Modal toleransi dan kemampuan empati merupakan inti dari dialog antara Gus Dur dan Ikeda. Keduanya belajar menghargai perbedaan melalui figur-figur besar yang menginspirasi seperti Gandhi, serta belajar memahami keutamaan satu sama lain. Mereka sepakat bahwa dialog adalah sarana untuk menghapus perbedaan dan mencapai pemahaman melalui hati nurani.
1. KETRAMPILAN PSIKOLOGI
WUJUDKAN PERDAMAIAN
Oleh : Mohammad Mahpur
Pencapaian kemampuan hidup damai sudah selazimnya dibentuk melalui
kekuatan diri setiap orang. Begitu juga modal dalam membangun capaian
perdamaian dalam skala yang lebih luas, yakni perdamaian global. Prakarsa
perdamaian dunia juga sangat penting ditopang oleh figur pemimpin sebuah bangsa,
baik pemimpin negara atau pemimpin umat. Keteladanan mereka adalah
keterwakilan mengenai jati diri masyarakat karena kekuatan mereka menimbulkan
impresi budaya dan citra keadaban dari sebuah bangsa. Oleh karena itu modal
personal pemimpin atau figur bangsa adalah karakter yang mewakili citra sebuah
bangsa dalam merepresentasikan kekuatan mewujudkan perdamaian. Buku yang
saat ini dibedah adalah dialog ekslusif antara Abdurrahman Wahid, seorang mantan
Ketua NU, Mantan Presiden RI, Budayawan, Ilmuwan, Pejuang demokrasi dengan
Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai, pendiri Universitas Soka, pendiri Institute
Filsafat Timur, seniman, budayawan dan seorang Budhisme Nichiren dari Jepang.
Meski belum tuntas pembacaan saya secara mendalam terhadap buku ini,
saya telah terilhami bagaimana seharusnya membangun ketrampilan toleransi dan
dialog menciptakan perdamaian antar-peradaban. Saya sungguh takjub dan
mendapat sesuatu yang baru. Kemampuan toleransi dan perdamaian sebenarnya
didasari oleh kematangan seorang diri dan bukan kematangan yang diwujudkan
dalam skala besar seperti negara. Perdamaian tidak bisa diwujudkan hanya dengan
pidato tetapi kemampuan dialogis untuk menginternalisasi kehadiran orang lain
dalam diri sendiri (Hal. 161) Ketika kematangan diri belum mampu dirajut untuk
merangkai kebijaksanaan diri, rasanya sulit kita bisa mencapai totalitas otentik
menjadi duta toleransi dan perdamaian. Dibutuhkan kemampuan transformasi
intersubyektif seperti Gus Dur dan Ikeda. Apa itu transformasi intersubyektif yang
saya maksud. Kemampuan subyek untuk memasuki dunia kebijaksanaan orang lain
yang berbeda identitas sehingga memperoleh makna terdalam tentang kearifan,
keindahan, keunggulan, spirit hidup, kesatuan kemanusiaan orang lain untuk
direfleksikan kedalam pandangan hidup diri sendiri.
Bak seperti seorang teman akrab, sejatinya disitulah saya memahami
toleransi dan perdamaian itu mengejawantah kedalam sosok ketrampilan hidup
seseorang. Dialognya bukan seremonial. Bertemu sekilas antarpemimpin dengan
seperangkat kaidah protokoler seperti dapat dilihat di berita televisi. Dialog
seorang teman. Bercerita tentang kegemaran, kisah hidup dan keluarga serta
tokoh idola yang menginspirasi mereka berdua. Mereka saling membicarakan
kekhasan individualnya dan negara masing-masing. Mecoba membandingkan
antara milik dirinya dengan orang lain sebagai teman dialog.
Saya merasa dialog ini sungguh istimewa. Seperti seorang mursyid dengan
Bedah Buku Dialog Peradaban bersama GARUDA Malang
1
2. mursyid. Mereka tidak egosentris tetapi seorang mursyid yang sedang menjadi
santri, dan seorang santri yang juga seorang mursyid. Peran ini silih bergantian.
Mereka dua orang yang saling belajar dan saling mengunggulkan. Sungguh silih
berganti. Di sinilah sebenarnya toleransi dan perdamaian itu setara persahabatan.
