1. Esai ini membahas dominasi maskulin dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya yang berdampak pada hak reproduksi perempuan. Program keluarga berencana di Indonesia didominasi oleh metode kontrasepsi yang diperuntukkan untuk perempuan tanpa melibatkan partisipasi dan persetujuan mereka.
Dominasi maskulin dalam program keluarga berencana
1. 1
DOMINASI MASKULIN DAN OPRESI NEGARA DALAM PROGRAM
KELUARGA BERENCANA
Nama : Nindita Farah Sasmaya
NIM : 117120100111002
Program Doktor Ilmu Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya 2011
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Pelaksanaan Keluarga Berencana (yang selanjutnya dalam essai ini akan
penulis singkat dengan KB) sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1957, akan tetapi
presiden pada saat itu, yakni Ir. Soekarno yang belum terlepas dari euforia
kemerdekaan, merasa yakin dan optimis dengan menyatakan bahwa Indonesia
mempunyai kekayaan alam yang cukup untuk menghidupi lebih dari 250 juta
penduduk. Mantan presiden Soekarno tidak memperkirakan bahwa penduduk
Indonesia akan melonjak melebihi 250 juta jiwa dalam tempo 10 tahun kemudian.1
Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang memfokuskan
pertumbuhan Indonesia pada pembangunan infrastruktur dan sarana pembangunan
serta modernisasi manusia Indonesia, maka perempuan yang dianggap sebagai salah
satu objek pembangunan dianggap sebagai sumber masalah bagi perkembangan
ekonomi modern. Akibat dari getolnya upaya untuk melaksanakan pembangunan
tersebut, maka ide KB menjadi tercetus dengan tujuan untuk membatasi kelahiran,
serta lebih membebaskan wanita untuk masuk ke sektor industri2 . Pada
pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan
program nasional besar. Pemerintahan Presiden Soeharto yang sangat concern
terhadap program KB, selanjutnya membentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencana
Nasional) pada tahun 1968. Badan ini sebenarnya merupakan tunas dari PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang telah dibentuk pada rezim
Soekarno. LKBN yang bernaung di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(Menko-Kesra). Dalam dua dasawarsa penerapan program KB di Indonesia, maka
tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3 kelahiran per perempuan, sementara
tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000.3 Ini dicatat
1 Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
Halaman 12.
2 Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. 1987. Halaman 12. Dalam Saiful Arif.
Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. HalamanXVII.
3 Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
www.duniaesai.com. 2011.
2. 2
sebagai keberhasilan Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan
Indonesia dijadikan model teladan dari negara-negara berkembang. Angka-angka
demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target. Akan
tetapi, terdapat beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka
tersebut khususnya menyangkut hak reproduksi perempuan, seperti pengabaian
hubungan hak-hak reproduksi perempuan, yaitu KB berasumsi bahwa hasrat seks
laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan dilihat
sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
Dimasa awal tahap perkembangannya, maka metode kontrasepsi yang dipakai
untuk pelaksanaan KB ini menggunakan semacam penghalang yang dipasang di alat
vital perempuan. Percobaan KB pertama kalinya dipelopori oleh dr. Kun Martiono,
seorang ahli kandungan. Beliau memperkenalkan metode kontrasepsi sederhana,
berupa potongan kain kasa yang diujungnya dijahitkan dengan benang, yang
kemudian dicelupkan ke dalam minyak kelapa. Selanjutnya, sebelum pasangan suami
isteri berhubungan badan, maka kain kasa tersebut dibenamkan dalam-dalam ke
vagina isteri sehingga konon metode ini bisa dianggap untuk menghalangi
pembuahan. Setelah selesai berhubungan badan, maka kemudian kain kasa ini bisa
dilepas. Metode kontrasepsi ini selanjutnya menjadi cikal bakal diproduksinya
IUD/Spiral.4
Dalam pelaksanaan program KB, maka dapat dilihat bahwa kecenderungan
mayoritas akseptor adalah dari pihak perempuan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada
data akseptor KB aktif di Kota Malang Provinsi Jawa Timur yang didapat penulis dari
situs BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) sebagai berikut :
IUD/spiral sebanyak 25.9%, implan 5.2 %, suntik sebanyak 47.5%, penggunaan pil KB
sebanyak 13.3%, sedangkan satu-satunya alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi
pria adalah kondom, penggunanya hanya sebanyak 0.9%.5 Program KB selalu
menunjukkan indikasi serupa, bahkan secara nasional, yakni adanya ketimpangan
gender. Hal ini bisa disimpulkan dari metode kontrasepsi, nyaris semuanya
diperuntukkan perempuan, yang mengakibatkan pembatasan hak perempuan untuk
memilih alat kontrasepsi, di mana tidak lengkapnya informasi yang tersedia
mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metoda seperti IUD dan metoda
hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi
perempuan (selama beberapa tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang
untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid. Beberapa resiko
kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit
kepala, tidak banyak dibicarakan di Indonesia maupun negara-negara berkembang
4 Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam Pelaksanaan
Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University Press. 2009.
Halaman 1.
5 BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar Jenis
Kelamin. www.bkkbn.id. 2011.
3. 3
lainnya. Cara kontrasepsi berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom)
tidak dimasukkan dalam penyuluhan terhadap calon akseptor; serta adanya
kecenderungan bukan merupakan alat kontrasepsi yang cenderung diprioritaskan
dalam program KB.
Akibat dari hal ini, maka perempuan tidak punya pilihan lain selain
menggunakan kontrasepsi KB, terlebih jika laki-laki yang merupakan pasangannya
keberatan. Ketentuan penggunaan kontrasepsi ini disebabkan karena secara kodrati,
perempuan harus menanggung beban reproduktif (hamil, melahirkan, dan menyusui),
sehingga mau tak mau dalam konteks program KB, mereka menjadi pihak yang tak
punya nilai tawar. Relasi timpang ini sesungguhnya didasari oleh ideologi tertentu
yang mempengaruhi cara pandang dan keyakinan pada pihak-pihak yang terlibat. Ada
hak dan kewajiban yang berbeda antara peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Status maupun peran perempuan yang dianggap lebih rendah daripada
laki-laki menjadikan perempuan rentan menerima kekerasan yang menimpa alat
reproduksinya. Keadaan ini sudah melanggar hak reproduksi perempuan yang
seharusnya dihormati, karena merupakan hak asasi setiap orang.6
Ironisnya, negara yang berkepentingan dalam menerapkan program KB seolah-
olah menyetujui ketimpangan gender dengan membidik akseptor berjenis kelamin
perempuan, bahkan banyak perempuan yang minim terhadap akses informasi
terhadap program KB, tidak mengetahui bahwa program KB sebenarnya juga bisa
diperuntukkan kepada laki-laki. Pada perempuan yang sebenarnya sudah mengetahui
informasi bahwa KB juga bisa diaplikasikan pada para kaum pria pun, kemudian
banyak yang menganggap bahwa KB adalah suatu konsekuensi yang harus ia tanggung
karena kodrat biologisnya sebagai seorang perempuan. Akibatnya, banyak perempuan
yang kemudian menanggung penderitaan akibat efek dari KB, contohnya kegemukan,
flek wajah, kram perut, menstruasi yang banyak dan berlangsung dalam waktu yang
lama, anemia, sampai pada akibat ia lupa meminum pil KB, maka ia mengalami
kehamilan yang sebenarnya belum atau tidak ia harapkan.
Berdasarkan paparan singkat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
perempuan hanya mendapat sedikit peluang untuk mengambil keputusan atas
keterlibatannya dalam mengikuti program KB, karena memang dalam tatanan sosial
dan budaya ia memang dikondisikan untuk selalu menerima semua keputusan yang
dibuat oleh pria. Selain itu, ditengarai ada semacam egoisme pria berkaitan dengan
program KB sehingga mereka seolah-olah enggan untuk mengikuti program KB dan
menganggap bahwa program tersebut merupakan tanggung jawab isteri sebagai
pelaku utama reproduksi. Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa 4
dari 6 jenis alat kontrasepsi diperuntukkan bagi perempuan. Hal ini menjadi semakin
kentara menunjukkan bahwa pelaksanaan program KB di Indonesia tidak sesuai
6 Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi.
www.scribd.com. 2003.
