G30 spki ( SMAN 1 Kraksaan ) > Agung Nugroho XII IPS 3Agung Nugroho
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965
UBI Advocates Education with Junior Chamber Internationalgianroces61
Mr. Carlos “Charlie” S. Gonzales who started ULTICON with a vision and philosophy based on an age-old belief that there is no substitute for hard work, persistence and determination in making things work and in its commitment to deliver to its principal proponent a project completed on time and at high standards of work quality.
G30 spki ( SMAN 1 Kraksaan ) > Agung Nugroho XII IPS 3Agung Nugroho
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965
UBI Advocates Education with Junior Chamber Internationalgianroces61
Mr. Carlos “Charlie” S. Gonzales who started ULTICON with a vision and philosophy based on an age-old belief that there is no substitute for hard work, persistence and determination in making things work and in its commitment to deliver to its principal proponent a project completed on time and at high standards of work quality.
1. Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Oleh:
Bernardo J. Sujibto
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan/ 23 Januari 2016
H a l a m a n 2 | 5
Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
oleh Bernardo J. Sujibto
Pemasungan terhadap kebebasan berekspresi di Turki.
KAMIS, 21 Januari 2016, kelar sejenak dari urusan tesis tentang nobelis sastra Orhan Pamuk,
saya pergi dari Istanbul menuju Bursa, sebuah kota penting dalam peta sejarah politik Turki
pra-Konstantinopel. Saya datang ke sana atas undangan ringan Serhan Sopyan, kawan
keturunan Albania yang menyebut dirinya seorang Atatürkçü atau Kemalis. Asosiasi tempatnya
bergiat, bernama Atatürkçü Düşünce Derneği atau Organisasi Pemikiran Atatürk (disingkat
ADD), akan mengadakan satu acara peringatan pada 24 Januari untuk Uğur Mumcu (1942-
1993), jurnalis dan pemikir yang terbunuh karena keberaniannya menentang kekerasan negara.
Pemikiran Mumcu tertuang dalam puluhan buku. Meski warisan sekulerisme Atatürk pelan-
pelan memudar dan dihapus oleh penguasa berhaluan Islamis AKP (Partai Keadilan dan
Pembangunan), proses peremajaan ideologi sekuler dan Kemalisme tetap berjalan, salah
satunya melalui ADD yang hadir nyaris di semua kabupaten di Turki; selain ada pula kelompok
komunis dan nasionalis.
Saya berangkat menuju Bursa, tepatnya nanti ke Kabupaten Mustafakemalpaşa, dengan
melayari Laut Marmara, terusan selat Bosphorus, di atas kapal feri selama setengah jam.
Esoknya, saya sudah berada dalam lingkaran kecil komunitas dan anak-anak muda sekuler,
generasi pelanjut perjuangan Atatürk. Saya berjumpa mereka di sebuah gedung di tepi anak
sungai Kirmasti, terletak di tengah kota.
Kota ini bisa dibilang jantung spirit sekulerisme Kemalis, selain Izmir. Di sini kita cukup mudah
menjumpai meyhane (bar), pavyon (klub malam), dan beragam tongkrongan yang menguarkan
wangi alkohol. Budaya minum bir ini berjalan seirama proyek modernisme apa yang disebut
“Atatürk yolu” (jalan atau cara Atatürk): kebebasan rakyat, ilmu pengetahuan, bangsa Turk
(yang unggul dan tercerahkan), kemenangan, pemikiran, demokrasi, serta modernisme dan
negara hukum. Nama kabupatennya sendiri sudah terang sebagai nisbat terhadap Atatürk alias
“Bapak Republik Turki” yang menggenangi pikiran penduduk kota tersebut.
Di seberang Kirmasti ada monumen patung Mustafa Kemal Atatürk—satu situs wajib di setiap
daerah di Turki. Di lokasi itulah acara mengenang Uğur Mumcu dihelat.
