menilai buku fiksi dan non fiksi (membandingkan buku fiksi dan non fiksi)safira intan
berisi tentang penilaian dan perbandingan terhadap buku "sebelas patriot" yang merupakan buku fiksi dan buku "jadi penulis fiksi? gampang kok!" yang merupakan buku nonfiksi
Content Plan for Gramedia.com social media for the month June 2020 including: content brief, caption, visual brief by Zendika Sandiaszkara and design by Yasinta Retno
menilai buku fiksi dan non fiksi (membandingkan buku fiksi dan non fiksi)safira intan
berisi tentang penilaian dan perbandingan terhadap buku "sebelas patriot" yang merupakan buku fiksi dan buku "jadi penulis fiksi? gampang kok!" yang merupakan buku nonfiksi
Content Plan for Gramedia.com social media for the month June 2020 including: content brief, caption, visual brief by Zendika Sandiaszkara and design by Yasinta Retno
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.
Betapapun harus ‘mengencangkan ikat pinggang’, sebagaimana istilah dua penerbit ini, para pegiatnya terus menghidupi bacaan non-populer dengan daya kritis yang tebal.
Gestok dan Kehancuran Gerakan PerempuanPindai Media
Gerwani mengajak perempuan melek politik dan aktif dalam pendidikan. Ditumpas ketika huru-hara ’65‒’66 bersama dengan satu generasi perempuan intelektual.
1. ‘Menari di Medan yang Riuh’
Oleh:
Teddy & Maesy
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 2 | 7
‘Menari di Medan yang Riuh’
oleh Teddy & Maesy
“Tulisan perjalanan yang baik, seperti halnya tulisan di genre lain, akan dihasilkan oleh
mereka yang memang terus mengasah kemampuan menulisnya.”
ANNE Siddons, perempuan yang tumbuh besar di kota kecil Fairburn di selatan Amerika
Serikat, berkata kepada penulis V.S. Naipaul betapa orang-orang kulit putih di daerahnya selalu
punya krisis percaya diri.
“Sejak kecil aku melihat bagaimana kami merasa terancam oleh masyarakat kulit hitam. Kami
keturunan masyarakat jajahan yang kalah Perang Saudara. Kami masyarakat pertanian yang
miskin. Rasa malu karena kalah perang masih saja menghantui. Sisa rasa percaya diri kami
hanya ada dari rasa superior terhadap orang kulit hitam.”
Saat itu pertengahan 1980-an, Naipaul bertemu Siddons dalam perjalanannya di sepanjang
wilayah selatan. Naipaul menyusuri kota-kota kecil dan daerah perkebunan di Tuskegee,
Atlanta, hingga Mississippi—biasa disebut The Old South. Dalam perjalanan itu Naipaul
berbicara dengan banyak orang dari kalangan liberal, konservatif, petani, pendeta, penyanyi
lagu rakyat, hingga pekerja kerah biru yang mengendarai truk rombeng dengan enam kaleng bir
yang selalu tersedia di jok samping kemudi. Ia menggali banyak kisah dan mencatat dengan
tekun dalam buku berjudul A Turn in the South yang terbit tahun 1989.
A Turn in the South menjadi karya yang dipuji, salah satunya, karena pendekatan atas kisah
perjalanan. Ia tidak berbicara tentang ketakjuban akan tempat baru atau petualangan yang
memacu adrenalin. Ia juga tidak membuat narasi filsafati tentang pencarian jati diri si penulis.
Ia berbicara tentang jejak-jejak perbudakan, Perang Saudara, segregasi ras dalam alam bawah
sadar, dan pilihan-pilihan tindakan orang-orang yang ditemuinya.
“Penulis perjalanan tidak hanya melihat dan mendeskripsikan tempat,” ujar Naipaul kepada
New York Times. “Ia mendalami manusia-manusianya.“
Kami membaca A Turn in The South di sebuah ruang tunggu di bandara Soekarno-Hatta. Di
sebelah kami seorang pemuda dengan tas punggung besar sedang mengutak-atik kamera lensa
panjang. Di ujung lain, sekelompok remaja bersiap untuk memulai liburan. Pulau Komodo,
kalau kami tak salah dengar, menjadi tujuan mereka. Suasana itu membawa kami pada
perbincangan betapa perjalanan menjadi tren pada dekade terakhir ini.
