SlideShare a Scribd company logo
1 of 40
Download to read offline
buletin tata ruang & pertanahan 5 
Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: 
Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan 
Akan Dilakukan 
BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? 
Ir. Muh. Marwan, M.Si 
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri 
Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan Tantangan 
Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki 
Pengendalian Pemanfaatan Ruang: 
Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif 
Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc 
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 
Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada 
Peningkatan Kiprah BKPRN 
Dr. Ir. Max H. Pohan, CES 
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 
edisi II tahun 2013
6 buletin tata ruang & pertanahan 
Harmonisasi peraturan yang disusun oleh berbagai lembaga 
pengguna ruang telah selesai dikupas dalam Buletin Tata Ruang & 
Pertanahan Edisi I/2013. Berbagai langkah maju telah dilaksanakan 
oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), salah 
satunya dengan menginisiasi berbagai pertemuan koordinasi 
antarsektor yang kegiatan maupun aturannya saling terkait. Sampai 
dengan saat ini BKPRN sebagai badan yang awalnya dibentuk untuk 
menyelesaikan berbagai konflik antarsektor masih berjalan cukup 
baik dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan sektoral dan 
daerah. 
Tidak terasa, sudah hampir 25 tahun BKPRN berkiprah di Indonesia. 
Awalnya dibentuk pada Tahun 1989 dengan nama Tim Tata Ruang, 
Tim ini kemudian bertransformasi menjadi BKTRN dan kemudian 
BKPRN. Sampai dengan saat ini, peran dan tujuan pembentukan 
Tim Tata Ruang tetap konsisten. Koordinasi dan resolusi konflik 
masih menjadi area utama Tim Tata Ruang di masa lalu dan BKPRN 
di masa kini. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya? Meningkat 
ataukah justru berkurang? 
Selain BKPRN yang berkiprah di Pemerintah Pusat yang 
mengkoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah 
daerah dituntut pula membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang 
Daerah (BKPRD) untuk menjalankan fungsi yang sama di daerah. 
Bedanya adalah, BKPRD bertugas mengkoordinasikan Satuan Kerja 
Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyelesaikan masalah koordinasi 
lokal dan juga konflik antarsektor yang menjadi urusan pemerintah 
daerah. Baik BKPRN maupun BKPRD adalah badan pemerintah 
yang bersifat ad-hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan 
pimpinan tertinggi pemerintahan. Bentuk yang bersifat ad-hoc serta 
jalur komunikasi yang tidak formal dan hirarkis antara BKPRN dan 
BKPRD dapat menjadi kekuatan maupun juga kekurangan kedua 
lembaga koordinasi ini. Bagaimana tanggapan para pelaku di masa 
lalu dan saat ini tentang kondisi tersebut? 
Menyambut 25 tahun BKPRN, Buletin Tata Ruang & Pertanahan 
mengangkat tema Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya 
Pengembangan yang Telah dan Perlu Dilakukan. Fokus diskusi 
utama adalah koordinasi penataan ruang di Indonesia sejak 
Tahun 1989 sampai dengan Tahun 2013 dengan narasumber 
Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Ir. Herry Darwanto dan Dr. Ir. 
Abdul Kamarzuki. Diskusi diantara ketiga narasumber tersebut 
menarik untuk disimak karena mewakili tiga periode yang berbeda 
dalam koordinasi penataan ruang nasional. Selanjutnya, untuk 
mewakili perdebatan hangat pembagian peran BKPRN dan BKPRD, 
wawancara kali ini menghadirkan Dr. Muh Marwan (Dirjen Bina 
Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) dengan 
topik Sinergikah BKPRN dan BKPRD?. Selain itu, topik penting 
lainnya yang diangkat dalam edisi kali ini adalah Pengendalian 
Pemanfaatan Ruang yang menjadi langkah strategis berikutnya 
setelah penyusunan rencana tata ruang berhasil ditetapkan. Materi 
ini diulas secara komprehensif oleh Dr. Basoeki Hadimoeljono 
(Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum). 
Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, keseimbangan 
isi antara Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan selalu 
dipertahankan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi 
dan Kajian akan diisi oleh Bidang Pertanahan dengan materi Bank 
Tanah, Kegiatan Reforma Agraria Nasional, dan Arah Kebijakan 
Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019. Tidak lupa berbagai 
kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun 
2013 sampai dengan akhir Tahun 2013 tetap kami hadirkan, 
termasuk juga perkenalan perdana dari Direktur Tata Ruang dan 
Pertanahan yang baru. Selamat datang Pak Oswar ke dalam 
Keluarga Besar Tata Ruang dan Pertanahan. 
Selamat membaca kepada seluruh penerima Buletin ini, saran 
untuk perbaikan tetap kami tunggu! [ma]. 
susunan redaksi 
pelindung 
penanggung jawab 
pemimpin redaksi 
dewan redaksi 
editor 
redaksi 
desain & tata letak 
distribusi & administrasi 
Deputi Bidang Pengembangan 
Regional dan Otonomi Daerah 
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan 
Mia Amalia 
Dwi Hariyawan S 
Uke M. Hussein 
Nana Apriyana 
Rinella Tambunan 
Khairul Rizal 
Hernydawati 
Santi Yulianti 
Aswicaksana 
Agung Dorodjatoen 
Raffli Noor 
Gina Puspitasari 
Indra Ade Saputra 
Idham Khalik 
Dodi Rahadian 
Sylvia Krisnawati 
Redha Sofiya 
Cindie Ranotra 
Riani Nurjanah 
Octavia Rahma Mahdi 
Chandrawulan Padmasari 
Gita Nurrahmi 
Hadian Idhar Yasaditama 
Dea Chintantya 
alamat redaksi 
Direktorat Tata Ruang dan 
Pertanahan, Kementerian PPN/ 
Bappenas 
Jl. Taman Suropati No. 2 
Gedung Madiun Lt. 3 
Jakarta 10310 
021 - 392 66 01 
trp@bappenas.go.id 
http://www.trp.or.id 
dari redaksi
buletin tata ruang & pertanahan 1 
edisi II tahun 2013 
Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan 
Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan 
BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? 
Ir. Muh. Marwan, M.Si 
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri 
Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Kontribusi dan Tantangan 
Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki 
Pengendalian Pemanfaatan Ruang: 
Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif 
Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. 
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 
Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada 
Peningkatan Kiprah BKPRN 
Dr. Ir. Max H. Pohan, CES 
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 
Sosialisasi Peraturan Pemerintah 
Permen PU No.1 Tahun 2013 
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTR Kab/Kota 
Inpres No.8 Tahun 2013 
Penyelesaian Penyusunan RTRWP & Kab/Kota 
daftar isi 
melihat dari dekat 
dalam berita 
ringkas buku 
kajian 
koordinasi trp 
1 
16 
18 
20 
22 
27 
2 
4 
12 
14 
25 
daftar isi
2 buletin tata ruang & pertanahan 
Kelembagaan dalam penataan ruang menjadi elemen penting 
dalam penyelenggaraan penataan ruang. Koordinasi menjadi kata 
kunci penting untuk mengatasi berbagai kendala kelembagaan. 
Sebagai Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian 
Dalam Negeri, Dr. Muh. Marwan, M.Sc. menjelaskan kepada 
Redaksi Buletin TRP bagaimana upaya sinergis Badan Koordinasi 
Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan 
Ruang Daerah (BKPRD) dalam penyelenggaraan penataan ruang, 
termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Berikut hasil 
wawancara Redaksi: 
Koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam 
pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor. 
Sebenarnya, apa urgensi dibentuknya BKPRN dan BKPRD? 
Penataan ruang merupakan kegiatan strategis dan bersifat 
multidimensional, multifungsional dan multisektoral sehingga 
dalam penyelenggaraannya harus ditangani secara terpadu oleh 
berbagai instansi di pusat maupun di daerah yang memiliki tugas 
dan fungsi koordinatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang 
Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mendesentralisasikan 26 
urusan wajib yang salah satu diantaranya adalah Urusan Penataan 
Ruang, dan delapan urusan pilihan kepada daerah. Sesuai UU No. 
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah berwenang 
dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, pemerintah 
provinsi berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang 
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam 
penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota. 
Dalam implementasi kebijakan penataan ruang, peran antar 
pemerintahan yang dilakukan secara bersama dengan prinsip 
kongruen diperlukan untuk mewujudkan keterpaduan dan 
keserasian penyelenggaraan penataan ruang nasional dan 
daerah. Atas dasar tersebut, Pemerintah telah membentuk BKPRN 
melalui Keppres No. 4/2009 tentang BKPRN. Di daerah dibentuk 
BKPRD sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri 
(Permendagri) No. 50/2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan 
Ruang Daerah, seperti terlihat pada Gambar1. 
Dengan dibentuknya BKPRD, Menteri Dalam Negeri bertugas 
untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan penataan 
ruang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan 
penataan ruang dan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat 
provinsi maupun kabupaten/kota. BKPRD ini sangat penting, karena 
mempunyai peran strategis untuk mengawal proses penyusunan 
hingga penetapan Perda RTRW serta mengawal implementasi 
pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang pasca 
penetapan Perda RTRW. 
Perda RTRW adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan 
kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan yang harus ditaati 
dan dilaksanakan oleh berbagai sektor secara konsisten. Setiap 
pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi 
maupun sanksi pidana. BKPRN maupun BKPRD mempunyai tugas 
dan peran yang sangat penting dalam mengawal dan memberikan 
rekomendasi alternatif penyelesaian apabila ada permasalahan 
pemanfaatan ruang yang timbul di lapangan, baik di tingkat 
nasional maupun di tingkat daerah. 
Dengan perannya yang cukup strategis, sejauh ini bagaimana 
efektivitas kinerja BKPRN dan BKPRD? 
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian 
Dalam Negeri (Kemendagri) sampai awal November 2013, seluruh 
provinsi pada prinsipnya sudah membentuk BKPRD. Dari 33 
provinsi, 30 provinsi sudah merevitalisasi BKPRD sesuai dengan 
amanat Permendagri No. 50/2009, dan tiga provinsi yang belum 
merevitalisasi BKPRD-nya yaitu Sulawesi Barat, NTT, dan Papua 
Barat. 
Walaupun sudah hampir seluruh provinsi membentuk BKPRD, 
BKPRD belum berhasil mendorong penetapan Perda RTRW Provinsi 
dan RTRW Kab/Kota tepat pada waktunya. Sampai awal Bulan 
November 2013, dari 33 Provinsi di Indonesia, baru 18 Provinsi 
yang telah menetapkan perdanya, dan dari 491 kabupaten/kota 
di seluruh Indonesia, 322 kabupaten/kota yang telah menetapkan 
perdanya. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah 
wawancara 
BKPRN dan BKPRD: 
Sudah Sinergikah? 
Ir. Muh. Marwan, M.Si 
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri 
Saat ini, upaya penguatan kelembagaan penataan ruang, baik di nasional maupun di daerah terus dilakukan 
untuk menjamin keberlanjutan implementasi produk-produk penataan ruang. Kelembagaan penataan ruang 
yang kuat dipercaya untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang baik, dengan didukung 
kuantitas dan kualitas aparat yang kompeten. Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang perlu 
dilakukan secara terus menerus mengingat dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan 
bernegara dan bermasyarakat yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan 
ruang. 
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG 
Implikasi dan Pemendagri tersebut adalah penetapan 
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) 
Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah 
BKPRN 
BKPRD 
PUSAT 
DAERAH 
Keputusan Presiden No. 4 
Tahun 20009 tentang Badan 
Koordinasi Penataan Ruang 
Nasional. 
Pemendagri Nomor 50 
Tahun 2009 tentang Badan 
Koordinasi Penataan Ruang 
Daerah. 
Gambar 1 Dasar Pembentukan BKPRN dan BKPRD
buletin tata ruang & pertanahan 3 
dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, keterlambatan 
penyusunan dan penetapan Raperda RTRW Provinsi dan 
Kabupaten/Kota disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 
1. Lamanya proses penetapan usulan perubahan peruntukan dan 
fungsi kawasan hutan; 
2. Masih terbatasnya sumberdaya manusia pemerintah daerah 
yang kompeten dalam penyusunan RTRW Provinsi dan 
Kabupaten/Kota; 
3. Kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan 
RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan 
4. Lamanya pembahasan dengan DPRD yang sering memakan 
waktu cukup lama. 
BKPRN dan BKPRD, keduanya merupakan badan ad-hoc yang 
memiliki fungsi koordinasi, tapi dalam pelaksanaan fungsinya 
BKPRN jauh lebih aktif dibandingkan BKPRD. Bagaimana 
sebenarnya pola hubungan kelembagaan, baik secara 
struktural maupun fungsional antara BKPRN dan BKPRD? 
Dalam rangka menggali isu strategis di Bidang Penataan Ruang, 
secara hirarkis dijaring melalui pendekatan bottom-up yaitu 
dimulai dari forum pertemuan yang diselenggarakan oleh BKPRD 
Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke BKPRD Provinsi untuk 
selanjutnya dibahas dalam forum Rakernas BKPRD. 
Beberapa isu strategis yang telah diformulasikan dalam Rakernas 
BKPRD kemudian dipertajam dalam Raker Regional yang dibagi 
menjadi Raker Regional Barat dan Raker Regional Timur. Hasil 
pelaksanaan Raker ini akan menjadi isu strategis yang harus dicari 
solusi penyelesaiannya dalam Rakernas BKPRN untuk kemudian 
menjadi agenda dan program kerja kementerian terkait BKPRN. 
Tindak lanjut dari BKPRN akan menjadi embrio program dan 
agenda kerja kegiatan dua tahun kedepan yang akan dilaksanakan 
oleh pemerintah daerah baik oleh Pemerintah Provinsi dan/atau 
Kabupaten/Kota. Mekanisme konsolidasi isu-isu strategis penataan 
ruang dapat dilihat pada Gambar 2. 
Dalam perjalanannya, tantangan krusial yang masih dihadapi 
BKPRN dan BKPRD, antara lain adalah kurang sinerginya langkah 
kerja antar kementerian/lembaga anggota BKPRN dan SKPD 
anggota BKPRD. Penyebab utamanya adalah belum ditetapkannya 
mekanisme dan tata kerja internal BKPRN serta hubungan kerja 
antara BKPRN dengan BKPRD, sehinggapenyelenggaraan penataan 
ruang belum dapat terselenggara secara optimal. 
Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang daerah, hasil 
pemantauan dan evaluasi yang dilakukan Ditjen Bina Pembangunan 
Daerah menunjukkan bahwa kinerja BKPRD sebagai badan ad-hoc 
yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/ 
Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah belum optimal. 
Penyebab utama BKPRD belum optimal adalah: 
1. Masih tumpang tindihnya peraturan perundangan dan fungsi 
antar institusi; 
2. Belum rincinya pedoman dan tata kerja organisasi, 
3. Belum ada dukungan pendanaan yang signifikan, 
4. Masih banyaknya pihak yang tidak memandang penting BKPRD; 
5. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga 
daerah tidak terpacu untuk mengefektifkan peran BKPRD; dan 
6. Masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia daerah 
khususnya terkait dengan penguasaan materi Bidang Penataan 
Ruang. 
Bagaimana upaya perbaikan yang perlu dilakukan, khususnya 
untuk meningkatkan kapasitas BKPRD? 
Dalam konteks hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD, perlu 
disusun mekanisme hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD 
dalam upaya mensinergikan program kerja kedua lembaga 
tersebut agar peran dan fungsinya optimal dalam melakukan 
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah 
khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan penataan 
ruang lintas sektor, lintas daerah dan lintas wilayah. 
Dalam penyelesaian konflik permasalahan pemanfaatan ruang yang 
memerlukan rekomendasi dari BKPRD, diperlukan peningkatan 
peran BKPRD agar BKPRD dapat melaksanakan tugasnya secara 
lebih efektif. Upaya ini dilakukan agar setiap konflik pemanfaatan 
ruang yang terjadi di daerah tidak harus dibawa sampai pada 
tingkat BKPRN karena penyelesaian permasalahan pemanfaatan 
ruang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya. 
Dalam rangka mengoptimalkan peran BKPRD untuk percepatan 
penyelesaian Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan 
penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penataan ruang, telah 
dilakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya memantapkan 
kelembagaan penataan ruang daerah. Beberapa diantaranya adalah 
menyusun mekanisme dan tata kerja (SOP) BKPRD, pengembangan 
data dan informasi, peningkatan kualitas aparatur pemerintah 
daerah, dan pemberian reward and punishment di Bidang Penataan 
Ruang. Saat ini, Kemdagri melalui Ditjen Bina Pembangunan Daerah 
sedang menyusun Pedoman Tata Kerja BKPRD tersebut. 
Selain itu, dilakukan upaya revitalisasi dan pembentukan 
BKPRD sesuai amanat Permendagri No. 50/2009 serta 
memberdayakan BKPRD yang diarahkan tidak hanya untuk 
keperluan pemecahan berbagai Masalah Penataan Ruang tetapi 
juga untuk pengembangan kelembagaan penataan ruang yang 
lebih utuh di daerah, dan yang mempunyai agenda kerja yang baik. 
Kelembagaan yang telah dibentuk, perlu didukung dengan upaya 
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya di 
Bidang Penataan Ruang, dan penyediaan sarana, prasarana, serta 
data dan informasi penataan ruang secara komprehensif. 
Hal krusial untuk menjamin efektivitas BKPRD adalah komitmen 
Kepala Daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD-nya 
masing-masing untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD. 
Dalam hal ini Sekretariat BKPRD mempunyai peran penting untuk 
menyusun program kerja BKPRD dan kebutuhan anggarannya 
untuk selanjutnya diintegrasikan dengan rencana pembangunan 
daerah baik untuk rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) 
maupun rencana pembangunan jangka menengah. 
Gambar 2 Mekanisme Konsolidasi Isu-Isu Strategis Penataan Ruang 
MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS 
PENATAAN RUANG 
BUPATI / 
WALIKOTA 
12 3 
4a 
4b 
5 
6 
RekomendasiR ekomendasi 
Input/masukan 
Input/masukan 
GUBERNUR 
Agenda 
BKPRN 
Provinsi 
Raker 
BKPRN 
Isu 
Strategis 
Program 
Kerja 
Raker 
Regional 
BKPRN 
Rakernas 
BKPRN 
Tindak Lanjut 
Kementerian/ 
Lembaga 
Agenda 
BKPRN 
Kab/Kota 
Raker 
Regional 
BKPRN
4 buletin tata ruang & pertanahan 
Lembaga 
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan 
forum koordinasi penataan ruang yang dibentuk melalui Keputusan 
Presiden No. 2/2009 sebagai pengembangan dari forum 
sebelumnya yang bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang 
Nasional yang dikenal dengan sebutan Tim Tata Ruang pada 
Tahun 19891 yang kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi 
Tata Ruang Nasional (BKTRN) pada Tahun 19932 yang kemudian 
diubah keanggotaannya pada Tahun 20003. Komposisi keanggotaan 
BKPRN ini bertahan sampai dengan Tahun 20094 (Abdul Kamarzuki 
(AK)). 
Tujuan utama Tim Tata Ruang, BKTRN dan BKPRN adalah untuk 
melaksanakan pembangunan nasional secara terkoordinasi 
dan menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan 
pembangunan. Dampak akhir yang diharapkan adalah sinerginya 
penggunaan ruang oleh berbagai sektor (Herry Darwanto (HD)). 
Pada saat yang sama, di pusat, BKTRN berfungsi untuk koordinasi 
lintas sektor dalam penggunaan ruang, di daerah, BKPRD 
melaksanakan fungsi yang sama untuk mengkoordinasikan 
pemanfaatan ruang lintas SKPD (Herman Haeruman (HH)). 
Anggota 
Tim Tata Ruang,yang ditetapkan pada Tahun 1989, beranggotakan 
Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri/Sekretaris Negara, Menteri 
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam 
Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Seluruh anggota Tim 
Tata Ruang memiliki akses untuk merencanakan penggunaan 
ruang, namun tidak secara langsung menggunakan ruang. Resolusi 
konflik diantara pengguna ruang dapat dilakukan dengan mudah 
karena independensi Tim Tata Ruang ini sehingga penyelesaiannya 
adil dan tidak memihak. Pada saat itu pembangunan wilayah 
dilaksanakan antarsektor berdasarkan fungsi ruang (HH). 
Pada Tahun 1993, keanggotaan Tim Tata Ruang ditambah oleh 
Menteri Pertahanan dan Menteri Pekerjaan Umum. Namanya diubah 
menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Pada 
masa 1993-1997, penataan ruang dimulai dengan pembangunan 
infrastruktur sampai dengan selesainya PP No. 47/1997 tentang 
RTRWN. Setelah itu, penataan ruang kembali menjadi acuan utama 
pengembangan wilayah (HH). 
Pada Tahun 2000, BKTRN dipimpin oleh Menteri Koordinator 
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri. Anggota BKTRN pada 
saat itu adalah Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, 
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, 
Menteri Negara Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan 
Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah, Kepala Badan Pertanahan 
Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 
selaku Sekretaris BKTRN. Pada masa tersebut penataan ruang dan 
pembangunan infrastruktur kembali bergabung pelaksanaannya 
di Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah. 
Namun demikian perizinan dan pembangunan di lapangan harus 
dikoordinasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena 
hanya BPN yang memiliki hubungan langsung dengan pelaksana 
kegiatan. Pada saat itu, dana yang cukup besar untuk penataan 
ruang dialokasikan ke BPN untuk penyusunan peta dasar, kemudian 
pada Bakosurtanal (saat ini BIG) berperan dalam pembuatan 
informasi spasial (peta). Kedua badan ini, BPN dan Bakosurtanal, 
yang menjadi motor informasi dalam penyelenggaraan tata ruang 
(HH). 
Pada Tahun 2007, UU No. 26/2007 ditetapkan untuk mengganti 
UU No. 24/1992. Seiring dengan perubahan UUPR, BKTRN berubah 
menjadi BKPRN5 dan menambah anggotanya dengan menteri 
pengguna ruang: Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri 
Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri 
Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan (AK). 
Peran 
Peran penting yang dilaksanakan oleh BKPRN adalah menetapkan 
strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu 
a r t i k e l 
Menjelang 25 tahun BKPRN (1989-2013): 
kontribusi dan tantangan 
Prof. Dr. Herman Haeruman, pernah menjabat Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Kementerian PPN/ 
Bappenas 
Dr. Herry Darwanto, pernah menjabat Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Kementerian PPN/ 
Bappenas 
Dr. Abdul Kamarzuki, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Kementerian 
Koordinator Bidang Perekonomian 
Perjalanan BKPRN selama 25 tahun ini telah menemui berbagai tantangan dan kendala. Banyak permasalahan 
yang berhasil ditangani, banyak pula pihak yang tidak dapat menerima penyelesaian masalah yang 
direkomendasikan. 
Untuk mendapatkan gambaran peran optimal BKPRN, kami melakukan wawancara dengan tiga tokoh 
penting yang selama ini berperan aktif di BKPRN, baik di era sentralisasi, dalam peralihan dari sentralisasi 
ke desentralisasi dan di masa otonomi daerah sudah berjalan. Ketiga tokoh tersebut adalah Prof Dr Herman 
Haeruman (pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas/Sekretaris 
BKTRN), Dr Ir Herry Darwanto, MSc (pernah menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan 
Ruang, Direktur Penataan Ruang, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Bappenas) dan Dr Ir Abdul Kamarzuki, 
MPM (sekarang menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, 
Menko Perekonomian/Sekretaris Pokja 4 BKPRN). 
1 Keppres 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 
2 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 
3 Keppres 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 
4 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 
5 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
buletin tata ruang & pertanahan 5 
dengan pendekatan kewilayahan. Selain itu, BKPRN berperan 
penting untuk untuk koordinasi perumusan kebijakan dan 
pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola ruang serta 
untuk melaksanakan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang 
(HD). 
Di awal pembentukannya, Tim Tata Ruang berperan penting untuk 
membatasi penggunaan kawasan lindung. Kawasan lindung adalah 
kawasan yang memiliki fungsi perlindungan daerah diluarnya, se-perti 
hulu sungai, sempadan sungai, sempadan danau dan pantai. 
Kawasan ini tidak harus dijadikan milik negara, tapi dibutuhkan 
etika membangun. Kawasan lindung yang di dalamnya terdapat 
