Memproteksi diri secara internal dari gangguan setan merupakan judul yang tepat bagi surat an Naas ini. karena perlindungan ini membutuhkan tauhid yang mendalam.
Memproteksi diri secara internal dari gangguan setan merupakan judul yang tepat bagi surat an Naas ini. karena perlindungan ini membutuhkan tauhid yang mendalam.
Tidak bisa dipungkiri saat ini umat islam terdiri dari banyak golongan dan ormas. Namun apakah hal tersebut menghalangi persatuan umat Islam?
Temukan jawabannya dalam materi Islamic Unity oleh ustadz Felix Siauw berikut ini.
Tidak bisa dipungkiri saat ini umat islam terdiri dari banyak golongan dan ormas. Namun apakah hal tersebut menghalangi persatuan umat Islam?
Temukan jawabannya dalam materi Islamic Unity oleh ustadz Felix Siauw berikut ini.
Makalah akar permasalahan solusi tegaknyan bendera syaithan dan perdukunanMuhammad Idris
Makalah akar permasalahan solusi tegaknyan bendera syaithan dan perdukunan
Makalah akar permasalahan solusi tegaknyan bendera syaithan dan perdukunan
Makalah akar permasalahan solusi tegaknyan bendera syaithan dan perdukunan
Makalah akar permasalahan solusi tegaknyan bendera syaithan dan perdukunan
2. Tafsir Ta’awwudz
“Aku berlindung kepada Allah, dari godaan syaitan yang terkutuk”.
Ta’awwudz artinya perlindungan, ia adalah permohonan perlindungan
seorang manusia kepada Tuhannya dari gangguan dan godaan musuh utama
sepanjang hidupnya, yang selalu berusaha untuk menyesatkannya, yaitu
syaitan laknat.
Dalam Alqur’an, Allah azza wa jalla memerintahkan seorang muslim
untuk berlindung kepada-Nya dalam berbagai keadaan, siang atau pun malam,
dalam ibadah ataupun di luar ibadah.
Al-Hafiz Ibnu Katsir menyebutkan beberapa ayat yang secara khusus
berisi perintah kepada seorang muslim untuk berlindung kepada Allah azza
wa jalla, yaitu :
1. Perintah berta’awwudz dalam interaksi social, khususnya agenda dakwah.
Yaitu dalam surat Al-A’raf :
“Jadilah engkau permaaf, dan serulah orang-orang untuk melaksanakan
kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (199) Dan jika
syaitan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah, Sesungguhnya
ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(al-A’raf 7:199-200)
Dalam rangkaian dua ayat di atas, terdapat hikmah yang sangat besar
bagi para aktivis pergerakan islam di seluruh penjuru bumi, yaitu bahwa Allah
memerintahkan mereka untuk sering-sering berta’awwudz dalam
melaksanakan amar ma’ruf. Sebab, tanpa ta’awwudz maka seorang aktivis
dakwah telah membuka peluang untuk masuknya syaitan dengan berbagai
bisikannya, dalam seruan-seruan yang ia sampaikan.
3. Tanpa ta’awwudz, seruan dakwah bisa saja berubah menjadi seruan
yang berisi celaan terhadap sesama muslim yang dibingkai dengan
permusuhan dan kebencian, serta jauh dari rasa persaudaraan sesama
muslim. Inilah hikmah dibalik rangkaian dua ayat mulia ini, yaitu bahwa
sedikit saja kelalaian, akan membawa dakwah dan para pengusungnya
berubah haluan tanpa mereka sadari, akibat adanya bisikan yang tidak
mereka waspadai.
2. Perintah ta’awwudz dalam menghadapi perilaku buruk dari seseorang, atau
pun yang berselisih dengan kita.
Yaitu dalam surat al-Mu’minun :
“Tolaklah keburukan itu dengan cara yang paling baik, kami lebih mengetahui
apa yang mereka sifatkan (kepada Allah) (96). Dan katakanlah,”Ya Tuhanku,
aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan syaitan (97). Dan aku
berlindung kepada-Mu Tuhanku dari kehadiran mereka”. (al-Mu’minun 23:96-
98)
3. Ketika akan mempelajari agama (al-Qur’an).
Yaitu dalam surat an-Nahl :
“Maka apabila engkau hendak membaca Alqur’an, mohonlah perlindungan
kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (an-Nahl 16:98)
Dalam ayat ini, Allah azza wa Jalla memerintahkan kepada setiap
muslim agar berta’awwudz ketika membaca Al-Qur’an. Hal ini adalah isyarat
bagi kita bahwa tidak hanya dalam hal-hal buruk syaitan menggoda manusia.
Akan tetapi, meskipun akan melakukan hal-hal baik pun, syaitan selalu saja
mencari celah untuk menggoda manusia. Berta’awwudz ketika belajar Al-
4. quran dalam ayat ini adalah perwakilan dari upaya untuk mempelajari
khasanah ilmu keislaman yang luas. Di sana terdapat Al-Qur’an, Hadits, fiqh,
sirah, tafsir, dan pemikiran-pemikiran islam, yang semuanya harus diawali
dengan ta’awwudz ketika kita mempelajari, memahami, mengamalkan, dan
mendakwahkannya.
Berkaitan dengan ta’awwudz, alhafiz Ibnu Katsir mengatakan bahwa
Allah memerintahkan seorang muslim agar bersikap baik dan toleran
terhadap musuh dari kalangan manusia. Hal ini agar ia sadar dan kembali
kepada fitrah aslinya sebagai manusia yang baik, melalui sikap bersahabat
dan rukun dari kita.
Masih menurut Ibnu Katsir, Adapun berkaitan dengan musuh kita dari
kalangan syaitan, maka disinilah kita harus berlindung kepada Allah darinya.
Kita tidak boleh bersikap baik dan toleran dengannya, karena ia dan
pengikutnya memiliki kesamaan prinsip dan misi, yaitu bermusuhan dan
menyesatkan kita.
****
Peringatan akan permusuhan abadi ini diingatkan oleh Allah azza wa
jalla dalam beberapa ayat, yaitu :
1. Peringatan tentang memori keluarnya Adam a.s dan Hawa dari surga
karena tipuannya, sebagai titik awal uji coba misi penyesatannya terhadap
manusia, dengan menggunakan teknologi monitoring dan pengintaian super
canggih.
“Wahai anak cucu Adam! janganlah sampai kamu tertipu oleh syaitan,
sebagaimana ia telah mengeluarkan Ibu Bapakmu dari surga, dengan
5. menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya.
Sesungguhnya ia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang
kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya syaitan-syaitan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (al-A’raf 7:27)
Hal unik yang ada di dalam ayat di atas adalah teknologi yang digunakan
oleh syaitan dalam memantau aktivitas manusia, mereka di bawah komando
Iblis memantau seluruh aktivitas manusia bersama-sama 24 jam per individu
untuk menyusun strategi penyesatan yang cocok untuk setiap individunya. Ini
berarti bahwa setiap individu manusia di dunia ini tidak satu pun yang lolos
dari pantauan mereka. Hal ini juga mendorong kita untuk lebih hati-hati
dalam mengarungi kehidupan kita sehari-hari, agar tidak terjebak dengan tipu
daya syaitan.
