Dokumen tersebut membahas tentang financial distress dan corporate turnaround pada perusahaan. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh faktor-faktor seperti severitas, ukuran perusahaan, asset bebas, retrenchment asset, retrenchment beban, dan pergantian CEO terhadap kemampuan corporate turnaround pada perusahaan yang mengalami financial distress. Dokumen ini juga membahas tentang latar belakang masalah financial distress dan corporate turnaround serta tinjauan pustaka terkait topik
1. FINANCIAL DISTRESSDAN CORPORATE TURNAROUND
HENDRA AGUSTINUS H. MARBUN
CHANDRA SITUMEANG
Universitas Negeri Medan
Abstract
The purpose of this study was to test the factors that can influence the
ability of the companies with financial distress tobe able to do Corporate
Turnaround. The factors tested in this study were Severity, Company Size,
Free Assets, Assets Retrenchment, Expenses Retrenchment, and CEO
Turnover. The population of this study was 190 companies of non-financial
group registered in the Indonesian Stock Exchange according to the data of
Factbook BEI 2012, and based on the criteria set, 85 companies were
selected through purposive sampling method to be the samples for this
study. The data obtained were tested through logistic regresion tests. The
result of the logistic regression test showed that the data used in this study
fitted the model, and the result of the regression model feasibility test
revealed that the model used in this study was able to analyze the problems
of this study. Partially, the result of Wald test showed that Company Size,
Free Assets, and Expenses Retrenchment had influence on the ability of the
companies with financial distress to do corporate turnaround, while
Severity, Assets Retrenchment, and CEO Turnover could not influence the
ability of the companies with financial distress to do corporate turnaround.
Simultaneously, the result of G-test showed that all of the variables tested in
this study were able to influence the ability of the companies with financial
distress to do corporate turnaround.
Keywords: Financial Distress, Corporate Turnaround, Severity, and
Logistic.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
1 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
2. PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Saat ini, isu tentang perkembangan perekonomian suatu negara dan hubungannya
dengan kondisi pasar modal negara tersebut merupakan isu yang sangat mendalam
untuk dibahas baik dari sisi praktisi dan teoritis perekonomian negara. Isu ini dilandasi
oleh suatu pandangan kalangan fundamental yang menyatakan bahwa ada hubungan
mendasar antara keadaan perkembangan pasar modal suatu negara dengan kondisi
perkembangan perekonomian negara tersebut (Jogiyanto, 2003). Isu ini juga kemudian
telah didukung oleh berbagai penelitian akademis. Berdasarkan hal diataslah kemudian
para pihak yang terlibat dalam perekonomian negara mulai memandang bagaimana
pentingnya pengembangan pasar modal untuk mendukung perkembangan
perekonomian.
Pasar modal saat ini dikenal sebagai suatu alternatif penanaman modal (dana
lebih) dari sisi pemodal atau investor dan sarana pengambilan kekurangan modal (dana
kurang) dari sisi perusahaan dan institusi. Setiap pihak yang terlibat di pasar modal
tentunya berharap bahwa perdagangan instrumen di pasar modal dapat terlaksana
dengan baik. Mekanisme pasar berjalan dengan teratur dan setiap komponen pasar
modal dapat bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi masalah krisis. Hal ini
mengingat bahwa apabila kondisi pasar modal mengalami penurunan, akan dapat
memberikan dampak terhadap kondisi perekonomian negara. Pernyataan tersebut
bukanlah sesuatu yang diragukan lagi, karena kondisi tersebut sudah tercermin dari
kondisi perekonomian yang terjadi pada beberapa negara seperti Amerika Serikat pada
tahun 2008 dan saat ini di negara Yunani dan Spanyol. Kondisi krisisnya perekonomian
negara tersebut salah satunya dominan didorong dari buruknya kinerja pasar modal
negara tersebut untuk menopang kestabilan pasar dari sisi pemodal dan perusahaan.
Pada kondisi pasar modal yang mengalami gangguan dan krisis tentunya juga
bukan hanya berdampak ke atas yaitu ke perekonomian negara. Dampak lainnya
tentunya akan terjadi ke bawah, dimana akan ada kondisi beberapa perusahaan yang
akan mengalami masalah keungan. Masalah keuangan (berikutnya disebut sebagai
Financial Distress) ini akan menjadi “momok” bagi perusahaan agar tidak terjatuh pada
kondisi tersebut atau apabila sudah terjatuh, kemudian mampu untuk menata kembali
perusahaan sehingga berada pada kondisi yang baik.
Berdasarkan data keuangan perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Indonesia,
didapatkan data seperti pada Tabel 1.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
2 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
3. ===Tabel 1 Disini===
Dari rangkuman data di tabel 1 dapat dinyatakan bahwa, rata-rata 20% dari perusahaan
terdaftar di BEI sepanjang tahun 2001-2011 mengalami ROI negatif dan dapat
dipastikan akan lebih banyak lagi yang mengalami ROI dibawah tingkat keuntungan
bebas risiko. Menurut Francis dan Desai (2005), perusahaan yang memiliki tingkat ROI
yang berada dibawah tingkat keuntungan bebas risiko dan bahkan memiliki ROI
negatif, dapat dikatakan sebagai perusahaan yang sedang mengalami masalah keuangan.
Dari tabel 1 tersebut juga dapat dinyatakan bahwa dari jumlah perusahaan yang
mengalami ROI negatif terdapat 50% nya adalah perusahaan yang berada pada sektoral
non-keuangan. Berdasarkan pengamatan, perusahaan-perusahaan di BEI seringkali
mengalami ROI negatif untuk beberapa waktu dan kemudian dapat menghasilkan ROI
positif di beberapa waktu kemudian. Artinya, beberapa perusahaan di BEI pernah
mengalami masalah financial distress dan kemudian dapat keluar dari masalah tersebut.
Menelusuri faktor-faktor yang dapat membantu perusahaan dalam usaha keluar dari
masalah financial distress, merupakan topik yang menjadi sangat penting untuk diteliti
dalam masalah ini.
Corporate Turnaround merupakan kondisi dimana sebuah perusahaan yang
sedang mengalami financial distress mampu ke luar dan kembali menjadi perusahaan
yang mengalami kondisi keungan yang normal. Isu ini menjadi cukup penting
dikarenakan kondisi pasar modal tidak akan selalu berada pada level ter bawah atau
tidak selalu dalam keadaan krisis. Akan ada masa dimana kondisi pasar modal akan
kembali dan mampu berjalan dengan baik setelah melalui masa krisis. Hal ini juga
tercermin pada pasar modal Indonesia. Berdasarkan data Indeks Harga Saham
Gabungan pasar modal Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini dapat terlihat
bahwa telah terjadi kondisi penurunan kinerja pasar modal pada masa krisis lalu
kemudian sedikit demi sedikit mengalami perbaikan kinerja setelah melalui masa krisis.
Kondisi tersebut dapat di lihat dari gambar1.
===Gambar 1 Disini===
Dari gambar 1 dapat di lihat bahwa kinerja pasar modal yang dapat diwakilkan
pada kondisi IHSG cenderung mengalami kondisi pasang surut. Dari grafik terlihat
bagaimana kondisi pasar modal yang jatuh pada sekitaran tahun 1997-1998 akibat krisis
moneter dan politik di Indonesia. Kemudian setelah itu pasar modal Indonesia
pengalami penataan yang baik sehingga IHSG dapat terangkat naik secara perlahan.
