SlideShare a Scribd company logo
1 of 26
1
DOMINASI MASKULIN DAN OPRESI NEGARA DALAM PROGRAM
KELUARGA BERENCANA
Nama : Nindita Farah Sasmaya
NIM : 117120100111002
Program Doktor Ilmu Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya 2011
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Pelaksanaan Keluarga Berencana (yang selanjutnya dalam essai ini akan
penulis singkat dengan KB) sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1957, akan tetapi
presiden pada saat itu, yakni Ir. Soekarno yang belum terlepas dari euforia
kemerdekaan, merasa yakin dan optimis dengan menyatakan bahwa Indonesia
mempunyai kekayaan alam yang cukup untuk menghidupi lebih dari 250 juta
penduduk. Mantan presiden Soekarno tidak memperkirakan bahwa penduduk
Indonesia akan melonjak melebihi 250 juta jiwa dalam tempo 10 tahun kemudian.1
Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang memfokuskan
pertumbuhan Indonesia pada pembangunan infrastruktur dan sarana pembangunan
serta modernisasi manusia Indonesia, maka perempuan yang dianggap sebagai salah
satu objek pembangunan dianggap sebagai sumber masalah bagi perkembangan
ekonomi modern. Akibat dari getolnya upaya untuk melaksanakan pembangunan
tersebut, maka ide KB menjadi tercetus dengan tujuan untuk membatasi kelahiran,
serta lebih membebaskan wanita untuk masuk ke sektor industri2 . Pada
pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan
program nasional besar. Pemerintahan Presiden Soeharto yang sangat concern
terhadap program KB, selanjutnya membentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencana
Nasional) pada tahun 1968. Badan ini sebenarnya merupakan tunas dari PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang telah dibentuk pada rezim
Soekarno. LKBN yang bernaung di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(Menko-Kesra). Dalam dua dasawarsa penerapan program KB di Indonesia, maka
tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3 kelahiran per perempuan, sementara
tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000.3 Ini dicatat
1 Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
Halaman 12.
2 Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. 1987. Halaman 12. Dalam Saiful Arif.
Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. HalamanXVII.
3 Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
www.duniaesai.com. 2011.
2
sebagai keberhasilan Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan
Indonesia dijadikan model teladan dari negara-negara berkembang. Angka-angka
demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target. Akan
tetapi, terdapat beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka
tersebut khususnya menyangkut hak reproduksi perempuan, seperti pengabaian
hubungan hak-hak reproduksi perempuan, yaitu KB berasumsi bahwa hasrat seks
laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan dilihat
sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
Dimasa awal tahap perkembangannya, maka metode kontrasepsi yang dipakai
untuk pelaksanaan KB ini menggunakan semacam penghalang yang dipasang di alat
vital perempuan. Percobaan KB pertama kalinya dipelopori oleh dr. Kun Martiono,
seorang ahli kandungan. Beliau memperkenalkan metode kontrasepsi sederhana,
berupa potongan kain kasa yang diujungnya dijahitkan dengan benang, yang
kemudian dicelupkan ke dalam minyak kelapa. Selanjutnya, sebelum pasangan suami
isteri berhubungan badan, maka kain kasa tersebut dibenamkan dalam-dalam ke
vagina isteri sehingga konon metode ini bisa dianggap untuk menghalangi
pembuahan. Setelah selesai berhubungan badan, maka kemudian kain kasa ini bisa
dilepas. Metode kontrasepsi ini selanjutnya menjadi cikal bakal diproduksinya
IUD/Spiral.4
Dalam pelaksanaan program KB, maka dapat dilihat bahwa kecenderungan
mayoritas akseptor adalah dari pihak perempuan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada
data akseptor KB aktif di Kota Malang Provinsi Jawa Timur yang didapat penulis dari
situs BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) sebagai berikut :
IUD/spiral sebanyak 25.9%, implan 5.2 %, suntik sebanyak 47.5%, penggunaan pil KB
sebanyak 13.3%, sedangkan satu-satunya alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi
pria adalah kondom, penggunanya hanya sebanyak 0.9%.5 Program KB selalu
menunjukkan indikasi serupa, bahkan secara nasional, yakni adanya ketimpangan
gender. Hal ini bisa disimpulkan dari metode kontrasepsi, nyaris semuanya
diperuntukkan perempuan, yang mengakibatkan pembatasan hak perempuan untuk
memilih alat kontrasepsi, di mana tidak lengkapnya informasi yang tersedia
mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metoda seperti IUD dan metoda
hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi
perempuan (selama beberapa tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang
untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid. Beberapa resiko
kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit
kepala, tidak banyak dibicarakan di Indonesia maupun negara-negara berkembang
4 Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam Pelaksanaan
Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University Press. 2009.
Halaman 1.
5 BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar Jenis
Kelamin. www.bkkbn.id. 2011.
3
lainnya. Cara kontrasepsi berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom)
tidak dimasukkan dalam penyuluhan terhadap calon akseptor; serta adanya
kecenderungan bukan merupakan alat kontrasepsi yang cenderung diprioritaskan
dalam program KB.
Akibat dari hal ini, maka perempuan tidak punya pilihan lain selain
menggunakan kontrasepsi KB, terlebih jika laki-laki yang merupakan pasangannya
keberatan. Ketentuan penggunaan kontrasepsi ini disebabkan karena secara kodrati,
perempuan harus menanggung beban reproduktif (hamil, melahirkan, dan menyusui),
sehingga mau tak mau dalam konteks program KB, mereka menjadi pihak yang tak
punya nilai tawar. Relasi timpang ini sesungguhnya didasari oleh ideologi tertentu
yang mempengaruhi cara pandang dan keyakinan pada pihak-pihak yang terlibat. Ada
hak dan kewajiban yang berbeda antara peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Status maupun peran perempuan yang dianggap lebih rendah daripada
laki-laki menjadikan perempuan rentan menerima kekerasan yang menimpa alat
reproduksinya. Keadaan ini sudah melanggar hak reproduksi perempuan yang
seharusnya dihormati, karena merupakan hak asasi setiap orang.6
Ironisnya, negara yang berkepentingan dalam menerapkan program KB seolah-
olah menyetujui ketimpangan gender dengan membidik akseptor berjenis kelamin
perempuan, bahkan banyak perempuan yang minim terhadap akses informasi
terhadap program KB, tidak mengetahui bahwa program KB sebenarnya juga bisa
diperuntukkan kepada laki-laki. Pada perempuan yang sebenarnya sudah mengetahui
informasi bahwa KB juga bisa diaplikasikan pada para kaum pria pun, kemudian
banyak yang menganggap bahwa KB adalah suatu konsekuensi yang harus ia tanggung
karena kodrat biologisnya sebagai seorang perempuan. Akibatnya, banyak perempuan
yang kemudian menanggung penderitaan akibat efek dari KB, contohnya kegemukan,
flek wajah, kram perut, menstruasi yang banyak dan berlangsung dalam waktu yang
lama, anemia, sampai pada akibat ia lupa meminum pil KB, maka ia mengalami
kehamilan yang sebenarnya belum atau tidak ia harapkan.
Berdasarkan paparan singkat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
perempuan hanya mendapat sedikit peluang untuk mengambil keputusan atas
keterlibatannya dalam mengikuti program KB, karena memang dalam tatanan sosial
dan budaya ia memang dikondisikan untuk selalu menerima semua keputusan yang
dibuat oleh pria. Selain itu, ditengarai ada semacam egoisme pria berkaitan dengan
program KB sehingga mereka seolah-olah enggan untuk mengikuti program KB dan
menganggap bahwa program tersebut merupakan tanggung jawab isteri sebagai
pelaku utama reproduksi. Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa 4
dari 6 jenis alat kontrasepsi diperuntukkan bagi perempuan. Hal ini menjadi semakin
kentara menunjukkan bahwa pelaksanaan program KB di Indonesia tidak sesuai
6 Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi.
www.scribd.com. 2003.
4
dengan apa yang diamanahkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadakan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tanggal 18 Desember 1979, yang pada waktu itu pemerintah Indonesia
ikut menandatanganinya. Adapun sebagai tindak lanjut dari Konvensi PBB tersebut,
maka dibuatlah Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sebagai ratifikasinya.7
Pada program keluarga berencana, perempuan harus diposisikan sebagai
subjek, dengan demikian hak-hak reproduksinya termasuk hak dalam pengambilan
keputusan harus dihargai. Dalam hal ini otoritas pengambilan keputusan masih
berada pada tangan suami. Salah satu indikasi dari lemahnya posisi perempuan
dimasyarakat adalah dari tingkat perlindungan terhadap perempuan dalam proses
reproduksi di Indonesia belum cukup.8 Keadaan ini menjelaskan bahwa dalam
masyarakat, maka perempuan telah didominasi secara halus oleh kekuatan-kekuatan
maskulin yang didukung juga oleh negara untuk mengikuti program KB. Dengan
demikian, keterlibatan perempuan dalam program KB ini bukan atas kehendak atau
kemauan pendapatnya sendiri secara otonom, namun dipengaruhi oleh suatu
dominasi maskulin yang bersenyawa dengan tatanan budaya patriarki dan patrilineal.
Dominasi ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika secara ideologis kebijakan negara
juga menggunakan metodologi program KB yang sadar gender, yang akan
memunculkan perumusan masalah sebagai berikut :
Mengapa dominasi maskulin bisa mempengaruhi ketidak kepedulian pada hak
reproduksi perempuan kaitannya terhadap program KB di Indonesia?
B. Kerangka Konsep
Dari pernyatan yang sering digunakan oleh penulis, maka dapat diturunkan
suatu konsep sebagai berikut:
1. Dominasi Maskulin
Sebuah konsep yang penulis pinjam dari istilah Pierre Bourdieu, yakni merujuk
pada suatu tatanan dalam masyarakat yang membuat perempuan memang secara
hirarkis berada di bawah posisi laki-laki. Dominasi maskulin ini juga merupakan
pemahaman bawah sadar androsentris yang bersemayam di alam pikiran kaum laki-
laki maupun kaum perempuan dalam suatu tatanan masyarakat.9 Lebih lanjut lagi,
dominasi maskulin ini sebenarnya merupakan kekerasan yang tak kasat mata dan
halus yang kemudian dipenetrasikan kepada kaum perempuan, namun perempuan
tersebut tidak menyadari; atau bahkan bangga dan menyetujui hal tersebut. Sebagai
contoh, seorang perempuan dipuji atas kefeminitasannya, dan perempuan tersebut
menyetujuinya, misalnya dalam suatu masyarakat konsep isteri yang baik adalah
7 Sukeni, Ni Nyoman. op.cit. 2009. Halaman9.
8 Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK Universitas
Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001. Halaman 125.
9 Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah Stephanus
Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
5
seorang isteri yang hanya tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, berbakti,
patuh, dan mampu menyenangkan suami karena pandai memasak, pandai berdandan,
dan pandai menata rumah. Sedangkan, seorang isteri dikatakan tidak terlalu baik jika,
bekerja hingga petang, tak bisa memasak, tak rajin membersihkan rumah, dan
sebagainya. Konstruksi masyarakat semacam ini membuat suatu konsep yang
mengagungkan perempuan feminin yang bekerja hanya sebatas sektor domestik
sebagai perempuan yang benar; sedangkan perempuan yang bekerja di sektor publik
serta tidak secara total mengurus rumah tangganya dikatakan sebagai perempuan
yang tidak benar. Hal inilah yang penulis maksud dengan konsep dominasi maskulin.
2. Konsep Perempuan
Perempuan dalam karya tulis ini adalah para perempuan yang mempunyai
suami yang menjadi akseptor pada program KB.
3. Konsep Program KB
Program KB dalam karya tulis ini adalah program yang diadakan oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka upaya pengendalian pertumbuhan penduduk
dengan cara mengatur fertilitas pada pasangan usia subur (PUS) dengan cara
menggunakan alat kontrasepsi penunjang program KB yang umum di Indonesia,
sebagai contoh: IUD/Spiral, Pil KB, Implant, kondom vaginal, suntik hormon, dan
tubektomi yang diperuntukkan bagi perempuan. Sedangkan alat kontrasepsi
penunjang KB yang diperuntukkan bagi laki-laki yaitu kondom, dan vasektomi.
4. Konsep Penghormatan Hak Reproduksi Perempuan
Penghormatan atas hak reproduksi perempuan sudah dibahas dalam berbagai
Konferensi Internasional, terutama yang berkaitan dengan kependudukan. Konferensi
kependudukan dunia yang berlangsung setiap 10 tahun ini pertama diselenggarakan
tahun 1954 di Roma, Italia dan terakhir diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tahun
1994.1 0 Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan
Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo sudah disepakati perihal hak-
hak reproduksi. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa terkandung empat hal pokok
dalam reproduksi wanita yaitu : Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and
sexual health), Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision
making), Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women),
Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security). Adapun
definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional
yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga
disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi
setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
10 Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam Diskursus
Kebijakan. Salah satu esai dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Diterbitkan untuk
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Halaman 305-315.
6
jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak
mereka.1 1 Posisi hasil dari konferensi Kairo dalam hal ini memberikan arahan bagi
para pembuat kebijaksanaan dan para perencana program. Dokumen ini
mempengaruhi berbagai usulan yang diusung dalam berbagai macam kebijakan
kependudukan yang digunakan dalam berbagai macam negara. Program KB tidak
hanya dianggap sebagai urusan individu ataupun pasangan, namun lebih dari itu;
menjadi urusan negara beserta para agen dan pihak yang terkait untuk melakukan
implementasi ke dalam tatanan masyarakat. Wacana kolektif tentang program KB ini
menimbulkan suatu sikap skeptis, di mana skeptisisme yang dihadapi adalah, bahwa
fungsi reproduksi yang berkaitan dengan fungsi mengandung dan melahirkan yang
dialami oleh perempuan akan tetap menjadi permasalahan sensitive yang ditimpakan
ke perempuan serta menjadi tanggung jawab perempuan itu sendiri, meskipun ia
dalam kehidupan berkeluarga juga bersama-sama dengan laki-laki. Wacana KB ini
bersifat unconscious dan bahkan dianggap wajar apabila perempuan yang seharusnya
menjalani program KB, sehingga kepentingan bangsa dan pembangunan dikatakan
berhasil jika perempuan terlibat di dalamnya. Salah satu bentuk partisipasi
perempuan diterjemahkan dengan partisipasi mereka menjadi peserta program KB.
C. Landasan Teori
Karya ilmiah ini menggunakan landasan teori sebagai berikut :
1. Teori Dominasi
Marx yang merupakan peletak dasar teori pertentangan kelas menandai bahwa
dalam tatanan sosial, maka akan selalu ada pihak yang berperan dominan atau
represif, serta ada pihak yang menjadi subordinat. Kapitalisme yang merupakan
sumber dari kekuatan untuk melakukan opresi terhadap perempuan tersebut,
mempunyai suatu hubungan yang rumit dengan patriarki, yang menyebabkan selama
kapitalisme itu masih ada maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang direpresi
oleh konstruksi budaya yang bersifat patriarki.
Sidanius dan Pratto menyatakan bahwa tidak setaranya hirarki social
berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai social (social value)
yang tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat (dalam hal ini kepada
perempuan), baik nilai social yang positif atau nilai social yang negative. Hasil dari
ketidaksetaraan distribusi social kemudian dimanfaatkan oleh ideology social,
keyakinan, mitos, serta doktrin religious tertentu sebagai alat pembenaran. Teori
dominasi social ini menjelaskan bahwa determinan awal dari segala bentuk dominasi
adalah berasal dari orientasi dominasi social. Orientasi dominasi social merupakan
11 Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo.
www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi.
7
derajat keinginan individu untuk mendukung hirarki social berdasarkan pada
kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior.1 2
Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin yang menulis bukunya
berdasarkan atas penelitiannya pada struktur pekerjaan atas opsi diferensiasi gender
pada masyarakat Qubail di Mediterania, menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada tiga
praktek yang digunakan dalam suatu tatanan masyarakat untuk memposisikan suatu
bidang pekerjaan kepada seorang perempuan. Prinsip pertama adalah, perempuan
dianggap cocok pada pekerjaan yang merupakan perpanjangan tangan dari bidang-
bidang domestic, misalnya pelayanan, pengajaran, serta pengasuhan. Kedua,
perempuan tidak boleh memiliki otoritas yang lebih kepada laki-laki, dan
menempatkan dirinya hanya sebagai asisten/ posisi tersubordinasi. Prinsip ketiga
adalah, dalam bidang pekerjaan, maka selalu ada kecenderungan dalam masyarakat
untuk memberikan bidang pekerjaan yang berkaitan dengan teknik dan mesin kepada
laki-laki. Pemikiran Bourdieu yang dimulai dari tatanan masyarakat Qubail
selanjutnya mendapat pembenaran, karena ternyata teori ini relevan dan berlaku di
banyak tatanan masyarakat. Bourdieu berasumsi bahwa dominasi maskulin ini
memang sifatnya sangat halus, tak kentara dan kasat mata, namun berhasil membuat
para perempuan yang didominasi ini menyetujui, dan bahkan bangga jika ia berhasil
didominasi oleh laki-laki, serta menganggap bahwa ini adalah bagian dari kodratnya
sebagai seorang perempuan.1 3
Konsep yang diketemukan oleh Pierre Bourdieu ini nyaris mirip dengan teori
hegemoni yang ditemukan oleh Antonio Gramsci. Gramsci menilai bahwa negara dan
masyarakat akan selalu berintegrasi, di mana negara tersebut akan menghasilkan
suatu produk yang dinamakan kebijakan. Kebijakan ini diimplementasikan ke
masyarakat dengan dua cara, yakni dengan pendekatan koersif atau pendekatan
kekerasan, yang dianggap melanggar nilai-nilai humanitas, namun masih saja
diterapkan dalam beberapa negara. Pendekatan kedua adalah, dengan cara yang
manusiawi, halus, melalui pendekatan etika, moral, serta intelektual. Pendekatan
inilah yang dimaksud Gramsci dengan pendekatan hegemoni, yakni suatu kondisi
dimana terjadi institusionalisasi kebijakan yang secara halus diterapkan kepada
masyarakat, namun tidak ada paksaan, yang ada hanyalah suatu consensus atau
kesepahaman.1 4 Dengan kata lain, syarat utama dari teori hegemoni ini adalah, tidak
adanya paksaan. Dalam kasus program KB maka penulis mencoba untuk menganalisis
permasalahan yang timbul, yakni masalah dominasi maskulin yang didalamnya
meliputi factor-faktor egoisme pria dalam mengikuti KB yang selanjutnya
mengakibatkan keengganan dalam mengikuti program tersebut, menimpakan
tanggung jawab reproduksi hanya ke perempuan, pengambilan keputusan yang
12 Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in Social
Dominance. 1999. Halaman 31-57. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss.
13 Bourdieu, Pierre. Op. Cit. Halaman 10-31
14 Sukeni, Ni Nyoman. Op. Cit. Halaman 14-15.
8
mayoritas didominasi oleh laki-laki, karena di Indonesia masih menganut budaya
patriarki, serta peran teknis dari Negara sebagai pembuat kebijakan di mana
penyediaan alat kontrasepsi dianggap timpang gender, yang ditandai dengan bukti
empirik di lapangan bahwa sebagian besar penyuluh KB memang membidik
perempuan untuk terlibat dalam program KB, serta sosialisasi yang dilakukan oleh
negara memang menempatkan perempuan sebagai objek dalam program KB.
2. Teori Feminisme Global
Para tokoh feminis global berfokus kepada hasil opresif dari kebijakan yang
timbul pada masa colonial dan nasionalis; di mana pemerintahan besar dan bisnis
besar membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai dunia pertama; yang terdiri
atas ranah negara-negara yang menganut paham kapitalisme dan liberal dan dunia
ketiga; yang terdiri dari ranah negara-negara yang berkembang. Di masa lampau,
ranah Dunia Kedua diisi oleh perserikatan negara-negara yang menganut paham
sosialis-komunis, di mana seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara
sosialis telah runtuh; sehingga yang tersisa sekarang hanyalah negara dunia kesatu
dan negara dunia ketiga.
Definisi feminisme menurut paham feminis global harus diperluas untuk
mencakup sesuatu yang mengopresi perempuan, baik berdasarkan ras ataupun kelas,
atau hasil dari imperialisme dan kolonialisme, feminis global menekankan bahwa
opresi terhadap perempuan di satu bagian dunia sering kali disebabkan oleh apa yang
terjadi di bagian dunia yang lain, dan tidak akan ada seorang perempuan yang bebas
hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan di mana pun juga.1 5
Adapun tujuan jangka panjang dari feminisme global adalah; bahwa perempuan harus
mempunyai hak untuk memilih, dan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sendiri
di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan
adalah esensial untuk memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap
perempuan. Kemudian penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan opresi dengan
menciptakan tatanan social dan ekonomi yang lebih adil, secara nasional dan
internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan di dalam perjuangan kebebasan
nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan
di tingkat local dan global.
3. Teori Pertumbuhan Penduduk
Sekitar 200 tahun yang lalu, Thomas Malthus mengajukan sebuah teori tentang
pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus
melukiskan suatu kecenderungan universal bahwasanya jumlah populasi di suatu
