Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi data kekerasan terhadap perempuan tahun 2008 dari 256 lembaga mitra di seluruh Indonesia. Jumlah kasus KTP yang dilaporkan meningkat dua kali lipat menjadi 54.425 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan ekonomi di rumah tangga dan kekerasan seksual di komunitas. Empat kategori perempuan yang rentan kekerasan menurut catatan ini adalah perempuan minoritas agama, misk
1. KOMISI NASIONAL
ANT I KE KE R A SAN TE R HA DAP PE R E M PUA N
KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN
EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL:
Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara
Catatan KTP Tahun 2008
CATATAN TAHUNAN
TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Jakar ta, 7 Mar et 2009
2. Daftar Isi
Daftar Isi
Daftar Singkatan
Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................. 4
Pengantar ................................................................................................................................ 5
Metodologi ............................................................................................................................. 6
Gambaran Umum: Pencatatan Data KTP ........................................................................ 8
- Kecenderungan Data yang Meningkat ................................................................. 8
- Kondisi Pendataan dan Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP 8
Perempuan Rentan Kekerasan dan Butuh Perhatian ....................................................... 9
Pola KTP Tahun 2008 : Kekerasan Ekonomi dan Seksual ............................................ 14
- KDRT/RP : Bentuk KTP yang selalu mendominasi ......................................... 14
- Kekerasan di Ranah Komunitas ............................................................................ 16
- Kekerasan oleh Aparat Negara .............................................................................. 17
Penanganan: Kapasitas Lembaga dan Implementasi Perangkat Hukum ............... 20
Kebijakan: Kemajuan dan Kemunduran ................................................................ 20
Kesimpulan ............................................................................................................................. 29
Rekomendasi .......................................................................................................................... 30
Ucapan Terima Kasih ........................................................................................................... 32
3. DAFTAR SINGKATAN
CATAHU : Catatan Tahunan
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
IRT : Ibu Rumah Tangga
KDP : Kekerasan Dalam Pacaran
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kejati : Kejaksaan Tinggi
KJRI : Konsulat Jenderal Republik Indonesia
KMP : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar
KMS : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami
KOM : Komunitas
KP : Komnas Perempuan
KTAP : Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
KTI : Kekerasan Terhadap Istri
KTP : Kekerasan Terhadap Perempuan
MA : Mahkamah Agung
MoU : Memorandum of Understanding
MS : Mahkamah Syar'iyah
NEG : Negara
OMS : Organisasi Masyarakat Sipil
P2TP2A : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
PA : Pengadilan Agama
Permen : Peraturan Menteri
PKDRT : Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PN : Pengadilan Negeri
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polda : Kepolisian Daerah
Polres : Kepolisian Resort
Polsek : Kepolisian Sektor
PP : Peraturan Pemerintah
PPM : Perempuan Pekerja Migran
PRT : Pekerja Rumah Tangga
RS : Rumah Sakit
SD : Sekolah Dasar
SE : Surat Edaran
SK : Surat Keputusan
SKB : Surat Keputusan Bersama
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SP3 : Surat Perintah Penghentian Penyelidikan
SPM : Standar Pelayanan Minimal
3
4. KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI &
KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara
ringkasan eksekutif
Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah
menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan
kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai.
Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun
(tahun 2001 – 2008). Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali
lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus KTP), yaitu 213% mencapai sejumlah 54.425
kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena meningkatnya
kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan
Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan
Pengadilan.
Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami
oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani
oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini
berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008.
Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah
tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6800 orang (14,5% dari jumlah 46.882 kasus KTI),
sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah
umur, yaitu sebanyak 1870 orang (38,3% dari jumlah 4875 kasus KOM).
Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada
tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja
hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap
perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah,
anggota legislatif, dan pendidik.
Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan
kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan
meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini.
Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak
perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan
migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan
perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan
berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari
Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg
terpilih). Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan
pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung
memperlemah perlindungan pekerja migran.
4
5. pengantar
Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah
menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan
kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai.
Sama dengan catatan tahunan sebelumnya, catatan tahunan kali ini memaparkan besaran
kasus KTP di berbagai wilayah dan menurut data dari lembaga-lembaga mitra yang
mengirimkan kembali formulir isian dari Komnas Perempuan. Catatan tahunan ini
memberikan sorotan dan penekanan terhadap jenis kekerasan ekonomi yang banyak
mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik (KDRT/RP) dan kekerasan
seksual yang juga ditemukan mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah publik (KTP
Komunitas). Dalam catatan tahunan ini dipaparkan pula gambaran tentang kapasitas lembaga
dalam penanganan, hambatan yang dihadapi lembaga khususnya dalam hal melakukan
pendataan dan penanganan kasus serta kerja sama yang dikembangkan oleh lembaga mitra.
Catatan pemantauan tentang kebijakan baru atau peraturan yang berkaitan dengan isu
kekerasan terhadap perempuan yang efektif berlaku pada tahun lalu pun ditampilkan,
termasuk peraturan daerah yang secara positif memberikan ruang kepada perempuan atau
yang secara negatif justru merupakan ’alat’ legitimasi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan di berbagai daerah.
Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan ingin memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada lembaga mitra yang sudah berpartisipasi mengisi dan mengirimkan kembali
formulir isian dan/atau mengirimkan data lembaga secara langsung kepada Komnas
Perempuan. Untuk meningkatkan kerja sama dan partisipasi lembaga mitra, tahun 2008 yang
lalu Komnas Perempuan menyelenggarakan lokakarya dalam rangka memberikan masukan
terhadap formulir isian catatan tahunan di dua wilayah: Makassar (mencakup lembaga mitra
di daerah Sulawesi) dan Medan (mencakup daerah Sumatera). Pertemuan/lokakarya
semacam ini bermanfaat untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antar lembaga.
Akhirnya, diharapkan melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP)
yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau besaran dan
kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan
sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani
dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini.
5
6. metodologi
Sejak Komnas Perempuan mengeluarkan catatan tahunannya, sumber data utama adalah
lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari tahun ke
tahun lembaga mitra meningkatkan partisipasinya dengan secara aktif mengisi formulir
pendataan yang dikirimkan dan/atau memberikan data berdasarkan yang ada di lembaga
masing-masing. Jadi, pada prinsipnya data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan
data penanganan lembaga mitra selama (dalam) tahun bersangkutan.
Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon
PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR pada tahun ini dilakukan pada bulan Novermber
2008 ke sejumlah 1188 lembaga mitra di seluruh wilayah di Indonesia (lihat grafik di
samping). Separuh lebih formulir didistribusikan kepada lembaga mitra di wilayah Jawa dan
Sumatera (564 lembaga). Tingkat respon lembaga mitra mencapai 21,55% (yaitu 256 lembaga
mitra) dari jumlah seluruh formulir yang didistribusikan.
Jika dilihat per wilayah, lembaga mitra di Bali memberikan respon paling tinggi yaitu
mencapai 45,95%. Lembaga mitra di wilayah lain memberikan respon kurang-lebih sama,
kecuali Aceh.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hambatan utama dalam pendataan dan berdampak
pada tingkat respon adalah ketidaksiapan SDM serta sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh
lembaga mitra. Hal lain yang juga merupakan permsalahan bersama dalam rangka pendataan
KTP adalah tidak ada sistem dan format data yang sama untuk semua jenis lembaga –
masing-masing lembaga mengembangkan sistem pendataannya sendiri sesuai dengan
kebutuhan.
6
7. Jika melihat TINGKAT RESPON menurut kategori lembaga mitra (lihat grafik di samping),
Kejaksaan Tinggi (Kejati) menunjukkan respon paling tinggi (67,4%) dibandingkan lembaga
lain. Jajaran pengadilan (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri)
memberikan respon antara 15 – 25%. UPPA (dahulu RPK), lembaga mitra yang setia
memberikan datanya setiap tahun menunjukkan tingkat respon cukup tinggi (28,15%)
demikian pula dengan RS (20,69%).
Pada tahun 2008 ini, Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan mengakses data
pengadilan (agama dan negeri – PA dan PN) lewat website. Hal ini berkaitan dengan adanya
Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang
keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini, telah banyak Pengadilan Agama
yang membuka akses data lewat websitenya.
Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan
Menurut data yang dilaporkan oleh
lembaga mitra, kasus KTP diperoleh
dari beragam sumber, yaitu korban
sendiri (57%), saksi/pelapor (16%),
telpon/ hotline (10%), media massa
dan rujukan (masing-masing 6%), tatap
muka, keluarga korban, outreach,
masyarakat, dan lewat surat. Data
tentang korban yang datang sendiri
tercatat paling banyak diterima oleh
PA, UPPA, dan OMS.
Demikian pula dengan kasus yang
7
8. dilaporkan oleh saksi/pelapor, paling banyak mereka datang ke UPPA, kemudian ke PA dan
OMS. Sedangkan pelaporan kasus lewat telpon/hotline paling banyak diterima oleh Komnas
Perempuan dan OMS. Penanganan kasus yang ditindaklanjuti berdasarkan pemantauan
media massa kebanyakan dilakukan oleh
OMS. Lembaga pengada layanan ini (OMS)
Jumlah Kasus KTP (tahun 2001 - 2008)
bersama dengan UPPA juga melakukan
outreach (mendatangi/ mencari kasus 54425
KTP). Kasus yang bersumber dari tatap
muka ditangani oleh Komnas Perempuan –
secara berkelompok korban mendatangi
Komnas Perempuan mengadukan kasus
KTP yang dialaminya. 25522
22512
20391
GAMBARAN UMUM: 14020
pencatatan data ktp 5163
7787
3169
Kecenderungan data yang meningkat
2002 200
2004 2005 2006 2007 2008
Mempelajari catatan data kasus KTP
yang ditangani oleh lembaga pengada 2001
layanan dari tahun ke tahun sejak 2001 – 2008, ada kecenderungan jumlah (besaran) KTP
yang meningkat. Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat
dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu lebih dari 213% atau sejumlah 54.425 kasus KTP.
Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya kemudahan akses ke data
Pengadilan Agama (PA) seperti disebutkan terdahulu (lihat juga Diagram Jumlah Kasus KTP
menurut Lembaga Mitra di halaman berikut)
Grafik Jumlah Kasus KTP menurut
Wilayah di samping ini menunjukkan
bahwa memang banyak data (77%)
tercatat ditangani oleh PA (Pengadilan
Agama), yaitu sejumlah 42.076 dari total
jumlah 54.425 kasus. Dan seperti telah
dijelaskan terdahulu, tahun ini Komnas
Perempuan memperoleh kemudahan
akses data PA lewat website.
