak pernah sedikit pun meninggalkan waktu
terbuang sia-sia baik malam ataupun siang hari bahkan saat berada
dijalan. Beliau melakukan mulazamah selama 6 tahun lalu menulis kitab,
memberikan nasihat dan menyampaikan kebenaran.
8. KARYA AGUNG
Di antara kitab karangan Imam Nawawi adalah sebagai berikut: Syarah
Shahih Muslim, Riyadlus shalihin, Al-Adzkar, Al-Arbain, Al-
Irsyad Fi ulumil hadits, At-Taqrib, Al-Mubhamat, Tahrirul Al-
Alfazh littanbih, Al-Idhah fil Manasik, At-Tibyan fi Adabi
Hamalatil Quran, Al-Fatawa, Ar-Raudlatu Arbaati Asfar,
Syarah Al-Muhadzab ila bab al-mirah (4 jilid) Syarah sebagian
kitab Al-Bukhari, Syarah kitab al-Wasith dan banyak lagi kitab
lainnya dalam bidang hukum, bahasa, adab dan ilmu-ilmu fiqh.
9. WARA DAN ZUHUD
Imam Nawawi adalah seorang ulama yang wara’ dan zuhud, beliau sama
sekali tidak menerima imbalan apapun dalam mengajar ilmu, beliau
pernah menerima hadiah lampu templok dari seorang fakir. Imam
Burhanuddin al-Iskandarani pernah mengajaknya buka puasa
bersamanya, beliau berkata, “Bawalah makananmu kemari dan kita
berbuka bersama di sini, lalu beliau makan hanya dua jenis makanan,
selain itu ditinggalkan”.
10. ILMU - ZUHUD - AMNH
Imam Nawawi selalu berhadapan dengan raja dan kezhaliman, mengingkari
dan mengingatkan mereka dalam bentuk tulisan dan peringatan akan azab
Allah. Di antara contoh surat beliau adalah sebagai berikut:
“Dari Abdullah bin Yahya An-Nawawi, Salamullah alaikum warahmatuhu
wabarakatuh atas raja yang baik, raja para umara Badruddin, semoga Allah
mengekalkan baginya kebaikan dan membimbingnya dengan kebenaran dan
menyampaikannya menuju kebaikan dunia dan akhirat pada segala cita-cita
dan urusannya, serta memberikan keberkahan dalam setiap perbuatannya.
Amin.
11. “KEMBALI”
Setelah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis dan kembali ke kota
Nawa, Imam Nawawi menderita sakit di samping orang tuanya, lalu
meninggal pada tanggal 24 Rajab tahun 676 H. dan dikubur di kota
Yazar. Rahimahullah al-imam An-Nawawi.
13. ْنَعِْريِمَأَْنيِنِمئوُماليِبَأْصفَحَْرَمُعِْنبِْباَّطَخالَْي ِض َرُْ َّاّللُْهنَعَْلاَق : ُْتعِمَسَْلوُس َرِْ َّاّللىَّلَصُْ َّاّللِْهيَلَع
َْمَّلَس َوُْلوُقَي : اَمَّنِإُْلاَمعَألاِْتاَيِالنِب،اَمَّنِإ َوِْلُكِلْئ ِراماَموىَن،ْنَمَفَْكْتَناُْهُت َرجِهىَلِإِْ َّاّللِْهِلوُس َر َوِْهَفُْهُت َرج
ىَلِإِْ َّاّللِْهِلوُس َر َو،ْنَم َوْتَناَكُْهُت َرجِهاَيُندِلاَهُبي ِصُيْامِوَأْةَأ َراَهُحِكنَيُْهُت َرجِهَفىَلِإاَمَْرَجاَهِْهيَلِإ
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al-Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, ‘Saya mendengar
Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap perbuatan[1] tergantung niatnya[2]. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya[3] karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya
(akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
14. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti
ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Dalam hadits
tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa
perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan,
sedangkan niat merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut.”
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata, “Hadits ini mencakup
tujuh puluh bab dalam fiqh.” Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata,
“Hadits ini merupakan sepertiga Islam.”
15. KANDUNGAN HADITS
Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan
amal ibadah tidak akan menghasilkan pahala kecuali berdasarkan niat
(karena Allah Ta’ala).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah Ta’ala dituntut
pada semua amal shaleh dan ibadah.