kampung adat seharusnya memiliki perlindungan terhadap lereng 
gunung. Masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi bagian 
penting pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan tersebut dipegang 
teguh oleh pemerintah pusat dan diacu oleh pemerintah daerah 
(HH). Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi tanggung jawab 
pemerintah pusat. 
Pendekatan yang berbeda dilakukan untuk pengembangan kawasan 
budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang menguntungkan 
banyak orang secara ekonomi. Namun demikian, pengguaan dan 
manfaat langsungnya ‘tidak boleh dipertandingkan dengan kawasan 
lindung’. Target penting yang harus dihasilkan dari kawasan ini 
adalah output regionalnya. Perubahan fungsi kawasan budidaya 
boleh dilakukan, tapi dilakukan pengawasan oleh daerah (HH). 
BKTRN dulu begitu kuatnya, seperti contoh kasus di Sumatera 
Barat. Gubernur mengajukan pembangunan jalan dari pantai 
menuju gunung menembus taman nasional dengan tujuan untuk 
membuka akses bagi masyarakat pengunungan. Namun setelah 
dikaji, biayanya terlalu besar, kemudian BKTRN dan daerah 
berdiskusi, akhirnya diputuskan bahwa jika ingin tetap membangun, 
jalan dibuat melingkar dan agar tidak terlihat jauh orang dibuat 
berkeliling tempat-tempat yang berkembang disepanjang jalan 
tersebut, bisa tempat makan, wisata, dan lainnya sehingga 
memunculkan regional outputnya. Hal yang sama terjadi juga untuk 
pembangunan Jalan Ladiagalaska yang direncanakan melintas TN 
Leuser (HH). 
Perbedaan signifikan atas peran BKPRN sangat terasa setelah 
perubahan UUPR dari UU No. 24/1992 menjadi UU No. 26/2007. 
Beberapa contoh diantaranya seperti menurunnya konsep 
perlindungan kawasan lindung dan konsep dana kompensasi 
kawasan lindung. Daerah dengan kawasan lindung mendapatkan 
dana kompensasi sehingga tidak perlu mencari pendapatan dengan 
mengkonversi kawasan hutannya. Seperti kasus di kabupaten 
sebelah barat Aceh yang memiliki 60 persen lebih kawasan 
lindung, artinya daerah mendapat dana kompensasi untuk perannya 
memelihara kawasan hutan tersebut (HH). 
Kinerja 
Kesepakatan dalam forum BKTRN bermuara pada penetapan 
peraturan perundangan. Dengan mengandalkan Tim Pelaksana, 
BKPRN telah menyelesaikan PP dan Perpres yang diamanatkan 
oleh UU No. 26/2007 kecuali RPP tentang Penataan Ruang 
Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Selain itu, BKPRN, melalui 
Tim Pelaksana, telah mengkoordinasikan berbagai kementerian/ 
lembaga anggotanya, untuk mempercepat proses pembahasan 
Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berikut mendorong 
penetapannya oleh pemerintah daerah. 
Kelembagaan 
Sampai dengan saat ini, BKPRN adalah lembaga ad-hoc. Seluruh 
rekomendasi dan persetujuan teknis yang dihasilkan BKPRN 
bersifat saran ataupun arahan bagi pemangku kepentingan dalam 
pemanfaatan ruang. Saran atau arahan tersebut akan memiliki 
legitimasi jika telah diakomodir dalam bentuk produk hukum (PP, 
Perpres, dan Perda) (AK). 
Beberapa pendapat menyatakan bahwa, bentuk ad-hoc ini tidak 
efektif untuk melaksanakan penataan ruang dan dibutuhkan 
kementerian/lembaga khusus yang dapat mengkoordinasikan 
seluruh proses penataan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor 
dan pemerintahan pada saat yang sama. Pendapat ini menjadi 
salah satu pemikiran yang mendorong forum BKPRN menjadi 
lembaga yang lebih permanen. Kekurangan yang sangat menonjol 
adalah lembaga permanen ini kemungkinan besar tidak dapat 
menangani konflik pemanfaatan ruang apabila berdiri sebagai 
bagian yang terpisah sama sekali dari kementerian atau lembaga 
pengguna ruang lainnya, menjadi sektor tata ruang, menghilangkan 
sifat koordinasi. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah 
upaya reformasi birokasi,yang sedang dijalankan saa ini, mengarah 
pada perampingan dan efisiensi birokrasi, sehingga pembentukan 
badan baru menjadi langkah yang tidak strategis (AK). 
Tim Pelaksana BKPRN diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum. 
Secara teknis, melalui Tim Pelaksana, forum BKTRN berfungsi untuk 
memberikan pendapat (rekomendasi) yang merupakan kesepakatan 
serta persetujuan teknis bagi dalam proses penyiapan produk-produk 
tata ruang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), 
Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Daerah (Perda 
Kab/Kota) (AK). Rekomendasi dari forum BKPRN ini merupakan 
acuan atau terjemahan lebih detail dari substansi Peraturan 
Perundang-undangan yang ada agar dapat mendukung kebijakan 
pemanfaatan ruang. 
Sejak BKPRN memiliki Tim Pelaksana6, rapat koordinasi tingkat 
menteri tidak sepenuhnya efektif digunakan untuk pengambilan 
keputusan dan resolusi konflik antarsektor. Padahal, konflik-konflik 
utama muncul karena kewenangan beberapa kementerian 
yang sangat tinggi untuk mengatur penggunaan ruang nasional. 
Konflik tersebut hanya dapat diselesaikan melalui Sidang BKPRN, 
mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang berada di tangan 
para menteri. 
Konsep 
Konsep penataan ruang yang pertama kali disusun saat Tim 
Tata Ruang dibentuk adalah, rencana tata ruang (RTR) secara 
makro harus melalui persetujuan BKTRN dan sektoral/daerah 
boleh mengajukan usulan, tapi perlu dilengkapi dengan kajian 
khusus dampak lingkungannya. Setelah disetujui BKTRN, daerah 
hanya melakukan pengawasan. Kewenangan BKTRN sangat kuat, 
terlihat dari kemampuan BKTRN menghentikan pembangunan 
yang dilakukan oleh pejabat daerah di berbagai kawasan penting. 
Kewenangan ini diperkuat karena masa pemerintahan masih 
bersifat sentral sehingga Bupati tunduk pada aturan. Kewenangan 
ini menjadi penting karena memudahkan pemanfaatan ruang yang 
sesuai dengan rencana tata ruang (HH). Peran Pemerintah yang 
6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: “(1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja 
untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.”
6 buletin tata ruang & pertanahan 
kuat saat itu, Bupati wajib melaporkan segala bentuk perizinan ke 
BKTRN sehingga BKTRN memiliki informasi aktual dari daerah. 
Pada saat yang sama, koordinasi bukan masalah besar dalam 
penyelenggaraan penataan ruang karena sejak awal, pengalokasian 
fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan 
Sistem Informasi Geospasial. Namun memang yang menjadi 
kendala adalah skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. 
Untuk mengatasinya, Kementerian Kehutanan dibawah koordinasi 
BKTRN memiliki badan planologi kehutanan (UPT) antar kabupaten. 
Mereka melakukan koordinasi dengan BPN, BPN berperan 
memetakan tata guna tanah. BPN dan kehutanan bekerja sama 
ketika sebagian kawasan hutan akan diubah untuk mengakomodasi 
pembangunan, hutan dilepas dan BPN mengambil alih proses tata 
guna lahan. 
Saat itu BKTRN fokus pada menjaga fungsi utama ruang: kawasan 
lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, secara desain, fokus 
antara RTRWN, RTRWP dan RTRWK dibuat berbeda. RTRWN yang 
bersifat makro bertujuan untuk mempertahankan fungsi kawasan 
agar tidak berubah dalam jangka waktu 25 tahun. Sementara itu, 
RTRWK yang bersifat lebih dinamis dengan skala peta yang lebih 
besar berfungsi dalam proses pemberian izin penggunaan ruang. 
Karena itu, jangka waktu RTRWK didesain lebih pendek, hanya 10 
tahun untuk mengatasi dinamika penggunaan ruang di lapangan. 
Logika yang sama digunakan dalam penyusunan RPJPN dan 
RPJMN. RPJMN menjabarkan RPJPN namun juga harus dapat 
mengatasi dinamika tahunan. Dengan menggunakan logika yang 
sama, RTRWN pada saat itu berupa visi yang dijabarkan dalam 
progam dan kegiatan di dalam RTRWK. Saat ini, perlu didorong 
agar RTRW didesain untuk memberikan masukan kebijakan spasial 
bagi rencana pembangunan yang bersifat deskriptif. Apabila 
dipergunakan, maka RTRW dapat memberikan kepastian lokasi 
berjangka panjang bagi para pelaku pembangunan. Kepastian ini 
dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 
Fungsi RTRW yang tetap harus dipertahankan adalah perlindungan 
kepada fungsi ekosistem dan memberikan kesempatan kepada 
pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang bersifat jangka 
panjang serta melindungi tujuan pembangunan nasional dari 
kepentingan jangka pendek sektoral dan daerah. RTRW harus dapat 
cukup fleksibel memberi kesempatan pada perkembangan teknologi 
modern untuk pemanfaatan fungsi ruang untuk mengakomodasi 
pembangunan yang tidak terbatas. 
Dalam konsep ini, daerah boleh melakukan perencanaan, tapi 
hanya di kawasan budidaya, sedangkan kawasan lindung bersifat 
given karena ada di RTRWN. Indonesia harus belajar dari Amerika, 
dimana mereka memiliki daerah khusus yang dipertahankan 
kawasan lindungnya yang juga memberikan pendapatan daerah 
terbesar (HH). Setelah konsep ecoregion diperkenalkan untuk 
menghubungan konsep penataan ruang dengan pelestarian fungsi 
dan daya dukung lingkungan, Pemda dituntut lebih cakap untuk 
mengenali karakter wilayahnya (ekologi & ekonomi). Setelah seluruh 
isunya ditemukenali, Pemda menyusun interaksi antara kawasan 
dan melakukan KLHS untuk rencana yang sedang disusun (HH). 
Hubungan antara berbagai bidang ilmu harus benar-benar terjaga 
dalam penataan ruang karena pada dasarnya penataan ruang 
adalah bagian dari landscape architecture yang mengkombinasikan 
tiga keilmuan, yakni lingkungan (ecogeografi), planologi, dan design 
engineering, yang membentuk keterpaduan wilayah. Saat ini, 
ketidakpaduan terletak pada masalah pemahaman dan ego sektoral 
yang kuat sehingga aturan yang ditetapkan setelah era desentraliasi 
berbeda-beda. Tata ruang ini seharusnya berperan membangun 
sektor-sektor yang lebih luas sehingga peningkatan perekonomian 
wilayah dapat terwujud (HH). 
Permasalahan 
Cukup banyak permasalahan yang dihadapi BKPRN di masa 
desentralisasi ini, masalah utama yang diangkat para narasumber 
adalah: (1) kurangnya koordinasi yang berakibat pada perbedaan 
persepsi antara pemangku kepentingan, banyaknya aturan sektoral 
yang tidak serasi, selain itu, SOP koordinasi di dalam BKPRN belum 
didefinisikan dengan baik; (2) rendahnya kualitas rencana yang 
salah satunya disebabkan oleh belum memadainya sistem informasi 
spasial yang memadai; dan (3) pemanfaatan ruang yang belum 
optimal (HH, HD, AK). 
Koordinasi 
Kelemahan koordinasi antar sektor dimulai dengan perbedaan 
pemahanan atas sektor lain yang bermuara pada tidak serasinya 
peraturan sektoral. Dalam peraturan sektoral, kepentingan setiap 
sektor dituangkan ke dalam berbagai peraturan dalam berbagai 
bentuk, UU, PP, Perpres dan Keppres (AK). Perbedaan pemahaman 
antarpemangku kepentingan semakin memperlemah koordinasi 
yang belum tercipta dengan baik. Baik koordinasi antarsektor dan 
antarlevel pemerintahan (AK). Selain itu, prosedur harmonisasi 
peraturan dan koordinasi pelaksanaan penataan ruang belum 
dilakukan dengan baik (AK), BKPRN tidak dapat memaksa instansi 
terkait untuk mengimplementasikan tata ruang (HD).Koordinasi 
antar sektor menyebabkan beberapa RTRW Provinsi/Kabupaten/ 
Kota yang telah selesai disusun tidak dapat segera ditetapkan. 
Prosedur resolusi konflik yang ada di dalam BKPRN tidak mampu 
mengubah keputusan salah satu sektor yang menjadi anggota 
BKPRN (HH). 
Lemahnya koordinasi ini berakibat cukup besar dalam pemanfaatan 
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan yang 
muncul adalah terlalu banyak kewenangan di satu daerah atau 
tidak ada yang berwenang sama sekali di daerah lainnya. Kondisi 
tersebut menimbulkan konflik antarpelaku pembangunan. 
Contohnya adalah kurangnya informasi di lapangan bahwa suatu 
kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Masyarakat yang 
seumur hidupnya berada di kawasan tersebut akhirnya membangun 
rumah, atau mendirikan bangunan sesuai dengan keperluannya. 
Contoh lainnya adalah informasi tersedia yang menunjukkan 
bahwa suatu kawasan tidak boleh ada pembangunan karena 
statusnya sebagai kawasan lindung, namun tidak ada upaya yang 
serius untuk menegakkan peraturan itu. Pengendalian yang tidak 
efektif karena tidak ada yang merasa berwenang menyebabkan 
tumbuhnya permukiman di sepanjang sempadan sungai di kota-kota 
besar (HD). 
Kualitas rencana 
Rendahnya kualitas rencana tata ruang sebagian besar disebabkan 
oleh informasi geospasial yang tersedia belum memadai untuk 
menyusun rencana yang paripurna. Sejak awal, pengalokasian 
fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan 
GIS. Namun skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Saat itu 
teknologi satelit belum ada sehingga untuk peta skala besar sangat 
mahal, tapi sekarang sudah ada teknologinya jadi seharusnya 
tata ruang dilengkapi peta skala 1:10.000, bukan hanya untuk 
implementasi rencana, tapi juga pengendalian. Rencana yang baik 
hanya bisa terwujud apabila kita mampu mengejar ketertinggalan 
dalam penyediaan informasi geospasial ini (HH). 
Belum lagi pengertian ‘rencana hirarkis’ yang belum cukup baik
buletin tata ruang & pertanahan 7 
dimengerti sehingga pemerintah daerah cenderung mencontoh 
RTR yang dibuat pemerintah lebih tinggi. Pemerintah daerah 
gamang untuk membuat RTR yang berbeda, karena khawatir 
tidak mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat. 
Permasalahan yang timbul di kemudian hari adalah kemiripan 
rencana tata ruang yang disahkan oleh berbagai daerah (HD). 
Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang 
Setelah rencana selesai disusun, langkah berikutnya yang perlu 
dilakukan adalah pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan 
ruang. Masalah yang paling banyak timbul adalah pemanfaatan 
kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang di kawasan 
lindung dan terutama daerah resapan air yang akan berpengaruh 
pada kawasan di bawahnya perlu dikendalikan dengan baik 
karena dampaknya sangat luas. Namun demikian, pengendalian 
pemanfaatan ruang tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya 
adalah pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan puncak yang 
terlihat tidak serius dan tidak berhasil secara signifikan. Perpres 
tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur telah ditetapkan 
begitu pula Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berada di 
Jabodetabekjur, namun outcome dari peraturan itu tidak terlihat, 
dengan kata yang lugas, tidak ada pengaruhnya apa-apa (HD). 
Di tingkat nasional dan daerah, sudah cukup banyak kegiatan 
yang dilakukan dan telah didukung alokasi dana yang cukup besar 
seperti: undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; lembaga 
BKPRN dan BKPRD yang mengkoordinasikan kebijakan dan 
pelaksanaan penataan ruang; rencana tata ruang mulai dari skala 
nasional, pulau, provinsi hingga kabupaten/kota. Namun, berbagai 
permasalahan muncul justru setelah rencana ditetapkan, semakin 
terlihat bahwa pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang 
harus dilakukan dengan konsisten (HH). 
Alternatif penyelesaian masalah 
Koordinasi 
Untuk mengatasi ketiga permasalahan di atas, alternatif 
penyelesaian masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi 
masalah kurangnya koordinasi adalah penyamaan persepsi di 
dalam forum BKPRN sebelum menyelesaian masalah koordinasi 
di daerah (AK). Prakondisi yang dibutuhkan adalah menyepakati 
prinsip penataan ruang di dalam BKPRN, caranya adalah dengan 
membangun idealisme dari masing-masing bidang keilmuan 
yang membentuk BKPRN dan konsensus yang telah dibangun, 
dengan tetap memperhatikan kondisi saat ini (HH). Harapan di 
masa yang akan datang, keteraturan, kepastian penggunaan ruang 
perlu menjadi prioritas utama yang dikoordinasikan oleh BKPRN 
dengan pertimbangan bahwa jumlah ruang tetap sementara jumlah 
penduduk akan terus bertambah (HH). 
Untuk koordinasi di daerah, Bappeda perlu menjadi ujung tombak 
penggerak BKPRD. Koordinasi tidak dapat diserahkan kepada 
sektor karena pengambilan keputusan terutama untuk penyelesaian 
konflik tidak akan berimbang (HH). Catatan penting untuk kondisi 
lembaga saat ini adalah bentuk BKTRN/D yang menyatukan 
kelompok independen yg tak terikat dengan pembangunan ruang 
dengan kelompok pemakai ruang, maka kesepakatan ad-hoc itu 
banyak masalah perbedaan kepentingan, maka diperlukan suatu 
independen group di luar BKTRN/D untuk membantu mencapai 
keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan 
daerah, antara kepentingan sektoral dengan kepentingan nasional/ 
regional, dan kepentingan pemeliharaan cadangan ruang yang 
harus dipelihara untuk masa depan ketika iptek dan social 
perception mampu menanggapi berbagai konflik (HH). 
Perencanaan 
Untuk mengatasi masalah perencanaan, pemerintah pusat perlu 
mengubah paradigma dari menyusun rencana tata ruang dari skala 
nasional hingga skala rinci tingkat lokal secara hirarkis, menjadi 
mengamankan kawasan strategis untuk kepentingan nasional 
saat ini dan untuk pembangunan berkelanjutan, dan mendukung, 
persisnya memberikan bantuan dana kepada daerah, untuk 
mengerjakan penataan ruang sesuai konsep yang disusun daerah. 
Pemerintah daerah perlu mewujudkan tata ruang yang nyaman, 
memberi penekanan pada pembuatan taman-taman dan RTH, 
pembuangan sampah, perbaikan gorong-gorong, pembenahan 
kampung padat, pembuatan paving,penyediaan air bersih.Orientasi 
penataan ruang yang semula menekankan konsep atau rencana 
dan berskala makro, diubah menjadi bersifat konkrit dan mikro, 
tentu dengan perspektif jangka panjang(HD) sesuai dengan yang 
telah tercantum secara makro di dalam RTRWN (HH). 
Pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah 
dalam penataan ruang perlu dikaji lebih detail lagi. Contoh kawasan 
yang perlu diatur pusat adalah kawasan cagar budaya, hutan 
lindung, suaka margasatwa; kemudian kawasan untuk keperluan 
pertahanan negara, seperti kawasan peluncuran roket, kawasan 
latihan perang. Kawasan-kawasan ini harus ditetapkan batas-batasnya 
dan kemudian dikelola oleh lembaga pusat tertentu. 
Dengan mengingat tragedy of the commons, yaitu kalau suatu 
kawasan menjadi milik bersama atau tidak jelas siapa yang 
memilikinya, maka setiap orang akan mengeksploitasi kawasan 
itu sehabis-habisnya. Pemda menata kawasan di luar kawasan-kawasan 
strategis nasional ini. Kemudian beri kepercayaan kepada 
daerah untuk mengatur sendiri penggunaan ruang wilayah itu. 
Daerah-daerah pada mulanya mungkin kesulitan membuat rencana 
tata ruangnya, namun lama kelamaan akan mampu membuat 
RTR sendiri. Banyak contoh dari dalam dan luar negeri mengenai 
rencana tata ruang yang baik dan dapat dicontoh.Tidak perlu ada 
pedoman penyusunan RTR yang harus ditaati secara ketat oleh 
daerah (HD). 
Perencanaan tetap perlu, tetapi jangan menunggu harus 
semua selesai. Misalnya jangan menunggu sampai rencana 
rinci ditetapkan DPRD dan disahkan Provinsi, baru kemudian 
melakukan implementasinya. Itu akan memakan waktu lama. 
Kerjakan saja dulu yang dapat dilakukan dan jelas bermanfaat. 
Masyarakat sudah menunggu hasil konkrit, hulu penundaan 
biasanya adalah pemikiran birokratis dan penyusunan konsep 
rencana yang sulit diimplementasikan. Misalnya, untuk bisa 
menghasilkan rencana detil tata ruang diperlukan peta dasar 
yang berskala besar. Menghasikan peta ini untuk seluruh wilayah 
kota bisa memakan waktu bebeberapa tahun. Jadi gunakan saja 
informasi yang ada untuk membuat kebijakan, mana daerah yang 
tidak boleh digunakan sebagai kawasan permukiman, dan mana 
yang boleh. Jadi rencana penataan ruang tetap perlu ada, namun 
jangan terganggu oleh prosedur yang birokratis.Bila masyarakat 
melihat hasil yang nyata, pasti akan diapresiasi dan di-bela jika 
dimejahijaukan karena menabrak peraturan perundangan. Di 
sini diperlukan kebijakan seorang kepala daerah. Juga jangan 
kuatir kebijakan itu akan diubah oleh kepala daerah berikutnya. 
Masyarakat akan mengawasi dan mencegah kebijakan yang tidak 
didasarkan pada pertimbangan yang benar (HD). 
Kemudian dari sisi substansi, RTR yang dibutuhkan untuk 
pengendalian ruang kabupaten/kota adalah rencana tata ruang 
yang rinci, dengan skala peta yang besar.Jika belum ada peta 
dasarnya, perlu dibuat ketentuan yang jelas, sehingga tidak
8 buletin tata ruang & pertanahan 
disalahtafsirkan. Ingat, bangsa kita punya kemampuan menyusun 
rencana tata kota sejak berabad-abad yang lalu dengan bukti 
adanya candi Borobudur, kota Trowulan yang menjadi ibukota 
kerajaan Majapahit. Kalau saat ini kita belum melihat banyak RTR 
yang kualitasnya baik, penyebab utamanya adalah belum ada 
kesungguhan untuk mengusahakannya (HD). 
Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang 
Untuk pemanfaatan ruang, BKPRN perlu mengubah orientasinya 
dari perencanaan menjadi pelaksanaan, dari “merencanakan” 
menjadi “mewujudkan”. BKPRN perlu menggunakan kapasitas yang 
dimilikinya untuk membantu pemerintah kabupaten/kota untuk 
mewujudkan tata ruang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. 
Kementerian Kehutanan dapat mencontoh Jarum Foundation 
menanam pohon trembesi di sepanjang jalan Pantura, misalnya 
dengan melakukan hal sama di jalur Jawa Selatan serta di pulau-pulau 
lain. Kementerian Pekerjaan Umum membantu pemerintah 
kota membangun RTH. Kementerian Lingkungan Hidup membantu 
pemda mendaur ulang sampah. Kementerian Perumahan Rakyat 
membantu pemerintah kabupaten/kota membangun prasarana 
lingkungan permukiman. Begitu pula halnya dengan kementerian/ 
lembaga lainnya terutama anggota BKPRN, melakukan hal yang 
sama sesuai kewenangan masing-masing, tetapi dengan tujuan 
yang jelas dan sesuai kebutuhan daerah. Daerah jangan lagi 
didorong untuk menyelesaikan perda RTRWnya saja, tetapi dibantu 
langsung untuk mewujudkan tata ruang seperti yang diharapkan 
oleh masyarakat. BKPRN juga perlu melibatkan swasta untuk 
mengerjakan hal yang sama secara terkoordinasi. Lembaga-lembaga 
internasional pasti akan bersedia jika diajak menata kota 
secara konkrit, karena dampak ekonomi dan sosialnya yang besar 
(HD). 
Apabila kemudian muncul pertanyaan tentang masalah 
kewenangan yang dilangkahi karena skema tersebut di atas, 
jawabannya adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada membuat 
pemda tidak mempunyai cukup anggaran untuk melakukan 
semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara memadai. 
Jadi pemerintah pusat perlu ikut terjun membantu pemda. Lebih 
baik lagi bila kenaikan penerimaan pemerintah pusat setiap 
tahun ditransfer kepada pemda melalui mekanisme DAK untuk 
mengisi tata ruang yang direncanakan pemda. Namun, langkah ini 
memerlukan persetujuan DPR yang mungkin sulit diwujudkan dalam 
waktu dekat.Yang dapat dilakukan saat ini adalah kerjasama antara 
kementerian/lembaga anggota BKPRN menggunakan anggaran 
yang ada untuk membantu kota-kota besar dan kecil mewujudkan 
tata ruang yang lebih berkualitas (HD). 
Contoh-contoh pelaksanaan dapat diambil dari yang telah 
dikerjakan oleh pemerintah daerah yang visioner dan telah 
terbukti berhasil dalam penataan ruang. Salah satunya adalah 
Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah 
berhasil menghadirkan tata ruang yang nyaman, indah, bersih, 
lancar, teratur dan inklusif, serta atribut lain yang seperti itu, yang 
saya yakin juga sama dengan yang diamanatkan oleh UU No 
26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang yang efektif di 
Kota Surabaya dapat dinikmati oleh masyarakat warga kota dan 
diapresiasi oleh pengunjung dari luar. Yang ditata di Kota Surabaya 
bukan hanya kawasan di pusat kota seperti umumnya di banyak 
kota lain, namun hingga ke kampung-kampung. Terasa ada tangan-tangan 
pemerintah kota yang mengatur lingkungan permukiman 
penduduk, termasuk sarana MCK, saluran pembuangan, sarana 
pedestrian dan taman lingkungan. Hasil akhir yang bisa dinikmati 
oleh warga dan pengunjung adalah kebersihan, keindahan dan 
kelancaran lalulintas di pusat Kota Surabaya tidak kalah dengan 
kota-kota lain di negara maju. Ini adalah wujud penataan ruang 
yang kita harapkan ada di kota-kota seluruh Indonesia. Sekali 
lagi kinerja upaya penataan ruang tidak dilihat dari peraturan dan 
rencana tata ruang yang dihasilkan, namun dari wujud tata ruang 
yang dapat dinikmati oleh penduduk (HD) [ma/gp]. 
Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi 
1 
No. 
AD E 
B 
B1 B2 
C 
C1 C2 
Provinsi 
Status Penyelesaian RTRW yang Belum Perda 
2 
3 
4 
5 
6 
7 
8 
9 
10 
11 
12 
13 
14 
15 
NAD 
Sumatera Utara 
Riau 
Sumatera Selatan 
Kep. Riau 
Kep. Bangka Belitung 
Kalimantan Barat 
Kalimantan Tengah 
Kalimantan Selatan 
Kalimantan Timur 
Sulawesi Utara 
Papua 
Jumlah 
Sulawesi Tengah 
Sulawesi Tenggara 
Sulawesi Barat 
15 15 15 15 13 13 5 
Proses Revisi 
Proses Persetujuan Substansi 
B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU 
B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan 
Memperoleh Persetujuan Substansi 