negara akan meningkat secara cepat pada deret ukur atau tingkat geometric (pelipat
gandaan dari 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya) setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal
itu diredam oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya
15 Tong, Rosemarie Putnam.Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Halaman 330.
9
proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang
jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat
menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (1, 2, 3 , 4, 5, dan seterusnya). Bahkan,
karena lahan yang dimiliki masyarakat semakin lama semakin sempit, maka
konstribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun.1 6
Intinya adalah Malthus memperkirakan dimasa-masa yang akan datang umat
manusia akan mengalami kekurangan pangan akibat semakin meledaknya jumlah
penduduk di dunia. Akan tetapi, banyak kalangan berpendapat bahwa teori pesimisme
Malthus banyak memiliki kelemahan, dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi.
Menurut Todaro, Malthus melupakan perhitungan tentang begitu besar dampak
kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber
dari ledakan pertambahan penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan
yang terbatas memang benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk
dibayangkan) memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan
kualitas atau produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap,
manusia bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi.
Malthus berkesimpulan bahwa cara yang lebih praktis adalah tetap berpegang
pada apa adanya: kebanyakan penduduk sesuatu yang tak bisa dihindari lagi dan
kemiskinan merupakan nasib yang daripadanya orang tidak mungkin bisa lolos. Ide
Malthus tersebut cukup membuat beberapa kalangan berpikir, karena sangat sulit
untuk mewujudkan solusi Malthus, maka ide penjarangan kelahiran dengan
kontrasepsi adalah menjadi alternatif yang cukup bermoral guna menjaga
ketersediaan pangan di masa yang akan datang.
Program KB yang merupakan suatu kebijakan yang merupakan manifestasi
dari teori Malthus (di mana Malthus sebenarnya sama sekali tidak mempunyai
gagasan untuk melakukan kontrasepsi karena ia adalah seorang pendeta Katolik yang
konservatif; yang menganggap kontrasepsi sama halnya dengan pembunuhan janin),
merupakan suatu produk solusi dari pengendalian penduduk yang paling masuk akal
ketimbang harus melewati peperangan, kelaparan, atau wabah penyakit yang
kesemuanya berpotensi mereduksi laju pertumbuhan penduduk namun harus
melewati suatu periode yang menyedihkan. Ide Malthus tentang pengendalian moral
yang dimaksud sebenarnya merujuk pada konsep menikah di usia yang cukup matang,
serta menjauhi seks bebas secara sukarela. Bagi pasangan yang telah menikah, maka
pengendalian frekuensi senggama merupakan konsep pengendalian diri yang paling
ideal, guna menjamin ketersediaan panganan untuk generasi mendatang.
Pemikiran Malthus tentang pembatasan frekuensi senggama bagi pasangan
yang telah menikah ini dianggap kurang masuk akal untuk dilaksanakan. Akan tetapi,
ide Malthus mendapat reaksi dari pembaharu Inggris berpengaruh, Francis Place
(1771-1854). Place yang membaca esai Malthus, menulis buku pada tahun 1822 yang
16 Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans.
10
berisi anjuran kesehatan bagi pasangan yang telah menikah untuk menggunakan
kontrasepsi. Dia juga membagi penjelasan tentang pembatasan kelahiran diantara
para kelas pekerja. Di Amerika Serikat, Dr. Charles Knowlton menerbitkan buku
tentang kontrasepsi tahun 1832. Lembaga Malthus pertama dibentuk tahun 1860 dan
anjuran pengontrolan kelahiran (birth control) semakin bertambah pengikutnya.
Meskipun Malthus sebenarnya sama sekali tidak menyetujui penggunaan alat-alat
penjarangan kehamilan, namun anjuran pembatasan terhadap penambahan kelahiran
penduduk dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi biasanya disebut paham Neo-
Malthusian.1 7
D. Model Pemikiran
Dari konsep diatas yang berhasil dirumuskan oleh penulis, maka penulis
merangkai suatu model pemikiran sebagai berikut :
Penjelasan:
Konstruksi masyarakat dan budaya patriarki menghasilkan suatu produk
dominasi yang hanya bersumber dari cara pandang laki-laki. Kemudian, dominasi
maskulin ini akan mempengaruhi cara pandang perempuan dalam pelaksanaan
program KB. Ditambah dengan opresi dari negara, maka perempuan menjadi pihak
yang ditekan dalam pelaksanaan program KB.
17 Ibid.
Konstruksi
Masyarakat
Budaya
Patriarki
Dominasi
Maskulin
Perempuan
Opresi
Negara
11
PEMBAHASAN
A. Dominasi Maskulin dalam Program KB
Mempunyai tubuh dengan kondisi biologis sebagai seorang laki-laki tidak serta
merta bisa menjadikan seorang laki-laki itu menjadi laki-laki, demikian pula
sebaliknya, mempunyai tubuh yang secara biologis sebagai seorang perempuan tidak
serta merta menjadikan seorang perempuan menjadi perempuan. Ada suatu
konstruksi yang berasal dari tatanan social masyarakat yang diinsepsikan ke dalam
alam bawah sadar mereka untuk mengkonstruksi mereka sesuai dengan jenis kelamin
mereka untuk menjadi manusia sesungguhnya (human being).
Konsep tentang maskulin dan feminine merupakan suatu hal yang menjadi
konsep ideal dalam masyarakat yang melekat ke dalam tubuh perempuan, serta
perempuan tersebut diharapkan untuk melaksanakan peran sebagai pelaksana sector
domestik, hal inilah yang dinamakan sebagai konstruksi feminin; sedangkan konsep
ideal yang dibangun berdasarkan persepsi ideal dari masyarakat bahwa pria adalah
sang pencari nafkah; inilah yang disebut dengan kontruksi maskulin. Adakalanya,
konstruksi ini sangat merugikan perempuan terutama yang berkaitan dengan hak-hak
sosialnya. Perempuan dikontruksi untuk membersihkan rumah, mengasuh anak, dan
memasak; sedangkan laki-laki dikonstruksi untuk mencari nafkah, mengerjakan
pekerjaan kasar, serta dikonsepsikan untuk berada di sektor publik. Berdasarkan
tampilan fisiknya, maka laki-laki memang dikondisikan untuk menerima beban berat,
dengan fisik yang lebih tegap dan tenaga yang lebih besar; yang dari keadaan fisik ini
diterjemahkan menjadi laki-laki berada dalam posisi superior, sedangkan wanita
berada dalam pihak yang inferior atau subordinat. Hal demikian telah menjadi suatu
tatanan semenjak zaman purbakala, di mana laki-laki dituntut berburu, menangkap
hewan, berlari, memindah dan membangun tempat tinggal pada kehidupan yang
nomaden, sedang wanita ditugaskan untuk tinggal di rumah, memasak, merawat
anak, memelihara rumah, berkebun, dan sebagainya. Proses perjalanan evolusi yang
panjang pun tak mampu mengubah konsep ideal yang berlangsung sejak jaman
dahulu kala. Ide bahwa laki-laki merupakan pemimpin dan kepala rumah tangga telah
menjadi konstruksi dalam tatanan masyarakat di manapun. Akibat dari konstruksi ini,
bisa ditebak bahwa perempuan akan selalu menjadi pihak yang kalah, dan secara
konstruktif, maka laki-laki akan menjadi pihak yang selalu menang. Perlakuan yang
berbeda seperti ini bagaimanapun juga akan hinggap dalam alam bawah sadar laki-
laki bahwa bagaimanapun juga mereka akan menjadi mahluk nomor satu; karena
mereka akan selalu dikonstruksi untuk seperti itu. Dampak terbesarnya yang
meskipun tak bisa digeneralisir namun sudah menjadi suatu kebiasaan umum; adalah
laki-laki mempunyai keengganan untuk mengakui bahwa perempuan bisa saja setara
atau bahkan melebihinya dirinya secara hirarkis. Keengganan pengakuan posisi
perempuan ini diperparah dengan konstruksi umum dari masyarakat, di mana
menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah atau seorang ratu domestik adalah
12
suatu cita-cita yang mulia serta tertinggi yang mampu diraih oleh perempuan,
diperkuat dengan masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa perempuan yang
belum berhasil melewati proses itu berarti merupakan suatu kutukan atau aib bagi
perempuan tersebut. Dengan demikian, maka berdasarkan atas konstruksi
masyarakat; akan selalu terbetik bahwa sesukses-suksesnya perempuan, maka ia
belum menjadi perempuan yang utuh tanpa kehadiran laki-laki.1 8
Posisi perempuan yang berada di bawah subordinasi laki-laki ini mendapat
persetujuan dari peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan
kebiasaan atau adat masyarakat. Di India ada sebuah ungkapan bahwa membesarkan
anak perempuan sama halnya dengan mengairi tanaman yang tumbuh di halaman
orang lain; ketika tanaman itu berbuah, maka orang lain itulah yang akan
menikmatinya. Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu, misalnya
Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai
perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna.1 9
Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Arief Budiman, bahwa sulit
dipercaya seorang perempuan mempunyai kesanggupan dalam mengerti tentang
prinsip pengajaran kehidupan. Sedangkan Schopenhauer berujar bahwa perempuan
dalam segala hal terbelakang, serta tidak dibekali akal yang cukup untuk sanggup
berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia
sesungguhnya (human being) dan anak-anak. Dengan demikian, maka Schopenhauer
beranggapan bahwa perempuan hanya berfungsi sebatas untuk beranak belaka.2 0
Pendapat Spock seperti dikutip oleh Arief Budiman menyebutkan bahwa
perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang,
pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara
seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide
bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui ajaran agama-
agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan
perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut
agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak
dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu
mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang
diberikan Pencipta pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat
yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2 1
18 Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Kata Pengantar dalam Feminist Thought. Rosemarie
Putnam Tong. Feminist Thought. Op. Cit.
19 Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and
Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984.
20 Budiman, Arief. Teori Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1997.
21 Ibid.
13
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan
perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender.
Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa
gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan)
tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi
tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan
perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional.2 2 Dalam arti seseorang
melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang
berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya.
Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami
perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin di mana perilaku tersebut
tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang semestinya. Tidak jarang,
pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar
situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki maupun
perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan menerima dan
menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin
di rumah tangga.
Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda
dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan
sebagai laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut
maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan
interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara
khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan
perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana
kita berperan sebagai feminin dan maskulin. Melihat pernyataan Mosse serta
Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di atas bahwa konsepsi individu
tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan
bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan
berubah berdasarkan kepentingan situasional.2 3
Oleh karena itu, maka sah-sah saja bila perempuan memposisikan dirinya
berperan sebagaimana laki-laki, yang berarti dia tidak lagi feminin seperti anggapan
perempuan pada umumnya yang bersikap lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah
hati, submisif, bersikap patuh dan manis, dan sejenisnya, namun perempuan bisa saja
bersifat maskulin, yang menurut konstruksi masyarakat diartikan bersikap rasional,
cerdas, pengambil keputusan yang baik atau tegas, dan perkasa. Salah kaprahnya,
kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap sebagai wanita yang
‘salah’ dalam tatanan masyarakat yang berpersepsi ideologi maskulin. Dengan
22 Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2003.
23 Ibid.
14
demikian, maka konstruksi sosial gender yang salah kaprah tanpa sadar dipraktekkan
dan merasuk dalam benak masyarakat.
Masyarakat yang mempunyai ideologi maskulin pada umumnya ditandai
dengan mendahulukan kepentingan anak laki-laki ketimbang anak perempuan, misal
dalam hal pendidikan; jika dalam satu keluarga terdapat keterbatasan dana untuk
pendidikan anak, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas terlebih dahulu
daripada anak perempuan yang lain. Selain itu, maka ciri masyarakat yang
mempunyai ideologi maskulin yang lain adalah, mempunyai cara pandang bahwa
anak perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah lebih rajin jika
dibandingkan dengan anak laki-laki, menikahkan anak perempuan ketika anak
perempuan tersebut seharusnya masih mengenyam bangku sekolah, dan sebagainya.
Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya jelas masih
melakukan konstruksi gender semacam ini. Pola dominasi maskulin di Indonesia yang
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, pemegang tanggung jawab dalam keluarga,
pencari nafkah, dan pengambil keputusan sangat mempengaruhi keterlibatan
aksepptor laki-laki dalam program KB. Laki-laki di Indonesia cenderung melakukan
dominasi, menyubordinasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan, dan
menganggap bahwa laki-laki mempunyai hak untuk melakukan dominasi atas
perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran dan statusnya, baik
dalam keluarga maupun masyarakat dan segala bidang kehidupan yang bersifat
ancolentrisme.2 4
Sesuai dengan konsep evolusi Darwin, maka sikap laki-laki seperti ini
dimaklumi merupakan suatu hal yang muncul sejak zaman purbakala. Laki-laki
dikonstruksikan untuk menyebarkan benih keturunan mereka dan bertugas
membuahi perempuan sebanyak mungkin untuk berkembang biak dan membuat
populasi manusia bertambah banyak. Ini ditenggarai memang sudah naluri mereka
sebagai pejantan (males) yang telah menjadi suatu hal yang alami. Ditandai sejak
zaman promiskuitas dahulu kala, kemudian sejalan dengan peradaban masuk, yang
kemudian tradisi promiskuitas tersebut dihapus dengan institusi yang lebih beradab
yakni institusi pernikahan; akan tetapi konsep bahwa laki-laki sebagai penyebar benih
ini tidak mengalami banyak perubahan. Keengganan laki-laki dalam mengikuti
program KB ini ditengarai akibat dari naluri alam bawah sadar mereka sebagai
seorang yang mempunyai sifat jantan (males), sehingga konsekuensi dalam
reproduksi diserahkan pada perempuan.2 5
Perempuan yang terdominasi karena dalam konstruksi social ia baru dianggap
menjadi perempuan yang baik jika ia bersifat pasif, kemudian akan menerima
24 Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi dan
Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah
Mada. 2002. Halaman 95.
25 Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 2010. Halaman 121-163.
15
dominasi tersebut tanpa adanya kesadaran bahwa ia telah terdominasi dan
menganggap bahwa hal ini lumrah adanya. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki
dinamai laki-laki karena ia merupakan sang Diri; sedangkan perempuan adalah sang
Liyan (The Others). Jika seorang laki-laki ingin bebas, maka ia harus mensubordinasi
perempuan terhadap dirinya. Hal ini yang pada akhirnya menyebabkan suatu kondisi
bahwa perempuan akan selalu tersubordinasi laki-laki, dan perempuan akan
menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki itulah yang esensial, sedangkan
dirinya sendiri (perempuan) adalah tidak esensial. Kemudian secara lebih jauh
Beauvoir menggali mengenai fakta reproduksi, di mana pada perempuan yang
mempunyai anak, maka ia akan sulit untuk dianggap sebagai seorang ‘Diri,’ namun ia
akan dikenal sebagai ibu dari anak tersebut serta isteri;laki-laki yang menjadikan
dirinya sebagai ibu. Maka demikian, maka secara intrinsik perempuan
dikonstruksikan lebih rendah daripada laki-laki.2 6
Dua jenis kelamin manusia, yakni perempuan dan laki-laki masing-masing
mempunyai keterbatasan reproduksi yang lazim disebut kodrat. Laki-laki berperan
sebagai penghasil sperma dan seorang perempuan harus menghadapi resiko
mengandung karena mempunyai uterus. Pemikiran akibat perbedaan kodrati ini akan
membentuk stereotipe yang sebenarnya akan mengaburkan suatu kebenaran asumsi
bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama
terhadap peluang-peluang terjadinya kehamilan. Akan tetapi, akibat dari pemikiran
dan tatanan masyarakat yang terkonstruksi secara maskulin, maka perempuan
bagaimanapun akan selalu ditakdirkan untuk memikul beban, yaitu sebagai pihak dan
target yang harus berperan aktif dalam memakai alat kontrasepsi.
B. Opresi Negara dalam Program KB
Tubuh perempuan telah sejak lama dikonstruksikan bukan menjadi milik dari
perempuan itu sendiri. Setiap inchi bagian tubuh perempuan bisa dibelokkan menjadi
suatu tujuan komoditi atau bagian dari kepentingan pihak lain. Dalam karyanya
Histoire de La Sexualite vol. 1: La Volonte de Savoir, Foucoult berpendapat
seksualitas bukan merupakan fenomena yang dihindari untuk dibicarakan, dihukum,
atau ditoleransi. Lebih dari itu, seksualitas adalah fenomena yang diorganisasikan dan
diadministrasikan ke dalam suatu sistem untuk kepentingan tertentu.2 7
Oleh karena itu, tubuh perempuan mempunyai makna ganda, dihargai namun
juga dijatuhkan karena ia bertubuh perempuan. Fungsi perempuan dilihat dari fungsi
reproduksi, di mana fungsi ini kemudian juga menghantarkan ia pada sifat-sifat
pengasuhan, perawatan, tuntutan untuk mempunyai sifat kasih sayang, serta
26 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 253-277.
27 Foucoult, Michael. Historie de la Sexualite Vol.1: La Volonte de Savouir. Dalam Wening
Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis Gender Terhadap
Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora Volume 16. No. 2. Juni 2004.
Halaman 147-154.
16
kelembutan. Di sisi lain ia juga mendapat penghargaan karena mempunyai sensualitas
yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki. Disebabkan oleh sensualitas ini,
maka tubuh perempuan harus dikungkung pula dalam norma dan hukum yang
kesemuanya dipandang dari sudut pandang laki-laki. Hal ini diistilahkan oleh Simone
De Beauvoir dengan konsepnya yang fenomenal, bahwa mahluk berjenis kelamin
perempuan adalah The Second Sex.2 8
Perempuan akan dituntut oleh tatanan masyarakat untuk berfungsi
sebagaimana ia diciptakan, yakni menjadi perempuan baik-baik. Ironisnya, ketika
perempuan mengkonsepsikan dirinya sebagai seorang perempuan baik-baik, maka ia
akan dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah, di mana dengan mudah didominasi
oleh pihak lain. Di lain pihak, ketika perempuan tersebut menampilkan sensualitas
yang sebenarnya merupakan bagian dari tubuhnya sendiri, maka berbagai kecaman
serta kata-kata kasar akan dialamatkan kepada perempuan tersebut.
Budaya yang melekat sejak perempuan lahir, hidup, serta berinteraksi juga
menjadi tatanan yang mengatur perempuan tersebut. Jika seorang perempuan
melawan budaya yang melakukan pengekangan atau bahkan penyiksaan terhadap
tubuhnya, maka perempuan tersebut bisa dihujat, dikucilkan, atau diisolasi. Nilai-
nilai budaya ini telah merampas hak dan juga control perempuan atas tubuhnya
sendiri. Hal ini terjadi karena ia ‘dipersalahkan’ atas kepemilikan tubuh tersebut, dan
bukannya karena ia mempunyai hak pilihan pribadinya sebagai perempuan.
Dalam kaitannya dengan program KB, terlihat jelas bahwa program ini
merupakan kebijakan negara yang bersudut pandang maskulin. Negara dengan jelas
menganggap bahwa isu reproduksi ini diperuntukkan hanya untuk perempuan. Ini
ditandai dengan alat-alat kontrasepsi yang ditujukan mayoritas untuk perempuan.
Data lapangan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara yang dari
segi budaya lebih mengunggulkan pihak laki-laki, Indonesia masih sangat tertinggal
jauh dalam hal penggunaan alat kontrasepsi yang diperuntukkan untuk laki-laki.
Kasus ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
28 Ibid.
17
Data yang didapat penulis dari situs BKKBN ini menunjukkan bahwa laki-laki
di Indonesia sangat berperan rendah dalam keterlibatan KB di Indonesia. Rasio
perbandingan antara akseptor laki-laki dan perempuan mempunyai ketidak
sebandingan yang relatif signifikan. Berbeda dengan Jepang yang menunjukkan,
bahwa kecenderungan akseptor KB laki-laki jauh lebih tinggi persentasenya daripada
akseptor KB perempuan. Data-data dari negara lain, menunjukkan kecenderungan
yang sama dengan Indonesia, di mana persentase akseptor KB perempuan relatif lebih
banyak daripada akseptor KB laki-laki, namun perbedaannya relatif lebih rendah
dibanding dengan Indonesia. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kondisi di
Indonesia memang menunjukkan bahwa negara relatif cukup berperan dalam opresi
keterlibatan perempuan pada program KB.
Alison Jaggar, seorang feminis beraliran Marxis2 9 mengemukakan bahwa
dalam suatu tatanan ideologi yang melandaskan pada sistem kapitalis, maka pihak
yang disubordinasi akan mengalami suatu kondisi ‘alienasi,’ yang merujuk pada
konsep yang sama yang digunakan oleh Karl Marx ketika menyoroti masalah buruh
yang hanya menjadi mesin-mesin produksi serta terus menerus bekerja, yang
bertujuan untuk menjaga proses produksi terus berjalan. Jaggar, sama dengan Marx
menganggap bekerja merupakan suatu kegiatan yang memanusiakan manusia (par
