SNI 5015 2019 estimasi sumerdaya dan cadangan batubara
Tugas cyber
1. TUGAS
HUKUM CYBER
“Jual Beli Kosmetik Impor Melalui Media Online
Dihubungkan dengan Jaminan Keselamatan,
Kesehatan dan Kenyamanan Konsumen”
Disusun Oleh :
Nabillah Sariekide 10040010075
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2013
2. Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang
lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek
hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
"online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan
internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum
dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika
Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan
menentukan perkembangan Cyber Law.
Dengan perkembangan internet yang semakin pesat, pembelian produk melalui media online
dapat menjadi pilihan berbelanja yang mudah. Namun dibalik kemudahan dalam berbelanja dan
harga yang relatif murah, jual-beli online juga tidak sedikit mengakibatkan pelanggaran
perlindungan konsumen.
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP
PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan
Anda untuk membeli barang secara onlinedengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi
merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada
transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan
atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu
bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap
sah apabila:
a. terdapat kesepakatan para pihak;
b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat
hal-hal sebagai berikut:
a. data identitas para pihak;
b. objek dan spesifikasi;
3. c. persyaratan Transaksi Elektronik;
d. harga dan biaya;
e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan
g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
Bisnis online merupakan sebuah kegiatan bisnis yang dilakukan secara online dengan
menggunakan perangkat komputer yang tersambung ke jaringan internet. Perangkat komputer ini
bisa saja desktop, nettop, notebook, netbook, ataupun smartphone. Intinya adalah kegiatan bisnis
yang memanfaatkan jaringan internet.
Bisnis Online semakin marak bak jamur dimusim penghujan, tiap hari bermunculan berbagai
macam tawaran bisnis dan penawaran produk secara online, baik melalui Social media seperti
facebook, twitter, Google+ dan juga melalui Iklan di banyak halaman website. Tidak bisa
dipungkiri pertumbuhan pengguna internet sangat cepat di dunia, Milliaran orang memanfaatkan
internet setiap hari, Ada yang sekedar untuk mencari hiburan dan eksis si jejaring sosial, namun
juga banyak yang memang mencari informasi yang dibutuhkan untuk pendidikan dan pekerjaan.
Hal ini membuka peluang bagi para penipu untuk melakukan modusnya. Dengan menjual
barang barang dengan harga yang lebih murah dari barang aslinya membuat parah konsumen
tergiur untuk melakukan transaksi. Begitu juga dengan kasus yang akan saya angkat sekarang ini
yaitu tentang “jual beli produk kosmetik impor memalalui media internet” yang mana dalam
kasus posisi ini produk tersebut tidak melalui bea cukai dan tidak memiliki izin resmi dari badan
POM Indonesia.
Banyak konsumen yang tergiur dengan image impor dan merk-merk yang terkenal yang
ditawarkan. Pelaku usaha memasang harga yang lebih tinggi dari harga produk kosmetik lokal
yang dipasarkan. Dengan memakai image impor dan brand yang hampir diketahui para
konsumen kosmetik khususnya wanita bahwa brand tersebut merupakan brand yang dipakai para
selebritis dunia seolah menghipnotis para konsumen untuk mempercayai bahwa kandungan
dalam produk itu tidak berbahaya dan tidak ada unsur penipuan dalam penawaran produk
4. kosmetik tersebut. Terutamanya produk kosmetik dengan kemasan tulisan ‘made in Korea’ atau
‘made in China’ yang sekarang ini banyak dicari konsumen. Namun, ada juga produk-produk
kosmetik dengan merk seperti Elizabeth Ardhen, Clinique, MaC, Dior,dll. Produk-produk
tersebut sama sekali tidak memakai Bahasa Indonesia pada kemasannya dan tentunya tidak
memiliki izin resmi dari BPOM dan sertifikasi kehalalan dari MUI.
Konsumen sama sekali tidak jeli dalam hal tersebut, konsumen hanya membeli tanpa
mengkhawatirkan keselamatannya. Sedangkan pelaku usaha hanya menawarkan bentuk catalog
online tanpa penjelesan yang lengkap tentang produk yang dijualnya. Hanya prosedur tentang
pemesanan dan pembayaran saja yang sangat jelas rincian tahapannya. Sama sekali tidak ada
kolom mengenai keluhan-keluhan konsumen atau nomor pelayanan konsumen jika terjadi
kerugian yang terjadi setelah transaksi jual beli tersebut.