C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU 
C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan 
Pembahasan DPRD 
Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri 
A 
B 
C 
D 
E 
A D
buletin tata ruang & pertanahan 9 
Profil Direktur TRP 
Oswar Mungkasa 
profil 
Sudah lebih dari 20 tahun beliau berkecimpung di dunia 
pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil. Karirnya dimulai pada 
1992 sebagai staf perencana di Biro Pengembangan Regional I, 
Bappenas. Dan sejak 2002, selama delapan tahun, beliau menjadi 
Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan, 
Bappenas. Pengalaman dan lamanya karir yang digeluti di Bidang 
Perumahan dan Permukiman mengantarkan beliau sebagai Kepala 
Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat. 
Selama menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman 
dan Perumahan, beliau juga menjadi pelaksana harian dari 
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja 
AMPL) yang merupakan wadah koordinasi instansi pemerintah 
yang terkait dengan pembangunan AMPL (Bappenas, Kemenkeu, 
KemenPU, Kemenkes, Kemendagri, Kemendiknas, KemenLH), dan 
LSM Internasional yaitu Plan Internasional Indonesia. Beberapa 
proyek yang juga sukses beliau pimpin, adalah Water Supply and 
Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA) 
yang merupakan proyek kerjasama pemerintah dengan Australia 
(AusAID) dalam pembenahan kebijakan air minum dan penyehatan 
lingkungan berbasis masyarakat di Indonesia, dan Water and 
Environmental Sanitation (WES) Unicef yang merupakan kerjasama 
pemerintah dan Unicef dalam penyediaan air minum dan sanitasi di 
Indonesia Timur pada 31 kabupaten/kota yang dananya berasal dari 
hibah Belanda dan Swedia. 
Saat ini, selain menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, beliau 
juga aktif sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Penyehatan 
Lingkungan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) periode 
2010-2014. Hobi menulis, beliau realisasikan melalui tulisan-tulisan 
yang dibuat di berbagai media, seperti majalah, koran, dan 
lainnya. Sudah banyak media tulisan yang beliau ciptakan, seperti 
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Anak 
‘Percik Yunior’ dan Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 
‘Inforum’. Hingga saat ini, beliau masih menjadi Pemimpin Redaksi 
Majalah Perumahan, Infrastruktur, dan Perkotaan ‘HUDmagz’- LP 
P3I; Anggota Tim Editor Bidang Perumahan dan Permukiman Jurnal 
Lingkungan Binaan Indonesia-IPLBI dan Media Informasi Air Minum 
dan Penyehatan Lingkungan ‘Percik’; dan Anggota Dewan Redaksi 
Majalah Perencanaan Pembangunan-Bappenas [gp]. 
Senin, 16 September 2013, Bapak Oswar Mungkasa yang sering disapa ‘Pak Os’ dilantik oleh Menteri PPN/ 
Bappenas, sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Kementerian PPN/Bappenas menggantikan Bapak 
Deddy Koespramoedyo (Alm). Lahir di Makassar, 26 Juli 1963, dengan nama Oswar Muadzin Mungkasa 
adalah doktor lulusan ekonomi publik (Universitas Indonesia); master perencanaan wilayah dan kota 
(Univesitas Pittsburgh); serta insinyur (Institut Teknologi Bandung. Ayah dari Fachriey Fadhlullah Mungkasa ini, 
dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, dan supel. 
Gambar 1 Dr. Oswar Mungkasa, MURP (kanan) bersama Dr. Ir. Max Pohan, 
CES, MA – Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah (kiri) 
www.facebook.com/trp.bappenas 
tahukah anda 
Knowledge Management (Pengelolaan 
Pengetahuan) adalah: 
• Suatu disiplin ilmu yang mempromosikan 
suatu pendekatan terintegrasi untuk 
identifikasi, pengelolaan dan distribusi aset 
informasi yang dimiliki suatu organisasi. 
• Salah satu metode peningkatan 
produktivitas dalam suatu organisasi 
yang bertujuan untuk memanfaatkan 
sumber daya manusia yang ada di dalam 
organisasi secara optimal serta menggali 
potensi yang dimiliki oleh 
anggota organisasi agar 
mereka dapat meningkatkan 
kreativitas dan berinovasi 
untuk meningkatkan 
produktivitas suatu organisasi 
secara keseluruhan. 
Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. 
ac.id/2011/10/02/knowledge-management/
10 buletin tata ruang & pertanahan 
dalam berita: 
Juli-Desember 2013 
September 
Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengungkap fakta baru 
dalam kasus dugaan tindak pidana pelanggaran izin pengelolaan 
lahan di areal kawasan tambang PT Isco Polman Resources di 
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Humas Kejati 
Sulsel, Nur Alim Rachim, Badan Pertanahan setempat tidak pernah 
dilibatkan dalam pengelolaan tambang dikawasan hutang lindung 
itu. Mantan Kasipidum Kejari Parepare ini menambahkan, fakta 
baru ditemukan penyidik setelah kejaksaan melakukan koordinasi 
dengan Badan Pertanahan Polewali Mandar. (Tribun Timur, 20 
September 2013) 
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi Badan 
Pertanahan Nasional (BPN RI) dalam carut marut pertanahan 
negeri ini. Namun, menurut Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & 
Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI,masih ada perbedaan 
persepsi sejauhmana peran BPN RI dalam bidang pertanahan. Jika 
melihat Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa tanah untuk kesejahteraan 
rakyat, berarti kewenangan BPN RI dalam pertanahan sangat luas, 
ternyata tidak. Dari sisi peraturan sendiri BPN RI tidak cukup kuat 
untuk mendesak Kementerian lain untuk segera menyelesaikan 
kasus pertanahan diantara mereka, paling bisa menghimbau 
saja. Dalam soal urusan sengketa pertanahan yang melibatkan 
masyarakat, kewenangan versi BPN RI sendiri, mendamaikan, 
menginventaris data, melihat duduk persoalannya dan ekspose 
perkara. BPN RI kewenangannya terbatas dalam menyelesaikan 
sengketa. BPN bukan peradilan yang memutus ini benar ini salah. 
Jadi lebih kepada mendamaikan para pihak, bisa diselesaikan 
secara musyawarah, dan mengeluarkan rekomendasi buat para 
pihak yang bersengketa. Namun, jika para pihak tidak mau 
menerima rekomendasi itu, akan dilanjutkan ke pengadilan. Maka 
pilihan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan 
pertanahan adalah seperti mengubah BPN RI yang saat ini hanya 
setingkat Kementerian menjadi Kementerian, UU Pertanahan, 
atau membentuk peradilan khusus pertanahan. (Suaraagraria, 30 
September 2013) 
Oktober 
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bakal menggratiskan 
sertifikasi tanah di wilayah Jawa Barat bagi rakyat tidak mampu.Hal 
ini sesuai dengan permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. 
Penggratisan biaya juga termasuk pengurusan bea perolehan hak 
atas tanah dan bangunan (BPHTB). Program gratis sertifikasi tanah 
hanya ditujukan bagi rakyat yang tidak mampu. Untuk kategori 
mampu dan tidak mampu, Heryawan menyatakan akan memakai 
data Badan Pusat Statistik (BPS). Mengenai pelaksanaannya, Aher 
tidak mengetahui apakah akan menggunakan subsidi daerah atau 
tidak. Namun, ia mengatakan bisa saja menggunakan subsidi 
daerah jika diperlukan. (Kompas, 8 Oktober 2013) 
Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR 
W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami masih terhambat persoalan ganti 
rugi tanah. Keberadaan jalan tol ini diharapkan mampu mengurangi 
kemacetan di kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dalam 
prosesnya, terlihat adanya upaya yang menghambat pembangunan 
tol JORR W2, terlebih untuk menentukan harga tanah.Sugiyanto, 
pengamat Ibu Kota, juga menyesalkan sikap warga Petukangan 
Selatan yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada 
kepentingan umum.“Masa mintanya sampai Rp18 juta per 
meter persegi, padahal negara sudah menawar hingga Rp6 juta. 
Lebih baik kasih pengadilan saja,” ujarnya. Proyek pembangunan 
JORR-W2 ruas Kebon Jeruk-Ulujami diperkirakan menelan dana 
investasi senilai Rp2,2 triliun. Dengan adanya tol ini diharapkan 
dapat mengurangi kemacetan di tol dalam kota, karena warga 
pengguna lalu lintas dari arah Bogor ataupun Cibubur menuju 
Bandara Soekarno-Hatta tidak perlu lagi melewati tol dalam kota 
ruas Cawang-Tomang. Diperkirakan akan ada 90.000 kendaraan 
per hari yang melewati JORR-W2. (Metrotvnews, 23 Oktober 2013) 
Menjelang akhir tahun 2013, berita media cetak seputar tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan 
berita mengenai permasalahan pertanahan di berbagai daerah. Kisruh kebijakan dan administrasi Pertanahan 
Nasional dianggap sebagai akar terkendalanya pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 
(JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami dan konflik yang terjadi di Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi 
Bengkulu. Selain itu juga terdapat berita terkait kewenangan BPN yang terbatas untuk mengatasi berbagai 
permasalahan pertanahan. Sedangkan untuk tata ruang, melesetnya pencapaian target Perda RTRW di tahun 
2013 mendorong Presiden untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tetang percepatan peraturan daerah 
tentang rencana tata ruang wilayah. Selain itu, kejadian tumpang tindih fungsi lahan di lapangan, mewajibkan 
Jakarta metropolitan memiliki zonasi laut di teluk Jakarta. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang 
dan pertanahan. 
tahukah anda 
Sejarah Tata Ruang di Indonesia 
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) 
modern di Indonesia mulai disusun ketika kota Jayakarta 
(kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda 
pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut 
baru dikembangkan secara intensif pada awal 
abad ke-20. Peraturan pertama tercatat 
adalah De Statuen Van 1642 yang 
dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota 
Batavia. 
Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan 
Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman 
dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. 
Jakarta, Desember 2003.
buletin tata ruang & pertanahan 11 
Layaknya sistem tata ruang didarat, dengan adanya zonasi laut, 
maka pemerintah daerah dapat mengetahui mana saja wilayah laut 
yang dapat dibangun sebagai wilayah industri atau untuk wilayah 
perikanan, sehingga tata ruang di laut akan tertata dengan baik, 
tidak ada lagi tumpang tindih. Untuk pengaturan zonasi laut di 
teluk Jakarta, menurutnya sangat dibutuhkan karena Jakarta selain 
metropolitan, ekonominya tertinggi di antara yang lainnya, sehingga 
DKI punya kepentingan besar untuk atur tata ruang kelautan. 
Ditargetkan, pengaturan zonasi laut Jakarta akan dilakukan pada 
tahun depan, 2014. Sementara itu, Jokowi menambahkan, zonasi 
di laut Jakarta akan disesuaikan dengan Rencana Detail Tata 
Ruang (RDTR) Jakarta. “Di bawah laut itu kan ada kabel, pipa gas, 
semuanya harus menyesuaikan dengan zonasi itu, karena sudah 
pembagian yang jelas,” kata Jokowi. (Liputan6, 29 Oktober 2013) 
Kurang dari 50 persen pemerintah kabupaten atau kota belum 
mengeluarkan peraturan daerah mengenai tata ruang. Akibatnya, 
banyak proyek pembangunan seperti perumahan melanggar 
tata ruang. Enggannya pemda mengeluarkan aturan soal tata 
ruangdikarenakan permasalahan pergantian kepala daerah.Oleh 
karena itu, September kemarin Presiden mengeluarkan Instruksi 
Presiden (Inpres) percepatan peratuan daerah tentang tata ruang. 
Tata ruang ini penting karena bicara grand desain di lapangan 
termasuk masalah konversi lahan pertanian. Konversi lahan 
dilegalkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, misalnya, 
di utara dan di selatan Karawang. Sedangkan Direktur Perkotaan, 
Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 
Dadang Rukmana menilai, pengalihan konversi lahan pertanian 
itu diperbolehkan asal sesuai dengan aturan, tapi jika konversi 
tidak sesuai peruntukannya itu tidak diperbolehkan.Jika ada yang 
melanggar tata ruang, semisal konversi bukan peruntukannya, 
maka pelanggarnya akan mendapatkan sanksi administratif dari 
pemda setempat. Sanksinya berupa teguran, pembatalan izin, 
penyegelan dan lainnya. Jika pelanggarannya berat di mana 
mengakibatkan kerugian harta benda, maka sanksinya berupa 
pidana.(Tempo, 30 Oktober 2013) 
November 
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY bersama 
Teknik Geodesi UGM dan Bank Dunia membuat pemetaan 
kolaboratif zona terlarang Merapi. Pemetaan ini merupakan 
perpaduan dari berbagai peta rawan bencana yang dibuat sejumlah 
pihak sebelumnya. Peta kolaboratif ini menghasilkan peta dengan 
skala 1:2.000, yang artinya setiap rumah dan lahan milik warga di 
daerah rawan bencana akan terlihat dengan jelas. Nantinya akan 
tersusun rencana detil tata ruang (RDTR) guna melengkapi Perda 
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). 
Peta ini akan berisi zona-zona kawasan terlarang untuk pemukiman 
dan rekomendasi pemanfaatan lahan di dalamnya. Peta ini dibuat 
dengan memadukan data citra foto udara pemetaan LIDAR dari 
BNPB, data kawasan rawan bencana dan data area terdampak 
langsung dari BPPTKG, lokasi sabo dam dari BBWS, dokumen 
digital rencana detil tata ruang dari Dinas PU ESDM DIY, data batas 
dusun dan batas desa dari Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah 
Sleman, data hunian tetap dalam kawasan dari PMT Rekompak dan 
batas bidang tanah dari BPN. (Harianjogja, 1 November 2013) 
Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pemerintah 
daerah untuk segera menyusun perda rencana zonasi kawasan 
konservasi perairan. Selain itu, melarang izin reklamasi sebelum 
terbit perda rencana zonasi. Penetapan zonasi kawasan bertujuan 
mengalokasikan ruang perairan secara berkeadilan sesuai 
ekosistem, berkelanjutan ekologi, pemberdayaan masyarakat dan 
perlindungan wilayah masyarakat adat dan nelayan tradisional. Dari 
319 kabupaten/kota di wilayah pesisir, tercatat baru 9 kabupaten/ 
kota yang punya perda rencana zonasi. Adapun 60 kabupaten/ 
kota masih dalam proses penyusunan. Sementera itu, beberapa 
kota besar sudah mengeluarkan izin reklamasi, belum memiliki 
perda rencana zonasi, yakni Jakarta, Surabaya dan Semarang. 
Prioritas penyusunan perda rencana zonasi adalah kawasan 
strategis nasional, kabupaten/kota dengan pemanfaatan tinggi 
terhadap pesisir, kelautan dan perikanan dan wilayah perbatasan. 
Untuk mendukung penyusunan perda zonasi, Kementerian Kelautan 
dan Perikanan sedang menyusun revisi peraturan menteri tentang 
rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. 
(Kompas, 22 November 2013) 
Workshop Roadmap Advokasi Rencana Tata Ruang Wilayah 
(RTRW) Aceh yang diselenggarakan oleh Koalisi Peduli Hutan Aceh 
(KPHA) digelar untuk mengkritisi dan mengadvokasi Rancangan 
Qanun RTRW Aceh yang pada akhir tahun ini akan disahkan oleh 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh itu menghasilkan beberapa 
Gambar 1 Zona Terlarang Merapi 
tahukah anda 
Sejarah Tata Ruang di Indonesia 
Peraturan tata ruang sejak abad ke-20 sudah mengatur tidak 
hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan 
lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung 
jawab pemerintah kota. Undang-Undang Desentralisasi pada 
tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah 
kota dan daerah memberikan hak kepada kota-kota 
untuk mempunyai pemerintahan, administrasi 
dan keuangan kota sendiri. Tak lama 
kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan 
Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 
Tahun 1905 yang antara lain berisi 
pemberian wewenang pada pemerintahan 
kota untuk menentukan prasyarat persoalan 
pembangunan kota. 
Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang 
Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana 
Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman 
dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003. 
Gambar 2 Teluk Jakarta
12 buletin tata ruang & pertanahan 
rekomendasi. Diantaranya, (1)mendorong lahirnya pasal tentang 
penyesuaian aktivitas ekonomi dalam kawasan ekologis yang tidak 
mengganggu fungsi lindung; (2) memberikan arahan terhadap 
pemanfaatan ruang dengan prinsip kearifan lokal, RTRW Aceh 
memerintahkan pengelolaan wilayah DAS diatur kembali dalam 
qanun kabupaten/kota dengan prinsip kearifan lokal; (3) melakukan 
cross-check data dengan lembaga-lembga yang memiliki data 
kebencanaan, baik Peta sensitifitas lahan, peta konflik satwa 
dan peta koridor satwa; (4) melakukan kajian akademis terkait 
harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah yang berhubungan 
dengan RTRW Aceh, baik kajian konsideran maupun kajian 
mendalam, dll. Rekomendasi-rekomendasi ini nantinya akan 
disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang saat 
ini sedangmenggodok Qanun RTRW Aceh.(Atjehlink, 22 November 
2013) 
Para pengembang properti mengeluhkan soal beberapa kendala 
pembangunan rumah murah di Indonesia. Sedikitnya ada 
3(tiga) masalah utama yang menyulitkan pengembang properti 
membangun rumah murah: (1) perizinan, izin lokasi yang berbiaya 
tinggi dan waktu perizinan yang tidak jelas. (2) sertipikasi 
tanah, pengembang mengeluhkan soal beban biaya perizinan 
dan sertifikat tanah masih tinggi yang sangat memberatkan 
dunia usaha. (3) Pajak, pengembang meminta agar pemerintah 
khususnya Kementerian Keuangan memberikan insentif bagi para 
pelaku usaha. Besaran insentif pajak yang diberikan pemerintah 
berpengaruh terhadap harga jual rumah terutama bagi MBR. 
Pemberian insentif pajak juga bisa diberikan kepada pelaku usaha 
agar harga rumah bisa disesuaikan terutama untuk masyarakat 
berpenghasilan rendah. (detikfinance, 25 November 2013) 
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Setyo Maharso 
mengeluh atas mahalnya pemberian izin lokasi untuk pembangunan 
pemukiman dan pembebasan biaya perumahan sederhana tapak 
(landed house) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) 
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setyo juga meminta 
otoritas pertanahan tersebut menindak aparatnya yang tidak 
mendukung proses penerbitan sertifikat untuk perumahan bagi 
masyarakat kelas tersebut. Selain itu, dia juga berharap RUU 
Pertanahan segera diselesaikan untuk mengatasi ketidakpastian 
hukum atas kepemilikan tanah yang telah diterbitkan BPN. 
Menurutnya, kepastian hukum dengan RUU Pertanahan tersebut 
seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal 
dalam RUU Pertanahan untuk menjamin kepastian bagi investor 
dan masyarakat.”Hal tersebut sesuai pasal 28 ayat 1 UUD 1945, 
di mana setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta 
bedanya,” pungkas Setyo.( Sindonews, 25 November 2013) 
Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan 
lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, 
peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti 
otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang 
tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan, 
ucap Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/ 
Juru Bicara BPN RI.“Nantinya dalam peradilan khusus itu hakim-hakimnya 
diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang 
pertanahan, filosofi teori-teori latar belakang keluarnya suatu 
peraturan,” ujar Toha. Sayangnya, wacana pembentukan peradilan 
pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif. 
Ide lahirnya peradilan pertanahan karena banyak kasus pertanahan 
tidak selesai-selesai. Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang 
dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan 
yang merupakan bagian dari peradilan umum, ad-hoc. Kemudian 
prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA. 
Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya 
yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis. (Suaraagraria, 28 
November 2013) 
Desember 
Tidak kurang dari 20 orang petani warga Desa Pering Baru, Ujung 
Padang, Provinsi Bengkulu, berjuang mengambil alih ladang, yang 
sejak 1984 “dicaplok” oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara 
(BUMN) yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Proses 
perjuangan berkepanjangan memasuki 38 tahun, mereka tetap 
kukuh memperjuangkan haknya. Setidaknya, secara adat, kawasan 
tersebut dimiliki oleh 14 kepuyangan (leluhur) yang telah beranak 
pinak.“Memang saat itu kami tidak mengerti sertifikat, namun kami 
memiliki bukti tanam tumbuh dan beberapa surat dari pasirah,” 
tambah Nahadin, salah satu petani. 
Mulanya, Bupati menekankan tanah yang boleh digarap BUMN itu 
adalah padang ilalang dan hutan yang tidak digarap warga. Saat 
itu syarat disanggupi oleh BUMN, namun pada perkembangan 
berikutnya, BUMN justru mencaplok semua tanah milik warga 
setidaknya ada 518 hektar lahan diambil secara paksa dan 
kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri. Puncak pertikaian 
antara perusahaan dan warga terjadi pada 2010 tidak kurang dari 
18 warga dijebloskan ke penjara selama 3 bulan 20 hari hanya 
karena menuntut agar tanah mereka dikembalikan. Hingga pada 
pertengahan tahun 2013, BUMN yang saat ini menguasai hampir 
1.600 hektare tanah masyarakat itu diminta oleh pemerintah 
setempat melakukan ukur ulang.Jika perkebunan BUMN itu lebih 
dari 518 hektare, maka kelebihannya wajib dikembalikan kepada 
petani yang kehilangan tanah. (Kompas, 1 Desember 2013) [ias] 
Gambar 3 Aksi unjuk rasa petani 
tahukah anda 
Sejarah Tata Ruang di Indonesia 
Pengembangan perencanaan kota di Indonesia dipicu oleh 
persoalan pembentukan kota pada masa pemerintahan Hindia 
Belanda. Meskipun saat itu belum ada peraturan pemerintah 
yang seragam, pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya 
perencanaan kota secara menyeluruh. 
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia 
menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang 
Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut 
disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan 
adanya perubahan terhadap paradigma otonomi 
daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 
maka ketentuan mengenai penataan ruang 
mengalami perubahan yang ditandai dengan 
digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 
1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang- 
Undang Nomor 26 Tahun 2007 
tentang Penataan Ruang. 
Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang 
Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana 
Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, DepartemenPermukiman 
dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003.
buletin tata ruang & pertanahan 13 
“Pemberdayaan Kota Hijau”, dan tahun lalu, 2012, bertema “Kota 
Hijau, Hidup Lebih Baik”. Tema tahun ini, “Harmoni Ruang dan 
Air untuk Hidup Lebih Baik” bertujuan untuk menjelaskan urgensi 
penyelenggaraan penataan ruang yang holistik dari suatu proses 
penataan kawasan hulu dan menjaga kawasan hilir sebagai satu 
kesatuan wilayah. Perencanaan secara terpadu ini adalah solusi 
untuk mengintegrasikan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi 
sumberdaya air untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan. 
Peringatan Haritaru diselenggarakan setiap tahun untuk 
meningkatkan kesadaran setiap pemangku kepentingan akan 
pentingnya penataan ruang sebagai elemen penting pembangunan 
Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap upaya perwujudan 
ruang Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan 
[gp]. 
Peringatan Haritaru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang 
Kementerian Pekerjaan Umum. Penetapan tanggalnya diadopsi dari peringatan World Town Planning 
Day (WTPD) yang diperingati di 35 negara di seluruh dunia. Puncak peringatan Hari Tata Ruang (Haritaru) 
dilaksanakan pada 8 November 2013. Tahun ini tema yang diusung adalah Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup 
Lebih Baik. Tema ini diangkat dengan kesadaran bahwa saat ini intensitas bencana yang terus meningkat, 
terutama banjir, merupakan salah satu dampak dari penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air yang 
kurang tepat. 
Pemikiran tentang penataan ruang di Indonesia dirintis pada awal 
abad XX sejak ditetapkannya Undang-Undang Desentralisasi 
(Decentralisatiewet) yang mengakhiri administrasi pusat yang 
berkuasa di Batavia. Pemikiran-pemikiran tersebut terus 
berkembang, hingga pada 1948 perencanaan tata ruang mulai 
diselenggarakan melalui penetapan Ordonansi Pembentukan Kota 
(Stadsvormingsordonantie) yang mengatur tentang ketentuan 
penataan kembali kota-kota yang mengalami kerusakan akibat 
Perang Dunia ke-2. Dan pada awal tahun 1970-an, digagas RUU 
Bina Kota yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.24/1992 
tentang Penataan Ruang. UU ini kemudian diperbarui oleh UU No. 
26/2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi payung bagi upaya 
pengembangan wilayah dan perkotaan yang lebih baik di Indonesia. 
Haritaru telah diselenggarakan lima kali, dengan tema umum 