4. 4
dengan apa yang diamanahkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadakan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tanggal 18 Desember 1979, yang pada waktu itu pemerintah Indonesia
ikut menandatanganinya. Adapun sebagai tindak lanjut dari Konvensi PBB tersebut,
maka dibuatlah Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sebagai ratifikasinya.7
Pada program keluarga berencana, perempuan harus diposisikan sebagai
subjek, dengan demikian hak-hak reproduksinya termasuk hak dalam pengambilan
keputusan harus dihargai. Dalam hal ini otoritas pengambilan keputusan masih
berada pada tangan suami. Salah satu indikasi dari lemahnya posisi perempuan
dimasyarakat adalah dari tingkat perlindungan terhadap perempuan dalam proses
reproduksi di Indonesia belum cukup.8 Keadaan ini menjelaskan bahwa dalam
masyarakat, maka perempuan telah didominasi secara halus oleh kekuatan-kekuatan
maskulin yang didukung juga oleh negara untuk mengikuti program KB. Dengan
demikian, keterlibatan perempuan dalam program KB ini bukan atas kehendak atau
kemauan pendapatnya sendiri secara otonom, namun dipengaruhi oleh suatu
dominasi maskulin yang bersenyawa dengan tatanan budaya patriarki dan patrilineal.
Dominasi ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika secara ideologis kebijakan negara
juga menggunakan metodologi program KB yang sadar gender, yang akan
memunculkan perumusan masalah sebagai berikut :
Mengapa dominasi maskulin bisa mempengaruhi ketidak kepedulian pada hak
reproduksi perempuan kaitannya terhadap program KB di Indonesia?
B. Kerangka Konsep
Dari pernyatan yang sering digunakan oleh penulis, maka dapat diturunkan
suatu konsep sebagai berikut:
1. Dominasi Maskulin
Sebuah konsep yang penulis pinjam dari istilah Pierre Bourdieu, yakni merujuk
pada suatu tatanan dalam masyarakat yang membuat perempuan memang secara
hirarkis berada di bawah posisi laki-laki. Dominasi maskulin ini juga merupakan
pemahaman bawah sadar androsentris yang bersemayam di alam pikiran kaum laki-
laki maupun kaum perempuan dalam suatu tatanan masyarakat.9 Lebih lanjut lagi,
dominasi maskulin ini sebenarnya merupakan kekerasan yang tak kasat mata dan
halus yang kemudian dipenetrasikan kepada kaum perempuan, namun perempuan
tersebut tidak menyadari; atau bahkan bangga dan menyetujui hal tersebut. Sebagai
contoh, seorang perempuan dipuji atas kefeminitasannya, dan perempuan tersebut
menyetujuinya, misalnya dalam suatu masyarakat konsep isteri yang baik adalah
7 Sukeni, Ni Nyoman. op.cit. 2009. Halaman9.
8 Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK Universitas
Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001. Halaman 125.
9 Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah Stephanus
Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
5. 5
seorang isteri yang hanya tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, berbakti,
patuh, dan mampu menyenangkan suami karena pandai memasak, pandai berdandan,
dan pandai menata rumah. Sedangkan, seorang isteri dikatakan tidak terlalu baik jika,
bekerja hingga petang, tak bisa memasak, tak rajin membersihkan rumah, dan
sebagainya. Konstruksi masyarakat semacam ini membuat suatu konsep yang
mengagungkan perempuan feminin yang bekerja hanya sebatas sektor domestik
sebagai perempuan yang benar; sedangkan perempuan yang bekerja di sektor publik
serta tidak secara total mengurus rumah tangganya dikatakan sebagai perempuan
yang tidak benar. Hal inilah yang penulis maksud dengan konsep dominasi maskulin.
2. Konsep Perempuan
Perempuan dalam karya tulis ini adalah para perempuan yang mempunyai
suami yang menjadi akseptor pada program KB.
3. Konsep Program KB
Program KB dalam karya tulis ini adalah program yang diadakan oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka upaya pengendalian pertumbuhan penduduk
dengan cara mengatur fertilitas pada pasangan usia subur (PUS) dengan cara
menggunakan alat kontrasepsi penunjang program KB yang umum di Indonesia,
sebagai contoh: IUD/Spiral, Pil KB, Implant, kondom vaginal, suntik hormon, dan
tubektomi yang diperuntukkan bagi perempuan. Sedangkan alat kontrasepsi
penunjang KB yang diperuntukkan bagi laki-laki yaitu kondom, dan vasektomi.
4. Konsep Penghormatan Hak Reproduksi Perempuan
Penghormatan atas hak reproduksi perempuan sudah dibahas dalam berbagai
Konferensi Internasional, terutama yang berkaitan dengan kependudukan. Konferensi
kependudukan dunia yang berlangsung setiap 10 tahun ini pertama diselenggarakan
tahun 1954 di Roma, Italia dan terakhir diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tahun
1994.1 0 Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan
Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo sudah disepakati perihal hak-
hak reproduksi. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa terkandung empat hal pokok
dalam reproduksi wanita yaitu : Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and
sexual health), Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision
making), Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women),
Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security). Adapun
definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional
yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga
disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi
setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
10 Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam Diskursus
Kebijakan. Salah satu esai dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Diterbitkan untuk
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Halaman 305-315.
6. 6
jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak
mereka.1 1 Posisi hasil dari konferensi Kairo dalam hal ini memberikan arahan bagi
para pembuat kebijaksanaan dan para perencana program. Dokumen ini
mempengaruhi berbagai usulan yang diusung dalam berbagai macam kebijakan
kependudukan yang digunakan dalam berbagai macam negara. Program KB tidak
hanya dianggap sebagai urusan individu ataupun pasangan, namun lebih dari itu;
menjadi urusan negara beserta para agen dan pihak yang terkait untuk melakukan
implementasi ke dalam tatanan masyarakat. Wacana kolektif tentang program KB ini
menimbulkan suatu sikap skeptis, di mana skeptisisme yang dihadapi adalah, bahwa
fungsi reproduksi yang berkaitan dengan fungsi mengandung dan melahirkan yang
dialami oleh perempuan akan tetap menjadi permasalahan sensitive yang ditimpakan
ke perempuan serta menjadi tanggung jawab perempuan itu sendiri, meskipun ia
dalam kehidupan berkeluarga juga bersama-sama dengan laki-laki. Wacana KB ini
bersifat unconscious dan bahkan dianggap wajar apabila perempuan yang seharusnya
menjalani program KB, sehingga kepentingan bangsa dan pembangunan dikatakan
berhasil jika perempuan terlibat di dalamnya. Salah satu bentuk partisipasi
perempuan diterjemahkan dengan partisipasi mereka menjadi peserta program KB.
C. Landasan Teori
Karya ilmiah ini menggunakan landasan teori sebagai berikut :
1. Teori Dominasi
Marx yang merupakan peletak dasar teori pertentangan kelas menandai bahwa
dalam tatanan sosial, maka akan selalu ada pihak yang berperan dominan atau
represif, serta ada pihak yang menjadi subordinat. Kapitalisme yang merupakan
sumber dari kekuatan untuk melakukan opresi terhadap perempuan tersebut,
mempunyai suatu hubungan yang rumit dengan patriarki, yang menyebabkan selama
kapitalisme itu masih ada maka perempuan akan selalu menjadi pihak yang direpresi
oleh konstruksi budaya yang bersifat patriarki.
Sidanius dan Pratto menyatakan bahwa tidak setaranya hirarki social
berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai social (social value)
yang tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat (dalam hal ini kepada
perempuan), baik nilai social yang positif atau nilai social yang negative. Hasil dari
ketidaksetaraan distribusi social kemudian dimanfaatkan oleh ideology social,
keyakinan, mitos, serta doktrin religious tertentu sebagai alat pembenaran. Teori
dominasi social ini menjelaskan bahwa determinan awal dari segala bentuk dominasi
adalah berasal dari orientasi dominasi social. Orientasi dominasi social merupakan
11 Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo.
www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi.