exellence); yang menghubungkan manusia dengan tubuh dan pikirannya, alam,
beserta manusia lainnya. Dalam konsep feminisme, maka Jaggar berpendapat bahwa
ketika seorang perempuan mengambil pilihan untuk reproduksi, maka ia harus dalam
29 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 182-187.
0
50
100
Akseptor KB Laki-laki di Berbagai Negara
(2006)
Persentase
Akseptor KB
Perempuan
Persentase
Akseptor KB
Laki-laki
18
kondisi siap serta sadar akan keberadaan tubuh keperempuanannya. Jaggar
mengaplikasikan konsep alienasi pada perempuan, di mana ia mengatur pembahasan
ini dalam suatu fragmentasi, bahwa perempuan itu mengalami alienasi pada tiga
komponen penting dalam hidup sebagai perempuan, yaitu seksualitas, reproduksi,
serta intelektualitas. Seorang perempuan, dituntut untuk melakukan diet, latihan,
serta berpakaian yang sesuai dengan standar kecantikan yang menarik minat laki-laki.
Jika dalam konsep borjuis-proletar Marx, seorang proletar dituntut untuk berusaha
ekstra guna menghasilkan produksi untuk meraup profit; maka perempuan dituntut
untuk berusaha keras supaya mendapat persetujuan atas kecantikannya (male gaze),
di mana jika para laki-laki menyetujui bahwa perempuan ini cantik, maka ‘value’ atas
perempuan ini mengalami peningkatan, sehingga ia bisa memasuki tahapan proses
kehidupan selanjutnya, yakni fragmen reproduksi.
Konsep motherhood, seperti halnya seksualitas juga mengalienasi seorang
perempuan sesuai dengan konstruksi sistem masyarakat yang ada pada tempat
dimana ia berada; yang akan memutuskan sejauh mana ia mempunyai hak untuk
menetapkan sistem reproduksinya, misal jumlah anak yang akan dikandungnya.
Kasus dalam masyarakat yang tenaga kerja anak bisa dimanfaatkan sebanyak tenaga
kerja orang dewasa, maka seorang perempuan akan dituntut untuk bisa hamil
sebanyak mungkin selama fisiknya memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Kebalikan dari hal ini, maka pada suatu tatanan masyarakat yang anak-anak dianggap
sebagai beban ekonomi dan pertumbuhan suatu negara, maka banyak perempuan
yang kemudian mendapat ‘hukuman’ ketika ia hamil, atau ketika ia memutuskan
untuk mengandung, maka karena pertimbangan ekonomi, haknya untuk mengandung
dihalangi oleh tatanan masyarakat dan negara, misalnya dengan cara kontrasepsi,
sterilisasi, atau aborsi.
Selanjutnya siklus ketika seorang perempuan bertugas sebagai pengasuh, maka
tekanan pengasuhan yang diberikan kepada ibu sangatlah besar. Sang ibu harus
membesarkan anak-anaknya sesuai dengan kontruksi masyarakat; dimana di
dalamnya terdapat pranata, adat, tuntutan, dan norma serta doktrin yang berlaku di
masyarakat; dan bukan dengan sistem pengasuhan yang kadang tidak diinginkan oleh
sang ibu itu sendiri. Standarisasi dalam suatu konstruksi masyarakat, secara keji akan
menempatkan sang ibu tersebut untuk berlomba supaya membesarkan anaknya
sesuai dengan konsep ideal dalam masyarakat; bukannya menjadi anak-anak yang
siap untuk menghadapi hidup, namun pada konsep anak-anak yang sempurna yang
dianggap ideal dalam masyarakat; yang mempunyai nilai akademik bagus, berbadan
sehat, berfisik rupawan, serta berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada
akhirnya hal ini akan menempatkan perempuan yang berperan sebagai ibu mengalami
alienasi dengan kapasitas intelektualnya. Jaggar beranggapan bahwa perempuan
sebagai ibu ini akan selalu merasa tidak yakin serta ‘disudutkan’ sebagai ibu yang
tidak berhasil jika anak-anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan konsepsi ideal
dalam suatu masyarakat. Perempuan yang berada dalam konstruksi masyarakat yang
19
didominasi sudut pandang maskulin, akan selalu berada dalam pihak yang
dipersalahkan, baik atas ‘kesalahan’ yang tidak disengaja yang berasal dari dirinya,
atau ‘kesalahan’ yang berasal dari ketidaksesuaian konstruksi ideal masyarakat jika
anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan kriteria tersebut.
Dalam menganalisis program KB, maka negara seharusnya bertanggung jawab
kepada akseptor perempuan. Negara perlu memberi opsi pada perempuan, mengenai
apa, bagaimana dan mengapa program KB diadakan. Selanjutnya, tergantung pada
pilihan perempuan tersebut sebagai seorang konsumen dalam produk kebijakan suatu
negara, apakah ia merasa perlu mengikuti program KB atau tidak. Program KB
merupakan suatu kebijakan negara yang dalam pernyataan pelaksanaannya harus
menghormati hak reproduksi perempuan, namun pelaksanaannya memang sangat
berbeda dengan apa yang terungkap dalam aturan dan pernyataan yang tertuang
didalamnya. Apapun alasannya, maka sesungguhnya negara sama sekali tidak punya
wewenang atau campur tangan untuk melakukan persuasi atau bahkan melakukan
opresi terhadap perempuan mengenai apa yang harus dilakukan atau apa yang harus
tidak dilakukan oleh perempuan; terutama berkaitan dengan hak reproduksinya,
karena hak reproduksi merupakan hak asasi yang paling asasi yang berasal dari Sang
Pencipta.
C. Isu Global dalam Program KB
Dibalik isu KB, maka ada persoalan global yang bersifat laten dan diabaikan
oleh individu di dalamnya. Robin Morgan mengatakan bahwa perempuan adalah
proletar dunia. Tak kurang isu perempuan daripada reproduksi adalah produksi.
Meskipun pekerjaan domestic menyumbang 60-80 % dari kebanyakan ekonomi suatu
negara, pekerjaan domestic tetap mengalami kekasatmataan produk nasional gross.
Fakta bahwa perempuan dewasa ini adalah juga seorang pekerja adalah suatu hal yang
absurd. Perempuan merupakan separuh dari penghasil makanan dunia, bertanggung
jawab atas kesediaan air dan bahan bakar. Selain itu, perempuan juga menyumbang
hasil-hasil kerajinan tangan, industry rumahan, serta hal-hal yang membutuhkan
keterampilan tangan. Perempuan juga menjadi penyokong pendapatan suatu negara
jika negara yang bersangkutan melegalkan industry seks.3 0
Maraknya perempuan yang terjun ke ranah publik ini menjadi ide pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan KB. Perempuan yang membatasi fungsi reproduksi,
akan mempunyai banyak waktu untuk kembali ke ranah publik dan menjadi pekerja.
Ketika perempuan bekerja, maka negara turut mengambil keuntungan tak langsung
dari perempuan tersebut, yakni tidak perlunya negara mengeluarkan alokasi ekstra
guna pembiayaan jaminan sosial untuk perempuan dan anaknya tersebut di masa
30 Jaggar, Alison. Dalam Rosemarie Putnam Tong. Op. Cit. Halaman 139-186.
20
yang akan datang; yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara-negara di belahan
dunia manapun, yakni negara bertugas menjamin kesejahteraan bagi warganya.3 1
Dalam sudut alasan profesional, maka perempuan yang membatasi kelahiran,
selain mengurangi anggaran pemerintah guna menjamin kesejahteraan mereka; maka
perempuan bekerja ini juga mendatangkan profit yang cukup menguntungkan bagi
pemerintah. Perempuan yang membatasi kelahirannya dan kemudian menjadi pekerja
di luar negeri (TKW) misalnya, memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit
bagi pemerintah berupa devisa. Bukti empirik juga semakin memperkuat bahwa
hampir setengah dari pasar tenaga kerja dari suatu negara adalah perempuan, yang
menandakan bahwa kapitalis membutuhkan perempuan dalam guna menjadi pekerja
di korporasinya. Hal ini ditengarai karena ‘kelicikan’ ideologi kapitalis, yang memilih
pekerja perempuan karena pekerja perempuan tidak akan menuntut kompensasi
sebesar pekerja laki-laki. Pekerja perempuan dalam ideologi khas kapitalis, masih
diasumsikan sebagai pekerja kelas dua, di mana dalam hal pemberian upah maka ia
tidak perlu diberikan upah sebesar laki-laki karena perempuan bukanlah tokoh utama
yang bertindak sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga.
Dalam sudut ekonomi, maka perempuan yang membatasi kelahiran dipandang
sangat menguntungkan bagi negara. Perempuan yang membatasi kelahiran, akan
kembali ke sektor publik serta menjadi pekerja. Selanjutnya, perempuan pekerja akan
mendapatkan upah; yang upah ini akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi rumah tangganya sehari-hari. Hal ini menguntungkan bagi negara, karena
itu berarti perempuan akan menjadi konsumen dari korporasi-korporasi swasta; di
mana jika korporasi swasta mendapat keuntungan, maka korporasi tersebut juga akan
mendatangkan profit besar bagi negara; misalnya korporasi itu akan membayar pajak,
korporasi tersebut membuka jaringan di beberapa tempat, serta merekrut banyak
pekerja, sehingga mengurangi pengangguran; yang berdampak baik pada negara.
Dalam sudut pandang politis, maka pembatasan kelahiran pada perempuan
secara kolektif juga mendatangkan kredibilitas suatu negara muncul. Kondisi pasar
pekerja mensyaratkan para pekerja mempunyai kompetensi yang memadai untuk
mendapatkan pekerjaan. Ketika masuk dalam suatu korporasi, maka perempuan akan
melakukan upaya terhadap peningkatan performa kerjanya, sehingga korporasi dapat
berkembang secara optimal. Jika kredibilitas pekerja perempuan berkembang dalam
suatu negara, maka peluang investasi asing terhadap negara yang bersangkutan juga
akan mengalami peningkatan. Suatu negara yang kredibel, selanjutnya akan lebih
mudah dalam upaya meningkatkan pembangunan di negaranya.
Pandangan para feminis global tentang KB adalah menuntut kesadaran untuk
melokalkan yang global dan mengglobalkan yang local. Dalam dunia ini, selalu terbagi
dua kubu, yakni negara-negara yang punya kecukupan ekonomi yang dinamakan
31 Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and New
York : Routledge. Halaman 135.
21
sebagai negara dunia kesatu; sebaliknya, negara-negara berkembang, yang belum
mempunyai kecukupan ekonomi dinamakan negara dunia ketiga. Praktek program KB
disinyalir merupakan suatu isu yang tak lepas dari isu politik. Opresi negara serta
opresi laki-laki terhadap perempuan dunia ketiga telah menunjukkan keterkaitan
yang kompleks antara suatu bentuk teknologi pengatur reproduksi dengan suatu
praktek eugenic serta pembatasan populasi terhadap kulit berwarna. Sebagai contoh
industri alat kontrasepsi kebanyakan dikembangkan di negara-negara dunia kesatu
yang kemudian produk kontrasepsi ini diopresikan kepada perempuan dunia ketiga.
Adanya fakta bahwa terkadang alat kontrasepsi yang membahayakan di negara-negara
dunia kesatu justru kelebihan produksinya yang seharusnya sesuai dengan standar
kesehatan harus dimusnahkan, namun justru dipasarkan di dunia ketiga. Ide
pembatasan populasi ini tak lebih adalah untuk menjaga suplai makanan dunia
supaya tersedianya bahan pangan yang cukup bagi dunia kesatu dengan
membebankan penjarangan kelahiran justru kepada perempuan yang berasal dari
dunia ketiga. Seperti yang tercatat di India dengan kebijakan amniocentesisnya,
justru menjadi praktek penjarangan kelahiran yang sangat efektif. Tes amniocentesis
yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Amerika yang bertujuan untuk
menemukan abnormalitas genetic pada fetus, kini justru secara rutin dilakukan di
India sebagai tes penentu jenis kelamin dengan maksud memusnahkan fetus
perempuan ketika fetus tersebut berusia kurang dari 3 bulan. Tes ini konon tidak
memerlukan bujet yang besar, dan perempuan dianggap menginginkan tes ini,
terutama jika mereka telah mempunyai satu atau dua anak perempuan, yang dimana
mereka harus membayar uang pembayaran mas kawin (dowry system) yang sangat
mahal. Kemudian para feminis India yang prihatin dengan fenomena ini, menggiatkan
kampanye untuk melawan tes amniocentesis yang didengar oleh perusahaan GAMET-
NICS, suatu perusahaan alat-alat penunjang reproduksi di Amerika Serikat. GAMET-
NICS yang punya banyak klinik di negara dunia ketiga kemudian memperkenalkan
teknologi pemilihan jenis kelamin sebelum diadakan pembuahan, yakni dengan
memisahkan kromosom X dan Y. Perusahaan ini bersikeras bahwa teknologi ini lebih
manusiawi daripada praktek amniocentesis yang diikuti dengan aborsi meskipun
mereka mengabaikan di waktu yang akan datang, India terancam sebagai negara yang
mengalami deficit populasi perempuan. Contoh ini menunjukkan bahwa suatu isu
yang diterapkan kepada perempuan selalu tak luput dari keuntungan kapitalis.3 2
Dr. Rima Laibow dari organisasi nirlaba untuk kesehatan dunia yang bernama
Natural Solutions Foundation pernah berbicara dalam sebuah forum internasional
yang membahas mengenai masalah pangan. Ia menjelaskan dalam presentasinya,
bahwa mereka yang menguasai panganlah yang akan menguasai dunia. Proyek untuk
mengontrol populasi secara global diimplementasikan pada 31 Desember 2009, yang
merupakan cetak biru dari proyek dunia di bawah arahan WHO dan FAO. Proyek
32 Ibid, halaman309-353
22
Codex Alimentarius ini menerapkan kembali cara untuk mengontrol populasi
penduduk dunia dengan cara penggunaan alat kontrasepsi oleh penduduk dunia,
pemberian vaksin serta penggunaan bahan kimiawi yang dimasukkan dalam bahan
makanan (transgenic).3 3 Maka demikian, maka orang-orang yang mampu hidup lebih
lama adalah mereka yang berhasil lolos dari seleksi alam, yakni orang-orang yang
mampu secara finansial menyuplai stok gizi dan nutrisi yang mereka butuhkan, serta
orang-orang yang mempunyai tanggungan finansial yang paling sedikit.
Teori system dunia, yang mendasarkan bahwa dunia adalah sebuah sistem
kapitalis yang mencakup seluruh negara di dunia tanpa kecuali; sehingga, integrasi
yang terjadi lebih banyak dikarenakan pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik,
menjadikan program KB yang dikampanyekan di negara-negara dunia ketiga sebagai
sarana membebankan pembatasan populasi kepada negara-negara berkembang.
Ideologi Neo liberalisme merupakan ide yang mentransformasikan bahwa
negara-negara ini menjadi suatu jaringan yang teramat besar, di mana tidak ada sekat
yang membatasi antara zona negara satu dengan negara yang lain. Liberalisasi dalam
segala bidang yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial global, disepakati oleh
rezim General Agreement on Tarif and Trade (GATT) dan perdagangan bebas; di
mana didalamnya didukung penuh oleh korporasi-korporasi internasional
menjadikan negara-negara yang berada di bumi ini menjadi suatu perserikatan dunia
yang menjalankan sistem perdagangan bebas (globalisasi).3 4
Era globalisasi ini ditandai dengan sistem ekonomi yang berwatak eksploitatif,
sistem politik yang represif, serta sistem budaya yang menghegemoni. Negara-negara
dunia ketiga yang sebelumnya merupakan tinggalan dari kolonialisme yang sedang
giat-giatnya membangun untuk menghidupkan kembali negaranya yang sebelumnya
belum berkembang akibat kolonialisme, maka setelah mendapat hantaman dari
sistem neo-liberal ini, dipastikan akan collapse.
Indonesia yang tergabung dalam negara-negara dunia ketiga, belum
mempunyai suatu fondasi struktur yang kuat untuk menghadapi hantaman
globalisasi. Akibatnya, semua komoditi yang berasal dari luar diizinkan masuk,
sedangkan produksi lokal tidak diizinkan berkembang. Industri kontrasepsi di
Indonesia merupakan suatu industri yang berskala besar yang pastinya melibatkan
jaringan korporasi yang berskala internasional. Data yang didapat oleh penulis
menunjukkan bahwa alat kontrasepsi yang digunakan di Indonesia kebanyakan
menggunakan lisensi dari perusahaan multinasional asing, yakni dari Amerika,
Jepang, China, dan negara-negara yang tergabung di Uni-Eropa. Kepentingan
kapitalis selalu terus menerus akan berusaha melakukan ekspansi produknya guna
meraih profit maksimal. Program KB, meski ‘dibungkus’ sebagai suatu komponen
33 Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius. www.codexalimentarius.net.
34 Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang : UB Press. 2010.
Halaman 215-222.
23
untuk mendukung stabilitas pembangunan di Indonesia, maka tak luput juga dari
konspirasi untuk perluasan produksi korporasi multinasional tersebut dengan tujuan
untuk mendapat pangsa pasarnya. Dengan demikian, maka perempuan Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya berada dalam posisi klien, yakni merupakan
sasaran program dari negara berkembang yang merupakan klien dari pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, di mana pemerintah dalam hal ini juga merupakan klien
dari perusahaan multinasional dengan kamuflase birth control. Dampaknya, selain
mendapatkan opresi negara serta dominasi laki-laki dalam program KB, perempuan
juga menjadi objek dari penetrasi pasar korporasi internasional, karena menggunakan
produk yang mereka perdagangkan. Menggunakan pengandaian, jika dalam suatu
negara berkembang para perempuannya menggunakan alat kontrasepsi yang
merupakan produk dari perusahaan multinasional tersebut, maka jika dikalikan
dengan negara-negara yang mempunyai kebijakan program KB serupa, dengan
menggunakan produk yang sama, bisa diperkirakan keuntungan optimal yang akan
diraih oleh perusahaan multi nasional yang bersangkutan akan berlimpah.
24
KESIMPULAN
Posisi seorang perempuan seharusnya memang dimaknai sebagai suatu mahluk
yang utuh, dia dihargai bukan sebatas fungsi reproduksi dan seksual. Permasalahan
yang berkaitan dengan reproduksi perempuan merupakan suatu masalah dalam ranah
domestik. Perempuan yang dikonsepsikan sesuai dengan fungsi reproduksinya
diyakini menjadi common-sense causes dari kelebihan jumlah penduduk. Ide ini
kemudian direpresentasikan menjadi suatu tanggung jawab yang diberikan kepada
perempuan untuk mengontrol fungsi reproduksi mereka dengan tujuan supaya terjadi
simbiosis mutualisme antara negara dengan perempuan tersebut. Pada perkembangan
lebih lanjut, maka yang terjadi adalah suatu disharmoni. Program KB yang dijalankan
oleh perempuan secara lebih lanjut tetap menjadi suatu kewajiban setengah paksaan
kepada mereka, dengan tidak diberikannya pemberian hak untuk memilih; meskipun
pada pernyataannya, program KB yang selama ini berjalan di Indonesia merupakan
suatu pilihan yang bersifat anjuran.
Konstruksi masyarakat yang bersifat maskulin ikut memegang kendali terjadi
nya kesenjangan gender dalam pelaksanaan program KB. Ide bahwa laki-laki sebagai
pencari nafkah memunculkan suatu bayangan bahwa laki-laki memang tidak diharus
kan untuk mengikuti KB. Tubuh wanita yang secara biologis harus mengandung,
melahirkan, dan menyusui; serta konstruksi masyarakat menempatkan perempuan
pada posisi subordinat. Ini menjadikan perempuan sebagai target dalam pelaksanaan
kebijakan KB. Kebijakan ini menafikan bahwa pada kenyataannya, perempuan juga
bisa berada di sektor publik yang setara dengan kedudukan laki-laki. Pada akhirnya,
perempuan dijadikan instrumen untuk kebijakan pemerintah tentang pembatasan
kelahiran; dengan meminggirkan kenyataan bahwa perempuan sebenarnya juga
mempunyai ‘beban’ berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka. Akibatnya beban
yang disandang perempuan jauh lebih berat daripada laki-laki.
Peran negara juga ditengarai menjadikan perempuan hanya sebatas menjadi
objek kebijakan. Perempuan yang mempunyai tubuh yang berfungsi reproduktif
dianggap sebagai ‘beban’ negara. Oleh karena itu, negara mengeluarkan kebijakan
yang bersifat semi-kewajiban dengan unsur opresif dengan tujuan untuk menjarang
kan kelahiran. Perempuan yang menjadi akseptor dilabeli dengan perempuan yang
peduli pada pembangunan.
Dalam suatu kebijakan, maka akan timbul pertanyaan, siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan. Program KB menempatkan perempuan sebagai pihak yang
dirugikan jika ia tidak secara sukarela ingin mengikuti KB. Negara juga ‘bersalah’ jika
membidik peserta KB hanya terbatas pada perempuan. Negara perlu memberikan
penyuluhan dengan tepat dan jelas, bahwa tanggung jawab reproduksi merupakan
tanggung jawab bersama, bukan semata-mata tanggung jawab perempuan.
25
DAFTAR ACUAN
Buku :
Abdul Wahab, Solichin. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 2008.
Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah
Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
Budiman, Arief. TeoriNegara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1997.
Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK
Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001.
Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and
Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984.
Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. Dalam Saiful Arif. Menolak
Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1987.
------------------- Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 1997.
Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi
dan Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gajah Mada. 2002.
Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam
Diskursus Kebijakan. Dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and
New York : Routledge.
Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Feminisme Sebagai Tubuh, Pikiran, dan
Pengalaman : Dalam Resistensi Gaya Hidup, Sebuah Teoridan Realitas. Yogyakarta:
Jala Sutra. 2006.
Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
26
Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam
Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University
Press. 2009.
Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima TeoriPembangunan. Malang : UB Press.
2010.
Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
Jurnal :
Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
www.duniaesai.com. 2011.
Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi.
www.scribd.com. 2003.
Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in
Social Dominance. 1999. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss.
Subagyo, Adam. Makna Seksualitas Bagi Akseptor Tubektomi. Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik. Volume 22. No. 3. 2010.
Wening Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis
Gender Terhadap Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora
Volume 16. No. 2. Juni 2004.
Situs :
Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di
Kairo. www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi.
BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar
Jenis Kelamin. www.bkkbn.id. 2011.
---------- Data Diferensiasi Pengguna Kontrasepsi di Berbagai Negara : Riset yang
diadakan tahun 2006. www.bkkbn.id. 2011
Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius.
www.codexalimentarius.net.