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
16. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat
karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Yang
membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman
karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman
Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
17. Khotimah
Do your best, Be the best,
Allah will take care of the rest
Doddy Al Jambary 0816 884 844
jambary67@gmail.com
slideshare.net/Aljambary
jambary.com
َْكَناَحبُسَّْمُهَّلالَْكِدمَحِب َو
ُْدَهشَأْنَأَْلَْهلِإَّْلِإَْتنَأ
َْكُرِفغَتسَأَْأ َوُْبوُتَْكيَلِإ
Editor's Notes
Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Imam Nawawi berkata, “Saya berusaha melekatkan diri dalam menjelaskan sesuatu yang sulit dipahami, menjelaskan ungkapan yang samar dan menertibkan tata bahasa, dan Alhamdulillah Allah memberkahi waktu yang aku miliki, namun suatu ketika terbetik dalam hati ingin bergelut dalam ilmu kedokteran sehingga aku pun sibuk dengan ilmu perundang-undangan, sehingga aku merasa telah menzhalimi diri sendiri dan hari-hari selanjutnya aku tidak mampu melakukan tugas; akhirnya aku pun rindu pada ilmu yang sebelumnya telah aku pelajari, aku jual kitab perundang-undangan sehingga hatiku kembali bersinar.
Sebagaimana beliau juga belajar kitab al-Kamal karangan al-Hafizh Abdul Ghani Alauddin , Syarah Hadits-hadits shahih bersama para muhaditsin seperti Ibnu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi. Belajar kitab Ushul dengan ustadz Al-Qadhi At-tafalisi. Kitab Al-Kamal dengan ustadz ishaq al-Mu’arri, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh, Izzuddin Umar bin Sa’ad Al-Arbali dan Al-Kamal Salar Al-Arbali. Belajar kitab tentang bahasa bersama ustadz Ahmad Al-Masri dan ustadz lainnya. Lalu setelah itu beliau konsen dalam mengajarkan dan menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir, berpuasa, bersabar dengan kehidupan yang sederhana, baik makan maupun pakaian.
Imam Nawawi memiliki semangat yang tinggi dalam beribadah dan beramal, teliti, wara’, hati-hati, jiwa yang bersih dari dosa dan noda, jauh dari kepentingan pribadi, banyak menghafal hadits, memahami seni dalam ilmu hadits, perawi hadits, shahih dan cacat hadits, serta menjadi pemuka dalam mengenal madzhab.
Syeikh Imam Rasyid bin Al-Mu’allim berkata, “Syeikh imam Nawawi adalah sosok yang tidak terlalu banyak masuk ke dalam kamar mandi, menyia-nyiakan waktu dalam makan dan berpakaian serta urusan-urusan lainnya, beliau sangat takut terkena penyakit sehingga menjadikan dirinya lengah dalam bekerja”. Beliau juga tidak mau makan buah-buahan dan mentimun, beliau berkata, “Saya khawatir membuat diri saya lemas dan menjadi suka tidur”
Diceritakan oleh Imam Quthbuddin Al-Yunini bahwa Imam Nawawi adalah satu-satunya seorang ulama yang luas ilmunya, wara’, ahli ibadah, sederhana dan tidak bermewah-mewah dalam kehidupannya.
Sebagaimana diketahui bahwa penduduk Syam sedang mengalami kesempitan dan kekeringan karena sudah lama tidak turun hujan… beliau menjelaskan secara detail dan panjang dalam surat tersebut kepada sang raja, namun sang raja menjawabnya dengan lebih keras dan menyakitkan, sehingga menambah runcing keadaan dan kekhawatiran para jamaah”.
Imam Syeikh Ibnu Farh mengisahkan perjalanan hidup beliau yang penuh dengan kenangan, beliau berkata, “Syeikh Muhyiddin An-Nawawi memiliki tiga tingkatan yang jika setiap orang mengetahui akan setiap tingkatannya maka akan segera pergi kepadanya, “Ilmu, zuhud dan al-amru bil ma’ruf dan an-nahyu anil mungkar”.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354
عَنْ أَمِيْرِ الْمُئوْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al-Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap perbuatan[1] tergantung niatnya[2]. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya[3] karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).
Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Sebab dituturkannya hadits ini, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama: “Ummu Qais” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).