SlideShare a Scribd company logo
1 of 38
Download to read offline
KOMISI NASIONAL

   ANT I KE KE R A SAN TE R HA DAP PE R E M PUA N




KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN
      EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL:
   Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara


               Catatan KTP Tahun 2008




                  CATATAN TAHUNAN

     TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

                   Jakar ta, 7 Mar et 2009
Daftar Isi



Daftar Isi

Daftar Singkatan

Ringkasan Eksekutif .............................................................................................................             4

Pengantar ................................................................................................................................    5

Metodologi .............................................................................................................................      6

Gambaran Umum: Pencatatan Data KTP ........................................................................                                   8
  - Kecenderungan Data yang Meningkat .................................................................                                       8
  - Kondisi Pendataan dan Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP                                                                        8

Perempuan Rentan Kekerasan dan Butuh Perhatian .......................................................                                        9

Pola KTP Tahun 2008 : Kekerasan Ekonomi dan Seksual ............................................ 14
   - KDRT/RP : Bentuk KTP yang selalu mendominasi ......................................... 14
   - Kekerasan di Ranah Komunitas ............................................................................ 16
   - Kekerasan oleh Aparat Negara .............................................................................. 17

Penanganan: Kapasitas Lembaga dan Implementasi Perangkat Hukum ...............                                                               20

Kebijakan: Kemajuan dan Kemunduran ................................................................                                          20

Kesimpulan .............................................................................................................................     29

Rekomendasi .......................................................................................................................... 30

Ucapan Terima Kasih ...........................................................................................................              32
DAFTAR SINGKATAN


CATAHU   : Catatan Tahunan
DIY      : Daerah Istimewa Yogyakarta
IRT      : Ibu Rumah Tangga
KDP      : Kekerasan Dalam Pacaran
KDRT     : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kejati   : Kejaksaan Tinggi
KJRI     : Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KMP      : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar
KMS      : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami
KOM      : Komunitas
KP       : Komnas Perempuan
KTAP     : Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
KTI      : Kekerasan Terhadap Istri
KTP      : Kekerasan Terhadap Perempuan
MA       : Mahkamah Agung
MoU      : Memorandum of Understanding
MS       : Mahkamah Syar'iyah
NEG      : Negara
OMS      : Organisasi Masyarakat Sipil
P2TP2A   : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
PA       : Pengadilan Agama
Permen   : Peraturan Menteri
PKDRT    : Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PN       : Pengadilan Negeri
PNS      : Pegawai Negeri Sipil
Polda    : Kepolisian Daerah
Polres   : Kepolisian Resort
Polsek   : Kepolisian Sektor
PP       : Peraturan Pemerintah
PPM      : Perempuan Pekerja Migran
PRT      : Pekerja Rumah Tangga
RS       : Rumah Sakit
SD       : Sekolah Dasar
SE       : Surat Edaran
SK       : Surat Keputusan
SKB      : Surat Keputusan Bersama
SLTA     : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SLTP     : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SP3      : Surat Perintah Penghentian Penyelidikan
SPM      : Standar Pelayanan Minimal




                                                                     3
KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI &
KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara

ringkasan eksekutif
    Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah
menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan
kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai.
    Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun
(tahun 2001 – 2008). Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali
lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus KTP), yaitu 213% mencapai sejumlah 54.425
kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena meningkatnya
kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan
Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan
Pengadilan.
    Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami
oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani
oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini
berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008.
   Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah
tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6800 orang (14,5% dari jumlah 46.882 kasus KTI),
sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah
umur, yaitu sebanyak 1870 orang (38,3% dari jumlah 4875 kasus KOM).
   Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada
tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja
hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap
perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah,
anggota legislatif, dan pendidik.
   Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan
kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan
meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini.
   Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak
perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan
migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan
perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan
berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari
Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg
terpilih). Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan
pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung
memperlemah perlindungan pekerja migran.


                                                                                        4
pengantar
   Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah
menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan
kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai.

   Sama dengan catatan tahunan sebelumnya, catatan tahunan kali ini memaparkan besaran
kasus KTP di berbagai wilayah dan menurut data dari lembaga-lembaga mitra yang
mengirimkan kembali formulir isian dari Komnas Perempuan. Catatan tahunan ini
memberikan sorotan dan penekanan terhadap jenis kekerasan ekonomi yang banyak
mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik (KDRT/RP) dan kekerasan
seksual yang juga ditemukan mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah publik (KTP
Komunitas). Dalam catatan tahunan ini dipaparkan pula gambaran tentang kapasitas lembaga
dalam penanganan, hambatan yang dihadapi lembaga khususnya dalam hal melakukan
pendataan dan penanganan kasus serta kerja sama yang dikembangkan oleh lembaga mitra.
Catatan pemantauan tentang kebijakan baru atau peraturan yang berkaitan dengan isu
kekerasan terhadap perempuan yang efektif berlaku pada tahun lalu pun ditampilkan,
termasuk peraturan daerah yang secara positif memberikan ruang kepada perempuan atau
yang secara negatif justru merupakan ’alat’ legitimasi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan di berbagai daerah.

    Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan ingin memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada lembaga mitra yang sudah berpartisipasi mengisi dan mengirimkan kembali
formulir isian dan/atau mengirimkan data lembaga secara langsung kepada Komnas
Perempuan. Untuk meningkatkan kerja sama dan partisipasi lembaga mitra, tahun 2008 yang
lalu Komnas Perempuan menyelenggarakan lokakarya dalam rangka memberikan masukan
terhadap formulir isian catatan tahunan di dua wilayah: Makassar (mencakup lembaga mitra
di daerah Sulawesi) dan Medan (mencakup daerah Sumatera). Pertemuan/lokakarya
semacam ini bermanfaat untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antar lembaga.

   Akhirnya, diharapkan melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP)
yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau besaran dan
kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan
sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani
dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini.




                                                                                       5
metodologi
   Sejak Komnas Perempuan mengeluarkan catatan tahunannya, sumber data utama adalah
lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari tahun ke
tahun lembaga mitra meningkatkan partisipasinya dengan secara aktif mengisi formulir
pendataan yang dikirimkan dan/atau memberikan data berdasarkan yang ada di lembaga
masing-masing. Jadi, pada prinsipnya data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan
data penanganan lembaga mitra selama (dalam) tahun bersangkutan.

Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon




   PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR pada tahun ini dilakukan pada bulan Novermber
2008 ke sejumlah 1188 lembaga mitra di seluruh wilayah di Indonesia (lihat grafik di
samping). Separuh lebih formulir didistribusikan kepada lembaga mitra di wilayah Jawa dan
Sumatera (564 lembaga). Tingkat respon lembaga mitra mencapai 21,55% (yaitu 256 lembaga
mitra) dari jumlah seluruh formulir yang didistribusikan.
   Jika dilihat per wilayah, lembaga mitra di Bali memberikan respon paling tinggi yaitu
mencapai 45,95%. Lembaga mitra di wilayah lain memberikan respon kurang-lebih sama,
kecuali Aceh.
   Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hambatan utama dalam pendataan dan berdampak
pada tingkat respon adalah ketidaksiapan SDM serta sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh
lembaga mitra. Hal lain yang juga merupakan permsalahan bersama dalam rangka pendataan
KTP adalah tidak ada sistem dan format data yang sama untuk semua jenis lembaga –
masing-masing lembaga mengembangkan sistem pendataannya sendiri sesuai dengan
kebutuhan.




                                                                                         6
Jika melihat TINGKAT RESPON menurut kategori lembaga mitra (lihat grafik di samping),
Kejaksaan Tinggi (Kejati) menunjukkan respon paling tinggi (67,4%) dibandingkan lembaga
lain. Jajaran pengadilan (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri)
memberikan respon antara 15 – 25%. UPPA (dahulu RPK), lembaga mitra yang setia
memberikan datanya setiap tahun menunjukkan tingkat respon cukup tinggi (28,15%)
demikian pula dengan RS (20,69%).




   Pada tahun 2008 ini, Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan mengakses data
pengadilan (agama dan negeri – PA dan PN) lewat website. Hal ini berkaitan dengan adanya
Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang
keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini, telah banyak Pengadilan Agama
yang membuka akses data lewat websitenya.

Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan

                                                       Menurut data yang dilaporkan oleh
                                                   lembaga mitra, kasus KTP diperoleh
                                                   dari beragam sumber, yaitu korban
                                                   sendiri (57%), saksi/pelapor (16%),
                                                   telpon/ hotline (10%), media massa
                                                   dan rujukan (masing-masing 6%), tatap
                                                   muka, keluarga korban, outreach,
                                                   masyarakat, dan lewat surat. Data
                                                   tentang korban yang datang sendiri
                                                   tercatat paling banyak diterima oleh
                                                   PA, UPPA, dan OMS.

                                                      Demikian pula dengan kasus yang


                                                                                       7
dilaporkan oleh saksi/pelapor, paling banyak mereka datang ke UPPA, kemudian ke PA dan
OMS. Sedangkan pelaporan kasus lewat telpon/hotline paling banyak diterima oleh Komnas
Perempuan dan OMS. Penanganan kasus yang ditindaklanjuti berdasarkan pemantauan
media massa kebanyakan dilakukan oleh
OMS. Lembaga pengada layanan ini (OMS)
                                                     Jumlah Kasus KTP (tahun 2001 - 2008)
bersama dengan UPPA juga melakukan
outreach (mendatangi/ mencari kasus                                                     54425
KTP). Kasus yang bersumber dari tatap
muka ditangani oleh Komnas Perempuan –
secara berkelompok korban mendatangi
Komnas Perempuan mengadukan kasus
KTP yang dialaminya.                                                            25522
                                                                                      22512
                                                                              20391
GAMBARAN UMUM:                                                        14020
pencatatan data ktp                                    5163
                                                               7787
                                                3169
Kecenderungan data yang meningkat
                                                  2002        200
                                                            2004 2005 2006 2007 2008
   Mempelajari catatan data kasus KTP
yang ditangani oleh lembaga pengada 2001
layanan dari tahun ke tahun sejak 2001 – 2008, ada kecenderungan jumlah (besaran) KTP
yang meningkat. Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat
dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu lebih dari 213% atau sejumlah 54.425 kasus KTP.
Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya kemudahan akses ke data
Pengadilan Agama (PA) seperti disebutkan terdahulu (lihat juga Diagram Jumlah Kasus KTP
menurut Lembaga Mitra di halaman berikut)
                                                           Grafik Jumlah Kasus KTP menurut
                                                       Wilayah di samping ini menunjukkan
                                                       bahwa memang banyak data (77%)
                                                       tercatat ditangani oleh PA (Pengadilan
                                                       Agama), yaitu sejumlah 42.076 dari total
                                                       jumlah 54.425 kasus. Dan seperti telah
                                                       dijelaskan terdahulu, tahun ini Komnas
                                                       Perempuan memperoleh kemudahan
                                                       akses data PA lewat website.
                                                       Sedangkan apabila melihat besaran
                                                   KTP ini menurut wilayah, maka lebih
dari separuh KTP tercatat ditangani oleh lembaga mitra di Pulau Jawa (38.007 kasus,
69,83%). Sisanya, ditangani oleh lembaga mitra di Sumatera (8.415 kasus, 15,46%), dan
Kalimantan (5.036 kasus, 9,25%). KTP di wilayah Sulawesi mencapai lebih dari seribu kasus
(yaitu 1.626 kasus, hampir 3%), sedangkan di wilayah lain tercatat KTP sejumlah antara 30 –
550 kasus (Aceh, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua).




                                                                                              8
Kondisi Pendataan & Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP
   Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, data catatan tahunan dikompilasi dan dianalisis dari
seluruh data kasus (kuantitatif) yang diberikan oleh lembaga mitra dengan mengisi formulir
yang didistribusikan, dan data (kualitatif) yang diperoleh Komnas Perempuan lewat divisi-
divisinya. Data kuantitatif memberikan gambaran besaran dan kompleksitas KTP serta
penanganan yang dilakukan lembaga mitra. Sedangkan data kualitatif memberikan ilustrasi
kasus KTP serta kebijakan/peraturan daerah yang berkembang pada tahun bersangkutan.
   KONDISI PENDATAAN        sangat bergantung
pada kapasitas masing-masing lembaga                              Kecenderungan (prosentase) kenaikan Jumlah KTP
                                                                                  (Th 2001 - 2008)
dalam rangka mendokumentasi kan dan
                                                           250                                                             213.25
mendata kasus KTP (di masing-masing
                                                                                         180.04
wilayah kerja). Kondisi ini tentunya                       200         162.92
                                                                                150.82            145.44
berpengaruh pula terhadap besaran KTP                      150
                                                                                                           110.40 113.37
yang setiap tahun dimasukkan dalam catatan                       100
                                                           100
tahunan Komnas Perempuan (seperti dapat
dilihat dari grafik berikut).                               50

    Meskipun secara jumlah (besaran) KTP          0
terlihat cenderung meningkat, tetapi                th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 th 2006 th 2007 th 2008
prosentase kenaikannya terjadi fluktuasi
(tidak merupakan garis lurus naik). Dengan kondisi ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
peningkatan jumlah (besaran) KTP yang terjadi tidak semata-mata karena adanya
peningkatan kasus, tetapi lebih berkaitan dengan adanya peningkatan (kondisi atau kapasitas)
pendataan lembaga mitra.
   Kapasitas SDM dan fasilitas (sarana) pendataan yang selalu disebutkan lembaga sebagai
kendala utama menegaskan bahwa kondisi serta kapasitas lembaga dalam kaitannya dengan
melakukan pendataan memang seharusnya menjadi perhatian dalam rangka menghasilkan
data KTP yang handal.

perempuan rentan kekerasan dan butuh perhatian
   Jika dinilai dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008,
ada empat kategori perempuan yang rentan kekerasan dan butuh perhatian, yaitu perempuan
minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan




                                                                                                                             9
pembela HAM.
Perempuan Minoritas Agama
   Pada bulan Mei 2008, Komnas Perempuan mempublikasikan hasil pemantauan mengenai
kondisi perempuan Ahmadiyah. Dari hasil pemantauan tersebut, Komnas Perempuan
menemukan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang menghilangkan perlindungan hak-hak
dasar mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Konflik berdasarkan agama ini juga membuat
perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis jender. Ancaman perkosaan dan pelecehan
seksual pada saat penyerangan dan di pengungsian, bahkan di wilayah publik (pasar) juga
rentan menimpa perempuan Ahmadiyah. Dan sampai sekarang, komunitas Ahmadiyah,
terutama di NTB, masih tinggal di pengungsian, karena takut kembali ke desanya.
   Di tahun 2008, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah tetap terjadi, yaitu pada
bulan Januari di Majalengka dan bulan April di Parakan Salak, Sukabumi. Setara Institute
melalui “Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008”
melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008 tercatat 265 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama atau berkeyakinan, dimana peristiwa tertinggi terjadi pada bulan Juni (103
peristiwa). Peningkatan jumlah peristiwa di tahun 2008 disebabkan oleh dua hal, yaitu:
pertama, menguatnya persekusi organisasi-organisasi Islam garis keras terhadap Ahmadiyah
sebagai bentuk desakan agar pemerintah mengeluarkan Keppres tentang Pembubaran
Ahmadiyah; dan kedua implikasi serius dari adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
No. 3 Tahun 2008, No. Ke-033/A/JA/6/2008 (SKB) yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni
2008. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di tahun 2008 umumnya
berhubungan dengan Ahmadiyah (193 peristiwa). Dari 193 peristiwa tersebut, sejumlah 48
peristiwa terjadi sebelum SKB dikeluarkan dan 145 peristiwa terjadi setelah keluarnya SKB
Pembatasan Ahmadiyah.1
   Negara, melalui aparatusnya melakukan pelanggaran dalam bentuk pelarangan ibadah dan
aktivitas keagamaan, pelarangan tersebut tercatat terjadi di Sukabumi, Tasikmalaya,
Tangerang, Cianjur, dan Mataram (NTB).2 Bahkan di Mataram, Walikota Mataram H.M.
Ruslan sempat menyatakan akan mengusir komunitas Ahmadiyah dari Mataram jika SKB 3
Menteri sudah ditetapkan.3 Ini membuat para pengungsi yang merupakan subjek pemantauan
Komnas Perempuan di Mataram, NTB merasa resah. Walaupun ketika diklarifikasi, Walikota
Mataram menyatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan akan melakukan pengusiran
tersebut.4 Tindakan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat paska dikeluarkannya SKB
adalah tindakan perusakan atau penyegelan rumah ibadah. Perusakan rumah ibadah terjadi di
Riau dan setidaknya perusakan atau penyegelan 35 masjid terjadi di Jawa Barat. Tindakan
pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan sebelum dan setelah dikeluarkannya
SKB cenderung meningkat, oleh karena adanya tekanan untuk membubarkan Ahmadiyah.
Hal ini membuktikan besarnya implikasi SKB terhadap komunitas Ahmadiyah, dimana SKB
menjadi alat legitimasi untuk menolak dan mendiskriminasikan komunitas Ahmadiyah.


1
  Berpihak dan Bertindak Intoleran : Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Setara Institute, Jakarta, Januari 2009, halaman 19-20
2
    Ibid, hlmn 28-29
3
    www.lombokfiles.com, SKB 3 Menteri Keluar, Warga Ahmadiyah Resah, 10 Juni 2008
4
    www.lombokfiles.com, Jelang SKB 3 Menteri Pengungsi Ahmadiyah Mataram Pasrah, 10 Juni 2008




                                                                                                                                        10
Salah satu peristiwa yang paling menonjol di tahun 2008 terkait dengan Ahmadiyah
sebelum dikeluarkannya SKB adalah peristiwa 1 Juni 2008, ketika AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) melakukan longmarch, mereka
diserang oleh orang-orang berseragam dan beratribut FPI, yang mengakibatkan sedikitnya 29
orang terluka dan empat orang lainnya harus menjalani rawat inap di dua rumah sakit, yakni
di RSPAD Gatot Subroto dan RS Tebet.
   Di tingkat kebijakan daerah, SKB juga mendorong pemerintah daerah setempat untuk
mengeluarkan kebijakan pelarangan Ahmadiyah, seperti contohnya surat keputusan
Gubernur Sumatera Selatan nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008
yang melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah
Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan
bertentangan dengan ajaran agama Islam.5
   Seluruh rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan komunitas Ahmadiyah, Insiden Monas
dan peristiwa di persidangan Insiden Monas menggambarkan bahwa di tahun 2008 ada
kecenderungan peningkatan kekerasan dan intoleransi masyarakat berkaitan dengan
kepercayaan yang berbeda, serta lemahnya pemerintah dalam mencegah terulangnya kembali
peristiwa kekerasan. Peristiwa kekerasan tersebut sekali lagi menempatkan perempuan
sebagai pihak yang rentan menjadi korban.
   Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa dalam konflik
Ahmadiyah, perempuan dan anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis, baik
karena posisinya sebagai perempuan dan posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas
agama. Dalam konflik tersebut, perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis jender
seperti ancaman perkosaan dan kekerasan seksual. Berbagai pelanggaran HAM juga dialami
oleh kelompok minoritas agama ini, seperti pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan
peradilan yang adil, hak persamaan di depan hukum, hak untuk berkumpul secara damai, hak
kelompok minoritas, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, hak untuk mencari
nafkah, hak atas pendidikan, hak berkeluarga, hak reproduksi, hak atas rasa aman,
diskriminasi terhadap perempuan, serta pemulihan korban yang belum memadai.6

Perempuan Miskin
    Tahun 2008 ditandai dengan fenomena maraknya ibu membunuh anak atau kasus ibu
membunuh anak, kemudian bunuh diri setelahnya. Kasus ibu membunuh anak dan bunuh
diri bersama tersebut tercatat, antara lain terjadi di Pekalongan, Bekasi, Medan, Malang,
Bandung, Tangerang, dan Magetan. Penyebab kasus-kasus tersebut 90 persen adalah karena
tekanan dan desakan ekonomi, dimana para korban merasa tidak mampu memenuhi
kebutuhan anaknya di masa yang akan datang oleh karena keterbatasan ekonomi. Peristiwa
lain yang cukup menonjol adalah kematian seorang ibu dan 2 orang anaknya di Makassar
(salah satunya masih dalam kandungan). Kematian ibu dan anak tersebut memang menjadi
perdebatan apakah disebabkan kelaparan atau karena diare akut yang mereka derita. Namun
sudah jelas bahwa salah seorang anak ibu tersebut yang selamat, positif menderita gizi


5
 Kejaksaan Evaluasi SK Gubernur Soal Ahmadiyah, diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/03/brk,20080903-
133595,id.html, Rabu 3 Sptember 2008
6   laporan pemantau an ham komnas per empu an, pere mpuan dan anak ahmadiyah : korban disk riminasi berlapis ,
hlmn 21.24, me i 2008