Sedangkan apabila melihat besaran
KTP ini menurut wilayah, maka lebih
dari separuh KTP tercatat ditangani oleh lembaga mitra di Pulau Jawa (38.007 kasus,
69,83%). Sisanya, ditangani oleh lembaga mitra di Sumatera (8.415 kasus, 15,46%), dan
Kalimantan (5.036 kasus, 9,25%). KTP di wilayah Sulawesi mencapai lebih dari seribu kasus
(yaitu 1.626 kasus, hampir 3%), sedangkan di wilayah lain tercatat KTP sejumlah antara 30 –
550 kasus (Aceh, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua).
8
9. Kondisi Pendataan & Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, data catatan tahunan dikompilasi dan dianalisis dari
seluruh data kasus (kuantitatif) yang diberikan oleh lembaga mitra dengan mengisi formulir
yang didistribusikan, dan data (kualitatif) yang diperoleh Komnas Perempuan lewat divisi-
divisinya. Data kuantitatif memberikan gambaran besaran dan kompleksitas KTP serta
penanganan yang dilakukan lembaga mitra. Sedangkan data kualitatif memberikan ilustrasi
kasus KTP serta kebijakan/peraturan daerah yang berkembang pada tahun bersangkutan.
KONDISI PENDATAAN sangat bergantung
pada kapasitas masing-masing lembaga Kecenderungan (prosentase) kenaikan Jumlah KTP
(Th 2001 - 2008)
dalam rangka mendokumentasi kan dan
250 213.25
mendata kasus KTP (di masing-masing
180.04
wilayah kerja). Kondisi ini tentunya 200 162.92
150.82 145.44
berpengaruh pula terhadap besaran KTP 150
110.40 113.37
yang setiap tahun dimasukkan dalam catatan 100
100
tahunan Komnas Perempuan (seperti dapat
dilihat dari grafik berikut). 50
Meskipun secara jumlah (besaran) KTP 0
terlihat cenderung meningkat, tetapi th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 th 2006 th 2007 th 2008
prosentase kenaikannya terjadi fluktuasi
(tidak merupakan garis lurus naik). Dengan kondisi ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
peningkatan jumlah (besaran) KTP yang terjadi tidak semata-mata karena adanya
peningkatan kasus, tetapi lebih berkaitan dengan adanya peningkatan (kondisi atau kapasitas)
pendataan lembaga mitra.
Kapasitas SDM dan fasilitas (sarana) pendataan yang selalu disebutkan lembaga sebagai
kendala utama menegaskan bahwa kondisi serta kapasitas lembaga dalam kaitannya dengan
melakukan pendataan memang seharusnya menjadi perhatian dalam rangka menghasilkan
data KTP yang handal.
perempuan rentan kekerasan dan butuh perhatian
Jika dinilai dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008,
ada empat kategori perempuan yang rentan kekerasan dan butuh perhatian, yaitu perempuan
minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan
9
10. pembela HAM.
Perempuan Minoritas Agama
Pada bulan Mei 2008, Komnas Perempuan mempublikasikan hasil pemantauan mengenai
kondisi perempuan Ahmadiyah. Dari hasil pemantauan tersebut, Komnas Perempuan
menemukan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang menghilangkan perlindungan hak-hak
dasar mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Konflik berdasarkan agama ini juga membuat
perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis jender. Ancaman perkosaan dan pelecehan
seksual pada saat penyerangan dan di pengungsian, bahkan di wilayah publik (pasar) juga
rentan menimpa perempuan Ahmadiyah. Dan sampai sekarang, komunitas Ahmadiyah,
terutama di NTB, masih tinggal di pengungsian, karena takut kembali ke desanya.
Di tahun 2008, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah tetap terjadi, yaitu pada
bulan Januari di Majalengka dan bulan April di Parakan Salak, Sukabumi. Setara Institute
melalui “Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008”
melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008 tercatat 265 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama atau berkeyakinan, dimana peristiwa tertinggi terjadi pada bulan Juni (103
peristiwa). Peningkatan jumlah peristiwa di tahun 2008 disebabkan oleh dua hal, yaitu:
pertama, menguatnya persekusi organisasi-organisasi Islam garis keras terhadap Ahmadiyah
sebagai bentuk desakan agar pemerintah mengeluarkan Keppres tentang Pembubaran
Ahmadiyah; dan kedua implikasi serius dari adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
No. 3 Tahun 2008, No. Ke-033/A/JA/6/2008 (SKB) yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni
2008. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di tahun 2008 umumnya
berhubungan dengan Ahmadiyah (193 peristiwa). Dari 193 peristiwa tersebut, sejumlah 48
peristiwa terjadi sebelum SKB dikeluarkan dan 145 peristiwa terjadi setelah keluarnya SKB
Pembatasan Ahmadiyah.1
Negara, melalui aparatusnya melakukan pelanggaran dalam bentuk pelarangan ibadah dan
aktivitas keagamaan, pelarangan tersebut tercatat terjadi di Sukabumi, Tasikmalaya,
Tangerang, Cianjur, dan Mataram (NTB).2 Bahkan di Mataram, Walikota Mataram H.M.
Ruslan sempat menyatakan akan mengusir komunitas Ahmadiyah dari Mataram jika SKB 3
Menteri sudah ditetapkan.3 Ini membuat para pengungsi yang merupakan subjek pemantauan
Komnas Perempuan di Mataram, NTB merasa resah. Walaupun ketika diklarifikasi, Walikota
Mataram menyatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan akan melakukan pengusiran
tersebut.4 Tindakan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat paska dikeluarkannya SKB
adalah tindakan perusakan atau penyegelan rumah ibadah. Perusakan rumah ibadah terjadi di
Riau dan setidaknya perusakan atau penyegelan 35 masjid terjadi di Jawa Barat. Tindakan
pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan sebelum dan setelah dikeluarkannya
SKB cenderung meningkat, oleh karena adanya tekanan untuk membubarkan Ahmadiyah.
Hal ini membuktikan besarnya implikasi SKB terhadap komunitas Ahmadiyah, dimana SKB
menjadi alat legitimasi untuk menolak dan mendiskriminasikan komunitas Ahmadiyah.
1
Berpihak dan Bertindak Intoleran : Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Setara Institute, Jakarta, Januari 2009, halaman 19-20
2
Ibid, hlmn 28-29
3
www.lombokfiles.com, SKB 3 Menteri Keluar, Warga Ahmadiyah Resah, 10 Juni 2008
4
www.lombokfiles.com, Jelang SKB 3 Menteri Pengungsi Ahmadiyah Mataram Pasrah, 10 Juni 2008
10
11. Salah satu peristiwa yang paling menonjol di tahun 2008 terkait dengan Ahmadiyah
sebelum dikeluarkannya SKB adalah peristiwa 1 Juni 2008, ketika AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) melakukan longmarch, mereka
diserang oleh orang-orang berseragam dan beratribut FPI, yang mengakibatkan sedikitnya 29
orang terluka dan empat orang lainnya harus menjalani rawat inap di dua rumah sakit, yakni
di RSPAD Gatot Subroto dan RS Tebet.
Di tingkat kebijakan daerah, SKB juga mendorong pemerintah daerah setempat untuk
mengeluarkan kebijakan pelarangan Ahmadiyah, seperti contohnya surat keputusan
Gubernur Sumatera Selatan nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008
yang melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah
Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan
bertentangan dengan ajaran agama Islam.5
Seluruh rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan komunitas Ahmadiyah, Insiden Monas
dan peristiwa di persidangan Insiden Monas menggambarkan bahwa di tahun 2008 ada
kecenderungan peningkatan kekerasan dan intoleransi masyarakat berkaitan dengan
kepercayaan yang berbeda, serta lemahnya pemerintah dalam mencegah terulangnya kembali
peristiwa kekerasan. Peristiwa kekerasan tersebut sekali lagi menempatkan perempuan
sebagai pihak yang rentan menjadi korban.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa dalam konflik
Ahmadiyah, perempuan dan anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis, baik
karena posisinya sebagai perempuan dan posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas
agama. Dalam konflik tersebut, perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis jender
seperti ancaman perkosaan dan kekerasan seksual. Berbagai pelanggaran HAM juga dialami
oleh kelompok minoritas agama ini, seperti pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan
peradilan yang adil, hak persamaan di depan hukum, hak untuk berkumpul secara damai, hak
kelompok minoritas, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, hak untuk mencari
nafkah, hak atas pendidikan, hak berkeluarga, hak reproduksi, hak atas rasa aman,
diskriminasi terhadap perempuan, serta pemulihan korban yang belum memadai.6
Perempuan Miskin
Tahun 2008 ditandai dengan fenomena maraknya ibu membunuh anak atau kasus ibu
membunuh anak, kemudian bunuh diri setelahnya. Kasus ibu membunuh anak dan bunuh
diri bersama tersebut tercatat, antara lain terjadi di Pekalongan, Bekasi, Medan, Malang,
Bandung, Tangerang, dan Magetan. Penyebab kasus-kasus tersebut 90 persen adalah karena
tekanan dan desakan ekonomi, dimana para korban merasa tidak mampu memenuhi
kebutuhan anaknya di masa yang akan datang oleh karena keterbatasan ekonomi. Peristiwa
lain yang cukup menonjol adalah kematian seorang ibu dan 2 orang anaknya di Makassar
(salah satunya masih dalam kandungan). Kematian ibu dan anak tersebut memang menjadi
perdebatan apakah disebabkan kelaparan atau karena diare akut yang mereka derita. Namun
sudah jelas bahwa salah seorang anak ibu tersebut yang selamat, positif menderita gizi
5
Kejaksaan Evaluasi SK Gubernur Soal Ahmadiyah, diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/03/brk,20080903-
133595,id.html, Rabu 3 Sptember 2008
6 laporan pemantau an ham komnas per empu an, pere mpuan dan anak ahmadiyah : korban disk riminasi berlapis ,
hlmn 21.24, me i 2008
11
12. buruk.7 Pada bulan September 2008, kita juga dikejutkan oleh berita meninggalnya 21 orang
perempuan, kebanyakan berusia lanjut, ketika mengantri pembagian zakat di Pasuruan.
Peristiwa tersebut terjadi sebulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato
kenegaraan di depan Rapat Paripurna DPR pada tanggal 15 Agustus 2008, menyatakan
bahwa angka kemiskinan di tahun 2008 mengalami penurunan.