Dilihat dari posisi pelaku usaha yang hanya memasarkan produk kosmetik dan bukan
produsen langsung dari merk-merk produk kosmetik yang dipasarkannya, sehingga jika suatu
saat terjadi kerugian pada konsumen akibat pemakaian salah satu merk kosmetik yang
dipasarkan. Lalu, konsumen tersebut harus mengajukan gugatannya kemana? Dan bagaimana
kedudukan dari situs online yang memasarkan produk illegal untuk beredar secara resmi di
Indonesia?
Berdasarkan laporan dari Polda Banten mengenai laporan tentang beredarnya produk
kosmetik palsu dan tanpa izin resmi dari BPOM bahwa para penyidik dari Polda Banten tengah
mengembangkan laporan tersebut. Meski demikian, Direktorat Reserse Kriminal Khusus
(Direskrimsus) Polda Banten belum menerima laporan masyarakat atas pemakaian kosmetik
palsu tersebut. “Belum ada masyarakat yang melapor kerugian setelah memakai kosmetik
tersebut,” ujar Kasubdit I Ditreskrimsus Polda Banten, AKBP Anwar Sunarjo ditemui BANTEN
POS usai gelar perkara di kantornya, Senin (13/5).1
Negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp4,41 triliun akibat maraknya pemalsuan
produk kosmetik di Indonesia. Menurut Ketua Bidang Hukum MIAP Bambang Sumaryanto,
kerugian itu membuat komestika sebagai obyek teratas pemalsuan sekarang ini. "Maraknya
pemalsuan kosmetika karena prosesnya mudah. Para pemalsu malah sekarang lebih kreatif dalam
1
http://www.pasaronline.com/blog/tips-terhindar-penipuan-jual-beli-online
5. membuat kemasan ketimbang produk aslinya. Pemalsuannya pun mudah, cukup pesan ke Cina
dikirim kosmetiknya," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/10). Ia menjelaskan, tak cuma produk palsu
yang perlu dikhawatirkan. Produk kosmetik yang tidak berlabel Badan Pengawas obat dan
Makanan (BPOM) juga harus diwaspadai. "Meski yang dijual asli, tapi kalau tanpa label POM
maka biasanya penjual akan mencampurnya dengan produk palsu. Lama-kelamaan konsumen
tidak tahu kalau itu palsu karena tahunya yang dijual produk asli," tandasnya.Padahal, menurut
dia, kosmetik yang dijual harus dibuat dengan menerapkan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
(CPKB) dan memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan Badan POM. Sayangnya, kata
Bambang, konsumen ingin hasil instan tanpa peduli apakah produk kosmetik yang dikonsumsi
asli atau palsu. "Sulit membedakan kosmetika palsu, terutama yang diperdagangkan secara vebas
melalui toko pengecer maupun toko kosmetik."2
HUKUM DALAM TRANSAKSI ONLINE
Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang
membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik
(komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online
dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378
KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat
ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
2
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/358658-polri-ungkap-penipuan-jual-beli-online-antarnegara
6. Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal
Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online. Untuk pembuktiannya, APH bisa
menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana
Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE:
1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah.
2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang
dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime.
Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang
delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat
perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan
perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik
penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak
tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan
atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan
ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
7. Berdasarkan Pasal 1313 KUH-Perdata, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perbuatan di sini diartikan sebagai perbuatan hukum yang bertujuan untuk menimbulkan suatu
akibat hukum bagi pihak-pihak yang saling mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian, dengan
kata lain perbuatan tersebut harus secara sadar dan memenuhi syarat sahnya perjanjian karena
akan menimbulkan perikatan untuk melaksanakan suatu kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan bagi mereka yang melakukan perjanjian tersebut.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1339 KUH-Perdata bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Prof. Subekti memberikan penjelasan mengenai
Pasal 1339 KUH-Perdata bahwa memang sudah semestinya hakim pertama-tama harus
memperhatikan apa yang diperjanjikan oleh para pihak yang melakukan perjanjian tersebut,
kemudian jika dalam surat perjanjian terdapat sesuatu hal yang tidak diatur dan dalam undang-
undang tidak terdapat sesuatu ketetapan mengenai hal tersebut, maka barulah hakim menyelidiki
bagaimana biasanya suatu hal semacam itu diatur dalam praktek, akan tetapi apabila tetap tidak
diketahui maka hakim harus menetapkannya berdasarkan perasaannya sesuai keadilan.