Pada satu siang musim dingin berkumpullah anak-anak muda yang membawa foto Mumcu
berhias bunga dan memampang figura para tokoh sekuler. Mereka lantas membacakan satu
puisi pamflet karangan Mumcu berjudul ‘Vurulduk Ey Halkım Unutma Bizi’ (Wahai Rakyatku,
Ingat Kami yang Telah Dibunuh). Puisi ini identik dengan para Kemalis untuk mengenang
tokoh-tokoh penting mereka yang hilang atau dibunuh—barangkali, jika di Indonesia, dalam
gradasi tertentu seumpama puisi ‘Peringatan’-nya Wiji Thukul.
Kutipan salah satu bait puisi tersebut:
Petani miskin di Giresun, kami mati demi kalian.
Pekerja tembakau di Aegean, kami mati demi kalian.
Orang-orang kampung tak bertanah di daerah Timur, kami mati demi kalian.
Para pekerja di Istanbul, di Ankara, kami mati demi kalian.
Di Adana, para pengumpul kapas dengan tangannya yang terberai lebur, kami mati demi
kalian.
Kami ditembak, digantung, wahai rakyatku, ingat kami yang telah dibunuh...
3. PINDAI.ORG – Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan/ 23 Januari 2016
H a l a m a n 3 | 5
“Kami semua adalah bagian dari Mumcu yang dihabisi dan dicerai-beraikan. Kami akan
melanjutkan perjuangannya kepada jalan cahaya yang telah ditunjukkan oleh Mustafa Kemal,”
ujar Zeynep Nida Ortalık, ketua sayap pemuda ADD cabang Mustafakemalpaşa.
Sebelum dikenal kolumnis yang kritis, Mumcu bekerja sebagai asisten dosen dan advokat. Daya
kritisnya tumbuh semasa kuliah hukum di Universitas Ankara. Dia adalah kolumnis tetap di
harian terkemuka Cumhuriyet, selain menulis pula di sejumlah surat kabar seperti Akşam,
Milliyet, dan Yeni Ortam. Karena tulisan-tulisannya yang kritis dan tajam melawan negara,
Mumcu dipenjara setelah kudeta militer tahun 1971. Sekeluar dari bilik jeruji, ia makin berani
dan menentang kedekatan Turki dengan negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Israel.
Pandangannya juga adalah suara dukungan terhadap gerakan kelompok sosialis dan
revolusioner. Ia berdiri dalam posisi berlawanan terhadap agen ‘Counter-Guerilla’, satu
organisasi rahasia bekingan AS yang dibentuk khusus untuk Turki dan beroperasi sengit selama
Perang Dingin dengan tujuan melemahkan penyebaran komunisme.
“Ya, negeri kita berada di bawah pendudukan. Ya, negeri kita yang indah ini telah dijajah. Ya,
para mafia keparat telah mencabik tanah ini,” tulis Mumcu di harian Cumhuriyet, 11 Desember
1979.
Tahun 1960-an hingga 1990-an, saat banyak rekannya yang jurnalis dan pejuang kemandirian
Turki tewas dibunuh, Mumcu adalah salah satu suara yang lantang. Saat rekannya Abdi İpekçi,
redaktur utama Milliyet, dibunuh pada 1 Februari 1979, Mumcu menulis di harian Cumhuriyet
pada 1 Februari 1980 bahwa “kekuatan negara tidak cukup mengungkap” pembunuhan itu.
İpekçi dikenal berkat kolom-kolomnya yang menyuarakan kebebasan berekspresi, Kemalisme,
dan Turki yang independen. Pembunuhan terhadap İpekçi kelak dialami Mumcu sendiri.
Mumcu tewas di halaman rumahnya pada 24 Januari 1993 ketika ia menghidupkan mesin
mobil. Sebuah bom plastik yang dilekatkan di mobilnya meledak. Banyak yang menduga
kematiannya terkait investigasi independen dia menyelidiki hubungan antara Partai Pekerja
Kurdistan (PKK) dan Organisasi Intelijen Nasional Turki. Proses keadilan atas kematiannya
masih buram sampai kini, meski banyak yang meyakini melibatkan peran Mossad (dinas
rahasia luar negeri Israel), CIA (dinas intelijen AS), dinas rahasia Turki, kekuatan negara dan
bersenjata Turki, serta PKK sendiri.