2. Peringatan bahwa syaitan melakukan perekrutan anggota untuk menambah
komunitasnya.
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuhmu, maka jadikanlah ia sebagai
musuh. karena sesungguhnya ia mengajak hizbnya (golongan, gerakan,
organisasinya) untuk menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Fathir
35:6)
Ada hal unik di balik permulaan ayat ini, yaitu kalimat :
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuhmu, maka jadikanlah ia sebagai
musuh.
6. Muncul pernyataan dan perintah yang dengannya manusia terbagi ke dalam
beberapa golongan, yaitu:
1) golongan yang tidak mengetahui bahwa syaitan adalah musuh, lalu
menjadikannya teman.
2) golongan yang tahu bahwa syaitan adalah musuh, namun tetap
menjadikannya teman.
3) golongan yang tahu bahwa syaitan adalah musuh, lalu menjadikannya
sebagai musuh.
Golongan terakhir inilah yang Allah azza wa jalla inginkan agar setiap
muslim termasuk ke dalamnya. Yaitu golongan yang mengetahui bahwa
syaitan itu musuh, lalu berhati-hati terhadapnya. Dari ayat di atas pula, kita
harus selalu ingat bahwa syaitan dan komunitasnya selalu mengadakan
agenda-agenda perekrutan untuk menambah jumlah pengikutnya di neraka
kelak.
Dari ayat di atas pula, dapat kita ketahui bahwa syaitan juga memilki
hizb, yaitu pergerakan ataupun organisasi. Yaitu pada kalimat ”Yad’u Hizbahu”
artinya ia menyeru hizbnya, organisasi dan pergerakannya.
3. Peringatan bahwa syaitan melakukan kampanye kepemimpinan agar ia
dipilih sebagai pemimpin oleh manusia dalam kesesatan.
“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat,”Sujudlah kamu
kepada Adam !” maka merekapun sujud kecuali iblis. Dia adalah dari golongan
jin, dan ia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan ia
dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah
musuhmu ? Sangat buruklah iblis itu sebagai pengganti Allah bagi orang-orang
yang zalim. (al-Kahfi 18:50)
7. Dalam ayat di atas, Allah azza wa jalla berdialog dengan manusia-
manusia yang telah menjadikan syaitan sebagai pemimpin dalam
kehidupannya. Padahal, semua manusia dijamin oleh Nabi saw. terlahir
sebagai manusia yang suci. Disinilah kita harus sadari bahwa syaitan selama
ini, sejak manusia mencapai awal usia dewasa, syaitan telah menyiapkan
berbagai bentuk kampanye yang akhirnya membawa manusia memilihnya
sebagai pemimpin.
4. Peringatan tentang misi syaitan, yaitu penyesatan manusia.
“Iblis menjawab:”Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (shad 38:82)
Dari keempat ayat yang peringatan Allah azza wa Jalla di atas, dapat kita
lihat bahwa jauh-jauh hari sebelum berkembangnya ilmu politik dan
manajemen modern, bahkan sejak awal sejarah penciptaan manusia, syaitan
sudah menggunakan system manajemen penyesatan termaju dan canggih
yang teorinya baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan di zaman modern. yaitu
uji coba misi penyesatan pada Adam a.s dan Hawa, memiliki hizb (pergerakan
dan organisasi), memiliki misi utama yaitu kesesatan, dan melakukan
kampanye agar manusia memilihnya sebagai pemimpin.
Keempat faktor inilah yang menjadi kekuatan syaitan, hingga menuai
keberhasilan yang besar dalam menyesatkan manusia. Meskipun demikian,
Allah azza wa Jalla menjelaskan kepada kita bahwa basis masssa pendukung
dan anggota hizbussyaitan didominasi oleh dua kelompok, yaitu orang-orang
yang menjadikannya pemimpin, dan orang-orang musyrik. Hal ini
sebagaimana firman Allah :
8. “Sesungguhnya syaitan itu hanya memiliki kekuatan untuk menyesatkan orang-
orang yang menjadikannya pemimpin, dan orang-orang yang
menyekutukannya dengan Allah”. (an-Nahl 16:100)
Di tengah kemajuan ilmu, strategi, keberhasilannya dalam menyesatkan
manusia, syaitan mengakui bahwa ada beberapa golongan yang syaitan
sendiri mengaku kalah, dan dijamin oleh Allah swt. bahwa syaitan tidak akan
memiliki kemampuan apa-apa ketika berhadapan dengan mereka. Golongan-
golongan tersebut adalah:
1. al-Mukhlashin; yaitu orang-orang yang ikhlas dalam semua aspek
kehidupannya;
“Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (82).
Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka (83). (Shad 38 :82-83)
2. amanuu; yaitu orang-orang yang beriman;
3. Yatawakkalun; yaitu orang-orang yang bertawakkal, berserah diri, dan
memohon untuk selalu diberi petunjuk di dalam setiap langkah hidupnya.
Mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita, mengapa 3
golongan ini saja yang disebut sebagai golongan yang syaitan sendiri mengaku
kalah dan Allah swt. menjamin bahwa syaitan tidak memiliki kemampuan
dalam berhadapan dengan mereka ? Mari kita lihat bersama keistimewaan
ketiga golongan ini:
1. al-Mukhlashin (orang-orang yang ikhlas)
Mereka adalah orang-orang yang menjadikan Allah swt. sebagai tujuan
utama dalam setiap gerak-gerik perbuatannya. Jika ia bertani, maka ia akan
bertani dengan tetap memperhatikan ibadahnya, ia menjadikan hasil taninya
9. sebagai sarana untuk berinfak membantu sesama, berdakwah, dan berjihad di
jalan Allah swt. tanpa mengabaikan hak keluarganya. Demikian juga dengan
profesi-profesi mereka lainnya, mulai dari pedagang, pegawai kantoran,
politikus, ekonom, pendidik, semuanya dipersembahkan untuk Allah swt. dan
kemaslahatan umat, dan mereka pun sangat hati-hati dalam menjaga
keihlasan amal-amalnya.
Inilah yang membuat syaitan kehilangan celah untuk menggoda mereka,
hingga ia menyerah dan putus asa.
“Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (82).
Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka (83). (Shad 38 :82-83)
2. Amanu (orang-orang yang beriman)
“Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya untuk menggoda orang-orang yang
beriman, dan orang-orang yang bertawakal kepada Tuhan mereka.
(an-Nahl : 99)
Mereka adalah orang-orang yang memiliki keistimewaan yang besar,
yaitu mengimani dengan keyakinan yang kokoh tentang kebenaran semua hal
yang disampaikan oleh Allah swt. melalui rasul-Nya, baik berupa perintah
ataupun larangan, juga janji dan ancaman.
Hal inilah yang membuat mereka mampu mengendalikan diri dengan
izin Allah swt. untuk bersabar dalam melaksanakan perintah-Nya dan juga
bersabar dalam berjuang untuk mengalahkan hawa nafsu demi meniggalkan
larangan-Nya. meskipun itu tidak berarti bahwa mereka itu suci dan tidak
pernah melakukan dosa, sebab manusia yang suci di akhir zaman hanyalah
Nabi saw.