Namun, pada sekitaran tahun 2008-2009 kemudian pasar modal Indonesia terkena
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
3 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
4. dampak dari krisis perkreditan perumahan di Amerika Serikat yang menjalar kemana-
mana. Kondisi ini membuat kinerja pasar modal tertekan dan IHSG jatuh sampai pada
level 1.256,7 poin.
Krisis yang terjadi saat itu tentunya tidak hanya berdampak pada kinerja pasar
modal. Asumsi yang dapat diambil bahwa, perusahaan yang ada pada pasar modal saat
itu juga kemudian diindikasikan mengalami krisis yang kemudian berdampak pada
masalah financial distress. Namun, jika dilihat dari perkembangan pasar modal
kemudian, bahwasanya kinerja pasar modal terus meningkat dan naik, yang kemudian
terus memecahkan rekor IHSG tertinggi sampai pada tahun 2011. Kemampuan IHSG
pasar modal Indonesia yang terus membaik ini tentunya bukan hanya didukung oleh
membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat dan Intervensi kebijakan moneter
dan fiskal dari pemerintah. Keadaan lain yang tentunya sangat mempengaruhi juga dari
sisi semakin membaiknya kinerja perusahaan-perusahaan yang ada di pasar modal
Indonesia. Membaiknya kinerja ini juga sangat didorong dari kestabilan kondisi
keuangan perusahaan-perusahaan tersebut.
Berdasarkan hal yang disampaikan diatas kemudian dapat dinyatakan bahwa
kemampuan corporate turnaround perusahaan-perusahaan yang mengalami financial
distress merupakan isu yang sangat penting saat ini. Faktor-faktor apa saja yang mampu
menopang perusahaan dalam meningkatkan kinerja keuangan dan dapat ke luar dari
masa krisis menjadi sangat penting untuk diketahui sebagai acuan untuk
mempersiapkan diri atas ancaman krisis ataupun membenahi perusahaan pada masa
krisis. Sebagai contoh, ada satu perusahaan di Bursa Efek Indonesia yang sejak tahun
2010 sampai dengan sekarang di suspensi oleh BAPEPAM akibat kinerja yang buruk.
Perusahaan tersebut adalah PT. Central Proteinaprima. Suspensi yang dilakukan
terhadap perusahaan ini salah satunya diakibatkan oleh buruknya kinerja keuangan
perusahaan tersebut.
Financial distress merupakan suatu kondisi dimana hasil arus kas operasi
perusahaan tidak mampu untuk membantu perusahaan dalam melaksanakan setiap
kewajibannya dan tentunya berdampak pada kondisi kinerja perusahaan. Kondisi
financial distress ini tentunya akan dapat terjadi secara berkelanjutan apabila tidak
diikuti antisipasi dari manajemen perusahaan. Tentunya diharapkan bahwa setiap
perusahaan yang mengalami financial distress dapat memperbaiki kinerjanya agar
kondisi krisis dapat dilalui pada level perusahaan, kemudian pasar modal secara
terintegrasi dan pada akhirnya perekonomian secara nasional.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
4 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
5. Kemampuan perusahaan yang telah mengalami financial distress tersebut untuk
kembali memperbaiki kinerjanya setelah masa pernurunan yang disebut sebagai kondisi
corporate turnaround. Kondisi corporate turnaround tentunya terwujud dari aktifitas
kompleks yang terintegrasi baik dari faktor lingkungan perusahaan, sumber daya
internal baik manusia dan keuangan, dan juga strategi perusahaan. Setiap faktor-faktor
yang secara terintegrasi inilah kemudian yang sangat penting untuk diketahui untuk
dapat digunakan perusahaan untuk menghadapi masalah keungan dan krisis.
Penelitian tentang Corporate Turnaround dari perusahaan yang mengalami
financial distress telah pernah dilakukan oleh Smith dan Graves (2005), Francis dan
Desai (2005), dan di Indonesia telah pernah diteliti oleh Chandrawati (2008). Pada
penelitian Smith dan Graves (2005) dibentuk suatu pola proses turnaround perusahaan
dan kemudian beberapa komponen yang ada di dalam pola tersebut dijadikan sebagai
variabel yang mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam melakukan corporate
turnaround setelah mengalami kondisi financial distress. Penelitian Smith dan Graves
(2005) dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek London untuk tahun
pengamatan tahun 1980-1990. Sedangkan, penelitian Francis dan Desai (2005)
menggunakan variabel situasional dan organisasional perusahaan sebagai penentu
kemampuan turnaround perusahaan. Penelitian tersebut menggunakan metode
penentuan corporate turnaround yang berbeda dengan Smith dan Graves (2005).
Francis dan Desai (2005) menggunakan suatu garis waktu yang dibentuk dengan
mengamati garis keuntungan bebas risiko. Penelitian tersebut dilakukan dengan
mengamati perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Standard Industry Clasification
(SIC) di Amerika. Penelitian Chandrawati (2008) merupakan penelitian replikasi penuh
dari penelitian Smith dan Graves (2005). Penelitian ini ingin menggabungkan
pemahaman yang ada pada penelitian Smith dan Graves (2005) dan Francis dan Desai
(2005).
Berdasarkan hal yang telah disampaikan di atas kemudian peneliti merasa sangat
penting untuk dapat melakukan penelitian tentang apa dan bagaimana faktor-faktor yang
mampu mempengaruhi corporate turnaround pada perusahaan yang mengalami
financial ditress di pasar modal Indonesia, sehingga penelitian ini akan diberi judul:
“Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Corporate Turnaround pada
Perusahaan yang Mengalami Financial Distress (Studi Empiris pada perusahaan
Sektoral Keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2011).”
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
5 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
6. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka berikut ini
merupakan tujuan dari penelitian ini: Untuk menganalisi pengaruh simultan dan parsial
faktor severitas, ukuran perusahaan, free assets, assets retrenchment, expenses
retrenchment, Pergantian CEO (CEO Turnover) perusahaan yang mengalami financial
distress terhadap kemampuan corporate turnaround.
TINJAUAN PUSTAKA
Financial Distress
Brigham (2011:871) menyatakan bahwa Financial Distress terjadi apabila
perusahaan mengalami keadaan ketidakmampuan untuk menyelesaikan pembayarannya
dengan tepat waktu atau ketika arus kas dari perusahaan tidak berjalan dengan lancar.
Financial Distress adalah hal yang sangat susah untuk didefenisikan (Ross, 2008:853).
Hal tersebut dia katakan dikarenakan ada banyak alasan yang dapat menyatakan suatu
perusahaan sedang mengalami kondisi penurunan. Namun, Ross (2008:853)
menyatakan Financial Distress merupakan suatu situasi dimana arus kas operasi
perusahaan tidak mencukupi untuk dapat memenuhi kewajibannya (dalam hal ini
kreditur atau beban bunga) dan perusahaan dipaksa untuk mengambil suatu tindakan
perbaikan.