Sejak muncul perusahaan-perusahaan penerbangan yang menjual tiket murah pada awal 2000-
an, semakin banyak orang mulai rajin bepergian. Ke negeri-negeri jauh, tempat wisata populer,
atau sudut-sudut yang belum terjamah. Lumrah saja, mereka yang bepergian kemudian
berkeinginan untuk membagi pengalamannya. Penulis perjalanan pun bermunculan, semakin
lama semakin banyak, hingga pada satu titik, kerap dianggap terlalu gaduh.
Arman Dhani, penulis muda yang produktif menyoroti pelbagai isu sosial, menulis pada 2013
betapa fenomena penulis perjalanan di Indonesia adalah perihal yang kepalang “overrated dan
memuakkan”. Baginya ini adalah genre tulisan yang terjebak pada skema deskripsi keindahan
dan promosi pariwisata belaka. Dua tahun kemudian Zen Rachmat Sugito, dalam esai
“Keluyuran di Tengah Kota”, menulis betapa para pejalan “memancarkan cara pandang
kolonial” yang menempatkan keindahan dan eksotisme tempat sebagai objek semata.
3. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 3 | 7
Terlepas dari pengecualian-pengecualian yang tentu ada, ini adalah kritik yang patut dicermati.
Apakah genre tulisan perjalanan di Indonesia masih bisa berkembang dalam hal kualitas dan
keberagaman? Atau ia akan semakin gaduh dengan promosi pariwisata atau deskripsi tempat
yang melulu indah?
FARID Gaban sedang menjalani akhir masa kuliahnya saat ia bergabung dengan majalah
Tempo. Saat itu medio 1980-an Farid bertugas melakukan kerja-kerja liputan di wilayah Jawa
Barat. Ia berkeliling dengan sepeda motor ke Cirebon, Sukabumi, dan sekitarnya; kebanyakan
meliput tema-tema pertanian dan menulis fitur-fitur bernapas humaniora. Saat kami bertanya
periode awalnya menulis catatan perjalanan, Farid mengatakan itu tak bisa dilepaskan dari
kerja-kerja jurnalistiknya. Mulai dari masa berkeliling Jawa Barat dengan sepeda motor hingga
berlanjut tahun 1988 ketika ia mendapat fellowship ke Amerika Serikat dari The Asia
Foundation. Di sana ia bertugas meliput tema-tema politik, tapi juga membuat tulisan-tulisan
bernada perjalanan. Ia pernah menulis artikel soal skena jazz di New Orleans hingga arsitektur
dan sejarah kota Boston.
“Tulisan perjalanan bukan hal baru, tetapi belakangan memang sedang mengalami pasang
naik,” ujarnya saat kami berbincang di kantor media Geo Times tempatnya bekerja sekarang.
Hingga kini, tulisan-tulisan perjalanan Farid kerap seirama dengan kerja-kerja jurnalistiknya.
Pada 2009 hingga 2010, ia bersama Ahmad Yunus, rekan sesama wartawan, melakukan
ekspedisi ke sisi-sisi terluar Indonesia dengan sepeda motor. Ia membuat dokumentasi gambar,
sementara Yunus bertugas menulis jurnal perjalanan. Tulisan Yunus kemudian terbit dalam
bentuk buku berjudul Meraba Indonesia pada 2011. Mereka berjalan, mencoba mengenal
Indonesia secara lebih dekat dan mendalam, serta berusaha merekam suara mereka di wilayah
periferal yang acap diabaikan: para petani, nelayan, atau pedagang pasar.
Mengenai kualitas tulisan perjalanan yang sedang ramai belakangan, Farid bekomentar bahwa
sebagian besar memang masih ditulis dengan kacamata pelancong, melihat sekadar permukaan
dan tidak menggali lebih dalam. Namun Farid memilih untuk tidak terlalu ambil pusing.
“Saya rasa kita tak perlu terjebak dalam kasta-kasta. Mana tulisan yang serius, mana yang
kacangan. Semua disambut saja.”
Menurutnya wajar saja jika ada penulis baru yang pertama kali sampai puncak gunung, lalu
menulis berbunga-bunga soal keindahan gunung.
“Nanti bersama bertambahnya pengalaman bepergian, tambah bacaan dan pengetahuan,
seharusnya tulisannya berkembang.”