10. 3. Yatawakkalun (Orang-orang yang bertawakkal)
“Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya untuk menggoda orang-orang yang
beriman, dan orang-orang yang bertawakal kepada Tuhan mereka.
(an-Nahl : 99)
Mereka adalah orang-orang yang sangat menyadari dengan sepenuh
hati bahwa mereka hanyalah hamba yang sangat lemah, mereka bahkan
mampu menghitung titik-titik lemah yang tersebar dalam setiap-setiap gerak-
gerik aktivitas kesehariannya. Inilah yang mendorong lahirnya karakter
istimewa ciri khas mereka, yaitu pasrah dan berserah diri kepada Allah swt.
dengan tetap berusaha sebaiak mungkin dalam setiap aktivitas amal yang
mereka lakukan, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.
Inilah yang menjadikan 3 golongan ini sebagai golongan istimewa, yang
dalam menghadapi mereka, syaitan menyerah dan putus asa.
Hukum dalam ayat ini :
1. Dianjurkan membaca ta’awwudz sebelum membaca Alquran;
“Dan jika engkau membaca Alquran, maka berlindunglah kepada Allah dari
godaaan syaitan yang terkutuk.(an-Nahl:98)
2. Disunnahkan berta’awwudz sebelum mengerjakan shalat;
3. Disunnahkan membaca ta’awwudz ketika marah;
4. Lafaz ta’awwudz terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu:
Pertama, A’udzu billahi minasy syaithanir rajim; Imam Syafi’I dan Imam
Abu Hanifah menilai bahwa lafaz ini sudah mencukupi.
Kedua, A’udzu billahis Sami’il ‘Alim minasy Syaithanir rajim; Disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa sebagian ulama tafsir
menggunakannya.
11. Ketiga, A’udzu billahi minasy syaithanir rajim innallahas sami’ul ‘alim;
Digunakan Imam sufyan ats-Tsauri dan al-‘Auza’i.
Keempat, Asta’idzu billahi minasy syaithanir rajim; Sebagian riwayat
menyebutkan bahwa bacaan ini digunakan pula oleh Imam al-‘Auza’i.
Semua bentuk bacaan ta’awwudz ini disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir
dalam tafsirnya.
5. Isti’adzah menurut Ibnu Kastir artinya yaitu memohon perlindungan
kepada Allah swt. dan bernaung di bawah lindungan-Nya dari kejahatan
semua mahluk yang jahat. Beliau juga menyebutkan bahwa makna ta’awwudz
adalah aku berlindung di bawah naungan Allah swt. dari godaan syaitan yang
terkutuk. Agar ia tidak dapat menimpakan bahaya pada agama dan duniaku,
agar syaitan tidak dapat menghalang-halangiku untuk mengerjakan apa yang
diperintahkan kepadaku, serta agar ia tidak dapat mendorongku untuk
mengerjakan hal-hal yang aku dilarang mengerjakannya.
6. Kata “Syaitan” menurut Ibnu Katsir berasal dari kata “Syatana”, yang
maknanya adalah “Jauh”. Maksudnya yaitu jauh dari tujuan sebenarnya, yaitu
kebaikan. Makna ini juga membuat kita paham bahwa inti dari agenda dan
sifat syaitan adalah “Jauh”. Yaitu menjauhkan manusia dari Allah swt.
7. Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa makna kata “ar-Rajim” adalah jauh
dari semua kebaikan dan terkutuk.
***
Bolano, 13 Rabi’ul Awal 1440 H/21 November 2018 Pkl.11.22 siang W.I.T.A
Khadim Alquran wa as-Sunnah
Aswin Ahdir Bolano
12. Tafsir Surat Al-Fatihah
Ayat 1
Tafsir Basmalah
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Basmalah adalah salah satu kalimat agung yang memiliki kedalaman
makna sedalam lautan yang luas. Ia adalah kunci rahmat dan keberkahan yang
berlimpah dalam semua aktivitas yang dimulai dengan membacanya. Imam
Abdul Qadir ar-Ruhawi menyebutkan dalam kitabnya al-Arba’in al-
Buldaniyyah, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
“Setiap urusan yang tidak dimulai dengan membaca basmalah, maka ia
terputus”. (Hadits ini berderajat hasan)
Maksudnya yaitu terputus dari keberkahan, terputus dari nilai
kebaikan, hingga aktivitas dunia ataupun ibadahnya hanya bernilai kesibukan
dan rutinitas biasa saja. Hal ini jangan sampai seorang muslim beraktivitas
ibadah tanpa memulainya dengan basmalah, agar ia tidak kehilangan
keberkahan dalam ibadahnya. Demikian pula dengan aktivitas keduniaannya,
perkerjaan sawah ladanganya, kesibukan di toko atau pasarnya, kesibukan di
kantornya, aktivitas belajar atau mengajar di sekolah dan perguruan
tingginya, penelitian di labnya, dan lain sebagainya. Semua itu haruslah
dimulai dengan mengucapkan basmalah.
Bagi seorang pendidik, basmalah di awal pelajaran yang diajarkannya
kepada para muridnya di semua tingkat pendidikan akan membuka
keberkahan ilmu yang nantinya akan menumbuhkan generasi ilmiah rabbani
13. yang menjadikan islam sebagai kiblat peradaban, melalui berbagai pemuan
dan kemajuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi seorang enterpreneur (pengusaha), ahli ekonomi, dan orang-orang
yang bergerak di bidang ekonomi lainnya, basmalah akan membuatnya
mampu berjalan di atas aturan syariat dalam segala bentuk usaha dan profesi
yang mereka jalankan. Dengan kata lain, segala bentuk kemajuan akan diraih
dengan izin Allah swt. melalui pembiasaan basmalah di awal semua aktivitas
yang dilakukan oleh setiap muslim dalam aktivitasnya sepanjang hari,
Meskipun demikian, haruslah difahami pula bahwa memulai aktivitas
dengan basmalah bukanlah hanya sekedar membacanya di awal aktivitas lalu
melupakan maknanya dalam proses beraktivitas. Akan tetapi, bacaan
basmalah yang dituntut di sini adalah bacaan yang disadari makna dan
konsekuensinya, yaitu bahwa dalam aktivitas tersebut , dari awal hingga ke
akhirnya, ia akan selalu mengingat Allah swt. dalam proses pekerjaannya. Ia
akan bercermin dan menimbang segala aktivitasnya agar tidak keluar dari
batasan yang telah Allah swt. gariskan dalam syariat-Nya.Inilah makna
sebenarnya dan kunci keberkahan dalam basmalah itu sendiri.
***
Berkaitan dengan keutamaan basmalah, Ibnu Katsir menukil dari Imam
Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya, yang diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari
ayahnya, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada
seorang nabi pun selain Sulaiman bin Daud dan aku sendiri, yaitu
Bismillahirrahmanirrahim”.
Dalam hadits lain, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abu Tamim, bahwa suatu ketika Nabi saw. dibonceng oleh
14. seseorang mengendarai unta, dan unta tersebut terperosok. Sahabat yang
membonceng Nabi saw. tersebut berkata: Celakalah syaitan”. Maka Nabi saw.
bersabda,”Janganlah kamu katakan “Celakalah syaitan”. Karena sesungguhnya
jika kamu katakana demikian, maka ia akan semakin membesar dan berkata
“Dengan kekuatanku aku akan mengalahkannya (menggodanya)”. Selanjutnya
Nabi saw. bersabda,”Tetapi jika kamu mengucapkan “Bismillah” maka syaitan
akan mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat.
