Artikel ini membahas mengenai perlunya kertas suara pilkada diberi kolom abstain untuk memisahkan suara golput dengan suara tidak sah atau tidak hadir. Golput merupakan bagian dari demokrasi namun sering dicampur dengan faktor lain sehingga jumlahnya sulit ditentukan. Kepala daerah terpilih perlu membuktikan kekhawatiran masyarakat yang memilih golput tidak benar.
1. PERLUKAH KERTAS SUARA PILKADA
DIBERI KOLOM ABSTAIN?
Oleh : Nasrullah Idris
Cara pandang sebagian orang terhadap suara yang
tidak sah, tidak datang ke TPS, dan golput tampaknya
belum beranjak. Secara kultural, mereka cenderung
menganggap ketiganya sebagai sebuah segmen pemilih
yang tidak terklasifikasi. Apalagi pengumuman hasil
pilkada kebanyakan menyangkut prosentase suara yang
sah dari jumlah pemilih yang terdaftar, sehingga wajarlah
bersikap demikian.
Padahal suara yang tidak sah menyangkut kesalahan
mengikuti aturan pencoblosan, sebagaimana yang banyak
2. terjadi pada pilkada yang sudah-sudah. Mereka belum
tentu golput, dalam artian, sengaja melakukannya sebagai
bukti tidak memilih siapa pun. Mereka sudah menentukan
pilihannya, sehingga sedikit banyak muncul rasa kecewa
bila mereka mengatahui bahwa apa yang mereka lakukan
di kamar pencoblosan ternyata keliru.
Sedangkan mereka yang tidak ke TPS, tidak
semuanya golput. Banyak lagi penyebab lainnya, seperti
tidak terdaftar, ada urusan mendadak, harus menunggu
rumah, dalam perjalanan, dan telat datang.
Akhirnya golput itu sendiri mempunyai dua cara dalam
bersikap. Selain tidak datang ke TPS, juga bisa dengan
membuat kertas suaranya tidak sah secara sengaja,
mencoblos semua kontestan atau tidak sama sekali.
Adanya tumpang tindih semua itu tentu menyulitkan
perolehan data golput yang sebenarnya. Paling-paling
KPUD hanya mengemukakan jumlah mereka yang yang
tidak melaksanakan haknya sebagai pemilih dan suara
yang tidak sah. Rasanya belum pernah KPUD
mengumumkan prosentase golput.
Sementara para pejuang demokrasi sering
mengemukakan bahwa golput terintegrasi pula ke dalam
demokrasi. Jadi pemilih berhak menjadikannya sebagai
pilihan alternatif.
Ia pun bagian dari demokrasi, yang bisa dijadikan
referensi bagi para tim sukses dalam menghadapi pilkada
berikutnya. Tetapi ya bagaimana memilah-milahnya bila
sudah bercampur dengan latar belakang non golput.
3. Jelas keliru menyimpulkan semua pemilih yang tidak
ke TPS sebagai golput.
Sementara ada pula sejumlah orang yang memang
pergi ke TPS, malah masuk kamar suara, tetapi kepada
penulis, mereka menyatakan golput, yaitu dengan cara
tidak mencoblos atau mencoblos semuanya. Mereka tetap
datang ke TPS hanya untuk memberi kesan kepada
masyarakat sekitarnya bahwa mereka melaksanakan
tugas sebagai warga yang baik.
Malah seorang teman menulis kata "GOLPUT" pada
kertas suara. Penulis katakan kepadanya, itu sama saja
dengan suara yang tidak sah. Sambil canda, penulis
tanyakan, "Apa akan didengar oleh KPUD?"
Dengan adanya option kolom abstain akan bisa
dibedakan, "mana yang peduli bagi terpilihnya seorang
kepala derah, tetapi tidak ada pilihan yang cocok" dan
"mana yang lupa, bangun kesiangan, masa bodoh, atau
datang ke TPS tetapi salah coblos".
Bagaimana pun banyaknya golput sampai sekarang
tidak mempunyai kekuatan politik. Pasalnya bercampur
dengan sisa kertas suara atau suara tidak sah, yang
kedua-duanya tidak bisa diklaim semuanya sebagai
golput.
Jalan tengah yang mungkin bisa diambil adalah
dengan melakukan survei semacam quick account. Asal
dilakukan secara jujur, tidak bertendensi politik ke mana
pun, benar-benar bersifat ilmiah, dan para pelaksananya
mencerminkan perwakilan semua pendukung calon, tentu
4. hasilnya bisa dijadikan gambaran, berapa persen dari
pemilih menyatakan abstain, serta pengaruhnya terhadap
legitimasi calon yang terpilih.
Hanya yang penulis rasakan, golput masih dianggap
militansi atau warga yang tidak bertanggungjawab.
Padahal golput itu juga bagian dari cara mengungkapkan
pendapat dalam berdemokrasi. Misalkan ada empat calon
kepala daerah. Mungkin saja ada segmen pemilih yang
tidak menyukai semuanya berdasarkan analisa keputusan
dan latar belakangnya masing-masing. Walaupun
berbagai pihak membuka mulutnya lebar-lebar hanya
untuk menghimbau supaya tidak golput, tetapi kalau
keputusan tidak berubah pada hari H nya, kan lucu kalau
dipaksakan. Apalagi bagi mereka yang menentukan
pilihan melalui proses waktu yang tidak sebentar.
Yang penting, bila akhirnya muncul kepala daerah
terpilih, mereka yang golput itu mau tidak mau harus
menerimanya. Sedangkan bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam kampanye, segmen mereka bisa dijadikan bahan
intropeksi atau evaluasi sedemikian rupa, agar jumlahnya
berkurang pada pilkada berikutnya.
Bagaimana pun, kemenangan dalam pilkada yang
melibatkan 60 persen pemilih, misalnya, akan berbeda
maknanya dibandingkan dengan 80 persen persen.
Walaupun secara demokratis, sudah sah, namun nurani
akan berkata lain. Bayangkan saja bila yang golput itu
berasal dari kalangan terdidik, cendekiawan, dan pendidik,
dengan jumlah signifikan. Padahal mereka
5. sesungguhnya merupakan modal untuk diajak kerjasama
di berbagai sektor dalam membangun daerahnya.
Karena itu, kepala daerah yang terpilih perlu
membuktikan bahwa kekhawatiran ini dan itu yang muncul
pada segmen masyarakat yang membuat mereka
berkeputusan untuk tidak mendukung dirinya, termasuk
dalam bentuk golput, adalah keliru atau tidak menjadi
kenyataan.
www.facebook.com/nasrullahidris.0081929784
nasrullah.idris@yahoo.co.id
6. sesungguhnya merupakan modal untuk diajak kerjasama
di berbagai sektor dalam membangun daerahnya.
Karena itu, kepala daerah yang terpilih perlu
membuktikan bahwa kekhawatiran ini dan itu yang muncul
pada segmen masyarakat yang membuat mereka
berkeputusan untuk tidak mendukung dirinya, termasuk
dalam bentuk golput, adalah keliru atau tidak menjadi
kenyataan.
www.facebook.com/nasrullahidris.0081929784
nasrullah.idris@yahoo.co.id