Walaupun pemerintah menyatakan telah menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2008,
namun pada kenyataannya, seluruh kejadian di atas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
Salah satu faktor yang memperparah kemiskinan di tahun 2008 adalah keputusan pemerintah
menaikkan BBM di bulan Juni 2008, dengan dalih untuk mengurangi subsidi. Walau disertai
dengan skema bantuan langsung tunal (BLT), kebijakan tersebut ternyata menimbulkan
ketidakadilan pada rakyat miskin pada umumnya, dan perempuan pada khususnya. Kenaikan
harga BBM hampir selalu pasti diikuti dengan efek domino, yaitu melambungnya harga
kebutuhan bahan-bahan pokok. Dalam kasus Indonesia, akibat kenaikan harga BBM 2008,
kemiskinan pun meningkat: per 1 Oktober 2005 dalam data Program Pembangunan PBB
(UNDP) diperkirakan mencapai 65 juta orang. Dari kelompok penduduk miskin itu, 60
persen adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik atau publik, sebagai buruh, petani
penggarap, di sektor informal, hingga ibu rumah tangga. (Kompas, 26 Mei 2008)
Maka bila dicermati dari rangkaian peristiwa yang terjadi di tahun 2008, seluruh proses
pemiskinan ternyata menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Oleh
karena 60% pengelola struktur pengeluaran rumah tangga adalah perempuan, maka
keterbatasan ekonomi langsung dirasakan oleh perempuan. Kelompok perempuan sebagai
pengelola rumah tangga, dituntut untuk menerapkan ragam strategi dalam mengatasi
keterbatasan ekonomi. Beragam cara diterapkan perempuan untuk mensiasati keterbatasan
ekonomi, salah satunya dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Hasil temuan awal
Komnas Perempuan dalam pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan
sumber daya alam mengungkapkan beberapa strategi penyelamatan perempuan, di antaranya
adalah dengan jalan menikah, pergundikan, berhutang, alih profesi, alih konsumsi, dan
spiritual (adat, berdoa, pasrah). Dari peristiwa Zakat Pasuruan, misalnya walaupun harus
mengorbankan nyawa, cara mengantri zakat tersebut adalah salah satu strategi perempuan
untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Keputusan perempuan meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar negeri tidak
dapat dipisahkan dari kemiskinan struktural yang erat melingkupinya. Minimnya kesempatan
kerja yang layak dari pemerintah, sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat rendahnya
pendidikan, hingga keinginan untuk meningkatkan perekonomian dan status sosial
keluarganya menyebabkan perempuan-perempuan muda produktif meninggalkan desanya
guna mencari rezeki di negara lain. Selain gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang
dibutuhkan, negara juga gagal menyediakan perlindungan bagi perempuan yang berusaha
mencari nafkah di luar negeri. Upaya perempuan untuk keluar dari kemiskinan dengan
bekerja sebagai pekerja migran belum mendapat perlindungan yang memadai dari negara.
Sebaliknya, perempuan pekerja migran mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda sejak
tahap pra-pemberangkatan, masa bekerja, hingga purna waktu. Tampaknya kebijakan-
kebijakan terkait pekerja migran yang dikeluarkan pemerintah hingga saat ini belum dapat
menyentuh akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Selama pemerintah belum dapat mengatasi
7
Hamil, Mati Kelaparan diunduh dari http://www.surya.co.id/web/Headline/Hamil_Mati_Kelaparan.html, 2 Maret 2008
12
13. akar permasalahan dan menyediakan solusi dan perlindungan yang tepat, pelanggaran hak
dan kekerasan masih akan terus dialami oleh perempuan pekerja migran.
Terkait dengan kekerasan spesifik perempuan, Komnas Perempuan menerima sebuah
pengaduan tentang seorang perempuan pekerja migran yang hamil akibat diyakini diperkosa
oleh majikan laki-lakinya di Arab Saudi. Ia tidak mengetahui kehamilannya sampai ia tiba di
Indonesia dan memeriksakan kondisinya setelah empat (4) bulan tidak mendapat
menstruasi. Kasus ini hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang dialami oleh perempuan
pekerja migran. Akan tetapi, kasus semacam ini sulit penanganannya, khususnya dari segi
pembuktian, terlebih korban telah berada di Indonesia. Penanganan dari segi hukum
membutuhkan korban/penuntut berada di negara tempat kejadian agar proses hukum dapat
berjalan. Hal ini menyebabkan perempuan pekerja migran yang menjadi korban tidak hanya
sulit mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi juga sulit menuntut pemenuhan hak-hak
anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan. Bahkan, tak jarang proses hukum bukannya
menegakkan keadilan bagi korban, tetapi menjadikan korban mengalami reviktimisasi.
Perempuan Pembela HAM
Komnas Perempuan mengidentifikasi kasus yang dialami oleh Perempuan Pembela
HAM. ND adalah salah satu penggagas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBB), yang memperjuangkan dan membela pluralisme di Indonesia.
AKKBB adalah aliansi yang dibentuk oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap
kebebasan beragama dan berkeyakinan, untuk melakukan kampanye anti kekerasan atas
nama agama, dan melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang ditindas atas
nama perbedaan keyakinan dan agama.
Dalam menjalankan aktivitasnya, ia sering mengalami teror, seperti ancaman melalui surat
kaleng, stigmatisasi seksual, intimidasi, pembunuhan karakter, serangan pada posisi dan
perannya sebagai ibu dan istri, serta pengucilan. Peristiwa yang dialami adalah di tengah
proses persidangan Insiden Monas, pada bulan September, ia mengalami pelecehan seksual.
Sementara dalam konteks konflik sumber daya alam, Komnas Perempuan menengarai
terjadinya kriminalisasi perempuan pembela HAMyang sedang berjuang untuk
mempertahankan hak hidup mereka. Komnas Perempuan menerima pengaduan dari korban
sengketa lahan seluas 86 ha antara penduduk desa Titi Satu Korarih dengan PT Sri Rahayu
Agung (SRA) yang berlangsung semenjak tahun 1984. Konflik terus berlanjut dengan
gugatan masyarakat ke Pengadilan Lubuk Pakam, sementara proses pengadilan tengah
berlangsung, PT SRA terus melakukan pengrusakan tanaman petani di atas lahan sengketa
tersebut. Sayangnya, berkas putusan pengadilan di tahun 2003 sampai di tahun 2007 belum
pernah sampai ke tangan masyarakat. Ketika masyarakat melalui kuasa hukumnya
menanyakan lagi tentang keberadaan berkas putusan pengadilan tersebut pada tahun 2008,
tanggapan yang diperoleh adalah bahwa berkas keputusan tersebut masih dalam tahap
pencarian.
Puncaknya pada tanggal 4 Februari 2008, Mandor Kebun bersama dengan preman serta
aparat kepolisian berjumlah kurang lebih 60 orang mendatangi lahan tersebut dengan
membawa traktor. Dalam bentrok tersebut, seorang ibu (MU) yang mencoba menghalangi
traktor tersebut mengalami kekerasan berupa penghalauan, dia diseret dan dilemparkan ke
parit sedalam 2 meter yang ada di lahan tersebut, begitu pula ibu-ibu lain yang coba
membantu menghalau traktor mendapat perlakuan yang sama.
13
14. Ketika ibu-ibu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotarih, pengaduan mereka tidak
ditanggapi oleh Polsek, namun pada tanggal 26 Februari 2008, datang surat panggilan dari
Polres Serdang Bedagai untuk Ibu MU dan Ibu Tg sebagai tersangka dalam perkara tindak
pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang di muka umum. Tindakan
polisi itu berdasarkan laporan yang diajukan pihak PT SRA.
Perempuan Pekerja Sektor Hiburan
Di tengah maraknya perdebatan mengenai UU Pornografi pada tahun 2008, upaya
pelarangan artis-artis dangdut, terutama yang dianggap berpenampilan seronok ketika
manggung, marak dilakukan oleh para pejabat publik di berbagai daerah di Indonesia. Pada
bulan April 2008, tercatat artis Dewi Persik dilarang manggung di berbagai kabupaten/kota
di Jawa Barat, antara lain di Sukabumi, Tangerang dan Kota Bandung. Artis lain yang
mengalami pencekalan adalah Julia Perez, yaitu di Balikpapan dan Sumatera Selatan. Di
Sumatera Selatan, larangan dan imbauan tersebut dituangkan dalam surat MUI Sumsel No.
B-30/MUI-SS-IV/2008 tanggal 28 April 2008. Namun surat himbauan MUI Sumsel tersebut
tidak hanya mencekal Julia Perez, begitu juga dengan 7 artis lainnya, yaitu Dewi Persik,
Annisa Bahar, Inul Daratista, Uut Permatasari, Trio Macan, Ira Swara dan Nita Thalia,
dengan alasan meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak moral generasi muda. Di
Balikpapan, artis yang mengalami pencekalan adalah Dewi Persik, Julia Perez dan Trio
Macan. Julia Perez juga dicekal albumnya, karena ia menyelipkan kondom dalam album yang
berjudul “Kamasutra” tersebut. Komnas Perempuan berpendapat bahwa langkah-langkah ini
merupakan pembatasan terhadap hak berekspresi dan hak ekonomi para pekerja sektor
hiburan.
Alasan pencekalan yang dikemukakan para pejabat publik di daerah tersebut, antara lain
untuk menjaga situasi kondusif bagi pemerintah daerah setempat untuk mewujudkan visi
misinya dalam membentuk masyarakat berakhlakul karimah (Sukabumi); menentang
penampilan erotis dan bergoyang erotis yang dinilai tidak sesuai dengan norma agama dan
tindakan kesusilaan (Tangerang) mengatasi hal-hal yang meresahkan masyarakat dan merusak
moral generasi muda (Sumatera Selatan); mencegah maraknya pornografi dan pornoaksi
(Balikpapan); maupun untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan sejalan dengan visi misi kota
yang agamis (Bandung).
Pola KTP tahun 2008: kekerasan ekonomi & seksual
KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu mendominasi
Jika melihat pencatatan data penanganan dari lembaga-lembaga mitra, KDRT/RP
merupakan bentuk KTP yang selalu mendominasi. Artinya, dari tahun ke tahun data
penanganan kasus KDRT/RP selalu paling banyak dan lebih dari 50%. Diagram Jumlah Kasus
menurut Lembaga Mitra di samping menunjukkan kasus KDRT/RP mencapai 91% dari semua
bentuk KTP yang terdata oleh lembaga. Memang pada tahun 2008 ini, kemudahan akses data
PA menyumbang catatan kasus paling besar, dan kasus KTP yang tercatat oleh PA
kebanyakan digolongkan dalam KDRT/RP.
14
15. Besaran KDRT / Relasi Personal (RP) menurut Lembaga Mitra
Grafik di samping memaparkan besaran
(CATAHU 2008) KDRT/RP yang ditangani oleh masing-masing
lembaga mitra. Pengadilan Agama paling
banyak menangani kasus KDRT/RP (yaitu
PN
PA
292 sejumlah 42.076). OMS dan UPPA menangani
1%
42076
85% PT
kasus KDRT/RP masing-masing sejumlah
93
0%
2.926 dan 2.050. Lembaga pengada layanan
UPPA lainnya menangani kasus di bawah seribu kasus:
2050
4% KP (776), RS (662), Kejati (508), PN (292),
Kejati
OMS P2TP2A KP 508 662
RS
P2TP2A (154), dan PT (93).
