1. Nama : Yuana Findianti
NIM : 09630031
Penerapan Teknologi Bayi Tabung
Menurut Syariat Islam
Istilah bayi tabung yang dikenal oleh masyarakat pada umumnya, di dunia
kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi in vitro. Fertilisasi in vitro adalah pembuahan
sel telur oleh spermatozoa di luar tubuh. Pada fertilisasi in vitro, sel telur matang yang
dihasilkan oleh sistem reproduksi
istri akan dipertemukan dengan
spermatozoa suami dalam suatu wadah
berisi cairan khusus di laboratorium.
Cairan yang digunakan untuk
merendam serupa dengan cairan yang
terdapat pada tuba faloppi wanita.
Dengan tujuan untuk membuat suasana
pertemuan antara sel telur matang dan speermatozoa senormal mungkin. Dengan
demikian, keaktifan gerak spermatozoa dan kondisi optimal sel telur dapat terjaga.
Teknologi ini digunakan untuk membantu proses reproduksi, yaitu dengan
mengatur terjadinya fertilisasi sel telur oleh spermatozoa di luar tubuh. Teknologi
bantuan reproduksi yang sering digunakan adalah fertilisasi in vitro (bayi tabung).
Adapun proses-proses utama dalam fertilisasi in vitro adalah:
a) Tahap awal dari proses fertilisasi in vitro adalah menyiapkan sel telur dan
spermatozoa untuk tahap fertilisasi di laboratorium. Hal tersebut dimulai dengan
pemberian obat-obat perangsang produksi dan pematangan sel telur wanita serta
pengambilan sperma pria.
2. b) Saat sel telur wanita telah matang, dilakukan pengambilan oleh dokter ahli kesuburan
untuk selanjutnya akan ditempatkan pada sebuah tabung khusus yang steril. Di
isolasi spermatozoa dari sperma pria menghasilkan spermatozoa yang terpisah dari
bahan-bahan yang lain.
c) Tahap berikutnya adalah proses fertilisasi sel telur oleh spermatozoa dalam sebuah
cawan khusus di laboratorim. Embrio yang dihasilkan akan ditumbuhkan hingga
cukup usia pada umumnya 2 sampai 3 hari.
d) Embrio yang telah siap ditanamkan kembali ke dalam rahim ibu oleh dokter embrio
tersebut diharapkan terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi bayi yang pada
akhirnya dilahirkan oleh sang ibu.
Inseminasi adalah suatu teknik untuk membantu spermatozoa pria sampai pada
tempat untuk membuahi sel telur wanita dalam organ organ reproduksi wanita. Pada
inseminasi,, terdapat beberapa tahapan penting yang baik untuk diketahui oleh setiap
pasangan yang akan menjalani teknik tersebut. Tahapan penting tersebut antara lain:
1. Pengumpulan sperma pria.
2. Pemisahan spermatozoa dari bahan-bahan lain yang terkandung dalan sperma
(isolasi).
3. Penempatan spermatozoa pada zat tertentu yang dapat menjaga kelansungan
hidup spermatozoa sementara di luar tubuh pria.
4. Penyuntikan spermatozoa ke dalam rahim wanita
Tujuan dari proses inseminasi adalah menghantarkan spermatozoa lebih dekat
pada tempat terjadinya pertemuan dengan sel telur wanita. Dari tujuan tersebut, dapat
dipahami bhawa keberhasilan inseminasi pada pasangan suami istri inferil tetap
ditentukan oleh kemampuan gerak spermatozoa suami dan kesehatan sistem organ
reproduksi sang istri
Simpulan dari hal yang telah disebutkan sebelumnya adalah teknik tersebut
dipertimbangkan dokter apabila pria masih memilliki spermatozoa yang mampu bergerak
secara aktif, tetapi karena sesuatu hal tidak dapat menembus lendir serviks dan menuju ke
tempat pembuahan sel telur wanita.
3. Pada umumnya , penerapan teknik inseminasi intrauterin juga dibarengi dengan
pemberian obat-obat kesuburan bagi wanita yang akan menjalani penyuntikan
spermatozoa. Obat kesuburan yang biasanya adalah GnRH dan Klomifen sitrat. Tujuan
pemberian obat kesuburan pada wanita adalah agar wanita yang akan menerima suntikan
spermatozoa benar-benar dalam kondisi optimal untuk terjadi kehamilan.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau
masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai
metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat
ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan
ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan
cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh
kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli
kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada
manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma
atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian
disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara
pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam
rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar
memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut
memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al
dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan
darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma
dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan
ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan
landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
4. Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat
tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam
hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat
manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban). Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan
pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum,
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal
dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih
yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari
mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik
maslahah/kebaikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor
sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah.
Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik
keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami
gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar,
antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin
dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan
kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran
sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah
5. tangga.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi
bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-
isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan
keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada,
dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang
merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA
bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak),
sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya
jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian jika upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan
kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk
mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tempatnya yang alami. Kemudian sel telur
yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di
dalam rahim isteri agar terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, sebab
berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan dapat
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak
anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak
alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi
mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami
dengan sel telur isterinya.
Hukumnya haram bila sel telur istri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti”
(surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan
tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur
6. yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram
hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan
sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim
isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan
menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh
ajaran Islam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda ketika turun ayat li’an : “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada
suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan
mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam
surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat
(kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan
perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari
Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya,
atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan
mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui
perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina.
Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi
sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir*, yang
besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).
7. DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, M. Salman.2004. Biologi. Jakarta: Grafindo Media Pratama
An-Nawawi. 2000. Menyelami Makna Pesan-pesan Rasulullah.Yogyakarta: Mitra
Pustaka
Djuwantono, tono, dkk. 2008 Memahami Infertilitas. Bandung: Refika Aditama
Maryanti, Dwi, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Mulia Medika
Zaini, Syahminan. 1980. Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an. Surabaya: PT Bina Ilmu