                                                                                                                            11
buruk.7 Pada bulan September 2008, kita juga dikejutkan oleh berita meninggalnya 21 orang
perempuan, kebanyakan berusia lanjut, ketika mengantri pembagian zakat di Pasuruan.
Peristiwa tersebut terjadi sebulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato
kenegaraan di depan Rapat Paripurna DPR pada tanggal 15 Agustus 2008, menyatakan
bahwa angka kemiskinan di tahun 2008 mengalami penurunan.
   Walaupun pemerintah menyatakan telah menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2008,
namun pada kenyataannya, seluruh kejadian di atas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
Salah satu faktor yang memperparah kemiskinan di tahun 2008 adalah keputusan pemerintah
menaikkan BBM di bulan Juni 2008, dengan dalih untuk mengurangi subsidi. Walau disertai
dengan skema bantuan langsung tunal (BLT), kebijakan tersebut ternyata menimbulkan
ketidakadilan pada rakyat miskin pada umumnya, dan perempuan pada khususnya. Kenaikan
harga BBM hampir selalu pasti diikuti dengan efek domino, yaitu melambungnya harga
kebutuhan bahan-bahan pokok. Dalam kasus Indonesia, akibat kenaikan harga BBM 2008,
kemiskinan pun meningkat: per 1 Oktober 2005 dalam data Program Pembangunan PBB
(UNDP) diperkirakan mencapai 65 juta orang. Dari kelompok penduduk miskin itu, 60
persen adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik atau publik, sebagai buruh, petani
penggarap, di sektor informal, hingga ibu rumah tangga. (Kompas, 26 Mei 2008)
   Maka bila dicermati dari rangkaian peristiwa yang terjadi di tahun 2008, seluruh proses
pemiskinan ternyata menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Oleh
karena 60% pengelola struktur pengeluaran rumah tangga adalah perempuan, maka
keterbatasan ekonomi langsung dirasakan oleh perempuan. Kelompok perempuan sebagai
pengelola rumah tangga, dituntut untuk menerapkan ragam strategi dalam mengatasi
keterbatasan ekonomi. Beragam cara diterapkan perempuan untuk mensiasati keterbatasan
ekonomi, salah satunya dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Hasil temuan awal
Komnas Perempuan dalam pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan
sumber daya alam mengungkapkan beberapa strategi penyelamatan perempuan, di antaranya
adalah dengan jalan menikah, pergundikan, berhutang, alih profesi, alih konsumsi, dan
spiritual (adat, berdoa, pasrah). Dari peristiwa Zakat Pasuruan, misalnya walaupun harus
mengorbankan nyawa, cara mengantri zakat tersebut adalah salah satu strategi perempuan
untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
     Keputusan perempuan meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar negeri tidak
dapat dipisahkan dari kemiskinan struktural yang erat melingkupinya. Minimnya kesempatan
kerja yang layak dari pemerintah, sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat rendahnya
pendidikan, hingga keinginan untuk meningkatkan perekonomian dan status sosial
keluarganya menyebabkan perempuan-perempuan muda produktif meninggalkan desanya
guna mencari rezeki di negara lain. Selain gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang
dibutuhkan, negara juga gagal menyediakan perlindungan bagi perempuan yang berusaha
mencari nafkah di luar negeri. Upaya perempuan untuk keluar dari kemiskinan dengan
bekerja sebagai pekerja migran belum mendapat perlindungan yang memadai dari negara.
Sebaliknya, perempuan pekerja migran mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda sejak
tahap pra-pemberangkatan, masa bekerja, hingga purna waktu. Tampaknya kebijakan-
kebijakan terkait pekerja migran yang dikeluarkan pemerintah hingga saat ini belum dapat
menyentuh akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Selama pemerintah belum dapat mengatasi


7
    Hamil, Mati Kelaparan diunduh dari http://www.surya.co.id/web/Headline/Hamil_Mati_Kelaparan.html, 2 Maret 2008




                                                                                                                     12
akar permasalahan dan menyediakan solusi dan perlindungan yang tepat, pelanggaran hak
dan kekerasan masih akan terus dialami oleh perempuan pekerja migran.
    Terkait dengan kekerasan spesifik perempuan, Komnas Perempuan menerima sebuah
pengaduan tentang seorang perempuan pekerja migran yang hamil akibat diyakini diperkosa
oleh majikan laki-lakinya di Arab Saudi. Ia tidak mengetahui kehamilannya sampai ia tiba di
Indonesia dan memeriksakan kondisinya setelah empat (4) bulan tidak mendapat
menstruasi. Kasus ini hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang dialami oleh perempuan
pekerja migran. Akan tetapi, kasus semacam ini sulit penanganannya, khususnya dari segi
pembuktian, terlebih korban telah berada di Indonesia. Penanganan dari segi hukum
membutuhkan korban/penuntut berada di negara tempat kejadian agar proses hukum dapat
berjalan. Hal ini menyebabkan perempuan pekerja migran yang menjadi korban tidak hanya
sulit mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi juga sulit menuntut pemenuhan hak-hak
anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan. Bahkan, tak jarang proses hukum bukannya
menegakkan keadilan bagi korban, tetapi menjadikan korban mengalami reviktimisasi.

Perempuan Pembela HAM
   Komnas Perempuan mengidentifikasi kasus yang dialami oleh Perempuan Pembela
HAM. ND adalah salah satu penggagas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBB), yang memperjuangkan dan membela pluralisme di Indonesia.
AKKBB adalah aliansi yang dibentuk oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap
kebebasan beragama dan berkeyakinan, untuk melakukan kampanye anti kekerasan atas
nama agama, dan melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang ditindas atas
nama perbedaan keyakinan dan agama.
   Dalam menjalankan aktivitasnya, ia sering mengalami teror, seperti ancaman melalui surat
kaleng, stigmatisasi seksual, intimidasi, pembunuhan karakter, serangan pada posisi dan
perannya sebagai ibu dan istri, serta pengucilan. Peristiwa yang dialami adalah di tengah
proses persidangan Insiden Monas, pada bulan September, ia mengalami pelecehan seksual.
    Sementara dalam konteks konflik sumber daya alam, Komnas Perempuan menengarai
terjadinya kriminalisasi perempuan pembela HAMyang sedang berjuang untuk
mempertahankan hak hidup mereka. Komnas Perempuan menerima pengaduan dari korban
sengketa lahan seluas 86 ha antara penduduk desa Titi Satu Korarih dengan PT Sri Rahayu
Agung (SRA) yang berlangsung semenjak tahun 1984. Konflik terus berlanjut dengan
gugatan masyarakat ke Pengadilan Lubuk Pakam, sementara proses pengadilan tengah
berlangsung, PT SRA terus melakukan pengrusakan tanaman petani di atas lahan sengketa
tersebut. Sayangnya, berkas putusan pengadilan di tahun 2003 sampai di tahun 2007 belum
pernah sampai ke tangan masyarakat. Ketika masyarakat melalui kuasa hukumnya
menanyakan lagi tentang keberadaan berkas putusan pengadilan tersebut pada tahun 2008,
tanggapan yang diperoleh adalah bahwa berkas keputusan tersebut masih dalam tahap
pencarian.
   Puncaknya pada tanggal 4 Februari 2008, Mandor Kebun bersama dengan preman serta
aparat kepolisian berjumlah kurang lebih 60 orang mendatangi lahan tersebut dengan
membawa traktor. Dalam bentrok tersebut, seorang ibu (MU) yang mencoba menghalangi
traktor tersebut mengalami kekerasan berupa penghalauan, dia diseret dan dilemparkan ke
parit sedalam 2 meter yang ada di lahan tersebut, begitu pula ibu-ibu lain yang coba
membantu menghalau traktor mendapat perlakuan yang sama.



                                                                                        13
Ketika ibu-ibu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotarih, pengaduan mereka tidak
ditanggapi oleh Polsek, namun pada tanggal 26 Februari 2008, datang surat panggilan dari
Polres Serdang Bedagai untuk Ibu MU dan Ibu Tg sebagai tersangka dalam perkara tindak
pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang di muka umum. Tindakan
polisi itu berdasarkan laporan yang diajukan pihak PT SRA.

Perempuan Pekerja Sektor Hiburan
   Di tengah maraknya perdebatan mengenai UU Pornografi pada tahun 2008, upaya
pelarangan artis-artis dangdut, terutama yang dianggap berpenampilan seronok ketika
manggung, marak dilakukan oleh para pejabat publik di berbagai daerah di Indonesia. Pada
bulan April 2008, tercatat artis Dewi Persik dilarang manggung di berbagai kabupaten/kota
di Jawa Barat, antara lain di Sukabumi, Tangerang dan Kota Bandung. Artis lain yang
mengalami pencekalan adalah Julia Perez, yaitu di Balikpapan dan Sumatera Selatan. Di
Sumatera Selatan, larangan dan imbauan tersebut dituangkan dalam surat MUI Sumsel No.
B-30/MUI-SS-IV/2008 tanggal 28 April 2008. Namun surat himbauan MUI Sumsel tersebut
tidak hanya mencekal Julia Perez, begitu juga dengan 7 artis lainnya, yaitu Dewi Persik,
Annisa Bahar, Inul Daratista, Uut Permatasari, Trio Macan, Ira Swara dan Nita Thalia,
dengan alasan meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak moral generasi muda. Di
Balikpapan, artis yang mengalami pencekalan adalah Dewi Persik, Julia Perez dan Trio
Macan. Julia Perez juga dicekal albumnya, karena ia menyelipkan kondom dalam album yang
berjudul “Kamasutra” tersebut. Komnas Perempuan berpendapat bahwa langkah-langkah ini
merupakan pembatasan terhadap hak berekspresi dan hak ekonomi para pekerja sektor
hiburan.
   Alasan pencekalan yang dikemukakan para pejabat publik di daerah tersebut, antara lain
untuk menjaga situasi kondusif bagi pemerintah daerah setempat untuk mewujudkan visi
misinya dalam membentuk masyarakat berakhlakul karimah (Sukabumi); menentang
penampilan erotis dan bergoyang erotis yang dinilai tidak sesuai dengan norma agama dan
tindakan kesusilaan (Tangerang) mengatasi hal-hal yang meresahkan masyarakat dan merusak
moral generasi muda (Sumatera Selatan); mencegah maraknya pornografi dan pornoaksi
(Balikpapan); maupun untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan sejalan dengan visi misi kota
yang agamis (Bandung).



Pola KTP tahun 2008: kekerasan ekonomi & seksual
KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu mendominasi

   Jika melihat pencatatan data penanganan dari lembaga-lembaga mitra, KDRT/RP
merupakan bentuk KTP yang selalu mendominasi. Artinya, dari tahun ke tahun data
penanganan kasus KDRT/RP selalu paling banyak dan lebih dari 50%. Diagram Jumlah Kasus
menurut Lembaga Mitra di samping menunjukkan kasus KDRT/RP mencapai 91% dari semua
bentuk KTP yang terdata oleh lembaga. Memang pada tahun 2008 ini, kemudahan akses data
PA menyumbang catatan kasus paling besar, dan kasus KTP yang tercatat oleh PA
kebanyakan digolongkan dalam KDRT/RP.




                                                                                      14
Besaran KDRT / Relasi Personal (RP) menurut Lembaga Mitra
                                                                          Grafik di samping memaparkan besaran
                       (CATAHU 2008)                                  KDRT/RP yang ditangani oleh masing-masing
                                                                      lembaga mitra. Pengadilan Agama paling
                                                                      banyak menangani kasus KDRT/RP (yaitu
                                                               PN
                  PA
                                                               292    sejumlah 42.076). OMS dan UPPA menangani
                                                               1%
                42076
                 85%                                           PT
                                                                      kasus KDRT/RP masing-masing sejumlah
                                                                93
                                                               0%
                                                                      2.926 dan 2.050. Lembaga pengada layanan
                                                             UPPA     lainnya menangani kasus di bawah seribu kasus:
                                                              2050
                                                               4%     KP (776), RS (662), Kejati (508), PN (292),
                                                        Kejati
                                 OMS      P2TP2A     KP 508 662
                                                                 RS
                                                                      P2TP2A (154), dan PT (93).
                                 2926      154       776 1%
                                  6%                             1%
                                            0%       2%


   Sedangkan jika dilihat menurut wilayah
lembaga pengada layanan yang ada di Jawa
paling banyak menangani kasus KDRT/RP,
yaitu: 35.398 kasus, dan dari jumlah ini
hampir separuhnya ditangani lembaga
pengada layanan di Jawa Tengah (15. 669
kasus). Selebihnya berturut-turut lembaga
pengada layanan di Jawa Barat (8.323 kasus)
dan Jawa Timur (6.706 kasus). Jumlah kasus
KDRT/RP yang ditangani lembaga pengada
                                           layanan di wilayah lain di bawah sepuluh ribu
                                           kasus: Sumatera (6.978), Kalimantan (4.892),
                                           Sulawesi (1.310), NTB (323), Bali (194), NTT
                                           (154), Maluku (126), dan Papua (22).

                                                                         Jika dilihat berdasarkan relasi antara korban
                                                                      dan pelaku, KDRT/RP yang terjadi mencakup
                                                                      tujuh (7) bentuk tindak kekerasan, yaitu KTI
                                                                      (kekerasan terhadap istri, 46.884 kasus atau
                                                                      95%), RP (relasi personal, 970 atau 2%), KDP
                                                                      (kekerasan dalam pacaran, 912 atau 2%), KTAP
                                                                      (kekerasan terhadap anak perempuan, 623
kasus), PRT (pekerja rumah tangga, 89),
KMS (kekerasan matan suami, 49), dan
KMP (kekerasan mantan pacar, 10).

   KTI yang merupakan bentuk
KDRT/RP paling dominan (95%) dari
semua bentuk yang ditangani oleh
lembaga pengada layanan. KTI ini
banyak dicatat oleh PA dan jenis
kekerasannya mencakup kekerasan fisik,
psikis (termasuk dalam kategori ini:
perselingkuhan, poligami dan gangguan
pihak ketiga), kekerasan seksual,
kekerasan ekonomi.


                                                                                                                   15
Diagram di samping menunjukkan
                                                 Jenis KDRT/RP: kekerasan ekonomi
                                                 (52%), kekerasan psikis (22%)m
                                                 kekerasan fisik (17%) dan kekerasan
                                                 seksual (9%). Data tentang kekerasan
                                                 ekonomi banyak dilaporkan oleh
                                                 Pengadilan Agama (hampir mencapai
                                                 84%) yang menjadi alasan gugatan cerai.
                                                 Sebagian alasan gugatan cerai lain yang
                                                 tercatat juga adalah kekerasan psikis dan
                                                 fisik.

   Kekerasan seksual mencapai 9% dari seluruh jenis KDRT/RP pada tahun ini. Dan dari
jumlah ini, lembaga pengada layanan di wilayah DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Barat dan
Kalimantan Barat banyak menangani kasus KDRT/RP jenis kekerasan seksual (antara 100 –
300 kasus). Kasus kekerasan seksual ini juga ditangani oleh lembaga pengada layanan di
wilayah lain dalam jumlah lebih sedikit (kurang dari 100 kasus).

Kekerasan di Ranah Komunitas

    Kekerasan di ranah Komunitas tercatat banyak ditangani oleh OMS (29%), UPPA (24%),
Kejati (20%), dan RS (14%). Lembaga pengada layanan lainnya yang juga mencatat
menangani kekerasan di ranah komunitas ini, tetapi dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 –
7%) adalah PA, PT, P2TP2A, dan KP. Jika melihat wilayah lembaga pengada layanan yang
mencatat penanganan kekerasan di ranah komunitas, maka akan diperoleh catatan seperti
terlihat dari diagram di sebelah kanan. Lembaga paling banyak mencatat penanganan
kekerasan komunitas adalah lembaga pengada layanan di wilayah Jawa (51%). Lembaga lain
juga mencatat penanganan kekerasan komunitas ini, yaitu di wilayah Sumatera (26%),
Sulawesi (6%) dan NTB (4%), lainnya mencatat dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 3%).




   Jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat dilihat dari diagram di
samping ini. Kekerasan seksual (79%) merupakan jenis kekerasan paling banyak tercatat




                                                                                       16
ditangani    oleh     lembaga
                                                           pengada layanan. Jenis KTP di
                                                           ranah     komunitas     lainnya
                                                           kekerasan fisik (10%), psikis
                                                           (9%) dan kekerasan ekonomi
                                                           (2%).


                                                              Menengok catatan tahunan
                                                           dari tahun-tahun yang lalu,
                                                           ternyata        ada       pola
                                                           kecenderungan yang konsisten
                                                           berkaitan dengan kedua jenis
kekerasan ini. Pertama, jenis kekerasan ekonomi secara konsisten tinggi (paling banyak) di
ranah domestik (KDRT/RP) sejak tahun 2006. Dan kedua, pada kurun waktu yang sama
(dari tahun 2006), jenis kekerasan seksual paling banyak dijumpai dalam ranah kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi di komunitas.

Kekerasan oleh aparat negara
   Kekerasan negara dicatat oleh KP dan OMS (di Aceh), mencakup pembatasan
kebebasan, penangkapan sewenang-wenang, stigmatisasi, penembakan, penghinaan.
Jumlah kekerasan negara ini seperti disebutkan terdahulu sebanyk 13 kasus.

Pelaku
   Menyimak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencuat ke permukaan pada
tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat empat jenis pelaku yang penting mendapatkan
perhatian, yaitu pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik.
   Pejabat Publik
    Selama tahun 2008, jumlah
pelaporan yang diterima Komnas
Perempuan        atas     kekerasan
terhadap      perempuan        yang
dilakukan oleh figur publik, pejabat
publik dan pendidik mencapai
sejumlah 784 kasus. Mereka terdiri
dari anggota PNS, anggota DPR,
TNI, Polri, anggota Kejaksaan,
Bappeda, Kehakiman, Bupati dan
pendidik. Korbannya adalah pacar,
istri dan pekerja rumah tangga.
Kasus ini tersebar hampir di
seluruh Indonesia.
   Kepala Daerah
   Terdapat dua kasus yang dilaporkan secara langsung kepada Komnas Perempuan, yakni
kasus yang terjadi di Lampung (September) dan Jeneponto – Sulawesi Selatan (Oktober).


                                                                                       17
Menurut pengaduan ini, pelakunya adalah kepala daerah dan korbannya adalah pekerja
rumah tangga. Kasus ini semakin kontroversial pada saat kedua kepala daerah tersebut
mengikuti pemilihan kembali sebagai pejabat publik.
    Untuk kasus di Lampung, korban (DE) adalah pekerja rumah tangga yang bekerja di
lingkup rumah tangga pelaku (AS). Walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun
2007, korban baru bisa melaporkan kepada polisi pada bulan Juni 2008, ketika ia berhasil
melarikan diri dari rumah pelaku. Korban meminta perlindungan kepada kepolisian, dimana
kemudian Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung segera menerbitkan Surat Perintah
Perlindungan. Korban merasa perlu meminta perlindungan polisi, karena ia mengalami
kekerasan dari istri dan anak-anak pelaku. Sampai sekarang kasus ini masih diproses di
tingkat kejaksaan.
   Dalam kasus Jeneponto, walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2006,
namun proses penyelesaian hukumnya belum selesai sampai tahun 2008. Pihak kepolisian
kemudian menghentikan kasus tersebut (diSP3kan), karena polisi menilai saksi-saksi yang
diajukan tidak ada yang memberatkan dan sudah tidak ditemukan kembali bukti baru.
Korban tetap menuntut agar kasusnya diselidiki, karena menurutnya akibat kekerasan seksual
yang dialaminya, korban melahirkan seorang anak perempuan. Korban telah melaporkan
perbuatan pelaku ke kepolisian daerah Sulawesi Selatan pada bulan Pebruari 2007. Polisi
meminta korban dan pelaku untuk melakukan tes DNA, dan dilakukan di tempat yang
berbeda.
   Anggota Legislatif
    Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI –
P, atas nama MM (pelaku) terhadap asistennya, yang bernama DF (korban) menjadi kasus
yang paling sensasional sepanjang tahun 2008, meskipun peristiwa pelecehan seksual sudah
dialami korban sejak tahun 2005. Kasus ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual dapat
terjadi dimana saja, termasuk di lembaga pemerintahan dan oleh siapa saja, karena pelakunya
adalah oknum pejabat publik. Peristiwa ini mematahkan mitos yang menganggap bahwa
kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang yang kurang dan atau tidak berpendidikan,
selain itu kasus ini juga menggambarkan sulit dan rumitnya perjalanan korban kekerasan
seksual untuk mengungkap kebenaran terhadap kasus yang dialaminya.
    Pada tanggal 5 Juni tahun 2008, Badan Kehormatan DPR-RI menyimpulkan adanya
indikasi kekerasan. Para anggota Badan Kehormatan mengakui sulitnya mendapatkan saksi
(selain saksi korban) atau bukti yang kuat. Hal ini merupakan gejala yang umum terjadi dalam
kasus-kasus pelecehan seksual di mana pelaku adalah seseorang yang berada dalam posisi
berkuasa dan korban adalah bawahannya.
   Pendidik
   Pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat fenomena dimana pelaku kekerasan
terhadap perempuan adalah pendidik di lingkungan lembaga pendidikan, baik formal
maupun nonformal.
   Institusi Pendidikan Nonformal
   Komnas Perempuan menerima 4 kasus kekerasan dalam institusi pendidikan nonformal.
Pelakunya adalah seorang guru mengaji dan 3 (tiga) orang kyai dalam pesantren. Dalam kasus
kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, korbannya setidaknya 25 orang dan mereka rata-
rata adalah para murid yang masih dibawah umur. Salah satu kasus kekerasan seksual terjadi


                                                                                         18
di pesantren Yayasan Ya-Ibad Surabaya. Tindak kekerasan dialami oleh para murid
perempuan yang masih di bawah umur dan kasus ini telah disidangkan di PN Surabaya.
Sementara kasus lain dilakukan oleh seorang pemimpin pesantren yang melakukan kekerasan
seksual terhadap salah seorang santrinya dengan dalil nikah mut’ah. Relasi kuasa yang timpang
antara korban sebagai seorang santri putri dengan pelaku sebagai pemimpin dan orang yang
berkuasa membuat kasus-kasus seperti ini sangat sulit dilaporkan, apalagi ditangani.
   Institusi Pendidikan Formal
    Pada tahun 2008, mahasiswi mulai melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya
di lingkungan perguruan tinggi. Kasus yang mencuat di media massa adalah kasus kekerasan
seksual yang dilakukan oleh salah seorang staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Dosen tersebut dilaporkan ke polisi atas dugaan perkosaan dan pelecehan seksual.
Peristiwa ini awalnya dilaporkan oleh seorang mahasiswi, namun akhirnya beberapa orang
mahasiswi lainnya yang juga menjadi korban ikut melaporkan tindakan yang sama ke polisi,
sehingga jumlah korban menjadi 12. Oleh universitas, dosen tersebut kemudian
dinonaktifkan dari kegiatan belajar-mengajar sampai kasusnya mendapat putusan yang tetap.
   Catatan data penanganan kasus KDRT
memberikan gambaran karakteristik pelaku
dan korban KDRT seperti grafik di samping.
Korban dan pelaku paling banyak berusia
antara 25 – 40 tahun (masing-masing 1.362
dan 1.256 kasus). Data juga menunjukkan
pelaku juga banyak yang berusia lebih dari 40
tahun (701 kasus). Sedangkan korban banyak
juga yang berusia di bawah 5 tahun, antara 6-
12 tahun dan antara 13 – 18 tahun (usia
anak), masing-masing: 49 kasus, 167 kasus,
dan 609 kasus.
   Sedangkan jenis KTP yang terjadi di ranah komunitas yang paling banyak adalah
kekerasan seksual (79%). Lembaga pengada layanan yang banyak pencatat penanganan jenis
KTP di ranah komunitas ini adalah UPPA (830) dan OMS (726).
                                                        Yang menarik dari catatan data
                                                    karakteristik korban dan pelaku dari
                                                    aspek usia adalah banyaknya korban di
                                                    usia anak-anak, antara 6-12 tahun dan
                                                    antara 13-18 tahun. Sebaliknya, pelaku
                                                    paling banyak tercatat berusia antara 25-
                                                    40 tahun. Dari data ini dapat dikatakan
                                                    bahwa banyak korban kekerasan seksual
                                                    di ranah komunitas adalah anak-anak (di
                                                    bawah usia 18 tahun).
                                                       Grafik di samping menunjukkan
                                                    gambaran tingkat pendidikan korban
                                                    dan pelaku. Korban KDRT/RP paling
                                                    banyak tercatat berpendidikan tingkat
                                                    SLTA (2.158 kasus). Demikian pula


                                                                                          19
dengan tingkat pendidikan pelaku, sejumlah 4.227 kasus. Namun demikian, data
menunjukkan baik korban maupun pelaku ada atau dari tingkat pendidikan paling rendah
(tidak tamat SD) dampai tingkat pendidikan tinggi (PT).

penanganan: kapasitas lembaga dan implementasi
perangkat hukum
Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lainnya

   Melihat banyaknya catatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dalam
penanganan PA khususnya, catatan data tentang implementasi UUPKDRT dalam proses
penanganan litigasi kasus KTP perlu mendapat perhatian dengan lebih seksama.