More Related Content

Similar to Dominasi maskulin dalam program keluarga berencana

Masalah kespro remaja
Masalah kespro remajaMasalah kespro remaja
Masalah kespro remajayusria izza
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdfDian631634
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdfDian631634
 
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuansakuramochi
 
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...BeliaLesmana
 
UNDIP Kespro_181121.pptx
UNDIP Kespro_181121.pptxUNDIP Kespro_181121.pptx
UNDIP Kespro_181121.pptxfaridagushybana
 
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencanaKonsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencanaLinda Meliati
 
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdfWaliputriWarmadewi
 
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docx
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docxMakalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docx
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docxzainulandri1
 
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptx
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptxSY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptx
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptxGabbyRachedia
 

Similar to Dominasi maskulin dalam program keluarga berencana (20)

Makalah isbd
Makalah isbdMakalah isbd
Makalah isbd
 
4. remaja kontrasepsi
4. remaja  kontrasepsi4. remaja  kontrasepsi
4. remaja kontrasepsi
 
Utk blog
Utk blogUtk blog
Utk blog
 
Kti tiwi
Kti tiwiKti tiwi
Kti tiwi
 
Masalah kespro remaja
Masalah kespro remajaMasalah kespro remaja
Masalah kespro remaja
 
pelayanan kb
pelayanan kbpelayanan kb
pelayanan kb
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
 
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan
6_Aborsi dan Hak Kespro Perempuan
 
Kespro remaja
Kespro remaja  Kespro remaja
Kespro remaja
 
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...
SKRIPSI PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN REMAJA DI D...
 