7. 7
derajat keinginan individu untuk mendukung hirarki social berdasarkan pada
kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior.1 2
Pierre Bourdieu dalam bukunya Dominasi Maskulin yang menulis bukunya
berdasarkan atas penelitiannya pada struktur pekerjaan atas opsi diferensiasi gender
pada masyarakat Qubail di Mediterania, menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada tiga
praktek yang digunakan dalam suatu tatanan masyarakat untuk memposisikan suatu
bidang pekerjaan kepada seorang perempuan. Prinsip pertama adalah, perempuan
dianggap cocok pada pekerjaan yang merupakan perpanjangan tangan dari bidang-
bidang domestic, misalnya pelayanan, pengajaran, serta pengasuhan. Kedua,
perempuan tidak boleh memiliki otoritas yang lebih kepada laki-laki, dan
menempatkan dirinya hanya sebagai asisten/ posisi tersubordinasi. Prinsip ketiga
adalah, dalam bidang pekerjaan, maka selalu ada kecenderungan dalam masyarakat
untuk memberikan bidang pekerjaan yang berkaitan dengan teknik dan mesin kepada
laki-laki. Pemikiran Bourdieu yang dimulai dari tatanan masyarakat Qubail
selanjutnya mendapat pembenaran, karena ternyata teori ini relevan dan berlaku di
banyak tatanan masyarakat. Bourdieu berasumsi bahwa dominasi maskulin ini
memang sifatnya sangat halus, tak kentara dan kasat mata, namun berhasil membuat
para perempuan yang didominasi ini menyetujui, dan bahkan bangga jika ia berhasil
didominasi oleh laki-laki, serta menganggap bahwa ini adalah bagian dari kodratnya
sebagai seorang perempuan.1 3
Konsep yang diketemukan oleh Pierre Bourdieu ini nyaris mirip dengan teori
hegemoni yang ditemukan oleh Antonio Gramsci. Gramsci menilai bahwa negara dan
masyarakat akan selalu berintegrasi, di mana negara tersebut akan menghasilkan
suatu produk yang dinamakan kebijakan. Kebijakan ini diimplementasikan ke
masyarakat dengan dua cara, yakni dengan pendekatan koersif atau pendekatan
kekerasan, yang dianggap melanggar nilai-nilai humanitas, namun masih saja
diterapkan dalam beberapa negara. Pendekatan kedua adalah, dengan cara yang
manusiawi, halus, melalui pendekatan etika, moral, serta intelektual. Pendekatan
inilah yang dimaksud Gramsci dengan pendekatan hegemoni, yakni suatu kondisi
dimana terjadi institusionalisasi kebijakan yang secara halus diterapkan kepada
masyarakat, namun tidak ada paksaan, yang ada hanyalah suatu consensus atau
kesepahaman.1 4 Dengan kata lain, syarat utama dari teori hegemoni ini adalah, tidak
adanya paksaan. Dalam kasus program KB maka penulis mencoba untuk menganalisis
permasalahan yang timbul, yakni masalah dominasi maskulin yang didalamnya
meliputi factor-faktor egoisme pria dalam mengikuti KB yang selanjutnya
mengakibatkan keengganan dalam mengikuti program tersebut, menimpakan
tanggung jawab reproduksi hanya ke perempuan, pengambilan keputusan yang
12 Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in Social
Dominance. 1999. Halaman 31-57. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss.
13 Bourdieu, Pierre. Op. Cit. Halaman 10-31
14 Sukeni, Ni Nyoman. Op. Cit. Halaman 14-15.
8. 8
mayoritas didominasi oleh laki-laki, karena di Indonesia masih menganut budaya
patriarki, serta peran teknis dari Negara sebagai pembuat kebijakan di mana
penyediaan alat kontrasepsi dianggap timpang gender, yang ditandai dengan bukti
empirik di lapangan bahwa sebagian besar penyuluh KB memang membidik
perempuan untuk terlibat dalam program KB, serta sosialisasi yang dilakukan oleh
negara memang menempatkan perempuan sebagai objek dalam program KB.
2. Teori Feminisme Global
Para tokoh feminis global berfokus kepada hasil opresif dari kebijakan yang
timbul pada masa colonial dan nasionalis; di mana pemerintahan besar dan bisnis
besar membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai dunia pertama; yang terdiri
atas ranah negara-negara yang menganut paham kapitalisme dan liberal dan dunia
ketiga; yang terdiri dari ranah negara-negara yang berkembang. Di masa lampau,
ranah Dunia Kedua diisi oleh perserikatan negara-negara yang menganut paham
sosialis-komunis, di mana seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara
sosialis telah runtuh; sehingga yang tersisa sekarang hanyalah negara dunia kesatu
dan negara dunia ketiga.
Definisi feminisme menurut paham feminis global harus diperluas untuk
mencakup sesuatu yang mengopresi perempuan, baik berdasarkan ras ataupun kelas,
atau hasil dari imperialisme dan kolonialisme, feminis global menekankan bahwa
opresi terhadap perempuan di satu bagian dunia sering kali disebabkan oleh apa yang
terjadi di bagian dunia yang lain, dan tidak akan ada seorang perempuan yang bebas
hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan di mana pun juga.1 5
Adapun tujuan jangka panjang dari feminisme global adalah; bahwa perempuan harus
mempunyai hak untuk memilih, dan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sendiri
di dalam dan di luar rumah. Memiliki kekuasaan atas hidup dan tubuh perempuan
adalah esensial untuk memastikan adanya rasa kebanggaan dan otonomi pada setiap
perempuan. Kemudian penghapusan semua bentuk ketidakadilan dan opresi dengan
menciptakan tatanan social dan ekonomi yang lebih adil, secara nasional dan
internasional. Hal ini berarti keterlibatan perempuan di dalam perjuangan kebebasan
nasional, dalam perencanaan pembangunan nasional, dan perjuangan bagi perubahan
di tingkat local dan global.
3. Teori Pertumbuhan Penduduk
Sekitar 200 tahun yang lalu, Thomas Malthus mengajukan sebuah teori tentang
pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus
melukiskan suatu kecenderungan universal bahwasanya jumlah populasi di suatu
negara akan meningkat secara cepat pada deret ukur atau tingkat geometric (pelipat
gandaan dari 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya) setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal
itu diredam oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya
15 Tong, Rosemarie Putnam.Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010. Halaman 330.
9. 9
proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang
jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat
menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (1, 2, 3 , 4, 5, dan seterusnya). Bahkan,
karena lahan yang dimiliki masyarakat semakin lama semakin sempit, maka
konstribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun.1 6
Intinya adalah Malthus memperkirakan dimasa-masa yang akan datang umat
manusia akan mengalami kekurangan pangan akibat semakin meledaknya jumlah
penduduk di dunia. Akan tetapi, banyak kalangan berpendapat bahwa teori pesimisme
Malthus banyak memiliki kelemahan, dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi.
Menurut Todaro, Malthus melupakan perhitungan tentang begitu besar dampak
kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber
dari ledakan pertambahan penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan
yang terbatas memang benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk
dibayangkan) memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan
kualitas atau produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap,
manusia bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi.
Malthus berkesimpulan bahwa cara yang lebih praktis adalah tetap berpegang
pada apa adanya: kebanyakan penduduk sesuatu yang tak bisa dihindari lagi dan
kemiskinan merupakan nasib yang daripadanya orang tidak mungkin bisa lolos. Ide
Malthus tersebut cukup membuat beberapa kalangan berpikir, karena sangat sulit
untuk mewujudkan solusi Malthus, maka ide penjarangan kelahiran dengan
kontrasepsi adalah menjadi alternatif yang cukup bermoral guna menjaga
ketersediaan pangan di masa yang akan datang.
Program KB yang merupakan suatu kebijakan yang merupakan manifestasi
dari teori Malthus (di mana Malthus sebenarnya sama sekali tidak mempunyai
gagasan untuk melakukan kontrasepsi karena ia adalah seorang pendeta Katolik yang
konservatif; yang menganggap kontrasepsi sama halnya dengan pembunuhan janin),
merupakan suatu produk solusi dari pengendalian penduduk yang paling masuk akal
ketimbang harus melewati peperangan, kelaparan, atau wabah penyakit yang
kesemuanya berpotensi mereduksi laju pertumbuhan penduduk namun harus
melewati suatu periode yang menyedihkan. Ide Malthus tentang pengendalian moral
yang dimaksud sebenarnya merujuk pada konsep menikah di usia yang cukup matang,
serta menjauhi seks bebas secara sukarela. Bagi pasangan yang telah menikah, maka
pengendalian frekuensi senggama merupakan konsep pengendalian diri yang paling
ideal, guna menjamin ketersediaan panganan untuk generasi mendatang.
Pemikiran Malthus tentang pembatasan frekuensi senggama bagi pasangan
yang telah menikah ini dianggap kurang masuk akal untuk dilaksanakan. Akan tetapi,
ide Malthus mendapat reaksi dari pembaharu Inggris berpengaruh, Francis Place
(1771-1854). Place yang membaca esai Malthus, menulis buku pada tahun 1822 yang
16 Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans.
10. 10
berisi anjuran kesehatan bagi pasangan yang telah menikah untuk menggunakan
kontrasepsi. Dia juga membagi penjelasan tentang pembatasan kelahiran diantara
para kelas pekerja. Di Amerika Serikat, Dr. Charles Knowlton menerbitkan buku
tentang kontrasepsi tahun 1832. Lembaga Malthus pertama dibentuk tahun 1860 dan
anjuran pengontrolan kelahiran (birth control) semakin bertambah pengikutnya.
