Disertasi ini membahas pengembangan model program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak untuk meningkatkan kreativitas anak usia dini. Penelitian ini dilakukan melalui 3 tahap yaitu survei awal, pengembangan model, dan uji coba model. Hasilnya adalah ditemukannya model baru program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak beserta desain pembelajarannya untuk anak usia dini.
Dengan mengadakan penilaian, guru dapat mengetahui kelemahan siswa dan mengetahui sebab kelemahan tersebut. Dengan mengadakan penilaian maka mempermudah mencari cara untuk mengatasi kelemahan tersebut
Perbedaan evaluasi formatif dan sumatif berdasarkan referensi berikut:
Fitzpatrick, J. L., Sanders, J. R., Worthen, B. R. Program evaluation: Alternative approaches and practical guidelines (4th ed.). Boston: Pearson
Dengan mengadakan penilaian, guru dapat mengetahui kelemahan siswa dan mengetahui sebab kelemahan tersebut. Dengan mengadakan penilaian maka mempermudah mencari cara untuk mengatasi kelemahan tersebut
Perbedaan evaluasi formatif dan sumatif berdasarkan referensi berikut:
Fitzpatrick, J. L., Sanders, J. R., Worthen, B. R. Program evaluation: Alternative approaches and practical guidelines (4th ed.). Boston: Pearson
Karya tulis ilmiah UPAYA PENINGKATAN RETORIKA,TENDENSI DAN KOMPETENSI BAKAT D...Totok Priyo Husodo
Karya tulis ilmiah dengan Judul ''UPAYA PENINGKATAN RETORIKA,TENDENSI DAN KOMPETENSI BAKAT DALAM RANGKA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN AKSENTUASI PROGRAM PEDAGOGI SEJAK DUDUK DI SEKOLAH DASAR''
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
Sinopsis disertasi
1. SINOPSIS DISERTASI
PENGEMBANGAN MODEL
PROGRAM KEGIATAN BERMAIN BERBASIS KECERDASAN JAMAK
DALAM RANGKA MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI
YULIANI NURANI
No. Reg: 7517020467
Program Studi: Pendidikan Anak Usia Dini
Diajukan Kepada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Dalam Rangka Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Doktor dan Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka
Senat Universitas Negeri Jakarta
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2008
2. KOMISI PROMOTOR
Prof. Dr. Conny R Semiawan
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta
Prof. Dr. M. Atwi Suparman, M.Sc
Guru Besar Tetap Universitas Terbuka
PANITIA UJIAN DOKTOR
Ketua
Dr. Bedjo Suyanto, M.Pd
Rektor Universitas Negeri Jakarta
Sekretaris
Prof. Dr. I Made Putrawan
Guru Besar Tetap Universitas Negeri Jakarta
Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Anggota
Prof. Dr. Mulyono Abdurrahman
Guru Besar Tetap Universitas Negeri Jakarta
Ketua Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini
Penguji Senat
Prof. Dr. Martini Jamaris, M.Sc.Ed
Guru Besar Tetap Universitas Negeri Jakarta
Penguji Luar
Dr. Gutama
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini
Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal
Komisi Promotor Merangkap Sebagai Panitia Ujian Doktor
3. SINOPSIS DISERTASI
PENGEMBANGAN MODEL
PROGRAM KEGIATAN BERMAIN BERBASIS KECERDASAN JAMAK
DALAM RANGKA MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI
DEVELOPING OF PLAY ACTIVITY PROGRAM MODEL
BASED ON MULTIPLE INTELLIGENCES TO INCREASE CREATIVITY
ON EARLY CHILDHOOD1
Yuliani Nurani 2
ABSTRACT
The objective of the research is to develop a set of models of creative
play activity program based on multiple intelligences to increase creativity on
early childhood.
This study is conducted through research and development method
consisting of three phases: (1) pre development phase through survey; (2)
model development phase through play activity program based on multiple
intelligences theories; and (3) application of model development phase
through pre experimental design in the four playgroups.
Research population is all playgroups in DKI Jakarta. When conducting
the survey, purposive sampling is used to obtain the playgroups which are
approriate with the objective in this research.
The results of this research are: (1) it is found that no playgroup has
developed and implemented activity program based on multiple intelligences
to increase creativity on early childhood so that the developed model is a new
innovation in Jakarta; (2) a set of model of activity programs based on
multiple intelligences including its instructional design for early childhood; (3)
the implementation of the model shows that the model can increase the
children’ creativity according to the indicators that have been determined in
the program.
The implication of the research indicates that the development of
instructional model based on the multiple intelligences can improve the
children who become more creative. This model may become an instructional
model for the playgroups in Jakarta and in other similar institutions.
1
Dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta
dalam Rangka Promosi Doktor.
2
Dosen Tetap pada Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.
4. A. PENDAHULUAN
“Sehat, Cerdas, Ceria, dan Berahlak Mulia“, inilah sebait ungkapan indah
dan sarat makna yang menjadi semboyan pengasuhan, pendidikan dan
pengembangan anak usia dini di Indonesia. (Nasmik PAUD, 2003:9)
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling mendasar
menempati posisi yang sangat strategis dalam pengembangan sumber daya
manusia (Direktorat PAUD,2005:1). Rentang anak usia dini usia lahir sampai dengan
enam tahun merupakan rentang usia kritis dan sekaligus strategis dalam proses
pendidikan yang dapat mempengaruhi proses serta hasil pendidikan pada tahap
selanjutnya. Itu artinya periode ini merupakan periode kondusif untuk
menumbuhkembangkan berbagai kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosio-
emosional dan spiritual.
Peran dan tanggungjawab pemerintah terhadap pengasuhan, pendidikan dan
pengembangan anak usia dini di Indonesia telah diwujudkan dalam bentuk berbagai
kebijakan dan kesepakatan baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Secara nasional, kajian kebijakan pengasuhan, pendidikan dan pengembangan
anak usia dini di Indonesia memiliki landasan hukum seperti yang tercantum pada:
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang nomor 23 tahun 2003
tentang Perlindungan Anak; Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Secara internasional, perhatian terhadap pendidikan anak
usia dini semakin serius sejak dicanangkannya: Pendidikan untuk semua (Education
for all) di Jomtien-Thailand tahun 1990; Konvensi tentang hak-hak anak (Convention
on The Right of the Child); (3) Deklarasi Dakar di Senegal (2000) yang bertemakan,
pendidikan untuk semua dan semua untuk pendidikan (Education for all and all for
education); (4) Pertemuan pendidikan dunia di New York (2002), yang telah
menyepakati untuk menciptakan dunia yang aman bagi anak (World Fit for Children)
dengan dicanangkannya kehidupan yang sehat bagi anak.; (5) Pertemuan di Kairo-
Mesir (2003) dengan agenda utama masalah perawatan dan pengembangan anak
usia dini (dan (6) Pertemuan negara ASEAN di Jakarta (2004) berupa seminar
dengan tema ”The 3rd Regional Seminar for ASEAN Project on Early Childhood
Care and Development (ECCD) yang membahas tentang advokasi dan mobilisasi
sosial tentang ECCD dalam konteks global (Buletin PADU, 2004: 20).
Berbagai bentuk kebijakan dan kesepakatan baik secara nasional maupun
internasional di atas, telah mendorong pemerintah Indonesia untuk menyusun
berbagai program yang terkait dengan pengasuhan, pendidikan dan pengembangan
anak usia dini. Sebagai wujud nyata komitmen pemerintah adalah ditetapkannya
beberapa kebijakan dasar yang termuat dalam dokumen Program Nasional Bagi
Anak Indonesia (PNBAI) sampai 2015, yang isinya adalah: (1) Mewujudkan anak
yang sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal melalui pemberdayaan
masyarakat, peningkatan kerjasama lintas sektoral, perbaikan lingkungan,
peningkatan kualitas serta jangkauan upaya kesehatan, peningkatan sumberdaya,
pembiayaan dan manajemen kesehatan, serta pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi; (2) Mewujudkan anak yang cerdas, ceria dan berahlak mulia melalui
upaya perluasan aksesibilitas, peningkatan kualitas, dan efisiensi pendidikan serta
5. partisipasi masyarakat; (3) Mewujudkan perlindungan dan partisipasi aktif anak
melalui perbaikan mutu pranata sosial dan hukum, pemerataan dan perluasan
jangkauan pelayanan terutama bagi anak yang berada dalam keadaan darurat
dalam jaringan kerja nasional dan internasional (Fasli Jalal-editor, 2005:16)
Berdasarkan landasan kebijakan tersebut, maka dapat dimaknai bahwa
pendidikan yang diberikan kepada anak usia dini merupakan intervensi lingkungan
untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Apabila bangsa
Indonesia menginginkan warga negaranya menjadi cerdas, maka hak atas
pendidikan perlu diberikan seluas-luasnya kepada semua golongan masyarakat,
sejak usia dini sampai usia lanjut.
Pada dasarnya selain mengacu pada berbagai landasan yuridis di atas,
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini haruslah memiliki landasan teoritis dan
empiris yang merupakan kumulatif dari pendidikan yang dilaksanakan dari masa
kemasa. Perlu adanya kesadaran dari pihak orangtua bahwa mereka adalah
pendidik yang pertama dan utama bagi seorang anak di dalam keluarga. Atau
dengan perkataan lain orangtua merupakan pendidik alamiah bagi anaknya sendiri.
Selain itu, berdasarkan landasan spiritual orangtua sesuai dengan kodratnya
sebagai mahluk Tuhan diberkahi tanggungjawab untuk mengatur dan memimpin
kehidupan (khalifah) di muka bumi ini terutama pada periode awal kehidupan
anaknya.
Proses pembelajaran pada anak usia dini hendaknya dilakukan dengan
tujuan memberikan konsep-konsep dasar yang memiliki kebermaknaan bagi anak
melalui pengalaman nyata yang memungkinkan anak untuk menunjukkan aktivitas
dan rasa ingin tahu (curiousity) secara optimal. Kemudian menempatkan posisi guru
sebagai pendamping, pembimbing serta fasilitator bagi anak. Proses pendidikan
seperti ini dapat menyeimbangkan pembelajaran yang hanya berorientasi pada
kehendak guru yang menempatkan anak secara pasif dan guru menjadi dominan.
Kebergantungan diawal kehidupannya memang sesuatu yang wajar, tetapi dengan
berjalannya waktu ada saatnya anak harus lebih mandiri, sehingga perlu adanya ke-
seimbangan antara peran dan pola pengasuhan dari pendidik yang terlalu dominan
menjadi lebih demokratis agar anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi dunia
di sekitar.
Pada kenyataannya, pembelajaran yang berpusat pada anak untuk
sementara ini masih jauh dari yang diinginkan. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan
di lapangan, seperti yang diungkap oleh Arief Rachman (2004:9) bahwa proses
pembelajaran di sekolah sampai saat ini masih berpusat pada guru (teacher
centered) dan belum pada anak (student centered). Hal ini dapat dimaknai bahwa
proses pembelajaran di sekolah cenderung tidak mengembangkan cara berpikir
kritis, kreatif dan inovatif, tetapi hanya memperkokoh kemampuan otak sebelah kiri.