Farid sendiri terkadang ikut berkontribusi untuk buku-buku perjalanan populer yang digarap
secara serius. Salah satunya seri antologi The Journeys yang diterbitkan GagasMedia mulai
tahun 2011. Tulisan Farid, salah satunya, soal perjalanannya menelusuri jejak sejarah di Boven
Digoel, Papua bagian selatan, tempat para aktivis politik diasingkan oleh pemerintahan Hindia
Belanda akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1926. Ia menulis tentang para
tawanan yang harus melawan musuh tak terlihat—kesepian dan ketidakwarasan. Untuk Farid,
ini adalah perjalanan refleksi sejarah terutama terhadap dua tokoh Kiri yang lantang melawan
Belanda: Mas Marco Kartodikromo, jurnalis Indonesia, dan Thomas Najoan, tokoh serikat
buruh percetakan di Surabaya.
“Kejahatan Belanda adalah menjebloskan mereka ke sana, di sisi lain adalah kejahatan kita juga
untuk tidak mengingatnya. Karena itu saya tertarik untuk menuliskannya,” kata Farid.
The Journeys digagas Windy Ariestanty, pegiat narasi perjalanan. Antologi ini mengajak
sejumlah penulis untuk mengisahkan perjalanan dalam narasi panjang. Saat itu, ketika
4. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 4 | 7
penerbit-penerbit arus utama merilis lebih banyak buku perjalanan bertipe panduan dengan
kemasan populer, The Journeys bisa dibilang sebuah hal baru.
“Dibandingkan tulisan jurnalistik lain saya, di The Journeys saya menulis lebih personal, lebih
ada perenungannya. Saat Windy mengajak berkontribusi, saya mau saja. Saya suka tulisan
perjalanan yang mengajak pembacanya ikut merenung. Mungkin karena saya mulai tua.” Farid
terkekeh.
KAMI bertemu Windy Ariestanty untuk kali pertama setahun lalu. Saat itu ia mengisi kelas
penulisan narasi perjalanan di toko buku kecil kami di Pasar Santa. Kami ingat ia muncul
dengan rambut yang baru saja dicat biru. “Ini bagus untuk memulai percakapan, terutama
dalam perjalanan,” katanya sambil tertawa.
Jika Farid Gaban bisa dibilang angkatan senior, Windy Ariestanty adalah generasi lebih baru
dan lebih memfokuskan kerja kepenulisannya pada narasi perjalanan. Ia menulis buku
perjalanan pertamanya, Life Traveler (2011), dan menjadi nominasi dalam Anugerah Pembaca
Indonesia 2012 kategori nonfiksi. Ia menghabiskan sepuluh tahun kariernya sebagai editor di
GagasMedia dan ikut menggagas ‘Writing Table’, sebuah kelas penulisan yang berpindah-
pindah dari satu kota ke kota lain.
Kami bertemu kembali dengan Windy di sebuah kedai kopi yang ramai di Jakarta. Sambil
tertawa, ia menyebut kata “riuh” untuk menggambarkan situasi skena penulisan perjalanan saat
ini.
Jumlah buku perjalanan yang terbit dan blog yang aktif semakin banyak. Di toko buku pun,
buku perjalanan dengan gaya narasi mulai lebih banyak ditemukan ketimbang jenis panduan.
Namun, sebaliknya, belum banyak kemajuan dalam hal pendekatan tema dan kualitas
penulisan. Kami berpikir, dalam dekade terakhir ini, penulis buku perjalanan dengan
kedalaman dan kualitas tulisan yang diakui baik masih belum bergeser dari karya-karya
Agustinus Wibowo.
Ketiga karya Agustinus—Selimut Debu (2010), Garis Batas (2011), dan Titik Nol (2013), tidak
hanya membuat pembaca mengenal lebih dekat dimensi-dimensi kehidupan di Afghanistan,
Kazakhstan, atau India, tapi juga mendorong pembaca melihat lebih dalam pencarian Agustinus
akan identitas diri dan makna rumah untuknya.
Menurut Windy, tujuan penulisan perjalanan bukan semata untuk membuat pembaca ingin
pergi ke tempat yang ditulis. Tulisan perjalanan meminjamkan mata kepada pembaca, sehingga
pembaca dapat turut serta merasakan apa yang dirasakan penulis, meresapi cara pandang yang
ditawarkan, dan mendapatkan ‘rasa’ dari tempat yang diceritakan. Sebuah tempat memiliki
banyak dimensi yang bisa digali dan ditampilkan. Untuk itu penulis harus merupakan pengamat
yang baik, memiliki kepekaan yang tinggi, dan punya sudut pandang yang kuat.