Asas yang penting dalam suatu perjanjian di antaranya :
1. Asas Kepercayaan, merupakan suatu asas yang mengharuskan adanya rasa saling
percaya antara para pihak yang melakukan perjanjian, asas ini mungkin akan terpenuhi
dalam kasus di atas, karena konsumen telah percaya kepada pelaku usaha dengan
sepenuhnya mematuhi kesepakatan yaitu berupa pembayaran.
2. Asas Kekuatan Mengikat, merupakan asas yang menyatakan bahwa para pihak terikat
pada isi perjanjian dan kepatutan, sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 1339
KUH-Perdata bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
3. Asas Persamaan Hukum, merupakan asas yang memberikan para pihak kedudukan dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Asas ini dapat menjadi dasar pengajuan
gugatan konsumen atas perbuatan pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian pada
8. konsumen. Konsumen memiliki hak yang sama untuk mendapat keadilan atas keruhian
yang dideritanya.
4. Asas Keseimbangan, merupakan asas yang mengharuskan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, sesuai dengan isi perjanjian,
seperti yang disebutkan dalam Pasal 1339 KUH-Perdata di atas. Namyak modus
penipuan yang terjadi pada penjualan online adalah pelaksanaan kewajiban oleh
konsumen terlebih dahulu barulah konsumen mendapatkan haknya. Pada kasus
penjualan kosmetik impor palsu ini menurut saya asas keseimbangan yang dimaksud
tidak terjadi pada kasus ini, karena konsumen telah melakukann kewajibannya yaitu
melakukan pembayaran dan pelaku usaha telah mengirimkan barang yang dituju oleh
konsumen, namun pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya mengenai menberikan
informai yang benar, jelas dan jujur mengenai barang yang dijualnya dan memberikan
ganti kerugian atau kompensasi atas kerugian yang diderita konsumen akibat dari
pemakaian produk yang dijualnya.
5. Asas Moral, merupakan asas yang mendasarkan bahwa suatu sikap moral yang baik
harus menjadi motivasi para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian
seperti halnya itikad baik yang tercantum dalam Pasal 1318 ayat (3) KUH-Perdata,
bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini sama sekali
tidak terpenuhi dalam perjanjian ini. Tentunya perjanjian jual-beli ini dapat dibatalkan
karena pelaku usaha sama sekali dianggap tidak beritikad baik karena telah menjual
kosmetik impor palsu.
6. Asas Kepastian Hukum tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata yang
menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Walaupun akta perjanjian yang terjadi antara
pelaku usaha dan konsumen dalam jual beli online ini adalah akta di bawah tangan.
Namun, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perjanjian yang terjadi pada dunia
cyber berlaku layalnya perjanjian jual-beli konvensional dan perjanjian tersebut
mengikat pelaku usaha dan konsumen layaknya undang-undang. Namun, perjanjian itu
tetaplah harus kembali lagi kepada syarat sahnya perjanjian dan asas-asas lain yang
berlaku pada perjanjian selain asas kepastian hukumnya.
9. 7. Asas Kepatutan, merupakan asas yang menyatakan bahwa isi perjanjian tidak hanya
harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga harus sesuai
dengan kepatutan. Perjanjian jual-beli pada kasus di atas sama sekali tidak sesuai
dengan nilai kepatutan karena penjualan tersebut merupakan penjualan yang dilarang
oleh hukum Indonesia yaitu tentang peredaran produk kosmetik dan obat-obatan serta
makanan yang tanpa izin, dan produk impor yang masuk tanpa dikenakan bea
pertambahan nilai karena telah masuk ke territorial Negara lain.
8. Asas Kebiasaan, merupakan asas yang mengatakan bahwa isi perjanjian tidak hanya
harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga bisa
dengan yang lazim/ umum dilakukan.
9. Asas Konsensualisme, merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian dianggap
ada seketika setelah ada kata sepakat .
10. Asas Kebebasan Berkontrak, merupakan asas yang dijadikan landasan dilakukannya
suatu perjanjian. Asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa para pihak bebas
untuk menentukan bentuk, macam dan isi(causa) dari perjanjian, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama Pasal 1320 KUH-
Perdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Dan dilihat dari asas dan tujuan perlindungan konsumen yang terdapat pada pasal 2 UU no. 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Kasus di atas menjadi pemikiran
saya jika produk kosmetik tersebut adalah palsu, lalu dimana nilai manfaatnya pada konsumen?