Fenomena yang tampak adalah banyak guru mendidik anaknya agar duduk manis,
diam dan menjadi pendengar saja. Anak kreatif yang selalu bergerak dan banyak
bertanya justru dipandang sebagai anak yang nakal dan memusingkan. Pendapat ini
didukung oleh hasil penelitian Musthafa (2005:1-3) bahwa terdapat beberapa
permasalahan pembelajaran yang terjadi di kelas yaitu: (1) peran guru masih sangat
dominan, hal ini dibuktikan dengan kegiatan utama guru di dalam kelas hanya
menyampaikan informasi yang bersifat satu arah sehingga anak cenderung menjadi
pasif, (2) sebagian besar guru menyandarkan pemilihan bahan ajarnya pada buku
teks yang telah baku, sehingga peserta didik kurang mendapat perspektif yang
realistik dan berdayaguna bagi pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
6. (3) Adanya pengaturan tempat duduk dan penugasan yang cenderung mengisolasi
satu anak dengan anak lainnya, sehingga mempersulit komunikasi dan pertukaran
pikiran antar peserta didik, (4) pertanyaan yang dilontarkan lebih banyak bersifat
konvergen daripada divergen, sehingga melumpuhkan kreativitas anak (dis-
empowering).
Padahal seharusnya setiap guru memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dituliskan
bahwa pendidik anak usia dini harus memiliki. Kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial. Berhubungan dengan penelitian ini, maka kompetensi yang
dikembangkan adalah kompetensi profesional, dimana guru anak usia dini haruslah:
menguasai kurikulum yang berorientasi pada perkembangan anak, menguasai
strategi pendekatan pada anak, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar,
pengelolaan pembelajaran yang bervariasi, dan sistem penilaian yang kreatif
(Syamsudin, 2006: 27-36). Apabila guru anak usia dini memiliki sejumlah
kompetensi tersebut, maka diharapkan mereka mampu mengembangkan berbagai
model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan serta sesuai dengan situasi
dan kondisi dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung (contextual learning).
Seiring dengan diluncurkannya kurikulum 2004, salah satu prioritas penting
yang ingin diwujudkan adalah adanya perubahan pola pikir dan pola tindak di
kalangan peserta didik yang selama ini cenderung pasif dan statis agar menjadi
lebih aktif, dinamis dan kreatif. Pola pikir dan pola tindak yang kreatif perlu
dibiasakan sejak usia dini, karena pada rentang usia dini, lahir sampai delapan
tahun anak mengalami masa keemasan (the golden years), dimana anak-anak
tersebut sangat peka terhadap pengaruh dan perubahan yang berasal dari
lingkungan sekitarnya.
Berhubungan dengan bakat kreatif yang dimiliki oleh setiap individu,
Semiawan(2002:126), menyatakan bahwa pada dasarnya setiap anak dilahirkan
memiliki bakat kreatif tertentu. Bakat kreatif inilah yang kelak menjadi berbagai
bentuk kreativitas yang berguna bagi kehidupan pribadi anak. Selanjutnya Angelou
(http://www.com) menjelaskan bahwa kreativitas ditandai dengan adanya
kemampuan untuk menciptakan, mengadakan atau menemukan suatu bentuk baru
melalui keterampilan imajinatif, sedangkan Santrock (2002:327) berpendapat bahwa
kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu dengan cara-cara yang
baru dan tidak biasa serta melahirkan suatu solusi yang unik terhadap masalah-
masalah yang dihadapi.
Bakat kreatif pada setiap anak perlu dikenali, dipupuk dan dikembangkan
melalui stimulasi yang tepat agar kreativitas anak dapat terwujud. Ekspresi tertinggi
dari keberbakatan adalah kreativitas yang ditampilkan oleh individu. Potensi kreatif
yang terdapat dalam diri setiap individu dapat diobservasi saat anak melakukan
kegiatan bermain, karena bermain adalah dunia anak dan umumnya terjadi secara
alamiah. Melalui kegiatan bermain anak mampu mengembangkan potensi yang
tersembunyi didalam dirinya secara aman, nyaman dan menyenangkan.
Pada kenyataannya, masih ada sebagian orang yang berpikir bahwa bermain
hanya penting untuk mengisi waktu luang anak (Gaya Favorit, 2003: 39). Pandangan
ini tentu saja tidak benar, karena bagi anak bermain merupakan „pekerjaan‟ dan alat
yang digunakannya untuk bekerja adalah alat permainannya. Melalui bermain dan
alat permainannya, anak belajar mengenali diri dan dunia sekitarnya melalui
7. eksplorasi dan meneliti berbagai hal yang dilihat, didengarkan dan dirasakannya.
Sejalan pernyataan tersebut, Irawati berpendapat “bermain tentu menyenangkan
dan merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan bagi anak, karena anak
menemukan dunia mereka yang sebenarnya. Irawati melanjutkan bahwa sering
terjadi kesalahan yang dilakukan orangtua, guru dan atau pengasuh anak dalam
mengartikan tentang pentingnya bermain pada usia dini. Kesalahan yang umum
terjadi adalah bermain selalu dikaitkan dengan berbagai sarana bermain yang harus
disediakan oleh orang dewasa (Irawati, 2006).
Selain itu, masih banyak lembaga pendidikan anak usia dini yang belum
dapat menyediakan lingkungan bermain yang dapat merangsang kreativitas anak.
Praktik pendidikan lebih memperhatikan struktur berpikir yang ada di belahan otak
kiri saja. Sejak dini anak-anak sudah “dipaksa” untuk mempelajari deretan panjang
angka-angka dan menghafal huruf (Ratnawati, 2001: 5). Belum lagi pembelajaran
yang dilakukan oleh para pengajar lebih bersifat mendrill yang notabene adalah
kegiatan yang “memaksa” menguasai sesuatu dengan cara menghafal. Bahkan ada
beberapa oknum yang dengan sengaja memindahkan begitu saja cara belajar
membaca, menulis dan berhitung (calistung) di sekolah dasar yang bersifat skolastik
ke dalam pem-belajaran bagi anak usia dini khususnya di Taman Kanak-kanak
ataupun Raudhatul Athfal (PPL, 2001:1-2). Permasalahan yang terjadi adalah anak
dibelajarkan tidak melalui bermain, padahal dunia mereka adalah dunia bermain.
Pembelajaran yang demikian dapat membebani pola berpikir anak dan pada
akhirnya dapat mematikan kreativitas.
Padahal pemahaman tentang belajar bagi anak usia dini berbeda dengan
orang dewasa. Bagi anak usia dini kegiatan belajar tidaklah selalu harus dengan
keadaan yang teratur dan berjangka waktu tertentu. Akan tetapi peristiwa belajar
mungkin saja terjadi saat anak sedang berlari-lari dengan teman-temannya di
halaman sekolah ataupun lewat sebuah nyanyian yang didendangkan oleh gurunya.
Dalam kegiatan bermain yang sebenarnya anak diharapkan menemukan
pembelajaran yang hakiki. Oleh karena itu jangan ada pemaksaan terhadap anak.
Semua anak pada dasarnya adalah cerdas. Melalui kecerdasan yang
dimilikinya setiap anak mampu mengeksplorasi dunianya dan memecahkan masalah
yang dihadapinya. Berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak ini
dapat menjadi modalitas dalam belajar. Berdasarkan hasil penelitian Gardner
(http:www.armstrong.com/multipleintelligences.htm) yang merasa tertantang untuk
membuktikan opini umum yang meyakini bahwa kecerdasan itu dapat dilihat secara
obyektif dan tidak hanya dilihat dari suatu penilaian angka berupa skor IQ semata.
Penelitian Gardner bermula dari maraknya tes IQ yang sangat terlihat
kesenjangannya saat itu, serta ketertarikannya mengamati budaya dan paradigma
umum masyarakat tentang kecerdasan yang dianggap paling populer hanya terletak
pada linguistik dan logika matematika saja (education development center,inc.
Center forchildrenandtechnology).
Berdasarkan hasil penelitiannya Gardner mengklaim bahwa ada berbagai
macam kecer-dasan pada diri manusia yang berhubungan dengan cara mengajar
dan belajar. Sampai akhirnya Gardner menemukan kenyataan bahwa pada
dasarnya manusia memiliki tujuh kecerdasan dasar yang berbeda pada setiap
orang. Pada perkembangan selanjutnya Gardner dan rekan-rekannya menemukan
berbagai kecerdasan lainnya, yaitu naturalis dan eksistensialis. Samples juga
mengemukakan pandangannya tentang kecerdasan jamak bahwa anak sebagai
8. manusia memiliki sejumlah kecerdasan yang dapat digunakan sebagai modalitas
dalam belajar (Samples, 2002: 117).
Pada kenyataannya, masyarakat awam di Indonesia sampai saat ini masih
terdapat pandangan yang keliru dalam mendefinisikan kecerdasan. Kecerdasan
dianggap sebagai sesuatu yang tunggal. Seorang anak dikatakan cerdas jika ia
memiliki kecakapan menonjol dalam bidang bahasa dan matematis. Sebagai contoh,
seorang anak yang berhasil memperoleh skor tinggi dalam tes yang mengukur
kecerdasan matematis dan bahasa dikatakan lebih cerdas dibandingkan anak yang
mampu menari dengan lemah gemulai, mampu bermain musik, terampil dalam
berolah tubuh atau anak yang peka pada suara hewan yang terdapat di lingkungan
sekitarnya. Sebagian besar anak tersebut di atas tidak menerima penguatan di
lembaga pendidikan, seolah mereka tidak dapat dibanggakan dan kurang dihargai.
Selanjutnya,Hernowo(2002:viii-x) menyatakan bahwa teori kecerdasan jamak
telah memunculkan paradigma yang berkaitan dengan sistem persekolahan.
Pertama, dulu, sekolah tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan
identifikasi kepada peserta didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak
yang bodoh disisi lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak, ternyata
tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan memiliki satu atau
dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu, suasana kelas cenderung
monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya bertumpu pada satu atau
dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu kecerdasan bahasa dan logika
matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran yang berbasis pada delapan jenis
kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi metode dan gaya mengajarnya.
Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak kesulitan dalam membangkitkan minat
atau gairah belajar peserta didiknya. Sekarang, melalui teori kecerdasan jamak, guru
dapat memunculkan berbagai media dan sumber belajar yang terdapat di lingkungan
sekitar melalui contoh-contoh yang kongkrit dan nyata sehingga mudah dipahami
oleh anak.
Pada kenyataannya, kecerdasan jamak seringkali justru dapat membantu
para pendidik termasuk orangtua untuk mengenali kelebihan dan kekurangan dalam
diri seorang anak. Walaupun demikian para pendidik jangan cepat mengambil
kesimpulan tentang kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh anak, tanpa
memberikan kesempatan pada anak untuk bereksplorasi, bekerja dengan
keterampilan sendiri dan mengembangkan kemampuan mereka sendiri.
(http://www.family-discovery. com/detail2.asp? menu=detail2&id=6).
Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang anak hanya akan berarti apabila
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang dikenal dengan istilah
kecakapan hidup (life skills). Berdasarkan hasil penelitian Maddaleno dan Infante
(2001:5), mengidentifikasi terdapat tiga katagori kunci tentang life skill yaitu
keterampilan sosial dan interpesonal, keterampilan kognitif dan keterampilan meniru
emosi (emosional copying skills). Melalui berbagai kecakapan hidup yang
dikuasainya, diharapkan anak akan mampu bertahan hidup dan bertanggungjawab
terhadap diri mereka sendiri. Pada dasarnya, Catron dan Allen (1999: 205)
menyatakan bahwa pembelajaran kecakapan hidup bertujuan agar anak mampu
mengurus diri sendiri (self help) dan kemudian mampu menolong orang lain (social
skill) sebagai suatu bentuk kepedulian dan tanggungjawab sosialnya sebagai salah
satu anggota keluarga dan masyarakat dimana anak berada. Dalam penelitian ini
yang dimaksudkan dengan keterampilan hidup tidak ditekankan pada teknikal atau
keterampilan vokasional seperti tukang kayu, menjahit, program komputer melainkan
9. lebih diarahkan pada keterampilan yang berhubungan dengan aspek-aspek
pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Pada kenyataannya, dibanyak lembaga pendidikan, kegiatan belajar anak
lebih disibukkan oleh kegiatan baca, tulis dan hitung dan atau kegiatan lain seperti
mewarnai, menggambar atau menyusun tumpukan balok-balok. Kegiatan lain
seperti mengurus diri sendiri, memakai sepatu dan kaos kaki, membuka tutup
tempat makanannya ataupun membuat minuman untuk dirinya sendiri jarang
dilakukan(PPL,2003:4-6); sehingga keyakinan untuk membangun konsep diri bahwa
“Yes, I can” tampak masih rendah. Hal ini terlihat dari sikap anak yang cepat putus
asa atau selalu buru-buru meminta tolong pada gurunya dengan mengatakan
“Bu…,aku tidak bisa atau tolong dong bu…”, ketika diberi tugas untuk mengerjakan
sesuatu. Permasalahan ini muncul akibat pola pembelajaran yang lebih
mementingkan aspek kognitif anak saja. Ada kecenderungan guru beranggapan
keterampilan hidup dasar merupakan tanggungjawab orangtua di rumah saja.
Keberagaman daerah di Indonesia, seperti letak geografis, adat istiadat,
budaya dan agama serta sumber daya alam dan manusia yang dimiliki
menyebabkan kebutuhan yang beragam akan model pendidikan. Untuk itu, perlu
dipikirkan suatu alternatif model pendidikan bagi anak usia dini yang sesuai dengan
keunikan dan kebutuhan disetiap daerah.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pada penelitian ini telah dilakukan
pengembangan program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak bagi anak
usia dini dalam rangka mengakomodasi tujuan dan kebutuhan yang berbeda pada
berbagai situasi dan kondisi dimana lembaga pendidikan anak usia dini berada.
Pengembangan model didasarkan pada teori perkembangan anak, teori belajar dan
pembelajaran serta teori bermain pada anak usia dini.
Pengembangan program kegiatan bermain pada dasarnya sama dengan
pengembangan kurikulum, tetapi istilah kurikulum tidak populer pada pendidikan
anak usia dini. Hal ini dibuktikan dengan berbagai peristilahan yang identik dengan
kurikulum, diantaranya di Taman Kanak-kanak digunakan istilah program kegiatan
belajar, sedangkan di kelompok bermain diistilahkan dengan menu pembelajaran
atau menu generik.
Selain itu, kurikulum seringkali dimaknai hanya sebagai seperangkat
dokumen tertulis yang berisi sejumlah target yang harus dikuasai setiap anak.
Padahal Siskandar (Siskandar, 2003: 20) memaknai bahwa sebuah kurikulum tidak
akan dapat dijadikan pedoman dan akan menjadi sia-sia jika penyusunannya tidak
mempertimbangkan karakteristik anak dan tahapan perkembangannya. Sebaliknya
pelaksanaan kegiatan pembelajaran menjadi tidak terarah dan kemungkinan terjadi
kegiatan yang tidak mendorong optimalisasi potensi anak jika kegiatan yang
dilakukan tidak berpedoman pada kurikulum. Selain itu, dalam pelaksanaannya perlu
memperhatikan kodrat anak yang pada dasarnya senang bermain. Berhubungan
dengan pernyataan di atas, maka dalam penelitian ini istilah kurikulum bagi anak
usia dini ditukarpakaikan dengan istilah program kegiatan bermain bagi anak usia
dini.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan 3 (tiga)
tahap penelitian, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1)
Apakah terdapat kelompok bermain yang telah mengembangkan program kegiatan
bermain berbasis kecerdasan jamak bagi anak usia dini?; (2) Bagaimanakah
10. pelaksanaan program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak saat ini oleh
pendidik anak usia dini di kelompok bermain?; (3) Model program kegiatan bermain
berbasis kecerdasan jamak seperti apakah yang dapat meningkatkan kreativitas
anak usia dini di kelompok bermain?; (4) Desain pembelajaran berbasis kecerdasan
jamak seperti apakah yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini di
kelompok bermain?; (5) Bagaimanakah prosedur penerapan program kegiatan
bermain berbasis kecerdasan jamak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia
dini di kelompok bermain?; (6) Bagaimanakah dampak penerapan model program
kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak terhadap kreativitas anak usia dini di
kelompok bermain?.
C. KAJIAN TEORETIK
Kajian teoretik merupakan landasan konseptual pengembangan model
program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan
kreativitas anak usia dini di kelompok bermain yang menjadi fokus dalam penelitian
ini.
1. Program Kegiatan Bermain bagi Anak Usia Dini
Pengertian Program Kegiatan Bermain
Berkaitan dengan istilah program kegiatan bermain bagi anak usia dini
terdapat beberapa peristilahan sejenis, diantaranya adalah kurikulum anak usia dini,
program kegiatan belajar bagi anak TK, menu pembelajaran anak usia dini, menu
generik anak usia dini, dan stimulasi perkembangan bagi anak usia dini
(Balitbang,Depdiknas, 2002:28;Dodge & Colker, 2000: 5;GBPP,1994:2; Sujiono &
Sujiono, 2004:3; Direktorat PAUD Depdiknas, 2002: 2; DepKes, 1997:92).
Kesemua peristilahan tersebut pada dasarnya mengandung makna yang
cenderung hampir sama, yaitu berisi seperangkat kegiatan belajar melalui bermain
yang dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak dalam rangka
mengembangkan seluruh potensi perkembangan yang dimiliki oleh setiap anak.
Berkaitan dengan hal tersebut, istilah pengembangan kurikulum adalah istilah yang
paling sesuai dengan pengembangan program kegiatan bermain dalam penelitian
ini. Dikarenakan istilah kurikulum terkesan sangat formal dan terstruktur, maka
dalam penelitian ini istilah kurikulum ditukarpakaikan dengan istilah program
kegiatan bermain.
Bennett, Finn & Cribb (1999:91-100) menjelaskan bahwa pada dasarnya
pengembangan program kegiatan bermain adalah pengembangan sejumlah
pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman
anak tentang berbagai hal, seperti cara berpikir tentang diri sendiri, tanggap pada
pertanyaan, dapat memberikan argumentasi untuk mencari berbagai alternatif;
Kitano dan Kirby (1986:127-167), kurikulum merupakan rencana pendidikan yang
dirancang untuk memaksimalkan interaksi pembelajaran dalam rangka
menghasilkan perubahan perilaku yang potensial; Catron & Allen (1999:30)
menyatakan bahwa kurikulum mencakup jawaban tentang pertanyaan apa yang
harus diajarkan dan bagaimana mengajarkannya dengan menyediakan sebuah
rencana program kegiatan bermain yang berlandaskan filosofis tentang bagaimana
anak berkembang dan belajar.
Bredekamp, Copple & William (tanpa tahun:1-2) meyakini bahwa pengem-
bangan kurikulum berhubungan dengan mutu program pembelajaran secara
11. keseluruhan. Ketiganya setuju dengan asumsi bahwa dalam pengembangan
kurikulum anak usia dini harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
kurikulum harus berfokus pada keseluruhan perkembangan anak dan dibuat
secara terprogram dengan mengintegrasikan semua bidang pengembangan;
guru sebagai pengembang kurikulum harus memiliki pemahaman yang memadai
tentang teori perkembangan dan teori belajar;
anak adalah pebelajar aktif, sehingga pendekatan yang paling tepat dalam
pembelajaran anak usia dini adalah melalui kegiatan bermain;
kurikulum haruslah merefleksikan peranan konteks sosial dan budaya sesuai
dengan tahapan perkembangan anak.
Tujuan Program Kegiatan Bermain
Tujuan program kegiatan bermain adalah membantu meletakkan dasar ke
arah perkembangan sikap pengetahuan, keterampilan dan kreatifitas yang
diperlukan oleh anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
untuk pertumbuhan serta perkembangan pada tahapan berikutnya. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Catron & Allen (1999:30) yang menyatakan bahwa tujuan
program kegiatan bermain yang utama adalah untuk mengoptimalkan
perkembangan anak secara menyeluruh serta terjadinya komunikasi interaktif.
Kurikulum bagi anak usia dini haruslah memfokuskan pada perkembangan
yang optimal pada seorang anak melalui lingkungan sekitarnya yang dapat menggali
berbagai potensi tersebut melalui permainan serta hubungan dengan orang tua atau
orang dewasa lainnya.
Untuk mencapai tujuan program kegiatan bermain tersebut, maka diperlukan
strategi pembelajaran bagi anak usia dini yang berorientasi pada:
tujuan yang mengarah pada tugas-tugas perkembangan disetiap rentang usia
anak;
materi yang sesuai dengan karakteristik serta kebutuhan dengan perkembangan
anak (DAP=Developmentally Approriate Practice);
metode yang bervariasi sesuai dengan tujuan kegiatan belajar dan mampu
melibatkan anak secara aktif dan kreatif serta menyenangkan;
media dan lingkungan bermain yang aman, nyaman dan menimbulkan keter-
tarikan bagi anak untuk bereksplorasi;
evaluasi yang komprehensif melalui rangkaian penilaian/asesmen perkembang-
an melalui observasi partisipatif terhadap segala sesuatu yang dilihat, didengar
dan diperbuat oleh anak.
Landasan konseptual dalam pengembangan program kegiatan bermain
didasarkan pada teori perkembangan anak (child developmental theories),
pendekatan berpusat pada anak (child centered approach), pendekatan
konstruktivisme (constructivism approach).
Teori Perkembangan Anak
Jamaris (2006:19) menyatakan bahwa perkembangan merupakan suatu
proses yang bersifat kumulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar
bagi perkembangan selanjutnya. Setiap anak berkembang melalui tahapan
perkembangan yang umum, tetapi pada saat yang sama setiap anak juga adalah
mahluk individu dan unik. Pembelajaran yang sesuai adalah pembelajaran yang
sesuai dengan minat, tingkat perkembangan kognitif serta kematangan sosial dan
emosional.
12. Anak usia dini berada dalam masa keemasan disepanjang rentang usia
perkembangan manusia. Montessori menyatakan bahwa usia keemasan merupakan
masa dimana anak mulai peka untuk menerima berbagai stimulasi dan berbagai
upaya pendidikan dari lingkungannya baik disengaja maupun tidak disengaja.