   Grafik di atas menunjukkan kecendungan penggunaan UUPKDRT oleh lembaga pengada
layanan dalam proses litigasi (dari tahun 2006 – 2008). Secara umum dapat dikatakan bahwa
penggunaan UUPKDRT oleh lembaga di jajaran pengadilan (PA, PN, PT dan Kejati) boleh
dikatakan cenderung meningkat. Sebaliknya penggunaannya oleh UUPA, P2TP2A, dan OMS
cenderung menurun atau kurang/tidak konsisten.

   Perangkat hukum lain yang tercatat digunakan oleh berbagai lembaga pengada layanan
dalam proses litigasi adalah KUHP (142 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perlindungan
Anak No. 39 Tahun 2004 (111 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 (36 lembaga – paling banyak PA), UU Perlindungan Saksi-Korban No 13 Tahun
2006 (10 lembaga – paling banyak P2TP2A), dan UU Perdata berkaitan dengan Penanganan
KTP ( 10 lembaga – paling banyak P2TP2A).



KEBIJAKAN: kemajuan dan kemunduran
   Tahun 2008 ditandai terdapat terobosan kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-
hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis,


                                                                                      20
perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan
perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan
berekspresi, akses perempuan pada keadilan, dan hak politik perempuan. Terkait pengaturan
pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008
menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan
pekerja migran.


Kemajuan
UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
   Sepuluh tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965), melalui UU No. 29 Tahun 1999
tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965,-. pada tahun 2008 ini, pemerintah Indonesia membuat sebuah langkah
maju Dengan mengesahkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis pada tanggal 10 November 2008.
  Dalam UU ini diatur beberapa hal, yakni mengenai :
   1. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi
      ras dan etnis;
   2. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan
      diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
      dan masyarakat, serta seluruh warga negara;
   3. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis
      oleh Komnas HAM;
   4. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak-
      hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
   5. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras
      dan etnis;
   6. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan
   7. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa:
   a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
      pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,
      perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
      kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan
   b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis
      dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Putusan Pengadilan Agama tentang Sita Marital (marital beslag)
   Pada tanggal 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Pusat memenuhi
permohonan sita marital yang diajukan Halimah Agustina Kamil terhadap harta bersama
hasil pernikahannya dengan Bambang Tri Hatmodjo yang telah dinikahinya sejak tahun 1981.



                                                                                      21
Baik pihak Halimah dalam alasan permohonannya maupun Majelis Hakim dalam
pengambilan keputusannya bersandar pada Kompilasi Hukum Islam pasal 95 ayat 1 yang
menyatakan ”dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan
pemerintah no 9 tahun 1975 pasal 136 ayat 2, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya”.
    Dalam pasal tersebut, dimungkinkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam sebuah
perkawinan untuk melakukan sita marital kepada pengadilan jika terdapat tiga indikasi yang
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu judi, mabuk, dan boros. Dalam proses
permohonannya, Halimah dapat membuktikan terjadinya boros yang dilakukan oleh suami
karena adanya pihak ketiga. sehingga jika tidak disita oleh Majelis Hakim, dikhawatirkan
terjadinya pengurangan, penyusutan, atau adanya perpindahan harta bersama mereka kepada
pihak lain sebelum terjadi keputusan hukum tetap perceraian.
   Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tersebut di atas kami anggap sebagai terobosan
hukum, karena walaupun dimungkinkan dalam hukum acara, namun jarang dipergunakan.
Majelis hakim berpendapat bahwa penggunaan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam
memberikan hak yang sama kepada isteri maupun suami untuk mengajukan sita harta
bersama yang juga disebut sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bersama atau dapat
juga disebut dengan Sita Marital (Marital Beslag). 8 Harapan ke depan, keputusan sejenis dapat
diberikan oleh hakim-hakim lain kepada pihak isteri yang mengajukan sita marital tanpa
melihat status sosial (posisi dan kedudukan) isteri dan suami.
Kebijakan Standar Pelayanan Minimum dalam penanganan korban kekerasan
   Pada bulan November 2008, Departemen Sosial RI mengeluarkan Peraturan Menteri
Sosial RI Nomor : 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Sebelumnya pada bulan Februari 2008,
Departemen Kesehatan RI juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Lahirnya
Standar Layanan Minimal bidang sosial dan Rumah sakit tersebut merupakan tindaklanjut
dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
   SPM Rumah Sakit memberikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar9 yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga
negara secara minimal.
   Sementara SPM bidang sosial, jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah :
       1. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial; pemberian bantuan sosial, pelaksanaan
          kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial (panti sosial)
       2. penyediaan sarana prasaran sosial ; penyediaan sarana prasarana panti sosial,
          penyediaan sarana prasarana luar panti
8
    Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal. 106.
9
 Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan – Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 BAB I ayat 8.



                                                                                                             22
3. penanggulangan korban bencana ; bantuan sosial, evakuasi korban
   4. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan
      mental, serta lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan
      dan tidak mampu ; pelaksanaan jaminan sosial
   Hadirnya SPM dari Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan membuka peluang
keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial yang lebih luas, namun
oleh karena pelayanan tersebut diberikan oleh pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan
kualitas pelayanannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
    Terobosan kebijakan lainnya tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan yang lahir
di tahun 2008, adalah:
       Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme
       Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
       Keputusan Bupati Maluku Tengah No. 463-142 Tahun 2008 tentang Pembentukan
       Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Maluku Tengah
       Keputusan Bupati Buru No. 463-116 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat
       Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Buru
       Keputusan Walikota Ambon No. 390 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat
       Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kota Ambon
       Peraturan Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang
       Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan dan/atau Korban Tindak Pidana.
Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran
   Dalam Sesinya yang ke-42 (Oktober-November 2008), Komite Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan PBB (Komite CEDAW), mengeluarkan Rekomendasi
Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Menyikapi rendahnya kesediaan negara-
negara, khususnya negara tujuan, dalam meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990),
Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 dapat menjadi standar baru bagi perlindungan hak-
hak perempuan pekerja migran. Mengingat hampir semua negara di dunia telah menjadi
Negara Pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Konvensi CEDAW 1979), implementasi Rekomendasi Umum tersebut jelas merupakan
kewajiban Negara Pihak, termasuk Indonesia dan negara-negara tujuan perempuan pekerja
migran Indonesia, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan sebagainya.
   Dalam rekomendasi tersebut, Komite CEDAW menegaskan kewajiban Negara Pihak
Kovensi CEDAW, baik sebagai negara asal, negara transit maupun negara tujuan perempuan
pekerja migran, untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh
perempuan pekerja migran. Paragraf 23 Rekomendasi Umum No. 26 menggarisbawahi
tanggung jawab bersama negara asal dan negara tujuan, yang meliputi kebijakan migrasi
komprehensif yang sensitif jender dan berbasis hak dengan merujuk pada Konvensi
CEDAW, pelibatan aktif perempuan pekerja migran dan masyarakat sipil dalam penyusunan
kebijakan, maupun penelitian, pengumpulan data dan analisis kuantitatif dan kualitatif
tentang permasalahan yang dihadapi perempuan pekerja migran sebagai bahan penyusunan
kebijakan. Negara Pihak diharapkan untuk melakukan kerja sama bilateral, regional maupun



                                                                                          23
ratifikasi perjanjian HAM internasional terkait, seperti Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990).
   Secara spesifik, negara penerima harus menghargai, melindungi dan memenuhi HAM
warga negaranya yang perempuan yang bermigrasi untuk bekerja, antara lain melalui
menghilangkan larangan/pembatasan migrasi, termasuk syarat izin suami/wali laki-laki untuk
mendapatkan paspor/berpergian, mengembangkan materi/program pendidikan, peningkatan
kesadaran dan pelatihan, mengadopsi sistem peraturan dan pemantauan terhadap agen
rekrutmen, menyediakan layanan kesehatan, pendampingan hukum dan administratif,
penyaluran remitensi yang aman, memfasilitasi kepulangan dan reintegrasi, serta melatih dan
mengawasi layanan diplomatik dan konsulernya agar sungguh melindungi hak-hak
perempuan pekerja migran di luar negeri.10 Negara transit juga memiliki tanggung jawab
untuk melatih, memantau dan mengawasi polisi dan petugas imigrasi di perbatasan agar
sensitif jender dan tidak diskriminatif dalam berhadapan dengan perempuan pekerja migran,
dan berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM terkait migrasi, serta
mengadili dan menghukum pelakunya.11
    Negara tujuan berkewajiban untuk memastikan perlakuan non-diskriminatif bagi
perempuan pekerja migran yang bekerja di negaranya.12 Negara tujuan, antara lain, harus
mencabut larangan/pembatasan bagi perempuan pekerja migran, termasuk larangan untuk
menikah dengan warga negaranya, hamil ataupun mendapatkan akomodasi yang aman dan
independen, memberikan perlindungan hukum, akses terhadap remedy, berupa penyelesaian
masalah secara hukum dan penyediaan tempat perlindungan sementara (shelter), penyediaan
perlindungan hukum bagi kebebasan bergerak, skema reunifikasi keluarga, mengadopsi
sistem pemantauan terhadap agen rekrutmen dan majikan, menjamin hak-hak perempuan
pekerja migran yang berada dalam tahanan, dan menjamin perlindungan HAM perempuan
pekerja migran yang tak berdokumen.
Piagam ASEAN
   Pada 15 Desember 2008 Piagam ASEAN telah berlaku resmi setelah diratifikasi oleh
Negara – negara anggota. Hal tersebut menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah
ASEAN karena tidak hanya ASEAN meletakkan pondasi yang lebih kuat bagi bangunan
organisasi regional ini, tetapi juga karena ASEAN secara resmi mengakui nilai-nilai HAM
rakyatnya. Meski secara tidak eksplisit menyebutkan hak-hak mereka yang berimigrasi ke
negara lain, namun pengakuan tentang prinsip-prinsip HAM berimplikasi pada hak-hak
pekerja migran termasuk rakyatnya yang berimigrasi ke negara lain sebagai bagian yang tidak
terpisah dari HAM menjadi lebih terjamin. Pasal 2 Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip
yang sebaiknya dipegang oleh ASEAN dan Negara Anggotanya, dimana salah satunya adalah
“menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan HAM, dan pemajuan
keadilan sosial.”13 Secara spesifik, Piagam ASEAN memandatkan pembentukan sebuah
badan HAM ASEAN14, yang pelaksanaannya berdasar pada Acuan Kerja (Terms of
Reference/TOR) yang disusun oleh Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN.

10
     Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran, paragraf 24.
11
     Ibid., paragraf 25.
12
     Ibid., paragraf 26.
13
     Pasal 2 Piagam ASEAN.
14
     Pasal 14 Piagam ASEAN.



                                                                                        24
Kemunduran
UU Pornografi
   Pada tanggal 26 November 2008, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang ditengah kontroversi pro dan kontra yang datang
hampir dari semua kalangan: akademisi, aktivis, budayawan, cendekiawan, maupun kalangan
pemerintahan. Dengan alasan perlindungan terhadap perempuan, anak dan generasi muda
dari bahaya pornografi, undang-undang ini malah berpotensi mengkriminalkan perempuan
dan membatasi kebebasan berekspresi warga negara. Dalam konteks ini, UU Pornografi
mengancam jaminan-jaminan konstitusional, seperti: Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan
dan diskriminasi, Pasal 28 D (1) jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2)
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal
28 F kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan dan
keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif dan
perlindungan dari perlakukan tersebu.
   Keberadaan UU ini didukung kuat oleh kalangan pemerintah sehingga mempercepat
pengesahannya. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya peraturan bersama antara Menteri
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Pemuda dan Olah Raga, Menteri Komunikasi dan
Informasi, Menteri Agama, dan Kepolisian RI nomor 78/Men.PP/Dep.II/IV/2008 Nomor
0105, Nomor 73/Kep./M.Kominfo/4/2008 nomor 2 tahun 2008 tentang rencana aksi
nasional mewujudkan keluarga bersih pornografi. Keputusan bersama ini ditandatangani
pada tanggal 4 April 2008. Secara umum rencana nasional ini berisikan rencana aksi tahun
2008 – 2011, yang dimulai pada tingkat individu sampai negara/pemerintah guna
menerapkan norma-norma, sosialisasi tentang peraturan tentang pornografi, bahaya dan
dampak pornografi, serta upaya pencegahan pornografi yang dapat dilakukan oleh semua
kalangan sebagai bagian dari kontrol sosial dalam masyarakat guna mencegah penyebaran
pornografi.
   Pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU Pornografi juga menimbulkan ketidakpastian
hukum. Tak lama setelah UU Pornografi disahkan oleh DPR, aparat kepolisian Taman Sari
Jakarta Barat segera melakukan razia di kawasan Lokasari terhadap pekerja sektor hiburan
sebagai upaya pelaksanaan UU ini. Sebanyak 10 orang penari ditahan, dimana tujuh diantara
mereka sedang menunggu giliran menari.15 Hingga saat ini Pemerintah belum mengeluarkan
aturan pelaksanaan dari UU ini.
Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat (pidana)
Peradilan Agama
   Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Agung RI memberikan putusannya bernomor
01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, menolak permohonan
kasasi yang diajukan salah satu terdakwa, atas hukum cambuk yang diterimanya berdasarkan
Peraturan Daerah NAD atau Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Dalam
Kasus Jinayat (pidana) laki-laki dan perempuan (bersuami) telah melakukan perbuatan
mesum, mereka dituntut dengan pasal 5 jo pasal 22 ayat (1) bahwa apabila bukan muhrim

15
     10 penari terjerat UU Pornografi, Koran Seputar Indonesia, 3 November 2008.




                                                                                        25
(mahram) berdua-duaan di tempat gelap di dalam sebuah kamar rumah yang patut diketahui,
mereka telah melakukan perbuatan mesum/khalwat maka haram hukumnya dan akan
memperoleh hukuman cambuk.
   Kasus tersebut telah mendapat putusan Pengadilan Syari’ah No 01/JN/2007/Msy-LSK
tanggal 9 Juli 2007 keduanya dihukum cambuk biaya perkara. Terdakwa mengajukan banding
dan telah mendapat Putusan Mahkamah Syar’iyah No 09/JN/2007/Msy-Prof tanggal 25
September 2007 dengan hukuman yang sama. Terdakwa laki-laki mengajukan di dalam
memori kasasi pemohon menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.
    Dengan demikian, putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut telah
mengukuhkan putusan qanun yang memperkenalkan satu jenis hukuman pidana yang tidak
diatur dalam hukum positif nasional kita, yaitu hukuman cambuk. Mahkamah Agung tidak
mempersoalkan bahwa hukum cambuk tidak ada dalam sistem hukum nasional. Sementara
itu, sesungguhnya, sesuai UU No. 14 tahun 1985 yang diubah menjadi UU No. 5 Tahun
2004 pasal 30 (1) huruf b, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi berwenang membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Agung terbatas
memperlakukan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksokun NAD tanpa menyentuh substansi
qanun.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak politik perempuan
    Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember
2008 menentukan bahwa pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-
undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Keputusan tersebut didasarkan pada penilaian hukum bahwa,
dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon
anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan
rakyat paling banyak. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menghilangkan langkah affirmative
action untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga legislatif.
   Langkah ini dianggap penting karena keberadaan wakil-wakil rakyat yang berjenis kelamin
perempuan di lembaga-lembaga legislatif masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Fakta
menunjukkan bahwa selama tiga periode yakni sejak 1992 sampai 2004 jumlah perempuan di
parlemen mengalami penurunan dari 12,15% menjadi 8,80% 16. Hasil pemilu 2004 17
menunjukkan jumlah perempuan yang menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak
11% sementara laki-laki sebanyak 89% dari 16 partai politik peserta pemilu. Dari data
perbandingan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun,
menunjukkan keterlibatan perempuan dalam dunia politik sangat rendah bukan disebabkan
sekedar oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik, tetapi sebagai dampak
dari konstruksi sosial yang bias jender tentang peran perempuan dalam masyarakat.
Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong No.
0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan
Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong

16
     Sumber: Sekjen, MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999,BPS)
17
     Sumber: Komisi Pemilihan Umum (2004)




                                                                                         26
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong mengeluarkan Surat Edaran
No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan
Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong. Surat Edaran ini lahir sebagai
koreksi dari Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong No.
2258/IA/XII/2007 perihal Tata Cara Perpindahan Agency bagi Nakerwan. Surat Edaran
No. 2258/IA/XII/2007 mendapat tentangan keras dari berbagai pihak khususnya organisasi
pekerja migran yang berbasis di Hong Kong, karena dinilai sangat merugikan pekerja migran.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut, memberi penekanan dan kewajiban khusus semata
kepada perempuan pekerja migran yang akan berpindah agen wajib memberitahukan kepada
KJRI Hong Kong namun tidak kepada pihak lain yang terkait dengan proses migrasi dan
penempatan.
   Desakan dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, membuahkan hasil lahirnya
Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 yang menyebutkan antara lain bahwa ketika tenaga kerja
Indonesia (tidak hanya perempuan pekerja migran Indonesia saja) akan berpindah agen,
mereka tidak perlu lagi menyampaian alasan pindah agen kepada KJRI Hong Kong, dan
ketika agen memperpanjang kontrak kerja, mereka harus menyertakan surat pernyataan
jaminan bahwa tidak memungut lebih dari 10% gaji pekerja migran.
Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008
   Pada pertengahan tahun 2008, kali ini calon pekerja migran ke Hong Kong yang bekerja
sebagai penata laksana rumah tangga, perawat bayi, dan perawat orang tua/jompo mendapat
kejutan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186
Tahun 2008, yang menetapkan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon pekerja
migran Indonesia adalah sebesar Rp 15.550.000, ditambah USD 15. Sebelumnya, hanya
sebesar Rp. 9.132.000,- berdasarkan SK Binapenta No. 653 Tahun 2004. Bagi calon pekerja
migran yang hampir semua berasal dari kalangan masyarakat berperekonomian rendah,
jumlah tersebut sangatlah besar. Hingga saat ini, Surat Keputusan tersebut masih
diberlakukan.


Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi                             No.
22/MEN/XII/2008, dan Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi                            No.
23/MEN/XII/2008
   Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 22/MEN/XII/2008 tentang
Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/MEN/XII/2008 tentang
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
    Berbeda dengan Permen yang lalu (Permen No. 18/MEN/IX/2007), Permen kali ini
telah memuat klausul yang lebih komprehensif mengenai perlindungan bagi pekerja migran
Indonesia. Pengaturan yang ada mencakup perlindungan sejak masa pra-penempatan, selama
penempatan, hingga purna penempatan, dengan mencakup juga elemen perlindungan di
tahap penempatan bagi tenaga kerja Indonesia yang mengalami tindak kekerasan dan
pelecehan seksual (Pasal 44). Akan tetapi, ada beberapa kelemahan dari Permen tersebut.
Pertama, perlindungan yang dimaksud pada tahapan pra keberangkatan hanya terbatas pada
pengawasan berbagai dokumen pekerja migran. Sementara terkait dengan perlindungan



                                                                                       27
tindak kekerasan seksual hanya disebutkan dalam perlindungan berupa penyelesaian
perselisihan dengan pengguna/pihak lain selama penempatan. Advokasi dan pendampingan
yang dimaksudkan dalam perlindungan di tahapan ini juga terbatas pada advokasi dan
pendampingan hak-hak pekerja migran sebagai pekerja, bukan sebagai orang yang terlanggar
hak asasinya. Rehabilitasi fisik dan psikologi baru diberikan ketika pekerja migran kembali ke
Indonesia. Kelemahan lain Permen No. 22 Tahun 2008 adalah masih adanya pembatasan
hak-hak perempuan pekerja migran, seperti persyaratan surat izin suami/istri/orang tua/wali
(Pasal 10).
    Permen No. 23 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa TKI harus diikutsertakan dalam
program asuransi yang meliputi pra-penempatan hingga purna penempatan, dengan total
biaya asuransi sebesar Rp. 400.000,-. Terobosan yang diberikan oleh Permen ini adalah salah
satu resiko yang tercakup di dalam program asuransi tersebut adalah resiko tindak kekerasan
fisik dan pemerkosaan (Pasal 4).
    Setelah dibentuknya BNP2TKI pada awal tahun lalu, tahun ini Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi kembali mengaktifkan peran departemennya dalam hal penempatan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja. Penguatan posisi Depnaker tersebut terlihat pula pada Permen
No. 22 dan 23 Tahun 2008. Selama tahun 2008, perdebatan antara BNP2TKI dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup menonjol, terutama dipicu dengan tidak
jelasnya batas kewajiban dan kewenangan masing-masing institusi dalam hal penempatan dan
perlindungan pekerja migran Indonesia. BNP2TKI mendapat mandat untuk melakukan
koordinasi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Akan tetapi,
BNP2TKI tidak diberi kewenangan penuh dalam melakukan tugas tersebut. Keputusan tetap
berada di dalam kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; BNP2TKI hanya
mendapat kewenangan memberi masukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengaktifan kembali dirjen tersebut tanpa ada penyelesaian terhadap konflik kelembagaan
terkait kejelasan kewenangan antara kedua lembaga tersebut diprediksi akan menambah
keruwetan penyelesaian masalah-masalah komprehensif yang dialami oleh pekerja migran.
   Seperti juga halnya kebijakan, penanganan kasus pekerja migran yang dilakukan hingga
saat ini oleh pemerintah masih bersifat reaktif. Belum ada mekanisme penanganan kasus
yang komprehensif dan peka terhadap kebutuhan korban. Penanganan kasus juga masih
bersifat parsial, belum terkoordinasi dengan baik. Masing-masing institusi memiliki
mekanisme sendiri, sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Karakter penanganan
kasus yang cukup menonjol adalah pemilahan antara korban yang merupakan pekerja migran
berdokumen dengan yang tidak berdokumen. Padahal, penanganan kasus seharusnya
diberikan kepada semua pekerja migran, tanpa membedakan statusnya. Selain itu, mekanisme
penanganan yang ada masih belum responsif terhadap perempuan korban, khususnya korban
kekerasan seksual. Bukti nyata adalah tidak adanya upaya negara menangani fenomena anak
bermuka Arab di Cianjur, Karawang dan Lombok, yang sebagian besar merupakan anak hasil
pemerkosaan yang dilakukan majikan perempuan pekerja migran di Arab Saudi.
   Hal tersebut tidak saja terjadi di tingkat nasioal, tapi dalam hubungan antara nasional
dengan daerah dan di tingkat antar daerah.
   Adanya Permen No. 22 Tahun 2008 juga memberikan tanggung jawab yang lebih besar
kepada Daerah (Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Apabila hal ini tidak diimbangi penguatan kapasitas Dinas Ketenagakerjaan di Daerah,


                                                                                           28
koordinasi antara Dinas Ketenagakerjaan dengan Pemerintah Daerah setempat, maka
implementasinya dikhawatirkan tidak maksimal dan menimbulkan berbagai kesulitan baru
dalam berkoordinasi.
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan
Tenaga Kerja Kabupaten Blitar di Luar Negeri
    Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar mengeluarkan Perda Kabupaten Blitar No. 16
Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar (TKKB) di Luar Negeri.
Akan tetapi, Perda ini masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain masih kuatnya elemen
penempatan, walaupun judulnya hanyalah memuat elemen perlindungan, beberapa peraturan
yang dijadikan konsideran telah tidak berlaku, tenaga kerja yang dimaksud hanyalah mereka
“yang berangkat secara sah” (Pasal 1), adanya syarat buku nikah dan surat izin dari suami
atau istri sebagai dokumen ketenagakerjaan yang dibutuhkan (Pasal 8). Di lain pihak,
terobosan yang perlu dicatat dari Perda ini adalah ketentuan untuk membentuk Komisi
Perlindungan TKKB, yang keanggotaannya terdiri dari LSM, tokoh masyarakat dan
profesional yang kompeten. Komisi ini dimandatkan antara lain untuk menerima pengaduan
terkait pelanggaran prosedur dan peraturan perekrutan dan penempatan TKKB, membuat
peraturan mengenai mekanisme pengaduan dan mediasi, mengelola rumah aman, dan lain-
lain. Selain itu, Perda memandatkan Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana
perlindungan bagi TKKB. Akan tetapi, bagaimana implementasi kedua terobosan ini masih
perlu dilihat kemudian.



KESIMPULAN
Pola kekerasan

1. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang
   terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar
   dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap
   perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi
   penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun,
   sejak tahun 2006 hingga 2008.
2. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah
   tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus ( dari jumlah 46.884 kasus KTI),
   sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di
   bawah umur, yaitu sebanyak 469 kasus (dari jumlah 1.870 kasus).
3. Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada
   tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja
   hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan
   terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik,
   kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik.
Penanganan
4. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam
   penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya


                                                                                       29
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun
   sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang
   UU ini.
5. Penggunaan UU Penghapusan KDRT justru mulai berkurang di lingkungan lembaga-
   lembaga layanan di kepolisian dan masyarakat pada tahun 2008 ini, jika dibandingkan
   dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum ada penjelasan yang pasti tentang alasan
   kecenderungan ini, tetapi ada kemungkinan terkait dengan keluhan dari polisi tentang
   banyaknya perempuan korban KDRT yang menarik kembali pengaduan sebelum
   proses hukum dimulai. Dalam konteks lembaga layanan yang dikelola organisasi
   masyarakat sipil (OMS), penurunan ini mungkin disebabkan semakin sering
   digunakan pendekatan non-litigasi dalam menangani kasus-kasus KDRT.
Kebijakan
6. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak
   perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis,
   perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital
   dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk
   kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya
   dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada
   keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan
   Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih).
7. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan
   pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung
   memperlemah perlindungan pekerja migran.



REKOMENDASI
1. Karena jenis KDRT yang paling tinggi adalah kekerasan ekonomi, maka Pemerintah
   dan para pendamping korban KDRT perlu membuat upaya khusus untuk
   meningkatkan kemandirian ekonomi bagi para korban, selain memfasilitasi
   pemulihan psiko-sosial dan medisnya.
2. Pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk mendukung
   pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban kekerasan seksual
   dalam komunitas.
3. Organisasi-organisasi perempuan perlu segera mengembangkan konsep kebijakan
   yang komprehensif tentang kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk soal
   perlindungan hukum dan pemulihan bagi korban.
4. Pemerintah perlu segera mencabut semua kebijakan yang diskriminatif terhadap
   komunitas minoritas agama untuk mencegah semakin bertambahnya korban, dan
   lembaga penegak hukum perlu menindak tegas segala bentuk bentuk aksi kekerasan
   dan tindak kriminal terhadap komunitas minoritas.




                                                                                    30
5. Mengantisipasi dampak krisis ekonomi global di Indonesia, Pemerintah perlu
   mengembangkan inisiatif khusus untuk memahami kebutuhan-kebutuhan perempuan
   miskin di perkotaan dan pedesaan serta mendukung pemenuhannya.
6. Pemerintah perlu segera menciptakan perangkat hukum yang komprehensif untuk
   melindungi pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM yang mempunyai
   kerentanan-kerentanan khusus karena keperempuanannya atau karena isu keadilan
   jender yang diperjuangkannya.
7. Masyarakat perlu meningkatkan pemantauan terhadap perilaku pejabat publik dan
   pendidik terhadap perempuan yang berada di bawah kewenangannya, khususnya
   terkait tindak pelecehan dan kekerasan seksual.
8. Lembaga-lembaga negara dan institusi-institusi pendidikan, baik formal dan
   nonformal, perlu mengembangkan mekanisme penegakan kode etik, termasuk
   penerapan sistem sanksi, yang tanggap terhadap kasus-kasus pelecehan dan kekerasan
   seksual yang terjadi di lingkungannya sendiri.
9. Lembaga-lembaga penegak hukum perlu terus meningkatkan pengarusutamaan
   pengetahuan tentang UU Penghapusan KDRT dalam konteks hak-hak asasi
   perempuan di seluruh jajarannya, termasuk dalam kurikulum pendidikan yang
   berlaku.
10. Masyarakat dan Pemerintah perlu membangun pengetahuan empiris dan
    komprehensif tentang pola-pola penanganan kekerasan terhadap perempuan yang
    hidup di tengah masyarakat serta mengkaji efektifitasnya bagi pemenuhan hak-hak
    korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
11. Pemerintah dan lembaga legislatif perlu segera mengambil langkah nyata guna
    melakukan harmonisasi antar peraturan-perundangan serta memperbaiki/mencabut
    peraturan-perundangan yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.
12. Pemerintah perlu membuat terobosan nyata untuk meningkatkan efektifitas
    mekanisme perlindungan bagi pekerja migran perempuan serta meningkatkan akses
    para korban eksploitasi dan kekerasan terhadap keadilan dan pemulihan.




                                                                                  31
TERIMA KASIH

Komnas Perempuan menyampaikan terima kasih kepada lembaga-lembaga yang tercantum
di bawah ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2008.

  1.     Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Kab. Sragen
  2.     Aliansi Perempuan Merangin, Jambi
  3.     Arus Pelangi, DKI Jakarta
  4.     Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Bengkulu
  5.     Flower, Nangroe Aceh Darussalam
  6.     Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (Fokburs), NTB
  7.     Forum Peduli Perempuan dan Anak, NTT
  8.     Forum PK2PA, DI Yogyakarta
  9.     Gender Focal Point, DKI Jakarta
  10.    JARI Aceh, Nangroe Aceh Darussalam
  11.    Kejaksaan Negeri Cilegon, Cilegon
  12.    Kejaksaan Negeri Pandeglang, Pandeglang
  13.    Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Rangkas Bitung
  14.    Kejaksaan Negeri Serang, Serang
  15.    Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten
  16.    Kejati Aceh, Nangroe Aceh Darussalam
  17.    Kejati Bali, Bali
  18.    Kejati Bangka, Bangka Belitung
  19.    Kejati Banten, Banten
  20.    Kejati Gorontalo, Gorontalo
  21.    Kejati Jambi, Jambi
  22.    Kejati Jawa Barat, Jawa Barat
  23.    Kejati Jawa Tengah, Jawa Tengah
  24.    Kejati Kalimantan Barat, Kalimantan Barat
  25.    Kejati Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
  26.    Kejati Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
  27.    Kejati Kep. Bangka Belitung, Bangka Belitung
  28.    Kejati Lampung, Lampung
  29.    Kejati Maluku, Maluku
  30.    Kejati Nusa Tenggara Barat, NTB
  31.    Kejati Nusa Tenggara Timur, NTT
  32.    Kejati Papua, Papua
  33.    Kejati Riau, Riau
  34.    Kejati Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan
  35.    Kejati Sulawesi Utara, Sulawesi Utara
  36.    Kejati Sumatera Barat, Sumatera Barat
  37.    Kejati Sumatera Selatan, Sumatera Selatan
  38.    KPBH ATMA, Jawa Tengah
  39.    KPPA Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
  40.    Lada Damar, Lampung
  41.    LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta


                                                                                  32
42.   LBH APIK NTB, NTB
43.   LBH APIK Semarang, Jawa Tengah
44.   LBH APIK Makassar, Sulawesi Selatan
45.   LBHP2I Makassar, Sulawesi Selatan
46.   LBH Bali, Bali
47.   LBH Jakarta, DKI Jakarta
48.   Lentera Perempuan WCC,
49.   LKBH PEKKA, DKI Jakarta
50.   LRC KJHAM, Jawa Tengah
51.   Mitra Perempuan, DKI Jakarta
52.   P2TP2A Bandar Lampung, Lampung
53.   P2TP2A Bandung, Jawa Barat
54.   P2TP2A Jakarta, DKI Jakarta
55.   P2TP2A Maluku, Maluku
56.   P2TP2A Maluku Utara, Maluku
57.   P2TP2A Rekso Dyah Utami, DI Yogyakarta
58.   P2TP2A Tanah Datar, Sumatera Barat
59.   PA Ambarawa, Jawa Tengah
60.   PA Atambua, NTT
61.   PA Balige, Sumatera Utara
62.   PA Balikpapan, Kalimantan Timur
63.   PA Bandung, Jawa Barat
64.   PA Bangil, Jawa Tengah
65.   PA Bangkalan, Madura
66.   PA Bangko, Jambi
67.   PA Bangli, Bali
68.   PA Banyuwangi, Jawa Timur
69.   PA Batu Raja, Sumatera Selatan
70.   PA Bawean, Jawa Timur
71.   PA Binjai, Sumatera Utara
72.   PA Blitar, Jawa Tengah
73.   PA Blora, Jawa Tengah
74.   PA Boyolali, Jawa Tengah
75.   PA Brebes, Jawa Tengah
76.   PA Cilacap, Jawa Tengah
77.   PA Garut, Jawa Barat
78.   PA Gunung Sitoli, Sumatera Utara
79.   PA Jakarta Barat, DKI Jakarta
80.   PA Jakarta Pusat, DKI Jakarta
81.   PA Jakarta Timur, DKI Jakarta
82.   PA Jakarta Selatan, DKI Jakarta
83.   PA Jepara, Jawa Tengah
84.   PA Jombang, Jawa Timur
85.   PA Karawang, Jawa Barat
86.   PA Kandangan, Kalimantan Selatan
87.   PA Kayu Agung, Sumatera Selatan



                                               33
88.    PA Kebumen, Jawa Tengah
89.    PA Kefamenanu, NTT
90.    PA Kendal, Jawa Tengah
91.    PA Ketapang, Jawa Timur
92.    PA Kelas I Batang, Jawa Tengah
93.    PA Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
94.    PA Lahat, Sumatera Selatan
95.    PA Labuha, Maluku Utara
96.    PA Lubuk Linggau, Sumatera Selatan
97.    PA Lubuk Pakam, Sumatera
98.    PA Malang, Jawa Timur
99.    PA Manokwari, Papua
100.   PA Marabahan, Kalimantan Selatan
101.   PA Mataram, NTB
102.   PA Maumere, NTT
103.   PA Mempawah, Kalimantan Barat
104.   PA Muara Enim, Sumatera Selatan
105.   PA Nganjuk, Jawa Timur
106.   PA Ngawi, Jawa Timur
107.   PA Pacitan, Jawa Timur
108.   PA Painan, Sumatera Barat
109.   PA Palembang, Sumatera Selatan
110.   PA Pamekasan, Madura
111.   PA Pangkal Pinang, Riau
112.   PA Pati, Jawa Tengah
113.   PA Pemalang, Jawa Tengah
114.   PA Polewali, Sulawesi Selatan
115.   PA Poso, Sulawesi Tengah
116.   PA Probolinggo, Jawa Timur
117.   PA Purwodadi, Jawa tengah
118.   PA Purwokerto, Jawa tengah
119.   PA Rangkas Bitung, Banten
120.   PA Rengat, Riau
121.   PA Salatiga, Jawa Tengah
122.   PA Samarinda, Kalimantan Timur
123.   PA Sampit, Kalimantan Tengah
124.   PA Sekayu, Ulawesi Selatan
125.   PA Selat Panjang, Riau
126.   PA Serang, Banten
127.   PA Serui, Papua
128.   PA Simalungun, Sumatera Utara
129.   PA Sintang, Kalimantan Barat
130.   PA Situbondo, Jawa Timur
131.   PA Sleman, DI Yogyakarta
132.   PA Soasio, Sumatera Selatan
133.   PA Solok, Sumatera Barat



                                            34
134.   PA Sragen, Jawa Tengah
135.   PA Sukabumi, Jawa Timur
136.   PA Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat
137.   PA Sumber, Jawa Barat
138.   PA Sungai Liat, Bangka Belitung
139.   PA Surabaya, Jawa Timur
140.   PA Tanjung Balai Karimun, Riau
141.   PA Tanjung Pandan, Bangka Belitung
142.   PA Tanjung Redeb, Kalimantan Timur
143.   PA Tanjung Balai, Riau
144.   PA Tebing Tinggi, Sumatera Utara
145.   PA Tolitoli, Sulawesi Tengah
146.   PA Trenggalek, Jawa Timur
147.   PA Tual, Maluku
148.   PA Waingapu, NTT
149.   PA Wates, DI Yogyakarta
150.   PA Wonosari, Jawa Tengah
151.   PA Wonosobo, Jawa Tengah
152.   PKPA, Sumatera Utara
153.   PKT Melati RSAL Dr. Mintohardjo, DKI Jakarta
154.   PN Jawa Tengah, Jawa Tengah
155.   PN Bangil, Jawa Timur
156.   PN Bangli, Bali
157.   PN Banjarnegara, Jawa Tengah
158.   PN Bantul, DI Yogyakarta
159.   PN Banyumas, Jawa Tengah
160.   PN Batang, Jawa Tengah
161.   PN Batu Sangkar, Sumatera Barat
162.   PN Bengkalis, Riau
163.   PN Brebes, Jawa Tengah
164.   PN Bukit Tinggi, Sumatera Barat
165.   PN Ciamis, Jawa Barat
166.   PN Dumai, Riau
167.   PN Gorontalo, Gorontalo
168.   PN Idi, Nangroe Aceh Darussalam
169.   PN Jeneponto, Sulawesi Selatan
170.   PN Jepara, Jawa Tengah
171.   PN Kab. Kediri, Jawa Timur
172.   PN Kab. Madiun, Jawa Timur
173.   PN Kelas IB Bangko, Jambi
174.   PN Kelas IB Cirebon, Jawa Barat
175.   PN Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah
176.   PN Kelas IB Raba Bima, NTB
177.   PN Kelas IB Selong, NTB
178.   PN Koto Baru, Sumatera Barat
179.   PN Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah



                                                      35
180.   PN Kuningan, Jawa Barat
181.   PN Lahat, Sumatera Selatan
182.   PN Lubuk Sikaping, Sumatera Barat
183.   PN Madiun, Jawa Timur
184.   PN Magelang, Jawa Tengah
185.   PN Magetan, Jawa Timur
186.   PN Mamuju, Sulawesi Selatan
187.   PN Metro, Lampung
188.   PN Selayar, Sulawesi Selatan
189.   PN Soe, NTT
190.   PN Sorong, Papua
191.   PN Subang, Jawa Barat
192.   PN Sungai Liat, Bangka Belitung
193.   PN Tabanan, Bali
194.   PN Tanjung Pandan, Bangka Belitung
195.   PN Tanjung Pati, Sumatera
196.   PN Temanggung, Jawa Tengah
197.   PN Tolitoli, Sulawesi Tengah
198.   PN Watansoppeng, Sulawesi Selatan
199.   PN Wonosari, DI Yogyakarta
200.   PN Wonosobo, Jawa Tengah
201.   PP Puan Amal Sakienah, Jawa Barat
202.   PPAH Cipasung, Jawa Barat
203.   PPT RS POLRI Sukanto, DKI Jakarta
204.   PT Bandung, Jawa Barat
205.   PT Banten, Banten
206.   PT Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
207.   PT Semarang, Jawa Tengah
208.   PT Sumatera Barat, Sumatera Barat
209.   Rifka Annisa, DI Yogyakarta
210.   RS Bhayangkara Medan, Sumatera Utara
211.   RS Bhayangkara Semarang, Jawa Tengah
212.   RS Bethesda, DI Yogyakarta
213.   RS Bhayangkara Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah
214.   RS Bhayangkara Kediri, Jawa Timur
215.   RS Bhayangkara Nganjuk, Jawa Timur
216.   RS Dr. Sardjito, DI Yogyakarta
217.   RS Kota Jogja, DI Yogyakarta
218.   RSUD M. Yunus, Bengkulu
219.   RSUD Panembahan Senopati, DI Yogyakarta
220.   RSUP Fatmawati, DKI Jakarta
221.   Rumah Kita, DKI Jakarta
222.   Sahabat Perempuan, Jawa Tengah
223.   Sapa Institute, Jawa Barat
224.   Savy Amira, Jawa Timur
225.   SBMI Jadebotabek, DKI Jakarta



