SlideShare a Scribd company logo
Putu Wijaya Berputar di Planet
Oleh:
Viriya Paramita
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	2	|	11	
		
Putu Wijaya Berputar di Planet
oleh Viriya Paramita
Ia wartawan, guru, pelukis, menulis semua jenis sastra modern, dan paling dikenal sebagai
pegiat teater. Ialah Putu Wijaya.
BEBERAPA orang terlahir untuk menonjol sendirian di tengah kerumunan. Dengan gagah
mereka masuk ke medan perang, menang, dan mundur untuk dikenang. Mereka menjadi contoh
ideal, standar kesuksesan untuk dunianya. Seperti William Shakespeare di dunia sastra Inggris
atau Konstantin Stanislavski di dunia teater Rusia.
Dan tentu, seperti Putu Wijaya di dunia sastra dan teater Indonesia.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Hingga kini, ia telah
menulis puluhan novel dan naskah drama, ratusan esai, serta ribuan cerita pendek. Ia mendirikan
Teater Mandiri pada 1971. Sejak itu, ia rutin menulis naskah dan menjadi sutradara pada pentas-
pentas Teater Mandiri di Yogyakarta, Jakarta, Jepang, Jerman, Prancis, hingga Amerika Serikat.
Tak hanya teater, ia juga sempat aktif sebagai sutradara sinetron dan film layar lebar. Di kala
senggang, ia pun masih menyempatkan diri untuk melukis. Bisa dikatakan, Putu adalah pabrik
kesenian nan produktif.
“Kenapa saya melukis? Karena saya memang suka melukis. Kenapa saya main teater? Karena
banyak hal tidak bisa ditampung dari menulis. Kenapa saya menulis? Karena memang bahasa
merupakan hal ekspresi saya; karena saya tidak bisa yang lain. Semua saya sukai,” kata Putu.
Putu memang mengamini kata-kata filsuf Plato: kerja itu istirahat. Ia selalu bangun lebih awal
dan tidur lebih larut untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Berbagai hal yang ia suka
digarapnya berbarengan.
Pada medio 1960-an, kala masih kuliah Hukum di Universitas Gadjah Mada, Putu sempat
ditegur ayahnya. Kala itu ia sering menghabiskan waktu di Bali untuk mengikuti kegiatan drama
ataupun melukis alih-alih fokus kuliah di Yogyakarta.
“Sekolah nomor satu!” kata sang ayah.
“Bagi saya semua nomor satu, tak ada yang nomor dua! Sekolah nomor satu, hobi dan main juga
nomor satu!” balas Putu.
Suatu kali di tahun 1970-an, kala masih menjadi wartawan Tempo, kakaknya mengabari bahwa
ayah mereka meninggal dunia. Kabar itu datang ketika ia tengah menulis laporan.
“Saya tunda air mata saya. Saya andaikan tak ada yang terjadi. Setelah laporan selesai dan
menitipkan pesan-pesan di meja, baru saya pulang memasuki duka itu.”
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	3	|	11	
		
Putu memang keras, terutama pada dirinya sendiri. Pada September–Oktober 2012, ia sempat
dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Menurut dokter, ada cavernoma
(kelainan pembuluh darah pada sistem saraf pusat) yang berbentuk mirip andeng-andeng dan
pecah, menyebabkan pendarahan di batang otaknya. Mulanya, ujung-ujung jari tangan dan kaki
terasa kebas. Perlahan, tangan dan kaki kirinya sulit digerakkan dan saraf untuk menelan
makanan terganggu.
Saat terbaring lemah di rumah sakit, Putu masih kukuh menulis kolom untuk Bali Post dan
Jurnal Nasional. Biasanya ia akan mendikte isi tulisan, lalu pihak keluarga akan bantu mengetik
dan mengirimkannya via surat elektronik.
“Aktivitas menulisnya tidak berhenti. Jadi, dia tidak mengirim dari stok tulisan yang sudah ada.
Dia bikin langsung yang baru,” kata istri Putu, Dewi Pramunawati.
Untuk membersihkan pendarahan yang ada, Putu dihadapkan pada dua pilihan: operasi biasa
atau menggunakan gamma knife alias pembedahan laser. Saat berkonsultasi dengan dokter di
Rumah Sakit Siloam di Karawaci, Tangerang, Putu disarankan untuk menjalani operasi biasa.
Pertimbangannya, kondisi Putu telah membaik dan proses penyembuhan setelah operasi gamma
knife cenderung lebih lama, sekira dua tahun. Namun, risiko tetap menghantui. Putu bisa
kehilangan sebagian memori.
RABU, 9 Desember 2015, pukul 13.45. Sebentar lagi Teater Fatima akan tampil di Teater
Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mereka penampil terakhir dari 17 kelompok yang ikut
serta dalam Festival Teater Jakarta ke-43. Untuk itu, Putu Wijaya segera bergegas. Ia mendapat
mandat sebagai juri festival bersama Dindon W. S., Nano Riantiarno, Titarubi, dan Seno Joko
Suyono.
Mulanya, ajang ini bernama Festival Teater Remaja. Ia pertama bergulir pada 1973. Sejak itu,
Putu jadi langganan sebagai juri. Namun, tiga tahun terakhir ia urung terlibat karena kondisi
kesehatannya yang dianggap tak memungkinkan. Kali ini, ia bersikeras ikut kembali sebagai
terapi bagi dirinya pribadi. “Yang penting, kepala saya tidak terganggu,” kata Putu.
Hingga hari kesembilan menjuri, semua berjalan lancar. Tiap hari dua kelompok teater tampil,
masing-masing pukul 14.00 dan 20.00. Alhasil, ia baru bisa tiba di rumahnya di Cirendeu,
Ciputat Timur, pada tengah malam. Selama itu, istri dan kawan-kawan dari Teater Mandiri selalu
menemani.
Misalnya Alung Seroja dan Bambang Ismantoro yang hari itu memapah Putu berjalan perlahan
dari ruang juri menuju ruang pertunjukan. Keduanya adalah anggota senior Teater Mandiri,
masing-masing bergabung pada 1977 dan 1994. Alung dengan sabar menuntun sembari
memegangi lengan kiri Putu. Sementara itu, tangan kanan Putu terus tersampir di bahu Bambang.
Di dalam ruang pertunjukan, Putu mengambil tempat di pojok kanan kursi deretan belakang. Tak
lama, Alung membantunya mengenakan kemeja hitam lengan panjang untuk membantu menepis
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	4	|	11	
		
udara dingin. Bambang duduk persis di samping kaki kanan Putu, dan Alung pun berdiri berjaga
di belakangnya.
Teater Fatima masih melakukan persiapan terakhir di atas panggung. Beberapa pemain
mengulang kembali dialog mereka, sementara lampu panggung kerap menyala dan mati tak
beraturan.
Tak lama, datang Bagus Saputra menyapa Putu. Bagus adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Kini ia tengah mengerjakan skripsi soal kajian politik
dan sastra di Indonesia. Fokusnya, puisi pamflet mendiang W. S. Rendra pada 1970-an. Bagus
pun terlibat perbincangan hangat dengan Putu.
“Sebelum ke Amerika, gaya puisi Rendra terlihat lebih romantis. Setelah pulang, baru puisinya
terlihat banyak berisi protes. Tapi, salah kalau dibilang Rendra terpengaruh oleh (Jerzy)
Grotowski yang gaya mainnya ‘fisik’ sekali,” ujar Putu.
Putu tentu kenal betul dengan Rendra. Kisah bermula saat Putu pindah ke Yogyakarta pada 1962
selepas lulus dari SMA Negeri Singaraja, Bali. Di sana, ia kuliah di Universitas Gadjah Mada
sembari belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (satu tahun) serta Akademi Seni Drama dan
Film (tiga tahun). Ia juga sempat mendirikan kelompok teaternya sendiri serta terlibat sebagai
pemain dan sutradara. Pada 1964, Putu menciptakan naskah drama pertamanya yang termasyhur:
Bila Malam Bertambah Malam. Naskah itu kemudian menjadi novel perdananya. Ia berkisah
soal kompleksitas sistem kasta di masyarakat Bali.
Pada 1964–1967, Rendra mengikuti program beasiswa American Academy of Dramatical Art.
Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra mengadakan latihan teater bersama beberapa orang,
di antaranya Azwar A. N., Moortri Purnomo, Chaerul Umam, Amak Baljun, dan Putu.
Merekalah yang kemudian jadi cikal bakal berdirinya Bengkel Teater pada 1967. Bersama
mereka, Putu juga sempat bermain dalam Bip Bop yang ditayangkan TVRI pada 24 April 1968.
Goenawan Mohamad menyebut lakon ini sebagai teater mini kata.
Pada 1968, Putu juga sempat menemani Rendra bertandang ke Jakarta. Tak disangka, perjalanan
ke Ibu Kota begitu berkesan dalam dirinya. Di Jakarta, Putu bertemu dengan para seniman dan
tokoh intelektual bernama besar, dari Goenawan, Salim Said, Nashar, Rujito, Wahyu Sihombing,
Arief Budiman, hingga Soe Hok Gie.
“Berjumpa dan mendengar diskusi para budayawan membicarakan sastra, film, kesenian,
kebudayaan dengan mendalam. Jauh dari persoalan ‘keluarga dan adat’. Adrenalin saya
terangsang. Saya merasa tertinggal, udik dan minder. Saya tidak mau lagi tergeletak di daerah.
Saya ingin ikut berputar di planet itu,” tulis Putu.
Di Jakarta, Putu jatuh cinta dengan segala keriuhannya. Ia pun merasa dapat lebih bebas
berekspresi saat berada di sana.
Pada 1969, Putu menyelesaikan studi di Gadjah Mada dan bermain sebagai Pozzo dalam pentas
terakhirnya bersama Bengkel Teater: Waiting for Godot. Lalu ia pamit dari Yogyakarta untuk
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	5	|	11	
		