Seorang sahabat mengatasi perbedaan, menemukan persamaan dan hikmah dari
sahabat itu sendiri. Begitu kesan saya secara psikologis setelah membaca buku ini.
Sementara itu, pipihan ringkas nilai-nilai toleransi dan perdamaian dari hasil
dialog dua tokoh ini melahirkan gambaran psikologis seperti apa ide dasar buku ini.
Pemihakan terhadap kemanusiaan. Dua sosok ini sungguh berkomitmen
dalam mewujudkan nilai-nilai humanisme. Dua orang ini hadir untuk menggerakkan
terwujudnya kemanusiaan global. Bebas dari tindakan kekerasan dalam bentuk
apapun. Menolak perang dan bentuk lain kekerasan. Ikeda meminta maaf terhadap
masyarakat Indonesia atas pendudukan Jepang karena telah menyebabkan
kesengsaraan bangsa di Asia. Ikeda berkomitmen memperluas pergerakan rakyat
untuk membangun perdamaian dunia terutama melalui pendidikan agar anak-anak
mampu menjadi generasi berbakat yang mampu memberi kontribusi bagi
perdamaian dunia. Pendidikan menurut perbincangan dua tokoh besar ini memiliki
peran sentral sebagai pusat membangun peradaban damai. Bagi Ikeda, Universitas
Soka adalah sentrum dan bagi Wahid/Gus Dur, pesantrenlah miniatur lahirnya
toleransi dsn pergerakan Indonesia.
Pendidikan bagi dua tokoh ini menjadi tempat generasi memahami
kebudayaan dan kehidupan bermasyarakat serta memahami lingkungan alam
sekitar. Pendidikan yang tidak mengasingkan dengan kehidupan dan kedekatannya
dengan kenyataan potensi sumberdaya, ia akan mengasah perasaan dan kesadaran.
Anak-anak akan dilatih bertanggungjawab terhadap masyarakatnya. Pendidikan
adalah belajar mengalami hidup. Lebih jauh, pendidikan yang didasari oleh
menejemen kehidupan akhirnya menjadi dasar lahirnya sikap budaya. Ia dapat
mengantarkan menjadi prakarsa perdamaian. Pendidikan adalah reformulasi
pendidikan budi pekerti dan semangat kemajuan. Gus Dur sendiri mengatakan
bahwa pendidikan mengantarkan anak-anak muda belajar kehidupan. Ia dilatih
kejujuran, keterbukaaan dan kesiapan bertindak untuk kepentingan umum (hal.
247). Pendidikan menopang generasi muda mampu menemukan figur positif.
Idealisme pendidikan Gus Dur sampailah pada gagasan tokoh pendidikan nasional
Ki Hajar Dewantoro, ing ngarso sung tulodo, in madya mangun karso, dan tutwuri
handayani..
Dan membaca dialog dua tokoh ini, sikap dan kecintaan mereka untuk
membangun toleransi dan perdamaian juga dipengaruhi oleh figur dunia baik figur
dari Budha, filusuf dunia, para Nabi, Mahatma Gandhi. Dua sosok ini saling belajar
memahami figur suci untuk ditransformasi menjadi spirit memaknai dan menjadi
laku perjuangan toleransi dan perdamaian. Jadi secara psikologi toleransi dan
perdamaian akan bisa tetap dilestarikan atau diwujudkan juga sangat ditentukan
oleh kemampuan menyerap dan menghadirkan figur suci ini kedalam pribadipribadi kita. Seperti Gus Dur, figur suci seperti Gandhilah, toleransi, laku hidup
tanpa kekerasan dan sikap selalu menghormati kemanusiaan menjadi komitmen
perjuangan Gus Dur.
Melalui figur-figur besar dari tokoh suci masa lalu dan orang-orang
terdekat yang menginspirasi tersebut, dua sosok ini bertransformasi mengatasi
penganiayaan dan menghidupkan semangat budaya dan beragama pantang
Bedah Buku Dialog Peradaban bersama GARUDA Malang
2
3. kekerasan. afirmasi dialogis keduanya sampai pada persinggungan figur-figur
sentral dalam Budhisme dan Islam. Mereka saling menghayati. Memetik spirit
anti-penganiayaan dan menemukan jati diri suci untuk menghargai perbedaan
tanpa prasangka.