2926 154 776 1%
6% 1%
0% 2%
Sedangkan jika dilihat menurut wilayah
lembaga pengada layanan yang ada di Jawa
paling banyak menangani kasus KDRT/RP,
yaitu: 35.398 kasus, dan dari jumlah ini
hampir separuhnya ditangani lembaga
pengada layanan di Jawa Tengah (15. 669
kasus). Selebihnya berturut-turut lembaga
pengada layanan di Jawa Barat (8.323 kasus)
dan Jawa Timur (6.706 kasus). Jumlah kasus
KDRT/RP yang ditangani lembaga pengada
layanan di wilayah lain di bawah sepuluh ribu
kasus: Sumatera (6.978), Kalimantan (4.892),
Sulawesi (1.310), NTB (323), Bali (194), NTT
(154), Maluku (126), dan Papua (22).
Jika dilihat berdasarkan relasi antara korban
dan pelaku, KDRT/RP yang terjadi mencakup
tujuh (7) bentuk tindak kekerasan, yaitu KTI
(kekerasan terhadap istri, 46.884 kasus atau
95%), RP (relasi personal, 970 atau 2%), KDP
(kekerasan dalam pacaran, 912 atau 2%), KTAP
(kekerasan terhadap anak perempuan, 623
kasus), PRT (pekerja rumah tangga, 89),
KMS (kekerasan matan suami, 49), dan
KMP (kekerasan mantan pacar, 10).
KTI yang merupakan bentuk
KDRT/RP paling dominan (95%) dari
semua bentuk yang ditangani oleh
lembaga pengada layanan. KTI ini
banyak dicatat oleh PA dan jenis
kekerasannya mencakup kekerasan fisik,
psikis (termasuk dalam kategori ini:
perselingkuhan, poligami dan gangguan
pihak ketiga), kekerasan seksual,
kekerasan ekonomi.
15
16. Diagram di samping menunjukkan
Jenis KDRT/RP: kekerasan ekonomi
(52%), kekerasan psikis (22%)m
kekerasan fisik (17%) dan kekerasan
seksual (9%). Data tentang kekerasan
ekonomi banyak dilaporkan oleh
Pengadilan Agama (hampir mencapai
84%) yang menjadi alasan gugatan cerai.
Sebagian alasan gugatan cerai lain yang
tercatat juga adalah kekerasan psikis dan
fisik.
Kekerasan seksual mencapai 9% dari seluruh jenis KDRT/RP pada tahun ini. Dan dari
jumlah ini, lembaga pengada layanan di wilayah DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Barat dan
Kalimantan Barat banyak menangani kasus KDRT/RP jenis kekerasan seksual (antara 100 –
300 kasus). Kasus kekerasan seksual ini juga ditangani oleh lembaga pengada layanan di
wilayah lain dalam jumlah lebih sedikit (kurang dari 100 kasus).
Kekerasan di Ranah Komunitas
Kekerasan di ranah Komunitas tercatat banyak ditangani oleh OMS (29%), UPPA (24%),
Kejati (20%), dan RS (14%). Lembaga pengada layanan lainnya yang juga mencatat
menangani kekerasan di ranah komunitas ini, tetapi dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 –
7%) adalah PA, PT, P2TP2A, dan KP. Jika melihat wilayah lembaga pengada layanan yang
mencatat penanganan kekerasan di ranah komunitas, maka akan diperoleh catatan seperti
terlihat dari diagram di sebelah kanan. Lembaga paling banyak mencatat penanganan
kekerasan komunitas adalah lembaga pengada layanan di wilayah Jawa (51%). Lembaga lain
juga mencatat penanganan kekerasan komunitas ini, yaitu di wilayah Sumatera (26%),
Sulawesi (6%) dan NTB (4%), lainnya mencatat dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 3%).
Jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat dilihat dari diagram di
samping ini. Kekerasan seksual (79%) merupakan jenis kekerasan paling banyak tercatat
16
17. ditangani oleh lembaga
pengada layanan. Jenis KTP di
ranah komunitas lainnya
kekerasan fisik (10%), psikis
(9%) dan kekerasan ekonomi
(2%).
Menengok catatan tahunan
dari tahun-tahun yang lalu,
ternyata ada pola
kecenderungan yang konsisten
berkaitan dengan kedua jenis
kekerasan ini. Pertama, jenis kekerasan ekonomi secara konsisten tinggi (paling banyak) di
ranah domestik (KDRT/RP) sejak tahun 2006. Dan kedua, pada kurun waktu yang sama
(dari tahun 2006), jenis kekerasan seksual paling banyak dijumpai dalam ranah kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi di komunitas.
Kekerasan oleh aparat negara
Kekerasan negara dicatat oleh KP dan OMS (di Aceh), mencakup pembatasan
kebebasan, penangkapan sewenang-wenang, stigmatisasi, penembakan, penghinaan.
Jumlah kekerasan negara ini seperti disebutkan terdahulu sebanyk 13 kasus.
Pelaku
Menyimak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencuat ke permukaan pada
tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat empat jenis pelaku yang penting mendapatkan
perhatian, yaitu pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik.
Pejabat Publik
Selama tahun 2008, jumlah
pelaporan yang diterima Komnas
Perempuan atas kekerasan
terhadap perempuan yang
dilakukan oleh figur publik, pejabat
publik dan pendidik mencapai
sejumlah 784 kasus. Mereka terdiri
dari anggota PNS, anggota DPR,
TNI, Polri, anggota Kejaksaan,
Bappeda, Kehakiman, Bupati dan
pendidik. Korbannya adalah pacar,
istri dan pekerja rumah tangga.
Kasus ini tersebar hampir di
seluruh Indonesia.
Kepala Daerah
Terdapat dua kasus yang dilaporkan secara langsung kepada Komnas Perempuan, yakni
kasus yang terjadi di Lampung (September) dan Jeneponto – Sulawesi Selatan (Oktober).
17
18. Menurut pengaduan ini, pelakunya adalah kepala daerah dan korbannya adalah pekerja
rumah tangga. Kasus ini semakin kontroversial pada saat kedua kepala daerah tersebut
mengikuti pemilihan kembali sebagai pejabat publik.
Untuk kasus di Lampung, korban (DE) adalah pekerja rumah tangga yang bekerja di
lingkup rumah tangga pelaku (AS). Walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun
2007, korban baru bisa melaporkan kepada polisi pada bulan Juni 2008, ketika ia berhasil
melarikan diri dari rumah pelaku. Korban meminta perlindungan kepada kepolisian, dimana
kemudian Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung segera menerbitkan Surat Perintah
Perlindungan. Korban merasa perlu meminta perlindungan polisi, karena ia mengalami
kekerasan dari istri dan anak-anak pelaku. Sampai sekarang kasus ini masih diproses di
tingkat kejaksaan.
Dalam kasus Jeneponto, walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2006,
namun proses penyelesaian hukumnya belum selesai sampai tahun 2008. Pihak kepolisian
kemudian menghentikan kasus tersebut (diSP3kan), karena polisi menilai saksi-saksi yang
diajukan tidak ada yang memberatkan dan sudah tidak ditemukan kembali bukti baru.
Korban tetap menuntut agar kasusnya diselidiki, karena menurutnya akibat kekerasan seksual
yang dialaminya, korban melahirkan seorang anak perempuan. Korban telah melaporkan
perbuatan pelaku ke kepolisian daerah Sulawesi Selatan pada bulan Pebruari 2007. Polisi
meminta korban dan pelaku untuk melakukan tes DNA, dan dilakukan di tempat yang
berbeda.
Anggota Legislatif
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI –
P, atas nama MM (pelaku) terhadap asistennya, yang bernama DF (korban) menjadi kasus
yang paling sensasional sepanjang tahun 2008, meskipun peristiwa pelecehan seksual sudah
dialami korban sejak tahun 2005. Kasus ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual dapat
terjadi dimana saja, termasuk di lembaga pemerintahan dan oleh siapa saja, karena pelakunya
adalah oknum pejabat publik. Peristiwa ini mematahkan mitos yang menganggap bahwa
kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang yang kurang dan atau tidak berpendidikan,
selain itu kasus ini juga menggambarkan sulit dan rumitnya perjalanan korban kekerasan
seksual untuk mengungkap kebenaran terhadap kasus yang dialaminya.
Pada tanggal 5 Juni tahun 2008, Badan Kehormatan DPR-RI menyimpulkan adanya
indikasi kekerasan. Para anggota Badan Kehormatan mengakui sulitnya mendapatkan saksi
(selain saksi korban) atau bukti yang kuat. Hal ini merupakan gejala yang umum terjadi dalam
kasus-kasus pelecehan seksual di mana pelaku adalah seseorang yang berada dalam posisi
berkuasa dan korban adalah bawahannya.
Pendidik
Pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat fenomena dimana pelaku kekerasan
terhadap perempuan adalah pendidik di lingkungan lembaga pendidikan, baik formal
maupun nonformal.
Institusi Pendidikan Nonformal
Komnas Perempuan menerima 4 kasus kekerasan dalam institusi pendidikan nonformal.
Pelakunya adalah seorang guru mengaji dan 3 (tiga) orang kyai dalam pesantren. Dalam kasus
kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, korbannya setidaknya 25 orang dan mereka rata-
rata adalah para murid yang masih dibawah umur. Salah satu kasus kekerasan seksual terjadi
18
19. di pesantren Yayasan Ya-Ibad Surabaya. Tindak kekerasan dialami oleh para murid
perempuan yang masih di bawah umur dan kasus ini telah disidangkan di PN Surabaya.
Sementara kasus lain dilakukan oleh seorang pemimpin pesantren yang melakukan kekerasan
seksual terhadap salah seorang santrinya dengan dalil nikah mut’ah. Relasi kuasa yang timpang
antara korban sebagai seorang santri putri dengan pelaku sebagai pemimpin dan orang yang
berkuasa membuat kasus-kasus seperti ini sangat sulit dilaporkan, apalagi ditangani.
Institusi Pendidikan Formal
Pada tahun 2008, mahasiswi mulai melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya
di lingkungan perguruan tinggi. Kasus yang mencuat di media massa adalah kasus kekerasan
seksual yang dilakukan oleh salah seorang staf pengajar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Dosen tersebut dilaporkan ke polisi atas dugaan perkosaan dan pelecehan seksual.
Peristiwa ini awalnya dilaporkan oleh seorang mahasiswi, namun akhirnya beberapa orang
mahasiswi lainnya yang juga menjadi korban ikut melaporkan tindakan yang sama ke polisi,
sehingga jumlah korban menjadi 12. Oleh universitas, dosen tersebut kemudian
dinonaktifkan dari kegiatan belajar-mengajar sampai kasusnya mendapat putusan yang tetap.
Catatan data penanganan kasus KDRT
memberikan gambaran karakteristik pelaku
dan korban KDRT seperti grafik di samping.