Beberapa waktu lalu, kami membaca novel perjalanan karya Teju Cole, Everyday Is for the
Thief, yang mampu membawa pembaca merasakan kekerasan keseharian di Lagos. Berjalan di
jalanannya yang ramai tanpa berani membuat kontak mata, berada di warung internet dengan
pemuda-pemuda yang mengirimkan surat elektronik ke seluruh dunia dengan kedok
menawarkan pembagian warisan, atau berada di ruangan yang sesak di pusat kota Lagos saat
listrik padam di tengah malam, sementara di sudut lain seorang bayi menangis meraung-raung.
“Hal ini tidak mudah,” ujar Windy. “Si penulis harus terus berlatih dan rajin mengamati.”
Kami teringat sebuah tulisan Windy dari kunjungannya ke Bromo. Ia tidak bercerita tentang
keindahan sama sekali; ia menulis interaksinya dengan Marsiti, seorang ibu lanjut usia warga
desa di kaki gunung. Interaksi yang ditampilkan sederhana soal bagaimana Marsiti mengajari
5. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 5 | 7
Windy membuat sambal mlandingan. Sebagai gantinya Marsiti meminta diajari Bahasa Inggris.
Windy berkata ia sedang berlatih menulis narasi perjalanan dengan menempatkan dirinya di
belakang dan lebih mengedepankan orang-orang yang ditemuinya; seperti Naipaul. Kami pikir
ia cukup berhasil. Tulisannya memberikan panggung utama pada Marsiti. Windy meminjamkan
matanya sehingga pembaca dapat lebih mengenal sosok Ibu yang gemar film India itu. Ia tidak
mengajak pembaca untuk pergi ke Bromo. Ia mengajak pembaca menikmati interaksi-interaksi
kecil sesama manusia.
Pekerjaan rumah dalam hal kualitas penulisan perjalanan memang masih banyak. Selain
terjebak pada pola “lihat betapa indah tempat ini maka kau harus segera ke sini”, kreativitas
dalam memilih struktur maupun sudut pandang pun masih monoton. Struktur kronologis
“setelah ini lalu begitu” sudah terlalu jamak dan membosankan. Ada pula yang menunjukkan
interaksi dengan penduduk lokal tetapi lebih menempatkan sebagai objek, sehingga tulisan
lebih terlihat seperti usaha untuk menampilkan citra diri yang bersahaja. Kecintaan yang
berlebih pada diri sendiri begini terkadang menyebalkan.
“Tapi tak apa. Menulis buruk jauh lebih baik daripada tidak menulis sama sekali. Bersama
waktu, hanya yang mau berproses dan belajar yang akan bertahan, lihat saja,“ ujar Windy. Ia
seorang kawan yang optimis.
PERKARA proses memiliki kerumitan sendiri. Ada perbedaan antara ‘penulis yang berjalan’ dan
‘pejalan yang juga menulis’. Mereka berangkat dari kepentingan berbeda. Penulis yang
melakukan perjalanan menjadikan lawatannya bagian dari usaha melatih kepenulisan.
Sementara pejalan yang menulis lebih menitikberatkan pada perjalanan itu sendiri. Di sini,
banyak pejalan menempatkan tulisan sebagai sarana untuk menunjang industri perjalanan. Ia
tidak terlalu menuntut tulisan yang mengupas masyarakat dan seluk-beluk sebuah tempat
secara mendalam, cukup promosi keindahan atau hal-hal asyik untuk menarik orang
berkunjung.
Belakangan ini Kementerian Pariwisata dan bermacam perusahaan memang gemar mengajak
penulis perjalanan untuk melakukan kunjungan wisata, yang kemudian mempromosikan tujuan
wisata atau produk tertentu. Biasanya perjalanan dilakukan bersama penulis dengan situs
berpengunjung banyak atau akun media sosial dengan jumlah pengikut besar. Jadwal
kunjungan di satu tempat biasanya cukup padat, singkat, dan beramai-ramai. Bulan November
2015, misalnya, Kementrian Pariwisata mengajak 50 orang penulis perjalanan dan pegiat media
sosial untuk melakukan perjalanan ke enam destinasi—Lampung, Semarang, Surabaya,
Lombok, Labuan Bajo, dan Bali—dalam waktu 16 hari. Tentu ini sah-sah saja. Tetapi ini bukan
situasi kondusif untuk lahirnya tulisan perjalanan yang berwarna atau memiliki kualitas dan
kedalaman yang baik.