Definisi kontrasepsi
Definisi kontrasepsiDefinisi kontrasepsi
Definisi kontrasepsi
 
UNDIP Kespro_181121.pptx
UNDIP Kespro_181121.pptxUNDIP Kespro_181121.pptx
UNDIP Kespro_181121.pptx
 
Aborsi
AborsiAborsi
Aborsi
 
Kb askeb
Kb askebKb askeb
Kb askeb
 
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencanaKonsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
Konsep kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
 
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf
5. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI,DUKUNGAN DAN LAYANAN (2).pdf
 
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docx
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docxMakalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docx
Makalah-Kesehatan-Reproduksi-wanita.docx
 
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptx
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptxSY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptx
SY-KESEHATAN REPRODUKSI DAN KB.pptx
 
Elvipson tesis
Elvipson tesis Elvipson tesis
Elvipson tesis
 

Recently uploaded

Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfAkhyar33
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...MuhammadSyamsuryadiS
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxwawan479953
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"baimmuhammad71
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAppgauliananda03
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...Kanaidi ken
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYNovitaDewi98
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKgamelamalaal
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxsyahrulutama16
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptPpsSambirejo
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxsalmnor
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptnabilafarahdiba95
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaAndreRangga1
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfJarzaniIsmail
 
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMAE-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMAAmmar Ahmad
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxSaujiOji
 

Recently uploaded (20)

Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdfKanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
Kanvas BAGJA prakarsa perubahan Ahyar.pdf
 
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
Membaca dengan Metode Fonik - Membuat Rancangan Pembelajaran dengan Metode Fo...
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
power point bahasa indonesia "Karya Ilmiah"
 
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKAKELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
KELAS 10 PERUBAHAN LINGKUNGAN SMA KURIKULUM MERDEKA
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAYSOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
SOAL PUBLIC SPEAKING UNTUK PEMULA PG & ESSAY
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptxMemperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
Memperkasakan Dialog Prestasi Sekolah.pptx
 
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, FigmaPengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
Pengenalan Figma, Figma Indtroduction, Figma
 
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfAksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
Aksi Nyata Sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMAE-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
E-modul Materi Ekosistem untuk kelas X SMA
 
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptxMateri Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
Materi Sosialisasi US 2024 Sekolah Dasar pptx
 