mewujudkan mimpi di Jakarta. Namun, pengalaman berteater bersama Rendra tak akan pernah
bisa ia lupakan. Menurut Putu, ada lima hal yang ia catat dari sosok Rendra: kegagahan dalam
kemiskinan, pertimbangan akan tradisi, keberanian melawan, pantang menyerah, dan
kemampuan untuk memandang dari sudut lain.
Hal ini pula yang Putu sampaikan pada Bagus. Sayang, obrolan mereka terhenti karena gong
telah ditabuh tiga kali dan ratusan penonton mulai berdesakan mencari tempat duduk di sekitar.
Tak lama, lampu mati dan pentas pun dimulai. Teater Fatima memutuskan memainkan karya
mereka sendiri berjudul Golok Warna Merah Jambu.
Sepanjang lima puluh menit pentas berlangsung, Putu menonton dengan khusyuk. Berbeda
dengan beberapa orang di samping yang asyik mencatat di komputer jinjing, termasuk Dindon,
juri lainnya yang hanya berjarak dua kursi di sebelah kiri. Sejak sakit, Putu sendiri tak pernah
lagi menulis di komputer. Ia hanya bisa mengetik dengan tangan kanan di ponselnya. Alhasil,
kerap muncul kesalahan penulisan. Walau begitu, teman-teman dan kerabat selalu bersedia
mengecek ulang tulisannya sebelum dikirim ke media.
Pentas usai. Lampu menyala dan penonton segera berjalan keluar ruangan. Putu bertahan. Ia
asyik berbisik memberikan komentarnya soal pertunjukan kepada Bambang yang duduk di
samping, sibuk mencatat di sebuah buku. Setelah semua beres, Putu kembali bicara dengan suara
normal pada Bambang.
“Ini acaranya apa sekarang?”
“Foto bersama dulu di depan, lalu penjurian, Mas.”
“Aku mau ke kamar kecil.”
PUTU Wijaya tak mengerti apa maksud Ibu Gedong, gurunya di SMA Negeri Singaraja. Sesaat
setelah meninggalkan W. S. Rendra dan kawan-kawan di Bengkel Teater Yogyakarta, ia
bergabung dengan orang-orang hebat di Jakarta: Goenawan Mohamad dan kawan-kawan di
majalah Tempo. Namun, setelah mendengar kabar itu Ibu Gedong justru berucap, “Di bawah
sayap-sayap besar itu Anda akan sulit berkembang.”
Niat Putu hanya ingin belajar dari mereka. Sekali diberi kesempatan, ia akan berusaha
menjawabnya dengan maksimal. Setahun pertama merupakan yang tersulit. Ia mesti belajar
bekerja dalam tim menuliskan laporan sesuai tenggat. Belum lagi tulisannya dituntut agar enak
dibaca, entah oleh presiden maupun tukang becak sekalipun. Tak jarang, laporannya “dibantai”
habis.
“Bayangkan, sudah menulis berlembar-lembar, yang terpakai hanya satu-dua kalimat,” kata Putu.
Toh, Putu tetap bertahan di saat banyak kawan-kawannya angkat kaki karena sebal dengan
“kekejaman” para redaktur Tempo. Perlahan, tulisannya berkembang. Ia pun belajar untuk
bekerja secara efisien. Apalagi ia mesti membagi waktu antara dunia jurnalistik dan teater. Awal
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	6	|	11	
		
di Jakarta, Putu sempat ikut bermain bersama Teater Kecil bentukan Arifin C. Noer dan Teater
Populer milik Teguh Karya.
Pada 1971, majalah Tempo terbit untuk pertama kalinya dan Putu sukses mendirikan Teater
Mandiri. Kata “mandiri” ia comot dari istilah dosennya di Universitas Gadjah Mada, Prof.
Djojodigoeno, untuk menggantikan kata “independence”. Ia merujuk pada kemampuan
seseorang untuk berdiri sendiri, walau bukan berarti ia tak mampu bekerja sama dengan orang
lain. Saat itu, kata “mandiri” belum umum di telinga publik, tapi Putu begitu terkesan dengan
maknanya.
Putu segera mengajak rekan-rekan di Tempo untuk bermain bersama Teater Mandiri, entah
Syu’bah Asa, Ety Asa, Mustafa Alatas, ataupun Zubaedi. Bahkan, pasangan suami-istri
gelandangan di depan kantor Tempo di Jalan Senen Raya 83, Kasan dan Kamisah, sempat ikut
bergabung dalam pentas Anu pada 1974. “Semua orang yang suka tidur di kantor Tempo saya
ajak main,” Putu mengenang.
Pada siang hari Putu menulis berita sambil sesekali mencuri waktu menggarap cerita pendek
ataupun naskah drama. Malam harinya ia memimpin latihan Teater Mandiri di kantor Tempo. Ia
pun tidur di sana, di atas meja kerja dengan buku telepon sebagai bantal. Pertengahan 1970-an,
saat anggota Teater Mandiri kian banyak, barulah mereka pindah tempat latihan ke halaman
belakang Taman Ismail Marzuki.
Dengan etos kerja tinggi, Putu terus berkarya dan berekspresi. Misalnya kala bekerja dengan
mesin ketik. Agar tak buang waktu mengurus karbon, menggunting kertas dan mengulang
tulisan, ia usahakan selalu menulis sekali jadi. Ia tak biasa membuat outline. Jadi, ia biarkan saja
kata-kata mengalir sembari memeras kreativitas dan memasukkan berbagai kejutan di tengah
cerita.
Putu tak suka diganggu. Saat di kantor, ia akan memasang headset dan asyik menulis tanpa
mengacuhkan obrolan rekan-rekan di sekelilingnya. “Di ruang redaksi itu mereka suka diskusi
macam-macam. Kalau diikuti, waktu kita habis. Saya enggak peduli dan kerja sambil
mendengarkan musik saja,” ujar Putu.
Gaya ini terus berlanjut hingga Putu diangkat jadi redaktur pelaksana majalah Zaman yang masih
satu grup dengan Tempo. Ia terbit perdana pada September 1979. Di sana, Goenawan jadi
pemimpin redaksi. Nama-nama seniman beken juga sempet mengisi tim redaksinya, dari Jim
Supangkat, Seno Gumira Ajidarma, hingga Nano Riantiarno.
Saat mulai bekerja di Zaman, Nano begitu terkesan dengan sosok Putu. Menurutnya, Putu selalu
datang pagi, lalu menulis dan menulis. Setidaknya, dalam sehari harus ada lima tulisan yang
isinya berbeda. “Apa saja bisa jadi tulisan. Dia lihat pulpen, jadilah itu tulisan. Dia lihat tong
sampah, itu pun menjadi tulisan,” kata Nano.
Pantas bila Nano heran. Pada 1977–1980 Putu juga mengajar teater di Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta, kini Institut Kesenian Jakarta. Berbagai cerita pendeknya pun kerap masuk ke
media-media seperti Kompas ataupun Sinar Harapan. Tak lupa, latihan rutin yang terus
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	7	|	11	
		