“Planning for All” yang dilengkapi dengan tema khusus setiap 
tahunnya. Tema khusus pada tahun 2008 adalah “Perencanaan 
untuk Semua”, kemudian di tahun 2009 bertema “Perencanaan 
Ruang Hijau”, tahun 2010 “Kotaku Hijau”, tahun 2011 
Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2013 
“Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup 
Lebih Baik” 
Gambar 1 Pasar Terapung di Banjarmasin 
Gambar 2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional 
Arti logo Haritaru 
• Warna biru menjelaskan dominasi air pada permukaan bumi, 
termasuk 2/3 wilayah Negara Indonesia. 
• Simbol Bumi menjelaskan tujuan akhir dari program Harmoni 
Ruang dan Alam. 
• Pohon mewakili fungsi ekologi. 
• Manusia mewakili fungsi sosial. 
• Bangunan mewakili fungsi ekonomi. 
• Siklus air menjelaskan penyelenggaraan penataan ruang 
harus mampu mengintegrasikan fungsi sosial, ekologi, dan 
ekonomi.
buletin tata ruang & pertanahan 14 ar t i kel 
Pengendalian Pemanfaatan Ruang: 
Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan 
Ruang yang Efektif 
Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. 
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum 
Berdasarkan UUPR, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan 
melalui: (1) penetapan peraturan zonasi, (2) perizinan, (3) pemberian 
insentif dan disinsentif, serta (4) pengenaan sanksi. Instrumen 
pengendalian berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan, 
pemberian insentif dan disinsentif merupakan instrumen yang 
sifatnya untuk pencegahan pelanggaran, sedangkan pengenaan 
sanksi merupakan instrumen untuk penindakan pelanggaran. 
Permasalahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang 
Saat ini, setelah 6 tahun diterbitkannya UUPR, sudah saatnya 
mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang, dari 
perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang. 
Namun implementasi pengendalian pemanfaatan ruang ini 
menemui berbagai macam permasalahan. 
Persoalan pertama dalam implementasi pengendalian adalah belum 
seluruh daerah memiliki perda RTRW dan Rencana Rinci, padahal 
dokumen perencanaan tersebut adalah dasar untuk melakukan 
pengendalian pemanfaatan ruang; sampai dengan awal bulan 
Oktober 2013, tercatat baru 16 provinsi, 247 kabupaten, dan 
65 kota yang telah memiliki perda RTRW. Berdasarkan UUPR 
pasal 22 ayat 2 huruf e, RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk 
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.Arahan perizinan 
pemanfaatan ruang yang terkandung dalam RTRW provinsi 
merupakan acuan untuk perizinan pemanfaatan ruang, baik di 
wilayah provinsi maupun kawasan strategis provinsi. Sedangkan 
RTRW Kab/Kota menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan 
fungsi ruang untuk investasi (Pasal 26 ayat 2 huruf e UUPR) dan 
menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan 
dan administrasi pertanahan di Kab/Kota (Pasal 26 ayat 3). RTRW 
kabupaten/kota menjadi dasar untuk penerbitan izin prinsip, izin 
lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, IMB, dan izin lainnya. 
Dalam hal kabupaten/kota yang bersangkutan sudah memiliki 
rencana detail tata ruang kabupaten/kota maka dasar penerbitan 
izin di atas adalah rencana detail tata ruang kabupaten/kota. 
Peraturan zonasi, sebagai salah satu instrumen pengendalian 
pemanfaatan ruang, merupakan ketentuan yang mengatur tentang 
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya 
dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan 
zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi 
kabupaten/kota disusun sebagai kelengkapan RTRW kabupaten/ 
kota, dan merupakan dasar dalam pemberian insentif dan 
disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat 
kabupaten/kota. Namun sampai saat ini belum ada pemerintah 
daerah yang mengatur dengan rinci mengenai pengendalian 
pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan daerah. Instrumen 
pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW (provinsi/kabupaten/ 
kota) masih bersifat normatif dan perlu dirinci lagi sehingga dapat 
lebih implementatif. 
Dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang tersebut, 
dan juga di setiap tahapan penataan ruang, perlu dukungan sistem 
informasi yang berkaitan dengan dinamika pemanfaatan ruang di 
lapangan. Namun kondisi di daerah saat ini adalah tidak tersedianya 
sistem informasi tata ruang yang lengkap. Keterbatasan data/ 
informasi, dokumen, peta RTRWdan kondisi di lapangan seringkali 
menyulitkan upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang. 
Dalam hal pengawasan penataan ruang, PP No. 15/2010 
menyebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan pengawasan 
terhadap penyelenggaraan penataan ruang dengan menyampaikan 
hasil pengawasan melalui sarana yang disediakan oleh Pemerintah/ 
pemerintah daerah.Terkait dengan peran masyarakat dalam 
penataan ruang, kurangnya partisipasi masyarakat dalam 
memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai 
dengan rencana tata ruangmenjadi permasalahan lain yang 
dihadapi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat 
dan/atau organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga 
Swadaya Masyarakat) yang ada masih belum berpartisipasi 
dalam penataan ruang, meskipun bentuk dan tata cara partisipasi 
masyarakat dalam penataan ruang ini telah diatur dalam PP No. 
68/2010. 
Berbagai permasalahan dalam implementasi pengendalian 
pemanfaatan ruang sangat erat kaitannya dengan isu efektivitas 
kelembagaan dalam pengendalian penataan ruang. Aspek 
Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan 
pengendalian pemanfaatan ruang, yang diselenggarakan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang 
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Saat ini, banyak rencana tata ruang yang telah disusun sesuai 
dengan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), baik di tingkat nasional, provinsi, maupun 
kabupaten/kota. Sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, pemanfaatan ruang yang merupakan 
tahap mewujudkan rencana tata ruang tersebut perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang. 
Pengenaan Sanksi 
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG 
upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang 
Penetapan 
Peraturan Zonasi 
Perizinan 
Rencana Rinci Tata Ruang 
Izin Pemanfaatan Ruang 
tindakan penertiban yang 
dilakukan terhadap 
pemanfaatan ruang yang 
tidak sesuai dengan 
RTR dan peraturan zonasi 
penggantian/ ganti 
kerugian yang layak 
batal demi hukum 
dapat dibatalkan 
Pemberian 
Insentif & Disinsentif 
Ps. 36 ayat (1) 
Ps. 36 ayat (2) 
Ps. 37 ayat (1) 
Ps. 37 ayat (6) 
Ps. 37 ayat (3) 
Ps. 37 ayat (4) 
Ps. 1 angka 15 
Ps. 35 
Ps. 36 ayat (3) 
PP untuk arahan peraturan zonasi 
sistem nasional 
Perda Provinsi untuk arahan 
peraturan zonasi sistem provinsi 
Perda kabupaten/kota untuk 
peraturan zonasi 
Gambar 1 Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang
buletin tata ruang & pertanahan 15 
kelembagaan merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan 
kewenangan dalam penataan ruang. Sejalan penerapan sistem 
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan 
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah 
Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengatur 
dan mengurus urusan pemerintahannya. Berdasarkan PP No. 
38/2007, penataan ruang merupakan urusan pemerintahan yang 
bersifat kongruen yang dibagi bersama antar pemerintahan. 
Agar dapat menciptakan tertib ruang sesuai dengan rencana tata 
ruang, maka pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan 
secara terpadu yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang 
sesuai dengan otoritasnya. Jika melihat struktur organisasi 
terkait penataan ruang di pusat dan daerah, banyak lembaga/ 
instansi struktural yang berkepentingan dalam penataan ruang, 
baik di pusat maupun di daerah, namun perbedaan struktur 
organisasi pemerintah daerah menyebabkan terjadinya perbedaan 
level (eselonering) unit organisasi yang berwenang melakukan 
pengendalian pemanfaatan ruang. Kurangnya koordinasi dalam 
pengendalian pemanfaatan ruang yang berakibat pada rendahnya 
keterpaduan pemanfaatan ruang, mengingat penataan ruang 
merupakan urusan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan 
lintas pemangku kepentingan. 
Mengingat implementasi pengendalian penataan ruang ini 
melibatkan berbagai lembaga/instansi yang ada, maka penguatan 
kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuan 
lembaga dalam melakukan koordinasi dengan lembaga lain. 
Dalam pelaksanaan koordinasi, terdapat banyak faktor yang 
mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan koordinasi. Faktor 
yang berperan penting dalam pelaksanaan koordinasi adalah aktor 
yang terlibat dalam koordinasi tersebut. Aktor beserta institusinya 
memiliki tujuan dan prioritas yang terkadang menimbulkan konflik 
dengan tujuan dan prioritas aktor/institusi lain, atau dengan tujuan 
dan prioritas suatu sistem secara keseluruhan. Aktor-aktor yang 
memiliki kekuasaan tersebut dapat memanfaatkan diskresi yang 
dimilikinya dalam pengambilan keputusan, sehingga diperlukan 
suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikan berbagai aktor 
dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang. 
Untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dalam penyelenggaraan 
penataan ruang, telah dibentuk BKPRN (melalui Keppres No. 
4/2009) dan BKPRD (melalui Permendagri No. 50/2009) yang 
merupakan badan bersifat ad-hoc di pusat dan daerah.Sesuai 
dengan tugas dan tanggungjawabnya, BKPRD memiliki fungsi 
membantu pelaksanaan tugas Gubernur/Bupati/Walikota dalam 
koordinasi penataan ruang yang meliputi koordinasi dalam 
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan 
ruang. Dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang, peran 
BKPRD dirasakan belum optimal meskipun dalam Permendagri 
No. 50/2009 sudah disebutkan tugas BKPRD dalam koordinasi 
pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi: 
a. Mengkoordinasikan penetapan arahan peraturan zonasi sistem 
provinsi/penetapan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota; 
b. Memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang provinsi 
dan kabupaten/kota; 
c. Melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan penetapan insentif dan 
disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang provinsi dan/ 
atau lintas provinsi serta lintas kabupaten/kota; 
d. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan 
pelaporan penyelenggaraan penataan ruang; 
e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan 
ruang untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan 
rencana tata ruang; 
f. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian 
pemanfaatan ruang; dan 
g. Melakukan evaluasi atas kinerja pelaksanaan penataan ruang 
kabupaten/kota. 
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, dalam struktur BKPRD 
terdapat Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian yang 
mempunyai tugas: 
a. Memberikan masukan kepada Ketua BKPRD dalam rangka 
perumusan kebijakan pemanfaatan dan pengendalian 
pemanfaatan ruang kabupaten/kota; 
b. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan terhadap 
penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; 
c. Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi terhadap penegakkan 
peraturan daerah tentang rencana tata ruang; 
d. Melakukanfasilitasi pelaksanaan pelaporan terhadap 
penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; 
e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan perizinan pemanfaatan ruang; 
f. Melakukan fasilitasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan 
ruang; dan 
g. Menginventarisasi dan mengkaji permasalahan dalam peman-faatan 
dan pengendalian pemanfaatan ruang serta memberikan 
alternatif pemecahannya untuk dibahas dalam sidang pleno 
BKPRD. 
Dari gambaran mengenai kewenangan yang dimiliki oleh BKPRD 
tersebut, dalam dilihat bahwa BKPRD memiliki peran yang sangat 
penting dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, 
baik yang bersifat pencegahan pelanggaran pemanfaatan ruang 
maupun yang bersifat penertiban pelanggaran.Jika mengacu pada 
efektifnya peran BKPRD dalam proses perencanaan tata ruang, 
maka diperlukan pedoman yang lebih teknis terkait mekanisme 
pengendalian pemanfaatan ruang. 
Upaya Peningkatan Kelembagaan Pengendalian Penataan 
Ruang 
Keberhasilan suatu kegiatan yang melibatkan peran serta banyak 
pihak mensyaratkan suatu bentuk pengaturan yang jelas agar 
segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. 
Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas koordinasi 
pengendalian penataan ruang ini diperlukan perangkat sebagai 
acuan pelaksanaan pengendalian. Sesuai dengan amanat UUPR, 
dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah 
berwenang menyusun dan menetapkan pedoman Bidang 
Penataan Ruang. Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, 
Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian 
Pekerjaan Umum perlu menyediakan NSPK yang akan menjadi 
acuan bagi daerah dalam pembuatan instrumen pengendalian 
pemanfaatan ruang. 
tahukah anda 
Knowledge Management (KM) memiliki fungsi 
penting dalam hal: 
a) Identifikasi aset kunci dari knowledge yang 
ada di dalam perusahaan; 
b) Merefleksikan apa yang organisasi 
diketahui; 
c) Saling berbagi (sharing) segala 
knowledge kepada siapapun yang 
membutuhkannya; 
d) Menerapkan penggunaan knowledge 
untuk meningkatkan kinerja 
organisasi. 
Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. 
ac.id/2011/10/02/knowledge-management/
16 buletin tata ruang & pertanahan 
NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang yang telah 
ada sampai saat ini adalah Pedoman Penyusunan RDTR dan 
Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang ditetapkan melalui Permen 
PU No. 20/2011. Sedangkan NSPK lain yang masih dalam proses 
penyusunan atau legalisasi antara lain: 
1. Pedoman Kriteria Zona, Sub Zona, dan Blok dalam Peraturan 
Zonasi Kabupaten/Kota, dengan muatan mengenai ketentuan 
umum klasifikasi zona, sub zona, dan blok serta ketentuan 
teknis pengaturan zona, sub zona, dan blok; 
2. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan 
Perkotaan, dengan muatan mengenai kelembagaan 
pengendalian pemanfaatan ruang serta tata cara pengendalian 
pemanfaatan ruang; 
3. Pedoman tentang Bentuk dan Tata Cara Pemberian Insentif dan 
Disinsentif Penataan Ruang, dengan muatan mengenai bentuk 
dan perangkat, persyaratan, serta mekanisme pemberian 
insentif dan disinsentif; 
4. Pedoman Perizinan Pemanfaatan Ruang, dengan muatan 
mengenai jenis perizinan pemanfaatan ruang, klasifikasi 
kegiatan pemanfaatan ruang, serta proses dan prosedur 
(penyelenggara perizinan, prosedur perizinan, dan prosedur 
pengaduan); 
5. Pedoman Kriteria dan Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif, 
dengan muatan mengenai kriteria, unsur pelanggaran, dan jenis 
sanksi serta tata cara pengenaan sanksi administratif; 
6. Pedoman Pengawasan Penataan Ruang Provinsi dan Kabupaten 
/Kota, dengan muatan mengenai tata cara pengawasan teknis, 
tata cara pengawasan khusus, serta kelembagaan dan peran 
masyarakat. 
Sedangkan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, 
Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU melakukan peningkatan 
peran PPNS Penataan Ruang yang memiliki kewenangan 
melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. 
Sesuai dengan UUPR, PPNS Penataan Ruang memiliki kewenangan 
untuk: 
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau 
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam 
bidang penataan ruang; 
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga 
melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; 
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan 
dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; 
d. Melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang 
berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; 
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga 
terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan 
penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil 
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak 
pidana dalam bidang penataan ruang; dan 
Gambar 2 Skema Tugas dan Fungsi PPNS Penataan Ruang 
TUGAS DAN FUNGSI PPNS PENATAAN RUANG 
PENYIDIKAN TNDAK PIDANA 
PENATAAN RUANG 
PENYIDIK POLRI 
TUGAS 
PENEGAKAN HUKUM 
BIDANG PENATAAN RUANG 
FUNGSI 
Koordinasi PPNS 
Penataan Ruang 
1Kasus Pembangunan Industri Pengolahan Baja di Kawasan Situs Majapahit, Kecamatan Trowulan dapat dilihat pada Kotak Kasus 
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas 
penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. 
Berdasarkan data dari Sekretariat Direktorat Jenderal Penataan 
Ruang Kementerian PU, terdapat 31 provinsi (dari total 33 provinsi), 
103 kabupaten (dari total 399 kabupaten), dan 32 kota (dari total 
94 kota) yang telah memiliki PPNS Penataan Ruang. Kebutuhan 
ideal PPNS sampai dengan tahun 2015 adalah setiap kabupaten/ 
kota memiliki 3 orang PPNS dan 2 orang atasan PPNS. 
Tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang untuk 
memenuhi kebutuhan ideal jumlah PPNS antara lain adalah 
pengendalian pemanfaatan ruang belum menjadi prioritas dalam 
penataan ruang daerah karena Pemerintah Daerah masih fokus 
pada penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengendalian yang 
belum menjadi prioritas di daerah dan pelanggaran penataan 
ruang yang masih dianggap hal yang biasa dan mudah ditolerir 
berdampak pada belum dirasakannya kebutuhan terhadap 
keberadaan PPNS Penataan Ruang di daerah. Hal lain yang 
menjadi tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang 
di daerah adalah pemerintah daerah memandang PPNS sebagai 
beban dan ancaman terhadap pejabat pemberi izin. 
Untuk memenuhi kebutuhan jumlah ideal PPNS Penataan Ruang, 
Perekrutan dan pendidikan PPNS Penataan Ruang dilakukan setiap 
tahun melalui Diklat 200 JP dan Diklat 400 JP. Dari perekrutan 
dan pendidikan PPNS yang rutin diselenggarakan oleh Setditjen 
Penataan Ruang Kementerian PU, telah terjadi peningkatan jumlah 
PPNS Penataan Ruang, dari semula 26 PPNS pada tahun 2009 
menjadi 514 PPNS pada tahun 2013.Selain itu, perlu juga diberikan 
pemahaman tentang pentingnya peran PPNS, tidak hanya dalam 
proses penertiban pelanggaran penataan ruang, tetapi dalam 
menjalankan fungsi pengawasan sebagai upaya pencegahan 
(preventif) agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata 
ruang. 
Salah satu bentuk pelaksanaan tugas PPNS Penataan Ruang dalam 
rangka pengendalian penataan ruang adalah menindaklanjuti 
pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang yang disampaikan 
oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian 
PU telah memfasilitasi sarana pengaduan masyarakat sehingga 
masyarakat diminta berperan aktif mengadukan pelanggaran 
pemanfaatan ruang yang terjadi di sekitarnya melalui berbagai 
media yang telah disediakan. Tahapan penanganan terhadap 
pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang tersebut adalah: 
1. Pencatatan registrasi oleh Sekretariat PPNS; 
2. Pemeriksaan Data dan Informasi; 
3. Pengajuan Tindak Lanjut Pulbaket; 
4. Melakukan Pulbaket; 
5. Rekomendasi Pulbaket; 
6. Gelar Perkara dan Perintah Penyidikan (Sprindik dan SPDP); 
7. Penyidikan; 
8. Tindak Lanjut Penyidikan (BAP), penyampaian ke Kejaksaan 
melalui Penyidik POLRI. 
Sampai dengan bulan Oktober 2013, Sekretariat PPNS Ditjen 
Penataan Ruang telah menerima 17 pengaduan yang saat ini 
sedang ditindaklanjuti oleh PPNS di Ditjen Penataan Ruang.Salah 
satu dari pengaduan tersebut seperti pembangunan industri 
pengolahan baja di kawasan situs Majapahit di Kecamatan Trowulan 
Kabupaten Mojokerto1.
buletin tata ruang & pertanahan 17 
Penyusunan NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang dan 
peningkatan peran PPNS Penataan Ruang merupakan sebagian 
dari skenario pengendalian pemanfaatan ruang yang akan 
dilakukan oleh Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU mulai 
tahun 2014 melalui Program Peningkatan Pengawasan dan 
Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R). Program ini bertujuan 
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan 
dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah 
dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta 
menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, 
sasaran yang hendak dicapai program ini adalah: 
1. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan 
pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien; 
2. Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam 
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 
3. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen 
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 
4. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) 
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 
5. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang 
berkualitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan 
ruang. 
Program ini dimaksudkan agar pengawasan dan pengendalian 
pemanfaatan ruang mempunyai arah dalam meningkatkan kinerja 
pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat 
maupun di daerah. Dalam P5R ini, Pemerintah Daerah diharapkan 
dapat berpartisipasi aktif guna mewujudkan upaya pengendalian 
pemanfaatan ruang yang sinergis, efektif, dan efisien.Dan dengan 
dukungan semua pihak serta penegakan hukum yang konsisten, 
maka tertib tata ruang guna mencapai tujuan penataan ruang dapat 
diwujudkan. 
Gambar 5 Kronologis Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di 
Kecamatan Trowulan 
P5R 
Manajemen 
Pengawasan 
mecanism 
NSPK 
tools 
SDM 
Aparatur 
subject 
Kelemba-gaan 
organization 
POKMAS 
WASDAL 
community 
1Kasus Pembangunan Industri di Kawasan Situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten 
Di Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Trowulan terdapat 
area situs yang letaknya cukup strategis karena dilalui jalan arteri 
primer nasional yang menghubungkan Surabaya-Yogyakarta. 
Berdasarkan Kepmendikbud Nomor 177/M/1998 tentang 
Penetapan Situs dan Benda Cagar Budaya di Wilayah Provinsi Jawa 
Timur, Kompleks Trowulan ini dinyatakan sebagai situs dan benda 
cagar budaya. 
Pada November 2012, Bupati Mojokerto memberikan izin pada 
PT. Manunggal Sejati Group untuk mendirikan Industri Pengolahan 
Baja di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Permasalahannya, 
wilayah berdirinya industri tersebut masih belum jelas statusnya, 
berada di dalam atau di luar Kompleks Trowulan. Oleh karena itu 
pada Juli 2013, Kemdikbud melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya 
Mojokerto mengajukan surat pada DPRD Kab. Mojokerto yang isinya 
menyatakan bahwa IMB atas rencana pendirian pabrik baja tidak 
benar karena Balai tidak pernah menerbitkan surat rekomendasi. 
Status terakhir, dinyatakan bahwa lokasi pabrik berada di luar 
kawasan pemeliharaan cagar budaya. Berikut, kronologi 
Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Desa 
Jatipasar Kecamatan Trowulan. 
Saat ini, kasus tersebut masih belum selesai diputuskan dan 
sedang dalam proses pemeriksaan oleh Tim Penyidik Pegawai 
Negeri Sipil (PPNS)-Ditjen Penataan Ruang, Kementerian 
Pekerjaan Umum. Berdasarkan hasil laporan sementara, 
Tim PPNS mengungkapkan bahwa apabila pembangunan 
pabrik tersebutditeruskan, maka akan terbuka sekitar 300- 
400 lapangan pekerjaan baru yang akan meningkatkan 
PAD Kab. Mojokerto. Sedangkan dampak negatifnya adalah 
kelestarian situs tersebut terancam dan mungkin akan terjadi 
gugatan dari masyarakat sipil (Komunitas ‘Save Trowulan’) 
kepada Pemerintah. Dalam proses penyelesaiannya, kondisi 
dilematis terjadi karena adanya perbedaan substansi antara 
RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kab. Mojokerto terkait 
penetapan Kec. Trowulan sebagai kawasan cagar budaya. 
Sejauh ini, rekomendasi yang diajukan adalah merelokasi 
rencana pembangunan pabrik ke Kawasan Industri Ngoro 
dan segala konsekuensi dibicarakan lebih lanjut oleh 
Pemkab Mojokerto, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah 
Pusat. Kemudian area calon pabrik yang dibatalkan (3,4 Ha) 
dimiliki oleh Pemerintah, dan dimanfaatkan untuk kegiatan 
pengembangan Trowulan sebagai Kawasan Taman Majapahit. 
Gambar 4 Lokasi Pembangunan Industri Baja di Kawasan Situs Majapahit 
Gambar 5 Pro Kontra Pembangunan Pabrik Baja di Trowulan 
Gambar 3 Skema Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian 
Pemanfaatan Ruang (P5R)
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan
Buletin tata ruang dan pertanahan