Sebagai upaya mengenang perjuangannya, keluarga dan rekan-rekan Mumcu mendirikan Uğur
Mumcu Araştırmacı Gazetecilik Vakfı (Yayasan Jurnalisme Investigatif Uğur Mumcu) pada
Oktober 1994.
Kekerasan terhadap Wartawan
Kasus pembunuhan terhadap Mumcu, dan para jurnalis-cum-penulis di Turki, melekat dalam
sejarah politik negara ini. Jauh sebelum Mumcu, ada puluhan jurnalis yang tewas dibunuh.
Menurut data Committee to Protect Journalists, Turki kerap menduduki tiga teratas sebagai
negara yang paling banyak memenjarakan wartawan, selain Tiongkok dan Iran. Pada 2013
misalnya, ada 40 wartawan yang dibui otoritas Turki (posisi teratas tahun itu). Yang terbaru
adalah penangkapan wartawan kawakan Can Dündar, pemimpin redaksi Cumhuriyet, pada
November 2015. Dalam lima tahun terakhir, menurut sebuah laporan, kebebasan pers di Turki
mengalami kemunduran seiring aturan ketat terbaru yang mendukung penyensoran negara
terhadap situs web dan media sosial.
“Di sini nyawa siapa pun murah! Kamu harus sangat hati-hati masuk ke isu-isu sensitif,” pesan
Serhan Sopyan satu kali ketika saya mengutarakan rencana dan ketertarikan riset ihwal gerakan
suku Kurdi di bagian timur dan tenggara Turki.
4. PINDAI.ORG – Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan/ 23 Januari 2016
H a l a m a n 4 | 5
Menurut rilis Asosiasi Wartawan Progresif, salah satu persatuan jurnalis berpengaruh selain
Perkumpulan Wartawan Turki, jurnalis yang terbunuh di Turki berjumlah 77 orang; 19 di
antaranya dilenyapkan pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Ottoman.
Dalam sejarah kelam penghilangan nyawa jurnalis, Tevfik Nevzat tercatat sebagai nama
perdana yang dibunuh ketika dikirim ke penjara. Nevzat pernah mendirikan majalah sastra
bernama Nevruz bersama Halit Ziya Uşaklıgil (1866-1945), sastrawan terkenal masa awal
republik. Keduanya juga menerbitkan harian Hizmet, media yang kemudian dianggap
berseberangan dengan pemerintahan kesultanan terakhir Ottoman Abdülhamit II. Nevzat
dikirim ke satu penjara di Provinsi Adana dan dibunuh pada 19 Maret 1905.
Setelah Turki menjadi republik, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap jurnalis terus
berlangsung sengit, termasuk terhadap Hrant Dink (tewas 19 Januari 2007), Ahmet Taner
Kışlalı (21 Oktober 1999), Sayfettin Tepe (29 Agustus 1995), dan Onat Kutlar (11 Januari 1995).
Ada pula kasus penculikan dan penghilangan paksa, misalnya menimpa Nazım Babaoğlu
(hilang 12 Maret 1994) dan İhsan Uygur (6 Juli 1993).
Ada beragam cara dan pelaku eksekusi terhadap para wartawan dan pemikir Turki ini. Pelaku
terbanyak adalah agen negara atau intelijen dengan memasang bom atau membunuhnya di
tahanan. Tetapi ada juga pelakunya dari warga sipil sebagaimana terjadi pada Hrant Dink dan
Kamil Başaran. Pelaku penembakan terhadap Dink adalah bocah berusia 17 tahun bernama
Ogün Samast. Sementara Başaran ditembak oleh pemilik restoran hanya karena tidak suka
dengan caranya menulis dan menurunkan liputan.
Di Turki, yang masyarakatnya sangat dinamis dalam haluan politiknya, kita sangat mudah
mengenali individu atau kelompok sebagai kawan dan lawan. Selama studi dan tinggal di Turki
dalam tiga tahun terakhir, saya menjumpai kecenderungan bahwa seseorang yang
berseberangan secara ideologis akan sulit untuk menjadi kawan (dalam arti kompromis) bila
sudah bertemu di arena politik. Perjuangan kelompok-kelompok politik ini acapkali
bermuncratan darah, pelenyapan nyawa, dan tindakan teror lain.