dilakoninya bersama Teater Mandiri. “Yang penting kerjaan saya beres dan tak pernah di bawah
standar,” kata Putu.
Perpaduan antara disiplin jurnalistik dan kreativitas dalam dunia seni akhirnya menajamkan
sosok Putu. Latar belakang sebagai wartawan memengaruhinya dalam bermacam hal, entah
kepatuhan pada tenggat, pemilihan tema, serta kecepatan dan teknik penulisan.
Saat bekerja di Tempo, Putu menelurkan magnum opusnya. Salah satunya novel Telegram yang
terbit pada 1971. Ia bercerita soal batas antara realitas dan fantasi yang dihadapi tokoh “Aku”
saat menerima sebuah telegram. Menurut Goenawan, kekuatan utama novel ini ada di
otentisitasnya. Ia juga mampu menghadirkan ketegangan secara konstan.
“Hampir di tiap babakan cerita ini mengandung suspens, menikung tiba-tiba, membantah diri
sendiri, antara waras dan goyah, antara waswas yang mencekam dan laku yang menggelikan –
hampir seluruhnya dalam gumam,” ujar Goenawan.
Pada 1974, Putu sukses jadi pemenang dalam sayembara penulisan sandiwara Dewan Kesenian
Jakarta dengan naskah berjudul Aduh. Namun, namanya benar-benar jadi perbincangan publik
justru kala Teater Mandiri membawakan sebuah pertunjukan tanpa dialog berjudul Lho pada
November 1975 di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki.
“Lho menggebrak kita dengan cara yang sebelumnya tak dilakukan grup teater mana pun. Lho
‘hanyalah’ pemain yang bergerak ke sana kemari, dengan payung-payung, lampion, kayu,
bambu, tali topeng, dan ondel-ondel, juga oncor. Lalu gerobak dan musik terdengar ribut bak
mengiringi topeng monyet di jalan-jalan itu dan mendadak ngungun terdengar tembang Bali,”
kata Bambang Bujono yang saat itu bekerja di majalah sastra Horison.
Tak sampai di situ. Di akhir pertunjukan, penonton diajak keluar untuk menyaksikan
pemandangan mengejutkan. Para pemain telanjang bulat diangkut dalam gerobak sampah dan
dibuang ke kolam begitu saja. Di kolam, orang-orang juga dengan santainya buang hajat sembari
berbincang soal politik. Alhasil, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin naik pitam dan Putu segera
dipanggil ke Komando Daerah Kepolisian VII Jakarta Raya untuk dimintai keterangan.
Sesungguhnya Lho adalah buah kontemplasi panjang Putu dari perjalanannya beberapa tahun
belakangan. Atas kebaikan hati Ibu Gedong yang mencarikan sponsor, Putu berangkat ke Jepang
pada 1973. Di sana ia berbaur selama tujuh bulan bersama masyarakat komunal Ittoen di
punggung bukit kota kecil Yamashina, Kyoto. Selama itu, Putu belajar untuk hidup bersahaja
dan meraih konsep kerja sebagai ibadah.
Pada 1974, Putu menjalani International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat, selama
delapan bulan. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, ia singgah di Prancis membawakan
pertunjukan kolaborasi bersama grup teater boneka Temp Fort di Festival Nancy.
Putu pulang ke Indonesia pada 1975. Ia segera mengumpulkan rekan-rekan Teater Mandiri dan
memulai latihan keras selama empat bulan yang selalu dimulai pada tengah malam hingga dini
hari. “Supaya tidak ada alasan tak hadir karena ada kesibukan lain,” kata Putu.
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	8	|	11	
		
Uniknya, pelukis Nashar kerap datang menunggui sesi latihan tersebut. Kala itu, Nashar disebut-
sebut mengajak para pemain untuk berlakon mengikuti “gerak batinnya”. Bermula dari gerakan
abstrak, perlahan mereka berhasil menemukan bentuk-bentuk yang bersatu menghadirkan
peristiwa dalam lakon Lho.
Sejak itulah Putu memantapkan diri menggunakan konsep “bertolak dari yang ada” dan “teror
mental” dalam perjalanan Teater Mandiri.
Lakon yang menonjolkan olah tubuh jadi ciri khas Teater Mandiri pada rentang 1975–1988. Pada
periode itu, mereka sempat berulang kali main di luar negeri. Salah satunya saat Festival
Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada 1985. Setelahnya, Putu jadi dosen tamu yang bicara
soal teater dan sastra Indonesia modern di beberapa kampus di Amerika Serikat atas undangan
Fullbright sepanjang 1985–1988. Teater Mandiri pun unjuk gigi di negeri Paman Sam.
Saat kembali ke Indonesia, Putu memutuskan untuk kembali membawakan pertunjukan
“tontonan” yang menggunakan naskah konvensional demi menarik hati penonton. Ini sebelum
mereka banting setir ke gaya teater visual yang banyak bermain dengan cahaya dan
bayangan. Konsep ini mereka usung kala tampil sebagai utusan Kebudayaan Indonesia di
Amerika Serikat dan ketika tampil di Kyoto, Jepang, keduanya pada 1991.
“Kekuatannya ada pada pencahayaan di balik layar. Dari situ muncullah bayangan-bayangan
‘ajaib’,” kata Gandung Bondowoso, anggota Teater Mandiri angkatan 1975.
Dengan gaya tersebut, Teater Mandiri sukses merebut hati penonton internasional. Pada 2000,
mereka tampil di Festival Asia di Tokyo membawakan The Coffin is Too Big for The Hole karya
Kuo Pao Kun dari Singapura. Itu adalah pertama kalinya Teater Mandiri memainkan naskah
bukan karya Putu. Di sana, panitia festival sempat terheran-heran melihat lampu yang dibawa
oleh Teater Mandiri.
“Mereka tak percaya bahwa kami hanya perlu stop kontak untuk dua lampu tua yang kami bawa
dari Jakarta,” kata Putu. “Resensi tentang pertunjukan kami kemudian memuji tata lampu kami
yang berteknologi rendah itu sebagai teknologi komputer yang canggih.”
Itulah perwujudan konsep “bertolak dari yang ada”. Di lain waktu, Putu juga pernah
menggunakan kain spanduk bekas yang tercecer di Taman Ismail Marzuki sebagai kostum pentas
para pemainnya. Ia tak pernah merasa harus menampilkan panggung yang mewah pada para
penonton. Bila ada dana lebih, ia justru akan membaginya rata pada para anggota sebagai ongkos
latihan.
“Namun sebesar-besarnya alokasi honorarium, ketika amplopnya dibagikan, tampilan amplop itu
tak pernah gembung. Meski demikian, tak ada yang mengeluh, malah tertawa-tawa, karena sejak
awal telah dibeberkan keadaan keuangan. Semua mafhum tanpa ekspektasi berlebihan,” ucap
Gandung.
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	9	|	11	
		