More Related Content

What's hot

Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunanKedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
Evant Manö
 
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_finalDraft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
Andon Setyo Wibowo
 
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
FithrohPutri
 

What's hot (18)

Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunanKedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
Kedudukan rtrw kabupaten kota dalam pembangunan
 
Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Dokumen Perencanaan Pembangunan DaerahPenyusunan Rencana Tata Ruang dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Perencanaan Partisipatif
Perencanaan PartisipatifPerencanaan Partisipatif
Perencanaan Partisipatif
 
Keppres No, 04 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Keppres No, 04 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan RuangKeppres No, 04 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Keppres No, 04 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
 
Uu252004
Uu252004Uu252004
Uu252004
 
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan R...
Peraturan Pemerintah Nomor  15 Tahun  2010 tentang Penyelenggaraan Penataan R...Peraturan Pemerintah Nomor  15 Tahun  2010 tentang Penyelenggaraan Penataan R...
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan R...
 
Ringkasan uu 25 tahun 2004
Ringkasan uu 25 tahun 2004Ringkasan uu 25 tahun 2004
Ringkasan uu 25 tahun 2004
 
Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Perencanaan Pembangunan PartisipatifPerencanaan Pembangunan Partisipatif
Perencanaan Pembangunan Partisipatif
 
Pedoman umum tata ruang perdesaan
Pedoman umum tata ruang perdesaanPedoman umum tata ruang perdesaan
Pedoman umum tata ruang perdesaan
 
PERENCANAAN TATA RUANG
PERENCANAAN TATA RUANGPERENCANAAN TATA RUANG
PERENCANAAN TATA RUANG
 
Peraturan Penataan Ruang RDTR
Peraturan Penataan Ruang  RDTRPeraturan Penataan Ruang  RDTR
Peraturan Penataan Ruang RDTR
 
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_finalDraft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
Draft Master Plan RTH Kab. Gresik_P2KH - agustus 2012_final
 
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
 
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa BaratEvaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat
 
PERDA DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030
PERDA DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030PERDA DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030
PERDA DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2030
 
Pedoman persetujuan subtansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah tenta...
Pedoman persetujuan subtansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah tenta...Pedoman persetujuan subtansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah tenta...
Pedoman persetujuan subtansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah tenta...
 
UU Nomor 25 Tahun 2004
UU Nomor 25 Tahun 2004UU Nomor 25 Tahun 2004
UU Nomor 25 Tahun 2004
 
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
Permasalahan tata ruang dalam pembangunan (1)
 

Similar to Buletin tata ruang dan pertanahan

Kelembagaan+peran masy dlm pr
Kelembagaan+peran masy dlm prKelembagaan+peran masy dlm pr
Kelembagaan+peran masy dlm pr
Sigit Pramulia
 
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerahPermendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
jamestravolta
 
Dirjen pr sttnas-yogya
Dirjen pr sttnas-yogyaDirjen pr sttnas-yogya
Dirjen pr sttnas-yogya
Azmi Haz
 
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbangPedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
riky_safrizal_rusli
 
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
egyd welyn
 
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
egyd welyn
 

Similar to Buletin tata ruang dan pertanahan (20)

MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIINSPEKTORAT...Dani 24...BY.ACHMAD AVANDI,SE,MM.....
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIINSPEKTORAT...Dani 24...BY.ACHMAD AVANDI,SE,MM.....MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIINSPEKTORAT...Dani 24...BY.ACHMAD AVANDI,SE,MM.....
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIINSPEKTORAT...Dani 24...BY.ACHMAD AVANDI,SE,MM.....
 
Laporan Penyiapan Grand Design Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Laporan Penyiapan Grand Design Bidang Perumahan dan Kawasan PermukimanLaporan Penyiapan Grand Design Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Laporan Penyiapan Grand Design Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman
 
Kelembagaan+peran masy dlm pr
Kelembagaan+peran masy dlm prKelembagaan+peran masy dlm pr
Kelembagaan+peran masy dlm pr
 
penjelasan perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar
penjelasan perda no 22 2010 ttg rtrwp jabarpenjelasan perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar
penjelasan perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar
 
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerahPermendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
Permendagri50 tahun2009 ttg pedoman koordinasi penataan ruang daerah
 
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH ,DICAPIL...Fitri ,BY..ACHMADAVANDI,SE,MM
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH ,DICAPIL...Fitri ,BY..ACHMADAVANDI,SE,MMMAKALAH PERENCANAAN DAERAH ,DICAPIL...Fitri ,BY..ACHMADAVANDI,SE,MM
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH ,DICAPIL...Fitri ,BY..ACHMADAVANDI,SE,MM
 
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan
 
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pemda dan...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pemda dan...Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pemda dan...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pemda dan...
 
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
 
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH POL PP..LAMPUNG UTARA ,Zarkasi BY ACHMAD AVANDI,SE,MM
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH POL PP..LAMPUNG UTARA ,Zarkasi BY ACHMAD AVANDI,SE,MMMAKALAH PERENCANAAN DAERAH POL PP..LAMPUNG UTARA ,Zarkasi BY ACHMAD AVANDI,SE,MM
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH POL PP..LAMPUNG UTARA ,Zarkasi BY ACHMAD AVANDI,SE,MM
 
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
Pembangunan Daerah, Sektor, dan Nasional
 
Dirjen pr sttnas-yogya
Dirjen pr sttnas-yogyaDirjen pr sttnas-yogya
Dirjen pr sttnas-yogya
 
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbangPedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musrenbang
 
Konsep & Teknik Perencanaan Daerah - LPEM
Konsep & Teknik Perencanaan Daerah - LPEMKonsep & Teknik Perencanaan Daerah - LPEM
Konsep & Teknik Perencanaan Daerah - LPEM
 
Implementasi UU 25/2004 tentang SPPN dalam Kerangka Efektivitas Perencanaan D...
Implementasi UU 25/2004 tentang SPPN dalam Kerangka Efektivitas Perencanaan D...Implementasi UU 25/2004 tentang SPPN dalam Kerangka Efektivitas Perencanaan D...
Implementasi UU 25/2004 tentang SPPN dalam Kerangka Efektivitas Perencanaan D...
 
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIDPRD Agustiawan 22
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIDPRD Agustiawan 22MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIDPRD Agustiawan 22
MAKALAH PERENCANAAN DAERAH DIDPRD Agustiawan 22
 
Ipi250660
Ipi250660Ipi250660
Ipi250660
 
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
 
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
06-Penyelenggaraan-Tata-Ruang-PP-16-th-2021-dan-Persetujuan-Bangunan-Gedung-P...
 
Agenda dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
Agenda dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Agenda dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
Agenda dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
 

More from Golden Saragih (9)

Keuntungan kompetitif
Keuntungan kompetitifKeuntungan kompetitif
Keuntungan kompetitif
 
Ringkasan sim ch.3 Laudon
Ringkasan sim ch.3 LaudonRingkasan sim ch.3 Laudon
Ringkasan sim ch.3 Laudon
 
Standar Pemeriksaan Keuangan Negaara
Standar Pemeriksaan Keuangan NegaaraStandar Pemeriksaan Keuangan Negaara
Standar Pemeriksaan Keuangan Negaara
 
Petunjuk pengisian lhkpn model a
Petunjuk pengisian lhkpn model aPetunjuk pengisian lhkpn model a
Petunjuk pengisian lhkpn model a
 
Formulir lhkpn a
Formulir lhkpn aFormulir lhkpn a
Formulir lhkpn a
 
Juknis pemantauan, evaluasi dan pelaporan 2013 pamsimas
Juknis pemantauan, evaluasi dan pelaporan 2013 pamsimasJuknis pemantauan, evaluasi dan pelaporan 2013 pamsimas
Juknis pemantauan, evaluasi dan pelaporan 2013 pamsimas
 
Implementation for performance auditing
Implementation for performance auditingImplementation for performance auditing
Implementation for performance auditing
 
Performance audit handbook
Performance audit handbookPerformance audit handbook
Performance audit handbook
 
Pedoman penurunan air tidak berekening
Pedoman penurunan air tidak berekeningPedoman penurunan air tidak berekening
Pedoman penurunan air tidak berekening
 