Selanjutnya Montessori dalam Hainstock (1999:10-11) mengatakan bahwa masa ini
merupakan periode sensitif (sensitive periods) yang ditandai dengan mudahnya
anak menerima stimulus dari lingkungannya. Pada masa ini anak siap melakukan
berbagai kegiatan dalam rangka memahami dan menguasai lingkungannya. Pada
masa peka inilah terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak
siap merespon dan mewujudkan semua tugas perkembangan yang diharapkan
muncul pada pola perilakunya sehari-hari.
Wolfgang dan Wolfgang (1992:14) mengatakan berkaitan dengan teori
perkembangan, maka guru anak usia dini harus: (1) tanggap dengan proses yang
terjadi dari dalam diri anak dan berusaha mengikuti arus perkembangan anak yang
individual, (2) mengkreasikan lingkungan dengan materi luas yang beragam dan
alat-alat yang memungkinkan anak belajar, (3) memperhatikan laju dan kecepatan
belajar dari masing-masing anak, dan (4) adanya bimbingan dari guru agar anak
tertantang untuk melakukan sendiri.
Berdasarkan ciri yang menandai pertumbuhan dan perkembangan anak
pada rentang usia 3-4 tahun, maka seorang guru anak usia dini perlu memiliki
pengetahuan tentang tugas, tahapan dan karakteristik perkembangan yang menjadi
dasar penyusunan program stimulasi pada setiap anak. Karakteristik perkembangan
tersebut adalah perkembangan fisik, yaitu motorik kasar dan motorik halus,
perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan sosioemosional, dan
keterampilan/kemandirian (Catron & Allen, 1999:23-26; Sujiono & Sujiono, 2004:131;
Winn & Porcher, 1992:13; Sutanti, 1997:12-16; serta Coughlin, 2000:26).
Pendekatan Berpusat pada Anak
Pendekatan yang berpusat pada anak (child centered approach) adalah
suatu kegiatan belajar dimana terjadi interaksi dinamis antara guru dan anak atau
antar anak. Menurut Coughlin (2000:5), pendekatan yang berpusat pada anak
diarahkan: (1) agar anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan, (2)
agar anak menjadi pemikir yang kritis, (3) agar anak mampu membuat pilihan dalam
hidupnya, (4) agar anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan
secara konstruktif dan inovatif, (5) agar anak menjadi kreatif, imajinatif dan kaya
gagasan, dan (6) agar anak memiliki perhatian pada masyarakat, negara dan
lingkungannya.
Berdasarkan pendapat Piaget, Erick Erickson dan Susan Isaac dalam
Wolfgang dan Wolfgang dijelaskan bahwa model berpusat pada anak sangatlah
berbeda dengan model berpusat pada guru (Wolfgang & Wolfgang, 1992:12-13)
Pada model yang berpusat pada anak pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan berdasarkan pada perkembangan (developmental position) dan
kegiatan bermain (play activity), sedangkan pada model yang berpusat pada guru
pendekatannya berdasarkan perilaku dikondisikan (behavioral position) dan
kegiatan pembelajaran yang diatur oleh guru (direct instruction).
Pendekatan Konstruktivisme
Berhubungan dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky
mengemukakan konsep zone of proximal development (ZPD) sebagai kapasitas
13. potensial belajar anak yang dapat berwujud melalui bantuan orang dewasa atau
orang yang lebih terampil. Stuyf mengatakan bahwa strategi pembelajaran
pentahapan (scaffolding) memberikan bantuan secara individual berdasar ZPD
masing-masing anak. Vygotsky dalam Stuyf memberi batasan tentang pembelajar-
an scaffolding sebagai tugas guru dan orang dewasa lainnya dalam membantu
perkembangan anak dan menyediakan struktur bantuan untuk mencapai tahapan
berikutnya, bantuan ini bersifat sementara (http://condor.admin.ccny.cuny.edu).
Penerapan teori konstruktivisme dalam program kegiatan bermain pada anak
usia dini haruslah memperhatikan beberapa hal berikut ini:
anak hendaknya memperoleh kesempatan luas dalam kegiatan pembelajaran
guna mengembangkan potensinya;
pembelajaran pada anak usia dini hendaknya terkait dengan tingkat
perkembangan potensial daripada perkembangan aktualnya;
Program kegiatan bermain lebih diarahkan pada penggunaan strategi;
Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajari dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan
tugas-tugas dan memecahkan masalah dan;
Proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan kokonstruksi (http://condor.admin.ccny.cuny.edu)
2. Teori Bermain Kreatif
Kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan
kreativitas anak usia dini yang sengaja dirancang dalam pengembangan model pada
penelitian ini dikembangkan berdasarkan pemahaman tentang pengertian dan tujuan
bermain bagi anak usia dini, pendekatan bermain kreatif dan kurikulum bermain
kreatif.
Pengertian bermain
Mengutip penyataan Mayesty (1990: 196-197) bagi seorang anak, bermain
adalah kegiatan yang mereka lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain
adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak usia dini tidak membedakan antara
bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak umumnya sangat menikmati permainan
dan akan terus melakukannya dimanapun mereka memiliki kesempatan. Piaget
dalam Mayesty (1990:42) mengatakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang
dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/ kepuasan bagi diri
seseorang; sedangkan Parten memandang kegiatan bermain sebagai sarana
sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberi kesepakatan anak
bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaaan, berkreasi, dan belajar
secara menyenangkan (Mayesty, 1990: 61-62 ). Selain itu, kegiatan bermain dapat
membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa ia hidup serta
lingkungan tempat dimana ia hidup. Selanjutnya Buhler dan Danziger dalam Roger
dan Sawyers (1995: 95), berpendapat bahwa bermain adalah kegiatan yang
menimbulkan kenikmatan; sedangkan Freud menyakini bahwa walaupun bermain
tidak sama dengan bekerja tetapi anak menganggap bermain sebagai sesuatu yang
serius.
Fleer (2000:41-43) berpendapat bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi
anak, karena melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat
mengembangkan kemampuan dirinya. Bermain merupakan suatu aktifitas yang khas
14. dan sangat berbeda dengan aktifitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalu
dilakukan dalam rangka mencapai suatu hasil akhir.
Vygotsky dalam Naughton (2003: 46) percaya bahwa bermain membantu
perkembangan kognitif anak secara langsung, tidak sekedar sebagai hasil dari
perkembangan kognitif seperti yang dikemukakan oleh Piaget. Ia menegaskan
bahwa bermain simbolik memainkan peran yang sangat penting dalam perkem-
bangan berpikir abstrak. Sejak anak mulai bermain pura-pura, maka anak menjadi
mampu berpikir tentang makna-makna obyek yang mereka representasikan secara
independen.
Berhubungan dengan kegiatan bermain, Vygotsky (Naughton, 2003: 46)
berpendapat bahwa bermain dapat menciptakan suatu zona perkembangan
proximal pada anak. Dalam bermain, anak selalu berperilaku di atas usia rata-
ratanya, di atas perilakunya sehari-hari, dalam bermain anak dianggap „lebih‟ dari
dirinya sendiri.
Selanjutnya dijelaskan terdapat dua ciri utama bermain, yaitu pertama semua
aktivitas bermain representasional menciptakan situasi imajiner yang memungkinkan
anak untuk menghadapi keinginan-keinginan yang tidak dapat direalisasikan dalam
kehidupan nyata, dan kedua bermain representasional memuat aturan-aturan
berperilaku yang harus diikuti oleh anak untuk dapat menjalankan adegan bermain.
Tujuan Bermain Kreatif
Pada dasarnya bermain kreatif ini memiliki tujuan utama yakni memelihara
perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui pendekatan
bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan bermain anak.
Penekanan dari bermain kreatif adalah perkembangan kreativitas dari anak-anak.
Semua anak usia dini memiliki potensi kreatif tetapi perkembangan kreativitas
sangat individual dan bervariasi antar anak yang satu dengan anak lainnya (Catron
dan Allen, 1999: 163).
Menurut Piaget bermain kreatif terjadi pada tahap pra operasional yang
berlangsung pada usia antara 2-7 tahun. Pada usia ini anak memiliki gambaran jiwa
dan mampu mengakui dirinya serta dapat menggunakan simbol, contoh dari
penggunaan simbol tersebut (http://www.ship.edu/~cgboeree/piaget.html).
Melalui kegiatan memanipulasi simbol seorang anak akan berpikir dasar. Selain itu
Piaget juga mengemukakan bahwa bermain kreatif dapat dilakukan dengan bermain
kata, menggambar serta menulis kata.
Elkonin dalam Naughton (2003:46) menggambarkan empat prinsip bermain
kreatif, yaitu: (1) dalam bermain anak mengembangkan sistem untuk memahami
apa yang sedang terjadi dalam rangka mencapai tujuan yang lebih kompleks; (2)
kemampuan untuk menempatkan perspektif orang lain melalui aturan-aturan dan
menegosiasikan aturan bermain; (3) anak menggunakan replika untuk mengganti-
kan objek nyata, lalu mereka menggunakan objek baru yang berbeda. Kemampuan
menggunakan simbol termasuk kedalam perkembangan berpikir abstrak dan
imajinasi; (4) kehati-hatian dalam bermain mungkin terjadi, karena anak perlu meng-
ikuti aturan permainan yang telah ditentukan bersama teman mainnya.
Untuk mendukung keempat hal tersebut, seorang anak dapat melakukan kegiatan
bermain yang situasinya merupakan khayalan anak tersebut atau yang biasa disebut
dengan bermain sosiodrama, bermain pura-pura, atau bermain drama.
(http://www.ship.edu/~cgboeree/piaget.html)
15. Pendekatan Bermain Kreatif
Berkaitan dengan pengertian kreativitas terdapat beberapa tokoh yang
memiliki pendapat yang hampir sama, diantaranya adalah: (1) Santrock (2002: 327)
berpendapat bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu
dengan cara-cara yang baru dan tidak biasa serta melahirkan suatu solusi yang unik
terhadap masalah-masalah yang dihadapi; (2) Mayesty (1990: 9) menyatakan
bahwa kreativitas adalah cara berpikir dan bertindak atau menciptakan sesuatu yang
original dan bernilai / berguna bagi orang tersebut dan orang lain; (3) Angelou
berpendapat bahwa kreativitas ditandai dengan adanya kemampuan untuk
menciptakan, mengadakan, menemukan suatu bentuk baru dan atau untuk meng-
hasilkan sesuatu melalui keterampilan imajinatif (http://www.com); (4) Gallagher
menyatakan bahwa kreativitas berhubungan dengan kemampuan untuk men-
ciptakan sesuatu yang baru, yang belum ada sebelumnya dan Moustakas
menyatakan bahwa kreativitas berhubungan dengan pengalaman mengekspresikan
dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan
dengan diri sendiri, dengan alam dan orang lain ( Munandar, 1992:50).