Corporate Turnaround
Bibeault (1982) menyatakan bahwa Corporate Turnaround adalah suatu kondisi
perubahan positif yang mendasar dan berkelanjutan kinerja perusahaan. Dinyatakan
bahwa pada banyak kasus, kondisi turnaround dimulai dari penurunan profitabilitas
untuk beberapa tahun.Pendapat lain menyatakan bahwa Corporate Turaround dapat
dikatakan secara sempit sebagai suatu keadaan pemulihan ekonomi sebuah perusahaan
setelah melalui penurunan yang mengancam. Penurunan tersebut dapat saja terjadi
untuk beberapa tahun yang kemudian ada suatu situasi periode yang cukup pendek yang
akan menempatkan perusahaan dalam keadaan bahaya. Pemulihan yang berhasil, dalam
kebanyakan bentuk lemahnya, melibatkan pertahanan dengan hanya jika performa
ekonomi perusahaan dapat diterima oleh semua pihak-pihak yang terlibat didalam
perusahaan. Pada sisi lain, pada bentuk positifnya, pemulihan perusahaan akan
menuntun perusahaan kepada pencapaian yang berkelanjutan, posisi kompetitif yang
kuat pada wailayah aktivitas yang ditentukannya (Pandit, 2000). Dengan pengertian
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
6 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7. yang sama, Pant (1986) menyatakan bahwa Corporate Turnaround adalah kondisi
sebuah perusahaan yang setelah mengalami periode yang jatuh dan penurunan kinerja
ekonomi kemudian membalikkan keadaan kekayaanya dan menjadi perusahaan sukses
kembali.
Strategi dan Proses Corporate Turnaround
Dalam agenda penelitian yang dilakukan oleh Liou dan Smith (2007)
menyatakan bahwa strategi keberhasilan turnaround pertama sekali diungkapkan oleh
Schendel, Patton, dan Riggs (1976) yang mengkonsentrasikan analisis penyebab
penurunan kinerja perusahaan, mengelompokkan penyebab-penyebab tersebut kepada
apa yang membuat terjadinya penurunan tersebut. Mereka membangun suatu model
turnaround dengan menekankan pentingnya mengidentifikasi dan menilai penyebab
kegagalan operasi dan komponen strategis, dan menekankan bahwa usaha turnaround
yang paling sering dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran pada manajemen
tingkat atas.Setelah itu Hofer (1980), melanjutkan studi tentang strategi turnaround
dengan menekankan pentingnya memperhatikan tingkat, pola, dan kerangka waktu dari
suatu penurunan kinerja pada penelitian turnaround. Hofer menyatakan dalam
kesimpulannya bahwa tipe dari respon perusahaan harus sesuai dengan penyebab awal
dari penurunan kinerja perusahaan, dan menyatakan bahwa severitas dari penurunan
kinerja perusahaan akan dapat dikendalikan ketika pemotongan biaya dapat dilakukan
pada aktivitas operasi, dan lebih jauh lagi pada penurunan aset. Model yang paling baru
yang pernah diteliti, adalah model proses turnaround yang dibentuk oleh Smith dan
Graves (2005). Model yang dikeluarkan merupakan bentuk kompleks dari model-model
yang sebelumnya dikeluarkan.
Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan teoritis penelitian ini, maka dapat
dinyatakan kerangka konseptual dan hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
===Gambar 2 Disini===
Kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola keuangan perusahaan
merupakan isu yang sangat penting dalam konteks pencapaian tujuan perusahaan.
Banyak kondisi dimana perusahaan sebenarnya dengan maksud yang baik dalam
melakukan kebijakan keuangannya, namun terkadang akibat kurangnya pengendalian
dalam kebijakan perusahaan, sering membuat langkah keuangan perusahaan menjadi
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
7 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
8. salah dan berdampak pada kinerja perusahaan. Kondisi dimana perusahaan mengalami
hambatan keuangan yang membuat tidak mampu memenuhi kewajibannya yang jatuh
tempo merupakan suatu masalah keuangan (financial distress). Ketika perusahaan
mengalami masalah keuangan, manajemen dituntut untuk mampu keluar dari masalah
tersebut dan mampu membalikkan keadaan penurunan kinerja sebelumnya. Proses
dimana perusahaan mampu keluar dari keadaan masalah keuangan inilah kemudian
yang dikatakan sebagai corporate turnaround dan menjadi penting untuk mengetahui
faktor apa yang mampu menentukannya.
Severitas dari financial distress merupakan bagaimana tingkat kecenderungan
kekuatan masalah financial distress di perusahaan. Severitas akan mempengaruhi
kemampuan perusahaan dalam melakukan pemulihan keadaan perusahaan untuk keluar
dari kondisi financial distress. Semakin besar kecenderungan perusahaan tidak dapat
keluar dari masa penurunan kinerja atau tidak dapat memotong masa penurunannya
akan semakin membuat severitas dari financial distress yang dialami akan semakin
buruk. Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kecenderungan (Severitas)
kerasnya masalah keuangan atau financial distress perusahaan akan berpengaruh negatif
dengan kemampuan keberhasilan corporate turnaround perusahaan tersebut.
H1 : Severitas dari financial distress berpengaruh negatif terhadap kemampuan
perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate
turnaround.
Ukuran perusahaan merupakan faktor yang dapat mengidentifikasi kemampuan
perusahaan dalam melakukan corporate turnaround setelah melalui masa financial
distress. Pada dasarnya, perusahan berukuran kecil akan lebih mampu untuk dapat
keluar dari kondisi financial distress. Hal ini dikarenakan perusahaan kecil akan lebih
mampu untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi
dibandingkan dengan perusahaan besar. Namun, disisi lain, perusahaan perusahaan pada
dasarnya merupakan perusahaan yang lebih siap untuk menghadapi masalah keuangan.
Perusahaan besar memiliki lebih banyak instrumen yang dapat digunakan untuk
menyelematkan perusahaan dari keadaan financial distress. Instrumen tersebut misalkan
kemampuan perusahaan yang lebih mudah dalam mendapatkan dana yang digunakan
sebagai tindakan penyelamatan perusahaan untuk meningkatkan modal perusahaan.
Sehingga, pada dasarnya kemampuan corporate turnaround cenderung lebih sukses di
perusahaan besar dibandingkan dengan perusahaan kecil.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
8 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
9. H2 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap kemampuan
perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate
turnaround.
Besaran jumlah free assets yang dimiliki oleh perusahaan merupakan salah satu
hal yang sangat menentukan apakah sebuah perusahaan mampu melalui masa corporate
turnaround. Dimana free assets merupakan besarnya aset diluar kewajiban, perusahaan
yang memiliki jumlah yang cukup atas free assets, akan lebih mudah untuk menghindari
kebangkrutan dikarenakan, free assets akan meningkatkan kemampuan mereka dalam
memperoleh tambahan dana yang dibutuhkan untuk membantu perusahaan keluar dari
masalah penurunan kinerja keuangan atau menentukan corporate turnaround. Free
assets yang dimiliki perusahaan akan sangat penting untuk memberikan keyakinan
kepada kreditor bahwa ada jumlah aset yang tersedia untuk dapat membayar
pinjamannya. Sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin besar tingat free assets yang
dimiliki perusahaan akan semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam keberhasilan
corporate turnaround.
H3 : Ketersediaan free assets berpengaruh positif terhadap kemampuan
perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate
turnaround.