                                                             36
226.   SPEK HAM, Jawa Tengah
227.   SPI Labuhan Batu, Sumatera Utara
228.   Suara Nurani Perempuan, DI Yogyakarta
229.   UPPA KPP Tj. Priuk, DKI Jakarta
230.   UPPA Polda Bali, Bali
231.   UPPA Polda Jogja, DI Yogyakarta
232.   UPPA Polda Kediri, Jawa Timur
233.   UPPA Polda Lampung, Lampung
234.   UPPA Polda Metro Jaya, DKI Jakarta
235.   UPPA Polda NTB, NTB
236.   UPPA Polda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah
237.   UPPA Polda Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
238.   UPPA Polres Ponorogo, Jawa Timur
239.   UPPA Polres Asahan, Sumatera Utara
240.   UPPA polres Bangli, Bali
241.   UPPA Polres Bantul, DI Yogyakarta
242.   UPPA Polres Batu, Jawa Timur
243.   UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat
244.   UPPA Polres Deli Serdang, Sumatera Utara
245.   UPPA Polres Gianyar, Bali
246.   UPPA Polres Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
247.   UPPA Polres Karang Asem, Bali
248.   UPPA Polres Karawang, Jawa Barat
249.   UPPA Polres Klungkung, Bali
250.   UPPA Polres Kulon Progo, DI Yogyakarta
251.   UPPA Polres Labuhan Batu, Sumatera Utara
252.   UPPA Polres Lampung Selatan, Lampung
253.   UPPA Polres Malang, Jawa Timur
254.   UPPA Polres Merangin, Jambi
255.   UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur
256.   UPPA Polres Nusa Tenggara Barat, NTB
257.   UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat
258.   UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah
259.   UPPA Polres Sikka, NTT
260.   UPPA Polres Sukoharjo, Jawa Tengah
261.   UPPA Polres Tabanan, Bali
262.   UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur
263.   UPPA Polres Tuban, Jawa Timur
264.   UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur
265.   UPPA Polresta Cirebon, Jawa Barat
266.   UPPA Polresta Malang, Jawa Timur
267.   UPPA Poltabes Bandar Lampung, Lampung
268.   UPPA Polwiltabes Madiun, Jawa Timur
269.   UPPA Polwiltabes Makassar, Sulawesi Selatan
270.   WCC Jombang, Jawa Timur
271.   WCC Palembang, Sumatera Selatan



                                                            37
272.   Yayasan Arikal Mahina, Maluku
273.   Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara




                                              38

More Related Content

Similar to catata

Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007
Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007
Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007vdikamilanisti
 
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...ECPAT Indonesia
 
Apa kata kita Mengenai RUU PKS
Apa kata kita Mengenai RUU PKS Apa kata kita Mengenai RUU PKS
Apa kata kita Mengenai RUU PKS budayamandiri
 
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan SeksualDaftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan SeksualNandaAmalia46
 
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009ECPAT Indonesia
 
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptx
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptxmateri-rakor-fpk2pa-2015.pptx
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptxyulailiskm
 
Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanAkuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanDiaryDVN
 
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfpencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfAchmadMaoly1
 
Cepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsiCepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsiMuslihin Hilim
 
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).ppt
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).pptDATA_terpilah_Profil_Gender (2).ppt
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).pptmegawilliamsari
 
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071natal kristiono
 
Survei Indikator April 2018
Survei Indikator April 2018Survei Indikator April 2018
Survei Indikator April 2018Ahmad Toriq
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanGiosiaJeff
 
Penanganan kasus-eska-di-indonesia
Penanganan kasus-eska-di-indonesiaPenanganan kasus-eska-di-indonesia
Penanganan kasus-eska-di-indonesiaECPAT Indonesia
 

Similar to catata (20)

Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007
Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007
Catatan tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2007
 
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...
MENAGIH PEMERINTAH UNTUK MEMBERIKAN PEMENUHAN HAK-HAK (KOMPENSASI) BAGI KORBA...
 
Apa kata kita Mengenai RUU PKS
Apa kata kita Mengenai RUU PKS Apa kata kita Mengenai RUU PKS
Apa kata kita Mengenai RUU PKS
 
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan SeksualDaftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Daftar Inventarisasi Masalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual
 
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009
Laporan semiloka rapid assessment eska indonesia 2009
 
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptx
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptxmateri-rakor-fpk2pa-2015.pptx
materi-rakor-fpk2pa-2015.pptx
 
Kebiri Bukan Solusi
Kebiri Bukan SolusiKebiri Bukan Solusi
Kebiri Bukan Solusi
 
Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi PemerintahanAkuntansi Pemerintahan
Akuntansi Pemerintahan
 
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdfpencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
pencegahan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-sekolah.pdf
 
Cepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsiCepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsi
 
ppt.pptx
ppt.pptxppt.pptx
ppt.pptx
 
PKM Cheppy Fix edit
PKM Cheppy Fix editPKM Cheppy Fix edit
PKM Cheppy Fix edit
 
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).ppt
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).pptDATA_terpilah_Profil_Gender (2).ppt
DATA_terpilah_Profil_Gender (2).ppt
 
Umpan Balik.pdf
Umpan Balik.pdfUmpan Balik.pdf
Umpan Balik.pdf
 
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071
Laporan tugas pkn khoiril anwar 5113413037 rombel 071
 
Survei Indikator April 2018
Survei Indikator April 2018Survei Indikator April 2018
Survei Indikator April 2018
 
Advokasi Kebijakan
Advokasi KebijakanAdvokasi Kebijakan
Advokasi Kebijakan
 
Pidato Kenegaraan Presiden RI
Pidato Kenegaraan Presiden RI Pidato Kenegaraan Presiden RI
Pidato Kenegaraan Presiden RI
 
Penanganan kasus-eska-di-indonesia
Penanganan kasus-eska-di-indonesiaPenanganan kasus-eska-di-indonesia
Penanganan kasus-eska-di-indonesia
 
Datakerawanpemilu3
Datakerawanpemilu3Datakerawanpemilu3
Datakerawanpemilu3
 

More from dwicantik

evaluasi pendidikan
 evaluasi pendidikan evaluasi pendidikan
evaluasi pendidikandwicantik
 
gambaran pola.pdf
gambaran pola.pdfgambaran pola.pdf
gambaran pola.pdfdwicantik
 
Fotosintesisppt
FotosintesispptFotosintesisppt
Fotosintesispptdwicantik
 
Fotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptFotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptdwicantik
 
Fotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptFotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptdwicantik
 

More from dwicantik (6)

evaluasi pendidikan
 evaluasi pendidikan evaluasi pendidikan
evaluasi pendidikan
 
Indonesia
IndonesiaIndonesia
Indonesia
 
gambaran pola.pdf
gambaran pola.pdfgambaran pola.pdf
gambaran pola.pdf
 
Fotosintesisppt
FotosintesispptFotosintesisppt
Fotosintesisppt
 
Fotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptFotosintesis.ppt
Fotosintesis.ppt
 