Korban dan pelaku paling banyak berusia
antara 25 – 40 tahun (masing-masing 1.362
dan 1.256 kasus). Data juga menunjukkan
pelaku juga banyak yang berusia lebih dari 40
tahun (701 kasus). Sedangkan korban banyak
juga yang berusia di bawah 5 tahun, antara 6-
12 tahun dan antara 13 – 18 tahun (usia
anak), masing-masing: 49 kasus, 167 kasus,
dan 609 kasus.
Sedangkan jenis KTP yang terjadi di ranah komunitas yang paling banyak adalah
kekerasan seksual (79%). Lembaga pengada layanan yang banyak pencatat penanganan jenis
KTP di ranah komunitas ini adalah UPPA (830) dan OMS (726).
Yang menarik dari catatan data
karakteristik korban dan pelaku dari
aspek usia adalah banyaknya korban di
usia anak-anak, antara 6-12 tahun dan
antara 13-18 tahun. Sebaliknya, pelaku
paling banyak tercatat berusia antara 25-
40 tahun. Dari data ini dapat dikatakan
bahwa banyak korban kekerasan seksual
di ranah komunitas adalah anak-anak (di
bawah usia 18 tahun).
Grafik di samping menunjukkan
gambaran tingkat pendidikan korban
dan pelaku. Korban KDRT/RP paling
banyak tercatat berpendidikan tingkat
SLTA (2.158 kasus). Demikian pula
19
20. dengan tingkat pendidikan pelaku, sejumlah 4.227 kasus. Namun demikian, data
menunjukkan baik korban maupun pelaku ada atau dari tingkat pendidikan paling rendah
(tidak tamat SD) dampai tingkat pendidikan tinggi (PT).
penanganan: kapasitas lembaga dan implementasi
perangkat hukum
Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lainnya
Melihat banyaknya catatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dalam
penanganan PA khususnya, catatan data tentang implementasi UUPKDRT dalam proses
penanganan litigasi kasus KTP perlu mendapat perhatian dengan lebih seksama.
Grafik di atas menunjukkan kecendungan penggunaan UUPKDRT oleh lembaga pengada
layanan dalam proses litigasi (dari tahun 2006 – 2008). Secara umum dapat dikatakan bahwa
penggunaan UUPKDRT oleh lembaga di jajaran pengadilan (PA, PN, PT dan Kejati) boleh
dikatakan cenderung meningkat. Sebaliknya penggunaannya oleh UUPA, P2TP2A, dan OMS
cenderung menurun atau kurang/tidak konsisten.
Perangkat hukum lain yang tercatat digunakan oleh berbagai lembaga pengada layanan
dalam proses litigasi adalah KUHP (142 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perlindungan
Anak No. 39 Tahun 2004 (111 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 (36 lembaga – paling banyak PA), UU Perlindungan Saksi-Korban No 13 Tahun
2006 (10 lembaga – paling banyak P2TP2A), dan UU Perdata berkaitan dengan Penanganan
KTP ( 10 lembaga – paling banyak P2TP2A).
KEBIJAKAN: kemajuan dan kemunduran
Tahun 2008 ditandai terdapat terobosan kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-
hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis,
20
21. perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital.
Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan
perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan
berekspresi, akses perempuan pada keadilan, dan hak politik perempuan. Terkait pengaturan
pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008
menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan
pekerja migran.
Kemajuan
UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Sepuluh tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965), melalui UU No. 29 Tahun 1999
tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965,-. pada tahun 2008 ini, pemerintah Indonesia membuat sebuah langkah
maju Dengan mengesahkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis pada tanggal 10 November 2008.
Dalam UU ini diatur beberapa hal, yakni mengenai :
1. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi
ras dan etnis;
2. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan
diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat, serta seluruh warga negara;
3. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis
oleh Komnas HAM;
4. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak-
hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
5. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras
dan etnis;
6. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan
7. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa:
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,
perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis
dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Putusan Pengadilan Agama tentang Sita Marital (marital beslag)
Pada tanggal 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Pusat memenuhi
permohonan sita marital yang diajukan Halimah Agustina Kamil terhadap harta bersama
hasil pernikahannya dengan Bambang Tri Hatmodjo yang telah dinikahinya sejak tahun 1981.
21
22. Baik pihak Halimah dalam alasan permohonannya maupun Majelis Hakim dalam
pengambilan keputusannya bersandar pada Kompilasi Hukum Islam pasal 95 ayat 1 yang
menyatakan ”dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan
pemerintah no 9 tahun 1975 pasal 136 ayat 2, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya”.
Dalam pasal tersebut, dimungkinkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam sebuah
perkawinan untuk melakukan sita marital kepada pengadilan jika terdapat tiga indikasi yang
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu judi, mabuk, dan boros. Dalam proses
permohonannya, Halimah dapat membuktikan terjadinya boros yang dilakukan oleh suami
karena adanya pihak ketiga. sehingga jika tidak disita oleh Majelis Hakim, dikhawatirkan
terjadinya pengurangan, penyusutan, atau adanya perpindahan harta bersama mereka kepada
pihak lain sebelum terjadi keputusan hukum tetap perceraian.
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tersebut di atas kami anggap sebagai terobosan
hukum, karena walaupun dimungkinkan dalam hukum acara, namun jarang dipergunakan.
Majelis hakim berpendapat bahwa penggunaan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam
memberikan hak yang sama kepada isteri maupun suami untuk mengajukan sita harta
bersama yang juga disebut sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bersama atau dapat
juga disebut dengan Sita Marital (Marital Beslag). 8 Harapan ke depan, keputusan sejenis dapat
diberikan oleh hakim-hakim lain kepada pihak isteri yang mengajukan sita marital tanpa
melihat status sosial (posisi dan kedudukan) isteri dan suami.
Kebijakan Standar Pelayanan Minimum dalam penanganan korban kekerasan
Pada bulan November 2008, Departemen Sosial RI mengeluarkan Peraturan Menteri
Sosial RI Nomor : 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Sebelumnya pada bulan Februari 2008,
Departemen Kesehatan RI juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Lahirnya
Standar Layanan Minimal bidang sosial dan Rumah sakit tersebut merupakan tindaklanjut
dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
SPM Rumah Sakit memberikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar9 yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga
negara secara minimal.
Sementara SPM bidang sosial, jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah :
1. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial; pemberian bantuan sosial, pelaksanaan
kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial (panti sosial)
2. penyediaan sarana prasaran sosial ; penyediaan sarana prasarana panti sosial,
penyediaan sarana prasarana luar panti
8
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal. 106.
9
Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan – Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 BAB I ayat 8.
22
23. 3. penanggulangan korban bencana ; bantuan sosial, evakuasi korban
4. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan
mental, serta lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan
dan tidak mampu ; pelaksanaan jaminan sosial
Hadirnya SPM dari Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan membuka peluang
keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial yang lebih luas, namun
oleh karena pelayanan tersebut diberikan oleh pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan
kualitas pelayanannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Terobosan kebijakan lainnya tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan yang lahir
di tahun 2008, adalah:
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme
Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Keputusan Bupati Maluku Tengah No. 463-142 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Maluku Tengah
Keputusan Bupati Buru No. 463-116 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat
Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Buru
Keputusan Walikota Ambon No. 390 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat
Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kota Ambon
Peraturan Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang
Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan dan/atau Korban Tindak Pidana.
Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran
Dalam Sesinya yang ke-42 (Oktober-November 2008), Komite Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan PBB (Komite CEDAW), mengeluarkan Rekomendasi
Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Menyikapi rendahnya kesediaan negara-
negara, khususnya negara tujuan, dalam meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990),
Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 dapat menjadi standar baru bagi perlindungan hak-
hak perempuan pekerja migran. Mengingat hampir semua negara di dunia telah menjadi
Negara Pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Konvensi CEDAW 1979), implementasi Rekomendasi Umum tersebut jelas merupakan
kewajiban Negara Pihak, termasuk Indonesia dan negara-negara tujuan perempuan pekerja
migran Indonesia, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan sebagainya.
Dalam rekomendasi tersebut, Komite CEDAW menegaskan kewajiban Negara Pihak
Kovensi CEDAW, baik sebagai negara asal, negara transit maupun negara tujuan perempuan
pekerja migran, untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh
perempuan pekerja migran. Paragraf 23 Rekomendasi Umum No. 26 menggarisbawahi
tanggung jawab bersama negara asal dan negara tujuan, yang meliputi kebijakan migrasi
komprehensif yang sensitif jender dan berbasis hak dengan merujuk pada Konvensi
CEDAW, pelibatan aktif perempuan pekerja migran dan masyarakat sipil dalam penyusunan
kebijakan, maupun penelitian, pengumpulan data dan analisis kuantitatif dan kualitatif
tentang permasalahan yang dihadapi perempuan pekerja migran sebagai bahan penyusunan
kebijakan. Negara Pihak diharapkan untuk melakukan kerja sama bilateral, regional maupun
23
24. ratifikasi perjanjian HAM internasional terkait, seperti Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990).
Secara spesifik, negara penerima harus menghargai, melindungi dan memenuhi HAM
warga negaranya yang perempuan yang bermigrasi untuk bekerja, antara lain melalui
menghilangkan larangan/pembatasan migrasi, termasuk syarat izin suami/wali laki-laki untuk
mendapatkan paspor/berpergian, mengembangkan materi/program pendidikan, peningkatan
kesadaran dan pelatihan, mengadopsi sistem peraturan dan pemantauan terhadap agen
rekrutmen, menyediakan layanan kesehatan, pendampingan hukum dan administratif,
penyaluran remitensi yang aman, memfasilitasi kepulangan dan reintegrasi, serta melatih dan
mengawasi layanan diplomatik dan konsulernya agar sungguh melindungi hak-hak
perempuan pekerja migran di luar negeri.10 Negara transit juga memiliki tanggung jawab
untuk melatih, memantau dan mengawasi polisi dan petugas imigrasi di perbatasan agar
sensitif jender dan tidak diskriminatif dalam berhadapan dengan perempuan pekerja migran,
dan berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM terkait migrasi, serta
mengadili dan menghukum pelakunya.11
Negara tujuan berkewajiban untuk memastikan perlakuan non-diskriminatif bagi
perempuan pekerja migran yang bekerja di negaranya.12 Negara tujuan, antara lain, harus
mencabut larangan/pembatasan bagi perempuan pekerja migran, termasuk larangan untuk
menikah dengan warga negaranya, hamil ataupun mendapatkan akomodasi yang aman dan
independen, memberikan perlindungan hukum, akses terhadap remedy, berupa penyelesaian
masalah secara hukum dan penyediaan tempat perlindungan sementara (shelter), penyediaan
perlindungan hukum bagi kebebasan bergerak, skema reunifikasi keluarga, mengadopsi
sistem pemantauan terhadap agen rekrutmen dan majikan, menjamin hak-hak perempuan
pekerja migran yang berada dalam tahanan, dan menjamin perlindungan HAM perempuan
pekerja migran yang tak berdokumen.