Kemampuan keberhasilan corporate turnaround juga dipengaruhi oleh strategi
efisiensi yang dilaksanakan oleh perusahaan. Peningkatan efisiensi merupakan faktor
yang sangat penting dalam melaksanakan turnaround yang berhasil sehubungan dengan
tindakan perusahaan untuk memperbaiki kemampuan perusahaan menghasilkan profit
(profitabilitas) dalam jangka pendek dan memaksa perusahaan untuk mengeluarkan
usaha terbaiknya untuk melakukan strategi efisiensi tersebut. Melalui strategi efisiensi
manajemen dapat melakukan peranan yang sangat penting dalam memenangkan
dukungan dari pemilik saham didalam dukungan dana internal dan manajemen juga
dapat meningkatkan pendanaan eksternal untuk mendanai strategi yang lainnya. Strategi
efisiensi diantaranya adalah dengan melakukan pengurangan aset (assets retrenchment)
dan pengungan biaya dan beban (expenses retrenchment). Pengurangan yang dilakukan
bukan hanya sekedar melakukan pengurangan investasi pada bagian fungsional didalam
perusahaan seperti biaya pemasaran, penelitian dan pengembangan, dan produksi. Akan
tetapi juga merupakan strategi dengan mengurangi investasi dan melikuidasi proyek
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
9 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
10. perusahaan yang tidak memberikan keuntungan. Sehingga, semakin baik strategi
efisiensi yang dilakukan perusahaan baik dari sisi penghematan aset dan penghematan
biaya, akan berdampak pada semakin mampunya perusahaan melakukan corporate
turnaround.
H4 : Assets retrenchment berpengaruh positif terhadap kemampuan perusahaan
yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate turnaround.
H5 : Expenses retrenchment berpengaruh positif terhadap kemampuan
perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate
turnaround.
Iklim organisasional perusahaan merupakan suatu pertimbangan penting dalam
strategi membawa perusahaan keluar dari kondisi financial distress menuju corporate
turnaround. Merubah susunan manajemen tingkat atas merupakan salah satu strategi
dalam mencapai pemulihan keadaan perusahaan. Melakukan pergantian dalam susunan
manajemen tingkat atas perusahaan seperti sebuah tindakan memperbaharui atau menata
ulang pengelolaan manajemen yang diharapkan dapat meningkatkan kembali
kepercayaan pemegang saham perusahaan atas kemampuan perusahaan di masa yang
akan datang. Dengan demikian, pergantian dalam jajaran manajemen tingkat atas akan
memberikan harapan atas kemampuan perusahaan dalam corporate turnaround.
H6 : CEO turnover berpengaruh positif terhadap kemampuan perusahaan yang
mengalami financial distress dalam melakukan corporate turnaround.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan objek penelitian perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam sektoral non-keuangan di Bursa Efek Indonesia. Penentuan sampel
akan dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Penentuan sampel
dengan purposive sampling adalah metode menentukan sampel dengan menentukan
beberapa kriteria yang berkaitan dengan penggunaan penelitian. Berdasarkan metode
yang dirujuk dari penelitian yang dilakukan oleh Francis dan Desai (2006:1209), maka
kriteria yang akan digunakan dalam menentukan sampel adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan yang dimaksud merupakan perusahaan yang terdaftar sejak tahun 2001
sampai dengan 2011, tidak delisting, dan sahamnya aktif diperdagangkan di pasar
modal Indonesia.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
10 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
11. 2. Perusahaan mengalami nilai ROI dibawah suku bunga bebas resiko paling tidak 3
tahun berturut-turut sejak tahun 2003 sampai dengan 2005.
Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel
Variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini merupakan proxy dari variabel-
variabel keuangan yang membutuhkan keakuratan dalam pengukuran pengujiannya.
Beberapa variabel bebas atau independen yang digunakan dalam penelitian ini juga
akan merujuk kepada garis waktu ini dalam menentukan nilai setiap variabel X tersebut.
Gambaran dari garis waktu yang akan digunakan disajikan dalam gambar 3.
===Gambar 3 Disini===
Menentukan perusahaan yang mengalami financial distress dan berhasil dalam
corporate turnaround akan dilakukan dengan mengamati perbandingan ROI dengan
tingkat keuntungan bebas risiko (Francis dan Desai, 2005). Tingkat keuntungan bebas
risiko akan ditetapkan dengan mengambil rata-rata tingkat suku bunga Bank Indonesia
sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2011. Bagi perusahaan yang mengalami paling
tidak selama 3 tahun (time 2) mengalami keadaan ROI dibawah tingkat keuntungan
bebas risiko, dinyatakan sebagai perusahaan yang mengalami financial distress.
Perusahaan yang mampu menghasilkan ROI kembali diatas tingkat keuntungan bebas
risiko selama paling tidak 3 tahun dari total 6 tahun masa pemulihan, dinyatakan
sebagai perusahaan yang mampu melakukan corporate turnaround. Dan perusahaan
yang tidak mampu meningkatkan kinerja akan dinyatakan sebagai perusahaan yang
gagal melakukan corporate turnaround. Variabel independen dari penelitian ini ada
sebanyak 6 variabel. Variabel independen yang pertama adalah Severity, variabel ini
mengukur tingkat keparahan masalah keuangan dari suatu perusahaan. Variabel ini
diukur dengan menggunakan nilai diskriminan Altman. Severity akan diukur dengan
menentukan nilai Z-score Altman pada posisi time-2. Variabel yang kedua merupakan
Size (Ukuran Perusahaan). Variabel ini mengukur posisi perusahaan pada saat
mengalami keuangan. Posisi yang dimaksud disini adalah posisi kemapanan perusahaan
yang diukur dari besaran aset dan kemampuan perusahaan dalam melakukan penjualan.
Penjumlahan dari kedua item tersebut kemudian dikomputasi dengan instrumen
logaritma natural. Variabel independen yang keempat adalah Free Assets. Free Assets
adalah ukuran aset perusahaan yang tidak merupakan jaminan atas utang perusahaan.
Variabel ini diukur dengan menggunakan instrument organizational slack yang
dikemukakan oleh Francis dan Desai (2005). Free Assets akan ditentukan nilainya
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
11 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
12. dengan menghitungan nilai satu dikurangkan dengan perbandingan Total Hutang
dengan Total Aset.
Variabel independen yang keempat dan kelima adalah Assets Retrenchment dan
Expenses Retrenchment. Kedua variabel merupakan ukuran efisiensi yang dilakukan
perusahaan dengan memberhentikan setiap aset dan beban yang tidak memberikan
pendapatan sama sekali bagi perusahaan atau menghentikan proyek yang tidak
menguntungkan bagi perusahaan. Nilai Assets Retrenchment dan Expenses
Retrenchment akan diukur dengan membagikan nilai aset dan beban pada time-3
dengan nilai aset dan beban pada time-2 lalu dikurang dengan 1. Variabel independen
yang terakhir adalah CEO turnover. Variabel CEO turnover ini menilai apakah ada
pergantian presiden direktur pada masa pengamatan penelitian ini. Variabel ini adalah
variabel kategorik (dummy). Apabila terjadi pergantian CEO, maka variabel ini akan
diberikan nilai 1 dan jika tidak terjadi pergantian akan diberikan nilai 0. Adapun definisi
operasional dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam
tabel 2.
===Tabel 2 Disini===
Metode Analisis Data
Penelitian ini memiliki variabel terikat yang bersifat kategorik atau dummy.