Justru, tiap keterbatasan yang dihadapi jadi bahan bakar bagi Teater Mandiri untuk melompat
lebih tinggi. Dengan akal dan kreativitas, mereka selalu bisa mengakali keadaan. Setelahnya,
barulah muncul pementasan yang bertujuan untuk meneror mental.
“Teror mental itu bukan untuk merusak jiwa seseorang, tapi saya ingin ‘mengganggu’ orang agar
dia bangkit,” ujar Putu. “Teror itu tak selamanya yang meledak-ledak. Misalnya di malam yang
sepi, akan jadi lebih sepi lagi bila ditambah suara tetesan air di kamar mandi.”
Selama di Jakarta, Putu terus melakukan pencarian makna. Ia bahkan kerap melakukan
reinterpretasi terhadap sebuah kata. Menurutnya, ada riwayat di balik tiap kata yang kerap
mengejutkan dirinya. Terutama untuk kata-kata yang tak dianggap sebagai bagian dari bahasa
baku oleh kamus. Dari situ ia mulai gemar menggunakan satu kata saja dalam tiap judul
lakonnya, dari Gerr, Edan, Blong, Aum, Tai, Hah, hingga Jpret.
“Menulis cerpen, novel, lakon, tak ubahnya seperti menulis esai atau disertasi atas kata-kata itu,”
kata Putu.
Proses pencarian itu nyatanya tak pernah usai. Kadang, malah ada hal-hal yang baru disadarinya
setelah sekian lama. Seperti kata-kata Ibu Gedong yang sempat menghantuinya dahulu, soal
sayap-sayap besar yang menutupi dirinya. Untuk dapat sampai ke puncak, nyatanya Putu mesti
menyingkirkan batu-batu besar yang mengadang di tengah jalan. Salah satunya, Rendra.
“Rendra itu adalah guru saya, teman saya, dan juga musuh saya,” tegas Putu.
TANGAN kiri Putu Wijaya bergetar hebat. Suster memintanya untuk memindahkan delapan
belas tabung kecil berwarna kuning dari lubang asal ke lubang di seberangnya. Tujuannya
melatih ketangkasan tangan. Ini dibutuhkan setelah koordinasi otak ke tangan dan kaki kiri Putu
terganggu akibat pendarahan di batang otak dahulu.
Namun, saraf-saraf di tangannya seakan terus melawan. Jempol dan telunjuk Putu begitu
kesulitan menjepit tabung-tabung yang ada, bagai anak kecil yang baru pertama makan nasi
menggunakan sumpit. Tabung yang telah dicabut pun kerap terjatuh ke lantai. Dengan sabar,
suster menemaninya hingga seluruh tugas Putu tuntas.
“Yak, tujuh menit lima puluh detik, Pak.”
“Lebih cepat dari biasanya. Kemarin-kemarin bisa sampai delapan menit.”
Ini adalah salah satu bentuk terapi okupasi yang wajib Putu jalani tiap menyambangi pusat
rehabilitasi Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang. Selain itu, ia juga wajib melakukan
berbagai peregangan sebelum lanjut ke ruang fisioterapi. Di sana, Putu akan melatih otot tubuh,
entah dengan bersepeda ataupun berjalan mondar-mandir keliling ruangan.
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	10	|	11	
	
Biasanya, Putu datang bersama istri ke Siloam seminggu tiga kali. Namun, karena aktivitas
sebagai juri Festival Teater Jakarta selama sembilan hari penuh, ia terpaksa bolos terapi hingga
empat kali. Ia baru sempat datang lagi pada Jumat, 11 Desember 2015.
“Kaku enggak, Pak, sudah lama enggak datang?”
“Kaku sekali.”
Dengan kondisi fisik tersebut, Putu tak lagi bisa leluasa beraktivitas. Namun, di balik itu ia
menemukan rasa syukur yang mendalam. Kini, Putu jadi lebih peka melihat sekitarnya. Hal-hal
yang dulu dianggapnya remeh mendadak jadi begitu berharga. Kadang ia iri melihat orang lain
bisa berjalan dengan enteng atau makan apa saja tanpa perlu khawatir.
Di sisi lain, kesibukannya yang jauh berkurang membuatnya bisa lebih fokus menulis dan
memimpin latihan Teater Mandiri. “Saat mengarahkan pemain, saya justru jadi lebih detail,” ujar
Putu.
Walau begitu, rasanya sulit menyebut bahwa Putu masih akan memimpin Teater Mandiri dalam
jangka waktu panjang. Semangatnya masih prima, tapi fisiknya tak bisa berdusta. Belum lagi,
mayoritas anggota teaternya diisi oleh muka-muka lama. Bisa dikatakan, hampir tak ada
regenerasi dalam tubuh Teater Mandiri selama empat puluh tahun tahun perjalanannya berkarya.
Beberapa pemain muda sempat tampil dalam pentas Kok di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki,
pada 4–5 Agustus 2015. Sebut saja Izul (Julung) dan Taksu Wijaya, anak tunggal Putu dari
pernikahannya dengan Dewi Pramunawati. Namun, kualitas mereka tentu tak sebanding dengan
para senior seperti Dwi Hastuti, Alung Seroja, atau Gandung Bondowoso.
Putu pun tak percaya dengan regenerasi. Menurutnya, seseorang harus dapat melahirkan dirinya
sendiri. Seperti dahulu, kala baru memulai karier di dunia sastra dan teater, ia selalu berusaha
keras untuk belajar dan mencari tahu sendiri. “Malangnya, banyak anak-anak sekarang maunya
dilahirkan,” kata Putu.
Dari sana, Putu teringat cerita mendiang Harry Roesli, sahabatnya yang kerap membantu tata
musik Teater Mandiri. Dahulu, Harry kerap mengumpulkan para pengamen jalanan. Ia
mengajarkan musik dan memberi mereka makan secara cuma-cuma.
“Suatu ketika, anak-anak itu membuang nasi bungkus yang dikasih ke mereka. Mereka bilang,
‘Masa dikasih ayam terus?’ Mendengarnya, Harry Roesli sampai kecewa sekali,” kisah Putu.
“Bila dikasih terus, seseorang akan menuntut lagi untuk dapat yang lebih enak.”
Tak hanya itu, masalah lain kelompok teater di Indonesia adalah kebergantungan pada seorang
tokoh. Saat sosok yang membesarkan nama teater itu pergi, niscaya mereka bubar jalan. Itulah
yang terjadi pada Bengkel Teater setelah W. S. Rendra wafat, Teater Populer sepeninggal Teguh
Karya, dan Teater Kecil selepas kepergian Arifin C. Noer.
Lantas, apakah yang hal serupa juga akan terjadi pada Teater Mandiri?
PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015
	
H a l a m a n 	11	|	11	
	
Menurut Putu, ada dua pilihan yang bisa diambil. Bila ingin bertahan dengan nama Teater
Mandiri, maka teruskanlah dengan tetap mengusung identitas dan gaya main yang ada selama
ini. Bila ingin berubah aliran, lebih baik bubarkan saja sekalian.
“Kita sudah berjalan lebih dari empat puluh empat tahun. Selama ini, yang kita bikin bukan
hanya sebuah pementasan. Kita sudah meletakkan dasar sebuah rumah yang kokoh. Jadi ada
filsafatnya, tujuannya, prasasti kerjanya dan cara bergaulnya. Kita sudah mementaskan teror
mental dan bertolak dari yang ada. Kalau hal itu tidak bisa dilanjutkan, bikin saja teater yang
lain,” tegas Putu.
Pukul 14.00, Putu pergi meninggalkan Siloam bersama sang istri. Elvis Ticoalu, anggota Teater
Mandiri angkatan 1975, kali ini bertugas jadi sopir. Mereka akan menjemput Taksu di
kampusnya, Universitas Multimedia Nusantara di Gading Serpong, Tangerang Selatan. Bersama,
mereka akan pulang.(*)
Sumber rujukan:
• Bondowoso, Gandung. 2014. “Teater Mandiri dan 70 Tahun Putu Wijaya”. Dalam
Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada:
Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 611–617.
• Bujono, Bambang. 2014. “Lho yang Saya Tonton”. Dalam Gandung Bondowoso dan
Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70.
Jakarta: Pentas Grafika. 345–350.
• Diapayana, Arya. “Teater Mandiri”.
http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=69&p=3. Diakses pada 14
Desember 2015.
• Mohamad, Goenawan. 2014. “Tutur dan Gumam dan Realisme: Menyusur Novel-Novel
Putu Wijaya”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak
dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 15–35.
• Riantiarno, Nano. 2014. “Putu Wijaya”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri
Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta:
Pentas Grafika. 567–571.
• Wijaya, Putu. 2014. “Bertolak dari yang Ada & Teror Mental”. Dalam Gandung
Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai
untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 618–688.

More Related Content

Viewers also liked

Greektown!
Greektown!Greektown!
Greektown!
Kayra Silva
 
Power point cuatro estaciones
Power point cuatro estacionesPower point cuatro estaciones
Power point cuatro estaciones
Nerea Montalvo
 
SEMINAR USULAN PENELITIAN
SEMINAR USULAN PENELITIANSEMINAR USULAN PENELITIAN
SEMINAR USULAN PENELITIAN
93220872
 
Ori kathe c.a gastrico.
Ori kathe c.a gastrico.Ori kathe c.a gastrico.
Ori kathe c.a gastrico.
Medicina Unerg
 
Astronomi fisika bab vc
Astronomi fisika bab vcAstronomi fisika bab vc
Astronomi fisika bab vc
eli priyatna laidan
 
Cbse grade 7 chapter 11 reproduction in plants
Cbse grade 7   chapter 11 reproduction in plantsCbse grade 7   chapter 11 reproduction in plants
Cbse grade 7 chapter 11 reproduction in plants
Dr. Arshad Keethadath
 

Viewers also liked (6)

Greektown!
Greektown!Greektown!
Greektown!
 