Meskipun Malthus sebenarnya sama sekali tidak menyetujui penggunaan alat-alat
penjarangan kehamilan, namun anjuran pembatasan terhadap penambahan kelahiran
penduduk dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi biasanya disebut paham Neo-
Malthusian.1 7
D. Model Pemikiran
Dari konsep diatas yang berhasil dirumuskan oleh penulis, maka penulis
merangkai suatu model pemikiran sebagai berikut :
Penjelasan:
Konstruksi masyarakat dan budaya patriarki menghasilkan suatu produk
dominasi yang hanya bersumber dari cara pandang laki-laki. Kemudian, dominasi
maskulin ini akan mempengaruhi cara pandang perempuan dalam pelaksanaan
program KB. Ditambah dengan opresi dari negara, maka perempuan menjadi pihak
yang ditekan dalam pelaksanaan program KB.
17 Ibid.
Konstruksi
Masyarakat
Budaya
Patriarki
Dominasi
Maskulin
Perempuan
Opresi
Negara
11. 11
PEMBAHASAN
A. Dominasi Maskulin dalam Program KB
Mempunyai tubuh dengan kondisi biologis sebagai seorang laki-laki tidak serta
merta bisa menjadikan seorang laki-laki itu menjadi laki-laki, demikian pula
sebaliknya, mempunyai tubuh yang secara biologis sebagai seorang perempuan tidak
serta merta menjadikan seorang perempuan menjadi perempuan. Ada suatu
konstruksi yang berasal dari tatanan social masyarakat yang diinsepsikan ke dalam
alam bawah sadar mereka untuk mengkonstruksi mereka sesuai dengan jenis kelamin
mereka untuk menjadi manusia sesungguhnya (human being).
Konsep tentang maskulin dan feminine merupakan suatu hal yang menjadi
konsep ideal dalam masyarakat yang melekat ke dalam tubuh perempuan, serta
perempuan tersebut diharapkan untuk melaksanakan peran sebagai pelaksana sector
domestik, hal inilah yang dinamakan sebagai konstruksi feminin; sedangkan konsep
ideal yang dibangun berdasarkan persepsi ideal dari masyarakat bahwa pria adalah
sang pencari nafkah; inilah yang disebut dengan kontruksi maskulin. Adakalanya,
konstruksi ini sangat merugikan perempuan terutama yang berkaitan dengan hak-hak
sosialnya. Perempuan dikontruksi untuk membersihkan rumah, mengasuh anak, dan
memasak; sedangkan laki-laki dikonstruksi untuk mencari nafkah, mengerjakan
pekerjaan kasar, serta dikonsepsikan untuk berada di sektor publik. Berdasarkan
tampilan fisiknya, maka laki-laki memang dikondisikan untuk menerima beban berat,
dengan fisik yang lebih tegap dan tenaga yang lebih besar; yang dari keadaan fisik ini
diterjemahkan menjadi laki-laki berada dalam posisi superior, sedangkan wanita
berada dalam pihak yang inferior atau subordinat. Hal demikian telah menjadi suatu
tatanan semenjak zaman purbakala, di mana laki-laki dituntut berburu, menangkap
hewan, berlari, memindah dan membangun tempat tinggal pada kehidupan yang
nomaden, sedang wanita ditugaskan untuk tinggal di rumah, memasak, merawat
anak, memelihara rumah, berkebun, dan sebagainya. Proses perjalanan evolusi yang
panjang pun tak mampu mengubah konsep ideal yang berlangsung sejak jaman
dahulu kala. Ide bahwa laki-laki merupakan pemimpin dan kepala rumah tangga telah
menjadi konstruksi dalam tatanan masyarakat di manapun. Akibat dari konstruksi ini,
bisa ditebak bahwa perempuan akan selalu menjadi pihak yang kalah, dan secara
konstruktif, maka laki-laki akan menjadi pihak yang selalu menang. Perlakuan yang
berbeda seperti ini bagaimanapun juga akan hinggap dalam alam bawah sadar laki-
laki bahwa bagaimanapun juga mereka akan menjadi mahluk nomor satu; karena
mereka akan selalu dikonstruksi untuk seperti itu. Dampak terbesarnya yang
meskipun tak bisa digeneralisir namun sudah menjadi suatu kebiasaan umum; adalah
laki-laki mempunyai keengganan untuk mengakui bahwa perempuan bisa saja setara
atau bahkan melebihinya dirinya secara hirarkis. Keengganan pengakuan posisi
perempuan ini diperparah dengan konstruksi umum dari masyarakat, di mana
menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah atau seorang ratu domestik adalah
12. 12
suatu cita-cita yang mulia serta tertinggi yang mampu diraih oleh perempuan,
diperkuat dengan masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa perempuan yang
belum berhasil melewati proses itu berarti merupakan suatu kutukan atau aib bagi
perempuan tersebut. Dengan demikian, maka berdasarkan atas konstruksi
masyarakat; akan selalu terbetik bahwa sesukses-suksesnya perempuan, maka ia
belum menjadi perempuan yang utuh tanpa kehadiran laki-laki.1 8
Posisi perempuan yang berada di bawah subordinasi laki-laki ini mendapat
persetujuan dari peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan
kebiasaan atau adat masyarakat. Di India ada sebuah ungkapan bahwa membesarkan
anak perempuan sama halnya dengan mengairi tanaman yang tumbuh di halaman
orang lain; ketika tanaman itu berbuah, maka orang lain itulah yang akan
menikmatinya. Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu, misalnya
Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai
perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna.1 9
Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Arief Budiman, bahwa sulit
dipercaya seorang perempuan mempunyai kesanggupan dalam mengerti tentang
prinsip pengajaran kehidupan. Sedangkan Schopenhauer berujar bahwa perempuan
dalam segala hal terbelakang, serta tidak dibekali akal yang cukup untuk sanggup
berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia
sesungguhnya (human being) dan anak-anak. Dengan demikian, maka Schopenhauer
beranggapan bahwa perempuan hanya berfungsi sebatas untuk beranak belaka.2 0
Pendapat Spock seperti dikutip oleh Arief Budiman menyebutkan bahwa
perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang,
pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara
seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide
bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui ajaran agama-
agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan
perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut
agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak
dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu
mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang
diberikan Pencipta pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat
yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2 1
18 Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Kata Pengantar dalam Feminist Thought. Rosemarie
Putnam Tong. Feminist Thought. Op. Cit.
19 Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and
Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984.
20 Budiman, Arief. Teori Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1997.
21 Ibid.
13. 13
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan
perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender.
Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa
gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan)
tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi
tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan
perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional.2 2 Dalam arti seseorang
melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang
berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya.
Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami
perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin di mana perilaku tersebut
tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang semestinya. Tidak jarang,
pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar
situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki-laki maupun
perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan menerima dan
menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin
di rumah tangga.
Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda
dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan
sebagai laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut
maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan
interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara
khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan
perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana
kita berperan sebagai feminin dan maskulin. Melihat pernyataan Mosse serta
Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di atas bahwa konsepsi individu
tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan
bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan
berubah berdasarkan kepentingan situasional.2 3
Oleh karena itu, maka sah-sah saja bila perempuan memposisikan dirinya
berperan sebagaimana laki-laki, yang berarti dia tidak lagi feminin seperti anggapan
perempuan pada umumnya yang bersikap lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah
hati, submisif, bersikap patuh dan manis, dan sejenisnya, namun perempuan bisa saja
bersifat maskulin, yang menurut konstruksi masyarakat diartikan bersikap rasional,
cerdas, pengambil keputusan yang baik atau tegas, dan perkasa. Salah kaprahnya,
kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap sebagai wanita yang
‘salah’ dalam tatanan masyarakat yang berpersepsi ideologi maskulin. Dengan
22 Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2003.
23 Ibid.
14. 14
demikian, maka konstruksi sosial gender yang salah kaprah tanpa sadar dipraktekkan
dan merasuk dalam benak masyarakat.
Masyarakat yang mempunyai ideologi maskulin pada umumnya ditandai
dengan mendahulukan kepentingan anak laki-laki ketimbang anak perempuan, misal
dalam hal pendidikan; jika dalam satu keluarga terdapat keterbatasan dana untuk
pendidikan anak, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas terlebih dahulu
daripada anak perempuan yang lain. Selain itu, maka ciri masyarakat yang
mempunyai ideologi maskulin yang lain adalah, mempunyai cara pandang bahwa
anak perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah lebih rajin jika
dibandingkan dengan anak laki-laki, menikahkan anak perempuan ketika anak
perempuan tersebut seharusnya masih mengenyam bangku sekolah, dan sebagainya.