Ibnu Katsir menukil dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dengan sanadnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa
Utsman bertanya kepada Rasulullah saw. tentang basmalah. Beliau saw.
menjawab,”Ia adalah salah satu nama dari nama-nama Allah, yang jarak
antara keagungannya dengan nama Allah yang Maha Besar sama seperti jarak
antara bagian hitam dari bola mata dengan bagian putihnya, karena sangat
dekatnya.
***
Fiqih Basmalah:
Basmalah dalam bidang fiqih memunculkan diskusi yang panjang di
kalangan para ulama. Hal ini dibagi ke dalam beberapa masalah, yaitu:
1. Apakah basmalah ayat tersendiri pada permulaan setiap surat, ataukah
hanya ditulis pada permulaan setiap surat dan bukan bagian dari surat
tersebut.
2. Apakah basmalah hanya ayat pertama bagi surat alfatihah, tetapi tidak pada
surat yang lainnya.
3. Apakah basmalah hanya ditulis untuk memisahkan setiap surat, sedangkan
ia sendiri bukanlah sebuah ayat.
15. Dalam tulisan ini, kami tidak akan membahas ketiga masalah di atas,
kami hanya menyebutkannya sebagai wawasan bagi kaum muslimin.
Dalam fiqih basmalah, kami hanya membahasnya berkaitan dengan
beberapa ibadah, yaitu:
1. Bagaimanakah pengucapan basmalah ketika shalat ?
Dalam shalat, khususnya pada shalat yang memiliki rakaat dengan
bacaan yang dikeraskan, para ulama terbagi menjadi 3, yaitu :
1) Ulama yang mengeraskan bacaan basmalah dan menganggap bahwa
basmalah merupakan ayat pertama dari setiap surat dalam Alquran, selain
surat at-Taubah. Para ulama yang berpendapat seperti ini dari kalangan
sahabat Nabi saw. adalah:
(1) Abdullah bin Abbas
(2) Abdullah bin Umar
(3) Abdullah bin Zubair
(4) Abu Hurairah
(5) Ali bin Abi Thalib
Adapun dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), pendapat ini
diusung oleh :
(1) Atha’ (5) Abdullah bin Mubarak (9) az-Zuhri
(2) Thawus (6) Imam Syafii (10) Ahmad bin Hanbal
(3) Sa’id bin Jubair (7) Ishaq bin Rahawaih
(4) Makhul (8) Abu Ubaid al-Qasim bin Salam
Selain ulama dari kalangan sahabat dan tabiin di atas, masih terdapat
ulama lainnya yang juga mengeraskan bacaan basmalah pada alfatihah dan
setiap surat setelahnya, yaitu:
16. 11) Mu’awiyah 21) Abu Bakar bin Muhammad
12) Umar bin Khattab 22) Abu Wail
13) Ikrimah 23) Ibnu Sirin
14) Abu Qilabah 24) Muhammad bin al-Munkadir
15) Ali bin al-Husain 25) Ali bin Abdullah bin Abbas
16) Muhammad bin Ali bin Husain 26) Muhammad bin Ali (cucu Ibnu Abbas)
17) Sa’id bin Musayyab 27) Nafi’
18 ) Imam Mujahid 28) Zaid bin Aslam
19) Salim 29) Umar bin Abdul Aziz
20) Muhammad bin Ka’ab 30) al-Azraq bin Qais
31) Hubaib bin Abi Tsabit
32) Abu Sya’Sya’
33) Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin
34) Abdullah bin Shafwan
35) Muhammad bin al-Hanafiyah
36) Amru bin Dinar
Para penulis kitab hadits yang meriwayatkan Hadits shahih tentang
mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat adalah :
1) Imam Syafii dalam Musnadnya 6) Imam Abu Dawud (Sunan)
2) Imam Ahmad dalam Musnadnya 7) Sunan Tirmidzi
3) Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 8) Shahih Ibnu Hibban
4) Imam al-Bukhari dalam Shahihnya 9) al-Mustadrak Imam al-Hakim
5) Imam an-Nasa’I dalam Sunannya
17. 2) Ulama yang berpendapat bahwa basmalah tidak dikeraskan di dalam
shalat, mereka adalah :
1) Abu Bakar as-Shiddiq
2) Umar bin Khattab
3) Utsman bin Affan
4) Ali bin Abi Thalib
Dari kalangan tabiin yaitu Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, dan Ahmad
bin Hanbal.
Para penulis hadits yang meriwayatkan hadits tentang basmalah yang
tidak dikeraskan adalah:
1) Imam al-Bukhari
2) Imam Muslim
3) Sunan an-Nasa’i
4) Sunan at-Tirmidzi
5) Sunan Abu Dawud
3) Ulama yang berpendapat bahwa basmalah bukanlah ayat dari alfatihah dan
bukan bagian dari surat lainnya, hal ini diusung oleh Imam Malik dan Imam
Abu Hanifah.
4) Sebagian murid Imam Syafii menyebutkan bahwa beliau pernah
berpendapat basmalah adalah ayat dari surat alfatihah, dan bukan bagian dari
surat selainnya. Disebutkan juga bahwa beliau pernah berpendapat basmalah
adalah bagian ayat dari awal setiap surat. Akan tetapi Imam Ibnu Katsir
menilai pendapat ini sebagai pendapat yang gharib (asing dan aneh).
18. 5) Ulama yang berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca sama sekali, baik
keras ataupun pelan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik
rahimahullah. Hadits tentangnya diriwayatkan pula di dalam Shahih al-
Bukhari dan Muslim, serta Sunan at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah dari
Aisyah, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Mughaffal.
2. Basmalah dalam ibadah yang lain disunatkan agar dibaca sebelum
melakukan kebaikan dan ibadah apapun.
1) Disunnahkan pada permulaan khutbah
2) Ketika akan masuk wc
3) Sebelum berzikir
4) Sebelum berwudhu
5) Sebelum menyembelih
6) Sebelum berhubungan suami istri
7) Makan dan minum
8) Semua aktivitas dunia ataupun ibadah.
19. Tafsir Surat al-Fatihah Ayat 2
“Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Hikmah dalam ayat ini:
1. Setiap muslim haruslah menanamkan kebiasaan untuk selalu memuji
Allah swt, dalam setiap keadaan. Sebab, Allah swt. Telah menyatakan dalam
Alquran bahwa jika kita menghitung-hitung nikmat Allah swt. yang telah
dianugerahkan kepada kita, maka kita tidak akan sanggup menghitungnya.
2. Kalimat dalam ayat ini adalah kalimat pujian sekaligus kalimat syukur
yang berpadu dengan kalimat tauhid pada akhirnya untuk semakin
memperbesar keagungan dan keutamaannya.