Power point cuatro estaciones
Power point cuatro estacionesPower point cuatro estaciones
Power point cuatro estaciones
 
SEMINAR USULAN PENELITIAN
SEMINAR USULAN PENELITIANSEMINAR USULAN PENELITIAN
SEMINAR USULAN PENELITIAN
 
Ori kathe c.a gastrico.
Ori kathe c.a gastrico.Ori kathe c.a gastrico.
Ori kathe c.a gastrico.
 
Astronomi fisika bab vc
Astronomi fisika bab vcAstronomi fisika bab vc
Astronomi fisika bab vc
 
Cbse grade 7 chapter 11 reproduction in plants
Cbse grade 7   chapter 11 reproduction in plantsCbse grade 7   chapter 11 reproduction in plants
Cbse grade 7 chapter 11 reproduction in plants
 

More from Pindai Media

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
Pindai Media
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Pindai Media
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Pindai Media
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Pindai Media
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Pindai Media
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
Pindai Media
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
Pindai Media
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
Pindai Media
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Pindai Media
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pindai Media
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
Pindai Media
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
Pindai Media
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
Pindai Media
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Pindai Media
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
Pindai Media
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
Pindai Media
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
Pindai Media
 
Mario
MarioMario
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Pindai Media
 
Efek Proust
Efek ProustEfek Proust
Efek Proust
Pindai Media
 

More from Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 
Efek Proust
Efek ProustEfek Proust
Efek Proust
 