Indonesia, sebagaimana negara-negara dunia ketiga lainnya jelas masih
melakukan konstruksi gender semacam ini. Pola dominasi maskulin di Indonesia yang
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, pemegang tanggung jawab dalam keluarga,
pencari nafkah, dan pengambil keputusan sangat mempengaruhi keterlibatan
aksepptor laki-laki dalam program KB. Laki-laki di Indonesia cenderung melakukan
dominasi, menyubordinasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan, dan
menganggap bahwa laki-laki mempunyai hak untuk melakukan dominasi atas
perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran dan statusnya, baik
dalam keluarga maupun masyarakat dan segala bidang kehidupan yang bersifat
ancolentrisme.2 4
Sesuai dengan konsep evolusi Darwin, maka sikap laki-laki seperti ini
dimaklumi merupakan suatu hal yang muncul sejak zaman purbakala. Laki-laki
dikonstruksikan untuk menyebarkan benih keturunan mereka dan bertugas
membuahi perempuan sebanyak mungkin untuk berkembang biak dan membuat
populasi manusia bertambah banyak. Ini ditenggarai memang sudah naluri mereka
sebagai pejantan (males) yang telah menjadi suatu hal yang alami. Ditandai sejak
zaman promiskuitas dahulu kala, kemudian sejalan dengan peradaban masuk, yang
kemudian tradisi promiskuitas tersebut dihapus dengan institusi yang lebih beradab
yakni institusi pernikahan; akan tetapi konsep bahwa laki-laki sebagai penyebar benih
ini tidak mengalami banyak perubahan. Keengganan laki-laki dalam mengikuti
program KB ini ditengarai akibat dari naluri alam bawah sadar mereka sebagai
seorang yang mempunyai sifat jantan (males), sehingga konsekuensi dalam
reproduksi diserahkan pada perempuan.2 5
Perempuan yang terdominasi karena dalam konstruksi social ia baru dianggap
menjadi perempuan yang baik jika ia bersifat pasif, kemudian akan menerima
24 Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi dan
Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah
Mada. 2002. Halaman 95.
25 Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 2010. Halaman 121-163.
15. 15
dominasi tersebut tanpa adanya kesadaran bahwa ia telah terdominasi dan
menganggap bahwa hal ini lumrah adanya. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki
dinamai laki-laki karena ia merupakan sang Diri; sedangkan perempuan adalah sang
Liyan (The Others). Jika seorang laki-laki ingin bebas, maka ia harus mensubordinasi
perempuan terhadap dirinya. Hal ini yang pada akhirnya menyebabkan suatu kondisi
bahwa perempuan akan selalu tersubordinasi laki-laki, dan perempuan akan
menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki itulah yang esensial, sedangkan
dirinya sendiri (perempuan) adalah tidak esensial. Kemudian secara lebih jauh
Beauvoir menggali mengenai fakta reproduksi, di mana pada perempuan yang
mempunyai anak, maka ia akan sulit untuk dianggap sebagai seorang ‘Diri,’ namun ia
akan dikenal sebagai ibu dari anak tersebut serta isteri;laki-laki yang menjadikan
dirinya sebagai ibu. Maka demikian, maka secara intrinsik perempuan
dikonstruksikan lebih rendah daripada laki-laki.2 6
Dua jenis kelamin manusia, yakni perempuan dan laki-laki masing-masing
mempunyai keterbatasan reproduksi yang lazim disebut kodrat. Laki-laki berperan
sebagai penghasil sperma dan seorang perempuan harus menghadapi resiko
mengandung karena mempunyai uterus. Pemikiran akibat perbedaan kodrati ini akan
membentuk stereotipe yang sebenarnya akan mengaburkan suatu kebenaran asumsi
bahwa sebenarnya perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama
terhadap peluang-peluang terjadinya kehamilan. Akan tetapi, akibat dari pemikiran
dan tatanan masyarakat yang terkonstruksi secara maskulin, maka perempuan
bagaimanapun akan selalu ditakdirkan untuk memikul beban, yaitu sebagai pihak dan
target yang harus berperan aktif dalam memakai alat kontrasepsi.
B. Opresi Negara dalam Program KB
Tubuh perempuan telah sejak lama dikonstruksikan bukan menjadi milik dari
perempuan itu sendiri. Setiap inchi bagian tubuh perempuan bisa dibelokkan menjadi
suatu tujuan komoditi atau bagian dari kepentingan pihak lain. Dalam karyanya
Histoire de La Sexualite vol. 1: La Volonte de Savoir, Foucoult berpendapat
seksualitas bukan merupakan fenomena yang dihindari untuk dibicarakan, dihukum,
atau ditoleransi. Lebih dari itu, seksualitas adalah fenomena yang diorganisasikan dan
diadministrasikan ke dalam suatu sistem untuk kepentingan tertentu.2 7
Oleh karena itu, tubuh perempuan mempunyai makna ganda, dihargai namun
juga dijatuhkan karena ia bertubuh perempuan. Fungsi perempuan dilihat dari fungsi
reproduksi, di mana fungsi ini kemudian juga menghantarkan ia pada sifat-sifat
pengasuhan, perawatan, tuntutan untuk mempunyai sifat kasih sayang, serta
26 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 253-277.
27 Foucoult, Michael. Historie de la Sexualite Vol.1: La Volonte de Savouir. Dalam Wening
Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis Gender Terhadap
Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora Volume 16. No. 2. Juni 2004.
Halaman 147-154.
16. 16
kelembutan. Di sisi lain ia juga mendapat penghargaan karena mempunyai sensualitas
yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki. Disebabkan oleh sensualitas ini,
maka tubuh perempuan harus dikungkung pula dalam norma dan hukum yang
kesemuanya dipandang dari sudut pandang laki-laki. Hal ini diistilahkan oleh Simone
De Beauvoir dengan konsepnya yang fenomenal, bahwa mahluk berjenis kelamin
perempuan adalah The Second Sex.2 8
Perempuan akan dituntut oleh tatanan masyarakat untuk berfungsi
sebagaimana ia diciptakan, yakni menjadi perempuan baik-baik. Ironisnya, ketika
perempuan mengkonsepsikan dirinya sebagai seorang perempuan baik-baik, maka ia
akan dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah, di mana dengan mudah didominasi
oleh pihak lain. Di lain pihak, ketika perempuan tersebut menampilkan sensualitas
yang sebenarnya merupakan bagian dari tubuhnya sendiri, maka berbagai kecaman
serta kata-kata kasar akan dialamatkan kepada perempuan tersebut.
Budaya yang melekat sejak perempuan lahir, hidup, serta berinteraksi juga
menjadi tatanan yang mengatur perempuan tersebut. Jika seorang perempuan
melawan budaya yang melakukan pengekangan atau bahkan penyiksaan terhadap
tubuhnya, maka perempuan tersebut bisa dihujat, dikucilkan, atau diisolasi. Nilai-
nilai budaya ini telah merampas hak dan juga control perempuan atas tubuhnya
sendiri. Hal ini terjadi karena ia ‘dipersalahkan’ atas kepemilikan tubuh tersebut, dan
bukannya karena ia mempunyai hak pilihan pribadinya sebagai perempuan.
Dalam kaitannya dengan program KB, terlihat jelas bahwa program ini
merupakan kebijakan negara yang bersudut pandang maskulin. Negara dengan jelas
menganggap bahwa isu reproduksi ini diperuntukkan hanya untuk perempuan. Ini
ditandai dengan alat-alat kontrasepsi yang ditujukan mayoritas untuk perempuan.
Data lapangan menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara yang dari
segi budaya lebih mengunggulkan pihak laki-laki, Indonesia masih sangat tertinggal
jauh dalam hal penggunaan alat kontrasepsi yang diperuntukkan untuk laki-laki.
Kasus ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
28 Ibid.
17. 17
Data yang didapat penulis dari situs BKKBN ini menunjukkan bahwa laki-laki
di Indonesia sangat berperan rendah dalam keterlibatan KB di Indonesia. Rasio
perbandingan antara akseptor laki-laki dan perempuan mempunyai ketidak
sebandingan yang relatif signifikan. Berbeda dengan Jepang yang menunjukkan,
bahwa kecenderungan akseptor KB laki-laki jauh lebih tinggi persentasenya daripada
akseptor KB perempuan. Data-data dari negara lain, menunjukkan kecenderungan
yang sama dengan Indonesia, di mana persentase akseptor KB perempuan relatif lebih
banyak daripada akseptor KB laki-laki, namun perbedaannya relatif lebih rendah
dibanding dengan Indonesia. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kondisi di
Indonesia memang menunjukkan bahwa negara relatif cukup berperan dalam opresi
keterlibatan perempuan pada program KB.