Dominasi maskulin dalam program keluarga berencana

  • 1. 1 DOMINASI MASKULIN DAN OPRESI NEGARA DALAM PROGRAM KELUARGA BERENCANA Nama : Nindita Farah Sasmaya NIM : 117120100111002 Program Doktor Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2011 PENDAHULUAN A. Pengantar Pelaksanaan Keluarga Berencana (yang selanjutnya dalam essai ini akan penulis singkat dengan KB) sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1957, akan tetapi presiden pada saat itu, yakni Ir. Soekarno yang belum terlepas dari euforia kemerdekaan, merasa yakin dan optimis dengan menyatakan bahwa Indonesia mempunyai kekayaan alam yang cukup untuk menghidupi lebih dari 250 juta penduduk. Mantan presiden Soekarno tidak memperkirakan bahwa penduduk Indonesia akan melonjak melebihi 250 juta jiwa dalam tempo 10 tahun kemudian.1 Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang memfokuskan pertumbuhan Indonesia pada pembangunan infrastruktur dan sarana pembangunan serta modernisasi manusia Indonesia, maka perempuan yang dianggap sebagai salah satu objek pembangunan dianggap sebagai sumber masalah bagi perkembangan ekonomi modern. Akibat dari getolnya upaya untuk melaksanakan pembangunan tersebut, maka ide KB menjadi tercetus dengan tujuan untuk membatasi kelahiran, serta lebih membebaskan wanita untuk masuk ke sektor industri2 . Pada pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan program nasional besar. Pemerintahan Presiden Soeharto yang sangat concern terhadap program KB, selanjutnya membentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) pada tahun 1968. Badan ini sebenarnya merupakan tunas dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang telah dibentuk pada rezim Soekarno. LKBN yang bernaung di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko-Kesra). Dalam dua dasawarsa penerapan program KB di Indonesia, maka tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3 kelahiran per perempuan, sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000.3 Ini dicatat 1 Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996. Halaman 12. 2 Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. 1987. Halaman 12. Dalam Saiful Arif. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. HalamanXVII. 3 Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia. www.duniaesai.com. 2011.
  • 2. 2 sebagai keberhasilan Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan Indonesia dijadikan model teladan dari negara-negara berkembang. Angka-angka demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target. Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka tersebut khususnya menyangkut hak reproduksi perempuan, seperti pengabaian hubungan hak-hak reproduksi perempuan, yaitu KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung. Dimasa awal tahap perkembangannya, maka metode kontrasepsi yang dipakai untuk pelaksanaan KB ini menggunakan semacam penghalang yang dipasang di alat vital perempuan. Percobaan KB pertama kalinya dipelopori oleh dr. Kun Martiono, seorang ahli kandungan. Beliau memperkenalkan metode kontrasepsi sederhana, berupa potongan kain kasa yang diujungnya dijahitkan dengan benang, yang kemudian dicelupkan ke dalam minyak kelapa. Selanjutnya, sebelum pasangan suami isteri berhubungan badan, maka kain kasa tersebut dibenamkan dalam-dalam ke vagina isteri sehingga konon metode ini bisa dianggap untuk menghalangi pembuahan. Setelah selesai berhubungan badan, maka kemudian kain kasa ini bisa dilepas. Metode kontrasepsi ini selanjutnya menjadi cikal bakal diproduksinya IUD/Spiral.4 Dalam pelaksanaan program KB, maka dapat dilihat bahwa kecenderungan mayoritas akseptor adalah dari pihak perempuan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada data akseptor KB aktif di Kota Malang Provinsi Jawa Timur yang didapat penulis dari situs BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) sebagai berikut : IUD/spiral sebanyak 25.9%, implan 5.2 %, suntik sebanyak 47.5%, penggunaan pil KB sebanyak 13.3%, sedangkan satu-satunya alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria adalah kondom, penggunanya hanya sebanyak 0.9%.5 Program KB selalu menunjukkan indikasi serupa, bahkan secara nasional, yakni adanya ketimpangan gender. Hal ini bisa disimpulkan dari metode kontrasepsi, nyaris semuanya diperuntukkan perempuan, yang mengakibatkan pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi, di mana tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metoda seperti IUD dan metoda hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi perempuan (selama beberapa tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid. Beberapa resiko kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit kepala, tidak banyak dibicarakan di Indonesia maupun negara-negara berkembang 4 Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University Press. 2009. Halaman 1. 5 BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar Jenis Kelamin. www.bkkbn.id. 2011.
  • 3. 3 lainnya. Cara kontrasepsi berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom) tidak dimasukkan dalam penyuluhan terhadap calon akseptor; serta adanya kecenderungan bukan merupakan alat kontrasepsi yang cenderung diprioritaskan dalam program KB. Akibat dari hal ini, maka perempuan tidak punya pilihan lain selain menggunakan kontrasepsi KB, terlebih jika laki-laki yang merupakan pasangannya keberatan. Ketentuan penggunaan kontrasepsi ini disebabkan karena secara kodrati, perempuan harus menanggung beban reproduktif (hamil, melahirkan, dan menyusui), sehingga mau tak mau dalam konteks program KB, mereka menjadi pihak yang tak punya nilai tawar. Relasi timpang ini sesungguhnya didasari oleh ideologi tertentu yang mempengaruhi cara pandang dan keyakinan pada pihak-pihak yang terlibat. Ada hak dan kewajiban yang berbeda antara peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Status maupun peran perempuan yang dianggap lebih rendah daripada laki-laki menjadikan perempuan rentan menerima kekerasan yang menimpa alat reproduksinya. Keadaan ini sudah melanggar hak reproduksi perempuan yang seharusnya dihormati, karena merupakan hak asasi setiap orang.6 Ironisnya, negara yang berkepentingan dalam menerapkan program KB seolah- olah menyetujui ketimpangan gender dengan membidik akseptor berjenis kelamin perempuan, bahkan banyak perempuan yang minim terhadap akses informasi terhadap program KB, tidak mengetahui bahwa program KB sebenarnya juga bisa diperuntukkan kepada laki-laki. Pada perempuan yang sebenarnya sudah mengetahui informasi bahwa KB juga bisa diaplikasikan pada para kaum pria pun, kemudian banyak yang menganggap bahwa KB adalah suatu konsekuensi yang harus ia tanggung karena kodrat biologisnya sebagai seorang perempuan. Akibatnya, banyak perempuan yang kemudian menanggung penderitaan akibat efek dari KB, contohnya kegemukan, flek wajah, kram perut, menstruasi yang banyak dan berlangsung dalam waktu yang lama, anemia, sampai pada akibat ia lupa meminum pil KB, maka ia mengalami kehamilan yang sebenarnya belum atau tidak ia harapkan. Berdasarkan paparan singkat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perempuan hanya mendapat sedikit peluang untuk mengambil keputusan atas keterlibatannya dalam mengikuti program KB, karena memang dalam tatanan sosial dan budaya ia memang dikondisikan untuk selalu menerima semua keputusan yang dibuat oleh pria. Selain itu, ditengarai ada semacam egoisme pria berkaitan dengan program KB sehingga mereka seolah-olah enggan untuk mengikuti program KB dan menganggap bahwa program tersebut merupakan tanggung jawab isteri sebagai pelaku utama reproduksi. Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa 4 dari 6 jenis alat kontrasepsi diperuntukkan bagi perempuan. Hal ini menjadi semakin kentara menunjukkan bahwa pelaksanaan program KB di Indonesia tidak sesuai 6 Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi. www.scribd.com. 2003.
  • 4. 4 dengan apa yang diamanahkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadakan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 18 Desember 1979, yang pada waktu itu pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya. Adapun sebagai tindak lanjut dari Konvensi PBB tersebut, maka dibuatlah Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sebagai ratifikasinya.7 Pada program keluarga berencana, perempuan harus diposisikan sebagai subjek, dengan demikian hak-hak reproduksinya termasuk hak dalam pengambilan keputusan harus dihargai. Dalam hal ini otoritas pengambilan keputusan masih berada pada tangan suami. Salah satu indikasi dari lemahnya posisi perempuan dimasyarakat adalah dari tingkat perlindungan terhadap perempuan dalam proses reproduksi di Indonesia belum cukup.8 Keadaan ini menjelaskan bahwa dalam masyarakat, maka perempuan telah didominasi secara halus oleh kekuatan-kekuatan maskulin yang didukung juga oleh negara untuk mengikuti program KB. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam program KB ini bukan atas kehendak atau kemauan pendapatnya sendiri secara otonom, namun dipengaruhi oleh suatu dominasi maskulin yang bersenyawa dengan tatanan budaya patriarki dan patrilineal. Dominasi ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika secara ideologis kebijakan negara juga menggunakan metodologi program KB yang sadar gender, yang akan memunculkan perumusan masalah sebagai berikut : Mengapa dominasi maskulin bisa mempengaruhi ketidak kepedulian pada hak reproduksi perempuan kaitannya terhadap program KB di Indonesia? B. Kerangka Konsep Dari pernyatan yang sering digunakan oleh penulis, maka dapat diturunkan suatu konsep sebagai berikut: 1. Dominasi Maskulin Sebuah konsep yang penulis pinjam dari istilah Pierre Bourdieu, yakni merujuk pada suatu tatanan dalam masyarakat yang membuat perempuan memang secara hirarkis berada di bawah posisi laki-laki. Dominasi maskulin ini juga merupakan pemahaman bawah sadar androsentris yang bersemayam di alam pikiran kaum laki- laki maupun kaum perempuan dalam suatu tatanan masyarakat.9 Lebih lanjut lagi, dominasi maskulin ini sebenarnya merupakan kekerasan yang tak kasat mata dan halus yang kemudian dipenetrasikan kepada kaum perempuan, namun perempuan tersebut tidak menyadari; atau bahkan bangga dan menyetujui hal tersebut. Sebagai contoh, seorang perempuan dipuji atas kefeminitasannya, dan perempuan tersebut menyetujuinya, misalnya dalam suatu masyarakat konsep isteri yang baik adalah 7 Sukeni, Ni Nyoman. op.cit. 2009. Halaman9. 8 Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001. Halaman 125. 9 Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
  • 5. 5 seorang isteri yang hanya tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, berbakti, patuh, dan mampu menyenangkan suami karena pandai memasak, pandai berdandan, dan pandai menata rumah. Sedangkan, seorang isteri dikatakan tidak terlalu baik jika, bekerja hingga petang, tak bisa memasak, tak rajin membersihkan rumah, dan sebagainya. Konstruksi masyarakat semacam ini membuat suatu konsep yang mengagungkan perempuan feminin yang bekerja hanya sebatas sektor domestik sebagai perempuan yang benar; sedangkan perempuan yang bekerja di sektor publik serta tidak secara total mengurus rumah tangganya dikatakan sebagai perempuan yang tidak benar. Hal inilah yang penulis maksud dengan konsep dominasi maskulin. 2. Konsep Perempuan Perempuan dalam karya tulis ini adalah para perempuan yang mempunyai suami yang menjadi akseptor pada program KB. 3. Konsep Program KB Program KB dalam karya tulis ini adalah program yang diadakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka upaya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan cara mengatur fertilitas pada pasangan usia subur (PUS) dengan cara menggunakan alat kontrasepsi penunjang program KB yang umum di Indonesia, sebagai contoh: IUD/Spiral, Pil KB, Implant, kondom vaginal, suntik hormon, dan tubektomi yang diperuntukkan bagi perempuan. Sedangkan alat kontrasepsi penunjang KB yang diperuntukkan bagi laki-laki yaitu kondom, dan vasektomi. 4. Konsep Penghormatan Hak Reproduksi Perempuan Penghormatan atas hak reproduksi perempuan sudah dibahas dalam berbagai Konferensi Internasional, terutama yang berkaitan dengan kependudukan. Konferensi kependudukan dunia yang berlangsung setiap 10 tahun ini pertama diselenggarakan tahun 1954 di Roma, Italia dan terakhir diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tahun 1994.1 0 Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo sudah disepakati perihal hak- hak reproduksi. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu : Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health), Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making), Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women), Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security). Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung 10 Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam Diskursus Kebijakan. Salah satu esai dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Diterbitkan untuk Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halaman 305-315.
  • 6. 6 jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.1 1 Posisi hasil dari konferensi Kairo dalam hal ini memberikan arahan bagi para pembuat kebijaksanaan dan para perencana program. Dokumen ini mempengaruhi berbagai usulan yang diusung dalam berbagai macam kebijakan kependudukan yang digunakan dalam berbagai macam negara. Program KB tidak hanya dianggap sebagai urusan individu ataupun pasangan, namun lebih dari itu; menjadi urusan negara beserta para agen dan pihak yang terkait untuk melakukan implementasi ke dalam tatanan masyarakat. Wacana kolektif tentang program KB ini menimbulkan suatu sikap skeptis, di mana skeptisisme yang dihadapi adalah, bahwa fungsi reproduksi yang berkaitan dengan fungsi mengandung dan melahirkan yang dialami oleh perempuan akan tetap menjadi permasalahan sensitive yang ditimpakan ke perempuan serta menjadi tanggung jawab perempuan itu sendiri, meskipun ia dalam kehidupan berkeluarga juga bersama-sama dengan laki-laki. Wacana KB ini bersifat unconscious dan bahkan dianggap wajar apabila perempuan yang seharusnya menjalani program KB, sehingga kepentingan bangsa dan pembangunan dikatakan berhasil jika perempuan terlibat di dalamnya. Salah satu bentuk partisipasi perempuan diterjemahkan dengan partisipasi mereka menjadi peserta program KB. C. Landasan Teori Karya ilmiah ini menggunakan landasan teori sebagai berikut : 1. Teori Dominasi Marx yang merupakan peletak dasar teori pertentangan kelas menandai bahwa dalam tatanan sosial, maka akan selalu ada pihak yang berperan dominan atau represif, serta ada pihak yang menjadi subordinat. Kapitalisme yang merupakan sumber dari kekuatan untuk melakukan opresi terhadap perempuan tersebut, mempunyai suatu hubungan yang rumit dengan patriarki, yang menyebabkan selama kapitalisme itu masih ada maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang direpresi oleh konstruksi budaya yang bersifat patriarki. Sidanius dan Pratto menyatakan bahwa tidak setaranya hirarki social berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai social (social value) yang tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat (dalam hal ini kepada perempuan), baik nilai social yang positif atau nilai social yang negative. Hasil dari ketidaksetaraan distribusi social kemudian dimanfaatkan oleh ideology social, keyakinan, mitos, serta doktrin religious tertentu sebagai alat pembenaran. Teori dominasi social ini menjelaskan bahwa determinan awal dari segala bentuk dominasi adalah berasal dari orientasi dominasi social. Orientasi dominasi social merupakan 11 Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo. www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi.
  • 7. 7 derajat keinginan individu untuk mendukung hirarki social berdasarkan pada kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior.1 2 Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin yang menulis bukunya berdasarkan atas penelitiannya pada struktur pekerjaan atas opsi diferensiasi gender pada masyarakat Qubail di Mediterania, menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada tiga praktek yang digunakan dalam suatu tatanan masyarakat untuk memposisikan suatu bidang pekerjaan kepada seorang perempuan. Prinsip pertama adalah, perempuan dianggap cocok pada pekerjaan yang merupakan perpanjangan tangan dari bidang- bidang domestic, misalnya pelayanan, pengajaran, serta pengasuhan. Kedua, perempuan tidak boleh memiliki otoritas yang lebih kepada laki-laki, dan menempatkan dirinya hanya sebagai asisten/ posisi tersubordinasi. Prinsip ketiga adalah, dalam bidang pekerjaan, maka selalu ada kecenderungan dalam masyarakat untuk memberikan bidang pekerjaan yang berkaitan dengan teknik dan mesin kepada laki-laki. Pemikiran Bourdieu yang dimulai dari tatanan masyarakat Qubail selanjutnya mendapat pembenaran, karena ternyata teori ini relevan dan berlaku di banyak tatanan masyarakat. Bourdieu berasumsi bahwa dominasi maskulin ini memang sifatnya sangat halus, tak kentara dan kasat mata, namun berhasil membuat para perempuan yang didominasi ini menyetujui, dan bahkan bangga jika ia berhasil didominasi oleh laki-laki, serta menganggap bahwa ini adalah bagian dari kodratnya sebagai seorang perempuan.1 3 Konsep yang diketemukan oleh Pierre Bourdieu ini nyaris mirip dengan teori hegemoni yang ditemukan oleh Antonio Gramsci. Gramsci menilai bahwa negara dan masyarakat akan selalu berintegrasi, di mana negara tersebut akan menghasilkan suatu produk yang dinamakan kebijakan. Kebijakan ini diimplementasikan ke masyarakat dengan dua cara, yakni dengan pendekatan koersif atau pendekatan kekerasan, yang dianggap melanggar nilai-nilai humanitas, namun masih saja diterapkan dalam beberapa negara. Pendekatan kedua adalah, dengan cara yang manusiawi, halus, melalui pendekatan etika, moral, serta intelektual. Pendekatan inilah yang dimaksud Gramsci dengan pendekatan hegemoni, yakni suatu kondisi dimana terjadi institusionalisasi kebijakan yang secara halus diterapkan kepada masyarakat, namun tidak ada paksaan, yang ada hanyalah suatu consensus atau kesepahaman.1 4 Dengan kata lain, syarat utama dari teori hegemoni ini adalah, tidak adanya paksaan. Dalam kasus program KB maka penulis mencoba untuk menganalisis permasalahan yang timbul, yakni masalah dominasi maskulin yang didalamnya meliputi factor-faktor egoisme pria dalam mengikuti KB yang selanjutnya mengakibatkan keengganan dalam mengikuti program tersebut, menimpakan tanggung jawab reproduksi hanya ke perempuan, pengambilan keputusan yang 12 Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in Social Dominance. 1999. Halaman 31-57. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss. 13 Bourdieu, Pierre. Op. Cit. Halaman 10-31 14 Sukeni, Ni Nyoman. Op. Cit. Halaman 14-15.
  • 8. 8 mayoritas didominasi oleh laki-laki, karena di Indonesia masih menganut budaya patriarki, serta peran teknis dari Negara sebagai pembuat kebijakan di mana penyediaan alat kontrasepsi dianggap timpang gender, yang ditandai dengan bukti empirik di lapangan bahwa sebagian besar penyuluh KB memang membidik perempuan untuk terlibat dalam program KB, serta sosialisasi yang dilakukan oleh negara memang menempatkan perempuan sebagai objek dalam program KB. 2. Teori Feminisme Global Para tokoh feminis global berfokus kepada hasil opresif dari kebijakan yang timbul pada masa colonial dan nasionalis; di mana pemerintahan besar dan bisnis besar membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai dunia pertama; yang terdiri atas ranah negara-negara yang menganut paham kapitalisme dan liberal dan dunia ketiga; yang terdiri dari ranah negara-negara yang berkembang. Di masa lampau, ranah Dunia Kedua diisi oleh perserikatan negara-negara yang menganut paham sosialis-komunis, di mana seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara sosialis telah runtuh; sehingga yang tersisa sekarang hanyalah negara dunia kesatu dan negara dunia ketiga. Definisi feminisme menurut paham feminis global harus diperluas untuk mencakup sesuatu yang mengopresi perempuan, baik berdasarkan ras ataupun kelas, atau hasil dari imperialisme dan kolonialisme, feminis global menekankan bahwa opresi terhadap perempuan di satu bagian dunia sering kali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain, dan tidak akan ada seorang perempuan yang bebas hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan di mana pun juga.1 5 Adapun tujuan jangka panjang dari feminisme global adalah; bahwa perempuan harus mempunyai hak untuk memilih, dan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sendiri di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan adalah esensial untuk memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap perempuan. Kemudian penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan opresi dengan menciptakan tatanan social dan ekonomi yang lebih adil, secara nasional dan internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan di dalam perjuangan kebebasan nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan di tingkat local dan global. 3. Teori Pertumbuhan Penduduk Sekitar 200 tahun yang lalu, Thomas Malthus mengajukan sebuah teori tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus melukiskan suatu kecenderungan universal bahwasanya jumlah populasi di suatu negara akan meningkat secara cepat pada deret ukur atau tingkat geometric (pelipat gandaan dari 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya) setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal itu diredam oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya 15 Tong, Rosemarie Putnam.Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Halaman 330.