Dengan demikian, analisis yang paling sesuai yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah Analisis Regresi Logistik yang memang dibentuk untuk pengujian model regresi
yang bersifat kategorik variabel terikatnya. Pengujian regresi logistik akan
menggunakan pengujian asumsi klasik yaitu pengujian model fit dan kelayakan model
regresi terlebihdahulu lalu kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan
menggunakan nilai uji wald dan uji G pada tabel omnibus test output pengujiannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunkan objek perusahaan sektor non-keuangan di Bursa Efek
Indonesia. Sampel ditentukan dengan menggukan metode purposive sampling. Berikut
ini merupakan penjelasan dari penentuan sampel dari penelitian ini:
===Tabel 3 Disini===
Berdasarkan tabel diatas, dinyatakan bahwa sampel yang menjadi objek
penelitian ini (observasi) sebanyak 85 perusahaan. Populasi dikurangi atas setiap objek
yang tidak dapat mendukung hasil penelitian seperti yang dijelaskan pada tabel diatas.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
12 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
13. Pengujian Model Penelitian
Pengujian Model Fit (Overall Model Fit Test)
Pengujian ini dilakukan dengan mengamati nilai –2 Log Likelihood Block 0 /
Step 0(awal) dengan –2 Log Likelihood Block 1/ Step 1(akhir) pada output pengujian
regresi logistik penelitian ini. Berikut ini merupakan hasil dari pengujian –2 Log
LikelihoodBlock 0 dan Block 1:
===Tabel 4 Disini===
Pengujian ini mensyaratkan bahwa, apabila terjadi penurunan nilai dari –2 Log
Likelihooddari Block 0 atau tahap awal ke Block 1 atau tahap akhir, maka model
penelitian ini fit dengan datanya. Menurut Ghozali (2005), penurunan nilai -2 log
likelihood menunjukkan bahwa model penelitian ini dinyatakan fit. Artinya,
penambahan variabel-variabel bebas yaitu Severitas, Ukuran Perusahaan, Free Assets,
Assets Retrenchment, Expenses Retrenchment, dan CEO Turnoverke dalam model
penelitian akan memperbaiki model fit penelitian ini. Berdasarkan tabel 4 dapat
dinyatakan bahwa pengamatan nilai -2 log likelihood pada block 0 iteration 1 adalah
sebesar 106,287. Nilai tersebut terus menurun sampai pada nilai -2 log likelihood block
1 iteration 6 menjadi sebesar 87,363. Dengan adanya penurunan tersebut, sehingga
dapat dinyatakan bahwa data penelitian ini memenuhi asumsi model fit.
Pengujian Kelayakan Model Regresi
Selain memenuhi asumsi model fit, penelitian yang menggunakan analisis
regresi logistik juga harus memenuhi asumsi kelayakan model regresi. Asumsi ini diuji
dengan mengamati nilai Hosmer and Lemeshow test dan Contingency Table for Hosmer
and Lemeshow Test yang didapatkan dalam output pengolahan regresi logistik.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut didapatkan bahwa nilai signifikansi dari Chi
Square Hosmer and Lemeshow test adalah sebesar 0,968 atau dapat dinyatakan lebih
besar dari 0,05. Menurut Ghozali (2005), apabila nilai signifikansi diatas 0,05, maka
hipotesis nol yang ada pada penelitian tidak dapat ditolak, artinya model penelitian
mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima
karena cocok dengan data observasinya. Hal tersebut juga diperkuat dengan mengamati
nilai Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test. Dari tabel tersebut dapat
dilihat bahwa dalam setiap pengamatan baik untuk grup perusahaan yang mampu
melakukan corporate turnaround dan yang tidak mampu melakukan corporate
turnaround baik nilai observasi dan nilai ekspektasinya tidak berbeda jauh.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
13 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
14. Pengujian Hipotesis
Pengujian regresi logistik dilakukan dengan menggunakan alat bantu software
pengolahan data statistik. Hasil dari pengujian regresi logistik didasarkan pada nilai
yang diperlukan berkaitan dengan penelitian ini, disajikan dalam tabel5.
===Tabel 5 Disini===
Tabel 5 menunjukkan beberapa nilai yang penting untuk digunakan dan dibahas
dalam mendapatkan hasil pengujian regresi logistik. Nilai B merupakan koefisien dari
pembentukan model regresi logistik. Nilai Wald merupakan nilai yang sama seperti t-
hitung pada pengujian regresi linear berganda. Negelkerke R2
merupakan pengganti
nilai R2
yang setara seperti pada regresi linear berganda dan Chi Square merupakan
nilai F-hitung seperti yang ada pada pengujian regresi linear berganda.
Pengujian Variabel Secara Parsial ( Uji Wald)
Pengujian ini dilakukan dengan mengamati nilai signifikansi pada tabel yang
berjudul Variable in The Equation pada block 1 hasil pengujian regresi logistik seperti
yang ditampilkan pada Tabel 5 di atas. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa dari
enam variabel bebas yang menjadi penguji dalam penelitian ini, hanya ada 3 variabel
yang dapat dinyatakan memiliki pengaruh terhadap kemampuan perusahaan yang
mengalami Financial Distress dalam melakukan Corporate Turnaround. Hal tersebut
didasarkan pada nilai signifikansi Uji Wald untuk dua variabel tersebut berada lebih
kecil dari 5% (< 0,05) dan satu variabel tersebut berada lebih kecil dari 10% (< 0,1),
yaitu batas tertinggi tingkat kesalahan pada penelitian sosial (Non-Eksakta). Ketiga
variabel tersebut adalah variabel Ukuran Perusahaan (SIZE) dengan nilai uji Wald
sebesar 4,484 dan tingkat signifikansi sebesar 0,034 (0,034 < 0,05), Expense
Retrenchment (ER) dengan nilai Uji Wald sebesar 5,011 dan signifikansi sebesar 0,025
(0,025 < 0,05), dan yang terakhir adalah Free Assets (FA) dengan nilai Uji Wald
sebesar 2,949 dan siginfikansi sebesar 0,086 (0,086 < 0,100).
Pengujian Model/Simultan (Uji G)
Pengujian model atau pengujian setiap variabel bebas atau independen secara
sekaligus, pada regresi logistik dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square atau
yang sering disebut sebagai Uji G. Uji tersebut merupakan uji yang sama seperti pada
pengujian nilai F di regresi linear berganda. Hasil dari pengujian Chi Square dapat
dilihat pada tabel Omnibus Test Of Model pada hasil luaran pengujian regresi logistik
data penelitian.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
14 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
15. Berdasarkan pengujian yang dilakuka didapatkan nilai Chi Square sebesar
18,901 dengan tingkat signifikansi model sebesar 0,004 yang berarti lebih kecil dari
tingkat kesalahan sebesar 5% (0,004 < 0,05). Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa secara simultan (model) variabel Severitas (SEV), Ukuran Perusahaan (SIZE),
Free Assets (FA), Assets Retrenchment (AR), Expenses Retrenchment (ER), dan CEO
Turnover (CEO) mempengaruhi kemampuan perusahaan yang sedang mengalami
financial distress dalam melakukan corporate turnaround.
Koefisien Determinasi
Apabila dalam pengujian regresi linear berganda untuk menentukan besarnya
variabilitas dari variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan nilai R2
sebagai
koefisien determinasi. Maka, pada pengujian regresi logistik digunakan nilai
Negelkerke R2
sebagai pengganti yang sesuai dengan R2
pada regresi linear berganda.
Berdasarkan Tabel 5.4 didapatkan dari pengujian bahwa nilai Negelkerke R2
adalah
sebesar 27,9%. Hasil tersebut menyatakan bahwa variabilitas dari setiap variabel bebas
yang diuji dalam penelitian ini terhadap variabel terikatnya adalah sebesar 27,9%.