Buletin tata ruang dan pertanahan

  • 1. buletin tata ruang & pertanahan 5 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan Tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 edisi II tahun 2013
  • 2. 6 buletin tata ruang & pertanahan Harmonisasi peraturan yang disusun oleh berbagai lembaga pengguna ruang telah selesai dikupas dalam Buletin Tata Ruang & Pertanahan Edisi I/2013. Berbagai langkah maju telah dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), salah satunya dengan menginisiasi berbagai pertemuan koordinasi antarsektor yang kegiatan maupun aturannya saling terkait. Sampai dengan saat ini BKPRN sebagai badan yang awalnya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai konflik antarsektor masih berjalan cukup baik dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan sektoral dan daerah. Tidak terasa, sudah hampir 25 tahun BKPRN berkiprah di Indonesia. Awalnya dibentuk pada Tahun 1989 dengan nama Tim Tata Ruang, Tim ini kemudian bertransformasi menjadi BKTRN dan kemudian BKPRN. Sampai dengan saat ini, peran dan tujuan pembentukan Tim Tata Ruang tetap konsisten. Koordinasi dan resolusi konflik masih menjadi area utama Tim Tata Ruang di masa lalu dan BKPRN di masa kini. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya? Meningkat ataukah justru berkurang? Selain BKPRN yang berkiprah di Pemerintah Pusat yang mengkoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah daerah dituntut pula membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) untuk menjalankan fungsi yang sama di daerah. Bedanya adalah, BKPRD bertugas mengkoordinasikan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyelesaikan masalah koordinasi lokal dan juga konflik antarsektor yang menjadi urusan pemerintah daerah. Baik BKPRN maupun BKPRD adalah badan pemerintah yang bersifat ad-hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan tertinggi pemerintahan. Bentuk yang bersifat ad-hoc serta jalur komunikasi yang tidak formal dan hirarkis antara BKPRN dan BKPRD dapat menjadi kekuatan maupun juga kekurangan kedua lembaga koordinasi ini. Bagaimana tanggapan para pelaku di masa lalu dan saat ini tentang kondisi tersebut? Menyambut 25 tahun BKPRN, Buletin Tata Ruang & Pertanahan mengangkat tema Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan yang Telah dan Perlu Dilakukan. Fokus diskusi utama adalah koordinasi penataan ruang di Indonesia sejak Tahun 1989 sampai dengan Tahun 2013 dengan narasumber Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Ir. Herry Darwanto dan Dr. Ir. Abdul Kamarzuki. Diskusi diantara ketiga narasumber tersebut menarik untuk disimak karena mewakili tiga periode yang berbeda dalam koordinasi penataan ruang nasional. Selanjutnya, untuk mewakili perdebatan hangat pembagian peran BKPRN dan BKPRD, wawancara kali ini menghadirkan Dr. Muh Marwan (Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) dengan topik Sinergikah BKPRN dan BKPRD?. Selain itu, topik penting lainnya yang diangkat dalam edisi kali ini adalah Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang menjadi langkah strategis berikutnya setelah penyusunan rencana tata ruang berhasil ditetapkan. Materi ini diulas secara komprehensif oleh Dr. Basoeki Hadimoeljono (Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum). Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, keseimbangan isi antara Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan selalu dipertahankan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi dan Kajian akan diisi oleh Bidang Pertanahan dengan materi Bank Tanah, Kegiatan Reforma Agraria Nasional, dan Arah Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019. Tidak lupa berbagai kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun 2013 sampai dengan akhir Tahun 2013 tetap kami hadirkan, termasuk juga perkenalan perdana dari Direktur Tata Ruang dan Pertanahan yang baru. Selamat datang Pak Oswar ke dalam Keluarga Besar Tata Ruang dan Pertanahan. Selamat membaca kepada seluruh penerima Buletin ini, saran untuk perbaikan tetap kami tunggu! [ma]. susunan redaksi pelindung penanggung jawab pemimpin redaksi dewan redaksi editor redaksi desain & tata letak distribusi & administrasi Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Mia Amalia Dwi Hariyawan S Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan Khairul Rizal Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Gina Puspitasari Indra Ade Saputra Idham Khalik Dodi Rahadian Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Hadian Idhar Yasaditama Dea Chintantya alamat redaksi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/ Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 021 - 392 66 01 trp@bappenas.go.id http://www.trp.or.id dari redaksi
  • 3. buletin tata ruang & pertanahan 1 edisi II tahun 2013 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Kontribusi dan Tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 Sosialisasi Peraturan Pemerintah Permen PU No.1 Tahun 2013 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTR Kab/Kota Inpres No.8 Tahun 2013 Penyelesaian Penyusunan RTRWP & Kab/Kota daftar isi melihat dari dekat dalam berita ringkas buku kajian koordinasi trp 1 16 18 20 22 27 2 4 12 14 25 daftar isi
  • 4. 2 buletin tata ruang & pertanahan Kelembagaan dalam penataan ruang menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan penataan ruang. Koordinasi menjadi kata kunci penting untuk mengatasi berbagai kendala kelembagaan. Sebagai Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Dr. Muh. Marwan, M.Sc. menjelaskan kepada Redaksi Buletin TRP bagaimana upaya sinergis Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dalam penyelenggaraan penataan ruang, termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Berikut hasil wawancara Redaksi: Koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor. Sebenarnya, apa urgensi dibentuknya BKPRN dan BKPRD? Penataan ruang merupakan kegiatan strategis dan bersifat multidimensional, multifungsional dan multisektoral sehingga dalam penyelenggaraannya harus ditangani secara terpadu oleh berbagai instansi di pusat maupun di daerah yang memiliki tugas dan fungsi koordinatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mendesentralisasikan 26 urusan wajib yang salah satu diantaranya adalah Urusan Penataan Ruang, dan delapan urusan pilihan kepada daerah. Sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, pemerintah provinsi berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota. Dalam implementasi kebijakan penataan ruang, peran antar pemerintahan yang dilakukan secara bersama dengan prinsip kongruen diperlukan untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah. Atas dasar tersebut, Pemerintah telah membentuk BKPRN melalui Keppres No. 4/2009 tentang BKPRN. Di daerah dibentuk BKPRD sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 50/2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, seperti terlihat pada Gambar1. Dengan dibentuknya BKPRD, Menteri Dalam Negeri bertugas untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan penataan ruang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang dan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. BKPRD ini sangat penting, karena mempunyai peran strategis untuk mengawal proses penyusunan hingga penetapan Perda RTRW serta mengawal implementasi pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang pasca penetapan Perda RTRW. Perda RTRW adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh berbagai sektor secara konsisten. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. BKPRN maupun BKPRD mempunyai tugas dan peran yang sangat penting dalam mengawal dan memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian apabila ada permasalahan pemanfaatan ruang yang timbul di lapangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan perannya yang cukup strategis, sejauh ini bagaimana efektivitas kinerja BKPRN dan BKPRD? Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sampai awal November 2013, seluruh provinsi pada prinsipnya sudah membentuk BKPRD. Dari 33 provinsi, 30 provinsi sudah merevitalisasi BKPRD sesuai dengan amanat Permendagri No. 50/2009, dan tiga provinsi yang belum merevitalisasi BKPRD-nya yaitu Sulawesi Barat, NTT, dan Papua Barat. Walaupun sudah hampir seluruh provinsi membentuk BKPRD, BKPRD belum berhasil mendorong penetapan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota tepat pada waktunya. Sampai awal Bulan November 2013, dari 33 Provinsi di Indonesia, baru 18 Provinsi yang telah menetapkan perdanya, dan dari 491 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, 322 kabupaten/kota yang telah menetapkan perdanya. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah wawancara BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Saat ini, upaya penguatan kelembagaan penataan ruang, baik di nasional maupun di daerah terus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan implementasi produk-produk penataan ruang. Kelembagaan penataan ruang yang kuat dipercaya untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang baik, dengan didukung kuantitas dan kualitas aparat yang kompeten. Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang perlu dilakukan secara terus menerus mengingat dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang. BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG Implikasi dan Pemendagri tersebut adalah penetapan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah BKPRN BKPRD PUSAT DAERAH Keputusan Presiden No. 4 Tahun 20009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Pemendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Gambar 1 Dasar Pembentukan BKPRN dan BKPRD
  • 5. buletin tata ruang & pertanahan 3 dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, keterlambatan penyusunan dan penetapan Raperda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Lamanya proses penetapan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan; 2. Masih terbatasnya sumberdaya manusia pemerintah daerah yang kompeten dalam penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; 3. Kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan 4. Lamanya pembahasan dengan DPRD yang sering memakan waktu cukup lama. BKPRN dan BKPRD, keduanya merupakan badan ad-hoc yang memiliki fungsi koordinasi, tapi dalam pelaksanaan fungsinya BKPRN jauh lebih aktif dibandingkan BKPRD. Bagaimana sebenarnya pola hubungan kelembagaan, baik secara struktural maupun fungsional antara BKPRN dan BKPRD? Dalam rangka menggali isu strategis di Bidang Penataan Ruang, secara hirarkis dijaring melalui pendekatan bottom-up yaitu dimulai dari forum pertemuan yang diselenggarakan oleh BKPRD Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke BKPRD Provinsi untuk selanjutnya dibahas dalam forum Rakernas BKPRD. Beberapa isu strategis yang telah diformulasikan dalam Rakernas BKPRD kemudian dipertajam dalam Raker Regional yang dibagi menjadi Raker Regional Barat dan Raker Regional Timur. Hasil pelaksanaan Raker ini akan menjadi isu strategis yang harus dicari solusi penyelesaiannya dalam Rakernas BKPRN untuk kemudian menjadi agenda dan program kerja kementerian terkait BKPRN. Tindak lanjut dari BKPRN akan menjadi embrio program dan agenda kerja kegiatan dua tahun kedepan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah baik oleh Pemerintah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota. Mekanisme konsolidasi isu-isu strategis penataan ruang dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam perjalanannya, tantangan krusial yang masih dihadapi BKPRN dan BKPRD, antara lain adalah kurang sinerginya langkah kerja antar kementerian/lembaga anggota BKPRN dan SKPD anggota BKPRD. Penyebab utamanya adalah belum ditetapkannya mekanisme dan tata kerja internal BKPRN serta hubungan kerja antara BKPRN dengan BKPRD, sehinggapenyelenggaraan penataan ruang belum dapat terselenggara secara optimal. Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang daerah, hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan Ditjen Bina Pembangunan Daerah menunjukkan bahwa kinerja BKPRD sebagai badan ad-hoc yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/ Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah belum optimal. Penyebab utama BKPRD belum optimal adalah: 1. Masih tumpang tindihnya peraturan perundangan dan fungsi antar institusi; 2. Belum rincinya pedoman dan tata kerja organisasi, 3. Belum ada dukungan pendanaan yang signifikan, 4. Masih banyaknya pihak yang tidak memandang penting BKPRD; 5. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga daerah tidak terpacu untuk mengefektifkan peran BKPRD; dan 6. Masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya terkait dengan penguasaan materi Bidang Penataan Ruang. Bagaimana upaya perbaikan yang perlu dilakukan, khususnya untuk meningkatkan kapasitas BKPRD? Dalam konteks hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD, perlu disusun mekanisme hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD dalam upaya mensinergikan program kerja kedua lembaga tersebut agar peran dan fungsinya optimal dalam melakukan koordinasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan penataan ruang lintas sektor, lintas daerah dan lintas wilayah. Dalam penyelesaian konflik permasalahan pemanfaatan ruang yang memerlukan rekomendasi dari BKPRD, diperlukan peningkatan peran BKPRD agar BKPRD dapat melaksanakan tugasnya secara lebih efektif. Upaya ini dilakukan agar setiap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi di daerah tidak harus dibawa sampai pada tingkat BKPRN karena penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka mengoptimalkan peran BKPRD untuk percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penataan ruang, telah dilakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya memantapkan kelembagaan penataan ruang daerah. Beberapa diantaranya adalah menyusun mekanisme dan tata kerja (SOP) BKPRD, pengembangan data dan informasi, peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah, dan pemberian reward and punishment di Bidang Penataan Ruang. Saat ini, Kemdagri melalui Ditjen Bina Pembangunan Daerah sedang menyusun Pedoman Tata Kerja BKPRD tersebut. Selain itu, dilakukan upaya revitalisasi dan pembentukan BKPRD sesuai amanat Permendagri No. 50/2009 serta memberdayakan BKPRD yang diarahkan tidak hanya untuk keperluan pemecahan berbagai Masalah Penataan Ruang tetapi juga untuk pengembangan kelembagaan penataan ruang yang lebih utuh di daerah, dan yang mempunyai agenda kerja yang baik. Kelembagaan yang telah dibentuk, perlu didukung dengan upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya di Bidang Penataan Ruang, dan penyediaan sarana, prasarana, serta data dan informasi penataan ruang secara komprehensif. Hal krusial untuk menjamin efektivitas BKPRD adalah komitmen Kepala Daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD-nya masing-masing untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD. Dalam hal ini Sekretariat BKPRD mempunyai peran penting untuk menyusun program kerja BKPRD dan kebutuhan anggarannya untuk selanjutnya diintegrasikan dengan rencana pembangunan daerah baik untuk rencana pembangunan jangka pendek (tahunan) maupun rencana pembangunan jangka menengah. Gambar 2 Mekanisme Konsolidasi Isu-Isu Strategis Penataan Ruang MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS PENATAAN RUANG BUPATI / WALIKOTA 12 3 4a 4b 5 6 RekomendasiR ekomendasi Input/masukan Input/masukan GUBERNUR Agenda BKPRN Provinsi Raker BKPRN Isu Strategis Program Kerja Raker Regional BKPRN Rakernas BKPRN Tindak Lanjut Kementerian/ Lembaga Agenda BKPRN Kab/Kota Raker Regional BKPRN
  • 6. 4 buletin tata ruang & pertanahan Lembaga Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan forum koordinasi penataan ruang yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 2/2009 sebagai pengembangan dari forum sebelumnya yang bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional yang dikenal dengan sebutan Tim Tata Ruang pada Tahun 19891 yang kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) pada Tahun 19932 yang kemudian diubah keanggotaannya pada Tahun 20003. Komposisi keanggotaan BKPRN ini bertahan sampai dengan Tahun 20094 (Abdul Kamarzuki (AK)). Tujuan utama Tim Tata Ruang, BKTRN dan BKPRN adalah untuk melaksanakan pembangunan nasional secara terkoordinasi dan menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan pembangunan. Dampak akhir yang diharapkan adalah sinerginya penggunaan ruang oleh berbagai sektor (Herry Darwanto (HD)). Pada saat yang sama, di pusat, BKTRN berfungsi untuk koordinasi lintas sektor dalam penggunaan ruang, di daerah, BKPRD melaksanakan fungsi yang sama untuk mengkoordinasikan pemanfaatan ruang lintas SKPD (Herman Haeruman (HH)). Anggota Tim Tata Ruang,yang ditetapkan pada Tahun 1989, beranggotakan Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri/Sekretaris Negara, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Seluruh anggota Tim Tata Ruang memiliki akses untuk merencanakan penggunaan ruang, namun tidak secara langsung menggunakan ruang. Resolusi konflik diantara pengguna ruang dapat dilakukan dengan mudah karena independensi Tim Tata Ruang ini sehingga penyelesaiannya adil dan tidak memihak. Pada saat itu pembangunan wilayah dilaksanakan antarsektor berdasarkan fungsi ruang (HH). Pada Tahun 1993, keanggotaan Tim Tata Ruang ditambah oleh Menteri Pertahanan dan Menteri Pekerjaan Umum. Namanya diubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Pada masa 1993-1997, penataan ruang dimulai dengan pembangunan infrastruktur sampai dengan selesainya PP No. 47/1997 tentang RTRWN. Setelah itu, penataan ruang kembali menjadi acuan utama pengembangan wilayah (HH). Pada Tahun 2000, BKTRN dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri. Anggota BKTRN pada saat itu adalah Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional selaku Sekretaris BKTRN. Pada masa tersebut penataan ruang dan pembangunan infrastruktur kembali bergabung pelaksanaannya di Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Namun demikian perizinan dan pembangunan di lapangan harus dikoordinasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena hanya BPN yang memiliki hubungan langsung dengan pelaksana kegiatan. Pada saat itu, dana yang cukup besar untuk penataan ruang dialokasikan ke BPN untuk penyusunan peta dasar, kemudian pada Bakosurtanal (saat ini BIG) berperan dalam pembuatan informasi spasial (peta). Kedua badan ini, BPN dan Bakosurtanal, yang menjadi motor informasi dalam penyelenggaraan tata ruang (HH). Pada Tahun 2007, UU No. 26/2007 ditetapkan untuk mengganti UU No. 24/1992. Seiring dengan perubahan UUPR, BKTRN berubah menjadi BKPRN5 dan menambah anggotanya dengan menteri pengguna ruang: Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan (AK). Peran Peran penting yang dilaksanakan oleh BKPRN adalah menetapkan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu a r t i k e l Menjelang 25 tahun BKPRN (1989-2013): kontribusi dan tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, pernah menjabat Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Kementerian PPN/ Bappenas Dr. Herry Darwanto, pernah menjabat Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Kementerian PPN/ Bappenas Dr. Abdul Kamarzuki, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Perjalanan BKPRN selama 25 tahun ini telah menemui berbagai tantangan dan kendala. Banyak permasalahan yang berhasil ditangani, banyak pula pihak yang tidak dapat menerima penyelesaian masalah yang direkomendasikan. Untuk mendapatkan gambaran peran optimal BKPRN, kami melakukan wawancara dengan tiga tokoh penting yang selama ini berperan aktif di BKPRN, baik di era sentralisasi, dalam peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi dan di masa otonomi daerah sudah berjalan. Ketiga tokoh tersebut adalah Prof Dr Herman Haeruman (pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas/Sekretaris BKTRN), Dr Ir Herry Darwanto, MSc (pernah menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Direktur Penataan Ruang, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Bappenas) dan Dr Ir Abdul Kamarzuki, MPM (sekarang menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Menko Perekonomian/Sekretaris Pokja 4 BKPRN). 1 Keppres 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 2 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. 3 Keppres 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 4 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. 5 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
  • 7. buletin tata ruang & pertanahan 5 dengan pendekatan kewilayahan. Selain itu, BKPRN berperan penting untuk untuk koordinasi perumusan kebijakan dan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola ruang serta untuk melaksanakan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang (HD). Di awal pembentukannya, Tim Tata Ruang berperan penting untuk membatasi penggunaan kawasan lindung. Kawasan lindung adalah kawasan yang memiliki fungsi perlindungan daerah diluarnya, se-perti hulu sungai, sempadan sungai, sempadan danau dan pantai. Kawasan ini tidak harus dijadikan milik negara, tapi dibutuhkan etika membangun. Kawasan lindung yang di dalamnya terdapat kampung adat seharusnya memiliki perlindungan terhadap lereng gunung. Masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi bagian penting pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan tersebut dipegang teguh oleh pemerintah pusat dan diacu oleh pemerintah daerah (HH). Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pendekatan yang berbeda dilakukan untuk pengembangan kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang menguntungkan banyak orang secara ekonomi. Namun demikian, pengguaan dan manfaat langsungnya ‘tidak boleh dipertandingkan dengan kawasan lindung’. Target penting yang harus dihasilkan dari kawasan ini adalah output regionalnya. Perubahan fungsi kawasan budidaya boleh dilakukan, tapi dilakukan pengawasan oleh daerah (HH). BKTRN dulu begitu kuatnya, seperti contoh kasus di Sumatera Barat. Gubernur mengajukan pembangunan jalan dari pantai menuju gunung menembus taman nasional dengan tujuan untuk membuka akses bagi masyarakat pengunungan. Namun setelah dikaji, biayanya terlalu besar, kemudian BKTRN dan daerah berdiskusi, akhirnya diputuskan bahwa jika ingin tetap membangun, jalan dibuat melingkar dan agar tidak terlihat jauh orang dibuat berkeliling tempat-tempat yang berkembang disepanjang jalan tersebut, bisa tempat makan, wisata, dan lainnya sehingga memunculkan regional outputnya. Hal yang sama terjadi juga untuk pembangunan Jalan Ladiagalaska yang direncanakan melintas TN Leuser (HH). Perbedaan signifikan atas peran BKPRN sangat terasa setelah perubahan UUPR dari UU No. 24/1992 menjadi UU No. 26/2007. Beberapa contoh diantaranya seperti menurunnya konsep perlindungan kawasan lindung dan konsep dana kompensasi kawasan lindung. Daerah dengan kawasan lindung mendapatkan dana kompensasi sehingga tidak perlu mencari pendapatan dengan mengkonversi kawasan hutannya. Seperti kasus di kabupaten sebelah barat Aceh yang memiliki 60 persen lebih kawasan lindung, artinya daerah mendapat dana kompensasi untuk perannya memelihara kawasan hutan tersebut (HH). Kinerja Kesepakatan dalam forum BKTRN bermuara pada penetapan peraturan perundangan. Dengan mengandalkan Tim Pelaksana, BKPRN telah menyelesaikan PP dan Perpres yang diamanatkan oleh UU No. 26/2007 kecuali RPP tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Selain itu, BKPRN, melalui Tim Pelaksana, telah mengkoordinasikan berbagai kementerian/ lembaga anggotanya, untuk mempercepat proses pembahasan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berikut mendorong penetapannya oleh pemerintah daerah. Kelembagaan Sampai dengan saat ini, BKPRN adalah lembaga ad-hoc. Seluruh rekomendasi dan persetujuan teknis yang dihasilkan BKPRN bersifat saran ataupun arahan bagi pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Saran atau arahan tersebut akan memiliki legitimasi jika telah diakomodir dalam bentuk produk hukum (PP, Perpres, dan Perda) (AK). Beberapa pendapat menyatakan bahwa, bentuk ad-hoc ini tidak efektif untuk melaksanakan penataan ruang dan dibutuhkan kementerian/lembaga khusus yang dapat mengkoordinasikan seluruh proses penataan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor dan pemerintahan pada saat yang sama. Pendapat ini menjadi salah satu pemikiran yang mendorong forum BKPRN menjadi lembaga yang lebih permanen. Kekurangan yang sangat menonjol adalah lembaga permanen ini kemungkinan besar tidak dapat menangani konflik pemanfaatan ruang apabila berdiri sebagai bagian yang terpisah sama sekali dari kementerian atau lembaga pengguna ruang lainnya, menjadi sektor tata ruang, menghilangkan sifat koordinasi. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah upaya reformasi birokasi,yang sedang dijalankan saa ini, mengarah pada perampingan dan efisiensi birokrasi, sehingga pembentukan badan baru menjadi langkah yang tidak strategis (AK). Tim Pelaksana BKPRN diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum. Secara teknis, melalui Tim Pelaksana, forum BKTRN berfungsi untuk memberikan pendapat (rekomendasi) yang merupakan kesepakatan serta persetujuan teknis bagi dalam proses penyiapan produk-produk tata ruang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Daerah (Perda Kab/Kota) (AK). Rekomendasi dari forum BKPRN ini merupakan acuan atau terjemahan lebih detail dari substansi Peraturan Perundang-undangan yang ada agar dapat mendukung kebijakan pemanfaatan ruang. Sejak BKPRN memiliki Tim Pelaksana6, rapat koordinasi tingkat menteri tidak sepenuhnya efektif digunakan untuk pengambilan keputusan dan resolusi konflik antarsektor. Padahal, konflik-konflik utama muncul karena kewenangan beberapa kementerian yang sangat tinggi untuk mengatur penggunaan ruang nasional. Konflik tersebut hanya dapat diselesaikan melalui Sidang BKPRN, mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang berada di tangan para menteri. Konsep Konsep penataan ruang yang pertama kali disusun saat Tim Tata Ruang dibentuk adalah, rencana tata ruang (RTR) secara makro harus melalui persetujuan BKTRN dan sektoral/daerah boleh mengajukan usulan, tapi perlu dilengkapi dengan kajian khusus dampak lingkungannya. Setelah disetujui BKTRN, daerah hanya melakukan pengawasan. Kewenangan BKTRN sangat kuat, terlihat dari kemampuan BKTRN menghentikan pembangunan yang dilakukan oleh pejabat daerah di berbagai kawasan penting. Kewenangan ini diperkuat karena masa pemerintahan masih bersifat sentral sehingga Bupati tunduk pada aturan. Kewenangan ini menjadi penting karena memudahkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang (HH). Peran Pemerintah yang 6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: “(1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.”
