Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Pendampingan yang efektif dalam mengimplementasikan UU Desa harus mengaktifkan subjek masyarakat secara organik dan berakar dari dalam komunitas, bukan hanya bersifat teknokratis atau kolonial. Pendekatan pendampingan baru perlu didasarkan pada kemandirian dan kapasitas masyarakat desa.
1. PENDAMPINGAN DAN UU DESA:
refleksi dan tantangan kedepan
Arie Sujito
Sosiolog UGM; peneliti IRE
2. Konteks…
Semangat yang dibangun dari UU No. 6 tahun
2014 tentang Desa adalah mendorong
terbangunnya Desa yang mandiri, demokratis
dan sejahtera
Regulasi itu memadukan: koreksi atas
perlakukan desa masa lalu dan memproyeksi ke
masa depan
Substansi pengaturannya harus diturunkan
dalam PP, peraturan menteri, perda dan
seterusnya, dimana keharusan agar masing-
masing regulasi dan kebijakan itu senafas; untuk
menjawab problem desa; dan bukan
menciptakan masalah baru
3. Konsekuensinya: perspektif, metode, praktik
kerja dan SDM dituntut untuk berubah, bangkit
dan mampu mentransformasi “modalitas yang
dimiliki” dengan memanfaatkan struktur
kesempatan ini untuk melakukan pembaharuan
desa
Aktor negara (dalam hal ini pemerintah di
semua lini) dan masyarakat sipil, serta pelaku-
pelaku ekonomi berinteraksi menerjemahkan
semangat pembaharuan itu agar lebih
bermakna secara praksis, sehingga UU Desa
mampu mencapai tujuan
4. Pertanyaan…
Bagaimana mampu menciptakan
masyarakat lokal desa, terutama grass root
dan marginal, menjadi subjek aktif dalam
pembaharuan desa?
Bagaimana pendekatan dan perspektif
yang perlu kita rumuskan dan operasikan
secara praksis untuk menjawab tantangan
itu?
Apa yang musti dipersiapkan, dan dengan
road mapp seperti apa agar orientasi itu
terwujud?
5. Catatan…
Sejauh pengamatan dan pengalaman praksis
selama ini, peran pendamping, diantaranya
para fasilitator begitu berarti dalam membantu
agenda pemberdayaan, dengan segala
masalah, pendekatan, proses dan hasilnya: plus
minus
Pelibatan mereka berangkat dari aktivis LSM,
akademisi, pekerja sosial, maupun kelompok
lain, paling tidak menstimulan gerak nadi
komunitas; menyemai bibit keberdayaan
sebagai pilar warga yang aktif dan kritis;
berbagai kasus dan agenda lokal untuk
beragam sektor terpecahkan
6. Misalnya fasilitator PNPM, kita akui telah
menciptakan pendekatan baru mendorong
partisipasi warga yang mengoreksi pendekatan
lama; dapat dicatat misalnya, mengubah dominasi
ruang dan akses elit lokal dalam keputusan
pembangunan menuju --dalam beberapa hal--
penguatan partisipasi warga dalam membangun
konsensus untuk perubahan kebijakan strategis lokal
Akan tetapi, sayangnya, peran mereka (fasilitator
PNPM) itu masih “terjebak dalam mainstream
teknokratisasi dan rezim administratif” sehingga
mengurangi bobot substansi peran pendampingan
itu (ideologi emansipasi) secara praksis; kadang ini
tidak disadari
7. Subjek aktif…
Diantara tantangan penting yang perlu dijawab oleh
pendamping berkaitan UU Desa; menciptakan
subjek aktif bagi warga komunitas menjadi kunci
kebangkitan warga
Subjek aktif berarti, bahwa pendampingan pada
masyarakat dipahami sebagai kerja “sementara”
sampai subjek yang didampangi mampu “dewasa”
dan akfif mandiri; ukurannya kemampuan
mentransformasikan kesadaran diri subjek secara
kolektif
Cara pandang “dewasa dan aktif” tentu cara versi
subjek yang didampingi, bukan fasilitator; kesadaran
emansipatorik tumbuh berakar dari mereka dan
organik
8. Desa-desa di Indonesia punya keragaman
kapasitas, majemuk dari karakter, serta kondisi
ekonomi politik yang menggambarkan
“fragmentasi dan gap” satu sama lain
Ada desa-desa yang maju, mandiri dan kuat
dalam proses pembangunan; namun masih
banyak mengalami nasib “terbelakang” dan
tidak berdaya, baik karena dampak kebijakan
ekonomi politik (struktural), juga karena
bersemayam akar kultural dalam rentang
sejarah lama
Situasi inilah menjadi titik tolak perubahan
pendampingan!
9. Pendampingan organik
Pemahaman atas semua ini mendorong kita
meyakini bahwa: tidak mungkin menggunakan
pendekatan dalam pendampingan yang sama
atau generik
Tetapi pendampingan adalah perspektif yang
unik, kontekstual dan organik; tidak mungkin
dibuat rumus tunggal dan umum
Pendampingan “perspektif organik”
mengandung maksud, bahwa kemandirian
desa akan tumbuh jika mereka diyakinkan
kapasitas diri, dan aktor-aktor komunitas itulah
yang bisa menjadi agen pendamping otentik
10. Cara pandang ini maknanya; masyarakat
akan bangkit oleh dirinya; agen-agen di
masyarakat akan mampu mendampingi
dan mempengaruhi struktur sosial di
komunitasnya masing-masing
Itulah pentingnya: spirit relawan warga
yang ditransformasikan menjadi fasilitator
dan pendamping warganya
Pertanyaannya: bagaimana memulai agar
agen, relawan dan fasilitator otentik lahir
dan tumbuh secara organik dari komunitas?
11. Agenda…
Difinisikan ulang konsep kemandirian, subjek,
orientasi, perspektif dan pendekatan yang
bertumpu kekuatan lokal secara otentik
Desa harus dibebaskan dari politik dominasi
negara, hegemoni pasar dan oligarkhi elit lokal
komunitas
Agar mampu membaca dan menganalisis
problem, kapasitas dan orientasi perubahan
maka hindari jebakan kolonisasi
pendampingan; mengubah pendekatan
pendampingan “corak kimiawi menjadi
organik”
12. Pendekatan ini butuh waktu, dalam konteks
implementasi UU Desa, membutuhkan masa transisi
menuju “pemberdayaan yang berakar dari dalam”
dan stimulasi dari luar jangan sampai menjadi “racun
baru” tetapi harus menjadi “vitamin alternatif”
Dalam jangka pendek debat soal ideologi yang
diturunkan kedalam perspektif dan pendekatan
pendampingan harus dilakukan; tidak sekadar
“berkutat pada instrumental dan teknokrasi”
Fasilitator adalah subjek dalam pemberdayaan;
namun pendampingan organik justru menempatkan
masyarakat menjadi subjek kunci: MENGAKTIVASI
kesadaran kritis secara otentik.