Pembentukan Model Regresi Logistik
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, seperti yang telah disajikan dalam
tabel 5.4, maka model dari regresi logistik penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝐥𝐥 𝐥𝐥
𝒑𝒑
𝟏𝟏 − 𝒑𝒑
= −𝟓𝟓, 𝟖𝟖𝟖𝟖𝟖𝟖 − 𝟎𝟎, 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏 + 𝟎𝟎, 𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒𝟒 + 𝟎𝟎, 𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎 − 𝟎𝟎, 𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐𝟐
+ 𝟎𝟎, 𝟖𝟖𝟖𝟖𝟖𝟖 𝑬𝑬𝑬𝑬 − 𝟎𝟎, 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏
Pembahasan
Ukuran perusahaan berpengaruh secara positif terhadap kemampuan perusahaan
yang mengalami masalah keuangan dalam melakukan corporate turnaround dengan
tingkat signifikansi 5%. Hasil ini menjawab dan menerima hipotesis penelitian ini.
Artinya, semakin besar ukuran perusahaan yang diukur dari besaran Asetnya, dapat
mendukung kemampuan perusahaan yang mengalami financial distress dalam
melakukan aksi corporate turnaround. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang
diapatkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Graves (2005), Zeni dan
Ameer (2010) dan Pant (1986), namun tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh Francis
dan Desai (2005). Hasil ini menerima dan mendukung hipotesis kedua penelitian ini.
Variabel kedua yang berpengaruh adalah Expenses Retrenchment. Variabel ini
merupakan pengukuran tindakan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan yang dalam
keadaan masalah keuangan. Expenses Retrenchment berpengaruh secara positif dengan
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
15 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
16. tingkat signifikansi sebesar 5%. Hal ini dapat menyatakan bahwa kemampuan
perusahaan dalam mengelola efisiensi perusahaannya dengan menekan beban-beban
yang tidak berguna untuk operasi perusahaan dapat mendukung kemampuan perusahaan
yang dalam keadaan financial distress dalam melakukan corporate turnaround. Hasil
dari pengujian ini hanya sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Francis dan
Desai (2005), sedangkan pada penelitian Smith dan Graves (2005) dinyatakan bahwa
Expenses Retrenchment tidak dapat mempengaruhi kemampuan corporate turnaround.
Hasil ini menerima dan mendukung hipotesis kelima penelitian ini.
Variabel yang terakhir yang dinyatakan berpengaruh terhadap kemampuan
corporate turnaround adalah besaran Free Assets yang dimiliki oleh perusahaan yang
mengalami masalah financial distress. Variabel ini diukur dengan menggunakan nilai
organizational slack, yaitu menilai besaran aset yang tidak menjadi jaminan atas utang.
Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa besaran Free Assets berpengaruh positif
terhadap kemampuan perusahaan yang mengalami masalah keuangan dalam melakukan
corporate turaround. Namun, variabel ini secara bijaksana dinilai pada tingkat
signifikansi kesalahan sebesar 10%. Hal tersebut dilakukan karena untuk penelitian
sosial dapat menetapkan batas kesalahannya sampa pada tingkat 10%. Dengan demikian
dapat diartikan bahwa semakin besar tersedianya Free Assets yang dimiliki perusahaan
untuk digunakan sebagai sumber daya dalam peningkatan kemampuan operasional
perusahaan semakin besar kemampuan perusahaan yang dalam keadaan financial
distress untuk melakukan corporate turnaround. Hasil ini hanya sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Francis dan Desai (2005). Sedangkan pada penelitian
Smith dan Graves (2005) dan Zeni dan Ameer (2010) variabel ini dinyatakan tidak
berpengaruh pada kemampuan corporate turnaround. Hasil ini mendukung dan
menerima hipotesis ketiga penelitian ini.
Variabel lain yang diuji dalam penelitian ini, berdasarkan hasil pengujian regresi
logistiknya tidak berpengaruh terhadap kemampuan corporate turnaround perusahaan
yang mengalami financial distress. Variabel tersebut adalah Severitas, Assets
Retrenchment, dan CEO Turnover. Severitas perusahaan adalah pengukuran tingkat
keparahan kondisi masalah keuangan perusahaan pada saat masa penurunan kinerjanya.
Variabel ini berdasarkan pengujian tidak berpengaruh. Hasil tersebut tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Graves (2005), Francis dan Desai
(2005), dan Zeni dan Ameer (2010). Hal ini berdasarkan kerangka konsep dan teori
tidak sesuai. Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh kondisi bisnis yang ada di
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
16 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
17. Indonesia yang cenderung sangat mendukung perusahaan-perusahaan yang sedang
dalam masalah keuangan. Pada sekitaran tahun pengamatan penelitian ini belum
terbentuk otoritas yang bekerja penuh dan terkonsentrasi dalam pengawasan
pengelolaan keuangan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia seperti Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) saat ini. Hal tersebut membuat kecenderungan tanpa menilai
tingkat keparahan kondisi keuangan perusahaan yang mengalami financial distress
seringkali perusahaan-perusahaan jasa pembiayaan dan keuangan memberikan bantuan
kepada perusahaan yang bermasalah untuk menyelamatkan operasi perusahaannya,
yang kemudian dapat kembali atau melakukan corporate turnaround.
Assets Retrenchment tidak berpengaruh terhadap kemampuan corporate
turnaround perusahaan-perusahaan yang mengalami financial distress berdasarkan
penelitian ini. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith dan graves
(2005) dan Francis dan Desai (2005). Hasil ini tidak dapat menerima kerangka
konseptual dan hipotesis keempat penelitian ini. Hal ini dapat dikaitkan dengan hasil
lain yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan yang diukur dari besaran aset tidak
mampu mempengaruhi corporate turnaround perusahaan yang sedang dalam masalah
keuangan. Artinya, perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung enggan untuk
melakukan pengurangan nilai aset secara signifikan walaupun dengan alasan efisiensi.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin lebih menerima proses pengurangan
jumlah beban yang pada penelitian ini memang didapatkan berpengaruh terhadap
kemampuan corporater turnaround. Hal tersebut juga dapat didukung dengan alasan
bahwa banyak perusahaan di Indonesia memang dibentuk sebagai bagian dari
perusahaan dari hulu sampai hilir. Artinya, perusahaan bukanlah sebagai pusat
pendapatan atau dalam istilah akuntansi manajemen sebagai sarana untuk perusahaan
dalam melakukan transfer pricing untuk tujuan manajemen biaya perusahaan induknya.
Dalam hal ini banyak perusahaan diperlakukan sebagai pusat produksi, sehingga
mengurangi aset merupakan suatu langkah yang tidak diinginkan atau tidak menjadi
solusi.
Variabel lain yang tidak berpengaruh adalah CEO turnover. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Graves (2005) dan Zeni dan Ameer
(2010). Dengan demikian dapat diartikan bahwa pergantian Presiden Direktur pada
perusahaan-perusahaan yang mengalami financial distress di Indonesia tidak mampu
mendukung kemampuan corporate turnaround. Hal tersebut mungkin saja dapat
diakibatkan oleh kebiasaan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menggunakan
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
17 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
18. CEO yang sama pada rentang waktu yang sangat lama. Berdasarkan pengamatan data
dari penelitian ini, cenderung perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan satu
orang CEO pada waktu yang lama, bahkan terkadang ada kondisi seorang CEO yang
sudah keluar kemudian memimpin kembali diperusahaan tersebut. Hal ini membuat
bahwa CEO bukanlah faktor yang mengakibatkan perusahaan mengalami kondisi
financial distress, sehingga bukanlah menjadi faktor yang dapat mendukung
kemampuan perusahaan dalam melakukan corporate turnaround.