Kalimat ini mengandung hikmah pula bahwa rasa syukur sejati
adalah rasa syukur yang berakar dari kesadaran akan anugerah terbesar
dari Allah swt. yang kita gunakan dalam setiap setiap desah nafas, lalu
membuahkan ketauhidan yang kokoh dalam bentuk pengakuan kekuasaan
Allah swt. Sebagai tuhan yang mengendalikan dan menciptakan seluruh
alam semesta dan segala isinya.
3. Kalimat dalam ayat ini adalah kalimat agung yang dengannya seorang
muslim yang mengucapkannya mencabut seluruh kesombongan dan rasa
bangga terhadap segala sesuatu yang dimilikinya. Hal ini karena ia
menyadari dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang dimilikinya
saat ini adalah anugerah Allah swt. Yang dititipkan kepadanya untuk
digunakan sebagaimana mestinya dan dengan ketundukan kepada aturan-
aturan syariat-Nya.
4. Sifat syukur atas segala nikmat adalah salah satu sifat agung yang hanya
dimiliki dan menjadi ciri khas seorang muslim sejati. Inilah alas an utama
20. mengapa kalimat syukur ini diletakkan oleh Allah swt. Dalam surat yang
menjadi induk dari Alquran, yaitu surat alfatihah ayat kedua.
5. Kalimat dalam ayat ini adalah kalimat pengakuan seorang hamba atas
berbagai nikmat dari tuhannya yang tidak dapat ia dustakan jenis dan
bentuknya. Jika kalimat ini diucapkan dengan sepenuh hati dan disertai
dengan pemahaman terhadap isi dan maknanya, maka hamba tersebut
akan termasuk sebagai hamba yang bersyukur dan mendapat jaminan
tambahan nikmat dari Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt.:
“Dan jika kamu bersyukur, maka sungguh aku akan tambahkan nikmatku
atas kamu. Dan jika kamu kufur, maka sesungguhnya azabku sangat pedih”.
(Ibrahim :7)
Harus kita ketahui bahwa syukur memiliki beberapa syarat yang
harus ditunaikan agar Allah swt. Menambahkan nikmat-Nya kepada kita,
yaitu:
1) Menyadari sepenuh hati bahwa semua yang kita miliki saat ini adalah
anugerah dari Allah swt. Yang dikaruniakan kepada kita melalui usaha halal
yang kita lakukan.
2) Tidak membandingkan dan mengangp nikmat yang dimiliki oleh orang
lain lebih besar. Kita harus menanamkan dalam diri bahwa yag ada saat
adalah anugerah yang terbaik dari-Nya.
3) Memaksimalkan penggunaan nikmat dan segala potensi yang dimiliki
saat ini, serta berusaha dengan kemampuan terbaik untuk
mengembangkannya.
4) Membiasakan diri mengingat-ingat nikmat Allah pada diri kita dan
senantiasa mengucapkan “alhamdulillahi rabbil ‘alamin”.
21. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengutip riwayat yang disampaikan
oleh Imam Ibnu Jarir rahimahullah dalam tafsirnya dari al-Hakam bin
Umair r.a, bahwa Nabi saw. Bersabda:
“Jika engkau mengucapkan “alhamdu lillahi rabbil ‘alamin” sungguh berarti
engkau telah bersyukur kepada Allah swt. Maka Allah swt. Pasti akan
menambahkan nikmat-Nya kepadamu”.
6. Haruslah kita pahami bahwa bersyukur bukan berarti hanya
memperbanyak zikir tanpa memperbaiki kinerja dalam mengelola dan
menggunakan nikmat yang dimiliki. Akan tetapi kita harus memadukan
antara zikir dan perbaikan kinerja yang kita miliki dalam pengelolaan dan
penggunaan nikmat yang kita miliki.
*****
22. Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 3
“Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang”
Hikmah dalam ayat ini :
1. Sifat ar-Rahman dan ar-Rahim adalah dua sifat Allah swt. yang menduduki
peringkat atas dalam keagungannya. Kedua sifat inilah yang menduduki
peringkat pertama dan kedua dalam deretan nama asmaul husna. Oleh karena
itu, sangat dianjurkan menyebut kedua asma yang agung ini dalam berdoa,
yaitu setelah shalawat kepada Nabi saw. dan sebelum menyampaikan
permohonan yang dimaksudkan.
“Katakanlah! Berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada yang Maha
Rahman, dengan asma-Nya yang manapun kamu berdoa kepada-Nya, karena Ia
memiliki nama-nama yang agung (asmaul husna)”.
(al-Isra’:110)
2. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa makna ar-Rahman adalah Maha Pengasih
di dunia dan di akhirat, sedangkan makna ar-rahim adalah adalah Maha
Penyayang di akhirat. Perbedaan kedua sifat ini adalah sifat ar-rahman
ditujukan kepada semua mahluk di dunia –manusia, hewan, tumbuhan, dan
lainnya- sedangkan ar-rahim hanya khusus untuk orang-orang yang beriman.
“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (al-Ahzab:43)
3. Ibnu al-Mubarak mengatakan bahwa makna ar-rahman adalah “Bila diminta
akan memberi”. Sedangkan makna ar-rahim “Bila tidak diminta akan marah”.
Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah akan
murka kepadanya”.
23. (Tirmidzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Penjelasan Ibnu al-Mubarak di atas membawa kita pada kesadaran
bahwa Allah swt. sangat suka jika seorang hamba selalu memohon kepada-
Nya dalam berbagai urusan dan keperluan yang dibutuhkannya.
4. Sifat ar-rahman dan ar-rahim mengandung hikmah bahwa sebanyak
apapun dosa yang telah dilakukan oleh seorang hamba, jika ia telah berniat
untuk bertaubat, berhijrah dan memperbaiki diri, maka pintu taubat
senantiasa terbuka untuknya.
5. Terkadang, sebagian tidak mau peduli dengan berbagai nikmat Allah swt.
yang selalu digunakannya dalam setiap desah nafas. Berbagai dosa dan
kelalaian selalu menghiasi hari-harinya tanpa pernah mau menyadari bahwa
anugerah nikmat Allah swt. telah ia balas dengan kelalaian dan kelalaian.
Disinilah sifat ar-rahman memperlihatkan wujudnya yang sebenarnya, yaitu
bahwa selalai dan seingkar apapun seorang manusia, Allah swt. tetap
memberinya berbagai macam nikmat di dunia yang tidak terhitung
jumlahnya.
6. Sifat ar-rahim adalah sifat penyayang yang tidak ada lagi sifat penyayang di
atasnya. Sifat ar-rahim adalah kasih sayang yang ditujukan khusus hanya
kepada hamba-hamba-Nya yang taat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sifat
ini melebihi kasih sayang seluruh mahluk yang ada di dunia ini kepada
anaknya, ataupun kepada induk dan orang tuanya. Di sinilah letak
keistimewaannya, bahwa seorang mu’min yang taat kepada Allah swt. dan
rasul-Nya, seharusnya adalah orang yang paling tenang dan tidak mudah
24. tegang dalam mengarungi kehidupan dan berbagai macam masalah yang
menimpanya. Sebab, ia sangat menyadari bahwa ada Allah swt. yang sangat
sayang kepadanya, selalu memperhatikannya, melebihi kasih sayang dan
perhatian yang diberikan orang tuanya ataupun orang-orang terdekatnya
kepadanya.