  • 9. 9 proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (1, 2, 3 , 4, 5, dan seterusnya). Bahkan, karena lahan yang dimiliki masyarakat semakin lama semakin sempit, maka konstribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun.1 6 Intinya adalah Malthus memperkirakan dimasa-masa yang akan datang umat manusia akan mengalami kekurangan pangan akibat semakin meledaknya jumlah penduduk di dunia. Akan tetapi, banyak kalangan berpendapat bahwa teori pesimisme Malthus banyak memiliki kelemahan, dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi. Menurut Todaro, Malthus melupakan perhitungan tentang begitu besar dampak kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber dari ledakan pertambahan penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan yang terbatas memang benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk dibayangkan) memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas atau produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap, manusia bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi. Malthus berkesimpulan bahwa cara yang lebih praktis adalah tetap berpegang pada apa adanya: kebanyakan penduduk sesuatu yang tak bisa dihindari lagi dan kemiskinan merupakan nasib yang daripadanya orang tidak mungkin bisa lolos. Ide Malthus tersebut cukup membuat beberapa kalangan berpikir, karena sangat sulit untuk mewujudkan solusi Malthus, maka ide penjarangan kelahiran dengan kontrasepsi adalah menjadi alternatif yang cukup bermoral guna menjaga ketersediaan pangan di masa yang akan datang. Program KB yang merupakan suatu kebijakan yang merupakan manifestasi dari teori Malthus (di mana Malthus sebenarnya sama sekali tidak mempunyai gagasan untuk melakukan kontrasepsi karena ia adalah seorang pendeta Katolik yang konservatif; yang menganggap kontrasepsi sama halnya dengan pembunuhan janin), merupakan suatu produk solusi dari pengendalian penduduk yang paling masuk akal ketimbang harus melewati peperangan, kelaparan, atau wabah penyakit yang kesemuanya berpotensi mereduksi laju pertumbuhan penduduk namun harus melewati suatu periode yang menyedihkan. Ide Malthus tentang pengendalian moral yang dimaksud sebenarnya merujuk pada konsep menikah di usia yang cukup matang, serta menjauhi seks bebas secara sukarela. Bagi pasangan yang telah menikah, maka pengendalian frekuensi senggama merupakan konsep pengendalian diri yang paling ideal, guna menjamin ketersediaan panganan untuk generasi mendatang. Pemikiran Malthus tentang pembatasan frekuensi senggama bagi pasangan yang telah menikah ini dianggap kurang masuk akal untuk dilaksanakan. Akan tetapi, ide Malthus mendapat reaksi dari pembaharu Inggris berpengaruh, Francis Place (1771-1854). Place yang membaca esai Malthus, menulis buku pada tahun 1822 yang 16 Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans.
  • 10. 10 berisi anjuran kesehatan bagi pasangan yang telah menikah untuk menggunakan kontrasepsi. Dia juga membagi penjelasan tentang pembatasan kelahiran diantara para kelas pekerja. Di Amerika Serikat, Dr. Charles Knowlton menerbitkan buku tentang kontrasepsi tahun 1832. Lembaga Malthus pertama dibentuk tahun 1860 dan anjuran pengontrolan kelahiran (birth control) semakin bertambah pengikutnya. Meskipun Malthus sebenarnya sama sekali tidak menyetujui penggunaan alat-alat penjarangan kehamilan, namun anjuran pembatasan terhadap penambahan kelahiran penduduk dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi biasanya disebut paham Neo- Malthusian.1 7 D. Model Pemikiran Dari konsep diatas yang berhasil dirumuskan oleh penulis, maka penulis merangkai suatu model pemikiran sebagai berikut : Penjelasan: Konstruksi masyarakat dan budaya patriarki menghasilkan suatu produk dominasi yang hanya bersumber dari cara pandang laki-laki. Kemudian, dominasi maskulin ini akan mempengaruhi cara pandang perempuan dalam pelaksanaan program KB. Ditambah dengan opresi dari negara, maka perempuan menjadi pihak yang ditekan dalam pelaksanaan program KB. 17 Ibid. Konstruksi Masyarakat Budaya Patriarki Dominasi Maskulin Perempuan Opresi Negara
  • 11. 11 PEMBAHASAN A. Dominasi Maskulin dalam Program KB Mempunyai tubuh dengan kondisi biologis sebagai seorang laki-laki tidak serta merta bisa menjadikan seorang laki-laki itu menjadi laki-laki, demikian pula sebaliknya, mempunyai tubuh yang secara biologis sebagai seorang perempuan tidak serta merta menjadikan seorang perempuan menjadi perempuan. Ada suatu konstruksi yang berasal dari tatanan social masyarakat yang diinsepsikan ke dalam alam bawah sadar mereka untuk mengkonstruksi mereka sesuai dengan jenis kelamin mereka untuk menjadi manusia sesungguhnya (human being). Konsep tentang maskulin dan feminine merupakan suatu hal yang menjadi konsep ideal dalam masyarakat yang melekat ke dalam tubuh perempuan, serta perempuan tersebut diharapkan untuk melaksanakan peran sebagai pelaksana sector domestik, hal inilah yang dinamakan sebagai konstruksi feminin; sedangkan konsep ideal yang dibangun berdasarkan persepsi ideal dari masyarakat bahwa pria adalah sang pencari nafkah; inilah yang disebut dengan kontruksi maskulin. Adakalanya, konstruksi ini sangat merugikan perempuan terutama yang berkaitan dengan hak-hak sosialnya. Perempuan dikontruksi untuk membersihkan rumah, mengasuh anak, dan memasak; sedangkan laki-laki dikonstruksi untuk mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan kasar, serta dikonsepsikan untuk berada di sektor publik. Berdasarkan tampilan fisiknya, maka laki-laki memang dikondisikan untuk menerima beban berat, dengan fisik yang lebih tegap dan tenaga yang lebih besar; yang dari keadaan fisik ini diterjemahkan menjadi laki-laki berada dalam posisi superior, sedangkan wanita berada dalam pihak yang inferior atau subordinat. Hal demikian telah menjadi suatu tatanan semenjak zaman purbakala, di mana laki-laki dituntut berburu, menangkap hewan, berlari, memindah dan membangun tempat tinggal pada kehidupan yang nomaden, sedang wanita ditugaskan untuk tinggal di rumah, memasak, merawat anak, memelihara rumah, berkebun, dan sebagainya. Proses perjalanan evolusi yang panjang pun tak mampu mengubah konsep ideal yang berlangsung sejak jaman dahulu kala. Ide bahwa laki-laki merupakan pemimpin dan kepala rumah tangga telah menjadi konstruksi dalam tatanan masyarakat di manapun. Akibat dari konstruksi ini, bisa ditebak bahwa perempuan akan selalu menjadi pihak yang kalah, dan secara konstruktif, maka laki-laki akan menjadi pihak yang selalu menang. Perlakuan yang berbeda seperti ini bagaimanapun juga akan hinggap dalam alam bawah sadar laki- laki bahwa bagaimanapun juga mereka akan menjadi mahluk nomor satu; karena mereka akan selalu dikonstruksi untuk seperti itu. Dampak terbesarnya yang meskipun tak bisa digeneralisir namun sudah menjadi suatu kebiasaan umum; adalah laki-laki mempunyai keengganan untuk mengakui bahwa perempuan bisa saja setara atau bahkan melebihinya dirinya secara hirarkis. Keengganan pengakuan posisi perempuan ini diperparah dengan konstruksi umum dari masyarakat, di mana menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah atau seorang ratu domestik adalah
  • 12. 12 suatu cita-cita yang mulia serta tertinggi yang mampu diraih oleh perempuan, diperkuat dengan masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa perempuan yang belum berhasil melewati proses itu berarti merupakan suatu kutukan atau aib bagi perempuan tersebut. Dengan demikian, maka berdasarkan atas konstruksi masyarakat; akan selalu terbetik bahwa sesukses-suksesnya perempuan, maka ia belum menjadi perempuan yang utuh tanpa kehadiran laki-laki.1 8 Posisi perempuan yang berada di bawah subordinasi laki-laki ini mendapat persetujuan dari peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau adat masyarakat. Di India ada sebuah ungkapan bahwa membesarkan anak perempuan sama halnya dengan mengairi tanaman yang tumbuh di halaman orang lain; ketika tanaman itu berbuah, maka orang lain itulah yang akan menikmatinya. Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu, misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna.1 9 Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Arief Budiman, bahwa sulit dipercaya seorang perempuan mempunyai kesanggupan dalam mengerti tentang prinsip pengajaran kehidupan. Sedangkan Schopenhauer berujar bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, serta tidak dibekali akal yang cukup untuk sanggup berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya (human being) dan anak-anak. Dengan demikian, maka Schopenhauer beranggapan bahwa perempuan hanya berfungsi sebatas untuk beranak belaka.2 0 Pendapat Spock seperti dikutip oleh Arief Budiman menyebutkan bahwa perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui ajaran agama- agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang diberikan Pencipta pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2 1 18 Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Kata Pengantar dalam Feminist Thought. Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought. Op. Cit. 19 Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984. 20 Budiman, Arief. Teori Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1997. 21 Ibid.
  • 13. 13 Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional.2 2 Dalam arti seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin di mana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang semestinya. Tidak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di rumah tangga. Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana kita berperan sebagai feminin dan maskulin. Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di atas bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional.2 3 Oleh karena itu, maka sah-sah saja bila perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, yang berarti dia tidak lagi feminin seperti anggapan perempuan pada umumnya yang bersikap lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, submisif, bersikap patuh dan manis, dan sejenisnya, namun perempuan bisa saja bersifat maskulin, yang menurut konstruksi masyarakat diartikan bersikap rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik atau tegas, dan perkasa. Salah kaprahnya, kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap sebagai wanita yang ‘salah’ dalam tatanan masyarakat yang berpersepsi ideologi maskulin. Dengan 22 Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2003. 23 Ibid.
  • 14. 14 demikian, maka konstruksi sosial gender yang salah kaprah tanpa sadar dipraktekkan dan merasuk dalam benak masyarakat. Masyarakat yang mempunyai ideologi maskulin pada umumnya ditandai dengan mendahulukan kepentingan anak laki-laki ketimbang anak perempuan, misal dalam hal pendidikan; jika dalam satu keluarga terdapat keterbatasan dana untuk pendidikan anak, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas terlebih dahulu daripada anak perempuan yang lain. Selain itu, maka ciri masyarakat yang mempunyai ideologi maskulin yang lain adalah, mempunyai cara pandang bahwa anak perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah lebih rajin jika dibandingkan dengan anak laki-laki, menikahkan anak perempuan ketika anak perempuan tersebut seharusnya masih mengenyam bangku sekolah, dan sebagainya. Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya jelas masih melakukan konstruksi gender semacam ini. Pola dominasi maskulin di Indonesia yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, pemegang tanggung jawab dalam keluarga, pencari nafkah, dan pengambil keputusan sangat mempengaruhi keterlibatan aksepptor laki-laki dalam program KB. Laki-laki di Indonesia cenderung melakukan dominasi, menyubordinasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan, dan menganggap bahwa laki-laki mempunyai hak untuk melakukan dominasi atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran dan statusnya, baik dalam keluarga maupun masyarakat dan segala bidang kehidupan yang bersifat ancolentrisme.2 4 Sesuai dengan konsep evolusi Darwin, maka sikap laki-laki seperti ini dimaklumi merupakan suatu hal yang muncul sejak zaman purbakala. Laki-laki dikonstruksikan untuk menyebarkan benih keturunan mereka dan bertugas membuahi perempuan sebanyak mungkin untuk berkembang biak dan membuat populasi manusia bertambah banyak. Ini ditenggarai memang sudah naluri mereka sebagai pejantan (males) yang telah menjadi suatu hal yang alami. Ditandai sejak zaman promiskuitas dahulu kala, kemudian sejalan dengan peradaban masuk, yang kemudian tradisi promiskuitas tersebut dihapus dengan institusi yang lebih beradab yakni institusi pernikahan; akan tetapi konsep bahwa laki-laki sebagai penyebar benih ini tidak mengalami banyak perubahan. Keengganan laki-laki dalam mengikuti program KB ini ditengarai akibat dari naluri alam bawah sadar mereka sebagai seorang yang mempunyai sifat jantan (males), sehingga konsekuensi dalam reproduksi diserahkan pada perempuan.2 5 Perempuan yang terdominasi karena dalam konstruksi social ia baru dianggap menjadi perempuan yang baik jika ia bersifat pasif, kemudian akan menerima 24 Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi dan Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. 2002. Halaman 95. 25 Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2010. Halaman 121-163.
  • 15. 15 dominasi tersebut tanpa adanya kesadaran bahwa ia telah terdominasi dan menganggap bahwa hal ini lumrah adanya. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai laki-laki karena ia merupakan sang Diri; sedangkan perempuan adalah sang Liyan (The Others). Jika seorang laki-laki ingin bebas, maka ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Hal ini yang pada akhirnya menyebabkan suatu kondisi bahwa perempuan akan selalu tersubordinasi laki-laki, dan perempuan akan menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki itulah yang esensial, sedangkan dirinya sendiri (perempuan) adalah tidak esensial. Kemudian secara lebih jauh Beauvoir menggali mengenai fakta reproduksi, di mana pada perempuan yang mempunyai anak, maka ia akan sulit untuk dianggap sebagai seorang ‘Diri,’ namun ia akan dikenal sebagai ibu dari anak tersebut serta isteri;laki-laki yang menjadikan dirinya sebagai ibu. Maka demikian, maka secara intrinsik perempuan dikonstruksikan lebih rendah daripada laki-laki.2 6 Dua jenis kelamin manusia, yakni perempuan dan laki-laki masing-masing mempunyai keterbatasan reproduksi yang lazim disebut kodrat. Laki-laki berperan sebagai penghasil sperma dan seorang perempuan harus menghadapi resiko mengandung karena mempunyai uterus. Pemikiran akibat perbedaan kodrati ini akan membentuk stereotipe yang sebenarnya akan mengaburkan suatu kebenaran asumsi bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap peluang-peluang terjadinya kehamilan. Akan tetapi, akibat dari pemikiran dan tatanan masyarakat yang terkonstruksi secara maskulin, maka perempuan bagaimanapun akan selalu ditakdirkan untuk memikul beban, yaitu sebagai pihak dan target yang harus berperan aktif dalam memakai alat kontrasepsi. B. Opresi Negara dalam Program KB Tubuh perempuan telah sejak lama dikonstruksikan bukan menjadi milik dari perempuan itu sendiri. Setiap inchi bagian tubuh perempuan bisa dibelokkan menjadi suatu tujuan komoditi atau bagian dari kepentingan pihak lain. Dalam karyanya Histoire de La Sexualite vol. 1: La Volonte de Savoir, Foucoult berpendapat seksualitas bukan merupakan fenomena yang dihindari untuk dibicarakan, dihukum, atau ditoleransi. Lebih dari itu, seksualitas adalah fenomena yang diorganisasikan dan diadministrasikan ke dalam suatu sistem untuk kepentingan tertentu.2 7 Oleh karena itu, tubuh perempuan mempunyai makna ganda, dihargai namun juga dijatuhkan karena ia bertubuh perempuan. Fungsi perempuan dilihat dari fungsi reproduksi, di mana fungsi ini kemudian juga menghantarkan ia pada sifat-sifat pengasuhan, perawatan, tuntutan untuk mempunyai sifat kasih sayang, serta 26 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 253-277. 27 Foucoult, Michael. Historie de la Sexualite Vol.1: La Volonte de Savouir. Dalam Wening Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis Gender Terhadap Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora Volume 16. No. 2. Juni 2004. Halaman 147-154.
  • 16. 16 kelembutan. Di sisi lain ia juga mendapat penghargaan karena mempunyai sensualitas yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki. Disebabkan oleh sensualitas ini, maka tubuh perempuan harus dikungkung pula dalam norma dan hukum yang kesemuanya dipandang dari sudut pandang laki-laki. Hal ini diistilahkan oleh Simone De Beauvoir dengan konsepnya yang fenomenal, bahwa mahluk berjenis kelamin perempuan adalah The Second Sex.2 8 Perempuan akan dituntut oleh tatanan masyarakat untuk berfungsi sebagaimana ia diciptakan, yakni menjadi perempuan baik-baik. Ironisnya, ketika perempuan mengkonsepsikan dirinya sebagai seorang perempuan baik-baik, maka ia akan dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah, di mana dengan mudah didominasi oleh pihak lain. Di lain pihak, ketika perempuan tersebut menampilkan sensualitas yang sebenarnya merupakan bagian dari tubuhnya sendiri, maka berbagai kecaman serta kata-kata kasar akan dialamatkan kepada perempuan tersebut. Budaya yang melekat sejak perempuan lahir, hidup, serta berinteraksi juga menjadi tatanan yang mengatur perempuan tersebut. Jika seorang perempuan melawan budaya yang melakukan pengekangan atau bahkan penyiksaan terhadap tubuhnya, maka perempuan tersebut bisa dihujat, dikucilkan, atau diisolasi. Nilai- nilai budaya ini telah merampas hak dan juga control perempuan atas tubuhnya sendiri. Hal ini terjadi karena ia ‘dipersalahkan’ atas kepemilikan tubuh tersebut, dan bukannya karena ia mempunyai hak pilihan pribadinya sebagai perempuan. Dalam kaitannya dengan program KB, terlihat jelas bahwa program ini merupakan kebijakan negara yang bersudut pandang maskulin. Negara dengan jelas menganggap bahwa isu reproduksi ini diperuntukkan hanya untuk perempuan. Ini ditandai dengan alat-alat kontrasepsi yang ditujukan mayoritas untuk perempuan. Data lapangan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara yang dari segi budaya lebih mengunggulkan pihak laki-laki, Indonesia masih sangat tertinggal jauh dalam hal penggunaan alat kontrasepsi yang diperuntukkan untuk laki-laki. Kasus ini dapat dilihat dalam tabel berikut : 28 Ibid.
  • 17. 17 Data yang didapat penulis dari situs BKKBN ini menunjukkan bahwa laki-laki di Indonesia sangat berperan rendah dalam keterlibatan KB di Indonesia. Rasio perbandingan antara akseptor laki-laki dan perempuan mempunyai ketidak sebandingan yang relatif signifikan. Berbeda dengan Jepang yang menunjukkan, bahwa kecenderungan akseptor KB laki-laki jauh lebih tinggi persentasenya daripada akseptor KB perempuan. Data-data dari negara lain, menunjukkan kecenderungan yang sama dengan Indonesia, di mana persentase akseptor KB perempuan relatif lebih banyak daripada akseptor KB laki-laki, namun perbedaannya relatif lebih rendah dibanding dengan Indonesia. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kondisi di Indonesia memang menunjukkan bahwa negara relatif cukup berperan dalam opresi keterlibatan perempuan pada program KB. Alison Jaggar, seorang feminis beraliran Marxis2 9 mengemukakan bahwa dalam suatu tatanan ideologi yang melandaskan pada sistem kapitalis, maka pihak yang disubordinasi akan mengalami suatu kondisi ‘alienasi,’ yang merujuk pada konsep yang sama yang digunakan oleh Karl Marx ketika menyoroti masalah buruh yang hanya menjadi mesin-mesin produksi serta terus menerus bekerja, yang bertujuan untuk menjaga proses produksi terus berjalan. Jaggar, sama dengan Marx menganggap bekerja merupakan suatu kegiatan yang memanusiakan manusia (par exellence); yang menghubungkan manusia dengan tubuh dan pikirannya, alam, beserta manusia lainnya. Dalam konsep feminisme, maka Jaggar berpendapat bahwa ketika seorang perempuan mengambil pilihan untuk reproduksi, maka ia harus dalam 29 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 182-187. 0 50 100 Akseptor KB Laki-laki di Berbagai Negara (2006) Persentase Akseptor KB Perempuan Persentase Akseptor KB Laki-laki