  • 8. 6 buletin tata ruang & pertanahan kuat saat itu, Bupati wajib melaporkan segala bentuk perizinan ke BKTRN sehingga BKTRN memiliki informasi aktual dari daerah. Pada saat yang sama, koordinasi bukan masalah besar dalam penyelenggaraan penataan ruang karena sejak awal, pengalokasian fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan Sistem Informasi Geospasial. Namun memang yang menjadi kendala adalah skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Untuk mengatasinya, Kementerian Kehutanan dibawah koordinasi BKTRN memiliki badan planologi kehutanan (UPT) antar kabupaten. Mereka melakukan koordinasi dengan BPN, BPN berperan memetakan tata guna tanah. BPN dan kehutanan bekerja sama ketika sebagian kawasan hutan akan diubah untuk mengakomodasi pembangunan, hutan dilepas dan BPN mengambil alih proses tata guna lahan. Saat itu BKTRN fokus pada menjaga fungsi utama ruang: kawasan lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, secara desain, fokus antara RTRWN, RTRWP dan RTRWK dibuat berbeda. RTRWN yang bersifat makro bertujuan untuk mempertahankan fungsi kawasan agar tidak berubah dalam jangka waktu 25 tahun. Sementara itu, RTRWK yang bersifat lebih dinamis dengan skala peta yang lebih besar berfungsi dalam proses pemberian izin penggunaan ruang. Karena itu, jangka waktu RTRWK didesain lebih pendek, hanya 10 tahun untuk mengatasi dinamika penggunaan ruang di lapangan. Logika yang sama digunakan dalam penyusunan RPJPN dan RPJMN. RPJMN menjabarkan RPJPN namun juga harus dapat mengatasi dinamika tahunan. Dengan menggunakan logika yang sama, RTRWN pada saat itu berupa visi yang dijabarkan dalam progam dan kegiatan di dalam RTRWK. Saat ini, perlu didorong agar RTRW didesain untuk memberikan masukan kebijakan spasial bagi rencana pembangunan yang bersifat deskriptif. Apabila dipergunakan, maka RTRW dapat memberikan kepastian lokasi berjangka panjang bagi para pelaku pembangunan. Kepastian ini dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fungsi RTRW yang tetap harus dipertahankan adalah perlindungan kepada fungsi ekosistem dan memberikan kesempatan kepada pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang bersifat jangka panjang serta melindungi tujuan pembangunan nasional dari kepentingan jangka pendek sektoral dan daerah. RTRW harus dapat cukup fleksibel memberi kesempatan pada perkembangan teknologi modern untuk pemanfaatan fungsi ruang untuk mengakomodasi pembangunan yang tidak terbatas. Dalam konsep ini, daerah boleh melakukan perencanaan, tapi hanya di kawasan budidaya, sedangkan kawasan lindung bersifat given karena ada di RTRWN. Indonesia harus belajar dari Amerika, dimana mereka memiliki daerah khusus yang dipertahankan kawasan lindungnya yang juga memberikan pendapatan daerah terbesar (HH). Setelah konsep ecoregion diperkenalkan untuk menghubungan konsep penataan ruang dengan pelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan, Pemda dituntut lebih cakap untuk mengenali karakter wilayahnya (ekologi & ekonomi). Setelah seluruh isunya ditemukenali, Pemda menyusun interaksi antara kawasan dan melakukan KLHS untuk rencana yang sedang disusun (HH). Hubungan antara berbagai bidang ilmu harus benar-benar terjaga dalam penataan ruang karena pada dasarnya penataan ruang adalah bagian dari landscape architecture yang mengkombinasikan tiga keilmuan, yakni lingkungan (ecogeografi), planologi, dan design engineering, yang membentuk keterpaduan wilayah. Saat ini, ketidakpaduan terletak pada masalah pemahaman dan ego sektoral yang kuat sehingga aturan yang ditetapkan setelah era desentraliasi berbeda-beda. Tata ruang ini seharusnya berperan membangun sektor-sektor yang lebih luas sehingga peningkatan perekonomian wilayah dapat terwujud (HH). Permasalahan Cukup banyak permasalahan yang dihadapi BKPRN di masa desentralisasi ini, masalah utama yang diangkat para narasumber adalah: (1) kurangnya koordinasi yang berakibat pada perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan, banyaknya aturan sektoral yang tidak serasi, selain itu, SOP koordinasi di dalam BKPRN belum didefinisikan dengan baik; (2) rendahnya kualitas rencana yang salah satunya disebabkan oleh belum memadainya sistem informasi spasial yang memadai; dan (3) pemanfaatan ruang yang belum optimal (HH, HD, AK). Koordinasi Kelemahan koordinasi antar sektor dimulai dengan perbedaan pemahanan atas sektor lain yang bermuara pada tidak serasinya peraturan sektoral. Dalam peraturan sektoral, kepentingan setiap sektor dituangkan ke dalam berbagai peraturan dalam berbagai bentuk, UU, PP, Perpres dan Keppres (AK). Perbedaan pemahaman antarpemangku kepentingan semakin memperlemah koordinasi yang belum tercipta dengan baik. Baik koordinasi antarsektor dan antarlevel pemerintahan (AK). Selain itu, prosedur harmonisasi peraturan dan koordinasi pelaksanaan penataan ruang belum dilakukan dengan baik (AK), BKPRN tidak dapat memaksa instansi terkait untuk mengimplementasikan tata ruang (HD).Koordinasi antar sektor menyebabkan beberapa RTRW Provinsi/Kabupaten/ Kota yang telah selesai disusun tidak dapat segera ditetapkan. Prosedur resolusi konflik yang ada di dalam BKPRN tidak mampu mengubah keputusan salah satu sektor yang menjadi anggota BKPRN (HH). Lemahnya koordinasi ini berakibat cukup besar dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan yang muncul adalah terlalu banyak kewenangan di satu daerah atau tidak ada yang berwenang sama sekali di daerah lainnya. Kondisi tersebut menimbulkan konflik antarpelaku pembangunan. Contohnya adalah kurangnya informasi di lapangan bahwa suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Masyarakat yang seumur hidupnya berada di kawasan tersebut akhirnya membangun rumah, atau mendirikan bangunan sesuai dengan keperluannya. Contoh lainnya adalah informasi tersedia yang menunjukkan bahwa suatu kawasan tidak boleh ada pembangunan karena statusnya sebagai kawasan lindung, namun tidak ada upaya yang serius untuk menegakkan peraturan itu. Pengendalian yang tidak efektif karena tidak ada yang merasa berwenang menyebabkan tumbuhnya permukiman di sepanjang sempadan sungai di kota-kota besar (HD). Kualitas rencana Rendahnya kualitas rencana tata ruang sebagian besar disebabkan oleh informasi geospasial yang tersedia belum memadai untuk menyusun rencana yang paripurna. Sejak awal, pengalokasian fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan GIS. Namun skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Saat itu teknologi satelit belum ada sehingga untuk peta skala besar sangat mahal, tapi sekarang sudah ada teknologinya jadi seharusnya tata ruang dilengkapi peta skala 1:10.000, bukan hanya untuk implementasi rencana, tapi juga pengendalian. Rencana yang baik hanya bisa terwujud apabila kita mampu mengejar ketertinggalan dalam penyediaan informasi geospasial ini (HH). Belum lagi pengertian ‘rencana hirarkis’ yang belum cukup baik
  • 9. buletin tata ruang & pertanahan 7 dimengerti sehingga pemerintah daerah cenderung mencontoh RTR yang dibuat pemerintah lebih tinggi. Pemerintah daerah gamang untuk membuat RTR yang berbeda, karena khawatir tidak mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat. Permasalahan yang timbul di kemudian hari adalah kemiripan rencana tata ruang yang disahkan oleh berbagai daerah (HD). Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Setelah rencana selesai disusun, langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Masalah yang paling banyak timbul adalah pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan terutama daerah resapan air yang akan berpengaruh pada kawasan di bawahnya perlu dikendalikan dengan baik karena dampaknya sangat luas. Namun demikian, pengendalian pemanfaatan ruang tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan puncak yang terlihat tidak serius dan tidak berhasil secara signifikan. Perpres tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur telah ditetapkan begitu pula Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berada di Jabodetabekjur, namun outcome dari peraturan itu tidak terlihat, dengan kata yang lugas, tidak ada pengaruhnya apa-apa (HD). Di tingkat nasional dan daerah, sudah cukup banyak kegiatan yang dilakukan dan telah didukung alokasi dana yang cukup besar seperti: undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; lembaga BKPRN dan BKPRD yang mengkoordinasikan kebijakan dan pelaksanaan penataan ruang; rencana tata ruang mulai dari skala nasional, pulau, provinsi hingga kabupaten/kota. Namun, berbagai permasalahan muncul justru setelah rencana ditetapkan, semakin terlihat bahwa pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan dengan konsisten (HH). Alternatif penyelesaian masalah Koordinasi Untuk mengatasi ketiga permasalahan di atas, alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya koordinasi adalah penyamaan persepsi di dalam forum BKPRN sebelum menyelesaian masalah koordinasi di daerah (AK). Prakondisi yang dibutuhkan adalah menyepakati prinsip penataan ruang di dalam BKPRN, caranya adalah dengan membangun idealisme dari masing-masing bidang keilmuan yang membentuk BKPRN dan konsensus yang telah dibangun, dengan tetap memperhatikan kondisi saat ini (HH). Harapan di masa yang akan datang, keteraturan, kepastian penggunaan ruang perlu menjadi prioritas utama yang dikoordinasikan oleh BKPRN dengan pertimbangan bahwa jumlah ruang tetap sementara jumlah penduduk akan terus bertambah (HH). Untuk koordinasi di daerah, Bappeda perlu menjadi ujung tombak penggerak BKPRD. Koordinasi tidak dapat diserahkan kepada sektor karena pengambilan keputusan terutama untuk penyelesaian konflik tidak akan berimbang (HH). Catatan penting untuk kondisi lembaga saat ini adalah bentuk BKTRN/D yang menyatukan kelompok independen yg tak terikat dengan pembangunan ruang dengan kelompok pemakai ruang, maka kesepakatan ad-hoc itu banyak masalah perbedaan kepentingan, maka diperlukan suatu independen group di luar BKTRN/D untuk membantu mencapai keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan daerah, antara kepentingan sektoral dengan kepentingan nasional/ regional, dan kepentingan pemeliharaan cadangan ruang yang harus dipelihara untuk masa depan ketika iptek dan social perception mampu menanggapi berbagai konflik (HH). Perencanaan Untuk mengatasi masalah perencanaan, pemerintah pusat perlu mengubah paradigma dari menyusun rencana tata ruang dari skala nasional hingga skala rinci tingkat lokal secara hirarkis, menjadi mengamankan kawasan strategis untuk kepentingan nasional saat ini dan untuk pembangunan berkelanjutan, dan mendukung, persisnya memberikan bantuan dana kepada daerah, untuk mengerjakan penataan ruang sesuai konsep yang disusun daerah. Pemerintah daerah perlu mewujudkan tata ruang yang nyaman, memberi penekanan pada pembuatan taman-taman dan RTH, pembuangan sampah, perbaikan gorong-gorong, pembenahan kampung padat, pembuatan paving,penyediaan air bersih.Orientasi penataan ruang yang semula menekankan konsep atau rencana dan berskala makro, diubah menjadi bersifat konkrit dan mikro, tentu dengan perspektif jangka panjang(HD) sesuai dengan yang telah tercantum secara makro di dalam RTRWN (HH). Pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penataan ruang perlu dikaji lebih detail lagi. Contoh kawasan yang perlu diatur pusat adalah kawasan cagar budaya, hutan lindung, suaka margasatwa; kemudian kawasan untuk keperluan pertahanan negara, seperti kawasan peluncuran roket, kawasan latihan perang. Kawasan-kawasan ini harus ditetapkan batas-batasnya dan kemudian dikelola oleh lembaga pusat tertentu. Dengan mengingat tragedy of the commons, yaitu kalau suatu kawasan menjadi milik bersama atau tidak jelas siapa yang memilikinya, maka setiap orang akan mengeksploitasi kawasan itu sehabis-habisnya. Pemda menata kawasan di luar kawasan-kawasan strategis nasional ini. Kemudian beri kepercayaan kepada daerah untuk mengatur sendiri penggunaan ruang wilayah itu. Daerah-daerah pada mulanya mungkin kesulitan membuat rencana tata ruangnya, namun lama kelamaan akan mampu membuat RTR sendiri. Banyak contoh dari dalam dan luar negeri mengenai rencana tata ruang yang baik dan dapat dicontoh.Tidak perlu ada pedoman penyusunan RTR yang harus ditaati secara ketat oleh daerah (HD). Perencanaan tetap perlu, tetapi jangan menunggu harus semua selesai. Misalnya jangan menunggu sampai rencana rinci ditetapkan DPRD dan disahkan Provinsi, baru kemudian melakukan implementasinya. Itu akan memakan waktu lama. Kerjakan saja dulu yang dapat dilakukan dan jelas bermanfaat. Masyarakat sudah menunggu hasil konkrit, hulu penundaan biasanya adalah pemikiran birokratis dan penyusunan konsep rencana yang sulit diimplementasikan. Misalnya, untuk bisa menghasilkan rencana detil tata ruang diperlukan peta dasar yang berskala besar. Menghasikan peta ini untuk seluruh wilayah kota bisa memakan waktu bebeberapa tahun. Jadi gunakan saja informasi yang ada untuk membuat kebijakan, mana daerah yang tidak boleh digunakan sebagai kawasan permukiman, dan mana yang boleh. Jadi rencana penataan ruang tetap perlu ada, namun jangan terganggu oleh prosedur yang birokratis.Bila masyarakat melihat hasil yang nyata, pasti akan diapresiasi dan di-bela jika dimejahijaukan karena menabrak peraturan perundangan. Di sini diperlukan kebijakan seorang kepala daerah. Juga jangan kuatir kebijakan itu akan diubah oleh kepala daerah berikutnya. Masyarakat akan mengawasi dan mencegah kebijakan yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang benar (HD). Kemudian dari sisi substansi, RTR yang dibutuhkan untuk pengendalian ruang kabupaten/kota adalah rencana tata ruang yang rinci, dengan skala peta yang besar.Jika belum ada peta dasarnya, perlu dibuat ketentuan yang jelas, sehingga tidak
  • 10. 8 buletin tata ruang & pertanahan disalahtafsirkan. Ingat, bangsa kita punya kemampuan menyusun rencana tata kota sejak berabad-abad yang lalu dengan bukti adanya candi Borobudur, kota Trowulan yang menjadi ibukota kerajaan Majapahit. Kalau saat ini kita belum melihat banyak RTR yang kualitasnya baik, penyebab utamanya adalah belum ada kesungguhan untuk mengusahakannya (HD). Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang Untuk pemanfaatan ruang, BKPRN perlu mengubah orientasinya dari perencanaan menjadi pelaksanaan, dari “merencanakan” menjadi “mewujudkan”. BKPRN perlu menggunakan kapasitas yang dimilikinya untuk membantu pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan tata ruang yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Kementerian Kehutanan dapat mencontoh Jarum Foundation menanam pohon trembesi di sepanjang jalan Pantura, misalnya dengan melakukan hal sama di jalur Jawa Selatan serta di pulau-pulau lain. Kementerian Pekerjaan Umum membantu pemerintah kota membangun RTH. Kementerian Lingkungan Hidup membantu pemda mendaur ulang sampah. Kementerian Perumahan Rakyat membantu pemerintah kabupaten/kota membangun prasarana lingkungan permukiman. Begitu pula halnya dengan kementerian/ lembaga lainnya terutama anggota BKPRN, melakukan hal yang sama sesuai kewenangan masing-masing, tetapi dengan tujuan yang jelas dan sesuai kebutuhan daerah. Daerah jangan lagi didorong untuk menyelesaikan perda RTRWnya saja, tetapi dibantu langsung untuk mewujudkan tata ruang seperti yang diharapkan oleh masyarakat. BKPRN juga perlu melibatkan swasta untuk mengerjakan hal yang sama secara terkoordinasi. Lembaga-lembaga internasional pasti akan bersedia jika diajak menata kota secara konkrit, karena dampak ekonomi dan sosialnya yang besar (HD). Apabila kemudian muncul pertanyaan tentang masalah kewenangan yang dilangkahi karena skema tersebut di atas, jawabannya adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada membuat pemda tidak mempunyai cukup anggaran untuk melakukan semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara memadai. Jadi pemerintah pusat perlu ikut terjun membantu pemda. Lebih baik lagi bila kenaikan penerimaan pemerintah pusat setiap tahun ditransfer kepada pemda melalui mekanisme DAK untuk mengisi tata ruang yang direncanakan pemda. Namun, langkah ini memerlukan persetujuan DPR yang mungkin sulit diwujudkan dalam waktu dekat.Yang dapat dilakukan saat ini adalah kerjasama antara kementerian/lembaga anggota BKPRN menggunakan anggaran yang ada untuk membantu kota-kota besar dan kecil mewujudkan tata ruang yang lebih berkualitas (HD). Contoh-contoh pelaksanaan dapat diambil dari yang telah dikerjakan oleh pemerintah daerah yang visioner dan telah terbukti berhasil dalam penataan ruang. Salah satunya adalah Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah berhasil menghadirkan tata ruang yang nyaman, indah, bersih, lancar, teratur dan inklusif, serta atribut lain yang seperti itu, yang saya yakin juga sama dengan yang diamanatkan oleh UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang yang efektif di Kota Surabaya dapat dinikmati oleh masyarakat warga kota dan diapresiasi oleh pengunjung dari luar. Yang ditata di Kota Surabaya bukan hanya kawasan di pusat kota seperti umumnya di banyak kota lain, namun hingga ke kampung-kampung. Terasa ada tangan-tangan pemerintah kota yang mengatur lingkungan permukiman penduduk, termasuk sarana MCK, saluran pembuangan, sarana pedestrian dan taman lingkungan. Hasil akhir yang bisa dinikmati oleh warga dan pengunjung adalah kebersihan, keindahan dan kelancaran lalulintas di pusat Kota Surabaya tidak kalah dengan kota-kota lain di negara maju. Ini adalah wujud penataan ruang yang kita harapkan ada di kota-kota seluruh Indonesia. Sekali lagi kinerja upaya penataan ruang tidak dilihat dari peraturan dan rencana tata ruang yang dihasilkan, namun dari wujud tata ruang yang dapat dinikmati oleh penduduk (HD) [ma/gp]. Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi 1 No. AD E B B1 B2 C C1 C2 Provinsi Status Penyelesaian RTRW yang Belum Perda 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 NAD Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Papua Jumlah Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat 15 15 15 15 13 13 5 Proses Revisi Proses Persetujuan Substansi B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan Memperoleh Persetujuan Substansi C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan Pembahasan DPRD Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri A B C D E A D
  • 11. buletin tata ruang & pertanahan 9 Profil Direktur TRP Oswar Mungkasa profil Sudah lebih dari 20 tahun beliau berkecimpung di dunia pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil. Karirnya dimulai pada 1992 sebagai staf perencana di Biro Pengembangan Regional I, Bappenas. Dan sejak 2002, selama delapan tahun, beliau menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas. Pengalaman dan lamanya karir yang digeluti di Bidang Perumahan dan Permukiman mengantarkan beliau sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat. Selama menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan, beliau juga menjadi pelaksana harian dari Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang merupakan wadah koordinasi instansi pemerintah yang terkait dengan pembangunan AMPL (Bappenas, Kemenkeu, KemenPU, Kemenkes, Kemendagri, Kemendiknas, KemenLH), dan LSM Internasional yaitu Plan Internasional Indonesia. Beberapa proyek yang juga sukses beliau pimpin, adalah Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA) yang merupakan proyek kerjasama pemerintah dengan Australia (AusAID) dalam pembenahan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat di Indonesia, dan Water and Environmental Sanitation (WES) Unicef yang merupakan kerjasama pemerintah dan Unicef dalam penyediaan air minum dan sanitasi di Indonesia Timur pada 31 kabupaten/kota yang dananya berasal dari hibah Belanda dan Swedia. Saat ini, selain menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, beliau juga aktif sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Penyehatan Lingkungan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) periode 2010-2014. Hobi menulis, beliau realisasikan melalui tulisan-tulisan yang dibuat di berbagai media, seperti majalah, koran, dan lainnya. Sudah banyak media tulisan yang beliau ciptakan, seperti Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Anak ‘Percik Yunior’ dan Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman ‘Inforum’. Hingga saat ini, beliau masih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Perumahan, Infrastruktur, dan Perkotaan ‘HUDmagz’- LP P3I; Anggota Tim Editor Bidang Perumahan dan Permukiman Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia-IPLBI dan Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ‘Percik’; dan Anggota Dewan Redaksi Majalah Perencanaan Pembangunan-Bappenas [gp]. Senin, 16 September 2013, Bapak Oswar Mungkasa yang sering disapa ‘Pak Os’ dilantik oleh Menteri PPN/ Bappenas, sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Kementerian PPN/Bappenas menggantikan Bapak Deddy Koespramoedyo (Alm). Lahir di Makassar, 26 Juli 1963, dengan nama Oswar Muadzin Mungkasa adalah doktor lulusan ekonomi publik (Universitas Indonesia); master perencanaan wilayah dan kota (Univesitas Pittsburgh); serta insinyur (Institut Teknologi Bandung. Ayah dari Fachriey Fadhlullah Mungkasa ini, dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, dan supel. Gambar 1 Dr. Oswar Mungkasa, MURP (kanan) bersama Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA – Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah (kiri) www.facebook.com/trp.bappenas tahukah anda Knowledge Management (Pengelolaan Pengetahuan) adalah: • Suatu disiplin ilmu yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi untuk identifikasi, pengelolaan dan distribusi aset informasi yang dimiliki suatu organisasi. • Salah satu metode peningkatan produktivitas dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di dalam organisasi secara optimal serta menggali potensi yang dimiliki oleh anggota organisasi agar mereka dapat meningkatkan kreativitas dan berinovasi untuk meningkatkan produktivitas suatu organisasi secara keseluruhan. Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. ac.id/2011/10/02/knowledge-management/
  • 12. 10 buletin tata ruang & pertanahan dalam berita: Juli-Desember 2013 September Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengungkap fakta baru dalam kasus dugaan tindak pidana pelanggaran izin pengelolaan lahan di areal kawasan tambang PT Isco Polman Resources di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Humas Kejati Sulsel, Nur Alim Rachim, Badan Pertanahan setempat tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan tambang dikawasan hutang lindung itu. Mantan Kasipidum Kejari Parepare ini menambahkan, fakta baru ditemukan penyidik setelah kejaksaan melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Polewali Mandar. (Tribun Timur, 20 September 2013) Masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi Badan Pertanahan Nasional (BPN RI) dalam carut marut pertanahan negeri ini. Namun, menurut Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI,masih ada perbedaan persepsi sejauhmana peran BPN RI dalam bidang pertanahan. Jika melihat Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa tanah untuk kesejahteraan rakyat, berarti kewenangan BPN RI dalam pertanahan sangat luas, ternyata tidak. Dari sisi peraturan sendiri BPN RI tidak cukup kuat untuk mendesak Kementerian lain untuk segera menyelesaikan kasus pertanahan diantara mereka, paling bisa menghimbau saja. Dalam soal urusan sengketa pertanahan yang melibatkan masyarakat, kewenangan versi BPN RI sendiri, mendamaikan, menginventaris data, melihat duduk persoalannya dan ekspose perkara. BPN RI kewenangannya terbatas dalam menyelesaikan sengketa. BPN bukan peradilan yang memutus ini benar ini salah. Jadi lebih kepada mendamaikan para pihak, bisa diselesaikan secara musyawarah, dan mengeluarkan rekomendasi buat para pihak yang bersengketa. Namun, jika para pihak tidak mau menerima rekomendasi itu, akan dilanjutkan ke pengadilan. Maka pilihan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanahan adalah seperti mengubah BPN RI yang saat ini hanya setingkat Kementerian menjadi Kementerian, UU Pertanahan, atau membentuk peradilan khusus pertanahan. (Suaraagraria, 30 September 2013) Oktober Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bakal menggratiskan sertifikasi tanah di wilayah Jawa Barat bagi rakyat tidak mampu.Hal ini sesuai dengan permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Penggratisan biaya juga termasuk pengurusan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Program gratis sertifikasi tanah hanya ditujukan bagi rakyat yang tidak mampu. Untuk kategori mampu dan tidak mampu, Heryawan menyatakan akan memakai data Badan Pusat Statistik (BPS). Mengenai pelaksanaannya, Aher tidak mengetahui apakah akan menggunakan subsidi daerah atau tidak. Namun, ia mengatakan bisa saja menggunakan subsidi daerah jika diperlukan. (Kompas, 8 Oktober 2013) Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami masih terhambat persoalan ganti rugi tanah. Keberadaan jalan tol ini diharapkan mampu mengurangi kemacetan di kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dalam prosesnya, terlihat adanya upaya yang menghambat pembangunan tol JORR W2, terlebih untuk menentukan harga tanah.Sugiyanto, pengamat Ibu Kota, juga menyesalkan sikap warga Petukangan Selatan yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.“Masa mintanya sampai Rp18 juta per meter persegi, padahal negara sudah menawar hingga Rp6 juta. Lebih baik kasih pengadilan saja,” ujarnya. Proyek pembangunan JORR-W2 ruas Kebon Jeruk-Ulujami diperkirakan menelan dana investasi senilai Rp2,2 triliun. Dengan adanya tol ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di tol dalam kota, karena warga pengguna lalu lintas dari arah Bogor ataupun Cibubur menuju Bandara Soekarno-Hatta tidak perlu lagi melewati tol dalam kota ruas Cawang-Tomang. Diperkirakan akan ada 90.000 kendaraan per hari yang melewati JORR-W2. (Metrotvnews, 23 Oktober 2013) Menjelang akhir tahun 2013, berita media cetak seputar tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan berita mengenai permasalahan pertanahan di berbagai daerah. Kisruh kebijakan dan administrasi Pertanahan Nasional dianggap sebagai akar terkendalanya pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami dan konflik yang terjadi di Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi Bengkulu. Selain itu juga terdapat berita terkait kewenangan BPN yang terbatas untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanahan. Sedangkan untuk tata ruang, melesetnya pencapaian target Perda RTRW di tahun 2013 mendorong Presiden untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tetang percepatan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah. Selain itu, kejadian tumpang tindih fungsi lahan di lapangan, mewajibkan Jakarta metropolitan memiliki zonasi laut di teluk Jakarta. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan. tahukah anda Sejarah Tata Ruang di Indonesia Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia mulai disusun ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara intensif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama tercatat adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003.
  • 13. buletin tata ruang & pertanahan 11 Layaknya sistem tata ruang didarat, dengan adanya zonasi laut, maka pemerintah daerah dapat mengetahui mana saja wilayah laut yang dapat dibangun sebagai wilayah industri atau untuk wilayah perikanan, sehingga tata ruang di laut akan tertata dengan baik, tidak ada lagi tumpang tindih. Untuk pengaturan zonasi laut di teluk Jakarta, menurutnya sangat dibutuhkan karena Jakarta selain metropolitan, ekonominya tertinggi di antara yang lainnya, sehingga DKI punya kepentingan besar untuk atur tata ruang kelautan. Ditargetkan, pengaturan zonasi laut Jakarta akan dilakukan pada tahun depan, 2014. Sementara itu, Jokowi menambahkan, zonasi di laut Jakarta akan disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta. “Di bawah laut itu kan ada kabel, pipa gas, semuanya harus menyesuaikan dengan zonasi itu, karena sudah pembagian yang jelas,” kata Jokowi. (Liputan6, 29 Oktober 2013) Kurang dari 50 persen pemerintah kabupaten atau kota belum mengeluarkan peraturan daerah mengenai tata ruang. Akibatnya, banyak proyek pembangunan seperti perumahan melanggar tata ruang. Enggannya pemda mengeluarkan aturan soal tata ruangdikarenakan permasalahan pergantian kepala daerah.Oleh karena itu, September kemarin Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) percepatan peratuan daerah tentang tata ruang. Tata ruang ini penting karena bicara grand desain di lapangan termasuk masalah konversi lahan pertanian. Konversi lahan dilegalkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, misalnya, di utara dan di selatan Karawang. Sedangkan Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Dadang Rukmana menilai, pengalihan konversi lahan pertanian itu diperbolehkan asal sesuai dengan aturan, tapi jika konversi tidak sesuai peruntukannya itu tidak diperbolehkan.Jika ada yang melanggar tata ruang, semisal konversi bukan peruntukannya, maka pelanggarnya akan mendapatkan sanksi administratif dari pemda setempat. Sanksinya berupa teguran, pembatalan izin, penyegelan dan lainnya. Jika pelanggarannya berat di mana mengakibatkan kerugian harta benda, maka sanksinya berupa pidana.(Tempo, 30 Oktober 2013) November Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY bersama Teknik Geodesi UGM dan Bank Dunia membuat pemetaan kolaboratif zona terlarang Merapi. Pemetaan ini merupakan perpaduan dari berbagai peta rawan bencana yang dibuat sejumlah pihak sebelumnya. Peta kolaboratif ini menghasilkan peta dengan skala 1:2.000, yang artinya setiap rumah dan lahan milik warga di daerah rawan bencana akan terlihat dengan jelas. Nantinya akan tersusun rencana detil tata ruang (RDTR) guna melengkapi Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Peta ini akan berisi zona-zona kawasan terlarang untuk pemukiman dan rekomendasi pemanfaatan lahan di dalamnya. Peta ini dibuat dengan memadukan data citra foto udara pemetaan LIDAR dari BNPB, data kawasan rawan bencana dan data area terdampak langsung dari BPPTKG, lokasi sabo dam dari BBWS, dokumen digital rencana detil tata ruang dari Dinas PU ESDM DIY, data batas dusun dan batas desa dari Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Sleman, data hunian tetap dalam kawasan dari PMT Rekompak dan batas bidang tanah dari BPN. (Harianjogja, 1 November 2013) Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pemerintah daerah untuk segera menyusun perda rencana zonasi kawasan konservasi perairan. Selain itu, melarang izin reklamasi sebelum terbit perda rencana zonasi. Penetapan zonasi kawasan bertujuan mengalokasikan ruang perairan secara berkeadilan sesuai ekosistem, berkelanjutan ekologi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan wilayah masyarakat adat dan nelayan tradisional. Dari 319 kabupaten/kota di wilayah pesisir, tercatat baru 9 kabupaten/ kota yang punya perda rencana zonasi. Adapun 60 kabupaten/ kota masih dalam proses penyusunan. Sementera itu, beberapa kota besar sudah mengeluarkan izin reklamasi, belum memiliki perda rencana zonasi, yakni Jakarta, Surabaya dan Semarang. Prioritas penyusunan perda rencana zonasi adalah kawasan strategis nasional, kabupaten/kota dengan pemanfaatan tinggi terhadap pesisir, kelautan dan perikanan dan wilayah perbatasan. Untuk mendukung penyusunan perda zonasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang menyusun revisi peraturan menteri tentang rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan. (Kompas, 22 November 2013) Workshop Roadmap Advokasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang diselenggarakan oleh Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) digelar untuk mengkritisi dan mengadvokasi Rancangan Qanun RTRW Aceh yang pada akhir tahun ini akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh itu menghasilkan beberapa Gambar 1 Zona Terlarang Merapi tahukah anda Sejarah Tata Ruang di Indonesia Peraturan tata ruang sejak abad ke-20 sudah mengatur tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003. Gambar 2 Teluk Jakarta