Alison Jaggar, seorang feminis beraliran Marxis2 9 mengemukakan bahwa
dalam suatu tatanan ideologi yang melandaskan pada sistem kapitalis, maka pihak
yang disubordinasi akan mengalami suatu kondisi ‘alienasi,’ yang merujuk pada
konsep yang sama yang digunakan oleh Karl Marx ketika menyoroti masalah buruh
yang hanya menjadi mesin-mesin produksi serta terus menerus bekerja, yang
bertujuan untuk menjaga proses produksi terus berjalan. Jaggar, sama dengan Marx
menganggap bekerja merupakan suatu kegiatan yang memanusiakan manusia (par
exellence); yang menghubungkan manusia dengan tubuh dan pikirannya, alam,
beserta manusia lainnya. Dalam konsep feminisme, maka Jaggar berpendapat bahwa
ketika seorang perempuan mengambil pilihan untuk reproduksi, maka ia harus dalam
29 Tong, Rosemarie Putnam.Op. Cit. Halaman 182-187.
0
50
100
Akseptor KB Laki-laki di Berbagai Negara
(2006)
Persentase
Akseptor KB
Perempuan
Persentase
Akseptor KB
Laki-laki
18. 18
kondisi siap serta sadar akan keberadaan tubuh keperempuanannya. Jaggar
mengaplikasikan konsep alienasi pada perempuan, di mana ia mengatur pembahasan
ini dalam suatu fragmentasi, bahwa perempuan itu mengalami alienasi pada tiga
komponen penting dalam hidup sebagai perempuan, yaitu seksualitas, reproduksi,
serta intelektualitas. Seorang perempuan, dituntut untuk melakukan diet, latihan,
serta berpakaian yang sesuai dengan standar kecantikan yang menarik minat laki-laki.
Jika dalam konsep borjuis-proletar Marx, seorang proletar dituntut untuk berusaha
ekstra guna menghasilkan produksi untuk meraup profit; maka perempuan dituntut
untuk berusaha keras supaya mendapat persetujuan atas kecantikannya (male gaze),
di mana jika para laki-laki menyetujui bahwa perempuan ini cantik, maka ‘value’ atas
perempuan ini mengalami peningkatan, sehingga ia bisa memasuki tahapan proses
kehidupan selanjutnya, yakni fragmen reproduksi.
Konsep motherhood, seperti halnya seksualitas juga mengalienasi seorang
perempuan sesuai dengan konstruksi sistem masyarakat yang ada pada tempat
dimana ia berada; yang akan memutuskan sejauh mana ia mempunyai hak untuk
menetapkan sistem reproduksinya, misal jumlah anak yang akan dikandungnya.
Kasus dalam masyarakat yang tenaga kerja anak bisa dimanfaatkan sebanyak tenaga
kerja orang dewasa, maka seorang perempuan akan dituntut untuk bisa hamil
sebanyak mungkin selama fisiknya memungkinkan untuk melakukan hal itu.
Kebalikan dari hal ini, maka pada suatu tatanan masyarakat yang anak-anak dianggap
sebagai beban ekonomi dan pertumbuhan suatu negara, maka banyak perempuan
yang kemudian mendapat ‘hukuman’ ketika ia hamil, atau ketika ia memutuskan
untuk mengandung, maka karena pertimbangan ekonomi, haknya untuk mengandung
dihalangi oleh tatanan masyarakat dan negara, misalnya dengan cara kontrasepsi,
sterilisasi, atau aborsi.
Selanjutnya siklus ketika seorang perempuan bertugas sebagai pengasuh, maka
tekanan pengasuhan yang diberikan kepada ibu sangatlah besar. Sang ibu harus
membesarkan anak-anaknya sesuai dengan kontruksi masyarakat; dimana di
dalamnya terdapat pranata, adat, tuntutan, dan norma serta doktrin yang berlaku di
masyarakat; dan bukan dengan sistem pengasuhan yang kadang tidak diinginkan oleh
sang ibu itu sendiri. Standarisasi dalam suatu konstruksi masyarakat, secara keji akan
menempatkan sang ibu tersebut untuk berlomba supaya membesarkan anaknya
sesuai dengan konsep ideal dalam masyarakat; bukannya menjadi anak-anak yang
siap untuk menghadapi hidup, namun pada konsep anak-anak yang sempurna yang
dianggap ideal dalam masyarakat; yang mempunyai nilai akademik bagus, berbadan
sehat, berfisik rupawan, serta berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada
akhirnya hal ini akan menempatkan perempuan yang berperan sebagai ibu mengalami
alienasi dengan kapasitas intelektualnya. Jaggar beranggapan bahwa perempuan
sebagai ibu ini akan selalu merasa tidak yakin serta ‘disudutkan’ sebagai ibu yang
tidak berhasil jika anak-anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan konsepsi ideal
dalam suatu masyarakat. Perempuan yang berada dalam konstruksi masyarakat yang
19. 19
didominasi sudut pandang maskulin, akan selalu berada dalam pihak yang
dipersalahkan, baik atas ‘kesalahan’ yang tidak disengaja yang berasal dari dirinya,
atau ‘kesalahan’ yang berasal dari ketidaksesuaian konstruksi ideal masyarakat jika
anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan kriteria tersebut.
Dalam menganalisis program KB, maka negara seharusnya bertanggung jawab
kepada akseptor perempuan. Negara perlu memberi opsi pada perempuan, mengenai
apa, bagaimana dan mengapa program KB diadakan. Selanjutnya, tergantung pada
pilihan perempuan tersebut sebagai seorang konsumen dalam produk kebijakan suatu
negara, apakah ia merasa perlu mengikuti program KB atau tidak. Program KB
merupakan suatu kebijakan negara yang dalam pernyataan pelaksanaannya harus
menghormati hak reproduksi perempuan, namun pelaksanaannya memang sangat
berbeda dengan apa yang terungkap dalam aturan dan pernyataan yang tertuang
didalamnya. Apapun alasannya, maka sesungguhnya negara sama sekali tidak punya
wewenang atau campur tangan untuk melakukan persuasi atau bahkan melakukan
opresi terhadap perempuan mengenai apa yang harus dilakukan atau apa yang harus
tidak dilakukan oleh perempuan; terutama berkaitan dengan hak reproduksinya,
karena hak reproduksi merupakan hak asasi yang paling asasi yang berasal dari Sang
Pencipta.
C. Isu Global dalam Program KB
Dibalik isu KB, maka ada persoalan global yang bersifat laten dan diabaikan
oleh individu di dalamnya. Robin Morgan mengatakan bahwa perempuan adalah
proletar dunia. Tak kurang isu perempuan daripada reproduksi adalah produksi.
Meskipun pekerjaan domestic menyumbang 60-80 % dari kebanyakan ekonomi suatu
negara, pekerjaan domestic tetap mengalami kekasatmataan produk nasional gross.
Fakta bahwa perempuan dewasa ini adalah juga seorang pekerja adalah suatu hal yang
absurd. Perempuan merupakan separuh dari penghasil makanan dunia, bertanggung
jawab atas kesediaan air dan bahan bakar. Selain itu, perempuan juga menyumbang
hasil-hasil kerajinan tangan, industry rumahan, serta hal-hal yang membutuhkan
keterampilan tangan. Perempuan juga menjadi penyokong pendapatan suatu negara
jika negara yang bersangkutan melegalkan industry seks.3 0
Maraknya perempuan yang terjun ke ranah publik ini menjadi ide pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan KB. Perempuan yang membatasi fungsi reproduksi,
akan mempunyai banyak waktu untuk kembali ke ranah publik dan menjadi pekerja.