Para penulis perjalanan juga tentu tak salah untuk mendambakan kesempatan bepergian cuma-
cuma. Tetapi situasi ini membuat usaha melahirkan tulisan yang berbobot menjadi lebih rumit.
Kami meyakini tulisan perjalanan yang berkualitas akan memiliki ide, alur, dialog, penokohan,
deskripsi, hingga kedalaman yang baik. Tentu ada kualitas yang terkorbankan ketika penulis
mengutamakan pemilihan judul atau uraian berdasar kemungkinan munculnya tulisan itu di
baris atas mesin pencari.
Pengaruh industi terhadap penulisan perjalanan ini tak hanya terjadi di Indonesia; ini juga
merupakan fenomena global. Elizabeth Becker dalam bukunya Overbooked: The Exploding
Busines of Travel and Tourism mengatakan bahwa penulisan perjalanan telah menjadi sayap
yang penting bagi industri pariwisata. Tujuannya satu dan hanya satu: membuat pelancong
membelanjakan uangnya untuk melakukan perjalanan impian.
6. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 6 | 7
Frank Bures dalam narasi berjudul Branding Guyana menulis kritik terhadap tulisan
perjalanan yang banyak beredar. Terhadap pertanyaan mengapa tulisan perjalanan kerap
membosankan, Bures menjawab tajam: Karena itu bukan tulisan perjalanan; itu tulisan turisme
belaka, dan turisme itu membosankan. Kritik Bures menjadi salah satu nominasi dalam tulisan
perjalanan terbaik di Amerika Serikat tahun 2015.
“Saat industri mulai masuk, hal-hal memang cenderung menjadi lebih rumit,” ujar Windy.
Beberapa waktu lalu Windy mengajak kami menulis kisah perjalanan untuk promosi kartu
kredit sebuah bank asing. Saat itu Windy bernegosiasi dengan pemberi kerja bahwa tulisannya
akan berbentuk narasi dan kalimat-kalimat promosi takkan dibuat secara gamblang. Tulisan
yang masuk pun ia sunting dengan ketat. Windy berkelindan dengan tuntutan pasar tanpa mau
mengompromikan idealismenya terhadap jenis tulisan yang ia minati. “Menari di medan
perang”—begitu istilah Windy untuk ketekunannya mengembangkan genre narasi perjalanan
dan sikapnya terhadap pengaruh industri.
Saat kami bertanya apa dalam keriuhan ini ia hendak menulis buku lagi? Windy menggeleng.
“Aku masih mencoba mengasah terus kemampuan menulisku, juga mengajak orang-orang yang
mau untuk berproses bersama-sama.”
Windy menyebut beberapa nama dengan tulisan perjalanan yang memberinya inspirasi: Susan
Orlean, V.S. Naipaul, dan John McPhee. Menurutnya, kejelian penulis-penulis ini dalam
menemukan cerita di balik hal-hal yang tampak dalam perjalanan memacunya untuk terus
belajar menulis dan mengasah cara pandang.
Orang-orang yang disebut Windy membuat kami kembali berpikir. Pada dasarnya mereka
bukanlah orang yang terlahir sebagai penulis perjalanan. Mereka adalah orang yang jatuh cinta
pada dunia menulis, lantas menuliskan pengalaman berjalannya. Orlean adalah jurnalis New
Yorker yang karya eksploratifnya tentang para pencuri anggrek langka mendapatkan banyak
pujian. Naipaul dikenal penulis fiksi yang kemudian mendapatkan Nobel Sastra. McPhee diakui
luas sebagai pionir penulis nonfiksi yang kreatif dan cakap memainkan struktur.
Senada dengan Windy, saat kami bertanya kepada Farid Gaban tentang tulisan perjalanan yang
disukainya, ia menyebut buku Like The Flowing River karya Paulo Coelho. Buku ini berisi
kumpulan tulisan perenungan Coelho tentang pelbagai ihwal—perjalanan, musik, hingga
kebaikan dan keburukan. Tulisan-tulisan pendek sederhana, misalnya tentang pelajaran
mendaki gunung yang dihubungkan Coelho dengan perkara kesulitan hidup.
