1. Menggelitik Iklan Sosialisasi Pemilu
Oleh
Ayu Widowati Johannes
Tergelitik rasanya ketika melihat iklan tentang sosialisasi pemilu. Dimana seorang anak muda
datang menemui teman-temannya yang lagi nongkrong di taman. Sebelum anak muda itu berkata
sesuatu, ternyata temannya langsung berkata bahwa mereka telah terdaftar dalam DPT pemilu, kemudian
anak muda tersebut antusias menanyakan apakah temannya sudah tahu siapa yang akan mereka pilih?
Namun temannya yang wanita berkata belum tahu karena tidak mengenal siapa yang akan mereka pilih.
Lalu anak muda berkata “tidak kenal maka tidak sayang”, kemudian dia menjelaskan bahwa seharusnya
kita sebagai pemilih dalam pemilu harusnya mengenal siapa yang hendak kita pilih, dia mencontohkan
pula bahwa untuk mengenal nama-nama siapa yang masuk daftar calon anggota legislatif bisa dilihat
melalui berbagai media termasuk melalui media Hp Tablet.
Dari satu sisi, iklan tersebut berguna sebagai wadah pendidikan untuk masyarakat sebagai
pemilih pada pemilu 2014 nantinya. Intinya iklan tersebut bertujuan untuk mendidik agar pemilih
mengenal siapa yang hendak dipilih pada pemilu, sehingga pemilih tidak hanya sekedar memilih partai
tapi juga mengetahui siapa calon anggota legislatif yang akan mereka pilih. Hal ini merupakan bentuk
partisipasi politk masyarakat dalam kegiatan pemilu. Namun di sisi lainnya –dalam pandangan yang
berbeda-, yang membuat saya tergelitik yaitu mengapa masyarakat yang harus di“paksa” untuk
mengetahui siapa-siapa yang akan menjadi calon anggota legislatif baik itu di tingkat DPRD
kabupaten/kota, provinsi maupun DPR. Bukankah Sang Caleg yang seharusnya mendekati masyarakat
agar masyarakat mengenal siapa orangnya dan apa program partainya serta bagaimana track-recordnya,
apakah caleg tersebut dianggap mampu mendengar dan memperhatikan kepentingan masyarakat?.
Para caleglah seharusnya lebih aktif untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Interaksi
caleg kepada masyarakat perlu diperbanyak intensitasnya, dikarenakan bagaimana caleg tersebut dapat
ketahui kemampuannya oleh masyarakat bila kurang berinteraksi langsung kepada masyarakat. Selama ini
bentuk sosialisasi para caleg yang paling umum seperti penyebaran baliho, pamplet, stiker dan baju kaos
di daerah-daerah pemilihannya. Sementara, caleg yang berinteraksi langsung masih kurang, padahal cara
ini lebih efektif dan berguna dibanding cara-cara penyebaran baliho dll.
Keluarnya Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang tata cara kampanye, Senin 9 September
2013, yang membatasi alat peraga seperti baliho dan spanduk semakin memasung caleg-caleg yang
kurang kreatif dalam sosialisasi. Caleg-caleg yang hanya mengandalkan alat peraga akan semakin kalah
bersaing dengan caleg yang langsung berinteraksi dengan masyarakat. Begitu pula bila hanya
mengandalkan bertemu muka saat masa kampanye yang terbatas waktunya. Interaksi pada masa
kampanye pemilu tidak menjamin adanya interaksi timbal balik diantara calon pemilih dan calegnya.
Apalagi bila massa partai yang datang saat masa kampanye didasarkan oleh motif uang, makanan dan
baju kaos.
Masyarakat membutuhkan interaksi langsung untuk mensharing program dan harapan.
Masyarakat membutuhkan kedekatan dan hubungan yang timbal balik secara baik dari caleg maupun dari
partai. Sehingga masyarakat bukan memilih karena mengenal nama orangtua/keluarga sang caleg,
pengusaha besar, bekas pejabat, jawara tapi betul-betul memilih berdasarkan kepercayaannya kepada
Sang Caleg dapat memberikan harapan dan kepentingan yang diinginkan. Partai politik yang ada pun
2. masih memberikan masyarakat harapan-harapan yang semu pada slogannya, baik yang di ucapkan
langsung maupun yang tertera pada baliho, spanduk dll., sehingga tidak terlihat kontrak politiknya kepada
masyarakat yang akan memilihnya. Belum ada caleg/partai yang berani punya janji/kontrak politik jelas
misalkan bila terpilih atau partai x menang akan memperjuangan pembangunan waduk untuk pertanian,
menurunkan harga bbm atau mengupayakan hukuman mati bagi pelaku korupsi dll. Partai-partai Islam
pun belum ada yang berani menjanjikan akan menyelesaikan sengketa syiah, ahmadiyah, dll.
Ada berbagai cara kreatif yang telah ditempuh beberapa caleg yang berhasil untuk berinteraksi
langsung kepada masyarakat calon pemilih agar dapat dikenal seperti; membuat tulisan berupa buku
kemudian mengadakan bedah buku, membuat tulisan pendapat di media cetak, tampil beberapa acara
televisi dan radio, mengadakan atau memfasilitasi kegiatan amal di daerah pemilihan, berkunjung dan
memberikan bantuan ke lokasi banjir, longsor dll, mengadakan acara seni dan olahraga bersama,
membentuk atau bergabung dalam suatu komunitas lokal dan berbagai kegiatan lainnya. Pendanaan
kegiatan interaksi tersebut setara atau tidak terlalu mahal dari pada membuat ribuan baliho atau spanduk,
apalagi bila dengan memberikan uang kepada tim sukses yang belum tentu mau membagikan kepada
masyarakat.
Namun sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk menjadi anggota dewan yang terhormat
namun tidak disertai dengan ketulusan dan niat untuk membangun daerah dan negara semua hanya sia-
sia. Ujung-ujungnya malah menjadi anggota dewan yang tidak terhormat karena terlibat kasus korupsi.
Masyarakat membutuhkan anggota dewan yang mendengar kebutuhan dan kepentingan, sehingga anggota
dewan tersebut dapat mengartikulasikan kepentingan tersebut ke dalam suatu kebijakan baik yang
berbantuk Peraturan Daerah, maupun Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Sang caleglah yang
seharusnya memperkenalkan diri dan visinya melalu interaksi dan sosialisasi kepada masyarakat pemilih,
bukan masyarakat yang harus mengenal calon anggota dewan yang terhormat.