  • 14. 12 buletin tata ruang & pertanahan rekomendasi. Diantaranya, (1)mendorong lahirnya pasal tentang penyesuaian aktivitas ekonomi dalam kawasan ekologis yang tidak mengganggu fungsi lindung; (2) memberikan arahan terhadap pemanfaatan ruang dengan prinsip kearifan lokal, RTRW Aceh memerintahkan pengelolaan wilayah DAS diatur kembali dalam qanun kabupaten/kota dengan prinsip kearifan lokal; (3) melakukan cross-check data dengan lembaga-lembga yang memiliki data kebencanaan, baik Peta sensitifitas lahan, peta konflik satwa dan peta koridor satwa; (4) melakukan kajian akademis terkait harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah yang berhubungan dengan RTRW Aceh, baik kajian konsideran maupun kajian mendalam, dll. Rekomendasi-rekomendasi ini nantinya akan disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang saat ini sedangmenggodok Qanun RTRW Aceh.(Atjehlink, 22 November 2013) Para pengembang properti mengeluhkan soal beberapa kendala pembangunan rumah murah di Indonesia. Sedikitnya ada 3(tiga) masalah utama yang menyulitkan pengembang properti membangun rumah murah: (1) perizinan, izin lokasi yang berbiaya tinggi dan waktu perizinan yang tidak jelas. (2) sertipikasi tanah, pengembang mengeluhkan soal beban biaya perizinan dan sertifikat tanah masih tinggi yang sangat memberatkan dunia usaha. (3) Pajak, pengembang meminta agar pemerintah khususnya Kementerian Keuangan memberikan insentif bagi para pelaku usaha. Besaran insentif pajak yang diberikan pemerintah berpengaruh terhadap harga jual rumah terutama bagi MBR. Pemberian insentif pajak juga bisa diberikan kepada pelaku usaha agar harga rumah bisa disesuaikan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah. (detikfinance, 25 November 2013) Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Setyo Maharso mengeluh atas mahalnya pemberian izin lokasi untuk pembangunan pemukiman dan pembebasan biaya perumahan sederhana tapak (landed house) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setyo juga meminta otoritas pertanahan tersebut menindak aparatnya yang tidak mendukung proses penerbitan sertifikat untuk perumahan bagi masyarakat kelas tersebut. Selain itu, dia juga berharap RUU Pertanahan segera diselesaikan untuk mengatasi ketidakpastian hukum atas kepemilikan tanah yang telah diterbitkan BPN. Menurutnya, kepastian hukum dengan RUU Pertanahan tersebut seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal dalam RUU Pertanahan untuk menjamin kepastian bagi investor dan masyarakat.”Hal tersebut sesuai pasal 28 ayat 1 UUD 1945, di mana setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta bedanya,” pungkas Setyo.( Sindonews, 25 November 2013) Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan, ucap Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/ Juru Bicara BPN RI.“Nantinya dalam peradilan khusus itu hakim-hakimnya diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang pertanahan, filosofi teori-teori latar belakang keluarnya suatu peraturan,” ujar Toha. Sayangnya, wacana pembentukan peradilan pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif. Ide lahirnya peradilan pertanahan karena banyak kasus pertanahan tidak selesai-selesai. Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan yang merupakan bagian dari peradilan umum, ad-hoc. Kemudian prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA. Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis. (Suaraagraria, 28 November 2013) Desember Tidak kurang dari 20 orang petani warga Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi Bengkulu, berjuang mengambil alih ladang, yang sejak 1984 “dicaplok” oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Proses perjuangan berkepanjangan memasuki 38 tahun, mereka tetap kukuh memperjuangkan haknya. Setidaknya, secara adat, kawasan tersebut dimiliki oleh 14 kepuyangan (leluhur) yang telah beranak pinak.“Memang saat itu kami tidak mengerti sertifikat, namun kami memiliki bukti tanam tumbuh dan beberapa surat dari pasirah,” tambah Nahadin, salah satu petani. Mulanya, Bupati menekankan tanah yang boleh digarap BUMN itu adalah padang ilalang dan hutan yang tidak digarap warga. Saat itu syarat disanggupi oleh BUMN, namun pada perkembangan berikutnya, BUMN justru mencaplok semua tanah milik warga setidaknya ada 518 hektar lahan diambil secara paksa dan kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri. Puncak pertikaian antara perusahaan dan warga terjadi pada 2010 tidak kurang dari 18 warga dijebloskan ke penjara selama 3 bulan 20 hari hanya karena menuntut agar tanah mereka dikembalikan. Hingga pada pertengahan tahun 2013, BUMN yang saat ini menguasai hampir 1.600 hektare tanah masyarakat itu diminta oleh pemerintah setempat melakukan ukur ulang.Jika perkebunan BUMN itu lebih dari 518 hektare, maka kelebihannya wajib dikembalikan kepada petani yang kehilangan tanah. (Kompas, 1 Desember 2013) [ias] Gambar 3 Aksi unjuk rasa petani tahukah anda Sejarah Tata Ruang di Indonesia Pengembangan perencanaan kota di Indonesia dipicu oleh persoalan pembentukan kota pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam, pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota secara menyeluruh. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Departemen permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, DepartemenPermukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003.
  • 15. buletin tata ruang & pertanahan 13 “Pemberdayaan Kota Hijau”, dan tahun lalu, 2012, bertema “Kota Hijau, Hidup Lebih Baik”. Tema tahun ini, “Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik” bertujuan untuk menjelaskan urgensi penyelenggaraan penataan ruang yang holistik dari suatu proses penataan kawasan hulu dan menjaga kawasan hilir sebagai satu kesatuan wilayah. Perencanaan secara terpadu ini adalah solusi untuk mengintegrasikan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi sumberdaya air untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan. Peringatan Haritaru diselenggarakan setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran setiap pemangku kepentingan akan pentingnya penataan ruang sebagai elemen penting pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap upaya perwujudan ruang Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan [gp]. Peringatan Haritaru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Penetapan tanggalnya diadopsi dari peringatan World Town Planning Day (WTPD) yang diperingati di 35 negara di seluruh dunia. Puncak peringatan Hari Tata Ruang (Haritaru) dilaksanakan pada 8 November 2013. Tahun ini tema yang diusung adalah Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik. Tema ini diangkat dengan kesadaran bahwa saat ini intensitas bencana yang terus meningkat, terutama banjir, merupakan salah satu dampak dari penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air yang kurang tepat. Pemikiran tentang penataan ruang di Indonesia dirintis pada awal abad XX sejak ditetapkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang mengakhiri administrasi pusat yang berkuasa di Batavia. Pemikiran-pemikiran tersebut terus berkembang, hingga pada 1948 perencanaan tata ruang mulai diselenggarakan melalui penetapan Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvormingsordonantie) yang mengatur tentang ketentuan penataan kembali kota-kota yang mengalami kerusakan akibat Perang Dunia ke-2. Dan pada awal tahun 1970-an, digagas RUU Bina Kota yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. UU ini kemudian diperbarui oleh UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi payung bagi upaya pengembangan wilayah dan perkotaan yang lebih baik di Indonesia. Haritaru telah diselenggarakan lima kali, dengan tema umum “Planning for All” yang dilengkapi dengan tema khusus setiap tahunnya. Tema khusus pada tahun 2008 adalah “Perencanaan untuk Semua”, kemudian di tahun 2009 bertema “Perencanaan Ruang Hijau”, tahun 2010 “Kotaku Hijau”, tahun 2011 Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2013 “Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup Lebih Baik” Gambar 1 Pasar Terapung di Banjarmasin Gambar 2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional Arti logo Haritaru • Warna biru menjelaskan dominasi air pada permukaan bumi, termasuk 2/3 wilayah Negara Indonesia. • Simbol Bumi menjelaskan tujuan akhir dari program Harmoni Ruang dan Alam. • Pohon mewakili fungsi ekologi. • Manusia mewakili fungsi sosial. • Bangunan mewakili fungsi ekonomi. • Siklus air menjelaskan penyelenggaraan penataan ruang harus mampu mengintegrasikan fungsi sosial, ekologi, dan ekonomi.
  • 16. buletin tata ruang & pertanahan 14 ar t i kel Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Berdasarkan UUPR, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui: (1) penetapan peraturan zonasi, (2) perizinan, (3) pemberian insentif dan disinsentif, serta (4) pengenaan sanksi. Instrumen pengendalian berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif merupakan instrumen yang sifatnya untuk pencegahan pelanggaran, sedangkan pengenaan sanksi merupakan instrumen untuk penindakan pelanggaran. Permasalahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Saat ini, setelah 6 tahun diterbitkannya UUPR, sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang, dari perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang. Namun implementasi pengendalian pemanfaatan ruang ini menemui berbagai macam permasalahan. Persoalan pertama dalam implementasi pengendalian adalah belum seluruh daerah memiliki perda RTRW dan Rencana Rinci, padahal dokumen perencanaan tersebut adalah dasar untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang; sampai dengan awal bulan Oktober 2013, tercatat baru 16 provinsi, 247 kabupaten, dan 65 kota yang telah memiliki perda RTRW. Berdasarkan UUPR pasal 22 ayat 2 huruf e, RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.Arahan perizinan pemanfaatan ruang yang terkandung dalam RTRW provinsi merupakan acuan untuk perizinan pemanfaatan ruang, baik di wilayah provinsi maupun kawasan strategis provinsi. Sedangkan RTRW Kab/Kota menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi (Pasal 26 ayat 2 huruf e UUPR) dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan di Kab/Kota (Pasal 26 ayat 3). RTRW kabupaten/kota menjadi dasar untuk penerbitan izin prinsip, izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, IMB, dan izin lainnya. Dalam hal kabupaten/kota yang bersangkutan sudah memiliki rencana detail tata ruang kabupaten/kota maka dasar penerbitan izin di atas adalah rencana detail tata ruang kabupaten/kota. Peraturan zonasi, sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi kabupaten/kota disusun sebagai kelengkapan RTRW kabupaten/ kota, dan merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota. Namun sampai saat ini belum ada pemerintah daerah yang mengatur dengan rinci mengenai pengendalian pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan daerah. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW (provinsi/kabupaten/ kota) masih bersifat normatif dan perlu dirinci lagi sehingga dapat lebih implementatif. Dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang tersebut, dan juga di setiap tahapan penataan ruang, perlu dukungan sistem informasi yang berkaitan dengan dinamika pemanfaatan ruang di lapangan. Namun kondisi di daerah saat ini adalah tidak tersedianya sistem informasi tata ruang yang lengkap. Keterbatasan data/ informasi, dokumen, peta RTRWdan kondisi di lapangan seringkali menyulitkan upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal pengawasan penataan ruang, PP No. 15/2010 menyebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan ruang dengan menyampaikan hasil pengawasan melalui sarana yang disediakan oleh Pemerintah/ pemerintah daerah.Terkait dengan peran masyarakat dalam penataan ruang, kurangnya partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangmenjadi permasalahan lain yang dihadapi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat dan/atau organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang ada masih belum berpartisipasi dalam penataan ruang, meskipun bentuk dan tata cara partisipasi masyarakat dalam penataan ruang ini telah diatur dalam PP No. 68/2010. Berbagai permasalahan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang sangat erat kaitannya dengan isu efektivitas kelembagaan dalam pengendalian penataan ruang. Aspek Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, yang diselenggarakan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Saat ini, banyak rencana tata ruang yang telah disusun sesuai dengan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, pemanfaatan ruang yang merupakan tahap mewujudkan rencana tata ruang tersebut perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengenaan Sanksi PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang Penetapan Peraturan Zonasi Perizinan Rencana Rinci Tata Ruang Izin Pemanfaatan Ruang tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTR dan peraturan zonasi penggantian/ ganti kerugian yang layak batal demi hukum dapat dibatalkan Pemberian Insentif & Disinsentif Ps. 36 ayat (1) Ps. 36 ayat (2) Ps. 37 ayat (1) Ps. 37 ayat (6) Ps. 37 ayat (3) Ps. 37 ayat (4) Ps. 1 angka 15 Ps. 35 Ps. 36 ayat (3) PP untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional Perda Provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi Perda kabupaten/kota untuk peraturan zonasi Gambar 1 Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang
  • 17. buletin tata ruang & pertanahan 15 kelembagaan merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan kewenangan dalam penataan ruang. Sejalan penerapan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya. Berdasarkan PP No. 38/2007, penataan ruang merupakan urusan pemerintahan yang bersifat kongruen yang dibagi bersama antar pemerintahan. Agar dapat menciptakan tertib ruang sesuai dengan rencana tata ruang, maka pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan secara terpadu yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan otoritasnya. Jika melihat struktur organisasi terkait penataan ruang di pusat dan daerah, banyak lembaga/ instansi struktural yang berkepentingan dalam penataan ruang, baik di pusat maupun di daerah, namun perbedaan struktur organisasi pemerintah daerah menyebabkan terjadinya perbedaan level (eselonering) unit organisasi yang berwenang melakukan pengendalian pemanfaatan ruang. Kurangnya koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang yang berakibat pada rendahnya keterpaduan pemanfaatan ruang, mengingat penataan ruang merupakan urusan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Mengingat implementasi pengendalian penataan ruang ini melibatkan berbagai lembaga/instansi yang ada, maka penguatan kelembagaan dilakukan dengan meningkatkan kemampuan lembaga dalam melakukan koordinasi dengan lembaga lain. Dalam pelaksanaan koordinasi, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan koordinasi. Faktor yang berperan penting dalam pelaksanaan koordinasi adalah aktor yang terlibat dalam koordinasi tersebut. Aktor beserta institusinya memiliki tujuan dan prioritas yang terkadang menimbulkan konflik dengan tujuan dan prioritas aktor/institusi lain, atau dengan tujuan dan prioritas suatu sistem secara keseluruhan. Aktor-aktor yang memiliki kekuasaan tersebut dapat memanfaatkan diskresi yang dimilikinya dalam pengambilan keputusan, sehingga diperlukan suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikan berbagai aktor dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang, telah dibentuk BKPRN (melalui Keppres No. 4/2009) dan BKPRD (melalui Permendagri No. 50/2009) yang merupakan badan bersifat ad-hoc di pusat dan daerah.Sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya, BKPRD memiliki fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur/Bupati/Walikota dalam koordinasi penataan ruang yang meliputi koordinasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang, peran BKPRD dirasakan belum optimal meskipun dalam Permendagri No. 50/2009 sudah disebutkan tugas BKPRD dalam koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi: a. Mengkoordinasikan penetapan arahan peraturan zonasi sistem provinsi/penetapan peraturan zonasi sistem kabupaten/kota; b. Memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang provinsi dan kabupaten/kota; c. Melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan penetapan insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang provinsi dan/ atau lintas provinsi serta lintas kabupaten/kota; d. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan penataan ruang; e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang; f. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang; dan g. Melakukan evaluasi atas kinerja pelaksanaan penataan ruang kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, dalam struktur BKPRD terdapat Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian yang mempunyai tugas: a. Memberikan masukan kepada Ketua BKPRD dalam rangka perumusan kebijakan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota; b. Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; c. Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; d. Melakukanfasilitasi pelaksanaan pelaporan terhadap penegakkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; e. Melakukan fasilitasi pelaksanaan perizinan pemanfaatan ruang; f. Melakukan fasilitasi pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang; dan g. Menginventarisasi dan mengkaji permasalahan dalam peman-faatan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta memberikan alternatif pemecahannya untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD. Dari gambaran mengenai kewenangan yang dimiliki oleh BKPRD tersebut, dalam dilihat bahwa BKPRD memiliki peran yang sangat penting dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, baik yang bersifat pencegahan pelanggaran pemanfaatan ruang maupun yang bersifat penertiban pelanggaran.Jika mengacu pada efektifnya peran BKPRD dalam proses perencanaan tata ruang, maka diperlukan pedoman yang lebih teknis terkait mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang. Upaya Peningkatan Kelembagaan Pengendalian Penataan Ruang Keberhasilan suatu kegiatan yang melibatkan peran serta banyak pihak mensyaratkan suatu bentuk pengaturan yang jelas agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas koordinasi pengendalian penataan ruang ini diperlukan perangkat sebagai acuan pelaksanaan pengendalian. Sesuai dengan amanat UUPR, dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman Bidang Penataan Ruang. Dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang, Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum perlu menyediakan NSPK yang akan menjadi acuan bagi daerah dalam pembuatan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. tahukah anda Knowledge Management (KM) memiliki fungsi penting dalam hal: a) Identifikasi aset kunci dari knowledge yang ada di dalam perusahaan; b) Merefleksikan apa yang organisasi diketahui; c) Saling berbagi (sharing) segala knowledge kepada siapapun yang membutuhkannya; d) Menerapkan penggunaan knowledge untuk meningkatkan kinerja organisasi. Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb. ac.id/2011/10/02/knowledge-management/
  • 18. 16 buletin tata ruang & pertanahan NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang yang telah ada sampai saat ini adalah Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang ditetapkan melalui Permen PU No. 20/2011. Sedangkan NSPK lain yang masih dalam proses penyusunan atau legalisasi antara lain: 1. Pedoman Kriteria Zona, Sub Zona, dan Blok dalam Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, dengan muatan mengenai ketentuan umum klasifikasi zona, sub zona, dan blok serta ketentuan teknis pengaturan zona, sub zona, dan blok; 2. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perkotaan, dengan muatan mengenai kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang serta tata cara pengendalian pemanfaatan ruang; 3. Pedoman tentang Bentuk dan Tata Cara Pemberian Insentif dan Disinsentif Penataan Ruang, dengan muatan mengenai bentuk dan perangkat, persyaratan, serta mekanisme pemberian insentif dan disinsentif; 4. Pedoman Perizinan Pemanfaatan Ruang, dengan muatan mengenai jenis perizinan pemanfaatan ruang, klasifikasi kegiatan pemanfaatan ruang, serta proses dan prosedur (penyelenggara perizinan, prosedur perizinan, dan prosedur pengaduan); 5. Pedoman Kriteria dan Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif, dengan muatan mengenai kriteria, unsur pelanggaran, dan jenis sanksi serta tata cara pengenaan sanksi administratif; 6. Pedoman Pengawasan Penataan Ruang Provinsi dan Kabupaten /Kota, dengan muatan mengenai tata cara pengawasan teknis, tata cara pengawasan khusus, serta kelembagaan dan peran masyarakat. Sedangkan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang, Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU melakukan peningkatan peran PPNS Penataan Ruang yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Sesuai dengan UUPR, PPNS Penataan Ruang memiliki kewenangan untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; d. Melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan Gambar 2 Skema Tugas dan Fungsi PPNS Penataan Ruang TUGAS DAN FUNGSI PPNS PENATAAN RUANG PENYIDIKAN TNDAK PIDANA PENATAAN RUANG PENYIDIK POLRI TUGAS PENEGAKAN HUKUM BIDANG PENATAAN RUANG FUNGSI Koordinasi PPNS Penataan Ruang 1Kasus Pembangunan Industri Pengolahan Baja di Kawasan Situs Majapahit, Kecamatan Trowulan dapat dilihat pada Kotak Kasus f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang. Berdasarkan data dari Sekretariat Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU, terdapat 31 provinsi (dari total 33 provinsi), 103 kabupaten (dari total 399 kabupaten), dan 32 kota (dari total 94 kota) yang telah memiliki PPNS Penataan Ruang. Kebutuhan ideal PPNS sampai dengan tahun 2015 adalah setiap kabupaten/ kota memiliki 3 orang PPNS dan 2 orang atasan PPNS. Tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang untuk memenuhi kebutuhan ideal jumlah PPNS antara lain adalah pengendalian pemanfaatan ruang belum menjadi prioritas dalam penataan ruang daerah karena Pemerintah Daerah masih fokus pada penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengendalian yang belum menjadi prioritas di daerah dan pelanggaran penataan ruang yang masih dianggap hal yang biasa dan mudah ditolerir berdampak pada belum dirasakannya kebutuhan terhadap keberadaan PPNS Penataan Ruang di daerah. Hal lain yang menjadi tantangan dalam pembentukan PPNS Penataan Ruang di daerah adalah pemerintah daerah memandang PPNS sebagai beban dan ancaman terhadap pejabat pemberi izin. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah ideal PPNS Penataan Ruang, Perekrutan dan pendidikan PPNS Penataan Ruang dilakukan setiap tahun melalui Diklat 200 JP dan Diklat 400 JP. Dari perekrutan dan pendidikan PPNS yang rutin diselenggarakan oleh Setditjen Penataan Ruang Kementerian PU, telah terjadi peningkatan jumlah PPNS Penataan Ruang, dari semula 26 PPNS pada tahun 2009 menjadi 514 PPNS pada tahun 2013.Selain itu, perlu juga diberikan pemahaman tentang pentingnya peran PPNS, tidak hanya dalam proses penertiban pelanggaran penataan ruang, tetapi dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagai upaya pencegahan (preventif) agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu bentuk pelaksanaan tugas PPNS Penataan Ruang dalam rangka pengendalian penataan ruang adalah menindaklanjuti pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang yang disampaikan oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU telah memfasilitasi sarana pengaduan masyarakat sehingga masyarakat diminta berperan aktif mengadukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang terjadi di sekitarnya melalui berbagai media yang telah disediakan. Tahapan penanganan terhadap pengaduan pelanggaran pemanfaatan ruang tersebut adalah: 1. Pencatatan registrasi oleh Sekretariat PPNS; 2. Pemeriksaan Data dan Informasi; 3. Pengajuan Tindak Lanjut Pulbaket; 4. Melakukan Pulbaket; 5. Rekomendasi Pulbaket; 6. Gelar Perkara dan Perintah Penyidikan (Sprindik dan SPDP); 7. Penyidikan; 8. Tindak Lanjut Penyidikan (BAP), penyampaian ke Kejaksaan melalui Penyidik POLRI. Sampai dengan bulan Oktober 2013, Sekretariat PPNS Ditjen Penataan Ruang telah menerima 17 pengaduan yang saat ini sedang ditindaklanjuti oleh PPNS di Ditjen Penataan Ruang.Salah satu dari pengaduan tersebut seperti pembangunan industri pengolahan baja di kawasan situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto1.
  • 19. buletin tata ruang & pertanahan 17 Penyusunan NSPK terkait pengendalian pemanfaatan ruang dan peningkatan peran PPNS Penataan Ruang merupakan sebagian dari skenario pengendalian pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU mulai tahun 2014 melalui Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R). Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran yang hendak dicapai program ini adalah: 1. Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien; 2. Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 3. Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 4. Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 5. Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Program ini dimaksudkan agar pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang mempunyai arah dalam meningkatkan kinerja pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat maupun di daerah. Dalam P5R ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat berpartisipasi aktif guna mewujudkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang sinergis, efektif, dan efisien.Dan dengan dukungan semua pihak serta penegakan hukum yang konsisten, maka tertib tata ruang guna mencapai tujuan penataan ruang dapat diwujudkan. Gambar 5 Kronologis Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Kecamatan Trowulan P5R Manajemen Pengawasan mecanism NSPK tools SDM Aparatur subject Kelemba-gaan organization POKMAS WASDAL community 1Kasus Pembangunan Industri di Kawasan Situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten Di Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Trowulan terdapat area situs yang letaknya cukup strategis karena dilalui jalan arteri primer nasional yang menghubungkan Surabaya-Yogyakarta. Berdasarkan Kepmendikbud Nomor 177/M/1998 tentang Penetapan Situs dan Benda Cagar Budaya di Wilayah Provinsi Jawa Timur, Kompleks Trowulan ini dinyatakan sebagai situs dan benda cagar budaya. Pada November 2012, Bupati Mojokerto memberikan izin pada PT. Manunggal Sejati Group untuk mendirikan Industri Pengolahan Baja di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Permasalahannya, wilayah berdirinya industri tersebut masih belum jelas statusnya, berada di dalam atau di luar Kompleks Trowulan. Oleh karena itu pada Juli 2013, Kemdikbud melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto mengajukan surat pada DPRD Kab. Mojokerto yang isinya menyatakan bahwa IMB atas rencana pendirian pabrik baja tidak benar karena Balai tidak pernah menerbitkan surat rekomendasi. Status terakhir, dinyatakan bahwa lokasi pabrik berada di luar kawasan pemeliharaan cagar budaya. Berikut, kronologi Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Desa Jatipasar Kecamatan Trowulan. Saat ini, kasus tersebut masih belum selesai diputuskan dan sedang dalam proses pemeriksaan oleh Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)-Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Berdasarkan hasil laporan sementara, Tim PPNS mengungkapkan bahwa apabila pembangunan pabrik tersebutditeruskan, maka akan terbuka sekitar 300- 400 lapangan pekerjaan baru yang akan meningkatkan PAD Kab. Mojokerto. Sedangkan dampak negatifnya adalah kelestarian situs tersebut terancam dan mungkin akan terjadi gugatan dari masyarakat sipil (Komunitas ‘Save Trowulan’) kepada Pemerintah. Dalam proses penyelesaiannya, kondisi dilematis terjadi karena adanya perbedaan substansi antara RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kab. Mojokerto terkait penetapan Kec. Trowulan sebagai kawasan cagar budaya. Sejauh ini, rekomendasi yang diajukan adalah merelokasi rencana pembangunan pabrik ke Kawasan Industri Ngoro dan segala konsekuensi dibicarakan lebih lanjut oleh Pemkab Mojokerto, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat. Kemudian area calon pabrik yang dibatalkan (3,4 Ha) dimiliki oleh Pemerintah, dan dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan Trowulan sebagai Kawasan Taman Majapahit. Gambar 4 Lokasi Pembangunan Industri Baja di Kawasan Situs Majapahit Gambar 5 Pro Kontra Pembangunan Pabrik Baja di Trowulan Gambar 3 Skema Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R)