Fotosintesis.ppt
Fotosintesis.pptFotosintesis.ppt
Fotosintesis.ppt
 

catata

  • 1. KOMISI NASIONAL ANT I KE KE R A SAN TE R HA DAP PE R E M PUA N KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara Catatan KTP Tahun 2008 CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakar ta, 7 Mar et 2009
  • 2. Daftar Isi Daftar Isi Daftar Singkatan Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................. 4 Pengantar ................................................................................................................................ 5 Metodologi ............................................................................................................................. 6 Gambaran Umum: Pencatatan Data KTP ........................................................................ 8 - Kecenderungan Data yang Meningkat ................................................................. 8 - Kondisi Pendataan dan Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP 8 Perempuan Rentan Kekerasan dan Butuh Perhatian ....................................................... 9 Pola KTP Tahun 2008 : Kekerasan Ekonomi dan Seksual ............................................ 14 - KDRT/RP : Bentuk KTP yang selalu mendominasi ......................................... 14 - Kekerasan di Ranah Komunitas ............................................................................ 16 - Kekerasan oleh Aparat Negara .............................................................................. 17 Penanganan: Kapasitas Lembaga dan Implementasi Perangkat Hukum ............... 20 Kebijakan: Kemajuan dan Kemunduran ................................................................ 20 Kesimpulan ............................................................................................................................. 29 Rekomendasi .......................................................................................................................... 30 Ucapan Terima Kasih ........................................................................................................... 32
  • 3. DAFTAR SINGKATAN CATAHU : Catatan Tahunan DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta IRT : Ibu Rumah Tangga KDP : Kekerasan Dalam Pacaran KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kejati : Kejaksaan Tinggi KJRI : Konsulat Jenderal Republik Indonesia KMP : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar KMS : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami KOM : Komunitas KP : Komnas Perempuan KTAP : Kekerasan Terhadap Anak Perempuan KTI : Kekerasan Terhadap Istri KTP : Kekerasan Terhadap Perempuan MA : Mahkamah Agung MoU : Memorandum of Understanding MS : Mahkamah Syar'iyah NEG : Negara OMS : Organisasi Masyarakat Sipil P2TP2A : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak PA : Pengadilan Agama Permen : Peraturan Menteri PKDRT : Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PN : Pengadilan Negeri PNS : Pegawai Negeri Sipil Polda : Kepolisian Daerah Polres : Kepolisian Resort Polsek : Kepolisian Sektor PP : Peraturan Pemerintah PPM : Perempuan Pekerja Migran PRT : Pekerja Rumah Tangga RS : Rumah Sakit SD : Sekolah Dasar SE : Surat Edaran SK : Surat Keputusan SKB : Surat Keputusan Bersama SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SP3 : Surat Perintah Penghentian Penyelidikan SPM : Standar Pelayanan Minimal 3
  • 4. KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara ringkasan eksekutif Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya, data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai. Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (tahun 2001 – 2008). Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus KTP), yaitu 213% mencapai sejumlah 54.425 kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena meningkatnya kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6800 orang (14,5% dari jumlah 46.882 kasus KTI), sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 1870 orang (38,3% dari jumlah 4875 kasus KOM). Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih). Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran. 4
  • 5. pengantar Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya, data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai. Sama dengan catatan tahunan sebelumnya, catatan tahunan kali ini memaparkan besaran kasus KTP di berbagai wilayah dan menurut data dari lembaga-lembaga mitra yang mengirimkan kembali formulir isian dari Komnas Perempuan. Catatan tahunan ini memberikan sorotan dan penekanan terhadap jenis kekerasan ekonomi yang banyak mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik (KDRT/RP) dan kekerasan seksual yang juga ditemukan mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah publik (KTP Komunitas). Dalam catatan tahunan ini dipaparkan pula gambaran tentang kapasitas lembaga dalam penanganan, hambatan yang dihadapi lembaga khususnya dalam hal melakukan pendataan dan penanganan kasus serta kerja sama yang dikembangkan oleh lembaga mitra. Catatan pemantauan tentang kebijakan baru atau peraturan yang berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan yang efektif berlaku pada tahun lalu pun ditampilkan, termasuk peraturan daerah yang secara positif memberikan ruang kepada perempuan atau yang secara negatif justru merupakan ’alat’ legitimasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan ingin memberikan penghargaan setinggi- tingginya kepada lembaga mitra yang sudah berpartisipasi mengisi dan mengirimkan kembali formulir isian dan/atau mengirimkan data lembaga secara langsung kepada Komnas Perempuan. Untuk meningkatkan kerja sama dan partisipasi lembaga mitra, tahun 2008 yang lalu Komnas Perempuan menyelenggarakan lokakarya dalam rangka memberikan masukan terhadap formulir isian catatan tahunan di dua wilayah: Makassar (mencakup lembaga mitra di daerah Sulawesi) dan Medan (mencakup daerah Sumatera). Pertemuan/lokakarya semacam ini bermanfaat untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antar lembaga. Akhirnya, diharapkan melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini. 5
  • 6. metodologi Sejak Komnas Perempuan mengeluarkan catatan tahunannya, sumber data utama adalah lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari tahun ke tahun lembaga mitra meningkatkan partisipasinya dengan secara aktif mengisi formulir pendataan yang dikirimkan dan/atau memberikan data berdasarkan yang ada di lembaga masing-masing. Jadi, pada prinsipnya data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra selama (dalam) tahun bersangkutan. Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR pada tahun ini dilakukan pada bulan Novermber 2008 ke sejumlah 1188 lembaga mitra di seluruh wilayah di Indonesia (lihat grafik di samping). Separuh lebih formulir didistribusikan kepada lembaga mitra di wilayah Jawa dan Sumatera (564 lembaga). Tingkat respon lembaga mitra mencapai 21,55% (yaitu 256 lembaga mitra) dari jumlah seluruh formulir yang didistribusikan. Jika dilihat per wilayah, lembaga mitra di Bali memberikan respon paling tinggi yaitu mencapai 45,95%. Lembaga mitra di wilayah lain memberikan respon kurang-lebih sama, kecuali Aceh. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hambatan utama dalam pendataan dan berdampak pada tingkat respon adalah ketidaksiapan SDM serta sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga mitra. Hal lain yang juga merupakan permsalahan bersama dalam rangka pendataan KTP adalah tidak ada sistem dan format data yang sama untuk semua jenis lembaga – masing-masing lembaga mengembangkan sistem pendataannya sendiri sesuai dengan kebutuhan. 6
  • 7. Jika melihat TINGKAT RESPON menurut kategori lembaga mitra (lihat grafik di samping), Kejaksaan Tinggi (Kejati) menunjukkan respon paling tinggi (67,4%) dibandingkan lembaga lain. Jajaran pengadilan (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) memberikan respon antara 15 – 25%. UPPA (dahulu RPK), lembaga mitra yang setia memberikan datanya setiap tahun menunjukkan tingkat respon cukup tinggi (28,15%) demikian pula dengan RS (20,69%). Pada tahun 2008 ini, Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan mengakses data pengadilan (agama dan negeri – PA dan PN) lewat website. Hal ini berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini, telah banyak Pengadilan Agama yang membuka akses data lewat websitenya. Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan Menurut data yang dilaporkan oleh lembaga mitra, kasus KTP diperoleh dari beragam sumber, yaitu korban sendiri (57%), saksi/pelapor (16%), telpon/ hotline (10%), media massa dan rujukan (masing-masing 6%), tatap muka, keluarga korban, outreach, masyarakat, dan lewat surat. Data tentang korban yang datang sendiri tercatat paling banyak diterima oleh PA, UPPA, dan OMS. Demikian pula dengan kasus yang 7
  • 8. dilaporkan oleh saksi/pelapor, paling banyak mereka datang ke UPPA, kemudian ke PA dan OMS. Sedangkan pelaporan kasus lewat telpon/hotline paling banyak diterima oleh Komnas Perempuan dan OMS. Penanganan kasus yang ditindaklanjuti berdasarkan pemantauan media massa kebanyakan dilakukan oleh OMS. Lembaga pengada layanan ini (OMS) Jumlah Kasus KTP (tahun 2001 - 2008) bersama dengan UPPA juga melakukan outreach (mendatangi/ mencari kasus 54425 KTP). Kasus yang bersumber dari tatap muka ditangani oleh Komnas Perempuan – secara berkelompok korban mendatangi Komnas Perempuan mengadukan kasus KTP yang dialaminya. 25522 22512 20391 GAMBARAN UMUM: 14020 pencatatan data ktp 5163 7787 3169 Kecenderungan data yang meningkat 2002 200 2004 2005 2006 2007 2008 Mempelajari catatan data kasus KTP yang ditangani oleh lembaga pengada 2001 layanan dari tahun ke tahun sejak 2001 – 2008, ada kecenderungan jumlah (besaran) KTP yang meningkat. Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu lebih dari 213% atau sejumlah 54.425 kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) seperti disebutkan terdahulu (lihat juga Diagram Jumlah Kasus KTP menurut Lembaga Mitra di halaman berikut) Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di samping ini menunjukkan bahwa memang banyak data (77%) tercatat ditangani oleh PA (Pengadilan Agama), yaitu sejumlah 42.076 dari total jumlah 54.425 kasus. Dan seperti telah dijelaskan terdahulu, tahun ini Komnas Perempuan memperoleh kemudahan akses data PA lewat website. Sedangkan apabila melihat besaran KTP ini menurut wilayah, maka lebih dari separuh KTP tercatat ditangani oleh lembaga mitra di Pulau Jawa (38.007 kasus, 69,83%). Sisanya, ditangani oleh lembaga mitra di Sumatera (8.415 kasus, 15,46%), dan Kalimantan (5.036 kasus, 9,25%). KTP di wilayah Sulawesi mencapai lebih dari seribu kasus (yaitu 1.626 kasus, hampir 3%), sedangkan di wilayah lain tercatat KTP sejumlah antara 30 – 550 kasus (Aceh, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua). 8
  • 9. Kondisi Pendataan & Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, data catatan tahunan dikompilasi dan dianalisis dari seluruh data kasus (kuantitatif) yang diberikan oleh lembaga mitra dengan mengisi formulir yang didistribusikan, dan data (kualitatif) yang diperoleh Komnas Perempuan lewat divisi- divisinya. Data kuantitatif memberikan gambaran besaran dan kompleksitas KTP serta penanganan yang dilakukan lembaga mitra. Sedangkan data kualitatif memberikan ilustrasi kasus KTP serta kebijakan/peraturan daerah yang berkembang pada tahun bersangkutan. KONDISI PENDATAAN sangat bergantung pada kapasitas masing-masing lembaga Kecenderungan (prosentase) kenaikan Jumlah KTP (Th 2001 - 2008) dalam rangka mendokumentasi kan dan 250 213.25 mendata kasus KTP (di masing-masing 180.04 wilayah kerja). Kondisi ini tentunya 200 162.92 150.82 145.44 berpengaruh pula terhadap besaran KTP 150 110.40 113.37 yang setiap tahun dimasukkan dalam catatan 100 100 tahunan Komnas Perempuan (seperti dapat dilihat dari grafik berikut). 50 Meskipun secara jumlah (besaran) KTP 0 terlihat cenderung meningkat, tetapi th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 th 2006 th 2007 th 2008 prosentase kenaikannya terjadi fluktuasi (tidak merupakan garis lurus naik). Dengan kondisi ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya peningkatan jumlah (besaran) KTP yang terjadi tidak semata-mata karena adanya peningkatan kasus, tetapi lebih berkaitan dengan adanya peningkatan (kondisi atau kapasitas) pendataan lembaga mitra. Kapasitas SDM dan fasilitas (sarana) pendataan yang selalu disebutkan lembaga sebagai kendala utama menegaskan bahwa kondisi serta kapasitas lembaga dalam kaitannya dengan melakukan pendataan memang seharusnya menjadi perhatian dalam rangka menghasilkan data KTP yang handal. perempuan rentan kekerasan dan butuh perhatian Jika dinilai dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008, ada empat kategori perempuan yang rentan kekerasan dan butuh perhatian, yaitu perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan 9
  • 10. pembela HAM. Perempuan Minoritas Agama Pada bulan Mei 2008, Komnas Perempuan mempublikasikan hasil pemantauan mengenai kondisi perempuan Ahmadiyah. Dari hasil pemantauan tersebut, Komnas Perempuan menemukan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang menghilangkan perlindungan hak-hak dasar mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Konflik berdasarkan agama ini juga membuat perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis jender. Ancaman perkosaan dan pelecehan seksual pada saat penyerangan dan di pengungsian, bahkan di wilayah publik (pasar) juga rentan menimpa perempuan Ahmadiyah. Dan sampai sekarang, komunitas Ahmadiyah, terutama di NTB, masih tinggal di pengungsian, karena takut kembali ke desanya. Di tahun 2008, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah tetap terjadi, yaitu pada bulan Januari di Majalengka dan bulan April di Parakan Salak, Sukabumi. Setara Institute melalui “Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008” melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008 tercatat 265 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, dimana peristiwa tertinggi terjadi pada bulan Juni (103 peristiwa). Peningkatan jumlah peristiwa di tahun 2008 disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, menguatnya persekusi organisasi-organisasi Islam garis keras terhadap Ahmadiyah sebagai bentuk desakan agar pemerintah mengeluarkan Keppres tentang Pembubaran Ahmadiyah; dan kedua implikasi serius dari adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008, No. Ke-033/A/JA/6/2008 (SKB) yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2008. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di tahun 2008 umumnya berhubungan dengan Ahmadiyah (193 peristiwa). Dari 193 peristiwa tersebut, sejumlah 48 peristiwa terjadi sebelum SKB dikeluarkan dan 145 peristiwa terjadi setelah keluarnya SKB Pembatasan Ahmadiyah.1 Negara, melalui aparatusnya melakukan pelanggaran dalam bentuk pelarangan ibadah dan aktivitas keagamaan, pelarangan tersebut tercatat terjadi di Sukabumi, Tasikmalaya, Tangerang, Cianjur, dan Mataram (NTB).2 Bahkan di Mataram, Walikota Mataram H.M. Ruslan sempat menyatakan akan mengusir komunitas Ahmadiyah dari Mataram jika SKB 3 Menteri sudah ditetapkan.3 Ini membuat para pengungsi yang merupakan subjek pemantauan Komnas Perempuan di Mataram, NTB merasa resah. Walaupun ketika diklarifikasi, Walikota Mataram menyatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan akan melakukan pengusiran tersebut.4 Tindakan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat paska dikeluarkannya SKB adalah tindakan perusakan atau penyegelan rumah ibadah. Perusakan rumah ibadah terjadi di Riau dan setidaknya perusakan atau penyegelan 35 masjid terjadi di Jawa Barat. Tindakan pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan sebelum dan setelah dikeluarkannya SKB cenderung meningkat, oleh karena adanya tekanan untuk membubarkan Ahmadiyah. Hal ini membuktikan besarnya implikasi SKB terhadap komunitas Ahmadiyah, dimana SKB menjadi alat legitimasi untuk menolak dan mendiskriminasikan komunitas Ahmadiyah. 1 Berpihak dan Bertindak Intoleran : Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Setara Institute, Jakarta, Januari 2009, halaman 19-20 2 Ibid, hlmn 28-29 3 www.lombokfiles.com, SKB 3 Menteri Keluar, Warga Ahmadiyah Resah, 10 Juni 2008 4 www.lombokfiles.com, Jelang SKB 3 Menteri Pengungsi Ahmadiyah Mataram Pasrah, 10 Juni 2008 10
  • 11. Salah satu peristiwa yang paling menonjol di tahun 2008 terkait dengan Ahmadiyah sebelum dikeluarkannya SKB adalah peristiwa 1 Juni 2008, ketika AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) melakukan longmarch, mereka diserang oleh orang-orang berseragam dan beratribut FPI, yang mengakibatkan sedikitnya 29 orang terluka dan empat orang lainnya harus menjalani rawat inap di dua rumah sakit, yakni di RSPAD Gatot Subroto dan RS Tebet. Di tingkat kebijakan daerah, SKB juga mendorong pemerintah daerah setempat untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan Ahmadiyah, seperti contohnya surat keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008 yang melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.5 Seluruh rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan komunitas Ahmadiyah, Insiden Monas dan peristiwa di persidangan Insiden Monas menggambarkan bahwa di tahun 2008 ada kecenderungan peningkatan kekerasan dan intoleransi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan yang berbeda, serta lemahnya pemerintah dalam mencegah terulangnya kembali peristiwa kekerasan. Peristiwa kekerasan tersebut sekali lagi menempatkan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa dalam konflik Ahmadiyah, perempuan dan anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis, baik karena posisinya sebagai perempuan dan posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas agama. Dalam konflik tersebut, perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis jender seperti ancaman perkosaan dan kekerasan seksual. Berbagai pelanggaran HAM juga dialami oleh kelompok minoritas agama ini, seperti pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, hak persamaan di depan hukum, hak untuk berkumpul secara damai, hak kelompok minoritas, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, hak untuk mencari nafkah, hak atas pendidikan, hak berkeluarga, hak reproduksi, hak atas rasa aman, diskriminasi terhadap perempuan, serta pemulihan korban yang belum memadai.6 Perempuan Miskin Tahun 2008 ditandai dengan fenomena maraknya ibu membunuh anak atau kasus ibu membunuh anak, kemudian bunuh diri setelahnya. Kasus ibu membunuh anak dan bunuh diri bersama tersebut tercatat, antara lain terjadi di Pekalongan, Bekasi, Medan, Malang, Bandung, Tangerang, dan Magetan. Penyebab kasus-kasus tersebut 90 persen adalah karena tekanan dan desakan ekonomi, dimana para korban merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya di masa yang akan datang oleh karena keterbatasan ekonomi. Peristiwa lain yang cukup menonjol adalah kematian seorang ibu dan 2 orang anaknya di Makassar (salah satunya masih dalam kandungan). Kematian ibu dan anak tersebut memang menjadi perdebatan apakah disebabkan kelaparan atau karena diare akut yang mereka derita. Namun sudah jelas bahwa salah seorang anak ibu tersebut yang selamat, positif menderita gizi 5 Kejaksaan Evaluasi SK Gubernur Soal Ahmadiyah, diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/03/brk,20080903- 133595,id.html, Rabu 3 Sptember 2008 6 laporan pemantau an ham komnas per empu an, pere mpuan dan anak ahmadiyah : korban disk riminasi berlapis , hlmn 21.24, me i 2008 11
  • 12. buruk.7 Pada bulan September 2008, kita juga dikejutkan oleh berita meninggalnya 21 orang perempuan, kebanyakan berusia lanjut, ketika mengantri pembagian zakat di Pasuruan. Peristiwa tersebut terjadi sebulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato kenegaraan di depan Rapat Paripurna DPR pada tanggal 15 Agustus 2008, menyatakan bahwa angka kemiskinan di tahun 2008 mengalami penurunan. Walaupun pemerintah menyatakan telah menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2008, namun pada kenyataannya, seluruh kejadian di atas membuktikan keadaan yang sebaliknya. Salah satu faktor yang memperparah kemiskinan di tahun 2008 adalah keputusan pemerintah menaikkan BBM di bulan Juni 2008, dengan dalih untuk mengurangi subsidi. Walau disertai dengan skema bantuan langsung tunal (BLT), kebijakan tersebut ternyata menimbulkan ketidakadilan pada rakyat miskin pada umumnya, dan perempuan pada khususnya. Kenaikan harga BBM hampir selalu pasti diikuti dengan efek domino, yaitu melambungnya harga kebutuhan bahan-bahan pokok. Dalam kasus Indonesia, akibat kenaikan harga BBM 2008, kemiskinan pun meningkat: per 1 Oktober 2005 dalam data Program Pembangunan PBB (UNDP) diperkirakan mencapai 65 juta orang. Dari kelompok penduduk miskin itu, 60 persen adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik atau publik, sebagai buruh, petani penggarap, di sektor informal, hingga ibu rumah tangga. (Kompas, 26 Mei 2008) Maka bila dicermati dari rangkaian peristiwa yang terjadi di tahun 2008, seluruh proses pemiskinan ternyata menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Oleh karena 60% pengelola struktur pengeluaran rumah tangga adalah perempuan, maka keterbatasan ekonomi langsung dirasakan oleh perempuan. Kelompok perempuan sebagai pengelola rumah tangga, dituntut untuk menerapkan ragam strategi dalam mengatasi keterbatasan ekonomi. Beragam cara diterapkan perempuan untuk mensiasati keterbatasan ekonomi, salah satunya dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Hasil temuan awal Komnas Perempuan dalam pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam mengungkapkan beberapa strategi penyelamatan perempuan, di antaranya adalah dengan jalan menikah, pergundikan, berhutang, alih profesi, alih konsumsi, dan spiritual (adat, berdoa, pasrah). Dari peristiwa Zakat Pasuruan, misalnya walaupun harus mengorbankan nyawa, cara mengantri zakat tersebut adalah salah satu strategi perempuan untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Keputusan perempuan meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar negeri tidak dapat dipisahkan dari kemiskinan struktural yang erat melingkupinya. Minimnya kesempatan kerja yang layak dari pemerintah, sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat rendahnya pendidikan, hingga keinginan untuk meningkatkan perekonomian dan status sosial keluarganya menyebabkan perempuan-perempuan muda produktif meninggalkan desanya guna mencari rezeki di negara lain. Selain gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan, negara juga gagal menyediakan perlindungan bagi perempuan yang berusaha mencari nafkah di luar negeri. Upaya perempuan untuk keluar dari kemiskinan dengan bekerja sebagai pekerja migran belum mendapat perlindungan yang memadai dari negara. Sebaliknya, perempuan pekerja migran mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda sejak tahap pra-pemberangkatan, masa bekerja, hingga purna waktu. Tampaknya kebijakan- kebijakan terkait pekerja migran yang dikeluarkan pemerintah hingga saat ini belum dapat menyentuh akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Selama pemerintah belum dapat mengatasi 7 Hamil, Mati Kelaparan diunduh dari http://www.surya.co.id/web/Headline/Hamil_Mati_Kelaparan.html, 2 Maret 2008 12
  • 13. akar permasalahan dan menyediakan solusi dan perlindungan yang tepat, pelanggaran hak dan kekerasan masih akan terus dialami oleh perempuan pekerja migran. Terkait dengan kekerasan spesifik perempuan, Komnas Perempuan menerima sebuah pengaduan tentang seorang perempuan pekerja migran yang hamil akibat diyakini diperkosa oleh majikan laki-lakinya di Arab Saudi. Ia tidak mengetahui kehamilannya sampai ia tiba di Indonesia dan memeriksakan kondisinya setelah empat (4) bulan tidak mendapat menstruasi. Kasus ini hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Akan tetapi, kasus semacam ini sulit penanganannya, khususnya dari segi pembuktian, terlebih korban telah berada di Indonesia. Penanganan dari segi hukum membutuhkan korban/penuntut berada di negara tempat kejadian agar proses hukum dapat berjalan. Hal ini menyebabkan perempuan pekerja migran yang menjadi korban tidak hanya sulit mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi juga sulit menuntut pemenuhan hak-hak anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan. Bahkan, tak jarang proses hukum bukannya menegakkan keadilan bagi korban, tetapi menjadikan korban mengalami reviktimisasi. Perempuan Pembela HAM Komnas Perempuan mengidentifikasi kasus yang dialami oleh Perempuan Pembela HAM. ND adalah salah satu penggagas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yang memperjuangkan dan membela pluralisme di Indonesia. AKKBB adalah aliansi yang dibentuk oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, untuk melakukan kampanye anti kekerasan atas nama agama, dan melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang ditindas atas nama perbedaan keyakinan dan agama. Dalam menjalankan aktivitasnya, ia sering mengalami teror, seperti ancaman melalui surat kaleng, stigmatisasi seksual, intimidasi, pembunuhan karakter, serangan pada posisi dan perannya sebagai ibu dan istri, serta pengucilan. Peristiwa yang dialami adalah di tengah proses persidangan Insiden Monas, pada bulan September, ia mengalami pelecehan seksual. Sementara dalam konteks konflik sumber daya alam, Komnas Perempuan menengarai terjadinya kriminalisasi perempuan pembela HAMyang sedang berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka. Komnas Perempuan menerima pengaduan dari korban sengketa lahan seluas 86 ha antara penduduk desa Titi Satu Korarih dengan PT Sri Rahayu Agung (SRA) yang berlangsung semenjak tahun 1984. Konflik terus berlanjut dengan gugatan masyarakat ke Pengadilan Lubuk Pakam, sementara proses pengadilan tengah berlangsung, PT SRA terus melakukan pengrusakan tanaman petani di atas lahan sengketa tersebut. Sayangnya, berkas putusan pengadilan di tahun 2003 sampai di tahun 2007 belum pernah sampai ke tangan masyarakat. Ketika masyarakat melalui kuasa hukumnya menanyakan lagi tentang keberadaan berkas putusan pengadilan tersebut pada tahun 2008, tanggapan yang diperoleh adalah bahwa berkas keputusan tersebut masih dalam tahap pencarian. Puncaknya pada tanggal 4 Februari 2008, Mandor Kebun bersama dengan preman serta aparat kepolisian berjumlah kurang lebih 60 orang mendatangi lahan tersebut dengan membawa traktor. Dalam bentrok tersebut, seorang ibu (MU) yang mencoba menghalangi traktor tersebut mengalami kekerasan berupa penghalauan, dia diseret dan dilemparkan ke parit sedalam 2 meter yang ada di lahan tersebut, begitu pula ibu-ibu lain yang coba membantu menghalau traktor mendapat perlakuan yang sama. 13