Ketika perempuan bekerja, maka negara turut mengambil keuntungan tak langsung
dari perempuan tersebut, yakni tidak perlunya negara mengeluarkan alokasi ekstra
guna pembiayaan jaminan sosial untuk perempuan dan anaknya tersebut di masa
30 Jaggar, Alison. Dalam Rosemarie Putnam Tong. Op. Cit. Halaman 139-186.
20. 20
yang akan datang; yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara-negara di belahan
dunia manapun, yakni negara bertugas menjamin kesejahteraan bagi warganya.3 1
Dalam sudut alasan profesional, maka perempuan yang membatasi kelahiran,
selain mengurangi anggaran pemerintah guna menjamin kesejahteraan mereka; maka
perempuan bekerja ini juga mendatangkan profit yang cukup menguntungkan bagi
pemerintah. Perempuan yang membatasi kelahirannya dan kemudian menjadi pekerja
di luar negeri (TKW) misalnya, memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit
bagi pemerintah berupa devisa. Bukti empirik juga semakin memperkuat bahwa
hampir setengah dari pasar tenaga kerja dari suatu negara adalah perempuan, yang
menandakan bahwa kapitalis membutuhkan perempuan dalam guna menjadi pekerja
di korporasinya. Hal ini ditengarai karena ‘kelicikan’ ideologi kapitalis, yang memilih
pekerja perempuan karena pekerja perempuan tidak akan menuntut kompensasi
sebesar pekerja laki-laki. Pekerja perempuan dalam ideologi khas kapitalis, masih
diasumsikan sebagai pekerja kelas dua, di mana dalam hal pemberian upah maka ia
tidak perlu diberikan upah sebesar laki-laki karena perempuan bukanlah tokoh utama
yang bertindak sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga.
Dalam sudut ekonomi, maka perempuan yang membatasi kelahiran dipandang
sangat menguntungkan bagi negara. Perempuan yang membatasi kelahiran, akan
kembali ke sektor publik serta menjadi pekerja. Selanjutnya, perempuan pekerja akan
mendapatkan upah; yang upah ini akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi rumah tangganya sehari-hari. Hal ini menguntungkan bagi negara, karena
itu berarti perempuan akan menjadi konsumen dari korporasi-korporasi swasta; di
mana jika korporasi swasta mendapat keuntungan, maka korporasi tersebut juga akan
mendatangkan profit besar bagi negara; misalnya korporasi itu akan membayar pajak,
korporasi tersebut membuka jaringan di beberapa tempat, serta merekrut banyak
pekerja, sehingga mengurangi pengangguran; yang berdampak baik pada negara.
Dalam sudut pandang politis, maka pembatasan kelahiran pada perempuan
secara kolektif juga mendatangkan kredibilitas suatu negara muncul. Kondisi pasar
pekerja mensyaratkan para pekerja mempunyai kompetensi yang memadai untuk
mendapatkan pekerjaan. Ketika masuk dalam suatu korporasi, maka perempuan akan
melakukan upaya terhadap peningkatan performa kerjanya, sehingga korporasi dapat
berkembang secara optimal. Jika kredibilitas pekerja perempuan berkembang dalam
suatu negara, maka peluang investasi asing terhadap negara yang bersangkutan juga
akan mengalami peningkatan. Suatu negara yang kredibel, selanjutnya akan lebih
mudah dalam upaya meningkatkan pembangunan di negaranya.
Pandangan para feminis global tentang KB adalah menuntut kesadaran untuk
melokalkan yang global dan mengglobalkan yang local. Dalam dunia ini, selalu terbagi
dua kubu, yakni negara-negara yang punya kecukupan ekonomi yang dinamakan
31 Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and New
York : Routledge. Halaman 135.
21. 21
sebagai negara dunia kesatu; sebaliknya, negara-negara berkembang, yang belum
mempunyai kecukupan ekonomi dinamakan negara dunia ketiga. Praktek program KB
disinyalir merupakan suatu isu yang tak lepas dari isu politik. Opresi negara serta
opresi laki-laki terhadap perempuan dunia ketiga telah menunjukkan keterkaitan
yang kompleks antara suatu bentuk teknologi pengatur reproduksi dengan suatu
praktek eugenic serta pembatasan populasi terhadap kulit berwarna. Sebagai contoh
industri alat kontrasepsi kebanyakan dikembangkan di negara-negara dunia kesatu
yang kemudian produk kontrasepsi ini diopresikan kepada perempuan dunia ketiga.
Adanya fakta bahwa terkadang alat kontrasepsi yang membahayakan di negara-negara
dunia kesatu justru kelebihan produksinya yang seharusnya sesuai dengan standar
kesehatan harus dimusnahkan, namun justru dipasarkan di dunia ketiga. Ide
pembatasan populasi ini tak lebih adalah untuk menjaga suplai makanan dunia
supaya tersedianya bahan pangan yang cukup bagi dunia kesatu dengan
membebankan penjarangan kelahiran justru kepada perempuan yang berasal dari
dunia ketiga. Seperti yang tercatat di India dengan kebijakan amniocentesisnya,
justru menjadi praktek penjarangan kelahiran yang sangat efektif. Tes amniocentesis
yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Amerika yang bertujuan untuk
menemukan abnormalitas genetic pada fetus, kini justru secara rutin dilakukan di
India sebagai tes penentu jenis kelamin dengan maksud memusnahkan fetus
perempuan ketika fetus tersebut berusia kurang dari 3 bulan. Tes ini konon tidak
memerlukan bujet yang besar, dan perempuan dianggap menginginkan tes ini,
terutama jika mereka telah mempunyai satu atau dua anak perempuan, yang dimana
mereka harus membayar uang pembayaran mas kawin (dowry system) yang sangat
mahal. Kemudian para feminis India yang prihatin dengan fenomena ini, menggiatkan
kampanye untuk melawan tes amniocentesis yang didengar oleh perusahaan GAMET-
NICS, suatu perusahaan alat-alat penunjang reproduksi di Amerika Serikat. GAMET-
NICS yang punya banyak klinik di negara dunia ketiga kemudian memperkenalkan
teknologi pemilihan jenis kelamin sebelum diadakan pembuahan, yakni dengan
memisahkan kromosom X dan Y. Perusahaan ini bersikeras bahwa teknologi ini lebih
manusiawi daripada praktek amniocentesis yang diikuti dengan aborsi meskipun
mereka mengabaikan di waktu yang akan datang, India terancam sebagai negara yang
mengalami deficit populasi perempuan. Contoh ini menunjukkan bahwa suatu isu
yang diterapkan kepada perempuan selalu tak luput dari keuntungan kapitalis.3 2
Dr. Rima Laibow dari organisasi nirlaba untuk kesehatan dunia yang bernama
Natural Solutions Foundation pernah berbicara dalam sebuah forum internasional
yang membahas mengenai masalah pangan. Ia menjelaskan dalam presentasinya,
bahwa mereka yang menguasai panganlah yang akan menguasai dunia. Proyek untuk
mengontrol populasi secara global diimplementasikan pada 31 Desember 2009, yang
merupakan cetak biru dari proyek dunia di bawah arahan WHO dan FAO. Proyek
32 Ibid, halaman309-353
22. 22
Codex Alimentarius ini menerapkan kembali cara untuk mengontrol populasi
penduduk dunia dengan cara penggunaan alat kontrasepsi oleh penduduk dunia,
pemberian vaksin serta penggunaan bahan kimiawi yang dimasukkan dalam bahan
makanan (transgenic).3 3 Maka demikian, maka orang-orang yang mampu hidup lebih
lama adalah mereka yang berhasil lolos dari seleksi alam, yakni orang-orang yang
mampu secara finansial menyuplai stok gizi dan nutrisi yang mereka butuhkan, serta
orang-orang yang mempunyai tanggungan finansial yang paling sedikit.
Teori system dunia, yang mendasarkan bahwa dunia adalah sebuah sistem
kapitalis yang mencakup seluruh negara di dunia tanpa kecuali; sehingga, integrasi
yang terjadi lebih banyak dikarenakan pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik,
menjadikan program KB yang dikampanyekan di negara-negara dunia ketiga sebagai
sarana membebankan pembatasan populasi kepada negara-negara berkembang.
Ideologi Neo liberalisme merupakan ide yang mentransformasikan bahwa
negara-negara ini menjadi suatu jaringan yang teramat besar, di mana tidak ada sekat
yang membatasi antara zona negara satu dengan negara yang lain. Liberalisasi dalam
segala bidang yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial global, disepakati oleh
rezim General Agreement on Tarif and Trade (GATT) dan perdagangan bebas; di
mana didalamnya didukung penuh oleh korporasi-korporasi internasional
menjadikan negara-negara yang berada di bumi ini menjadi suatu perserikatan dunia
yang menjalankan sistem perdagangan bebas (globalisasi).3 4
Era globalisasi ini ditandai dengan sistem ekonomi yang berwatak eksploitatif,
sistem politik yang represif, serta sistem budaya yang menghegemoni. Negara-negara
dunia ketiga yang sebelumnya merupakan tinggalan dari kolonialisme yang sedang
giat-giatnya membangun untuk menghidupkan kembali negaranya yang sebelumnya
belum berkembang akibat kolonialisme, maka setelah mendapat hantaman dari
sistem neo-liberal ini, dipastikan akan collapse.