Putu Wijaya Berputar di Planet

  • 1. Putu Wijaya Berputar di Planet Oleh: Viriya Paramita www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
  • 2. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 2 | 11 Putu Wijaya Berputar di Planet oleh Viriya Paramita Ia wartawan, guru, pelukis, menulis semua jenis sastra modern, dan paling dikenal sebagai pegiat teater. Ialah Putu Wijaya. BEBERAPA orang terlahir untuk menonjol sendirian di tengah kerumunan. Dengan gagah mereka masuk ke medan perang, menang, dan mundur untuk dikenang. Mereka menjadi contoh ideal, standar kesuksesan untuk dunianya. Seperti William Shakespeare di dunia sastra Inggris atau Konstantin Stanislavski di dunia teater Rusia. Dan tentu, seperti Putu Wijaya di dunia sastra dan teater Indonesia. I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Hingga kini, ia telah menulis puluhan novel dan naskah drama, ratusan esai, serta ribuan cerita pendek. Ia mendirikan Teater Mandiri pada 1971. Sejak itu, ia rutin menulis naskah dan menjadi sutradara pada pentas- pentas Teater Mandiri di Yogyakarta, Jakarta, Jepang, Jerman, Prancis, hingga Amerika Serikat. Tak hanya teater, ia juga sempat aktif sebagai sutradara sinetron dan film layar lebar. Di kala senggang, ia pun masih menyempatkan diri untuk melukis. Bisa dikatakan, Putu adalah pabrik kesenian nan produktif. “Kenapa saya melukis? Karena saya memang suka melukis. Kenapa saya main teater? Karena banyak hal tidak bisa ditampung dari menulis. Kenapa saya menulis? Karena memang bahasa merupakan hal ekspresi saya; karena saya tidak bisa yang lain. Semua saya sukai,” kata Putu. Putu memang mengamini kata-kata filsuf Plato: kerja itu istirahat. Ia selalu bangun lebih awal dan tidur lebih larut untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Berbagai hal yang ia suka digarapnya berbarengan. Pada medio 1960-an, kala masih kuliah Hukum di Universitas Gadjah Mada, Putu sempat ditegur ayahnya. Kala itu ia sering menghabiskan waktu di Bali untuk mengikuti kegiatan drama ataupun melukis alih-alih fokus kuliah di Yogyakarta. “Sekolah nomor satu!” kata sang ayah. “Bagi saya semua nomor satu, tak ada yang nomor dua! Sekolah nomor satu, hobi dan main juga nomor satu!” balas Putu. Suatu kali di tahun 1970-an, kala masih menjadi wartawan Tempo, kakaknya mengabari bahwa ayah mereka meninggal dunia. Kabar itu datang ketika ia tengah menulis laporan. “Saya tunda air mata saya. Saya andaikan tak ada yang terjadi. Setelah laporan selesai dan menitipkan pesan-pesan di meja, baru saya pulang memasuki duka itu.”
  • 3. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 3 | 11 Putu memang keras, terutama pada dirinya sendiri. Pada September–Oktober 2012, ia sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Menurut dokter, ada cavernoma (kelainan pembuluh darah pada sistem saraf pusat) yang berbentuk mirip andeng-andeng dan pecah, menyebabkan pendarahan di batang otaknya. Mulanya, ujung-ujung jari tangan dan kaki terasa kebas. Perlahan, tangan dan kaki kirinya sulit digerakkan dan saraf untuk menelan makanan terganggu. Saat terbaring lemah di rumah sakit, Putu masih kukuh menulis kolom untuk Bali Post dan Jurnal Nasional. Biasanya ia akan mendikte isi tulisan, lalu pihak keluarga akan bantu mengetik dan mengirimkannya via surat elektronik. “Aktivitas menulisnya tidak berhenti. Jadi, dia tidak mengirim dari stok tulisan yang sudah ada. Dia bikin langsung yang baru,” kata istri Putu, Dewi Pramunawati. Untuk membersihkan pendarahan yang ada, Putu dihadapkan pada dua pilihan: operasi biasa atau menggunakan gamma knife alias pembedahan laser. Saat berkonsultasi dengan dokter di Rumah Sakit Siloam di Karawaci, Tangerang, Putu disarankan untuk menjalani operasi biasa. Pertimbangannya, kondisi Putu telah membaik dan proses penyembuhan setelah operasi gamma knife cenderung lebih lama, sekira dua tahun. Namun, risiko tetap menghantui. Putu bisa kehilangan sebagian memori. RABU, 9 Desember 2015, pukul 13.45. Sebentar lagi Teater Fatima akan tampil di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mereka penampil terakhir dari 17 kelompok yang ikut serta dalam Festival Teater Jakarta ke-43. Untuk itu, Putu Wijaya segera bergegas. Ia mendapat mandat sebagai juri festival bersama Dindon W. S., Nano Riantiarno, Titarubi, dan Seno Joko Suyono. Mulanya, ajang ini bernama Festival Teater Remaja. Ia pertama bergulir pada 1973. Sejak itu, Putu jadi langganan sebagai juri. Namun, tiga tahun terakhir ia urung terlibat karena kondisi kesehatannya yang dianggap tak memungkinkan. Kali ini, ia bersikeras ikut kembali sebagai terapi bagi dirinya pribadi. “Yang penting, kepala saya tidak terganggu,” kata Putu. Hingga hari kesembilan menjuri, semua berjalan lancar. Tiap hari dua kelompok teater tampil, masing-masing pukul 14.00 dan 20.00. Alhasil, ia baru bisa tiba di rumahnya di Cirendeu, Ciputat Timur, pada tengah malam. Selama itu, istri dan kawan-kawan dari Teater Mandiri selalu menemani. Misalnya Alung Seroja dan Bambang Ismantoro yang hari itu memapah Putu berjalan perlahan dari ruang juri menuju ruang pertunjukan. Keduanya adalah anggota senior Teater Mandiri, masing-masing bergabung pada 1977 dan 1994. Alung dengan sabar menuntun sembari memegangi lengan kiri Putu. Sementara itu, tangan kanan Putu terus tersampir di bahu Bambang. Di dalam ruang pertunjukan, Putu mengambil tempat di pojok kanan kursi deretan belakang. Tak lama, Alung membantunya mengenakan kemeja hitam lengan panjang untuk membantu menepis
  • 4. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 4 | 11 udara dingin. Bambang duduk persis di samping kaki kanan Putu, dan Alung pun berdiri berjaga di belakangnya. Teater Fatima masih melakukan persiapan terakhir di atas panggung. Beberapa pemain mengulang kembali dialog mereka, sementara lampu panggung kerap menyala dan mati tak beraturan. Tak lama, datang Bagus Saputra menyapa Putu. Bagus adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Kini ia tengah mengerjakan skripsi soal kajian politik dan sastra di Indonesia. Fokusnya, puisi pamflet mendiang W. S. Rendra pada 1970-an. Bagus pun terlibat perbincangan hangat dengan Putu. “Sebelum ke Amerika, gaya puisi Rendra terlihat lebih romantis. Setelah pulang, baru puisinya terlihat banyak berisi protes. Tapi, salah kalau dibilang Rendra terpengaruh oleh (Jerzy) Grotowski yang gaya mainnya ‘fisik’ sekali,” ujar Putu. Putu tentu kenal betul dengan Rendra. Kisah bermula saat Putu pindah ke Yogyakarta pada 1962 selepas lulus dari SMA Negeri Singaraja, Bali. Di sana, ia kuliah di Universitas Gadjah Mada sembari belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (satu tahun) serta Akademi Seni Drama dan Film (tiga tahun). Ia juga sempat mendirikan kelompok teaternya sendiri serta terlibat sebagai pemain dan sutradara. Pada 1964, Putu menciptakan naskah drama pertamanya yang termasyhur: Bila Malam Bertambah Malam. Naskah itu kemudian menjadi novel perdananya. Ia berkisah soal kompleksitas sistem kasta di masyarakat Bali. Pada 1964–1967, Rendra mengikuti program beasiswa American Academy of Dramatical Art. Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra mengadakan latihan teater bersama beberapa orang, di antaranya Azwar A. N., Moortri Purnomo, Chaerul Umam, Amak Baljun, dan Putu. Merekalah yang kemudian jadi cikal bakal berdirinya Bengkel Teater pada 1967. Bersama mereka, Putu juga sempat bermain dalam Bip Bop yang ditayangkan TVRI pada 24 April 1968. Goenawan Mohamad menyebut lakon ini sebagai teater mini kata. Pada 1968, Putu juga sempat menemani Rendra bertandang ke Jakarta. Tak disangka, perjalanan ke Ibu Kota begitu berkesan dalam dirinya. Di Jakarta, Putu bertemu dengan para seniman dan tokoh intelektual bernama besar, dari Goenawan, Salim Said, Nashar, Rujito, Wahyu Sihombing, Arief Budiman, hingga Soe Hok Gie. “Berjumpa dan mendengar diskusi para budayawan membicarakan sastra, film, kesenian, kebudayaan dengan mendalam. Jauh dari persoalan ‘keluarga dan adat’. Adrenalin saya terangsang. Saya merasa tertinggal, udik dan minder. Saya tidak mau lagi tergeletak di daerah. Saya ingin ikut berputar di planet itu,” tulis Putu. Di Jakarta, Putu jatuh cinta dengan segala keriuhannya. Ia pun merasa dapat lebih bebas berekspresi saat berada di sana. Pada 1969, Putu menyelesaikan studi di Gadjah Mada dan bermain sebagai Pozzo dalam pentas terakhirnya bersama Bengkel Teater: Waiting for Godot. Lalu ia pamit dari Yogyakarta untuk