Modal toleransi atau menghargai perbedaan. Belajar dari pendahulu mengenai
komitmen dan kepedulian mewujudkan
penghargaan terhadap hak-hak
kemanusiaan. Ikeda memahami secara mendalam bagaimana moralitas Islam
merasa terlibat dengan penderitaan sesama. Termasuk melawan penderitaan kaum
miskin. Pemahaman empati ini adalah buah pembacaan Ikeda dari pandangan
meluas dan daya juang Kyai Hasyim Asy'ari. Keduanya, baik Ikeda dan Gus Dur
terinspirasi dari pemahaman dan komitmen Kyai Hasyim Asy'ari mengenai
toleransi. Inspirasi tersebut yang mentransformasi kekuatan Gus Dur selalu
berada dalam perjuangan menghargai perbedaan. Keteladanan orang terdekat
merupakan mahaguru kebijaksanaan. Mereka mewarisi gagasan perdamaian dan
merasa harus melanjutkan perjuangan etik tersebut untuk perubahan dunia penuh
damai. Gus Dur juga mengatakan "parameter kemampuan memelihara keragaman
adalah dengan kemampuan mengelola toleransi" (hal. 267).
Kemampuan menerima dan menginternalisasi adanya perbedaan dan
kemampuan berdialog melalui ruh perbedaan ini merupakan wujud padatnya
demokrasi. Oleh karena itu, kedua tokoh ini menyepakati dialog adalah sarana
komunikasi diantara dua perbedaan watak, budaya dan bangsa. Tetapi perbedaan
mampu disingkirkan karena hati nurani merefleksikan titik temu sehingga dalam
sebuah dialog perbedaan harkat, pangkat dan kedudukan mampu dihargai sebagai
wakta humanistik. Dalam dialog, semua bisa tertawa, menangis, saling mendukung
dan memberi semangat. Komunikasi dialogis yang sehat tidak menimbulkan
prasangka tetapi menumbuhkan kepercayaan sehingga dialog bisa sampai pada
pertemuan dari hati ke hati (Hal 163). Bahkan dialog merupakan cerminan
kemampuan kita untuk saling memberi dan menerima. Inilah intinya meningkatkan
harkat kemanusiaan satu dengan yang lainnya.
Musik dan titik temu perdamaian estetik. Khazanah budaya dan kepaduan
makna musik dunia (Hal. 263) telah membawa kedua tokoh ini mendalami makna
perdamaian dan arti kebijaksanaan. Ketika keduanya mencoba melihat dan
memaknai aransemen musik Mozart dan Beethoven, musik ini mereka terima
melintasi budaya dan negara sehingga menjadi jembatan penghubung
penerjemahan toleransi. Pertunjukkan aransemen kedua musik di berbagai belahan
dunia melalui peran konduktor dunia dan pertunjukan para pianis ini mampu
menabur spirit perdamaian karena telah menembus lintas negara dengan beragam
budaya. Disinilah musik bernafas dunia mampu menjadi substansi perdamaian
menemukan makna estetisnya. Dasar estetik itu telah menghidupi spirit toleransi
dan menjadi titik singgung lahirnya warna dialog peradaban. Di sinilah kesenian
juga
menjadi instrumen membangun toleransi. Keindahan aransemen musik
setingkat Mozart dan Beethoven telah mencapai tingkatan tertinggi keindahan
hubungan antarmanusia. Perasaan indah itu telah memporakporandakan perbedaan.
Lantunan piano dan tata atur ritem notasinya telah membangkitkan makna bahwa
keindahan itu dapat dirasakan bagi setiap manusia.
Empati. Kedua tokoh saling menyelami keutamaan orang lain. Mereka
belajar memahami dan menginternalisasi keutamaan itu menjadi kekuatan
Bedah Buku Dialog Peradaban bersama GARUDA Malang
3
4. menerima perbedaan. Perbedaan memahamkan bahwa keutamaan orang lain
menjadi sumber belajar bagi keutamaan diri sendiri. Disinilah dialog perdamaian
diawali dari kemampuan berempati memahami keutamaan orang lain dan menerima
bagian dari keindahan kehidupan. Dialog peradaban adalah kemampuan setiap
individu untuk mengenali keutamaan orang lain dan memahami keutamaan sebagai
kekuatan pentingnya memahami orang lain. Ikeda kembali memegang seruan
penulis Austria Stefan Zweig, "Aku hidup dan aku juga membawa orang lain untuk
hidup" (hal. 263). Dasar kebijaksanaan dikembangkan untuk menghargai
keragaman suku, dan budaya. Semuanya diprioritaskan untuk mewujudkan
harmonisasi dan hubungan simbiosis mutualis bagi perdamaian. Oleh karena itu
atas dasar spirit mendengarkan penderitaan orang lain, kedua tokoh ini memiliki
kesamaan pemahaman menolak setiap tindakan yang membuat orang lain atau
kelompok lain menderita. Apalagi kelompok mayoritas menganiaya kelompok
minoritas.