  • 14. Ketika ibu-ibu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotarih, pengaduan mereka tidak ditanggapi oleh Polsek, namun pada tanggal 26 Februari 2008, datang surat panggilan dari Polres Serdang Bedagai untuk Ibu MU dan Ibu Tg sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang di muka umum. Tindakan polisi itu berdasarkan laporan yang diajukan pihak PT SRA. Perempuan Pekerja Sektor Hiburan Di tengah maraknya perdebatan mengenai UU Pornografi pada tahun 2008, upaya pelarangan artis-artis dangdut, terutama yang dianggap berpenampilan seronok ketika manggung, marak dilakukan oleh para pejabat publik di berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan April 2008, tercatat artis Dewi Persik dilarang manggung di berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat, antara lain di Sukabumi, Tangerang dan Kota Bandung. Artis lain yang mengalami pencekalan adalah Julia Perez, yaitu di Balikpapan dan Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan, larangan dan imbauan tersebut dituangkan dalam surat MUI Sumsel No. B-30/MUI-SS-IV/2008 tanggal 28 April 2008. Namun surat himbauan MUI Sumsel tersebut tidak hanya mencekal Julia Perez, begitu juga dengan 7 artis lainnya, yaitu Dewi Persik, Annisa Bahar, Inul Daratista, Uut Permatasari, Trio Macan, Ira Swara dan Nita Thalia, dengan alasan meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak moral generasi muda. Di Balikpapan, artis yang mengalami pencekalan adalah Dewi Persik, Julia Perez dan Trio Macan. Julia Perez juga dicekal albumnya, karena ia menyelipkan kondom dalam album yang berjudul “Kamasutra” tersebut. Komnas Perempuan berpendapat bahwa langkah-langkah ini merupakan pembatasan terhadap hak berekspresi dan hak ekonomi para pekerja sektor hiburan. Alasan pencekalan yang dikemukakan para pejabat publik di daerah tersebut, antara lain untuk menjaga situasi kondusif bagi pemerintah daerah setempat untuk mewujudkan visi misinya dalam membentuk masyarakat berakhlakul karimah (Sukabumi); menentang penampilan erotis dan bergoyang erotis yang dinilai tidak sesuai dengan norma agama dan tindakan kesusilaan (Tangerang) mengatasi hal-hal yang meresahkan masyarakat dan merusak moral generasi muda (Sumatera Selatan); mencegah maraknya pornografi dan pornoaksi (Balikpapan); maupun untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan sejalan dengan visi misi kota yang agamis (Bandung). Pola KTP tahun 2008: kekerasan ekonomi & seksual KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu mendominasi Jika melihat pencatatan data penanganan dari lembaga-lembaga mitra, KDRT/RP merupakan bentuk KTP yang selalu mendominasi. Artinya, dari tahun ke tahun data penanganan kasus KDRT/RP selalu paling banyak dan lebih dari 50%. Diagram Jumlah Kasus menurut Lembaga Mitra di samping menunjukkan kasus KDRT/RP mencapai 91% dari semua bentuk KTP yang terdata oleh lembaga. Memang pada tahun 2008 ini, kemudahan akses data PA menyumbang catatan kasus paling besar, dan kasus KTP yang tercatat oleh PA kebanyakan digolongkan dalam KDRT/RP. 14
  • 15. Besaran KDRT / Relasi Personal (RP) menurut Lembaga Mitra Grafik di samping memaparkan besaran (CATAHU 2008) KDRT/RP yang ditangani oleh masing-masing lembaga mitra. Pengadilan Agama paling banyak menangani kasus KDRT/RP (yaitu PN PA 292 sejumlah 42.076). OMS dan UPPA menangani 1% 42076 85% PT kasus KDRT/RP masing-masing sejumlah 93 0% 2.926 dan 2.050. Lembaga pengada layanan UPPA lainnya menangani kasus di bawah seribu kasus: 2050 4% KP (776), RS (662), Kejati (508), PN (292), Kejati OMS P2TP2A KP 508 662 RS P2TP2A (154), dan PT (93). 2926 154 776 1% 6% 1% 0% 2% Sedangkan jika dilihat menurut wilayah lembaga pengada layanan yang ada di Jawa paling banyak menangani kasus KDRT/RP, yaitu: 35.398 kasus, dan dari jumlah ini hampir separuhnya ditangani lembaga pengada layanan di Jawa Tengah (15. 669 kasus). Selebihnya berturut-turut lembaga pengada layanan di Jawa Barat (8.323 kasus) dan Jawa Timur (6.706 kasus). Jumlah kasus KDRT/RP yang ditangani lembaga pengada layanan di wilayah lain di bawah sepuluh ribu kasus: Sumatera (6.978), Kalimantan (4.892), Sulawesi (1.310), NTB (323), Bali (194), NTT (154), Maluku (126), dan Papua (22). Jika dilihat berdasarkan relasi antara korban dan pelaku, KDRT/RP yang terjadi mencakup tujuh (7) bentuk tindak kekerasan, yaitu KTI (kekerasan terhadap istri, 46.884 kasus atau 95%), RP (relasi personal, 970 atau 2%), KDP (kekerasan dalam pacaran, 912 atau 2%), KTAP (kekerasan terhadap anak perempuan, 623 kasus), PRT (pekerja rumah tangga, 89), KMS (kekerasan matan suami, 49), dan KMP (kekerasan mantan pacar, 10). KTI yang merupakan bentuk KDRT/RP paling dominan (95%) dari semua bentuk yang ditangani oleh lembaga pengada layanan. KTI ini banyak dicatat oleh PA dan jenis kekerasannya mencakup kekerasan fisik, psikis (termasuk dalam kategori ini: perselingkuhan, poligami dan gangguan pihak ketiga), kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. 15
  • 16. Diagram di samping menunjukkan Jenis KDRT/RP: kekerasan ekonomi (52%), kekerasan psikis (22%)m kekerasan fisik (17%) dan kekerasan seksual (9%). Data tentang kekerasan ekonomi banyak dilaporkan oleh Pengadilan Agama (hampir mencapai 84%) yang menjadi alasan gugatan cerai. Sebagian alasan gugatan cerai lain yang tercatat juga adalah kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan seksual mencapai 9% dari seluruh jenis KDRT/RP pada tahun ini. Dan dari jumlah ini, lembaga pengada layanan di wilayah DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat banyak menangani kasus KDRT/RP jenis kekerasan seksual (antara 100 – 300 kasus). Kasus kekerasan seksual ini juga ditangani oleh lembaga pengada layanan di wilayah lain dalam jumlah lebih sedikit (kurang dari 100 kasus). Kekerasan di Ranah Komunitas Kekerasan di ranah Komunitas tercatat banyak ditangani oleh OMS (29%), UPPA (24%), Kejati (20%), dan RS (14%). Lembaga pengada layanan lainnya yang juga mencatat menangani kekerasan di ranah komunitas ini, tetapi dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 7%) adalah PA, PT, P2TP2A, dan KP. Jika melihat wilayah lembaga pengada layanan yang mencatat penanganan kekerasan di ranah komunitas, maka akan diperoleh catatan seperti terlihat dari diagram di sebelah kanan. Lembaga paling banyak mencatat penanganan kekerasan komunitas adalah lembaga pengada layanan di wilayah Jawa (51%). Lembaga lain juga mencatat penanganan kekerasan komunitas ini, yaitu di wilayah Sumatera (26%), Sulawesi (6%) dan NTB (4%), lainnya mencatat dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 3%). Jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat dilihat dari diagram di samping ini. Kekerasan seksual (79%) merupakan jenis kekerasan paling banyak tercatat 16
  • 17. ditangani oleh lembaga pengada layanan. Jenis KTP di ranah komunitas lainnya kekerasan fisik (10%), psikis (9%) dan kekerasan ekonomi (2%). Menengok catatan tahunan dari tahun-tahun yang lalu, ternyata ada pola kecenderungan yang konsisten berkaitan dengan kedua jenis kekerasan ini. Pertama, jenis kekerasan ekonomi secara konsisten tinggi (paling banyak) di ranah domestik (KDRT/RP) sejak tahun 2006. Dan kedua, pada kurun waktu yang sama (dari tahun 2006), jenis kekerasan seksual paling banyak dijumpai dalam ranah kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di komunitas. Kekerasan oleh aparat negara Kekerasan negara dicatat oleh KP dan OMS (di Aceh), mencakup pembatasan kebebasan, penangkapan sewenang-wenang, stigmatisasi, penembakan, penghinaan. Jumlah kekerasan negara ini seperti disebutkan terdahulu sebanyk 13 kasus. Pelaku Menyimak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencuat ke permukaan pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat empat jenis pelaku yang penting mendapatkan perhatian, yaitu pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Pejabat Publik Selama tahun 2008, jumlah pelaporan yang diterima Komnas Perempuan atas kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh figur publik, pejabat publik dan pendidik mencapai sejumlah 784 kasus. Mereka terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri, anggota Kejaksaan, Bappeda, Kehakiman, Bupati dan pendidik. Korbannya adalah pacar, istri dan pekerja rumah tangga. Kasus ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Kepala Daerah Terdapat dua kasus yang dilaporkan secara langsung kepada Komnas Perempuan, yakni kasus yang terjadi di Lampung (September) dan Jeneponto – Sulawesi Selatan (Oktober). 17
  • 18. Menurut pengaduan ini, pelakunya adalah kepala daerah dan korbannya adalah pekerja rumah tangga. Kasus ini semakin kontroversial pada saat kedua kepala daerah tersebut mengikuti pemilihan kembali sebagai pejabat publik. Untuk kasus di Lampung, korban (DE) adalah pekerja rumah tangga yang bekerja di lingkup rumah tangga pelaku (AS). Walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2007, korban baru bisa melaporkan kepada polisi pada bulan Juni 2008, ketika ia berhasil melarikan diri dari rumah pelaku. Korban meminta perlindungan kepada kepolisian, dimana kemudian Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung segera menerbitkan Surat Perintah Perlindungan. Korban merasa perlu meminta perlindungan polisi, karena ia mengalami kekerasan dari istri dan anak-anak pelaku. Sampai sekarang kasus ini masih diproses di tingkat kejaksaan. Dalam kasus Jeneponto, walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2006, namun proses penyelesaian hukumnya belum selesai sampai tahun 2008. Pihak kepolisian kemudian menghentikan kasus tersebut (diSP3kan), karena polisi menilai saksi-saksi yang diajukan tidak ada yang memberatkan dan sudah tidak ditemukan kembali bukti baru. Korban tetap menuntut agar kasusnya diselidiki, karena menurutnya akibat kekerasan seksual yang dialaminya, korban melahirkan seorang anak perempuan. Korban telah melaporkan perbuatan pelaku ke kepolisian daerah Sulawesi Selatan pada bulan Pebruari 2007. Polisi meminta korban dan pelaku untuk melakukan tes DNA, dan dilakukan di tempat yang berbeda. Anggota Legislatif Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI – P, atas nama MM (pelaku) terhadap asistennya, yang bernama DF (korban) menjadi kasus yang paling sensasional sepanjang tahun 2008, meskipun peristiwa pelecehan seksual sudah dialami korban sejak tahun 2005. Kasus ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk di lembaga pemerintahan dan oleh siapa saja, karena pelakunya adalah oknum pejabat publik. Peristiwa ini mematahkan mitos yang menganggap bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang yang kurang dan atau tidak berpendidikan, selain itu kasus ini juga menggambarkan sulit dan rumitnya perjalanan korban kekerasan seksual untuk mengungkap kebenaran terhadap kasus yang dialaminya. Pada tanggal 5 Juni tahun 2008, Badan Kehormatan DPR-RI menyimpulkan adanya indikasi kekerasan. Para anggota Badan Kehormatan mengakui sulitnya mendapatkan saksi (selain saksi korban) atau bukti yang kuat. Hal ini merupakan gejala yang umum terjadi dalam kasus-kasus pelecehan seksual di mana pelaku adalah seseorang yang berada dalam posisi berkuasa dan korban adalah bawahannya. Pendidik Pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat fenomena dimana pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah pendidik di lingkungan lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Institusi Pendidikan Nonformal Komnas Perempuan menerima 4 kasus kekerasan dalam institusi pendidikan nonformal. Pelakunya adalah seorang guru mengaji dan 3 (tiga) orang kyai dalam pesantren. Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, korbannya setidaknya 25 orang dan mereka rata- rata adalah para murid yang masih dibawah umur. Salah satu kasus kekerasan seksual terjadi 18
  • 19. di pesantren Yayasan Ya-Ibad Surabaya. Tindak kekerasan dialami oleh para murid perempuan yang masih di bawah umur dan kasus ini telah disidangkan di PN Surabaya. Sementara kasus lain dilakukan oleh seorang pemimpin pesantren yang melakukan kekerasan seksual terhadap salah seorang santrinya dengan dalil nikah mut’ah. Relasi kuasa yang timpang antara korban sebagai seorang santri putri dengan pelaku sebagai pemimpin dan orang yang berkuasa membuat kasus-kasus seperti ini sangat sulit dilaporkan, apalagi ditangani. Institusi Pendidikan Formal Pada tahun 2008, mahasiswi mulai melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya di lingkungan perguruan tinggi. Kasus yang mencuat di media massa adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah seorang staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dosen tersebut dilaporkan ke polisi atas dugaan perkosaan dan pelecehan seksual. Peristiwa ini awalnya dilaporkan oleh seorang mahasiswi, namun akhirnya beberapa orang mahasiswi lainnya yang juga menjadi korban ikut melaporkan tindakan yang sama ke polisi, sehingga jumlah korban menjadi 12. Oleh universitas, dosen tersebut kemudian dinonaktifkan dari kegiatan belajar-mengajar sampai kasusnya mendapat putusan yang tetap. Catatan data penanganan kasus KDRT memberikan gambaran karakteristik pelaku dan korban KDRT seperti grafik di samping. Korban dan pelaku paling banyak berusia antara 25 – 40 tahun (masing-masing 1.362 dan 1.256 kasus). Data juga menunjukkan pelaku juga banyak yang berusia lebih dari 40 tahun (701 kasus). Sedangkan korban banyak juga yang berusia di bawah 5 tahun, antara 6- 12 tahun dan antara 13 – 18 tahun (usia anak), masing-masing: 49 kasus, 167 kasus, dan 609 kasus. Sedangkan jenis KTP yang terjadi di ranah komunitas yang paling banyak adalah kekerasan seksual (79%). Lembaga pengada layanan yang banyak pencatat penanganan jenis KTP di ranah komunitas ini adalah UPPA (830) dan OMS (726). Yang menarik dari catatan data karakteristik korban dan pelaku dari aspek usia adalah banyaknya korban di usia anak-anak, antara 6-12 tahun dan antara 13-18 tahun. Sebaliknya, pelaku paling banyak tercatat berusia antara 25- 40 tahun. Dari data ini dapat dikatakan bahwa banyak korban kekerasan seksual di ranah komunitas adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun). Grafik di samping menunjukkan gambaran tingkat pendidikan korban dan pelaku. Korban KDRT/RP paling banyak tercatat berpendidikan tingkat SLTA (2.158 kasus). Demikian pula 19
  • 20. dengan tingkat pendidikan pelaku, sejumlah 4.227 kasus. Namun demikian, data menunjukkan baik korban maupun pelaku ada atau dari tingkat pendidikan paling rendah (tidak tamat SD) dampai tingkat pendidikan tinggi (PT). penanganan: kapasitas lembaga dan implementasi perangkat hukum Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lainnya Melihat banyaknya catatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dalam penanganan PA khususnya, catatan data tentang implementasi UUPKDRT dalam proses penanganan litigasi kasus KTP perlu mendapat perhatian dengan lebih seksama. Grafik di atas menunjukkan kecendungan penggunaan UUPKDRT oleh lembaga pengada layanan dalam proses litigasi (dari tahun 2006 – 2008). Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan UUPKDRT oleh lembaga di jajaran pengadilan (PA, PN, PT dan Kejati) boleh dikatakan cenderung meningkat. Sebaliknya penggunaannya oleh UUPA, P2TP2A, dan OMS cenderung menurun atau kurang/tidak konsisten. Perangkat hukum lain yang tercatat digunakan oleh berbagai lembaga pengada layanan dalam proses litigasi adalah KUHP (142 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perlindungan Anak No. 39 Tahun 2004 (111 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 (36 lembaga – paling banyak PA), UU Perlindungan Saksi-Korban No 13 Tahun 2006 (10 lembaga – paling banyak P2TP2A), dan UU Perdata berkaitan dengan Penanganan KTP ( 10 lembaga – paling banyak P2TP2A). KEBIJAKAN: kemajuan dan kemunduran Tahun 2008 ditandai terdapat terobosan kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak- hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, 20
  • 21. perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi, akses perempuan pada keadilan, dan hak politik perempuan. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran. Kemajuan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Sepuluh tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965), melalui UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965,-. pada tahun 2008 ini, pemerintah Indonesia membuat sebuah langkah maju Dengan mengesahkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pada tanggal 10 November 2008. Dalam UU ini diatur beberapa hal, yakni mengenai : 1. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis; 2. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta seluruh warga negara; 3. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis oleh Komnas HAM; 4. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak- hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; 5. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis; 6. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan 7. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa: a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu. Putusan Pengadilan Agama tentang Sita Marital (marital beslag) Pada tanggal 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Pusat memenuhi permohonan sita marital yang diajukan Halimah Agustina Kamil terhadap harta bersama hasil pernikahannya dengan Bambang Tri Hatmodjo yang telah dinikahinya sejak tahun 1981. 21
  • 22. Baik pihak Halimah dalam alasan permohonannya maupun Majelis Hakim dalam pengambilan keputusannya bersandar pada Kompilasi Hukum Islam pasal 95 ayat 1 yang menyatakan ”dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 pasal 136 ayat 2, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya”. Dalam pasal tersebut, dimungkinkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam sebuah perkawinan untuk melakukan sita marital kepada pengadilan jika terdapat tiga indikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu judi, mabuk, dan boros. Dalam proses permohonannya, Halimah dapat membuktikan terjadinya boros yang dilakukan oleh suami karena adanya pihak ketiga. sehingga jika tidak disita oleh Majelis Hakim, dikhawatirkan terjadinya pengurangan, penyusutan, atau adanya perpindahan harta bersama mereka kepada pihak lain sebelum terjadi keputusan hukum tetap perceraian. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tersebut di atas kami anggap sebagai terobosan hukum, karena walaupun dimungkinkan dalam hukum acara, namun jarang dipergunakan. Majelis hakim berpendapat bahwa penggunaan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam memberikan hak yang sama kepada isteri maupun suami untuk mengajukan sita harta bersama yang juga disebut sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bersama atau dapat juga disebut dengan Sita Marital (Marital Beslag). 8 Harapan ke depan, keputusan sejenis dapat diberikan oleh hakim-hakim lain kepada pihak isteri yang mengajukan sita marital tanpa melihat status sosial (posisi dan kedudukan) isteri dan suami. Kebijakan Standar Pelayanan Minimum dalam penanganan korban kekerasan Pada bulan November 2008, Departemen Sosial RI mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor : 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Sebelumnya pada bulan Februari 2008, Departemen Kesehatan RI juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Lahirnya Standar Layanan Minimal bidang sosial dan Rumah sakit tersebut merupakan tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. SPM Rumah Sakit memberikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tentang jenis dan mutu pelayanan dasar9 yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Sementara SPM bidang sosial, jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah : 1. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial; pemberian bantuan sosial, pelaksanaan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial (panti sosial) 2. penyediaan sarana prasaran sosial ; penyediaan sarana prasarana panti sosial, penyediaan sarana prasarana luar panti 8 Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal. 106. 9 Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan – Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 BAB I ayat 8. 22
  • 23. 3. penanggulangan korban bencana ; bantuan sosial, evakuasi korban 4. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, serta lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu ; pelaksanaan jaminan sosial Hadirnya SPM dari Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan membuka peluang keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial yang lebih luas, namun oleh karena pelayanan tersebut diberikan oleh pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terobosan kebijakan lainnya tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan yang lahir di tahun 2008, adalah: Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Keputusan Bupati Maluku Tengah No. 463-142 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Maluku Tengah Keputusan Bupati Buru No. 463-116 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Buru Keputusan Walikota Ambon No. 390 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kota Ambon Peraturan Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan dan/atau Korban Tindak Pidana. Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran Dalam Sesinya yang ke-42 (Oktober-November 2008), Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan PBB (Komite CEDAW), mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Menyikapi rendahnya kesediaan negara- negara, khususnya negara tujuan, dalam meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 dapat menjadi standar baru bagi perlindungan hak- hak perempuan pekerja migran. Mengingat hampir semua negara di dunia telah menjadi Negara Pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW 1979), implementasi Rekomendasi Umum tersebut jelas merupakan kewajiban Negara Pihak, termasuk Indonesia dan negara-negara tujuan perempuan pekerja migran Indonesia, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan sebagainya. Dalam rekomendasi tersebut, Komite CEDAW menegaskan kewajiban Negara Pihak Kovensi CEDAW, baik sebagai negara asal, negara transit maupun negara tujuan perempuan pekerja migran, untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Paragraf 23 Rekomendasi Umum No. 26 menggarisbawahi tanggung jawab bersama negara asal dan negara tujuan, yang meliputi kebijakan migrasi komprehensif yang sensitif jender dan berbasis hak dengan merujuk pada Konvensi CEDAW, pelibatan aktif perempuan pekerja migran dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan, maupun penelitian, pengumpulan data dan analisis kuantitatif dan kualitatif tentang permasalahan yang dihadapi perempuan pekerja migran sebagai bahan penyusunan kebijakan. Negara Pihak diharapkan untuk melakukan kerja sama bilateral, regional maupun 23
  • 24. ratifikasi perjanjian HAM internasional terkait, seperti Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Secara spesifik, negara penerima harus menghargai, melindungi dan memenuhi HAM warga negaranya yang perempuan yang bermigrasi untuk bekerja, antara lain melalui menghilangkan larangan/pembatasan migrasi, termasuk syarat izin suami/wali laki-laki untuk mendapatkan paspor/berpergian, mengembangkan materi/program pendidikan, peningkatan kesadaran dan pelatihan, mengadopsi sistem peraturan dan pemantauan terhadap agen rekrutmen, menyediakan layanan kesehatan, pendampingan hukum dan administratif, penyaluran remitensi yang aman, memfasilitasi kepulangan dan reintegrasi, serta melatih dan mengawasi layanan diplomatik dan konsulernya agar sungguh melindungi hak-hak perempuan pekerja migran di luar negeri.10 Negara transit juga memiliki tanggung jawab untuk melatih, memantau dan mengawasi polisi dan petugas imigrasi di perbatasan agar sensitif jender dan tidak diskriminatif dalam berhadapan dengan perempuan pekerja migran, dan berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM terkait migrasi, serta mengadili dan menghukum pelakunya.11 Negara tujuan berkewajiban untuk memastikan perlakuan non-diskriminatif bagi perempuan pekerja migran yang bekerja di negaranya.12 Negara tujuan, antara lain, harus mencabut larangan/pembatasan bagi perempuan pekerja migran, termasuk larangan untuk menikah dengan warga negaranya, hamil ataupun mendapatkan akomodasi yang aman dan independen, memberikan perlindungan hukum, akses terhadap remedy, berupa penyelesaian masalah secara hukum dan penyediaan tempat perlindungan sementara (shelter), penyediaan perlindungan hukum bagi kebebasan bergerak, skema reunifikasi keluarga, mengadopsi sistem pemantauan terhadap agen rekrutmen dan majikan, menjamin hak-hak perempuan pekerja migran yang berada dalam tahanan, dan menjamin perlindungan HAM perempuan pekerja migran yang tak berdokumen. Piagam ASEAN Pada 15 Desember 2008 Piagam ASEAN telah berlaku resmi setelah diratifikasi oleh Negara – negara anggota. Hal tersebut menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah ASEAN karena tidak hanya ASEAN meletakkan pondasi yang lebih kuat bagi bangunan organisasi regional ini, tetapi juga karena ASEAN secara resmi mengakui nilai-nilai HAM rakyatnya. Meski secara tidak eksplisit menyebutkan hak-hak mereka yang berimigrasi ke negara lain, namun pengakuan tentang prinsip-prinsip HAM berimplikasi pada hak-hak pekerja migran termasuk rakyatnya yang berimigrasi ke negara lain sebagai bagian yang tidak terpisah dari HAM menjadi lebih terjamin. Pasal 2 Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang oleh ASEAN dan Negara Anggotanya, dimana salah satunya adalah “menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan HAM, dan pemajuan keadilan sosial.”13 Secara spesifik, Piagam ASEAN memandatkan pembentukan sebuah badan HAM ASEAN14, yang pelaksanaannya berdasar pada Acuan Kerja (Terms of Reference/TOR) yang disusun oleh Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN. 10 Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran, paragraf 24. 11 Ibid., paragraf 25. 12 Ibid., paragraf 26. 13 Pasal 2 Piagam ASEAN. 14 Pasal 14 Piagam ASEAN. 24