***
25. Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 4
“Yang Merajai Hari Pembalasan”
Hikmah dalam ayat ini :
1. Sifat Allah swt. “al-Malik” adalah kata sifat ketiga yang sering disebut oleh
setiap orang beriman dalam shalatnya, setelah sifat ar-rahman dan ar-rahim.
Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa salah satu sifat Allah swt. yang harus
senantiasa diingat oleh kaum muslimin adalah bahwa Allah swt. adalah “al-
Malik” yang artinya adalah penguasa di alam semesta, baik ketika di dunia
ataupun kelak di “yaumid din” yaitu hari pembalasan. Ini mengandung hikmah
bahwa setiap perbuatan dan perkataan yang kita lakukan, akan mendapat
balasan dari Allah swt. sekecil apapun.
Oleh karena itu, waspadalah kita dari membuat kesalahan terhadap
sesama manusia, karena ia tidak akan bisa terhapus kecuali dengan meminta
maaf kepada orangnya secara langsung.
2. Dalam ayat ini, Allah swt. menyebutkan sifat “al-Malik” (Maha Raja) yang
dimiliki-Nya dengan kalimat “yaumid din” (Yang Merajai hari pembalasan).
Hal ini mengandung hikmah bahwa kita sebagai manusia –khususnya orang-
orang yang beriman- harus senantiasa ingat dan sadar bahwa akan ada hari
pembalasan atas setiap amal perbuatan yang kita lakukan sekecil apapun.
Sebagaimana firman Allah swt.:
“Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar debu, maka ia akan
mendapatkan balasannya (7). Dan barangsiapa yang melakukan keburukan
sebesar debu, maka ia pun akan mendapatkan balasannya (8).
(al-Zalzalah: 7-8)
26. 3. Dalam ayat ini pula, Allah swt. mengingatkan kepada kita bahwa dosa yang
tidak bisa diampunkan hanya dengan permohonan ampun kepada Allah swt,
adalah dosa perbuatan buruk dan kezhaliman terhadap sesama manusia,
khususnya sesama muslim. Semua kejahatan, ucapan buruk, benci,
perampasan hak, kecurangan dalam berbagai hal, ketidak adilan dan lain-lain
akan dibalas oleh Allah swt. di akhirat kelak dengan memberikan amalan baik
kita kepada orang-orang yang telah kita zalimi. Semakin banyak orang yang
kita sakiti dan zalimi, semakin banyak pula kebaikan kita yang hangus dan
pahalanya hanya diterima oleh orang-orang yang telah kita sakiti.
Jika kebaikan kita pun habis, sementara masih ada orang-orang yang
kita zalimi, maka dosa orang-orang yang kita zalimi akan dibebankan kepada
kita. Hingga selesailah urusan kita dengan orang-orang tersebut, dan kita
menjadi orang-orang yang bangkrut.
4. Hari pembalasan adalah hari dimana keadilan ditegakkan setegak-tegaknya
oleh sang penguasa hari pembalasan, yaitu Allah swt. Jika di dunia ini keadilan
seringkali diperjual belikan, kebenaran seringkali berpihak kepada kelompok
yang berkuasa dan berharta, maka pada hari pembalasan ini semuanya
diluruskan oleh sang maha pemilik keadilan, yaitu Allah swt. Siapakah yang
mampu untuk berjual beli keadilan dan kebenaran di hadapan Dzat Yang
Maha Mengetahui segala sesuatu itu ?
Inilah makna dan hikmah hari pembalasan, yaitu ketika Allah swt.
bertindak langsung sebagai hakimnya, dalam memutuskan berbagai persoalan
seadil-adilnya. Dalam ayat lain, Allah swt. bertanya kepada kita, sebagaimana
dalam surat al-Mu’min ayat 16 :
27. “…Milik siapakah kerajaan pada hari ini, tentunya hanya milik Allah yang Maha
Esa lagi Maha Mengalahkan”. (al-Mu’min: 16)
Dalam ayat ini Allah swt. bertanya kepada semua manusia “Siapakah
yang berkuasa pada hari pembalasan itu ? Apakah ada mahluk lain yang
mampu mempermainkan keadilan sebagaimana di dunia dahulu ? Sudah
sangat kita pahami bahwa jawabannya adalah tidak. Yaitu tidak ada Dzat
ataupun mahluk lain yang berkuasa pada saat hari pembalasan tiba, selain
Allah swt. Kalaupun ada, dan seandainya ia menentang putusan-putusan Allah
swt., maka Allah swt. telah memastikan bahwa ia pasti akan tetap tunduk dan
dikalahkan oleh kekuasaan-Nya. Inilah rahasia mengapa ketika menjawab
pertanyaan siapa yang berkuasa pada hari kiamat dalam ayat di atas, Allah
swt. nama dan sifat-Nya yang agung, yaitu “al-Qahhar” Yang Maha
Mengalahkan.
Wawasan:
1. Dalam Ilmu Qira’ah, Kata “Maaliki” dibaca pula dengan “Maliki” dengan
membuang mad pada huruf mimnya. Keduanya adalah riwayat yang kuat dari
Nabi saw.
2. Kalimat “Yaumud din” memiliki beberapa penafsiran yang disampaikan
oleh para ulama tafsir, yaitu:
1)Maknanya adalah “al-hisab” yaitu hari perhitungan amal dan
pembalasannya. Hal ini menurut Ibnu Jarir dalam tafsirnya.
2) Maknanya adalah tidak ada seorang pun yang menjadi penguasa pada hari
itu dengan membawa hukum sebagaimana kekuasaan mereka di dunia. Hari
28. itu adalah hari penghisaban semua mahluk. Pada hari itu pula mendapat
balasan atas amal-amal mereka, jika amalannya baik maka ia akan mendapat
balasan kebaikan. Jika amalnya buruk, maka ia akan mendapat keburukan.
Kecuali orang-orang yang mendapat ampunan dari Allah swt. Hal Ini menurut
Ibnu Abbas.
3) Maknanya adalah hari perhitungan; menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
4) Maknanya adalah hari dimana Allah swt. membalas para hamba-Nya sesuai
dengan amalan mereka; Menurut Qatadah.
5) Hari dimana manusia dibalas melalui perhitungan terlebih dahulu. Menurut
Ibnu Juraij.
Semua pendapat yang disampaikan oleh para ulama di atas memiliki
kesamaan makna, yaitu hari perhitungan segala amal yang nantinya akan
menetukan balasan yang setimpal terhadap amalan para hamba dari kalangan
jin dan manusia. Jika timbangan kebaikan mereka lebih berat, maka akan
berakhir di surga. Namun jika timbangan kebaikannya ringan, maka ia akan
menjadi penghuni neraka.
3. Dalam al-Qur’an, hari pembalasan memiliki beberapa gambaran, yaitu:
a. Tidak ada kekuasaan dan kekuatan lain, selain kekuasaan Allah swt. (al-
Mu’min: 16)
b. Penuh berbagai kesulitan bagi orang kafir (al-Furqan:26)
c. Malaikat dan ruh berdiri bersaf-saf, tidak berkata-kata kecuali yang diberi
izin oleh Allah swt. dan perkataan pada hari itu semuanya adalah kebenaran.