Piagam ASEAN
Pada 15 Desember 2008 Piagam ASEAN telah berlaku resmi setelah diratifikasi oleh
Negara – negara anggota. Hal tersebut menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah
ASEAN karena tidak hanya ASEAN meletakkan pondasi yang lebih kuat bagi bangunan
organisasi regional ini, tetapi juga karena ASEAN secara resmi mengakui nilai-nilai HAM
rakyatnya. Meski secara tidak eksplisit menyebutkan hak-hak mereka yang berimigrasi ke
negara lain, namun pengakuan tentang prinsip-prinsip HAM berimplikasi pada hak-hak
pekerja migran termasuk rakyatnya yang berimigrasi ke negara lain sebagai bagian yang tidak
terpisah dari HAM menjadi lebih terjamin. Pasal 2 Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip
yang sebaiknya dipegang oleh ASEAN dan Negara Anggotanya, dimana salah satunya adalah
“menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan HAM, dan pemajuan
keadilan sosial.”13 Secara spesifik, Piagam ASEAN memandatkan pembentukan sebuah
badan HAM ASEAN14, yang pelaksanaannya berdasar pada Acuan Kerja (Terms of
Reference/TOR) yang disusun oleh Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN.
10
Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran, paragraf 24.
11
Ibid., paragraf 25.
12
Ibid., paragraf 26.
13
Pasal 2 Piagam ASEAN.
14
Pasal 14 Piagam ASEAN.
24
25. Kemunduran
UU Pornografi
Pada tanggal 26 November 2008, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang ditengah kontroversi pro dan kontra yang datang
hampir dari semua kalangan: akademisi, aktivis, budayawan, cendekiawan, maupun kalangan
pemerintahan. Dengan alasan perlindungan terhadap perempuan, anak dan generasi muda
dari bahaya pornografi, undang-undang ini malah berpotensi mengkriminalkan perempuan
dan membatasi kebebasan berekspresi warga negara. Dalam konteks ini, UU Pornografi
mengancam jaminan-jaminan konstitusional, seperti: Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan
dan diskriminasi, Pasal 28 D (1) jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2)
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal
28 F kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan dan
keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif dan
perlindungan dari perlakukan tersebu.
Keberadaan UU ini didukung kuat oleh kalangan pemerintah sehingga mempercepat
pengesahannya. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya peraturan bersama antara Menteri
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Pemuda dan Olah Raga, Menteri Komunikasi dan
Informasi, Menteri Agama, dan Kepolisian RI nomor 78/Men.PP/Dep.II/IV/2008 Nomor
0105, Nomor 73/Kep./M.Kominfo/4/2008 nomor 2 tahun 2008 tentang rencana aksi
nasional mewujudkan keluarga bersih pornografi. Keputusan bersama ini ditandatangani
pada tanggal 4 April 2008. Secara umum rencana nasional ini berisikan rencana aksi tahun
2008 – 2011, yang dimulai pada tingkat individu sampai negara/pemerintah guna
menerapkan norma-norma, sosialisasi tentang peraturan tentang pornografi, bahaya dan
dampak pornografi, serta upaya pencegahan pornografi yang dapat dilakukan oleh semua
kalangan sebagai bagian dari kontrol sosial dalam masyarakat guna mencegah penyebaran
pornografi.
Pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU Pornografi juga menimbulkan ketidakpastian
hukum. Tak lama setelah UU Pornografi disahkan oleh DPR, aparat kepolisian Taman Sari
Jakarta Barat segera melakukan razia di kawasan Lokasari terhadap pekerja sektor hiburan
sebagai upaya pelaksanaan UU ini. Sebanyak 10 orang penari ditahan, dimana tujuh diantara
mereka sedang menunggu giliran menari.15 Hingga saat ini Pemerintah belum mengeluarkan
aturan pelaksanaan dari UU ini.
Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat (pidana)
Peradilan Agama
Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Agung RI memberikan putusannya bernomor
01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, menolak permohonan
kasasi yang diajukan salah satu terdakwa, atas hukum cambuk yang diterimanya berdasarkan
Peraturan Daerah NAD atau Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Dalam
Kasus Jinayat (pidana) laki-laki dan perempuan (bersuami) telah melakukan perbuatan
mesum, mereka dituntut dengan pasal 5 jo pasal 22 ayat (1) bahwa apabila bukan muhrim
15
10 penari terjerat UU Pornografi, Koran Seputar Indonesia, 3 November 2008.
25
26. (mahram) berdua-duaan di tempat gelap di dalam sebuah kamar rumah yang patut diketahui,
mereka telah melakukan perbuatan mesum/khalwat maka haram hukumnya dan akan
memperoleh hukuman cambuk.
Kasus tersebut telah mendapat putusan Pengadilan Syari’ah No 01/JN/2007/Msy-LSK
tanggal 9 Juli 2007 keduanya dihukum cambuk biaya perkara. Terdakwa mengajukan banding
dan telah mendapat Putusan Mahkamah Syar’iyah No 09/JN/2007/Msy-Prof tanggal 25
September 2007 dengan hukuman yang sama. Terdakwa laki-laki mengajukan di dalam
memori kasasi pemohon menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.
Dengan demikian, putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut telah
mengukuhkan putusan qanun yang memperkenalkan satu jenis hukuman pidana yang tidak
diatur dalam hukum positif nasional kita, yaitu hukuman cambuk. Mahkamah Agung tidak
mempersoalkan bahwa hukum cambuk tidak ada dalam sistem hukum nasional. Sementara
itu, sesungguhnya, sesuai UU No. 14 tahun 1985 yang diubah menjadi UU No. 5 Tahun
2004 pasal 30 (1) huruf b, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi berwenang membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Agung terbatas
memperlakukan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksokun NAD tanpa menyentuh substansi
qanun.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak politik perempuan
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember
2008 menentukan bahwa pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-
undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Keputusan tersebut didasarkan pada penilaian hukum bahwa,
dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon
anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan
rakyat paling banyak. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menghilangkan langkah affirmative
action untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga legislatif.
Langkah ini dianggap penting karena keberadaan wakil-wakil rakyat yang berjenis kelamin
perempuan di lembaga-lembaga legislatif masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Fakta
menunjukkan bahwa selama tiga periode yakni sejak 1992 sampai 2004 jumlah perempuan di
parlemen mengalami penurunan dari 12,15% menjadi 8,80% 16. Hasil pemilu 2004 17
menunjukkan jumlah perempuan yang menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak
11% sementara laki-laki sebanyak 89% dari 16 partai politik peserta pemilu. Dari data
perbandingan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun,
menunjukkan keterlibatan perempuan dalam dunia politik sangat rendah bukan disebabkan
sekedar oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik, tetapi sebagai dampak
dari konstruksi sosial yang bias jender tentang peran perempuan dalam masyarakat.
Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong No.
0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan
Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong
16
Sumber: Sekjen, MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999,BPS)
17
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (2004)
26
27. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong mengeluarkan Surat Edaran
No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan
Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong. Surat Edaran ini lahir sebagai
koreksi dari Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong No.
2258/IA/XII/2007 perihal Tata Cara Perpindahan Agency bagi Nakerwan. Surat Edaran
No. 2258/IA/XII/2007 mendapat tentangan keras dari berbagai pihak khususnya organisasi
pekerja migran yang berbasis di Hong Kong, karena dinilai sangat merugikan pekerja migran.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut, memberi penekanan dan kewajiban khusus semata
kepada perempuan pekerja migran yang akan berpindah agen wajib memberitahukan kepada
KJRI Hong Kong namun tidak kepada pihak lain yang terkait dengan proses migrasi dan
penempatan.
Desakan dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, membuahkan hasil lahirnya
Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 yang menyebutkan antara lain bahwa ketika tenaga kerja
Indonesia (tidak hanya perempuan pekerja migran Indonesia saja) akan berpindah agen,
mereka tidak perlu lagi menyampaian alasan pindah agen kepada KJRI Hong Kong, dan
ketika agen memperpanjang kontrak kerja, mereka harus menyertakan surat pernyataan
jaminan bahwa tidak memungut lebih dari 10% gaji pekerja migran.
Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008
Pada pertengahan tahun 2008, kali ini calon pekerja migran ke Hong Kong yang bekerja
sebagai penata laksana rumah tangga, perawat bayi, dan perawat orang tua/jompo mendapat
kejutan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186
Tahun 2008, yang menetapkan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon pekerja
migran Indonesia adalah sebesar Rp 15.550.000, ditambah USD 15. Sebelumnya, hanya
sebesar Rp. 9.132.000,- berdasarkan SK Binapenta No. 653 Tahun 2004. Bagi calon pekerja
migran yang hampir semua berasal dari kalangan masyarakat berperekonomian rendah,
jumlah tersebut sangatlah besar. Hingga saat ini, Surat Keputusan tersebut masih
diberlakukan.
Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
22/MEN/XII/2008, dan Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
23/MEN/XII/2008
Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 22/MEN/XII/2008 tentang
Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/MEN/XII/2008 tentang
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
Berbeda dengan Permen yang lalu (Permen No. 18/MEN/IX/2007), Permen kali ini
telah memuat klausul yang lebih komprehensif mengenai perlindungan bagi pekerja migran
Indonesia. Pengaturan yang ada mencakup perlindungan sejak masa pra-penempatan, selama
penempatan, hingga purna penempatan, dengan mencakup juga elemen perlindungan di
tahap penempatan bagi tenaga kerja Indonesia yang mengalami tindak kekerasan dan
pelecehan seksual (Pasal 44). Akan tetapi, ada beberapa kelemahan dari Permen tersebut.
Pertama, perlindungan yang dimaksud pada tahapan pra keberangkatan hanya terbatas pada
pengawasan berbagai dokumen pekerja migran. Sementara terkait dengan perlindungan
27
28. tindak kekerasan seksual hanya disebutkan dalam perlindungan berupa penyelesaian
perselisihan dengan pengguna/pihak lain selama penempatan. Advokasi dan pendampingan
yang dimaksudkan dalam perlindungan di tahapan ini juga terbatas pada advokasi dan
pendampingan hak-hak pekerja migran sebagai pekerja, bukan sebagai orang yang terlanggar
hak asasinya. Rehabilitasi fisik dan psikologi baru diberikan ketika pekerja migran kembali ke
Indonesia. Kelemahan lain Permen No. 22 Tahun 2008 adalah masih adanya pembatasan
hak-hak perempuan pekerja migran, seperti persyaratan surat izin suami/istri/orang tua/wali
(Pasal 10).