Produk itu tidak sesuai harapan dari yang digarapkan konsumen yang akan menggunakannya.
Jika produk tersebut tidak memiliki nilai manfaat pada konsumen lalu adilkah hal tersebut?
Karena konsumen telah menunaikan kewajibannya terlepas itu berapa nilai materiil dari produk
tersebut. Namun, sangat tidak adil jika konsumen tidak mendapatkan kemanfaatan dari barang
yang dibelinya terlebih lagi jika barang tersebut menyebabkan kerugian lain pada konsumen
seperti mengancam keselamatan dan berakibat buruk pada kesehatan konsumen. Tentunya nilai
keamanan dan keselamatan konsumen menjadi tiada dan hal tesebut menjadi dasar utama para
konsumen untuk melakukan penuntutan atas haknya.
10. Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915
No 73)
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Melihat kondisi yang demikian, seharusnya di tahun 2013 ini kita mulai belajar untuk
melindungi hak-hak kita sebagai konsumen atas barang dan jasa yang kita beli. Kita seharusnya
menjadi konsumen yang cerdas dan paham akan perlindungan konsumen.
Lalu, bagaiman cara menjadi konsumen yang cerdas?
Untuk menjadi konsumen yang cerdas sebenarnya tidak terlalu sulit. Anda hanya perlu teliti
dalam memilih dan membeli barang. Berikut ini terdapat beberapa tips untuk menjadi
konsumen cerdas di pasar tradisional, pasar modern dan pasar online.
Menjadi Konsumen Cerdas Di Pasar Online
Dengan perkembangan internet yang semakin pesat, pembelian produk melalui media online
dapat menjadi pilihan berbelanja yang mudah. Namun dibalik kemudahan dalam berbelanja dan
harga yang relatif murah, jual-beli online juga tidak sedikit mengakibatkan pelanggaran
perlindungan konsumen. Agar anda tetap nyaman berbelanja online, berikut ini terdapat
beberapa cara menjadi konsumen cerdas di pasar online.
1. Pilih situs resmi toko online
Memilih situs resmi toko online menjadi hal pertama yang harus anda perhatikan
sebelum membeli. Banyak sekali kasus penipuan berkedok toko online di internet.
Bagaiman memilih toko resmi?
Lihat dan cari siapa penjual dibalik toko online tersebut. Anda dapat melihat dari
track record toko online di internet. Selain itu anda juga dapat melihat about us di toko
online untuk mendapatkan informasi tersebut. Anda tidak perlu ragu untuk melakukan
11. pembelian secara online jika toko online tersebut terbukti professional. Selain itu, saat ini
di Indonesia sudah terdapat banyak toko online yang dikelola oleh perusahaan-
perusahaan ternama.
Jika anda melakukan pembelian di forum jual-beli, anda harus perhatikan
kredibilitas penjual di forum. Lihat track record sang penjual di forum, apakah ada
kompain atau indikasi penipuan. Jika ragu untuk melakukan transaksi sebaiknya cari
penjual lain yang lebih professional atau melakukan pembayaran melalui rekber
(rekening bersama).
2. Teliti sebelum membeli barang
Teliti masih menjadi dasar untuk menjadi konsumen cerdas. Tidak hanya di pasar
tradisional dan mall, di pasar online pun pembeli harus teliti dalam memilih barang.
Sebelum membeli ada dapat mencari informasi mengenai kelebihan dan kekurangan
produk yang akan anda beli. Caranya adalah dengan melihat testimoni dan review untuk
produk tersebut. Tidak hanya itu, anda juga dapat mencari informasi yang anda butuhkan
di berbagai situs di internet terkait produk yang ingin anda beli.
3. Cari informasi harga yang sesuai
Harga masih menjadi hal yang menarik untuk melakukan belanja online
mengingat sebagian besar harga barang di toko online jauh lebih murah dari pada di toko
offline. Namun demikian anda harus tetap selektif dalam memilih barang. Carilah
informasi dari beberapa sumber di internet mengenai perbandingan harga yang
ditawarkan. Anda juga dapat membandingkan harga produk di toko online dengan di
pasar atau mall untuk membuat keputusan dalam membeli barang dan jasa.