Selanjutnya Semiawan dalam Munandar (1992: 62) berpendapat bahwa
kreativitas merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan
menerapkannya dalam pemecahan masalah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Jamaris (2006: 164) yang memaparkan bahwa secara umum karakteristik dari suatu
bentuk kreativitas tampak dalam proses berpikir saat seseorang memecahkan
masalah yang berhubungan dengan: kelancaran dalam memberikan jawaban dan
atau mengemukakan pendapat atau ide-ide; kelenturan berupa kemampuan untuk
mengemukakan berbagai alternatif dalam memecahkan masalah; keaslian berupa
kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide atau karya yang asli hasil pemikiran
sendiri; elaborasi berupa kemampuan untuk memperluas ide dan aspek-aspek yang
mungkin tidak terpikirkan atau terlihat oleh orang lain; keuletan dan kesabaran
dalam menghadapi suatu situasi yang tidak menentu.
Selain itu, kreativitas memiliki ciri-ciri non aptitude seperti rasa ingin tahu,
senang mengajukan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman-pengalaman
baru. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Munandar (1992: 62) menyatakan
bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan
data, informasi dan unsur-unsur yang ada. Kreativitas merupakan kemampuan yang
mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir serta
kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan yang meliputi kemampuan
mengembangkan, memperkaya dan memperinci. Selanjutnya kreativitas juga
berhubungan dengan proses berpikir yang dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini
kemampuan berpikir menyebar (divergent thinking) dan bukan berpikir yang
menyempit (convergent thinking). Dalam kenyataannya, orang yang intelegensinya
tinggi belum tentu kreatif, tetapi orang yang kreatif umumnya orang yang cukup
intelegen.
Mayesty (1990: 9) menyatakan bahwa anak-anak secara alamiah pada
dasarnya kreatif, ini berarti bahwa apa yang mereka lakukan adalah unik dan
berguna bagi diri mereka sendiri bahkan juga berguna bagi orang lain. Anak-anak
secara alami adalah sosok yang kreatif, umumnya mereka mengeksplorasi dunia ini
dengan ide-ide yang cemerlang dan bahkan menggunakan apa yang mereka lihat
dengan cara-cara yang alami dan asli. Kreativitas berarti memiliki kekuatan atau
kualitas untuk mengekspresikan diri dengan cara anak sendiri, mereka selalu
mengadakan perubahan yang dilakukan setiap saat dan semua dilakukan oleh
16. mereka sendiri (Good Times Being Creative. www.nnnc.org). Artinya orang lain dan
lingkungan diluar diri mereka hanya perlu mendorong kreativitas alami yang sudah
ada dalam diri anak.
Maslow dan Roger dalam Kitano dan Kirby (1986:194) menjelaskan bahwa
kreativitas sebagai salah satu aspek kepribadian sangat berkaitan dengan
aktualisasi diri. Selanjutnya pendapat Maslow yang mengutip oleh Semiawan (2006:
5-6) menyatakan bahwa orang yang mampu mengaktualisasikan diri adalah orang
yang kreatif, orang yang sangat peduli (lebih banyak) terhadap proses daripada
klimaks keberhasilan dan kebanggaan terhadap sukses tersebut. Titik puncak
penghayatan pengalaman (peak-experience) terkait dengan kemampuan
mengintegrasikan diri dengan apa yang dihayatinya (a oneness where there was a
twoness … a detachment from time and places).
Berhubungan dengan aktualisasi diri sebagai suatu bentuk perwujudan
kreativitas, Catron dan Allen (1990:163-164) menjelaskan 12 (dua belas) indikator
kreatif pada anak usia dini, yaitu: anak berkeinginan untuk mengambil resiko
berperilaku berbeda dan mencoba hal-hal yang baru dan sulit; anak memiliki selera
humor yang luar biasa dalam situasi keseharian; anak berpendirian tegas/tetap,
terang-terangan, berkeinginan untuk bicara secara terbuka dan bebas; anak adalah
nonkonfermis, yaitu melakukan hal-hal dengan caranya sendiri; anak
mengekspresikan imajinasi secara verbal, contoh, membuat kata-kata lucu atau
cerita fantastis; anak tertarik pada berbagai hal, memiliki rasa ingin tahu dan senang
bertanya; anak menjadi terarah sendiri dan termotivasi sendiri; anak memiliki
imajinasi dan menyukai fantasi; anak terlibat dalam eksplorasi yang sistematis dan
yang disengaja dalam membuat rencana dari suatu kegiatan; anak menyukai untuk
menggunakan imajinasinya dalam bermain terutama dalam bermain pura-pura; anak
menjadi inovatif, penemu, dan memiliki banyak sumber daya; anak bereksplorasi,
bereksperimen dengan obyek, contoh, memasukkan atau menjadikan sesuatu
sebagai sebagai bagian dari tujuan; anak bersifat fleksibel dan anak dan; anak
berbakat dalam mendesain sesuatu.
Proses berpikir kreatif utamanya digunakan seseorang untuk memecahkan
masalah. Mengutip pendapat Wallas dalam Jamaris ( 2006:62-63) menjelaskan
bahwa pemecahan masalah adalah proses yang terjadi dalam 4 (empat) fase, yaitu:
fase persiapan, berupa pengumpulan informasi yang berkaitan dengan masalah
yang sedang dipecahkan; fase pematangan informasi yang telah terkumpul berupa
kegiatan yang berkaitan dengan usaha memahami keterkaitan satu informasi
dengan informasi lainnya dalam rangka pemecahan masalah; fase iluminasi,
berupa penemuan cara-cara yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah; dan
fase verifikasi, berupa kegiatan yang berkaitan dengan usaha untuk mengevaluasi
apakah langkah-langkah yang akan digunakan dalam pemecahan masalah akan
memberikan hasil yang sesuai.
Dalam mengembangkan program kegiatan bermain hal paling penting yang
tidak dapat diabaikan adalah memilih aktivitas yang dapat mempertinggi
pertumbuhan anak dalam seluruh aspek perkembangannya melalui kegiatan
bermain bebas, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Cosby dan Sawyer (1995: 85) menyatakan bahwa permainan secara
langsung mempengaruhi seluruh area perkembangan anak dengan memberikan
kesempatan bagi anak untuk belajar tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya.
Permainan memberikan anak-anak kebebasan untuk berimajinasi, menggali potensi
diri/bakat dan untuk berkreativitas. Motivasi bermain anak-anak muncul dari dalam
17. diri mereka sendiri; mereka bermain untuk menikmati aktivitas mereka, untuk
merasakan bahwa mereka mampu, dan untuk menyempurnakan apa saja yang telah
ia dapat baik yang telah mereka ketahui sebelumnya juga hal-hal yang baru.
untuk lebih memfokuskan pada permainan kreatif yang dikembangkan dalam
penelitian ini, maka merujuk pada paparan Lopes dalam tulisannya yang berjudul
“Creative Play Helps Children Grow”, menyatakan bahwa permainan kreatif dapat
diklasifikasikan dalam: Kreasi terhadap obyek (object creation) berupa kegiatan
bermain dimana anak melakukan kreasi tertentu terhadap suatu obyek seperti
menggabungkan potongan-potongan benda sehingga menjadi bentuk mobil-
mobilan; Cerita bersambung (continuing story) berupa kegiatan bermain dimana
guru memulai awal sebuah cerita dan setiap anak menambahkan cerita selanjutnya
bagian per bagian seperti cerita dengan menggunakan buku besar (big book);
Permainan drama kreatif (creative dramatic play) berupa permainan dimana anak
dapat mengekspresikan diri melalui peniruan terhadap tingkah laku orang, hewan
ataupun tanaman, hal ini dapat mereka memahami dan menghadapi dunia seperti
bermain peran dokter-dokteran; Gerakan kreatif (creative movement) berupa
kegiatan bermain yang lebih menggunakan otot-otot besar seperti permainan aku
seorang pemimpin dimana seorang anak melakukan gerakan tertentu dan anak lain
mengikutinya/berpantomim atau kegiatan membangun dengan pasir, lumpur dan
atau tanah liat; Pertanyaan kreatif (creative questioning) yang berhubungan dengan
pertanyaan terbuka, menjawab pertanyaan dengan sentuhan panca indera,
pertanyaan tentang perubahan, pertanyaan yang membutuhkan beragam jawaban,
pertanyaan yang berhubungan dengan suatu proses atau kejadian
(http://www.nncc.org) dan (http://www.centerforcreativeplay.org).
Kurikulum Bermain Kreatif
Berdasarkan pendapat Dodge dan Colker (2000: 5-10), kurikulum bermain
kreatif didasarkan pada 4 (empat) pertanyaan, yaitu bagaimana anak membangun
kemampuan sosial dan emosional, berdasarkan pendapat Erikson dalam Dodge
dan Colker (2000: 5-6) dan sejalan dengan pendapat Dworetzky (tanpa tahun: 339)
yakin bahwa perkembangan sosioemosional yang penting untuk dikembangkan dan
harus dibelajarkan pada anak adalah rasa percaya, kemandirian dan inisiatif;
bagaimana anak belajar untuk berpikir, Piaget dalam Santrock (2002: 308)
berpendapat bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah
proses penyatuan informasi baru ke stuktur kognitif yang sudah ada dalam benak
anak. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Equilibrasi adalah penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Agar seseorang
tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang ber-
sangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses
penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi antara “dunia luar” dan “dunia
dalam”. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat
dan berjalan tak teratur (disorganized). Proses belajar harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui anak; bagaimana anak mengembangkan
kemampuan fisik, pengembangan kemampuan fisik terdiri dari: sejumlah
kemampuan persepsi motorik yang akan dikembangkan termasuk didalamnya
koordinasi mata-tangan atau kaki-tangan (eye-hand eye-foot coordination) seperti
menggambar, menulis, memanipulasi obyek, visual track, melempar, menangkap
dan menendang; kemampuan gerakan motorik (locomotor skill) seperti meng-
18. gerakkan tubuh melalui ruang, berjalan, melompat, berbaris, berlari, meloncat,
berlari cepat, berguling, merangkak, bergerak dengan pelan; Keterampilan gerak
statis (non locomotor skill) seperti diam di tempat, bergiliran, berputar, menjangkau,
bergoyang, berjongkok, duduk dan berdiri; Manejemen atau pengendalian tubuh
(body management and control) seperti kesadaran tubuh, kesadaran ruang, ritme,
keseimbangan dan kemampuan untuk memulai, berhenti dan mengubah arah;
bagaimana anak berkembang dipengaruhi budayanya, kurikulum bermain kreatif
haruslah disesuaikan dengan lingkungan dan budaya dimana anak itu berasal,
sehingga ketika proses pembelajaran terjadi anak tidak merasa asing dengan materi
yang diajarkan oleh gurunya. Selain itu kemampuan untuk mengembangkan potensi
yang ada pada anak juga sangat tergantung pada interaksi sosial anak dengan
lingkungan sekitarnya. Artinya apa yang dibelajarkan guru sesuai dengan situasi dan
kondisi serta kebutuhan anak sehingga dapat segera diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan
kurikulum bermain kreatif adalah suatu pendekatan yang tidak hanya berorientasi
pada suatu paket produk, tetapi lebih mementingkan proses yang dinamis dan
selalu berubah yang ditentukan oleh individu-individu yang terlibat dalam proses
belajar secara bersama-sama setiap hari. Oleh karena itu diharapkan pendidik selalu
dapat mengadaptasi, memperbaharui, dan mengubah kurikulum sehingga dapat
sesuai dengan kebutuhan anak, orang tua, dan masyarakat.