(an-Naba:38)
d. Semua mahluk hanya berkata dengan bisikan (Thaha:108)
29. e. Hari itu ada yang celaka dan ada yang bahagia (Hud:105)
f. Diadakan pembalasan yang setimpal atas semua amal (an-nur:25)
g. Tidak ada satu masalahpun yang disembunyikan, dan manusia langsung
berhadapan dengan Allah swt. (al-Haqah:18)
h. Manusia dibangkitkan untuk diberi balasan (as-Saffat:53)
Bolano, 21 Februari 2019/16 Jumadil Akhir 1440 H
Khadim Alquran wa as-Sunnah
Aswin Ahdir Bolano
30. Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 5
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan”
Hikmah dalam ayat ini :
1. Alhafiz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa islam secara keseluruhan berakar
dari kedua makna dalam ayat ini, yaitu hanya menyembah kepada Allah swt.,
dan hanya memohon pertolongan kepada-Nya.
2. Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa makna kalimat “Hanya kepada-Mu
kami menyembah” menunjukkan makna berlepas diri dari segala bentuk
kemusyrikan. Sedangkan makna kalimat “Hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan” menunjukkan makna berlepas diri dari berbagai upaya dan
kekuatan lainnya selain Allah swt. serta berserah diri hanya kepada-Nya.
3. Ayat ini membagi manusia ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1) Menyembah Allah swt. saja, dan hanya memohon pertolongan kepada-Nya;
Inilah kategori muslim sejati yang benar keimanannya.
2) Menyembah Allah swt. namun memohon pertolongan kepada selain-Nya;
Di sinilah posisi orang-orang islam yang berbuat kesyirikan.
3) Tidak menyembah Allah swt., namun memohon pertolongan dan berdoa
kepada-Nya; Ini adalah posisi masyarakat muslim awam pada umumnya.
4) Tidak menyembah Allah swt. dan tidak pula memohon pertolongan
kepada-Nya. Ini adalah golongan orang-orang yang kafir.
31. 4. Dalam ayat di atas tersirat dua hal yang harus dilatih dan diamalkan oleh
seorang muslim dalam kesehariannya, yaitu al-Tha’ah (ketaatan) kepada Allah
swt. yang membawanya kepada ketekunan dalam beribadah, dan “al-yaqin”
yaitu keyakinan kepada Allah swt. yang membawanya kepada rasa
mencukupkan diri hanya meminta dan berharap kepada Allah swt. dalam
segala kesulitan, cobaan hidup, dan keinginan yang dimilikinya.
5. Kata “Na’budu” yang artinya kami menyembah, menjadikan orang yang
melakukannya disebut sebagai “Abid” yang artinya adalah hamba. Penyebutan
“Abid” dalam Alquran memiliki derajat yang istimewa yang bahkan
disematkan kepada Nabi saw. Tingginya derajat hamba ditunjukkan dengan
penyebutan Nabi saw. sebagai hamba dalam beberapa ayat Alquran,
sebagaimana dalam surat Al-Kahfi ayat 1 dan surat al-Isra’ ayat 1 pula.
6. Lafaz “Iyyaka” (hanya kepada-Mu), yang diulang dua kali dalam ayat ini
menyiratkan makna bahwa seorang muslim haruslah memiliki kekokohan
tauhid dalam dua hal, yaitu tauhid dalam ibadah dan tauhid dalam doa.
7. Lafaz kata “Na’budu” dan “nasta’in” dalam ilmu nahwu termasuk dalam
kelompok fi’il mudhari, yaitu bentuk kata yang menunjukkan amalan yang
sedang dilakukan saat ini dan masa yang akan datang. Ini menyiratkan bahwa
seorang muslim tidak hanya beribadah dan berdoa satu waktu tertentu saja.
Akan tetapi, ibadah dan doa yang dilakukannya dibingkai dengan
keistiqomahan secara terus menerus, dari saat ini sampai masa yang akan
datang, sejak saat ini, hingga sampai akhir kehidupannya di dunia.
32. 8. Lafaz “Na’budu” dan “Nasta’in” adalah bentuk amalan yang dilakukan oleh
banyak orang (jamak). Maknanya adalah bahwa ibadah dan doa yang
ditunjukkan dalam ayat ini adalah ibadah dan doa yang dilakukan secara
berjmaah dalam suatu komunitas masyarakat. Hal ini mengandung hikmah
bahwa tauhid yang harus dibangun oleh masyarakat muslim adalah tauhid al-
Ijtima’iyyah yaitu tauhid yang memasyarakat dalam sutu kumpulan umat,
bukan hanya tauhid al-Infiradhiyah atau tauhid individu perorangan.
*****
Tafsir Surat Alfatihah Ayat 1
Tafsir Surat Alfatihah Ayat 2
Tafsir Surat Alfatihah Ayat 3
Tafsir Surat Alfatihah Ayat 4
33. Tafsir Surat AL-Fatihah Ayat 6
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Hikmah dalam ayat ini :
1. Salah satu doa yang harus senantiasa dipanjatkan oleh seorang muslim
dalam setiap rakaat shalatnya ialah agar diberi petunjuk menuju jalan yang
lurus dalam kehidupannya, yaitu jalan hidup yang setiap langkah dan
geraknya didasarkan pada ketaatan terhadap aturan-aturan Allah swt. dalam
syariat-Nya.
2. Terkhusus kepada para aktivis penggerak roda dakwah islam dari semua
gerakan dan organisasi islam, ayat ini mengajarkan kepada kita tentang
gambaran kuatnya ukhuwah (persaudaraan) di antara sesame muslim
sebagaimana yang dikehendaki oleh Alquran. Di sinilah semua organisasi
islam dan anggotanya harus memahami bahwa AlQuran mengajarkan kita
untuk saling mendoakan kebaikan untuk sesame, bukan saling menghujat dan
menghinakan. Inilah hikmah di balik kalimat “Tunjukilah kami”.
3. Jika kita memperhatikan ayat 1 sampai ayat 5 dalam surat Al-Fatihah, kita
akan menemukan bahwa inti dari kelima ayat tersebut adalah pujian dan
pengagungan kepada Allah swt., sebelum mengajukan permohonan yang
menjadi kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu memohon petunjuk menuju
jalan yang lurus sebagaimana disebutkan dalam ayat keenam ini. Inilah salah
satu rahasia tata cara berdoa yang paling diterima oleh Allah swt., yaitu
mendahului doa yang dipanjatkan dengan terlebih dahulu memuji keagungan
Allah swt.
34. 4. Imam Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna kata “Ihdinaa” (tunjukilah kami)
adalah berilah kami at-Taufik (taufik) dan at-Tatsbit (keteguhan) untuk
berjalan di atasnya, yaitu di atas jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim).
5. Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa makna kata “Ihdina” dalam ayat
keenam ini adalah :
1) Berikanlah bimbingan dan dorongan (at-Taufik);
2) Anugerahilah kami ilham (al-Ilham);
3) Berilah bimbingan dan petunjuk;
6. Makna kata “Ihdina” (berilah kami petunjuk) dalam ayat ini mengandung
semua makna yang telah disampaikan oleh Imam Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir di
atas. Ini berarti bahwa ketika mengucapkan kata “Ihdina” dalam shalatnya,
seorang muslim telah memohon kepada Allah swt. untuk diberi arahan,
bimbingan, petunjuk, ilmu, penjelasan, kekokohan, dan keistiqomahan dalam
menempuh kehidupan dalam naungan aturan dan syariat Islam.