Berdasarkan pengujian model atau seluruh variabel penelitian ini secara
bersama-sama, didapatkan hasil bahwa seluruh variabel penelitian ini yaitu Severitas,
Ukuran Perusahaan, Free Assets, Assets Retrenchment, Expenses Retrenchment, dan
CEO turnover secara bersama-sama berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan yang
dalam kondisi financial distress untuk melakukan corporate turnaround. Hasil ini
didukung oleh tingkat variabilitas pada nilai Negelkerke R2
sebesar 27,9%. Nilai
variabilitas tersebut dinggap cukup tinggi, artinya dapat dinyatakan bahwa keenam
variabel yang diuji dalam penelitian ini patut untuk dipertimbangkan dalam menilai
kemampuan perusahaan keluar dari keadaan financial distress dan melakukan corporate
turnaround.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat dinyatakan
beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: Severitas, Ukuran Perusahaan, Free
Assets, Assets Retrenchment, Expenses Retrenchment, dan CEO Turnover secara
bersama-sama berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan yang mengalami financial
distress dalam melakukan corporate turnaround.Ukuran Perusahaan, Expenses
Retrenchment, dan Free Assets berpengaruh secara parsial terhadap kemampuan
perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate turnaround.
Severitas, Assets Retrenchment, dan CEO Turnover tidak berpengaruh parsial terhadap
kemampuan perusahaan yang mengalami financial distress dalam melakukan corporate
turnaround.
Untuk mendukung peningkatan penelitian dengan topik ini di masa yang akan datang,
maka dapat dinyatakan beberapa saran yang akan mendukung peneliti berikutnya, yaitu:
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan pengujian diskriminan dengan menghindari
kemungkinan normalitas data yang tidak terpenuhi. Penelitian selanjutnya dapat lebih
menambahkan variabel-variabel lain yang lebih dekat pada konteks organisasional
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
18 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
19. perusahaan. Bukan hanya fundamental perusahaan, seperti Good Corporate Governance
(GCG), Ukuran Karyawan Perusahaan, dan Ukuran Produktivitas Modal Perusahaan.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
19 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
20. Daftar Pustaka
Almilia L. S., dan Emanuel K. 2003. Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi
Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Vol. 7 No. 2.
Altman E. I. 2000. Predicting Financial Distress of Companies Revisiting The Z-Score
And Zeta Models. Journal of Banking & Finance.
Bibeault, D., (1982) Corporate Turnaround: How Managers Turn Losers Into
Winners, McGrawHill, New York.
Brigham, E. F. dan Eirhardt, M. C. 2011. Corporate Finance: A focused Approach.
Edisi Keempat. South-Western. Cangage Learning. Natorp Boulevard.
Candrawati A. 2008. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
turnaround pada perusahaan yang mengalami financial distress. Tesis.
Universitas Diponegoro.
Elloumi, F. dan Gueyie, J. P. 2001. Financial distress and Corporate Governance: An
Emperical Analysis. Corporate Governance. Vol 1. Hal. 15-23.
Francis J. D. dan Desai A. B. 2005. Situasional and Organizational determinants of
turnaround. Management Decision. Vol. 43. Hal. 1203.
Ghozali, I. 2005. Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Edisi ketiga. Badan
Penerbit UNDIP. Semarang.
Guangyu Wan, Y. C., dan Fuqiang W. 2011. Predicting Financial Distress of Chinese
Listed Companies Using Rough Set Theory and Support Vector Machine. Asia-
Pacific Journal of Operational Research. Vol. 28. Hal. 95-109.
Gudono, 2011. Analisis Data Multivariat. Edisi Pertama. BPFE-Yogyakarta.
Yogyakarta.
Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Mac Grow-Hill
International Editions, Singapore.
Hofer, C.W., (1980) “Turnaround Strategies”, Journal of Business Strategy, Vol. 1,
Issue 1, Hal. 19–31.
Jogiyanto, S.H.2003. Teori Portofolio dan Analisa Investasi. Yogyakarta: BPFE.
Kuncoro, M. (2009), Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi Bagaimana Meneliti
dan Menulis Tesis?, Edisi Ketiga, Erlangga, Jakarta.
Kuncoro, M., 2001. Metode Kuantitatif- Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan
Ekonomi. Edisi Pertama. UPP AMP-YKPN. Yogyakarta.
Liou, D. K. dan Smith, M. 2007. Financial Distress and corporate turnaround: A Review
of The Literature and Agenda for Research. Accounting, Accountability &
Performance. Vol. 13. Hal. 1.
Lubis, A. F., 2012. Metode Penelitian Akuntansi dan Format Penulisan Tesis. Usu
Press. Medan
Makgeta, M. 2010. Turnaround Determinants of Distressed Firms Funded by The
Industrial Development Corporation. Disertasi. University of Pretoria.
Malcolm, S. W. 2007. Corporate Turnaround Strategies for IT Firms: An Emperical
Investigation. Disertasi. Nova Southwestern University.
Maulana H. 2010. Prediksi Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur
Menggunakan Rasio Altman. Tesis. STIE Perbanas. Jakarta.
Monti, N. E., dan Roberto, M.N. 2010. A statistical Analysis to Predict Financial
Distress. J. Service Science & Management. Vol. 3. Hal. 309-335
O’Neill, H.M., (1986) “Turnaround and Recovery: What Strategy Do You Need?”,
Long Range Planning, Vol. 19, Hal. 80–88.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
20 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
21. Pandit, N. R. 2000. Some Recommendation For Improved Research on Corporate
Turnaround. M@n@gement. Vol. 3. Hal 31-56.
Pant, L. W. 1986. The Determinant of Corporate Turnaround. Disertation. Boston
University.
Ross, S. A., Wasterfield, R. W., dan Jaffe, J. 2008. Corporate Finance. Edisi
Kedelapan. McGraw-Hill Irwin. New York.
Schendel, D.E., Patton, G.R. dan J. Riggs, (1976) “Corporate Turnaround Strategies: A
Study of Profit Decline and Recovery”, Journal of General Management, Vol.
3, Hal. 3–11.
Smith M. dan Graves C. 2005. Corporate Turnaround and Financial Distress.
Managerial Auditing Journal. Vol. 20. Hal. 304.
Widarjo W. dan Setiawan E. 2009. Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap ondisi
Financial Distress Perusahaan Otomotif. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 11.
Hal. 107-119.
Zeni, S. M. dan Ameer, R., 2010. Turnaround prediction of Distressed Companies:
Evidence From Malaysia. Journal of Financial Reporting and Accounting. Vol. 8. Hal.
143-159.