  • 25. Kemunduran UU Pornografi Pada tanggal 26 November 2008, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang ditengah kontroversi pro dan kontra yang datang hampir dari semua kalangan: akademisi, aktivis, budayawan, cendekiawan, maupun kalangan pemerintahan. Dengan alasan perlindungan terhadap perempuan, anak dan generasi muda dari bahaya pornografi, undang-undang ini malah berpotensi mengkriminalkan perempuan dan membatasi kebebasan berekspresi warga negara. Dalam konteks ini, UU Pornografi mengancam jaminan-jaminan konstitusional, seperti: Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan dan diskriminasi, Pasal 28 D (1) jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2) kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal 28 F kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan dan keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif dan perlindungan dari perlakukan tersebu. Keberadaan UU ini didukung kuat oleh kalangan pemerintah sehingga mempercepat pengesahannya. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya peraturan bersama antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Pemuda dan Olah Raga, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Agama, dan Kepolisian RI nomor 78/Men.PP/Dep.II/IV/2008 Nomor 0105, Nomor 73/Kep./M.Kominfo/4/2008 nomor 2 tahun 2008 tentang rencana aksi nasional mewujudkan keluarga bersih pornografi. Keputusan bersama ini ditandatangani pada tanggal 4 April 2008. Secara umum rencana nasional ini berisikan rencana aksi tahun 2008 – 2011, yang dimulai pada tingkat individu sampai negara/pemerintah guna menerapkan norma-norma, sosialisasi tentang peraturan tentang pornografi, bahaya dan dampak pornografi, serta upaya pencegahan pornografi yang dapat dilakukan oleh semua kalangan sebagai bagian dari kontrol sosial dalam masyarakat guna mencegah penyebaran pornografi. Pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU Pornografi juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Tak lama setelah UU Pornografi disahkan oleh DPR, aparat kepolisian Taman Sari Jakarta Barat segera melakukan razia di kawasan Lokasari terhadap pekerja sektor hiburan sebagai upaya pelaksanaan UU ini. Sebanyak 10 orang penari ditahan, dimana tujuh diantara mereka sedang menunggu giliran menari.15 Hingga saat ini Pemerintah belum mengeluarkan aturan pelaksanaan dari UU ini. Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat (pidana) Peradilan Agama Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Agung RI memberikan putusannya bernomor 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, menolak permohonan kasasi yang diajukan salah satu terdakwa, atas hukum cambuk yang diterimanya berdasarkan Peraturan Daerah NAD atau Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Dalam Kasus Jinayat (pidana) laki-laki dan perempuan (bersuami) telah melakukan perbuatan mesum, mereka dituntut dengan pasal 5 jo pasal 22 ayat (1) bahwa apabila bukan muhrim 15 10 penari terjerat UU Pornografi, Koran Seputar Indonesia, 3 November 2008. 25
  • 26. (mahram) berdua-duaan di tempat gelap di dalam sebuah kamar rumah yang patut diketahui, mereka telah melakukan perbuatan mesum/khalwat maka haram hukumnya dan akan memperoleh hukuman cambuk. Kasus tersebut telah mendapat putusan Pengadilan Syari’ah No 01/JN/2007/Msy-LSK tanggal 9 Juli 2007 keduanya dihukum cambuk biaya perkara. Terdakwa mengajukan banding dan telah mendapat Putusan Mahkamah Syar’iyah No 09/JN/2007/Msy-Prof tanggal 25 September 2007 dengan hukuman yang sama. Terdakwa laki-laki mengajukan di dalam memori kasasi pemohon menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar. Dengan demikian, putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut telah mengukuhkan putusan qanun yang memperkenalkan satu jenis hukuman pidana yang tidak diatur dalam hukum positif nasional kita, yaitu hukuman cambuk. Mahkamah Agung tidak mempersoalkan bahwa hukum cambuk tidak ada dalam sistem hukum nasional. Sementara itu, sesungguhnya, sesuai UU No. 14 tahun 1985 yang diubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 pasal 30 (1) huruf b, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi berwenang membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Agung terbatas memperlakukan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksokun NAD tanpa menyentuh substansi qanun. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak politik perempuan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 menentukan bahwa pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan tersebut didasarkan pada penilaian hukum bahwa, dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menghilangkan langkah affirmative action untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga legislatif. Langkah ini dianggap penting karena keberadaan wakil-wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan di lembaga-lembaga legislatif masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Fakta menunjukkan bahwa selama tiga periode yakni sejak 1992 sampai 2004 jumlah perempuan di parlemen mengalami penurunan dari 12,15% menjadi 8,80% 16. Hasil pemilu 2004 17 menunjukkan jumlah perempuan yang menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89% dari 16 partai politik peserta pemilu. Dari data perbandingan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun, menunjukkan keterlibatan perempuan dalam dunia politik sangat rendah bukan disebabkan sekedar oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik, tetapi sebagai dampak dari konstruksi sosial yang bias jender tentang peran perempuan dalam masyarakat. Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong 16 Sumber: Sekjen, MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999,BPS) 17 Sumber: Komisi Pemilihan Umum (2004) 26
  • 27. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong mengeluarkan Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong. Surat Edaran ini lahir sebagai koreksi dari Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong No. 2258/IA/XII/2007 perihal Tata Cara Perpindahan Agency bagi Nakerwan. Surat Edaran No. 2258/IA/XII/2007 mendapat tentangan keras dari berbagai pihak khususnya organisasi pekerja migran yang berbasis di Hong Kong, karena dinilai sangat merugikan pekerja migran. Berdasarkan Surat Edaran tersebut, memberi penekanan dan kewajiban khusus semata kepada perempuan pekerja migran yang akan berpindah agen wajib memberitahukan kepada KJRI Hong Kong namun tidak kepada pihak lain yang terkait dengan proses migrasi dan penempatan. Desakan dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, membuahkan hasil lahirnya Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 yang menyebutkan antara lain bahwa ketika tenaga kerja Indonesia (tidak hanya perempuan pekerja migran Indonesia saja) akan berpindah agen, mereka tidak perlu lagi menyampaian alasan pindah agen kepada KJRI Hong Kong, dan ketika agen memperpanjang kontrak kerja, mereka harus menyertakan surat pernyataan jaminan bahwa tidak memungut lebih dari 10% gaji pekerja migran. Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008 Pada pertengahan tahun 2008, kali ini calon pekerja migran ke Hong Kong yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga, perawat bayi, dan perawat orang tua/jompo mendapat kejutan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008, yang menetapkan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon pekerja migran Indonesia adalah sebesar Rp 15.550.000, ditambah USD 15. Sebelumnya, hanya sebesar Rp. 9.132.000,- berdasarkan SK Binapenta No. 653 Tahun 2004. Bagi calon pekerja migran yang hampir semua berasal dari kalangan masyarakat berperekonomian rendah, jumlah tersebut sangatlah besar. Hingga saat ini, Surat Keputusan tersebut masih diberlakukan. Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 22/MEN/XII/2008, dan Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/MEN/XII/2008 Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 22/MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/MEN/XII/2008 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Berbeda dengan Permen yang lalu (Permen No. 18/MEN/IX/2007), Permen kali ini telah memuat klausul yang lebih komprehensif mengenai perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Pengaturan yang ada mencakup perlindungan sejak masa pra-penempatan, selama penempatan, hingga purna penempatan, dengan mencakup juga elemen perlindungan di tahap penempatan bagi tenaga kerja Indonesia yang mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual (Pasal 44). Akan tetapi, ada beberapa kelemahan dari Permen tersebut. Pertama, perlindungan yang dimaksud pada tahapan pra keberangkatan hanya terbatas pada pengawasan berbagai dokumen pekerja migran. Sementara terkait dengan perlindungan 27
  • 28. tindak kekerasan seksual hanya disebutkan dalam perlindungan berupa penyelesaian perselisihan dengan pengguna/pihak lain selama penempatan. Advokasi dan pendampingan yang dimaksudkan dalam perlindungan di tahapan ini juga terbatas pada advokasi dan pendampingan hak-hak pekerja migran sebagai pekerja, bukan sebagai orang yang terlanggar hak asasinya. Rehabilitasi fisik dan psikologi baru diberikan ketika pekerja migran kembali ke Indonesia. Kelemahan lain Permen No. 22 Tahun 2008 adalah masih adanya pembatasan hak-hak perempuan pekerja migran, seperti persyaratan surat izin suami/istri/orang tua/wali (Pasal 10). Permen No. 23 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa TKI harus diikutsertakan dalam program asuransi yang meliputi pra-penempatan hingga purna penempatan, dengan total biaya asuransi sebesar Rp. 400.000,-. Terobosan yang diberikan oleh Permen ini adalah salah satu resiko yang tercakup di dalam program asuransi tersebut adalah resiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan (Pasal 4). Setelah dibentuknya BNP2TKI pada awal tahun lalu, tahun ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kembali mengaktifkan peran departemennya dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja. Penguatan posisi Depnaker tersebut terlihat pula pada Permen No. 22 dan 23 Tahun 2008. Selama tahun 2008, perdebatan antara BNP2TKI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup menonjol, terutama dipicu dengan tidak jelasnya batas kewajiban dan kewenangan masing-masing institusi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. BNP2TKI mendapat mandat untuk melakukan koordinasi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Akan tetapi, BNP2TKI tidak diberi kewenangan penuh dalam melakukan tugas tersebut. Keputusan tetap berada di dalam kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; BNP2TKI hanya mendapat kewenangan memberi masukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pengaktifan kembali dirjen tersebut tanpa ada penyelesaian terhadap konflik kelembagaan terkait kejelasan kewenangan antara kedua lembaga tersebut diprediksi akan menambah keruwetan penyelesaian masalah-masalah komprehensif yang dialami oleh pekerja migran. Seperti juga halnya kebijakan, penanganan kasus pekerja migran yang dilakukan hingga saat ini oleh pemerintah masih bersifat reaktif. Belum ada mekanisme penanganan kasus yang komprehensif dan peka terhadap kebutuhan korban. Penanganan kasus juga masih bersifat parsial, belum terkoordinasi dengan baik. Masing-masing institusi memiliki mekanisme sendiri, sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Karakter penanganan kasus yang cukup menonjol adalah pemilahan antara korban yang merupakan pekerja migran berdokumen dengan yang tidak berdokumen. Padahal, penanganan kasus seharusnya diberikan kepada semua pekerja migran, tanpa membedakan statusnya. Selain itu, mekanisme penanganan yang ada masih belum responsif terhadap perempuan korban, khususnya korban kekerasan seksual. Bukti nyata adalah tidak adanya upaya negara menangani fenomena anak bermuka Arab di Cianjur, Karawang dan Lombok, yang sebagian besar merupakan anak hasil pemerkosaan yang dilakukan majikan perempuan pekerja migran di Arab Saudi. Hal tersebut tidak saja terjadi di tingkat nasioal, tapi dalam hubungan antara nasional dengan daerah dan di tingkat antar daerah. Adanya Permen No. 22 Tahun 2008 juga memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada Daerah (Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota). Apabila hal ini tidak diimbangi penguatan kapasitas Dinas Ketenagakerjaan di Daerah, 28
  • 29. koordinasi antara Dinas Ketenagakerjaan dengan Pemerintah Daerah setempat, maka implementasinya dikhawatirkan tidak maksimal dan menimbulkan berbagai kesulitan baru dalam berkoordinasi. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar di Luar Negeri Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar mengeluarkan Perda Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar (TKKB) di Luar Negeri. Akan tetapi, Perda ini masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain masih kuatnya elemen penempatan, walaupun judulnya hanyalah memuat elemen perlindungan, beberapa peraturan yang dijadikan konsideran telah tidak berlaku, tenaga kerja yang dimaksud hanyalah mereka “yang berangkat secara sah” (Pasal 1), adanya syarat buku nikah dan surat izin dari suami atau istri sebagai dokumen ketenagakerjaan yang dibutuhkan (Pasal 8). Di lain pihak, terobosan yang perlu dicatat dari Perda ini adalah ketentuan untuk membentuk Komisi Perlindungan TKKB, yang keanggotaannya terdiri dari LSM, tokoh masyarakat dan profesional yang kompeten. Komisi ini dimandatkan antara lain untuk menerima pengaduan terkait pelanggaran prosedur dan peraturan perekrutan dan penempatan TKKB, membuat peraturan mengenai mekanisme pengaduan dan mediasi, mengelola rumah aman, dan lain- lain. Selain itu, Perda memandatkan Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana perlindungan bagi TKKB. Akan tetapi, bagaimana implementasi kedua terobosan ini masih perlu dilihat kemudian. KESIMPULAN Pola kekerasan 1. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008. 2. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus ( dari jumlah 46.884 kasus KTI), sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 469 kasus (dari jumlah 1.870 kasus). 3. Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Penanganan 4. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya 29
  • 30. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini. 5. Penggunaan UU Penghapusan KDRT justru mulai berkurang di lingkungan lembaga- lembaga layanan di kepolisian dan masyarakat pada tahun 2008 ini, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum ada penjelasan yang pasti tentang alasan kecenderungan ini, tetapi ada kemungkinan terkait dengan keluhan dari polisi tentang banyaknya perempuan korban KDRT yang menarik kembali pengaduan sebelum proses hukum dimulai. Dalam konteks lembaga layanan yang dikelola organisasi masyarakat sipil (OMS), penurunan ini mungkin disebabkan semakin sering digunakan pendekatan non-litigasi dalam menangani kasus-kasus KDRT. Kebijakan 6. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih). 7. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran. REKOMENDASI 1. Karena jenis KDRT yang paling tinggi adalah kekerasan ekonomi, maka Pemerintah dan para pendamping korban KDRT perlu membuat upaya khusus untuk meningkatkan kemandirian ekonomi bagi para korban, selain memfasilitasi pemulihan psiko-sosial dan medisnya. 2. Pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk mendukung pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban kekerasan seksual dalam komunitas. 3. Organisasi-organisasi perempuan perlu segera mengembangkan konsep kebijakan yang komprehensif tentang kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk soal perlindungan hukum dan pemulihan bagi korban. 4. Pemerintah perlu segera mencabut semua kebijakan yang diskriminatif terhadap komunitas minoritas agama untuk mencegah semakin bertambahnya korban, dan lembaga penegak hukum perlu menindak tegas segala bentuk bentuk aksi kekerasan dan tindak kriminal terhadap komunitas minoritas. 30
  • 31. 5. Mengantisipasi dampak krisis ekonomi global di Indonesia, Pemerintah perlu mengembangkan inisiatif khusus untuk memahami kebutuhan-kebutuhan perempuan miskin di perkotaan dan pedesaan serta mendukung pemenuhannya. 6. Pemerintah perlu segera menciptakan perangkat hukum yang komprehensif untuk melindungi pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM yang mempunyai kerentanan-kerentanan khusus karena keperempuanannya atau karena isu keadilan jender yang diperjuangkannya. 7. Masyarakat perlu meningkatkan pemantauan terhadap perilaku pejabat publik dan pendidik terhadap perempuan yang berada di bawah kewenangannya, khususnya terkait tindak pelecehan dan kekerasan seksual. 8. Lembaga-lembaga negara dan institusi-institusi pendidikan, baik formal dan nonformal, perlu mengembangkan mekanisme penegakan kode etik, termasuk penerapan sistem sanksi, yang tanggap terhadap kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya sendiri. 9. Lembaga-lembaga penegak hukum perlu terus meningkatkan pengarusutamaan pengetahuan tentang UU Penghapusan KDRT dalam konteks hak-hak asasi perempuan di seluruh jajarannya, termasuk dalam kurikulum pendidikan yang berlaku. 10. Masyarakat dan Pemerintah perlu membangun pengetahuan empiris dan komprehensif tentang pola-pola penanganan kekerasan terhadap perempuan yang hidup di tengah masyarakat serta mengkaji efektifitasnya bagi pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. 11. Pemerintah dan lembaga legislatif perlu segera mengambil langkah nyata guna melakukan harmonisasi antar peraturan-perundangan serta memperbaiki/mencabut peraturan-perundangan yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945. 12. Pemerintah perlu membuat terobosan nyata untuk meningkatkan efektifitas mekanisme perlindungan bagi pekerja migran perempuan serta meningkatkan akses para korban eksploitasi dan kekerasan terhadap keadilan dan pemulihan. 31
  • 32. TERIMA KASIH Komnas Perempuan menyampaikan terima kasih kepada lembaga-lembaga yang tercantum di bawah ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2008. 1. Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Kab. Sragen 2. Aliansi Perempuan Merangin, Jambi 3. Arus Pelangi, DKI Jakarta 4. Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Bengkulu 5. Flower, Nangroe Aceh Darussalam 6. Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (Fokburs), NTB 7. Forum Peduli Perempuan dan Anak, NTT 8. Forum PK2PA, DI Yogyakarta 9. Gender Focal Point, DKI Jakarta 10. JARI Aceh, Nangroe Aceh Darussalam 11. Kejaksaan Negeri Cilegon, Cilegon 12. Kejaksaan Negeri Pandeglang, Pandeglang 13. Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Rangkas Bitung 14. Kejaksaan Negeri Serang, Serang 15. Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten 16. Kejati Aceh, Nangroe Aceh Darussalam 17. Kejati Bali, Bali 18. Kejati Bangka, Bangka Belitung 19. Kejati Banten, Banten 20. Kejati Gorontalo, Gorontalo 21. Kejati Jambi, Jambi 22. Kejati Jawa Barat, Jawa Barat 23. Kejati Jawa Tengah, Jawa Tengah 24. Kejati Kalimantan Barat, Kalimantan Barat 25. Kejati Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan 26. Kejati Kalimantan Timur, Kalimantan Timur 27. Kejati Kep. Bangka Belitung, Bangka Belitung 28. Kejati Lampung, Lampung 29. Kejati Maluku, Maluku 30. Kejati Nusa Tenggara Barat, NTB 31. Kejati Nusa Tenggara Timur, NTT 32. Kejati Papua, Papua 33. Kejati Riau, Riau 34. Kejati Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan 35. Kejati Sulawesi Utara, Sulawesi Utara 36. Kejati Sumatera Barat, Sumatera Barat 37. Kejati Sumatera Selatan, Sumatera Selatan 38. KPBH ATMA, Jawa Tengah 39. KPPA Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara 40. Lada Damar, Lampung 41. LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta 32
  • 33. 42. LBH APIK NTB, NTB 43. LBH APIK Semarang, Jawa Tengah 44. LBH APIK Makassar, Sulawesi Selatan 45. LBHP2I Makassar, Sulawesi Selatan 46. LBH Bali, Bali 47. LBH Jakarta, DKI Jakarta 48. Lentera Perempuan WCC, 49. LKBH PEKKA, DKI Jakarta 50. LRC KJHAM, Jawa Tengah 51. Mitra Perempuan, DKI Jakarta 52. P2TP2A Bandar Lampung, Lampung 53. P2TP2A Bandung, Jawa Barat 54. P2TP2A Jakarta, DKI Jakarta 55. P2TP2A Maluku, Maluku 56. P2TP2A Maluku Utara, Maluku 57. P2TP2A Rekso Dyah Utami, DI Yogyakarta 58. P2TP2A Tanah Datar, Sumatera Barat 59. PA Ambarawa, Jawa Tengah 60. PA Atambua, NTT 61. PA Balige, Sumatera Utara 62. PA Balikpapan, Kalimantan Timur 63. PA Bandung, Jawa Barat 64. PA Bangil, Jawa Tengah 65. PA Bangkalan, Madura 66. PA Bangko, Jambi 67. PA Bangli, Bali 68. PA Banyuwangi, Jawa Timur 69. PA Batu Raja, Sumatera Selatan 70. PA Bawean, Jawa Timur 71. PA Binjai, Sumatera Utara 72. PA Blitar, Jawa Tengah 73. PA Blora, Jawa Tengah 74. PA Boyolali, Jawa Tengah 75. PA Brebes, Jawa Tengah 76. PA Cilacap, Jawa Tengah 77. PA Garut, Jawa Barat 78. PA Gunung Sitoli, Sumatera Utara 79. PA Jakarta Barat, DKI Jakarta 80. PA Jakarta Pusat, DKI Jakarta 81. PA Jakarta Timur, DKI Jakarta 82. PA Jakarta Selatan, DKI Jakarta 83. PA Jepara, Jawa Tengah 84. PA Jombang, Jawa Timur 85. PA Karawang, Jawa Barat 86. PA Kandangan, Kalimantan Selatan 87. PA Kayu Agung, Sumatera Selatan 33
  • 34. 88. PA Kebumen, Jawa Tengah 89. PA Kefamenanu, NTT 90. PA Kendal, Jawa Tengah 91. PA Ketapang, Jawa Timur 92. PA Kelas I Batang, Jawa Tengah 93. PA Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah 94. PA Lahat, Sumatera Selatan 95. PA Labuha, Maluku Utara 96. PA Lubuk Linggau, Sumatera Selatan 97. PA Lubuk Pakam, Sumatera 98. PA Malang, Jawa Timur 99. PA Manokwari, Papua 100. PA Marabahan, Kalimantan Selatan 101. PA Mataram, NTB 102. PA Maumere, NTT 103. PA Mempawah, Kalimantan Barat 104. PA Muara Enim, Sumatera Selatan 105. PA Nganjuk, Jawa Timur 106. PA Ngawi, Jawa Timur 107. PA Pacitan, Jawa Timur 108. PA Painan, Sumatera Barat 109. PA Palembang, Sumatera Selatan 110. PA Pamekasan, Madura 111. PA Pangkal Pinang, Riau 112. PA Pati, Jawa Tengah 113. PA Pemalang, Jawa Tengah 114. PA Polewali, Sulawesi Selatan 115. PA Poso, Sulawesi Tengah 116. PA Probolinggo, Jawa Timur 117. PA Purwodadi, Jawa tengah 118. PA Purwokerto, Jawa tengah 119. PA Rangkas Bitung, Banten 120. PA Rengat, Riau 121. PA Salatiga, Jawa Tengah 122. PA Samarinda, Kalimantan Timur 123. PA Sampit, Kalimantan Tengah 124. PA Sekayu, Ulawesi Selatan 125. PA Selat Panjang, Riau 126. PA Serang, Banten 127. PA Serui, Papua 128. PA Simalungun, Sumatera Utara 129. PA Sintang, Kalimantan Barat 130. PA Situbondo, Jawa Timur 131. PA Sleman, DI Yogyakarta 132. PA Soasio, Sumatera Selatan 133. PA Solok, Sumatera Barat 34
  • 35. 134. PA Sragen, Jawa Tengah 135. PA Sukabumi, Jawa Timur 136. PA Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat 137. PA Sumber, Jawa Barat 138. PA Sungai Liat, Bangka Belitung 139. PA Surabaya, Jawa Timur 140. PA Tanjung Balai Karimun, Riau 141. PA Tanjung Pandan, Bangka Belitung 142. PA Tanjung Redeb, Kalimantan Timur 143. PA Tanjung Balai, Riau 144. PA Tebing Tinggi, Sumatera Utara 145. PA Tolitoli, Sulawesi Tengah 146. PA Trenggalek, Jawa Timur 147. PA Tual, Maluku 148. PA Waingapu, NTT 149. PA Wates, DI Yogyakarta 150. PA Wonosari, Jawa Tengah 151. PA Wonosobo, Jawa Tengah 152. PKPA, Sumatera Utara 153. PKT Melati RSAL Dr. Mintohardjo, DKI Jakarta 154. PN Jawa Tengah, Jawa Tengah 155. PN Bangil, Jawa Timur 156. PN Bangli, Bali 157. PN Banjarnegara, Jawa Tengah 158. PN Bantul, DI Yogyakarta 159. PN Banyumas, Jawa Tengah 160. PN Batang, Jawa Tengah 161. PN Batu Sangkar, Sumatera Barat 162. PN Bengkalis, Riau 163. PN Brebes, Jawa Tengah 164. PN Bukit Tinggi, Sumatera Barat 165. PN Ciamis, Jawa Barat 166. PN Dumai, Riau 167. PN Gorontalo, Gorontalo 168. PN Idi, Nangroe Aceh Darussalam 169. PN Jeneponto, Sulawesi Selatan 170. PN Jepara, Jawa Tengah 171. PN Kab. Kediri, Jawa Timur 172. PN Kab. Madiun, Jawa Timur 173. PN Kelas IB Bangko, Jambi 174. PN Kelas IB Cirebon, Jawa Barat 175. PN Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah 176. PN Kelas IB Raba Bima, NTB 177. PN Kelas IB Selong, NTB 178. PN Koto Baru, Sumatera Barat 179. PN Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah 35
  • 36. 180. PN Kuningan, Jawa Barat 181. PN Lahat, Sumatera Selatan 182. PN Lubuk Sikaping, Sumatera Barat 183. PN Madiun, Jawa Timur 184. PN Magelang, Jawa Tengah 185. PN Magetan, Jawa Timur 186. PN Mamuju, Sulawesi Selatan 187. PN Metro, Lampung 188. PN Selayar, Sulawesi Selatan 189. PN Soe, NTT 190. PN Sorong, Papua 191. PN Subang, Jawa Barat 192. PN Sungai Liat, Bangka Belitung 193. PN Tabanan, Bali 194. PN Tanjung Pandan, Bangka Belitung 195. PN Tanjung Pati, Sumatera 196. PN Temanggung, Jawa Tengah 197. PN Tolitoli, Sulawesi Tengah 198. PN Watansoppeng, Sulawesi Selatan 199. PN Wonosari, DI Yogyakarta 200. PN Wonosobo, Jawa Tengah 201. PP Puan Amal Sakienah, Jawa Barat 202. PPAH Cipasung, Jawa Barat 203. PPT RS POLRI Sukanto, DKI Jakarta 204. PT Bandung, Jawa Barat 205. PT Banten, Banten 206. PT Kalimantan Timur, Kalimantan Timur 207. PT Semarang, Jawa Tengah 208. PT Sumatera Barat, Sumatera Barat 209. Rifka Annisa, DI Yogyakarta 210. RS Bhayangkara Medan, Sumatera Utara 211. RS Bhayangkara Semarang, Jawa Tengah 212. RS Bethesda, DI Yogyakarta 213. RS Bhayangkara Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah 214. RS Bhayangkara Kediri, Jawa Timur 215. RS Bhayangkara Nganjuk, Jawa Timur 216. RS Dr. Sardjito, DI Yogyakarta 217. RS Kota Jogja, DI Yogyakarta 218. RSUD M. Yunus, Bengkulu 219. RSUD Panembahan Senopati, DI Yogyakarta 220. RSUP Fatmawati, DKI Jakarta 221. Rumah Kita, DKI Jakarta 222. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah 223. Sapa Institute, Jawa Barat 224. Savy Amira, Jawa Timur 225. SBMI Jadebotabek, DKI Jakarta 36
  • 37. 226. SPEK HAM, Jawa Tengah 227. SPI Labuhan Batu, Sumatera Utara 228. Suara Nurani Perempuan, DI Yogyakarta 229. UPPA KPP Tj. Priuk, DKI Jakarta 230. UPPA Polda Bali, Bali 231. UPPA Polda Jogja, DI Yogyakarta 232. UPPA Polda Kediri, Jawa Timur 233. UPPA Polda Lampung, Lampung 234. UPPA Polda Metro Jaya, DKI Jakarta 235. UPPA Polda NTB, NTB 236. UPPA Polda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah 237. UPPA Polda Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara 238. UPPA Polres Ponorogo, Jawa Timur 239. UPPA Polres Asahan, Sumatera Utara 240. UPPA polres Bangli, Bali 241. UPPA Polres Bantul, DI Yogyakarta 242. UPPA Polres Batu, Jawa Timur 243. UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat 244. UPPA Polres Deli Serdang, Sumatera Utara 245. UPPA Polres Gianyar, Bali 246. UPPA Polres Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan 247. UPPA Polres Karang Asem, Bali 248. UPPA Polres Karawang, Jawa Barat 249. UPPA Polres Klungkung, Bali 250. UPPA Polres Kulon Progo, DI Yogyakarta 251. UPPA Polres Labuhan Batu, Sumatera Utara 252. UPPA Polres Lampung Selatan, Lampung 253. UPPA Polres Malang, Jawa Timur 254. UPPA Polres Merangin, Jambi 255. UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur 256. UPPA Polres Nusa Tenggara Barat, NTB 257. UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat 258. UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah 259. UPPA Polres Sikka, NTT 260. UPPA Polres Sukoharjo, Jawa Tengah 261. UPPA Polres Tabanan, Bali 262. UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur 263. UPPA Polres Tuban, Jawa Timur 264. UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur 265. UPPA Polresta Cirebon, Jawa Barat 266. UPPA Polresta Malang, Jawa Timur 267. UPPA Poltabes Bandar Lampung, Lampung 268. UPPA Polwiltabes Madiun, Jawa Timur 269. UPPA Polwiltabes Makassar, Sulawesi Selatan 270. WCC Jombang, Jawa Timur 271. WCC Palembang, Sumatera Selatan 37
  • 38. 272. Yayasan Arikal Mahina, Maluku 273. Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara 38