2. Hidup Religius
dan Karisma Apostolik
dalam pemikiran St. Guido Conforti
Uskup Agung Ravenna, Uskup Parma
dan Pendiri Serikat Misionaris Xaverian
SX
3. China adalah negara pertama dan satu-satunya yang dipercayakan
oleh Tahta Suci, untuk menjadi tujuan para Misionaris Xaverian
hingga tahun 50an. Adalah Penyelenggaraan Ilahi yang membuka
cakrawala totalitas perutusan ini ke seluruh dunia, melalui krisis
Boxer di negara ini, sehingga mereka diusir dari sana.
SX
4. • Melihat bahwa perutusan ke luar negeri adalah karakter esensial karisma St.
Guido Conforti, apakah bisa dikatakan bahwa keluarnya para misionaris dari
Cina dan sikap tertutup negara ini merupakan kehancuran karisma misioner
para Misionaris Xaverian? Apakah para misionaris itu merasa menjadi super
hero ketika pergi jauh berkarya di luar negaranya? Apakah para misionaris yang
berkarya di negara asalnya sendiri, tidak bisa disebut sebagai seorang
misionaris?
• Tantangan misi membutuhkan suatu redefinisi baru.
• Presentasi ini tidak bermaksud menjawab segala problematika dalam bermisi,
melainkan memberi pusat perhatian pada inti sari karisma misioner St. Guido
Conforti , agar bisa menemukan implementasi yang tepat dalam menjalankan
misi di milenium ketiga ini.
SX
5. • Realitas misi pada masa St. Guido Conforti, masih diwarnai
dengan ide sangat kuat bahwa identitas misi adalah pergi jauh
dan untuk waktu tidak terbatas. Maka, kepergian seorang
misionaris adalah sebuah perpisahan yang sungguh-sungguh
berpisah. Mereka yang pergi, tidak tahu kapan akan cuti dan
kembali. Sekali pergi… pergi untuk mewartakan Injil sampai akhir
hayat. Dia akan memberikan dirinya secara penuh dan total bagi
pewartaan.
• Tak bisa disangkal bahwa tindakan heroik atas nama pelayanan
dan cinta kepada Allah ini kerap menimbulkan sebuah antitesis
burn-out pastoral. Begitu memberi diri, hingga menjadi lupa akan
keterbatasan diri sendiri.
SX
6. • Beberapa situasi menjadi sebuah
pertimbangan untuk memberikan
definisi tentang misi, seperti
kesinambungan intisari karisma
dengan ungkapan karisma tersebut
dalam konteks aktual, antara tatanan
struktural hirarkis dan kondisi
kehidupan aktual.
• Jebakan terbuka ketika konsep ini
mereduksi misi hanya sebagai sebuah
tindak pergi keluar negeri saja, atau
ketika jati diri seorang misionaris
diidentikkan dengan kehadiran fisik di
luar negeri. Konkritnya, ketika
misionaris itu pulang kampung
karena usia uzur atau sakit, dia
merasa tidak lagi menjadi misionaris!
SX
7. • Pola pikir yang tidak seimbang
ini bisa mengancam
kekosongan interioritas dalam
diri misionaris.
• Bahasa pesimistik ini tidak
bermaksud mencari
pembenaran dibalik krisis misi
atau krisis panggilan misioner
saat ini, tetapi berupaya
menggagas pengalaman mistik
St. Guido Conforti dengan
Yesus Kristus tersalib yang
tetap mendesak kita untuk
mewartakan cinta kasih-Nya
(bdk. 2Kor 5,:14)
SX