Permen No. 23 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa TKI harus diikutsertakan dalam
program asuransi yang meliputi pra-penempatan hingga purna penempatan, dengan total
biaya asuransi sebesar Rp. 400.000,-. Terobosan yang diberikan oleh Permen ini adalah salah
satu resiko yang tercakup di dalam program asuransi tersebut adalah resiko tindak kekerasan
fisik dan pemerkosaan (Pasal 4).
Setelah dibentuknya BNP2TKI pada awal tahun lalu, tahun ini Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi kembali mengaktifkan peran departemennya dalam hal penempatan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja. Penguatan posisi Depnaker tersebut terlihat pula pada Permen
No. 22 dan 23 Tahun 2008. Selama tahun 2008, perdebatan antara BNP2TKI dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup menonjol, terutama dipicu dengan tidak
jelasnya batas kewajiban dan kewenangan masing-masing institusi dalam hal penempatan dan
perlindungan pekerja migran Indonesia. BNP2TKI mendapat mandat untuk melakukan
koordinasi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Akan tetapi,
BNP2TKI tidak diberi kewenangan penuh dalam melakukan tugas tersebut. Keputusan tetap
berada di dalam kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; BNP2TKI hanya
mendapat kewenangan memberi masukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengaktifan kembali dirjen tersebut tanpa ada penyelesaian terhadap konflik kelembagaan
terkait kejelasan kewenangan antara kedua lembaga tersebut diprediksi akan menambah
keruwetan penyelesaian masalah-masalah komprehensif yang dialami oleh pekerja migran.
Seperti juga halnya kebijakan, penanganan kasus pekerja migran yang dilakukan hingga
saat ini oleh pemerintah masih bersifat reaktif. Belum ada mekanisme penanganan kasus
yang komprehensif dan peka terhadap kebutuhan korban. Penanganan kasus juga masih
bersifat parsial, belum terkoordinasi dengan baik. Masing-masing institusi memiliki
mekanisme sendiri, sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Karakter penanganan
kasus yang cukup menonjol adalah pemilahan antara korban yang merupakan pekerja migran
berdokumen dengan yang tidak berdokumen. Padahal, penanganan kasus seharusnya
diberikan kepada semua pekerja migran, tanpa membedakan statusnya. Selain itu, mekanisme
penanganan yang ada masih belum responsif terhadap perempuan korban, khususnya korban
kekerasan seksual. Bukti nyata adalah tidak adanya upaya negara menangani fenomena anak
bermuka Arab di Cianjur, Karawang dan Lombok, yang sebagian besar merupakan anak hasil
pemerkosaan yang dilakukan majikan perempuan pekerja migran di Arab Saudi.
Hal tersebut tidak saja terjadi di tingkat nasioal, tapi dalam hubungan antara nasional
dengan daerah dan di tingkat antar daerah.
Adanya Permen No. 22 Tahun 2008 juga memberikan tanggung jawab yang lebih besar
kepada Daerah (Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Apabila hal ini tidak diimbangi penguatan kapasitas Dinas Ketenagakerjaan di Daerah,
28
29. koordinasi antara Dinas Ketenagakerjaan dengan Pemerintah Daerah setempat, maka
implementasinya dikhawatirkan tidak maksimal dan menimbulkan berbagai kesulitan baru
dalam berkoordinasi.
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan
Tenaga Kerja Kabupaten Blitar di Luar Negeri
Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar mengeluarkan Perda Kabupaten Blitar No. 16
Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar (TKKB) di Luar Negeri.
Akan tetapi, Perda ini masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain masih kuatnya elemen
penempatan, walaupun judulnya hanyalah memuat elemen perlindungan, beberapa peraturan
yang dijadikan konsideran telah tidak berlaku, tenaga kerja yang dimaksud hanyalah mereka
“yang berangkat secara sah” (Pasal 1), adanya syarat buku nikah dan surat izin dari suami
atau istri sebagai dokumen ketenagakerjaan yang dibutuhkan (Pasal 8). Di lain pihak,
terobosan yang perlu dicatat dari Perda ini adalah ketentuan untuk membentuk Komisi
Perlindungan TKKB, yang keanggotaannya terdiri dari LSM, tokoh masyarakat dan
profesional yang kompeten. Komisi ini dimandatkan antara lain untuk menerima pengaduan
terkait pelanggaran prosedur dan peraturan perekrutan dan penempatan TKKB, membuat
peraturan mengenai mekanisme pengaduan dan mediasi, mengelola rumah aman, dan lain-
lain. Selain itu, Perda memandatkan Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana
perlindungan bagi TKKB. Akan tetapi, bagaimana implementasi kedua terobosan ini masih
perlu dilihat kemudian.
KESIMPULAN
Pola kekerasan
1. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar
dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi
penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun,
sejak tahun 2006 hingga 2008.
2. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah
tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus ( dari jumlah 46.884 kasus KTI),
sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di
bawah umur, yaitu sebanyak 469 kasus (dari jumlah 1.870 kasus).
3. Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada
tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja
hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan
terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik,
kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik.
Penanganan
4. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam
penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya
29
30. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang
UU ini.
5. Penggunaan UU Penghapusan KDRT justru mulai berkurang di lingkungan lembaga-
lembaga layanan di kepolisian dan masyarakat pada tahun 2008 ini, jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum ada penjelasan yang pasti tentang alasan
kecenderungan ini, tetapi ada kemungkinan terkait dengan keluhan dari polisi tentang
banyaknya perempuan korban KDRT yang menarik kembali pengaduan sebelum
proses hukum dimulai. Dalam konteks lembaga layanan yang dikelola organisasi
masyarakat sipil (OMS), penurunan ini mungkin disebabkan semakin sering
digunakan pendekatan non-litigasi dalam menangani kasus-kasus KDRT.
Kebijakan
6. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak
perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis,
perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital
dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk
kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya
dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada
keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan
Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih).
7. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan
pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung
memperlemah perlindungan pekerja migran.
REKOMENDASI
1. Karena jenis KDRT yang paling tinggi adalah kekerasan ekonomi, maka Pemerintah
dan para pendamping korban KDRT perlu membuat upaya khusus untuk
meningkatkan kemandirian ekonomi bagi para korban, selain memfasilitasi
pemulihan psiko-sosial dan medisnya.
2. Pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk mendukung
pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban kekerasan seksual
dalam komunitas.
3. Organisasi-organisasi perempuan perlu segera mengembangkan konsep kebijakan
yang komprehensif tentang kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk soal
perlindungan hukum dan pemulihan bagi korban.
4. Pemerintah perlu segera mencabut semua kebijakan yang diskriminatif terhadap
komunitas minoritas agama untuk mencegah semakin bertambahnya korban, dan
lembaga penegak hukum perlu menindak tegas segala bentuk bentuk aksi kekerasan
dan tindak kriminal terhadap komunitas minoritas.
30
31. 5. Mengantisipasi dampak krisis ekonomi global di Indonesia, Pemerintah perlu
mengembangkan inisiatif khusus untuk memahami kebutuhan-kebutuhan perempuan
miskin di perkotaan dan pedesaan serta mendukung pemenuhannya.
6. Pemerintah perlu segera menciptakan perangkat hukum yang komprehensif untuk
melindungi pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM yang mempunyai
kerentanan-kerentanan khusus karena keperempuanannya atau karena isu keadilan
jender yang diperjuangkannya.
7. Masyarakat perlu meningkatkan pemantauan terhadap perilaku pejabat publik dan
pendidik terhadap perempuan yang berada di bawah kewenangannya, khususnya
terkait tindak pelecehan dan kekerasan seksual.
8. Lembaga-lembaga negara dan institusi-institusi pendidikan, baik formal dan
nonformal, perlu mengembangkan mekanisme penegakan kode etik, termasuk
penerapan sistem sanksi, yang tanggap terhadap kasus-kasus pelecehan dan kekerasan
seksual yang terjadi di lingkungannya sendiri.
9. Lembaga-lembaga penegak hukum perlu terus meningkatkan pengarusutamaan
pengetahuan tentang UU Penghapusan KDRT dalam konteks hak-hak asasi
perempuan di seluruh jajarannya, termasuk dalam kurikulum pendidikan yang
berlaku.
10. Masyarakat dan Pemerintah perlu membangun pengetahuan empiris dan
komprehensif tentang pola-pola penanganan kekerasan terhadap perempuan yang
hidup di tengah masyarakat serta mengkaji efektifitasnya bagi pemenuhan hak-hak
korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
11. Pemerintah dan lembaga legislatif perlu segera mengambil langkah nyata guna
melakukan harmonisasi antar peraturan-perundangan serta memperbaiki/mencabut
peraturan-perundangan yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.
12. Pemerintah perlu membuat terobosan nyata untuk meningkatkan efektifitas
mekanisme perlindungan bagi pekerja migran perempuan serta meningkatkan akses
para korban eksploitasi dan kekerasan terhadap keadilan dan pemulihan.
31
32. TERIMA KASIH
Komnas Perempuan menyampaikan terima kasih kepada lembaga-lembaga yang tercantum
di bawah ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2008.
1. Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Kab. Sragen
2. Aliansi Perempuan Merangin, Jambi
3. Arus Pelangi, DKI Jakarta
4. Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Bengkulu
5. Flower, Nangroe Aceh Darussalam
6. Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (Fokburs), NTB
7. Forum Peduli Perempuan dan Anak, NTT
8. Forum PK2PA, DI Yogyakarta
9. Gender Focal Point, DKI Jakarta
10. JARI Aceh, Nangroe Aceh Darussalam
11. Kejaksaan Negeri Cilegon, Cilegon
12. Kejaksaan Negeri Pandeglang, Pandeglang
13. Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Rangkas Bitung
14. Kejaksaan Negeri Serang, Serang
15. Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten
16. Kejati Aceh, Nangroe Aceh Darussalam
17. Kejati Bali, Bali
18. Kejati Bangka, Bangka Belitung
19. Kejati Banten, Banten
20. Kejati Gorontalo, Gorontalo
21. Kejati Jambi, Jambi
22. Kejati Jawa Barat, Jawa Barat
23. Kejati Jawa Tengah, Jawa Tengah
24. Kejati Kalimantan Barat, Kalimantan Barat
25. Kejati Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
26. Kejati Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
27. Kejati Kep. Bangka Belitung, Bangka Belitung
28. Kejati Lampung, Lampung
29. Kejati Maluku, Maluku
30. Kejati Nusa Tenggara Barat, NTB
31. Kejati Nusa Tenggara Timur, NTT
32. Kejati Papua, Papua
33. Kejati Riau, Riau
34. Kejati Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan
35. Kejati Sulawesi Utara, Sulawesi Utara
36. Kejati Sumatera Barat, Sumatera Barat
37. Kejati Sumatera Selatan, Sumatera Selatan
38. KPBH ATMA, Jawa Tengah
39. KPPA Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
40. Lada Damar, Lampung
41. LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta
32
33. 42. LBH APIK NTB, NTB
43. LBH APIK Semarang, Jawa Tengah
44. LBH APIK Makassar, Sulawesi Selatan
45. LBHP2I Makassar, Sulawesi Selatan
46. LBH Bali, Bali
47. LBH Jakarta, DKI Jakarta
48. Lentera Perempuan WCC,
49. LKBH PEKKA, DKI Jakarta
50. LRC KJHAM, Jawa Tengah
51. Mitra Perempuan, DKI Jakarta
52. P2TP2A Bandar Lampung, Lampung
53. P2TP2A Bandung, Jawa Barat
54. P2TP2A Jakarta, DKI Jakarta
55. P2TP2A Maluku, Maluku
56. P2TP2A Maluku Utara, Maluku
57. P2TP2A Rekso Dyah Utami, DI Yogyakarta
58. P2TP2A Tanah Datar, Sumatera Barat
59. PA Ambarawa, Jawa Tengah
60. PA Atambua, NTT
61. PA Balige, Sumatera Utara
62. PA Balikpapan, Kalimantan Timur
63. PA Bandung, Jawa Barat
64. PA Bangil, Jawa Tengah
65. PA Bangkalan, Madura
66. PA Bangko, Jambi
67. PA Bangli, Bali
68. PA Banyuwangi, Jawa Timur
69. PA Batu Raja, Sumatera Selatan
70. PA Bawean, Jawa Timur
71. PA Binjai, Sumatera Utara
72. PA Blitar, Jawa Tengah
73. PA Blora, Jawa Tengah
74. PA Boyolali, Jawa Tengah
75. PA Brebes, Jawa Tengah
76. PA Cilacap, Jawa Tengah
77. PA Garut, Jawa Barat
78. PA Gunung Sitoli, Sumatera Utara
79. PA Jakarta Barat, DKI Jakarta
80. PA Jakarta Pusat, DKI Jakarta
81. PA Jakarta Timur, DKI Jakarta
82. PA Jakarta Selatan, DKI Jakarta
83. PA Jepara, Jawa Tengah
84. PA Jombang, Jawa Timur
85. PA Karawang, Jawa Barat
86. PA Kandangan, Kalimantan Selatan
87. PA Kayu Agung, Sumatera Selatan
33
34. 88. PA Kebumen, Jawa Tengah
89. PA Kefamenanu, NTT
90. PA Kendal, Jawa Tengah
91. PA Ketapang, Jawa Timur
92. PA Kelas I Batang, Jawa Tengah
93. PA Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
94. PA Lahat, Sumatera Selatan
95. PA Labuha, Maluku Utara
96. PA Lubuk Linggau, Sumatera Selatan
97. PA Lubuk Pakam, Sumatera
98. PA Malang, Jawa Timur
99. PA Manokwari, Papua
100. PA Marabahan, Kalimantan Selatan
101. PA Mataram, NTB
102. PA Maumere, NTT
103. PA Mempawah, Kalimantan Barat
104. PA Muara Enim, Sumatera Selatan
105. PA Nganjuk, Jawa Timur
106. PA Ngawi, Jawa Timur
107. PA Pacitan, Jawa Timur
108. PA Painan, Sumatera Barat
109. PA Palembang, Sumatera Selatan
110. PA Pamekasan, Madura
111. PA Pangkal Pinang, Riau
112. PA Pati, Jawa Tengah
113. PA Pemalang, Jawa Tengah
114. PA Polewali, Sulawesi Selatan
115. PA Poso, Sulawesi Tengah
116. PA Probolinggo, Jawa Timur
117. PA Purwodadi, Jawa tengah
118. PA Purwokerto, Jawa tengah
119. PA Rangkas Bitung, Banten
120. PA Rengat, Riau
121. PA Salatiga, Jawa Tengah
122. PA Samarinda, Kalimantan Timur
123. PA Sampit, Kalimantan Tengah
124. PA Sekayu, Ulawesi Selatan
125. PA Selat Panjang, Riau
126. PA Serang, Banten
127. PA Serui, Papua
128. PA Simalungun, Sumatera Utara
129. PA Sintang, Kalimantan Barat
130. PA Situbondo, Jawa Timur
131. PA Sleman, DI Yogyakarta
132. PA Soasio, Sumatera Selatan
133. PA Solok, Sumatera Barat
34
35. 134. PA Sragen, Jawa Tengah
135. PA Sukabumi, Jawa Timur
136. PA Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat
137. PA Sumber, Jawa Barat
138. PA Sungai Liat, Bangka Belitung
139. PA Surabaya, Jawa Timur
140. PA Tanjung Balai Karimun, Riau
141. PA Tanjung Pandan, Bangka Belitung
142. PA Tanjung Redeb, Kalimantan Timur
143. PA Tanjung Balai, Riau
144. PA Tebing Tinggi, Sumatera Utara
145. PA Tolitoli, Sulawesi Tengah
146. PA Trenggalek, Jawa Timur
147. PA Tual, Maluku
148. PA Waingapu, NTT
149. PA Wates, DI Yogyakarta
150. PA Wonosari, Jawa Tengah
151. PA Wonosobo, Jawa Tengah
152. PKPA, Sumatera Utara
153. PKT Melati RSAL Dr. Mintohardjo, DKI Jakarta
154. PN Jawa Tengah, Jawa Tengah
155. PN Bangil, Jawa Timur
156. PN Bangli, Bali
157. PN Banjarnegara, Jawa Tengah
158. PN Bantul, DI Yogyakarta
159. PN Banyumas, Jawa Tengah
160. PN Batang, Jawa Tengah
161. PN Batu Sangkar, Sumatera Barat
162. PN Bengkalis, Riau
163. PN Brebes, Jawa Tengah
164. PN Bukit Tinggi, Sumatera Barat
165. PN Ciamis, Jawa Barat
166. PN Dumai, Riau
167. PN Gorontalo, Gorontalo
168. PN Idi, Nangroe Aceh Darussalam
169. PN Jeneponto, Sulawesi Selatan
170. PN Jepara, Jawa Tengah
171. PN Kab. Kediri, Jawa Timur
172. PN Kab. Madiun, Jawa Timur
173. PN Kelas IB Bangko, Jambi
174. PN Kelas IB Cirebon, Jawa Barat
175. PN Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah
176. PN Kelas IB Raba Bima, NTB
177. PN Kelas IB Selong, NTB
178. PN Koto Baru, Sumatera Barat
179. PN Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
35
36. 180. PN Kuningan, Jawa Barat
181. PN Lahat, Sumatera Selatan
182. PN Lubuk Sikaping, Sumatera Barat
183. PN Madiun, Jawa Timur
184. PN Magelang, Jawa Tengah
185. PN Magetan, Jawa Timur
186. PN Mamuju, Sulawesi Selatan
187. PN Metro, Lampung
188. PN Selayar, Sulawesi Selatan
189. PN Soe, NTT
190. PN Sorong, Papua
191. PN Subang, Jawa Barat
192. PN Sungai Liat, Bangka Belitung
193. PN Tabanan, Bali
194. PN Tanjung Pandan, Bangka Belitung
195. PN Tanjung Pati, Sumatera
196. PN Temanggung, Jawa Tengah
197. PN Tolitoli, Sulawesi Tengah
198. PN Watansoppeng, Sulawesi Selatan
199. PN Wonosari, DI Yogyakarta
200. PN Wonosobo, Jawa Tengah
201. PP Puan Amal Sakienah, Jawa Barat
202. PPAH Cipasung, Jawa Barat
203. PPT RS POLRI Sukanto, DKI Jakarta
204. PT Bandung, Jawa Barat
205. PT Banten, Banten
206. PT Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
207. PT Semarang, Jawa Tengah
208. PT Sumatera Barat, Sumatera Barat
209. Rifka Annisa, DI Yogyakarta
210. RS Bhayangkara Medan, Sumatera Utara
211. RS Bhayangkara Semarang, Jawa Tengah
212. RS Bethesda, DI Yogyakarta
213. RS Bhayangkara Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah
214. RS Bhayangkara Kediri, Jawa Timur
215. RS Bhayangkara Nganjuk, Jawa Timur
216. RS Dr. Sardjito, DI Yogyakarta
217. RS Kota Jogja, DI Yogyakarta
218. RSUD M. Yunus, Bengkulu
219. RSUD Panembahan Senopati, DI Yogyakarta
220. RSUP Fatmawati, DKI Jakarta
221. Rumah Kita, DKI Jakarta
222. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah
223. Sapa Institute, Jawa Barat
224. Savy Amira, Jawa Timur
225. SBMI Jadebotabek, DKI Jakarta
36
37. 226. SPEK HAM, Jawa Tengah
227. SPI Labuhan Batu, Sumatera Utara
228. Suara Nurani Perempuan, DI Yogyakarta
229. UPPA KPP Tj. Priuk, DKI Jakarta
230. UPPA Polda Bali, Bali
231. UPPA Polda Jogja, DI Yogyakarta
232. UPPA Polda Kediri, Jawa Timur
233. UPPA Polda Lampung, Lampung
234. UPPA Polda Metro Jaya, DKI Jakarta
235. UPPA Polda NTB, NTB
236. UPPA Polda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah
237. UPPA Polda Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
238. UPPA Polres Ponorogo, Jawa Timur
239. UPPA Polres Asahan, Sumatera Utara
240. UPPA polres Bangli, Bali
241. UPPA Polres Bantul, DI Yogyakarta
242. UPPA Polres Batu, Jawa Timur
243. UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat
244. UPPA Polres Deli Serdang, Sumatera Utara
245. UPPA Polres Gianyar, Bali
246. UPPA Polres Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
247. UPPA Polres Karang Asem, Bali
248. UPPA Polres Karawang, Jawa Barat
249. UPPA Polres Klungkung, Bali
250. UPPA Polres Kulon Progo, DI Yogyakarta
251. UPPA Polres Labuhan Batu, Sumatera Utara
252. UPPA Polres Lampung Selatan, Lampung
253. UPPA Polres Malang, Jawa Timur
254. UPPA Polres Merangin, Jambi
255. UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur
256. UPPA Polres Nusa Tenggara Barat, NTB
257. UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat
258. UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah
259. UPPA Polres Sikka, NTT
260. UPPA Polres Sukoharjo, Jawa Tengah
261. UPPA Polres Tabanan, Bali
262. UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur
263. UPPA Polres Tuban, Jawa Timur
264. UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur
265. UPPA Polresta Cirebon, Jawa Barat
266. UPPA Polresta Malang, Jawa Timur
267. UPPA Poltabes Bandar Lampung, Lampung
268. UPPA Polwiltabes Madiun, Jawa Timur
269. UPPA Polwiltabes Makassar, Sulawesi Selatan
270. WCC Jombang, Jawa Timur
271. WCC Palembang, Sumatera Selatan
37
38. 272. Yayasan Arikal Mahina, Maluku
273. Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara
38