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
21 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
22. APPENDIX
Tabel 1. Data ROI Emiten di BEI
Tahun
Emiten
ROI
Negatif
(Seluruh
Emiten
di BEI)
Emiten
BEI
yang
Tedaftar
%
Emiten
ROI
Negatif
Emiten
ROI
Negatif
(Sektoral
Non-
Keuangan)
Emiten
Sektoral
Non-
Keuangan
di BEI
yang
Tedaftar
%
Emiten
Yang
ROI
Negatif
Proporsi
Emiten
Manufaktur
Yang ROI
Negatif (Atas
Keseluruhan)
2001 78 272 28.68 46 130 35.38 58.97
2002 62 280 22.14 30 130 23.08 48.39
2003 70 292 23.97 43 133 32.33 61.43
2004 85 301 28.24 45 134 33.58 52.94
2005 75 310 24.19 35 137 25.55 46.67
2006 61 343 17.78 34 147 23.13 55.74
2007 48 343 13.99 24 147 16.33 50.00
2008 76 343 22.16 34 147 23.13 44.74
2009 72 439 16.40 34 181 18.78 47.22
2010 64 435 14.71 31 180 17.22 48.44
2011 67 435 15.40 31 180 17.22 46.27
Tabel 2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Definisi
Operasional
Parameter Skala
Corporate
Turnaround
(Y)
Perusahaan yang
setelah mengalami
masalah financial
distress pada jangka
waktu beberapa
tahun (penelitian ini
menggunakan dasar
3 tahun mengalami
ROI dibawah
tingkat keuntungan
bebas risiko),
kemudian
melakukan tindakan
korporasi sehingga
dapat keluar dari
kondisi
keterpurukan.
Pengukuran variabel ini mengacu
kepada garis waktu penetuan
corporate turnaround penelitian yang
dilakukan oleh Francis dan Desai
(2006).
Variabel ini merupakan variabel
kategorik yang akan dibagi pada dua
kategori.
“0” : Bagi perusahaan yang gagal
melakukan corporate turnaround.
“1” : Bagi Perusahaan yang sukses
melakukan corporater turnaround.
Dummy
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
22 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
23. Variabel Definisi
Operasional
Parameter Skala
Severity
(X1)
Kecenderungan
keparahan
kegagalan atau
hambatan keuangan
perusahaan yang
mengalami financial
distress.
Altman Z-score pada time-2
Z = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 +
0.420T4 + 0.998T5
T1 = (Aset Lancar – Hutang Lancar) /
Total Assets
T2 = Laba Ditahan / Total Aset
T3 = Laba Bersih Sebelum Pajak /
Total Aset
T4 = Ekuitas / Total Hutang
T5 = Penjualan/ Total Aset
Rasio
Size (X2) Penilaian
kapitalisasi
perusahaan.
Mengukur besarnya
aktiva perusahaan
untuk operasional
perusahaan.
Variabel ini diukur dengan Logaritma
Natural dari Total Aset ditambah
Total Penjualan (Francis dan Desai,
2005). Pengamatan dilakukan pada
time-1.
Rasio
Free Assets
(X3)
Besarnya aset yang
bisa segera
digunakan oleh
perusahaan baik
sebagai collateral
untuk mendapatkan
dana segar
perusahaan ataupun
untuk melanjutkan
pengelolaan operasi
perusahaan.
𝐹𝐹𝐹𝐹 = �1 −
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴
� 𝑥𝑥100%
Besarnya free assets yang digunakan
adalah yang dimiliki perusahaan pada
time-2.
Rasio
Assets
Retrenchment
(X4)
Merupakan sebuah
tindakan
restrukturisasi
operasi perusahaan.
Tindakan ini
ditandai dengan
pengurangan jumlah
aset perusahaan.
Assets Retrenchment diukur dengan
mengurangkan besarnya aset
perusahaan pada garis waktu 3 dibagi
dengan aset pada garis waktu 2
didalam garis waktu penetuan
keberhasilan corporate turnaround
perusahaan kemudian dikurangkan 1.
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡ℎ𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
=
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑡𝑡 − 3
𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑡𝑡 − 2
− 1
Rasio
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
23 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
24. Variabel Definisi
Operasional
Parameter Skala
Expenses
Retrenchment
(X5)
Suatu tindakan
penghematan
operasi yang
dilakukan dalam
perusahaan, untuk
mendukung proses
corporate
turnaround
perushaan.
Expenses Retrenchment diukur
dengan mengurangkan besarnya
beban perusahaan pada garis waktu 3
dibagi dengan dengan beban pada
garis waktu 2 didalam garis waktu
penetuan keberhasilan corporate
turnaround perusahaan, kemudian
dikurangkan satu.
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒
=
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑡𝑡 − 3
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑡𝑡 − 2
− 1
Rasio
CEO
turnover
(X6)
Tindakan perubahan
organisasional
perusahaan dengan
menggati pimpinan
manajemen dalam
usaha merubah
haluan pengelolaan
keuangan
perusahaan.
Variabel ini merupakan pengukuran
kategorik dengan menetapkan:
“0” : Apabila tidak terjadi pergantian
CEO.
“1” : Apabila terjadi pergantian CEO.
Dummy
Tabel 3. Penentuan Sampel
No Keterangan Jumlah
Sampel
1 Perusahaan-perusahaan yang terdaftar sebagai perusahaan
sektor non-keuangan dan yang aktif di BEI menurut data tahun
2012. (Factbook BEI 2012)
190
2 Perusahaan yang belum terdaftar sejak tahun 2001 (60)
3 Perusahaan tidak mengalami nilai ROI dibawah tingkat
keuntungan bebas resiko 3 tahun berturut-turut sejak tahun
2003 sampai dengan 2005
(41)
4 Perusahaan dengan data tidak lengkap (4)
Total Sampel Peneltian 85
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
24 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
25. Tabel 4. Hasil Nilai –2 Log Likelihood Block 0 dan Block 1
Block Iteration Nila -2Log Likelihood
Block 0
1 106.287
2 106.264
3 106.264
Block 1
1 89.673
2 87.700
3 87.408
4 87.364
5 87.363
6 87.363
Tabel 5. Hasil Pengujia Regresi Logistik
Variabel B Wald Signifikansi
SEV -0.127 0.703 0.402
SIZE 0.443 4.484 0.034
FA 0.018 2.949 0.086
AR -0.283 0.58 0.446
ER 0.812 5.011 0.025
CEO -0.139 0.06 0.806
Constant -5.837 4.298 0.038
Negelkerke R2
0.279
Chi Square 18.901
Signifikansi 0.004
Gambar 1. Perkembangan IHSG BEI dari tahun 1997-2011
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Gambar 2. Kerangka Konseptual
721.27276.15 388.44
2721.94
1256.7
3819.62
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jul1,1997
Feb2,1998
Sep1,1998
Apr1,1999
Nov1,1999
Jun2,2000
Dec1,2000
Jul2,2001
Feb1,2002
Sep2,2002
Apr1,2003
Nov3,2003
Jun1,2004
Jan3,2005
Aug1,2005
Feb1,2006
Sep1,2006
Apr2,2007
Nov1,2007
Jun2,2008
Jan5,2009
Aug3,2009
Mar1,2010
Oct1,2010
May2,2011
Severitas
Expense retrenchment
Size
Assets retrenchment
Free assets
Corporate Turnaround
CEO Turnover
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
25 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
26. Gambar 3. Garis Waktu Penentuan Corporate Turnaround
Time 1 Time 2 Time 3
ROI
Tingkat Keuntungan
Bebas Risiko
Paling tidak 3 tahun dibawah dan 1 tahun laba negatif
Time 4
3 tahun sejak time 2 untuk non-rentrenchment
Tahun retrenchment
paling besar
Corporate
Turnaround
Non-Corporate
Turnaround
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
26 File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id