Secara psikologis kemampuan membangun dialog perdamaian sejatinya
dimulai dengan melepaskan ego. Seseorang yang berdialog untuk perdamaian
telah menuntas persoalan dirinya dan melakukan lompatan kebajikan yang
bersumber dari teman dialog atau orang lain. Hubungan ini jauh membebaskan
prasangka (evaluasi negatif) dalam menilai orang lain. Bagi Gus Dur prasangka
adalah masa lalu yang harus dihancurkan. Setiap yang menghalangi terwujudkan
perdamaian dan toleransi, harus dihancurkan. Sikap suci ini ditegaskan oleh Gus
Dur. Dia sangat memahami pendudukan Jepang. Dia tidak membenci Jepang
sebagai masa lalu Indonesia. Karenanya Gus Dur tidak memberikan evaluasi
negatif (prasangka) atas sejarah tersebut (hal. 64).
Terbersit pelajaran komunikasi interpersonal yang menyehatkan. Menjawab
kebutuhan sosial dan menjadi contoh pertemuan dua kebijaksanaan yang saling
menopang satu dengan yang lainnya untuk bergerak mewujudkan toleransi dan
perdamaian. Saya melihat tumbuhnya komunikasi otentik. Dua orang terlibat untuk
saling belajar, mengajar, menemukan hikmah dan mereproduksi kekuatannya
dalam menjaga dan mewujudkan toleransi dan perdamaian. Hikmah bagi saya,
dialog dua tokoh ini merupakan ketrampilan komunikasi orang suci. Mereka
dipertemukan dalam episentrum sama, yakni spiritualitas kebudayaan humanisme.
Saya bahkan bisa belajar dari dua tokoh suci ini untuk mewujudkan toleransi dan
dialog perdamaian. Saya merasa, keduanya sudah tuntas untuk tidak melihat
perbedaan kedalam penjara egosentris. Perbedaan itu justru menjadi sumber
cerita bagaimana kualitas diri mampu dikisahkan kepada orang lain untuk
mendapatkan gagasan-gagasan kunci tentang kebijaksanaan, sistem hidup, praktik
berbudaya itu sendiri. Ketika mereka berbicara tentang dirinya sendiri, satu
diantara yang lain, membuat kisah-kisah hidupnya terbukti mereka adalah sosok
yang berwawasan luas, mencintai dan menginternalisasi pengetahuan, sastra, seni
dan budaya adiluhung. Satu dengan yang lainnya tidak terlibat kontroversi.
Pemahaman mereka saling menguatkan karena keduanya telah sampai pada kata
kunci kebijaksanaan. Jadi yang dikomunikasikan adalah kebijaksanaan, bukan
kontroversi.
Itulah makna dan hikmah atas penghayatan buku ini. Saya menjadi paham
toleransi dan dialog perdamaian membutuhkan ketrampilan komunikasi agung.
Substansi komunikasinya adalah kebijaksanaan. Dua karakteristik komunikasi
inilah pada akhirnya saya mendapatkan pencerahan bagaimana sebagai seorang
Bedah Buku Dialog Peradaban bersama GARUDA Malang
4
5. Gusdurian, saya memcoba memperbaiki komunikasi untuk menjembatani
perbedaan dalam mencapai toleransi dan perdamaian. Saya juga menjadi semangat,
kebijaksanaan mereka dihidupi oleh internasilasi pengetahuan dari karya-karya
besar dunia, produk seni musik, sastra dan hubungan persahabatan antarorang
dalam skala dunia. Inilah hikmah bagi saya setelah diberi kesempatan oleh temanteman Garuda Malang untuk membedah buku ini. Semoga anda juga terinspirasi.
Mohammad Mahpur
GusDurian Community (GDC) Malang
Malang, 04 Desember 2013
Bedah Buku Dialog Peradaban bersama GARUDA Malang
5