  • 18. 18 kondisi siap serta sadar akan keberadaan tubuh keperempuanannya. Jaggar mengaplikasikan konsep alienasi pada perempuan, di mana ia mengatur pembahasan ini dalam suatu fragmentasi, bahwa perempuan itu mengalami alienasi pada tiga komponen penting dalam hidup sebagai perempuan, yaitu seksualitas, reproduksi, serta intelektualitas. Seorang perempuan, dituntut untuk melakukan diet, latihan, serta berpakaian yang sesuai dengan standar kecantikan yang menarik minat laki-laki. Jika dalam konsep borjuis-proletar Marx, seorang proletar dituntut untuk berusaha ekstra guna menghasilkan produksi untuk meraup profit; maka perempuan dituntut untuk berusaha keras supaya mendapat persetujuan atas kecantikannya (male gaze), di mana jika para laki-laki menyetujui bahwa perempuan ini cantik, maka ‘value’ atas perempuan ini mengalami peningkatan, sehingga ia bisa memasuki tahapan proses kehidupan selanjutnya, yakni fragmen reproduksi. Konsep motherhood, seperti halnya seksualitas juga mengalienasi seorang perempuan sesuai dengan konstruksi sistem masyarakat yang ada pada tempat dimana ia berada; yang akan memutuskan sejauh mana ia mempunyai hak untuk menetapkan sistem reproduksinya, misal jumlah anak yang akan dikandungnya. Kasus dalam masyarakat yang tenaga kerja anak bisa dimanfaatkan sebanyak tenaga kerja orang dewasa, maka seorang perempuan akan dituntut untuk bisa hamil sebanyak mungkin selama fisiknya memungkinkan untuk melakukan hal itu. Kebalikan dari hal ini, maka pada suatu tatanan masyarakat yang anak-anak dianggap sebagai beban ekonomi dan pertumbuhan suatu negara, maka banyak perempuan yang kemudian mendapat ‘hukuman’ ketika ia hamil, atau ketika ia memutuskan untuk mengandung, maka karena pertimbangan ekonomi, haknya untuk mengandung dihalangi oleh tatanan masyarakat dan negara, misalnya dengan cara kontrasepsi, sterilisasi, atau aborsi. Selanjutnya siklus ketika seorang perempuan bertugas sebagai pengasuh, maka tekanan pengasuhan yang diberikan kepada ibu sangatlah besar. Sang ibu harus membesarkan anak-anaknya sesuai dengan kontruksi masyarakat; dimana di dalamnya terdapat pranata, adat, tuntutan, dan norma serta doktrin yang berlaku di masyarakat; dan bukan dengan sistem pengasuhan yang kadang tidak diinginkan oleh sang ibu itu sendiri. Standarisasi dalam suatu konstruksi masyarakat, secara keji akan menempatkan sang ibu tersebut untuk berlomba supaya membesarkan anaknya sesuai dengan konsep ideal dalam masyarakat; bukannya menjadi anak-anak yang siap untuk menghadapi hidup, namun pada konsep anak-anak yang sempurna yang dianggap ideal dalam masyarakat; yang mempunyai nilai akademik bagus, berbadan sehat, berfisik rupawan, serta berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada akhirnya hal ini akan menempatkan perempuan yang berperan sebagai ibu mengalami alienasi dengan kapasitas intelektualnya. Jaggar beranggapan bahwa perempuan sebagai ibu ini akan selalu merasa tidak yakin serta ‘disudutkan’ sebagai ibu yang tidak berhasil jika anak-anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan konsepsi ideal dalam suatu masyarakat. Perempuan yang berada dalam konstruksi masyarakat yang
  • 19. 19 didominasi sudut pandang maskulin, akan selalu berada dalam pihak yang dipersalahkan, baik atas ‘kesalahan’ yang tidak disengaja yang berasal dari dirinya, atau ‘kesalahan’ yang berasal dari ketidaksesuaian konstruksi ideal masyarakat jika anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan kriteria tersebut. Dalam menganalisis program KB, maka negara seharusnya bertanggung jawab kepada akseptor perempuan. Negara perlu memberi opsi pada perempuan, mengenai apa, bagaimana dan mengapa program KB diadakan. Selanjutnya, tergantung pada pilihan perempuan tersebut sebagai seorang konsumen dalam produk kebijakan suatu negara, apakah ia merasa perlu mengikuti program KB atau tidak. Program KB merupakan suatu kebijakan negara yang dalam pernyataan pelaksanaannya harus menghormati hak reproduksi perempuan, namun pelaksanaannya memang sangat berbeda dengan apa yang terungkap dalam aturan dan pernyataan yang tertuang didalamnya. Apapun alasannya, maka sesungguhnya negara sama sekali tidak punya wewenang atau campur tangan untuk melakukan persuasi atau bahkan melakukan opresi terhadap perempuan mengenai apa yang harus dilakukan atau apa yang harus tidak dilakukan oleh perempuan; terutama berkaitan dengan hak reproduksinya, karena hak reproduksi merupakan hak asasi yang paling asasi yang berasal dari Sang Pencipta. C. Isu Global dalam Program KB Dibalik isu KB, maka ada persoalan global yang bersifat laten dan diabaikan oleh individu di dalamnya. Robin Morgan mengatakan bahwa perempuan adalah proletar dunia. Tak kurang isu perempuan daripada reproduksi adalah produksi. Meskipun pekerjaan domestic menyumbang 60-80 % dari kebanyakan ekonomi suatu negara, pekerjaan domestic tetap mengalami kekasatmataan produk nasional gross. Fakta bahwa perempuan dewasa ini adalah juga seorang pekerja adalah suatu hal yang absurd. Perempuan merupakan separuh dari penghasil makanan dunia, bertanggung jawab atas kesediaan air dan bahan bakar. Selain itu, perempuan juga menyumbang hasil-hasil kerajinan tangan, industry rumahan, serta hal-hal yang membutuhkan keterampilan tangan. Perempuan juga menjadi penyokong pendapatan suatu negara jika negara yang bersangkutan melegalkan industry seks.3 0 Maraknya perempuan yang terjun ke ranah publik ini menjadi ide pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan KB. Perempuan yang membatasi fungsi reproduksi, akan mempunyai banyak waktu untuk kembali ke ranah publik dan menjadi pekerja. Ketika perempuan bekerja, maka negara turut mengambil keuntungan tak langsung dari perempuan tersebut, yakni tidak perlunya negara mengeluarkan alokasi ekstra guna pembiayaan jaminan sosial untuk perempuan dan anaknya tersebut di masa 30 Jaggar, Alison. Dalam Rosemarie Putnam Tong. Op. Cit. Halaman 139-186.
  • 20. 20 yang akan datang; yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara-negara di belahan dunia manapun, yakni negara bertugas menjamin kesejahteraan bagi warganya.3 1 Dalam sudut alasan profesional, maka perempuan yang membatasi kelahiran, selain mengurangi anggaran pemerintah guna menjamin kesejahteraan mereka; maka perempuan bekerja ini juga mendatangkan profit yang cukup menguntungkan bagi pemerintah. Perempuan yang membatasi kelahirannya dan kemudian menjadi pekerja di luar negeri (TKW) misalnya, memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit bagi pemerintah berupa devisa. Bukti empirik juga semakin memperkuat bahwa hampir setengah dari pasar tenaga kerja dari suatu negara adalah perempuan, yang menandakan bahwa kapitalis membutuhkan perempuan dalam guna menjadi pekerja di korporasinya. Hal ini ditengarai karena ‘kelicikan’ ideologi kapitalis, yang memilih pekerja perempuan karena pekerja perempuan tidak akan menuntut kompensasi sebesar pekerja laki-laki. Pekerja perempuan dalam ideologi khas kapitalis, masih diasumsikan sebagai pekerja kelas dua, di mana dalam hal pemberian upah maka ia tidak perlu diberikan upah sebesar laki-laki karena perempuan bukanlah tokoh utama yang bertindak sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga. Dalam sudut ekonomi, maka perempuan yang membatasi kelahiran dipandang sangat menguntungkan bagi negara. Perempuan yang membatasi kelahiran, akan kembali ke sektor publik serta menjadi pekerja. Selanjutnya, perempuan pekerja akan mendapatkan upah; yang upah ini akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangganya sehari-hari. Hal ini menguntungkan bagi negara, karena itu berarti perempuan akan menjadi konsumen dari korporasi-korporasi swasta; di mana jika korporasi swasta mendapat keuntungan, maka korporasi tersebut juga akan mendatangkan profit besar bagi negara; misalnya korporasi itu akan membayar pajak, korporasi tersebut membuka jaringan di beberapa tempat, serta merekrut banyak pekerja, sehingga mengurangi pengangguran; yang berdampak baik pada negara. Dalam sudut pandang politis, maka pembatasan kelahiran pada perempuan secara kolektif juga mendatangkan kredibilitas suatu negara muncul. Kondisi pasar pekerja mensyaratkan para pekerja mempunyai kompetensi yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika masuk dalam suatu korporasi, maka perempuan akan melakukan upaya terhadap peningkatan performa kerjanya, sehingga korporasi dapat berkembang secara optimal. Jika kredibilitas pekerja perempuan berkembang dalam suatu negara, maka peluang investasi asing terhadap negara yang bersangkutan juga akan mengalami peningkatan. Suatu negara yang kredibel, selanjutnya akan lebih mudah dalam upaya meningkatkan pembangunan di negaranya. Pandangan para feminis global tentang KB adalah menuntut kesadaran untuk melokalkan yang global dan mengglobalkan yang local. Dalam dunia ini, selalu terbagi dua kubu, yakni negara-negara yang punya kecukupan ekonomi yang dinamakan 31 Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and New York : Routledge. Halaman 135.
  • 21. 21 sebagai negara dunia kesatu; sebaliknya, negara-negara berkembang, yang belum mempunyai kecukupan ekonomi dinamakan negara dunia ketiga. Praktek program KB disinyalir merupakan suatu isu yang tak lepas dari isu politik. Opresi negara serta opresi laki-laki terhadap perempuan dunia ketiga telah menunjukkan keterkaitan yang kompleks antara suatu bentuk teknologi pengatur reproduksi dengan suatu praktek eugenic serta pembatasan populasi terhadap kulit berwarna. Sebagai contoh industri alat kontrasepsi kebanyakan dikembangkan di negara-negara dunia kesatu yang kemudian produk kontrasepsi ini diopresikan kepada perempuan dunia ketiga. Adanya fakta bahwa terkadang alat kontrasepsi yang membahayakan di negara-negara dunia kesatu justru kelebihan produksinya yang seharusnya sesuai dengan standar kesehatan harus dimusnahkan, namun justru dipasarkan di dunia ketiga. Ide pembatasan populasi ini tak lebih adalah untuk menjaga suplai makanan dunia supaya tersedianya bahan pangan yang cukup bagi dunia kesatu dengan membebankan penjarangan kelahiran justru kepada perempuan yang berasal dari dunia ketiga. Seperti yang tercatat di India dengan kebijakan amniocentesisnya, justru menjadi praktek penjarangan kelahiran yang sangat efektif. Tes amniocentesis yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Amerika yang bertujuan untuk menemukan abnormalitas genetic pada fetus, kini justru secara rutin dilakukan di India sebagai tes penentu jenis kelamin dengan maksud memusnahkan fetus perempuan ketika fetus tersebut berusia kurang dari 3 bulan. Tes ini konon tidak memerlukan bujet yang besar, dan perempuan dianggap menginginkan tes ini, terutama jika mereka telah mempunyai satu atau dua anak perempuan, yang dimana mereka harus membayar uang pembayaran mas kawin (dowry system) yang sangat mahal. Kemudian para feminis India yang prihatin dengan fenomena ini, menggiatkan kampanye untuk melawan tes amniocentesis yang didengar oleh perusahaan GAMET- NICS, suatu perusahaan alat-alat penunjang reproduksi di Amerika Serikat. GAMET- NICS yang punya banyak klinik di negara dunia ketiga kemudian memperkenalkan teknologi pemilihan jenis kelamin sebelum diadakan pembuahan, yakni dengan memisahkan kromosom X dan Y. Perusahaan ini bersikeras bahwa teknologi ini lebih manusiawi daripada praktek amniocentesis yang diikuti dengan aborsi meskipun mereka mengabaikan di waktu yang akan datang, India terancam sebagai negara yang mengalami deficit populasi perempuan. Contoh ini menunjukkan bahwa suatu isu yang diterapkan kepada perempuan selalu tak luput dari keuntungan kapitalis.3 2 Dr. Rima Laibow dari organisasi nirlaba untuk kesehatan dunia yang bernama Natural Solutions Foundation pernah berbicara dalam sebuah forum internasional yang membahas mengenai masalah pangan. Ia menjelaskan dalam presentasinya, bahwa mereka yang menguasai panganlah yang akan menguasai dunia. Proyek untuk mengontrol populasi secara global diimplementasikan pada 31 Desember 2009, yang merupakan cetak biru dari proyek dunia di bawah arahan WHO dan FAO. Proyek 32 Ibid, halaman309-353
  • 22. 22 Codex Alimentarius ini menerapkan kembali cara untuk mengontrol populasi penduduk dunia dengan cara penggunaan alat kontrasepsi oleh penduduk dunia, pemberian vaksin serta penggunaan bahan kimiawi yang dimasukkan dalam bahan makanan (transgenic).3 3 Maka demikian, maka orang-orang yang mampu hidup lebih lama adalah mereka yang berhasil lolos dari seleksi alam, yakni orang-orang yang mampu secara finansial menyuplai stok gizi dan nutrisi yang mereka butuhkan, serta orang-orang yang mempunyai tanggungan finansial yang paling sedikit. Teori system dunia, yang mendasarkan bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang mencakup seluruh negara di dunia tanpa kecuali; sehingga, integrasi yang terjadi lebih banyak dikarenakan pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik, menjadikan program KB yang dikampanyekan di negara-negara dunia ketiga sebagai sarana membebankan pembatasan populasi kepada negara-negara berkembang. Ideologi Neo liberalisme merupakan ide yang mentransformasikan bahwa negara-negara ini menjadi suatu jaringan yang teramat besar, di mana tidak ada sekat yang membatasi antara zona negara satu dengan negara yang lain. Liberalisasi dalam segala bidang yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial global, disepakati oleh rezim General Agreement on Tarif and Trade (GATT) dan perdagangan bebas; di mana didalamnya didukung penuh oleh korporasi-korporasi internasional menjadikan negara-negara yang berada di bumi ini menjadi suatu perserikatan dunia yang menjalankan sistem perdagangan bebas (globalisasi).3 4 Era globalisasi ini ditandai dengan sistem ekonomi yang berwatak eksploitatif, sistem politik yang represif, serta sistem budaya yang menghegemoni. Negara-negara dunia ketiga yang sebelumnya merupakan tinggalan dari kolonialisme yang sedang giat-giatnya membangun untuk menghidupkan kembali negaranya yang sebelumnya belum berkembang akibat kolonialisme, maka setelah mendapat hantaman dari sistem neo-liberal ini, dipastikan akan collapse. Indonesia yang tergabung dalam negara-negara dunia ketiga, belum mempunyai suatu fondasi struktur yang kuat untuk menghadapi hantaman globalisasi. Akibatnya, semua komoditi yang berasal dari luar diizinkan masuk, sedangkan produksi lokal tidak diizinkan berkembang. Industri kontrasepsi di Indonesia merupakan suatu industri yang berskala besar yang pastinya melibatkan jaringan korporasi yang berskala internasional. Data yang didapat oleh penulis menunjukkan bahwa alat kontrasepsi yang digunakan di Indonesia kebanyakan menggunakan lisensi dari perusahaan multinasional asing, yakni dari Amerika, Jepang, China, dan negara-negara yang tergabung di Uni-Eropa. Kepentingan kapitalis selalu terus menerus akan berusaha melakukan ekspansi produknya guna meraih profit maksimal. Program KB, meski ‘dibungkus’ sebagai suatu komponen 33 Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius. www.codexalimentarius.net. 34 Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang : UB Press. 2010. Halaman 215-222.
  • 23. 23 untuk mendukung stabilitas pembangunan di Indonesia, maka tak luput juga dari konspirasi untuk perluasan produksi korporasi multinasional tersebut dengan tujuan untuk mendapat pangsa pasarnya. Dengan demikian, maka perempuan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya berada dalam posisi klien, yakni merupakan sasaran program dari negara berkembang yang merupakan klien dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan, di mana pemerintah dalam hal ini juga merupakan klien dari perusahaan multinasional dengan kamuflase birth control. Dampaknya, selain mendapatkan opresi negara serta dominasi laki-laki dalam program KB, perempuan juga menjadi objek dari penetrasi pasar korporasi internasional, karena menggunakan produk yang mereka perdagangkan. Menggunakan pengandaian, jika dalam suatu negara berkembang para perempuannya menggunakan alat kontrasepsi yang merupakan produk dari perusahaan multinasional tersebut, maka jika dikalikan dengan negara-negara yang mempunyai kebijakan program KB serupa, dengan menggunakan produk yang sama, bisa diperkirakan keuntungan optimal yang akan diraih oleh perusahaan multi nasional yang bersangkutan akan berlimpah.
  • 24. 24 KESIMPULAN Posisi seorang perempuan seharusnya memang dimaknai sebagai suatu mahluk yang utuh, dia dihargai bukan sebatas fungsi reproduksi dan seksual. Permasalahan yang berkaitan dengan reproduksi perempuan merupakan suatu masalah dalam ranah domestik. Perempuan yang dikonsepsikan sesuai dengan fungsi reproduksinya diyakini menjadi common-sense causes dari kelebihan jumlah penduduk. Ide ini kemudian direpresentasikan menjadi suatu tanggung jawab yang diberikan kepada perempuan untuk mengontrol fungsi reproduksi mereka dengan tujuan supaya terjadi simbiosis mutualisme antara negara dengan perempuan tersebut. Pada perkembangan lebih lanjut, maka yang terjadi adalah suatu disharmoni. Program KB yang dijalankan oleh perempuan secara lebih lanjut tetap menjadi suatu kewajiban setengah paksaan kepada mereka, dengan tidak diberikannya pemberian hak untuk memilih; meskipun pada pernyataannya, program KB yang selama ini berjalan di Indonesia merupakan suatu pilihan yang bersifat anjuran. Konstruksi masyarakat yang bersifat maskulin ikut memegang kendali terjadi nya kesenjangan gender dalam pelaksanaan program KB. Ide bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah memunculkan suatu bayangan bahwa laki-laki memang tidak diharus kan untuk mengikuti KB. Tubuh wanita yang secara biologis harus mengandung, melahirkan, dan menyusui; serta konstruksi masyarakat menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Ini menjadikan perempuan sebagai target dalam pelaksanaan kebijakan KB. Kebijakan ini menafikan bahwa pada kenyataannya, perempuan juga bisa berada di sektor publik yang setara dengan kedudukan laki-laki. Pada akhirnya, perempuan dijadikan instrumen untuk kebijakan pemerintah tentang pembatasan kelahiran; dengan meminggirkan kenyataan bahwa perempuan sebenarnya juga mempunyai ‘beban’ berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka. Akibatnya beban yang disandang perempuan jauh lebih berat daripada laki-laki. Peran negara juga ditengarai menjadikan perempuan hanya sebatas menjadi objek kebijakan. Perempuan yang mempunyai tubuh yang berfungsi reproduktif dianggap sebagai ‘beban’ negara. Oleh karena itu, negara mengeluarkan kebijakan yang bersifat semi-kewajiban dengan unsur opresif dengan tujuan untuk menjarang kan kelahiran. Perempuan yang menjadi akseptor dilabeli dengan perempuan yang peduli pada pembangunan. Dalam suatu kebijakan, maka akan timbul pertanyaan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Program KB menempatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan jika ia tidak secara sukarela ingin mengikuti KB. Negara juga ‘bersalah’ jika membidik peserta KB hanya terbatas pada perempuan. Negara perlu memberikan penyuluhan dengan tepat dan jelas, bahwa tanggung jawab reproduksi merupakan tanggung jawab bersama, bukan semata-mata tanggung jawab perempuan.
  • 25. 25 DAFTAR ACUAN Buku : Abdul Wahab, Solichin. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 2008. Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Budiman, Arief. TeoriNegara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1997. Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001. Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984. Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. Dalam Saiful Arif. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1987. ------------------- Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1997. Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi dan Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. 2002. Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam Diskursus Kebijakan. Dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and New York : Routledge. Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2010. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Feminisme Sebagai Tubuh, Pikiran, dan Pengalaman : Dalam Resistensi Gaya Hidup, Sebuah Teoridan Realitas. Yogyakarta: Jala Sutra. 2006. Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
  • 26. 26 Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University Press. 2009. Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima TeoriPembangunan. Malang : UB Press. 2010. Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Jurnal : Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia. www.duniaesai.com. 2011. Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi. www.scribd.com. 2003. Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in Social Dominance. 1999. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss. Subagyo, Adam. Makna Seksualitas Bagi Akseptor Tubektomi. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Volume 22. No. 3. 2010. Wening Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis Gender Terhadap Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora Volume 16. No. 2. Juni 2004. Situs : Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo. www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi. BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar Jenis Kelamin. www.bkkbn.id. 2011. ---------- Data Diferensiasi Pengguna Kontrasepsi di Berbagai Negara : Riset yang diadakan tahun 2006. www.bkkbn.id. 2011 Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius. www.codexalimentarius.net.