3. Teori Kecerdasan Jamak
Pemaparan tentang teori kecerdasan jamak berisi tentang pengertian
kecerdasan jamak, teori perkembangan otak, kecerdasan jamak dalam pendidikan
dan aspek kecerdasan jamak.
Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan merupakan kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh manusia.
Tingkat kecerdasan dapat membantu seseorang dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang muncul dalam kehidupannya. Kecerdasan sudah dimiliki sejak
manusia lahir dan terus menerus dapat dikembangkan hingga dewasa.
Pengembangan kecerdasan akan lebih baik jika dilakukan sedini mungkin sejak
anak dilahirkan melalui pemberian stimulasi pada kelima panca inderanya.
Kecerdasan merupakan ungkapan dari cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan
modalitas dalam belajar. Kecerdasan bagi seseorang memiliki manfaat yang besar
selain bagi dirinya sendiri dan juga bagi pergaulannya di masyarakat. Melalui tingkat
kecerdasan yang tinggi seseorang akan semakin dihargai di masyarakat apalagi
apabila ia mampu berkiprah dalam menciptakan hal-hal baru yang bersifat
fenomenal.
Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor semata
dan bukan sesuatu yang dapat dilihat atau dihitung, melainkan dengan ukuran
kemampuan yang diuraikan sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menyelesaikan
masalah, (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk
dipecahkan, (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau memberikan
penghargaan untuk budaya seseorang (http:www.infed.org/thinkers/gardner.htm/).
Penelitian Gardner telah meruntuhkan dua asumsi umum tentang
kecerdasan, yaitu: kecerdasan manusia bersifat satuan dan bahwa setiap individu
dapat dijelaskan sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat diukur dan
19. tunggal (Campbell, Campbell dan Dickinson, 2002: 3). Dalam studinya tentang
kecerdasan manusia ditemukan bahwa pada hakikatnya: (1) Setiap manusia
memiliki delapan (kemudian ditambahkan dua menjadi sepuluh walaupun masih
bersifat hipotetis) spektrum kecerdasan yang berbeda-beda dan menggunakannya
dengan cara-cara yang sangat individual; (2) Setiap orang dapat mengembangkan
kesemua kecerdasan sampai mencapai suatu tingkat yang memadai; (3) Setiap
kecerdasan bekerjasama satu sama lain secara kompleks karena dalam tiap
kecerdasan ada berbagai cara untuk menumbuhkan salah satu aspeknya (Gardner,
1993; 2).
Kecerdasan jamak adalah sebuah penilaian yang melihat secara deskriptif
bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan sesuatu (Gardner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for 21
th Century). Pendekatan ini merupakan alat untuk melihat bagaimana pikiran
manusia mengoperasikan dunia, baik itu benda-benda yang konkret maupun hal-hal
yang abstrak. Bagi Gardner tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada anak
yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan.
(http://www.family-discovery.com/detail2.asp?menu=detail2&id=6)
Berdasarkan pendapat tersebut, hendaknya orang tua dan guru selayaknya
harus jeli dan cermat dalam menilai dan menstimulasi kecerdasan anak dalam
sebuah rancang proses pembelajaran bagi anak usia dini. Jadi dasar pemikiran
pengembangan kecerdasan dalam pembelajaran adalah ”bukan berapa cerdasnya
seseorang, tetapi dalam hal apa dan bagaimana seseorang menjadi cerdas”.
Teori Perkembangan Otak
Kecerdasan seseorang sangat berhubungan dengan rangsangan awal yang
diterimanya sejak masa pertama kehidupannya (Nash, tanpa tahun:4). Belahan otak
dapat distimulasi sesuai dengan fungsi masing-masing belahan. Keterkaitannya
kecerdasan jamak yaitu; belahan otak kiri berhubungan dengan pengembangan
kecerdasan linguistik, logika matematika, visual spasial dan kinestetik; sedangkan
belahan otak kanan berhubungan dengan pengembangan kecerdasan interpersonal,
intrapersonal, musikal, naturalis dan spritual. Pada dasarnya keberfungsian dari
kedua belahan otak tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, tetapi
keduanya dapat saling berkaitan. Artinya perkembangan belahan otak kanan akan
mempengaruhi perkembangan belahan otak kiri dan sebaliknya.
Berhubungan dengan penelitian ini, maka pengembangan program kegiatan
bermain bagi anak usia dini haruslah dapat mengembangkan kedua belahan otak
manusia melalui pengembangan secara kongkrit kecerdasan jamak melalui berbagai
kegiatan bermain.
Implementasi Kecerdasan Jamak dalam Pendidikan
Pandangan terkini menunjukkan bahwa manusia memiliki berbagai
kecerdasan yang terdapat dalam dirinya, hanya tidak semua kecerdasan tersebut
dapat berkembang sehingga menjadi keunggulan dari dirinya. Semiawan ( 2000:
125-127) menyatakan bahwa adanya perbedaan individu dalam hal kemampuan
bawaannya menyebabkan setiap individu memiliki satu atau dua kecerdasan yang
dapat diunggulkan dari dalam dirinya. Kecerdasan yang khusus tersebut apabila
ditumbuhkembangkan secara optimal akan dapat menjadi keunggulan bagi anak
tersebut. Sebagai contoh seorang anak yang memiliki keberbakatan dalam bidang
musik akan dapat menunjukkan prestasi yang menonjol dalam bidang tersebut
20. Kecerdasan Jamak
mencakup berbagai
kemampuan untuk:
apabila anak diberikan kesempatan untuk mempelajarinya dengan sungguh-
sungguh.
Setiap individu memiliki cara yang berbeda untuk mengembangkan berbagai
kecerdasan yang ada dalam dirinya. Untuk itulah dalam proses pendidikan dan
pembelajaran khususnya setiap anak harus mendapat perlakuan yang berbeda
sesuai dengan potensi kecerdasannya masing-masing. Untuk hal ini dikenal adanya
istilah “the right man on the right place“. Artinya seorang anak akan dapat belajar
bidang pengembangan apapun apabila ia diberi kesempatan untuk mempelajarinya
sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sangat mungkin seorang anak belajar
matematika melalui kecerdasan linguistiknya. Caranya adalah dengan menter-
jemahkan soal-soal matematika tersebut menjadi kalimat-kalimat dalam soal cerita
dan bukan sekedar angka-angka dalam logika matematika.
Dalam perkembangannya konsep kecerdasan jamak telah memberikan implikasi
yang signifikan terhadap perkembangan dunia pendidikan. Seiring dengan
keyakinan Gardner bahwa semua manusia memiliki bukan hanya satu kecerdasan
dalam hal ini intelegensi saja melainkan secara relatif memiliki otonomi berupa
seperangkat kecerdasan, maka cara guru membelajarkan anakpun harus memper-
hatikan keunggulan pada dimensi dari kecerdasan yang dimiliki oleh anak.
Bagan 1: Sembilan Aspek Kecerdasan Jamak
Apabila guru dapat memberikan kesempatan yang berbeda sesuai dengan dimensi
kecerdasan yang dimiliki oleh anak, maka besar kemungkinan keberhasilan anak
Linguistik
Berpikir lancar melalui kata-
kata
Mengekspresikan ide yang
kompleks melalui kata-kata
Memahami arti dan urutan
kata
Logika Matematika
Menggunakan sistem angka
yang abstrak
Menemukanhubungan
antara perilaku, obyekdan
ide-ide
menggunakan keterampilan
beralasan secara berurutan
Kinestetika
Berpikir melalui gerakan,
menggunakan tubuh secara
ekspresif
Tahu kapan dan
bagaimana bereaksi
meningkatkan keterampilan
fisik
Musikal
Berpikir melalui suaradan
irama
Mereproduksi musik dan
notasi dalam lagu
Sering memainkan
instrumen
Visual Spasial
Berpikir melalui gambar
Memvisualisasikan
Presentasi 3 dimensi
Menggunakan imajinasi &
interpretasi grafik secara
kreatif
Interpersonal
Memahami
suasana hati dan
perasaan orang
lain
Memiliki hubungan
yang baik dengan
orang lain,
menghibur dalam
berbagai perspektif
Memegangperan
dalam
kepemimpinan
Intrapersonal
Kesadaran diri
kritis/ tinggi
Kesadaran akan
kekuatan dan
kelemahan diri
individu
Merefleksikan
kemampuan
berpikir / proses
belajar
Naturalistik
Memahami dunia
alamiah
Membedakan,
mengklasifikasikan
dan menggunakan
ciri-ciri , fenomena,
dll dari alam
Berinteraksi dengan
mahluk hidupdan
tumbuhan
Spiritual
memandang makna
kehidupan ini sesuai
kodratmanusia
sebagai mahluk
Tuhan
menghadapi dan
memecahkan
persoalan makna
dan nilai hdup
membangun sikap
toleransi pada
sesama mahluk
21. dalam menuntaskan indikator yang merupakan hasil belajar yang diharapkan dapat
dikuasainya. Selain itu, dengan memperhatikan dimensi kecerdasan yang di-
unggulkan dari dalam diri setiap anak, berdampak pada strategi pembelajaran yang
digunakan oleh guru.
Implikasi teori kecerdasan jamak dalam pendidikan adalah adanya berbagai
materi, metode, media/sumber belajar dan lingkungan belajar yang bervariasi ter-
masuk juga variasi dalam sistem evaluasi melalui proses asesmen perkembangan.
Mengutip pernyataan Jamaris (2006:164) asesmen perkembangan anak usia dini
merupakan proses kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengumpulkan
data atau bukti-bukti tentang perkembangan dan hasil belajar anak usia dini. Hasil
kegiatan ini dapat memberikan gambaran tentang apa yang dapat dan yang belum
dapat dilakukan anak dalam lingkup perkembangan yang sesuai dengan tingkat usia
anak yang bersangkutan.
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan linguistik adalah kecerdasan dalam mengolah kata, atau kemampuan
menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis.
Kecerdasan Logis Matematis
Kecerdasan logis matematis adalah kecerdasan dalam hal angka dan
logika.Kecerdasan ini melibatkan keterampilan mengolah angka dan atau kemahiran
menggunakan logika atau akal sehat.
Kecerdasan Visual Spasial
Kecerdasan visual spasial merupakan kemampuan untuk memvisualisasikan
gambar di dalam pikiran seseorang, atau untuk anak dimana dia berpikir dalam
bentuk visualisasi dan gambar untuk memecahkan sesuatu masalah atau
menemukan jawaban.
Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan fisik adalah suatu kecerdasan dimana saat menggunakannya
seseorang mampu atau terampil menggunakan anggota tubuhnya untuk melaku-
kan gerakan seperti, berlari, menari, membangun sesuatu, melakukan kegiatan seni
dan hasta karya.
Kecerdasan Musikal
Kecerdasan musikal yaitu kemampuan mengenal bentuk-bentuk musikal dengan
cara mempersepsi (penikmat musik), membedakan (kritikus musik), mengubah
(komposer), mengekspresikan (penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada
irama, pola titi nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu.
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah berpikir lewat berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang lain.
Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara
reflektif, yaitu mengacu pada kesadaran reflektif mengenai perasaan dan proses
pemikiran diri sendiri.
Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan naturalis yaitu kecerdasan untuk mencintai keindahan alam melalui
pengenalan terhadap flora dan fauna yang terdapat di lingkungan sekitar dan juga
mengamati fenomena alam dan kepekaan/kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual diartikan sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai terkait dengan perilaku dan hidup manusia
22. dalam konteks makna yang lebih luas sesuai dengan kodrat manusia sebagai
mahluk Tuhan.
4. Model Pembelajaran Anak Usia Dini
Pengembangan model program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak bagi
anak usia dini didasarkan pada teori model pembelajaran terpadu, model program
kegiatan bermain, dan konsep desain pembelajaran.
Model Pembelajaran Terpadu
Model adalah perwujudan suatu teori, atau wakil dari proses dan variabel
yang tercakup dalam teori (Snelbecker,1984: 32); sedangkan Horton seperti yang
dikutip oleh Suriasumantri (Tanpa tahun: 23) mengemukakan bahwa model bersifat
menjelaskan hubungan berbagai komponen, aksi dan reaksi serta sebab akibat.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Briggs dalam Gafur (1984: 27) berpendapat
bahwa model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu
proses kerja. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan model adalah suatu
kerangka konseptual yang bersifat prosedural berupa sebuah pola atau rancangan
yang dapat digunakan sebagai kajian dalam pengembangan program kegiatan
bermain bagi anak usia dini.
Pembelajaran terpadu merupakan suatu bentuk pembelajaran yang
memadukan peristiwa-peristiwa otentik / authentic events melalui pemilihan tema
yang dapat mendorong rasa keingintahuan anak/ driving force untuk memecahkan
masalah melalui pendekatan eksplorasi atau investigasi/ inquiry approach (Collin
dan Hazel, 1991: 6-7). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Humpreys dalam Lake
(http://www.nwrel.org/scpd/sir/8/c016.html,1994:2) menyatakan bahwa pembelajaran
terpadu adalah suatu bentuk pembelajaran dimana anak dapat mengeksplorasi
pengetahuannya dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan aspek-aspek
tertentu di lingkungannya.
Model pembelajaran terpadu jejaring laba-laba (webbed) menurut Lake
(1994:2) merupakan model pembelajaran terpadu yang mempresentasikan
pendekatan tematik untuk mengintegrasikan subyek materi pembelajaran. Materi
pelajaran pada proses pembelajaran anak usia dini disebut dengan istilah bidang
pengembangan. Selanjutnya Fogarty (1991:53) karakteristik model jejaring laba-laba
ini adalah: (1) adanya pandangan luas secara keseluruhan dalam suatu tema yang
dapat membentuk jaringan dari berbagai bidang pengembangan; (2) menggunakan
pendekatan tematik yang kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut pada masing-
masing bidang pengembangan.
Model Program Kegiatan Bermain
Model program kegiatan bermain merupakan salah satu model pembelajaran
yang termasuk dalam katagori model yang bersifat preskripsi untuk peningkatan
kemampuan pengajar. Aktifitas model ini berfokus pada peningkatan pengetahuan,
keterampilan, sensitifitas dan teknik pengelolaan pembelajaran yang digunakan.
Selain itu model ini dibuat khusus untuk kegunaan seorang pengajar untuk
keperluan di kelas.
Dasar pengembangan model program kegiatan bermain dalam penelitian ini
terdiri dari empat hal utama, yaitu perencanaan kegiatan bermain, pengembangan
23. tema, pengembangan pusat kegiatan bermain (sentra) dan pengelolaan kelas
berpindah.
Perencanaan kegiatan bermain, diimplementasikan dalam suatu strategi
kegiatan bermain yang aktif, kreatif dan menyenangkan bagi anak berdasarkan 5
(lima) komponen, yaitu: Tujuan belajar melalui bermain pada anak usia dini
khususnya yang mengikuti pendidikan di kelompok bermain adalah diarahkan untuk
mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup
dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk siap mengikuti
pendidikan dasar yang diwujudkan dalam kompetensi dasar, hasil belajar dan
indikator dari 5 (lima) bidang pengembangan, yaitu pembiasaan perilaku, kognitif,
berbahasa, fisik dan seni (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:3); Materi
dikemas dalam bentuk tema yang menarik, menantang dan bermakna bagi anak;
Metode yang bervariasi dapat menimbulkan motivasi pada anak untuk tetap mau
melakukan suatu kegiatan dan adanya kebebasan bagi anak untuk
mengekspresikan inisiatifnya, serta memberikan waktu yang cukup hingga anak
tuntas dalam melakukan kegiatan bermainnya; Media dan sumber belajar, dipilih
sesuai dengan tujuan dan konteks yang dituju, tidak berbahaya atau dapat melukai
anak, serta bentuknya wajar atau biasa dilihat oleh anak; dan evaluasi atau lebih
tepat disebut dengan istilah asesmen perkembangan merupakan suatu proses
kegiatan yang dilaksanakan bertujuan untuk mengumpulkan data atau bukti-bukti
tentang derajad perkembangan dan hasil belajar yang berkaitan dengan
perkembangan anak usia dini (Jamaris, 2006:164). Selanjutnya Jamaris (2006:168)
menyatakan bahwa portofolio merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
melakukan asesmen perkembangan anak usia dini. Portofolio umumnya berbentuk
sajian-sajian yang merekam berbagai unjuk kerja atau bukti nyata dari hasil belajar
anak usia dini.
Pengembangan tema, Kostelknik (1991:17-465) berpendapat bahwa
pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan
beberapa bidang pengembangan untuk memberikan pengalaman yang bermakna
kepada anak. Sesuai dengan perkembangan fisik dan mental anak usia dini,
pembelajaran pada tahap ini haruslah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)
berpusat pada anak, (2) memberikan pengalaman langsung pada anak, (3)
pemisahan bidang pengembangan tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari
berbagai bidang pengembangan dalam suatu proses pembelajaran, (5) bersifat
fleksibel atau luwes, (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat
dan kebutuhan anak.
Pengembangan pusat kegiatan bermain (Sentra), Craig dan Borba
(1978:3), model pembelajaran sentra memiliki ciri khas sebagai berikut: (1) learning
by doing, pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh anak, dimana kelima
indera anak terlibat secara langsung, sehingga anak memperoleh pengetahuan
interaksi anak secara langsung dengan lingkungan; (2) learning by stimulating,
pembelajaran yang menitik-beratkan pada stimulasi perkembangan anak secara
bertahap; (3) learning by modelling, pembelajaran sentra menggunakan orang
dewasa dan anak sebagai model yang saling mempengaruhi, misalnya seorang
anak yang lebih maju perkembangannya dapat dijadikan sebagai contoh bagi teman
lainnya.
Pengelolaan kelas berpindah (moving class activity) merupakan
pengaturan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh guru baik didalam ruang (in door
activity) ataupun diluar (outdoor activity) dalam rangka melancarkan proses belajar
24. Identifikasi
kebutuhan
Instruksional
dan menuliskan
tujuan
pembelajaran
umum
Melakukan
analisis
instruk
sional
Mengiden-
tifikasi
perilaku dan
karakteristik
awal anak
Menyusun
strategi
pembelajaran
Menuliskan
tujuan
pembelajaran
khusus
Mengembangkan
bahan
pembelajaran
Mendesain dan
melaksanakan
evaluasi formatif
Sistem
Pembelajaran
Menulis tes
Kajian Patokan
dan pembelajaran pada anak. Sebagai konsekuensi dari penerapan pusat kegiatan
belajar (sentra), maka perlu adanya pengaturan kegiatan sebelum, saat berada di
sentra dan saat sesudah kegiatan di sentra. Carrol (1991:22) menyakini bahwa
pengaturan kelas adalah kunci sukses dari program pembelajaran untuk anak usia
dini. Untuk itu, kelas harus dibagi kedalam beberapa sentra dimana anak dapat
bermain, belajar, duduk, berbicara atau berada di dalam kelompoknya.
Desain Pembelajaran
Pengembangan desain pembelajaran merupakan implementasi secara
kongkrit dari model konseptual program kegiatan bermain yang telah dikembangkan.
Desain pembelajaran merupakan model prosedural bagi pengembangan
perencanaan kegiatan bermain berupa satuan kegiatan mingguan dan satuan
kegiatan harian.
Merujuk pada pendapat Dick dan Carey (1999:15) yang kemudian dijabarkan
secara lebih terperinci oleh Suparman (2001:124) terdapat delapan tahapan dalam
mengembangkan desain program pembelajaran yang mengacu pada model
pengembangan pembelajaran, seperti yang digambarkan dalam bagan berikut ini.
Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan pengembangan desain
pembelajaran adalah (1) pengembangan delapan tahapan kerja dalam rangka
pengembangan secara kongkrit program kegiatan bermain berbasis kecerdasan
jamak bagi anak usia dini; (2) cara-cara yang dipilih dan dikembangkan oleh seorang
guru untuk menyampaikan materi pelajaran, sehingga akan memudahkan peserta
didik mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dikuasai diakhir
kegiatan belajar.
Bagan 2 Model Pengembangan Instruksional
Kerangka Berpikir
Model program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak dalam rangka
meningkatkan kreativitas anak usia dini di kelompok bermain yang diwujudkan
kedalam seperangkat pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan kepada
25. anak dalam rangka pencapaian kompetensi berdasarkan tugas-tugas
perkembangan yang harus dikuasainya. Melalui pengembangan model ini telah
dihasilkan seperangkat dokumen tertulis yang dapat memfasilitasi cara bermain
anak sesuai dengan potensi kecerdasan jamak yang dimilikinya.
Program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak yang mencakup 9
(sembilan) aspek kecerdasan yaitu; kecerdasan linguistik, kecerdasan logika
matematika, kecerdasan visual spasial, kecerdasan musikal/ ritmik, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan spiritual, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
dan kecerdasan naturalistik. Aspek-aspek kecerdasan ini diimplementasikan dalam
proses pembelajaran yang termuat saat menentukan tujuan pembelajaran dalam
mengembangkan kompetensi dasar dan indikator, pengembangan bahan belajar
dan bermain berdasarkan pengembangan tema, pengembangan strategi bermain,
dalam hal ini mencakup metode pembelajaran, media dan sumber belajar yang
digunakan, bagaimana proses urutan kegiatan belajar dilaksanakan serta alokasi
waktu pembelajaran tersebut. Hal yang terpenting adalah komponen kecerdasan
jamak harus dapat terimplementasikan dalam proses kegiatan bermain. Kegiatan
bermain yang dimaksud lebih diarahkan kepada bermain dengan objek kreatif, cerita
bersambung, permainan drama kreatif, gerakan kreatif, dan pertanyaan kreatif.