  • 5. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 5 | 11 mewujudkan mimpi di Jakarta. Namun, pengalaman berteater bersama Rendra tak akan pernah bisa ia lupakan. Menurut Putu, ada lima hal yang ia catat dari sosok Rendra: kegagahan dalam kemiskinan, pertimbangan akan tradisi, keberanian melawan, pantang menyerah, dan kemampuan untuk memandang dari sudut lain. Hal ini pula yang Putu sampaikan pada Bagus. Sayang, obrolan mereka terhenti karena gong telah ditabuh tiga kali dan ratusan penonton mulai berdesakan mencari tempat duduk di sekitar. Tak lama, lampu mati dan pentas pun dimulai. Teater Fatima memutuskan memainkan karya mereka sendiri berjudul Golok Warna Merah Jambu. Sepanjang lima puluh menit pentas berlangsung, Putu menonton dengan khusyuk. Berbeda dengan beberapa orang di samping yang asyik mencatat di komputer jinjing, termasuk Dindon, juri lainnya yang hanya berjarak dua kursi di sebelah kiri. Sejak sakit, Putu sendiri tak pernah lagi menulis di komputer. Ia hanya bisa mengetik dengan tangan kanan di ponselnya. Alhasil, kerap muncul kesalahan penulisan. Walau begitu, teman-teman dan kerabat selalu bersedia mengecek ulang tulisannya sebelum dikirim ke media. Pentas usai. Lampu menyala dan penonton segera berjalan keluar ruangan. Putu bertahan. Ia asyik berbisik memberikan komentarnya soal pertunjukan kepada Bambang yang duduk di samping, sibuk mencatat di sebuah buku. Setelah semua beres, Putu kembali bicara dengan suara normal pada Bambang. “Ini acaranya apa sekarang?” “Foto bersama dulu di depan, lalu penjurian, Mas.” “Aku mau ke kamar kecil.” PUTU Wijaya tak mengerti apa maksud Ibu Gedong, gurunya di SMA Negeri Singaraja. Sesaat setelah meninggalkan W. S. Rendra dan kawan-kawan di Bengkel Teater Yogyakarta, ia bergabung dengan orang-orang hebat di Jakarta: Goenawan Mohamad dan kawan-kawan di majalah Tempo. Namun, setelah mendengar kabar itu Ibu Gedong justru berucap, “Di bawah sayap-sayap besar itu Anda akan sulit berkembang.” Niat Putu hanya ingin belajar dari mereka. Sekali diberi kesempatan, ia akan berusaha menjawabnya dengan maksimal. Setahun pertama merupakan yang tersulit. Ia mesti belajar bekerja dalam tim menuliskan laporan sesuai tenggat. Belum lagi tulisannya dituntut agar enak dibaca, entah oleh presiden maupun tukang becak sekalipun. Tak jarang, laporannya “dibantai” habis. “Bayangkan, sudah menulis berlembar-lembar, yang terpakai hanya satu-dua kalimat,” kata Putu. Toh, Putu tetap bertahan di saat banyak kawan-kawannya angkat kaki karena sebal dengan “kekejaman” para redaktur Tempo. Perlahan, tulisannya berkembang. Ia pun belajar untuk bekerja secara efisien. Apalagi ia mesti membagi waktu antara dunia jurnalistik dan teater. Awal
  • 6. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 6 | 11 di Jakarta, Putu sempat ikut bermain bersama Teater Kecil bentukan Arifin C. Noer dan Teater Populer milik Teguh Karya. Pada 1971, majalah Tempo terbit untuk pertama kalinya dan Putu sukses mendirikan Teater Mandiri. Kata “mandiri” ia comot dari istilah dosennya di Universitas Gadjah Mada, Prof. Djojodigoeno, untuk menggantikan kata “independence”. Ia merujuk pada kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri, walau bukan berarti ia tak mampu bekerja sama dengan orang lain. Saat itu, kata “mandiri” belum umum di telinga publik, tapi Putu begitu terkesan dengan maknanya. Putu segera mengajak rekan-rekan di Tempo untuk bermain bersama Teater Mandiri, entah Syu’bah Asa, Ety Asa, Mustafa Alatas, ataupun Zubaedi. Bahkan, pasangan suami-istri gelandangan di depan kantor Tempo di Jalan Senen Raya 83, Kasan dan Kamisah, sempat ikut bergabung dalam pentas Anu pada 1974. “Semua orang yang suka tidur di kantor Tempo saya ajak main,” Putu mengenang. Pada siang hari Putu menulis berita sambil sesekali mencuri waktu menggarap cerita pendek ataupun naskah drama. Malam harinya ia memimpin latihan Teater Mandiri di kantor Tempo. Ia pun tidur di sana, di atas meja kerja dengan buku telepon sebagai bantal. Pertengahan 1970-an, saat anggota Teater Mandiri kian banyak, barulah mereka pindah tempat latihan ke halaman belakang Taman Ismail Marzuki. Dengan etos kerja tinggi, Putu terus berkarya dan berekspresi. Misalnya kala bekerja dengan mesin ketik. Agar tak buang waktu mengurus karbon, menggunting kertas dan mengulang tulisan, ia usahakan selalu menulis sekali jadi. Ia tak biasa membuat outline. Jadi, ia biarkan saja kata-kata mengalir sembari memeras kreativitas dan memasukkan berbagai kejutan di tengah cerita. Putu tak suka diganggu. Saat di kantor, ia akan memasang headset dan asyik menulis tanpa mengacuhkan obrolan rekan-rekan di sekelilingnya. “Di ruang redaksi itu mereka suka diskusi macam-macam. Kalau diikuti, waktu kita habis. Saya enggak peduli dan kerja sambil mendengarkan musik saja,” ujar Putu. Gaya ini terus berlanjut hingga Putu diangkat jadi redaktur pelaksana majalah Zaman yang masih satu grup dengan Tempo. Ia terbit perdana pada September 1979. Di sana, Goenawan jadi pemimpin redaksi. Nama-nama seniman beken juga sempet mengisi tim redaksinya, dari Jim Supangkat, Seno Gumira Ajidarma, hingga Nano Riantiarno. Saat mulai bekerja di Zaman, Nano begitu terkesan dengan sosok Putu. Menurutnya, Putu selalu datang pagi, lalu menulis dan menulis. Setidaknya, dalam sehari harus ada lima tulisan yang isinya berbeda. “Apa saja bisa jadi tulisan. Dia lihat pulpen, jadilah itu tulisan. Dia lihat tong sampah, itu pun menjadi tulisan,” kata Nano. Pantas bila Nano heran. Pada 1977–1980 Putu juga mengajar teater di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini Institut Kesenian Jakarta. Berbagai cerita pendeknya pun kerap masuk ke media-media seperti Kompas ataupun Sinar Harapan. Tak lupa, latihan rutin yang terus
  • 7. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 7 | 11 dilakoninya bersama Teater Mandiri. “Yang penting kerjaan saya beres dan tak pernah di bawah standar,” kata Putu. Perpaduan antara disiplin jurnalistik dan kreativitas dalam dunia seni akhirnya menajamkan sosok Putu. Latar belakang sebagai wartawan memengaruhinya dalam bermacam hal, entah kepatuhan pada tenggat, pemilihan tema, serta kecepatan dan teknik penulisan. Saat bekerja di Tempo, Putu menelurkan magnum opusnya. Salah satunya novel Telegram yang terbit pada 1971. Ia bercerita soal batas antara realitas dan fantasi yang dihadapi tokoh “Aku” saat menerima sebuah telegram. Menurut Goenawan, kekuatan utama novel ini ada di otentisitasnya. Ia juga mampu menghadirkan ketegangan secara konstan. “Hampir di tiap babakan cerita ini mengandung suspens, menikung tiba-tiba, membantah diri sendiri, antara waras dan goyah, antara waswas yang mencekam dan laku yang menggelikan – hampir seluruhnya dalam gumam,” ujar Goenawan. Pada 1974, Putu sukses jadi pemenang dalam sayembara penulisan sandiwara Dewan Kesenian Jakarta dengan naskah berjudul Aduh. Namun, namanya benar-benar jadi perbincangan publik justru kala Teater Mandiri membawakan sebuah pertunjukan tanpa dialog berjudul Lho pada November 1975 di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki. “Lho menggebrak kita dengan cara yang sebelumnya tak dilakukan grup teater mana pun. Lho ‘hanyalah’ pemain yang bergerak ke sana kemari, dengan payung-payung, lampion, kayu, bambu, tali topeng, dan ondel-ondel, juga oncor. Lalu gerobak dan musik terdengar ribut bak mengiringi topeng monyet di jalan-jalan itu dan mendadak ngungun terdengar tembang Bali,” kata Bambang Bujono yang saat itu bekerja di majalah sastra Horison. Tak sampai di situ. Di akhir pertunjukan, penonton diajak keluar untuk menyaksikan pemandangan mengejutkan. Para pemain telanjang bulat diangkut dalam gerobak sampah dan dibuang ke kolam begitu saja. Di kolam, orang-orang juga dengan santainya buang hajat sembari berbincang soal politik. Alhasil, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin naik pitam dan Putu segera dipanggil ke Komando Daerah Kepolisian VII Jakarta Raya untuk dimintai keterangan. Sesungguhnya Lho adalah buah kontemplasi panjang Putu dari perjalanannya beberapa tahun belakangan. Atas kebaikan hati Ibu Gedong yang mencarikan sponsor, Putu berangkat ke Jepang pada 1973. Di sana ia berbaur selama tujuh bulan bersama masyarakat komunal Ittoen di punggung bukit kota kecil Yamashina, Kyoto. Selama itu, Putu belajar untuk hidup bersahaja dan meraih konsep kerja sebagai ibadah. Pada 1974, Putu menjalani International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat, selama delapan bulan. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, ia singgah di Prancis membawakan pertunjukan kolaborasi bersama grup teater boneka Temp Fort di Festival Nancy. Putu pulang ke Indonesia pada 1975. Ia segera mengumpulkan rekan-rekan Teater Mandiri dan memulai latihan keras selama empat bulan yang selalu dimulai pada tengah malam hingga dini hari. “Supaya tidak ada alasan tak hadir karena ada kesibukan lain,” kata Putu.