Kaum sekuler (Kemalis) akan sangat sulit mencapai titik temu dengan kelompok Islamis dalam
konteks perjuangan ideologi mereka. Sama halnya gejolak massa nasionalis dan ultra-nasionalis
melawan kelompok lain yang membawa bendera etnis selain Turk, misalnya HDP (Partai
Rakyat Demokratik) yang berafiliasi dengan suku Kurdi. Belum lagi massa komunis yang
diwakili oleh Partai Komunis Turki (TKP) dan kelompok-kelompok devrimci (revolusioner) lain
yang berafiliasi dengan Marxist-Leninist seperti Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner
(DHKP-C). Salah satu ketegangan kutub ideologis itu terlihat dari pemilu tahun lalu. Karena
macet mencapai solusi di parlemen untuk membentuk pemerintahan dari pemilu 7 Juni 2015,
digelarlah pemilu ulang pada 1 November.
Di bawah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), dengan membawa ideologi Islamis dan
memakai jalan demokrasi, kutub ketegangan ideologi Turki bisa sedikit reda. Kelompok-
kelompok yang sebelumnya berseberangan seperti kaum nasionalis (yang mendefinisikan diri
Turk-Islam) dan komunitas suku Kurdi religius akhirnya mulai bisa dirangkul oleh penguasa
dengan mempertemukan spirit dan simbol Islam. Namun ideologi kelompok sekuler-Kemalis
berhaluan Atatürk yolu, seperti juga ditunjukkan oleh Uğur Mumcu, jelas tidak akan bisa
bertemu dengan ideologi AKP.
Spirit Atatürk dan Mumcu yang ingin Turki menjadi independen dalam konteks ekonomi-
politik belum bisa ditunaikan oleh AKP, karena praktik ekonomi dan politik pemerintah Turki
cenderung liberal. Titik kontras itu tetap memupuk konfrontasi ideologis antara AKP dan CHP
(Partai Rakyat Republik), corong kaum sekuler. Apalagi warisan-warisan sekularisme ala
Atatürk pelan tapi pasti mulai ditinggalkan.
5. PINDAI.ORG – Uğur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan/ 23 Januari 2016
H a l a m a n 5 | 5
“Mumcu adalah seorang Kemalis sejati, dikenal sosok yang gigih mengaplikasikan nilai-nilai
Kemalisme. Tetapi dia harus meregang nyawa lebih awal,” ujar Zeynep Nida Ortalık.
“Tanpa memperhatikan ideologi, Mumcu berjuang melawan segala bentuk imperialisme demi
menjaga hak-hak rakyat dan sekaligus menunjukkan kecintaannya kepada mereka. Hari ini
orang yang tidak mengerti Uğur Mumcu, saya pikir mereka tidak paham politik. Kami harus
meniru pendirian dan keberaniannya. Kegiatan anma (peringatan) seperti ini dihelat di seluruh
Turki oleh ribuan orang.”
Saya mengikuti seluruh peringatan itu. Sesudah orasi dan pembacaan puisi, sekelompok orang
lantas melakukan pawai (yürüyüş). Mereka membentangkan bendera Turki dan simbol Mustafa
Kemal Atatürk, lantas ditaruh di dekat patung Atatürk dengan spanduk bertuliskan:TERÖRÜ
LANETLİYORUZ (Kami Mengutuk Teror).
Malam harinya, bersama Serhan Sopyan dan kolega pemuda Kemalis, saya mengumpulkan
sejumlah perkakas peraga aksi peringatan yang seharian dipasang di monumen Atatürk di
tengah kota Mustafakemalpaşa. Alat-alat aksi itu kami simpan kembali di kantor Organisasi
Pemikiran Atatürk. Sesudahnya, berselimut musim dingin yang pucat saat rintik salju menerpa
halus, kami meluncur ke sebuah meyhane. Di sana musik arabesk mengiringi kami memuncaki
malam.*