“Terkadang tulisan perjalanan tidak harus yang megah-megah sekali, yang sederhana seperti ini
pun jadi, asal bisa mengajak pembacanya ikut berpikir,” kata Farid.
Di antara riuh rendah ini, optimisme masih selalu muncul saat buku perjalanan yang
menawarkan nuansa lain tetap bermunculan. Menjelang akhir 2015 terbit buku Melawat ke
Timur karya jurnalis Kardono Setyorakhmadi. Kardono menuliskan catatan perjalanannya ke
Maluku dan Papua untuk melihat praktik-praktik toleransi beragama. Ia menulis bagaimana
Islam mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan setempat sehingga memunculkan
keunikan dan benih toleransi. Bagaimana di Siri-Sori, Pulau Saparua, misalnya, sejumlah jejak
adat masih terasa seperti tahlilan atau ritual ibadah lain yang menggunakan dupa.
Kami pun bergembira mengetahui Agustinus Wibowo sedang memulai perjalanan panjangnya
menuliskan buku baru. Agustinus akan mengunjungi perbatasan Indonesia, juga negara-negara
tetangga dan daerah-daerah diaspora Indonesia seperti Suriname dan Afrika Selatan, untuk
memahami makna Nusantara dalam arti luas. Ia ingin mendalami apa yang merekatkan
Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Seperti buku-buku Agustinus sebelumnya, identitas
masih merupakan benang merah dari karyanya. Hanya saja, jika dalam karya sebelumnya ia
7. PINDAI.ORG – Menari di Medan yang Riuh / 28 Desember 2015
H a l a m a n 7 | 7
lebih mencurahkan pencarian ke dalam dirinya, kini ia mencoba untuk sedikit ke luar, melihat
identitas Indonesia-nya.
Tulisan perjalanan yang baik, seperti halnya tulisan di genre lain, akan dihasilkan oleh mereka
yang memang terus mengasah kemampuan menulisnya. Mereka yang melepaskan diri dari
ikatan-ikatan yang diciptakan industri, dan hanya bekerja untuk kepenulisannya itu. Dalam
kancah sastra dunia, banyak sastrawan besar yang juga menulis perjalanan. John Steinbeck,
misalnya, di usia senjanya menuliskan perjalanan saat ia keliling Amerika bersama anjingnya
yang bernama Charley. Di Indonesia pun geliat ini sudah ada. Seno Gumira Ajidarma, pada Juni
2015 menerbitkan Jejak Mata Pyongyang—catatan perjalanannya di Korea Utara pada 2002
saat ia menjadi juri pengganti untuk Festival Film Internasional Pyongyang. Di sana Ajidarma
menulis pengamatannya terhadap macam-macam manusia yang ditemui serta gugatannya atas
penindasan rakyat yang dilakukan oleh negara.
Tulisan-tulisan bernada promosi pariwisata tentu tidak salah. Namun genre penulisan
perjalanan akan lebih semarak jika makin banyak penulis menantang dirinya menghasilkan
karya yang memberi nuansa lebih bervariasi. Saat informasi tentang satu tempat belakangan
makin mudah didapatkan—di media sosial, televisi, dan lain-lain, tulisan perjalanan dapat
menyentuh pembaca dalam level yang lebih personal, dari hubungan yang tercipta antara
pembaca dan pengalaman serta pergulatan pemikiran si penulis.
Kami teringat tokoh Charlie Skinner, wartawan idealis dalam serial The Newsroom. Skinner
berkata bahwa ia menghasilkan kerja pemberitaan yang baik hanya karena alasan sederhana: Ia
memutuskan untuk melakukannya. Menulis kami kira juga begitu. Tulisan yang baik, apa pun
itu, dimulai dari si penulis memutuskan untuk menulisnya dengan baik. Seperti kata Windy di
tengah perbincangan kami,
“Pada dasarnya penulis yang baik tidak akan membiarkan dirinya menghasilkan karya yang
buruk.”*
______
Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang mengelola POST, toko buku independen di Pasar Santa,
Jakarta. Buku pertama mereka, “Kisah Kawan di Ujung Sana” terbit 2014. Bisa ditemui di
@dusty_sneakers dan thedustysneakers.com.