7. Salah satu hikmah dibalik doa “tunjukilah kami ke jalan yang lurus” adalah
bahwa seorang muslim berpasrah kepada Allah swt. dengan sepenuh hatinya,
serta menyadari keterbatasan daya dan upayanya dalam menempuh hidup di
bawah naungan syariat-Nya. Ia sangat menyadari bahwa tanpa hidayah dari
Allah swt. niscaya ia tidak akan sanggup menempuh jalan berat itu.
8. Ayat keenam ini juga menyiratkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk berbangga diri dan sombong dengan hidayah yang telah
35. dimilikinya, sementara ia merendahkan orang-orang yang belum diberi
hidayah oleh Allah swt. Ingatlah! hidayah yang ada pada diri kita saat ini
adalah nikmat terbesar dari Allah swt.
9. Berkaitan dengan makna “Shiratal Mustaqim” (jalan yang lurus), alhafiz
Ibnu Katsir menyebutkan beberapa makna yang terkandung di dalamnya,
yaitu:
1) Makna intinya adalah mengikuti perintah Allah swt. dan Rasul-Nya;
2) Maknanya adalah Kitabullah Alquran; menurut Sabda Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ali bin Abi Thalib.
3) Maknanya adalah al-Islam (agama Islam); Menurut Ibnu Abbas, Ibnu
Mas’ud, dan sejumlah sahabat lain.
4) Maknanya adalah al-Haq (kebenaran); menurut Imam Mujahid.
Sebagai kesimpulannya, gabungan kata “Ihdinas Shiratal Mustaqim”
membentuk makna permohonan yang diajukan oleh seorang muslim kepada
Allah swt. agar diberi ilmu pengetahuan tentang perintah dan larangan dalam
agama islam secara menyeluruh (syamil), serta diberi kekuatan, kekokohan
dan keistiqomahan hingga akhir hayat dalam mempelajari, mengamalkan,
mendakwahkan, dan memperjuangkannya.
****
Bolano, 22 Februari 2019/17 Jumadil Akhir 1440 H Pkl.11.10 WITA
Khadim Alquran wa as-Sunnah
Aswin Ahdir Bolano
Tafsir Surat Alfatihah ayat 1
Tafsir Surat Alfatihah ayat 2
Tafsir Surat Alfatihah ayat 3
37. Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 7
“Yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka,
bukan jalannya orang-orang yang mendapat murka, dan bukan pula jalannya
orang-orang yang tersesat”
Hikmah dalam ayat ini :
1. Orang-orang yang diberi nikmat pada ayat ini adalah orang-orang yang
disebutkan oleh AlQuran dalam surat an-Nisa ayat 68-69, yaitu :
“Dan sungguh kami akan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus (68).
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka mereka itulah
bersama orang-orang yang Allah telah berikan nikmat atas mereka dari
golongan para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada, dan orang-orang
yang shaleh (69)”. (an-Nisa: 68-69)
Golongan yang disebutkan dalam ayat di atas adalah golongan manusia
utama yang telah berhasil secara sempurna dalam menyelesaikan perjalanan
hidup mereka di atas “Shiratal Mustaqim” hingga akhir kehidupan mereka di
dunia.
2. Setelah menyebutkan pertama sebagai golongan manusia utama, Golongan
kedua yang disebutkan dalam surat al-Fatihah ayat ketujuh ini adalah
golongan yang mendapat murka dari Allah swt. “al-Maghdhubi ‘alaihim”.
Berkaitan dengan maknanya, Ibnu Jarir menyebutkan riwayat dari ‘Adi bin
Hatim, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Orang-orang yang mendapat murka itu adalah orang-orang Yahudi”.
38. Hadits ini melalui beberapa orang sahabat yang lain, yaitu Abdullah bin
Syaqiq, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya.
3. Alhafiz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam al-Fatihah ayat ketujuh ini
terdapat tiga golongan manusia dengan ciri khasnya masing-masing, yaitu:
1) Ahlul Iman; yaitu orang-orang yang memiliki ilmu tentang kebenaran (al-
Haq) dan mengamalkannya. Inilah golongan manusia utama yang disebut
sebagai orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah swt. dalam ayat ini.
Mereka terdiri dari para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada, orang-
orang yang shaleh, dan manusia-manusia pilihan yang beristiqomah di atas
islam.
2) Orang-orang Yahudi; yaitu orang-orang banyak ilmunya namun tidak
mengamalkannya. Mereka inilah yang mendapat murka (al-Maghdhub
‘alaihim) dalam ayat ini. Dalam kehidupan modern, mereka adalah orang-
orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki ilmu tentang islam dan
kebenaran yang memadai, namun tidak mau mengakui kebenaran islam, dan
juga tidak mengamalkan ilmunya.
3) orang-orang Nasrani; yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu, mereka
sangat bersemangat dalam melakukan berbagai ibadah, namun tidak sesuai
dengan petunjuk yang telah diturunkan oleh Allah swt. yaitu dengan
mengikuti dan mengakui kebenaran Nabi saw. Golongan ini tidak mengetahui
kebenaran sedikitpun dan tidak mau mencarinya, hingga akhirnya mereka
hanya bergelimang dalam kesesatan, tanpa adanya petunjuk ke jalan yang
benar.
39. 4. Inti dari kesalahan dan dosa kedua golongan yang tercela dalam ayat ini
dari kalangan Yahudi dan Nasrani adalah masalah ilmu keagamaan. Yahudi
memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai, namun tidak mau
menerima dan mengikuti ilmu yang telah mereka miliki berupa pengetahuan
akan datangnya Nabi saw. sebagai nabi dan rasul terakhir. Adapun orang-
orang Nasrani, mereka tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang islam
dan kebenarannya, juga tidak mau mencari ilmu tentang kebenaran. Hal ini
mengandung nasehat yang berharga bagi umat islam agar mereka tidak
terjebak pada keadaan sebagaimana yang dialami oleh kedua golongan ini,
yaitu memiliki ilmu tapi tidak mengamalkannya, atau pun tidak memiliki ilmu
sama sekali.
5. Menuntut ilmu tentang keislaman dasar adalah wajib hukumnya bagi setiap
muslim laki-laki dan perempuan. al-Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya
bahkan memberikan pernyataan bahwa “al-Ilmu qabla al-Qaulu wa al-‘amal”
ilmu itu harus dimiliki sebelum berkata dan berbuat suatu amalan atau pun
pekerjaan.
*****
Bolano, 22 Februari 2019/17 Jumadil Akhir 1440 H Pkl.11.27 WITA
Khadim Alquran wa as-Sunnah
Aswin Ahdir Bolano
Tafsir Surat Alfatihah ayat 1 Tafsir Surat Alfatihah ayat 3
Tafsir Surat Alfatihah ayat 2 Tafsir Surat Alfatihah ayat 4
Tafsir Surat Alfatihah ayat 5 Tafsir Surat Alfatihah ayat 6