  • 8. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 8 | 11 Uniknya, pelukis Nashar kerap datang menunggui sesi latihan tersebut. Kala itu, Nashar disebut- sebut mengajak para pemain untuk berlakon mengikuti “gerak batinnya”. Bermula dari gerakan abstrak, perlahan mereka berhasil menemukan bentuk-bentuk yang bersatu menghadirkan peristiwa dalam lakon Lho. Sejak itulah Putu memantapkan diri menggunakan konsep “bertolak dari yang ada” dan “teror mental” dalam perjalanan Teater Mandiri. Lakon yang menonjolkan olah tubuh jadi ciri khas Teater Mandiri pada rentang 1975–1988. Pada periode itu, mereka sempat berulang kali main di luar negeri. Salah satunya saat Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada 1985. Setelahnya, Putu jadi dosen tamu yang bicara soal teater dan sastra Indonesia modern di beberapa kampus di Amerika Serikat atas undangan Fullbright sepanjang 1985–1988. Teater Mandiri pun unjuk gigi di negeri Paman Sam. Saat kembali ke Indonesia, Putu memutuskan untuk kembali membawakan pertunjukan “tontonan” yang menggunakan naskah konvensional demi menarik hati penonton. Ini sebelum mereka banting setir ke gaya teater visual yang banyak bermain dengan cahaya dan bayangan. Konsep ini mereka usung kala tampil sebagai utusan Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat dan ketika tampil di Kyoto, Jepang, keduanya pada 1991. “Kekuatannya ada pada pencahayaan di balik layar. Dari situ muncullah bayangan-bayangan ‘ajaib’,” kata Gandung Bondowoso, anggota Teater Mandiri angkatan 1975. Dengan gaya tersebut, Teater Mandiri sukses merebut hati penonton internasional. Pada 2000, mereka tampil di Festival Asia di Tokyo membawakan The Coffin is Too Big for The Hole karya Kuo Pao Kun dari Singapura. Itu adalah pertama kalinya Teater Mandiri memainkan naskah bukan karya Putu. Di sana, panitia festival sempat terheran-heran melihat lampu yang dibawa oleh Teater Mandiri. “Mereka tak percaya bahwa kami hanya perlu stop kontak untuk dua lampu tua yang kami bawa dari Jakarta,” kata Putu. “Resensi tentang pertunjukan kami kemudian memuji tata lampu kami yang berteknologi rendah itu sebagai teknologi komputer yang canggih.” Itulah perwujudan konsep “bertolak dari yang ada”. Di lain waktu, Putu juga pernah menggunakan kain spanduk bekas yang tercecer di Taman Ismail Marzuki sebagai kostum pentas para pemainnya. Ia tak pernah merasa harus menampilkan panggung yang mewah pada para penonton. Bila ada dana lebih, ia justru akan membaginya rata pada para anggota sebagai ongkos latihan. “Namun sebesar-besarnya alokasi honorarium, ketika amplopnya dibagikan, tampilan amplop itu tak pernah gembung. Meski demikian, tak ada yang mengeluh, malah tertawa-tawa, karena sejak awal telah dibeberkan keadaan keuangan. Semua mafhum tanpa ekspektasi berlebihan,” ucap Gandung.
  • 9. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 9 | 11 Justru, tiap keterbatasan yang dihadapi jadi bahan bakar bagi Teater Mandiri untuk melompat lebih tinggi. Dengan akal dan kreativitas, mereka selalu bisa mengakali keadaan. Setelahnya, barulah muncul pementasan yang bertujuan untuk meneror mental. “Teror mental itu bukan untuk merusak jiwa seseorang, tapi saya ingin ‘mengganggu’ orang agar dia bangkit,” ujar Putu. “Teror itu tak selamanya yang meledak-ledak. Misalnya di malam yang sepi, akan jadi lebih sepi lagi bila ditambah suara tetesan air di kamar mandi.” Selama di Jakarta, Putu terus melakukan pencarian makna. Ia bahkan kerap melakukan reinterpretasi terhadap sebuah kata. Menurutnya, ada riwayat di balik tiap kata yang kerap mengejutkan dirinya. Terutama untuk kata-kata yang tak dianggap sebagai bagian dari bahasa baku oleh kamus. Dari situ ia mulai gemar menggunakan satu kata saja dalam tiap judul lakonnya, dari Gerr, Edan, Blong, Aum, Tai, Hah, hingga Jpret. “Menulis cerpen, novel, lakon, tak ubahnya seperti menulis esai atau disertasi atas kata-kata itu,” kata Putu. Proses pencarian itu nyatanya tak pernah usai. Kadang, malah ada hal-hal yang baru disadarinya setelah sekian lama. Seperti kata-kata Ibu Gedong yang sempat menghantuinya dahulu, soal sayap-sayap besar yang menutupi dirinya. Untuk dapat sampai ke puncak, nyatanya Putu mesti menyingkirkan batu-batu besar yang mengadang di tengah jalan. Salah satunya, Rendra. “Rendra itu adalah guru saya, teman saya, dan juga musuh saya,” tegas Putu. TANGAN kiri Putu Wijaya bergetar hebat. Suster memintanya untuk memindahkan delapan belas tabung kecil berwarna kuning dari lubang asal ke lubang di seberangnya. Tujuannya melatih ketangkasan tangan. Ini dibutuhkan setelah koordinasi otak ke tangan dan kaki kiri Putu terganggu akibat pendarahan di batang otak dahulu. Namun, saraf-saraf di tangannya seakan terus melawan. Jempol dan telunjuk Putu begitu kesulitan menjepit tabung-tabung yang ada, bagai anak kecil yang baru pertama makan nasi menggunakan sumpit. Tabung yang telah dicabut pun kerap terjatuh ke lantai. Dengan sabar, suster menemaninya hingga seluruh tugas Putu tuntas. “Yak, tujuh menit lima puluh detik, Pak.” “Lebih cepat dari biasanya. Kemarin-kemarin bisa sampai delapan menit.” Ini adalah salah satu bentuk terapi okupasi yang wajib Putu jalani tiap menyambangi pusat rehabilitasi Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang. Selain itu, ia juga wajib melakukan berbagai peregangan sebelum lanjut ke ruang fisioterapi. Di sana, Putu akan melatih otot tubuh, entah dengan bersepeda ataupun berjalan mondar-mandir keliling ruangan.
  • 10. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 10 | 11 Biasanya, Putu datang bersama istri ke Siloam seminggu tiga kali. Namun, karena aktivitas sebagai juri Festival Teater Jakarta selama sembilan hari penuh, ia terpaksa bolos terapi hingga empat kali. Ia baru sempat datang lagi pada Jumat, 11 Desember 2015. “Kaku enggak, Pak, sudah lama enggak datang?” “Kaku sekali.” Dengan kondisi fisik tersebut, Putu tak lagi bisa leluasa beraktivitas. Namun, di balik itu ia menemukan rasa syukur yang mendalam. Kini, Putu jadi lebih peka melihat sekitarnya. Hal-hal yang dulu dianggapnya remeh mendadak jadi begitu berharga. Kadang ia iri melihat orang lain bisa berjalan dengan enteng atau makan apa saja tanpa perlu khawatir. Di sisi lain, kesibukannya yang jauh berkurang membuatnya bisa lebih fokus menulis dan memimpin latihan Teater Mandiri. “Saat mengarahkan pemain, saya justru jadi lebih detail,” ujar Putu. Walau begitu, rasanya sulit menyebut bahwa Putu masih akan memimpin Teater Mandiri dalam jangka waktu panjang. Semangatnya masih prima, tapi fisiknya tak bisa berdusta. Belum lagi, mayoritas anggota teaternya diisi oleh muka-muka lama. Bisa dikatakan, hampir tak ada regenerasi dalam tubuh Teater Mandiri selama empat puluh tahun tahun perjalanannya berkarya. Beberapa pemain muda sempat tampil dalam pentas Kok di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada 4–5 Agustus 2015. Sebut saja Izul (Julung) dan Taksu Wijaya, anak tunggal Putu dari pernikahannya dengan Dewi Pramunawati. Namun, kualitas mereka tentu tak sebanding dengan para senior seperti Dwi Hastuti, Alung Seroja, atau Gandung Bondowoso. Putu pun tak percaya dengan regenerasi. Menurutnya, seseorang harus dapat melahirkan dirinya sendiri. Seperti dahulu, kala baru memulai karier di dunia sastra dan teater, ia selalu berusaha keras untuk belajar dan mencari tahu sendiri. “Malangnya, banyak anak-anak sekarang maunya dilahirkan,” kata Putu. Dari sana, Putu teringat cerita mendiang Harry Roesli, sahabatnya yang kerap membantu tata musik Teater Mandiri. Dahulu, Harry kerap mengumpulkan para pengamen jalanan. Ia mengajarkan musik dan memberi mereka makan secara cuma-cuma. “Suatu ketika, anak-anak itu membuang nasi bungkus yang dikasih ke mereka. Mereka bilang, ‘Masa dikasih ayam terus?’ Mendengarnya, Harry Roesli sampai kecewa sekali,” kisah Putu. “Bila dikasih terus, seseorang akan menuntut lagi untuk dapat yang lebih enak.” Tak hanya itu, masalah lain kelompok teater di Indonesia adalah kebergantungan pada seorang tokoh. Saat sosok yang membesarkan nama teater itu pergi, niscaya mereka bubar jalan. Itulah yang terjadi pada Bengkel Teater setelah W. S. Rendra wafat, Teater Populer sepeninggal Teguh Karya, dan Teater Kecil selepas kepergian Arifin C. Noer. Lantas, apakah yang hal serupa juga akan terjadi pada Teater Mandiri?
  • 11. PINDAI.ORG – Putu Wijaya Berputar di Planet / 14 Desember 2015 H a l a m a n 11 | 11 Menurut Putu, ada dua pilihan yang bisa diambil. Bila ingin bertahan dengan nama Teater Mandiri, maka teruskanlah dengan tetap mengusung identitas dan gaya main yang ada selama ini. Bila ingin berubah aliran, lebih baik bubarkan saja sekalian. “Kita sudah berjalan lebih dari empat puluh empat tahun. Selama ini, yang kita bikin bukan hanya sebuah pementasan. Kita sudah meletakkan dasar sebuah rumah yang kokoh. Jadi ada filsafatnya, tujuannya, prasasti kerjanya dan cara bergaulnya. Kita sudah mementaskan teror mental dan bertolak dari yang ada. Kalau hal itu tidak bisa dilanjutkan, bikin saja teater yang lain,” tegas Putu. Pukul 14.00, Putu pergi meninggalkan Siloam bersama sang istri. Elvis Ticoalu, anggota Teater Mandiri angkatan 1975, kali ini bertugas jadi sopir. Mereka akan menjemput Taksu di kampusnya, Universitas Multimedia Nusantara di Gading Serpong, Tangerang Selatan. Bersama, mereka akan pulang.(*) Sumber rujukan: • Bondowoso, Gandung. 2014. “Teater Mandiri dan 70 Tahun Putu Wijaya”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 611–617. • Bujono, Bambang. 2014. “Lho yang Saya Tonton”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 345–350. • Diapayana, Arya. “Teater Mandiri”. http://www.kelola.or.id/database/theatre/list/&dd_id=69&p=3. Diakses pada 14 Desember 2015. • Mohamad, Goenawan. 2014. “Tutur dan Gumam dan Realisme: Menyusur Novel-Novel Putu Wijaya”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 15–35. • Riantiarno, Nano. 2014. “Putu Wijaya”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 567–571. • Wijaya, Putu. 2014. “Bertolak dari yang Ada & Teror Mental”. Dalam Gandung Bondowoso dan Rita Sri Hastuti (penyunting), Bertolak dari yang Ada: Kumpulan Esai untuk PW 70. Jakarta: Pentas Grafika. 618–688.