Indonesia yang tergabung dalam negara-negara dunia ketiga, belum
mempunyai suatu fondasi struktur yang kuat untuk menghadapi hantaman
globalisasi. Akibatnya, semua komoditi yang berasal dari luar diizinkan masuk,
sedangkan produksi lokal tidak diizinkan berkembang. Industri kontrasepsi di
Indonesia merupakan suatu industri yang berskala besar yang pastinya melibatkan
jaringan korporasi yang berskala internasional. Data yang didapat oleh penulis
menunjukkan bahwa alat kontrasepsi yang digunakan di Indonesia kebanyakan
menggunakan lisensi dari perusahaan multinasional asing, yakni dari Amerika,
Jepang, China, dan negara-negara yang tergabung di Uni-Eropa. Kepentingan
kapitalis selalu terus menerus akan berusaha melakukan ekspansi produknya guna
meraih profit maksimal. Program KB, meski ‘dibungkus’ sebagai suatu komponen
33 Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius. www.codexalimentarius.net.
34 Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang : UB Press. 2010.
Halaman 215-222.
23. 23
untuk mendukung stabilitas pembangunan di Indonesia, maka tak luput juga dari
konspirasi untuk perluasan produksi korporasi multinasional tersebut dengan tujuan
untuk mendapat pangsa pasarnya. Dengan demikian, maka perempuan Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya berada dalam posisi klien, yakni merupakan
sasaran program dari negara berkembang yang merupakan klien dari pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, di mana pemerintah dalam hal ini juga merupakan klien
dari perusahaan multinasional dengan kamuflase birth control. Dampaknya, selain
mendapatkan opresi negara serta dominasi laki-laki dalam program KB, perempuan
juga menjadi objek dari penetrasi pasar korporasi internasional, karena menggunakan
produk yang mereka perdagangkan. Menggunakan pengandaian, jika dalam suatu
negara berkembang para perempuannya menggunakan alat kontrasepsi yang
merupakan produk dari perusahaan multinasional tersebut, maka jika dikalikan
dengan negara-negara yang mempunyai kebijakan program KB serupa, dengan
menggunakan produk yang sama, bisa diperkirakan keuntungan optimal yang akan
diraih oleh perusahaan multi nasional yang bersangkutan akan berlimpah.
24. 24
KESIMPULAN
Posisi seorang perempuan seharusnya memang dimaknai sebagai suatu mahluk
yang utuh, dia dihargai bukan sebatas fungsi reproduksi dan seksual. Permasalahan
yang berkaitan dengan reproduksi perempuan merupakan suatu masalah dalam ranah
domestik. Perempuan yang dikonsepsikan sesuai dengan fungsi reproduksinya
diyakini menjadi common-sense causes dari kelebihan jumlah penduduk. Ide ini
kemudian direpresentasikan menjadi suatu tanggung jawab yang diberikan kepada
perempuan untuk mengontrol fungsi reproduksi mereka dengan tujuan supaya terjadi
simbiosis mutualisme antara negara dengan perempuan tersebut. Pada perkembangan
lebih lanjut, maka yang terjadi adalah suatu disharmoni. Program KB yang dijalankan
oleh perempuan secara lebih lanjut tetap menjadi suatu kewajiban setengah paksaan
kepada mereka, dengan tidak diberikannya pemberian hak untuk memilih; meskipun
pada pernyataannya, program KB yang selama ini berjalan di Indonesia merupakan
suatu pilihan yang bersifat anjuran.
Konstruksi masyarakat yang bersifat maskulin ikut memegang kendali terjadi
nya kesenjangan gender dalam pelaksanaan program KB. Ide bahwa laki-laki sebagai
pencari nafkah memunculkan suatu bayangan bahwa laki-laki memang tidak diharus
kan untuk mengikuti KB. Tubuh wanita yang secara biologis harus mengandung,
melahirkan, dan menyusui; serta konstruksi masyarakat menempatkan perempuan
pada posisi subordinat. Ini menjadikan perempuan sebagai target dalam pelaksanaan
kebijakan KB. Kebijakan ini menafikan bahwa pada kenyataannya, perempuan juga
bisa berada di sektor publik yang setara dengan kedudukan laki-laki. Pada akhirnya,
perempuan dijadikan instrumen untuk kebijakan pemerintah tentang pembatasan
kelahiran; dengan meminggirkan kenyataan bahwa perempuan sebenarnya juga
mempunyai ‘beban’ berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka. Akibatnya beban
yang disandang perempuan jauh lebih berat daripada laki-laki.
Peran negara juga ditengarai menjadikan perempuan hanya sebatas menjadi
objek kebijakan. Perempuan yang mempunyai tubuh yang berfungsi reproduktif
dianggap sebagai ‘beban’ negara. Oleh karena itu, negara mengeluarkan kebijakan
yang bersifat semi-kewajiban dengan unsur opresif dengan tujuan untuk menjarang
kan kelahiran. Perempuan yang menjadi akseptor dilabeli dengan perempuan yang
peduli pada pembangunan.
Dalam suatu kebijakan, maka akan timbul pertanyaan, siapa yang diuntungkan
dan siapa yang dirugikan. Program KB menempatkan perempuan sebagai pihak yang
dirugikan jika ia tidak secara sukarela ingin mengikuti KB. Negara juga ‘bersalah’ jika
membidik peserta KB hanya terbatas pada perempuan. Negara perlu memberikan
penyuluhan dengan tepat dan jelas, bahwa tanggung jawab reproduksi merupakan
tanggung jawab bersama, bukan semata-mata tanggung jawab perempuan.
25. 25
DAFTAR ACUAN
Buku :
Abdul Wahab, Solichin. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 2008.
Bourdieu, Pierre. Dominasi Maskulin. La Domination Masculine. Penerjemah
Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
Budiman, Arief. TeoriNegara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1997.
Darwin, Muhadjir. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta : Kerjasama PPK
Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation. 2001.
Engineer, Ashgar Ali. On Developing Liberation Theology in Islam. Dalam Islam and
Revolution. New Delhi : Ajanta Publication. 1984.
Fakih, Mansour. Pembangunan Politik Hegemoni. Dalam Saiful Arif. Menolak
Pembangunanisme. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 1987.
------------------- Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 1997.
Manurung, R. dkk. Kekerasan terhadap Gender Pada Masyarakat Multietnik. Stiadi
dan Susi Raja (ed). Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gajah Mada. 2002.
Molo, Marcellinus. Wanita, Kedudukan dan Pembangunan Perempuan dalam
Diskursus Kebijakan. Dalam Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Mullard, Maurice dan Paul Spicker. Social Policy in A Changing Society. London and
New York : Routledge.
Pease, Allan dan Barbara Pease. Why Men Want Sex and Women Need Love. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. Feminisme Sebagai Tubuh, Pikiran, dan
Pengalaman : Dalam Resistensi Gaya Hidup, Sebuah Teoridan Realitas. Yogyakarta:
Jala Sutra. 2006.
Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996.
26. 26
Sukeni, Ni Nyoman. Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan : dalam
Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali. Denpasar : Udayana University
Press. 2009.
Suryono, Agus. Dimensi-Dimensi Prima TeoriPembangunan. Malang : UB Press.
2010.
Todaro, Michael. Economic Development in The Third World. London : Longmans.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Though : Pengantar paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta : Jalasutra. 2010.
Jurnal :
Anonim. Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
www.duniaesai.com. 2011.
Hidayana, Irwan. Kekerasan Gender dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi.
www.scribd.com. 2003.
Sidanius, Jim dan Felicia Pratto. Social Dominance Theory : A New Synthesis in
Social Dominance. 1999. Jurnal. www.uni-jena.de/svw/igc/studies/ss.
Subagyo, Adam. Makna Seksualitas Bagi Akseptor Tubektomi. Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik. Volume 22. No. 3. 2010.
Wening Udasmoro. Konsep Nasionalisme dan Hak Reproduksi Perempuan : Analisis
Gender Terhadap Program Keluarga Berencana di Indonesia. Jurnal Humaniora
Volume 16. No. 2. Juni 2004.
Situs :
Anonim. Keputusan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di
Kairo. www.mcrpkbi.org/hak-hak-seksual-dan-reproduksi.
BKKBN. Data Akseptor Keluarga Berencana Kota Malang : Diferensiasi Berdasar
Jenis Kelamin. www.bkkbn.id. 2011.
---------- Data Diferensiasi Pengguna Kontrasepsi di Berbagai Negara : Riset yang
diadakan tahun 2006. www.bkkbn.id. 2011
Official site. The Explanation Program of Codex Alimentarius.
www.codexalimentarius.net.