Melalui proses bermain tersebut anak dapat menunjukkan tingkatan
kreativitas yang dapat diamati melalui fase persiapan berupa pengumpulan informasi
yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipecahkan, fase pematangan
informasi yang terkumpul berupa kegiatan yang berkaitan dengan usaha memahami
keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya dalam rangka pemecahan
masalah. Fase iluminasi berupa penemuan cara-cara yang perlu dilakukan untuk
memecahkan masalah dan fase verifikasi berupa kegiatan yang berkaitan dengan
usaha untuk mengevaluasi apakah langkah-langkah yang akan digunakan dalam
pemecahan masalah akan memberikan hasil yang sesuai. Selanjutnya dapat
diamati pula melalui karakteristik kreatif yang ditunjukkan melalui indikator kreatif
sebagai berikut; kelancaran dalam memberikan jawaban dan atau mengemukakan
pendapat atau ide-ide; kelenturan berupa kemampuan untuk mengemukakan
berbagai alternatif dalam memecahkan masalah; keaslian berupa kemampuan untuk
menghasilkan berbagai ide atau karya yang asli hasil pemikiran sendiri; elaborasi
berupa kemampuan untu memperluas ide dan aspek-aspek yang mungkin tidak
terpikirkan atau terlihat oleh orang lain; keuletan dan kesabaran dalam menghadapi
suatu situasi yang tidak menentu.
Jadi melalui program kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak yang
diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran anak usia dini di kelompok
bermain akan dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis kerja dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: terdapat perbedaan signifikan tingkat
kreativitas anak usia dini sebelum dan sesudah penerapan model bermain berbasis
kecerdasan jamak di kelompok bermain.
D. METODOLOGI
Tujuan Penelitian
Pertama, pada tahap pra pengembangan model bertujuan memperoleh
informasi kelompok bermain yang telah mengembangkan dan program kegiatan
bermain berbasis kecerdasan jamak dan pelaksanaannya saat ini oleh pendidik
26. anak usia dini di kelompok bermain; Kedua, mengembangkan model program
kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak yang dapat meningkatkan kreativitas
anak usia dini di kelompok bermain dan desain pembelajarannya; Ketiga,
memperoleh data empiris tentang tingkat efektifitas penerapan model program
kegiatan bermain berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan
kreativitas anak usia dini di kelompok bermain.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kelompok bermain di 5 (lima) kotamadya di DKI
Jakarta. Adapun waktu penelitian dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap: pertama, pada
tahap pra pengembangan model dilaksanakan melalui survai dan studi dokumentasi
di kelompok bermain pada semester II (dua) tahun pelajaran 2004-2005; kedua,
pada tahap pengembangan model dilakukan melalui pengembangan model beserta
desain pembelajarannya pada semester I (satu) tahun pelajaran 2005-2006 dan
dilanjutkan dengan evaluasi formatif melalui uji coba terbatas di kelompok bermain
pada semester II (dua) tahun pelajaran 2005-2006 tepatnya selama 5 minggu efektif
(dari hari Senin, 6 Februari 2006 s/d Jumat, 3 Maret 2006) dan 1 hari pertemuan
puncak tema pada hari Sabtu, 4 Maret 2006; ketiga, pada tahap penerapan model
untuk membuktikan keefektifan model di 4 (empat) kelompok bermain yang berada
di wilayah Jakarta Pusat 2 lembaga, Jakarta Utara 1 lembaga dan di Jakarta
Selatan 1 lembaga pada semester II (dua) tahun pelajaran 2006-2007.
Metode Penelitian
Bagan 3: Tahapan Pengembangan Model
Studi
literatur
Studi lapangan tentang bentuk pembelajaran
program produktif yang terjadi
Deskripsi dan
analisis temuan
Evaluasi dan perbaikan
Uji Coba Terbatas
Uji Coba lebih luas
Temuan draft desain model
pembelajaran preskriptif
Penyusunan perangkat model
pembelajaran preskriptif
Evaluasi dan penyempurnaan
Model hipotetik
Model Final
1. Tes awal
2. Implementasi model
3. Tes akhir
Tahap Pengembangan Model
Tahap Pra Pengembangan Model
Tahap PenerapanModel
27. Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan berdasarkan model
R & D Cycle Borg dan Gall yang disesuaikan dengan tujuan dan kondisi penelitian
yang sesungguhnya di lapangan (Borg dan Gall, 1983:775).
Tahap Pra Pengembangan Model
Melalui survai dengan menyebarkan kuesioner dan studi dokumentasi di kelompok
bermain yang berada di lima kotamadya DKI Jakarta dengan tahapan kerja sebagai
berikut:
Bagan 4: Tahap Kegiatan Pra Pengembangan Model
Tahap Pengembangan Model
Pada tahap ini telah dilakukan pengembangan model program kegiatan bermain
berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan anak usia dini di kelompok
bermain dengan tahapan kerja sebagai berikut:
Bagan 5: Tahap Kegiatan Pengembangan Model
Tahap Penerapan Model
Penerapan model dalam penelitian ini dilakukan di 4 (empat) kelompok bermain
dengan menggunakan rancangan eksperimental yang dilakukan dengan cara
membandingkan keadaan sebelum dan sesudah diberi perlakuan (Sugiyono, 2006:
415).
O1 X O2
Bagan 6: Desain Eksperimental (before-after)
Sasaran Klien
Populasi penelitian adalah seluruh kelompok bermain di DKI Jakarta. Pada
tahap pra pengembangan, saat survei dilakukan digunakan teknik purposive
sampling, yaitu pemilihan kelompok bermain berdasarkan tujuan/ kriteria yang
hendak dicapai; Pada tahap pengembangan model, penentuan sasaran dalam hal
ini pakar dan praktisi (guru anak usia dini) yang menilai model dan desain yang
telah dikembangkan ditentukan berdasarkan kriteria, sebagai berikut: (1) evaluator
yang melaksanakan evaluasi pakar (expert judgement) ditentukan berdasarkan
kepakaran yang dimilikinya; (2) evaluator yang melaksanakan evaluasi satu-satu
Pengembangan
Model Program
Kegiatan Bermain
Pengembangan
Desain
Pembelajaran
Pengembangan
Perangkat
Uji Lapangan
Pelaksanaan
Ujicoba keterlaksanaan
(Evaluasi Formatif)
Penyebaran
Instrumen
(Kuesioner)
Tabulasi
Dan
Analisis Data
Penentuan
Kelompok Bermain
Terpilih Sesuai Kriteria
Studi
Dokumentasi
28. ditentukan berdasarkan pada kemampuan praktisi/ guru anak usia dini; Pada tahap
penerapan model, sasaran atau sampel ditentukan berdasarkan cluster sampling.
Tahapan Riset Pengembangan
Mencakup tahap pra pengembangan model, tahap pengembangan model
dan tahap penerapan model, sehingga hasilnya dapat digunakan. Dikarenakan
keterbatasan waktu, biaya dan tenaga dalam melaksanakan penelitian ini, maka
pengembangan model dilakukan hanya melalui 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) tahap
pengembangan model yang dikemukakan oleh Gall and Borg (1983:251-258).
Bagan 3: Siklus Penelitian dan Pengembangan
Bagan 7: Tahapan Riset Pengembangan
Perencanaan dan Penyusunan Model
Agar pengembangan model dapat dilakukan sebagaimana seharusnya
sesuai dengan berbagai kajian teori yang mendukung, maka berikut ini dipaparkan
tentang definisi operasional, landasan konseptual pengembangan model serta
tahapan dan prosedur pengembangan model.
Definisi Konseptual
Program kegiatan bermain berisi seperangkat rencana pembelajaran yang
didalamnya mencakup jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang harus
diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya dengan berlandaskan pada
konsep tentang bagaimana anak berkembang dan bermain.
Landasan konseptual pengembangan model program kegiatan bermain
berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan kreativitas anak usia dini
dalam penelitian ini, adalah: (1) berdasarkan tahapan dan tugas perkembangan
(Developmentally Approriate Practice) anak pada rentang usia 3-4 tahun; (2)
mengoptimalkan 9 aspek kecerdasan anak yang dapat digunakan sebagai modalitas
dalam bermain; (3) menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak; (4)
konsep belajar sambil bermain dimana anak terlibat secara aktif dan totalitas, lebih
mementingkan proses daripada hasil, terbebas dari aturan yang mengikat dan
dilakukan melalui aktifitas nyata atau sesungguhnya. melalui kegiatan bermain
kreatif, yang terdiri dari: permainan kreasi terhadap obyek, bermain cerita
bersambung, bermain drama kreatif, permainan gerak kreatif dan permainan
Tahap 10: Penerapan dan Diseminasi Tahap Penerapan Model
Tahap 9 : Perbaikan Hasil Akhir (keterbatasan penelitian)
Tahap 8 : Uji Coba Lapangan ke-2
Tahap 7 : Perbaikan Operasional (penyempurnaan model)
Tahap 6 : Uji Coba Lapangan ke-1 (evaluasi formatif) Tahap
Tahap 5 : Perbaikan Awal ( revisi model ) Pengembangan
Tahap 4 : Uji Coba Awal (evaluasi pakar dan evaluasi 1-1 ) Model
Tahap 3 : Pengembangan Model Program Kegiatan Bermain,
Desain Pembelajaran & Perangkat Penelitian
Tahap 2 : Perencanaan: Penyusunan Proposal Penelitian Tahap Pra
Tahap 1 : Pengumpulan Informasi, Penjajakan Awal, Pengembangan
dan Pengkajian Literatur Model
29. pertanyaan kreatif; (5) penerapan pembelajaran terpadu (Integrated learning)
dengan model jejaring laba-laba (webbed) dengan mempresentasikan pendekatan
tematik dalam mengintegrasikan bidang pengembangan dan sembilan aspek
kecerdasan jamak; (6) menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada
anak melalui kegiatan bermain yang aktif, kreatif dan menyenangkan.
Definisi Operasional
Program kegiatan bermain adalah seperangkat pengalaman bermain yang
diberikan pada anak dalam rangka pencapaian kompetensi berdasarkan tugas-tugas
perkembangan yang harus dikuasainya; Kecerdasan jamak adalah ungkapan dari
cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas dalam belajar melalui
bermain; Tingkat kreativitas adalah nilai yang ditunjukkan oleh setiap anak usia dini
melalui fase dan karakterstik kreativitas yang kemudian dapat diamati melalui
sejumlah indikator kreatif; Anak usia dini adalah anak yang berada dalam rentang
usia lahir sampai 6 tahun dan memiliki berbagai potensi yang siap untuk
ditumbuhkembangkan, tetapi pada penelitian ini dibatasi hanya pada anak usia 3-4
tahun saja; Kelompok bermain adalah salah satu bentuk pendidikan anak usia dini
pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi
anak usia 3 sampai 6 tahun dengan perioritas anak usia 3 sampai 4 tahun.
Kesemua peristilahan dalam definisi operasional di atas digunakan pada
setiap tahapan pengembangan model program kegiatan bermain berbasis
kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan kreativitas anak usia dini di
kelompok bermain.
Tahapan dan Langkah Pengembangan Model
Pengembangan model konseptual terdiri dari dua langkah: pertama,
pengembangan model pembelajaran berdasarkan kajian teori kecerdasan jamak dan
bermain kreatif; dan kedua pengembangan setiap komponen model program
kegiatan bermain terdiri dari: (1) tujuan pembelajaran (Goal and Objective) atau
yang diistilahkan dengan tujuan program kegiatan bermain berupa kompetensi
dasar dan indikator; (2) isi pembelajaran (learning contents) atau materi berupa
bahan belajar dan bermain kreatif melalui pengembangan tema; (3) strategi
pembelajaran (learning strategies) berupa metode, media dan sumber belajar,
urutan kegiatan pembelajaran dan alokasi waktu; (4) proses pembelajaran (learning
process) berupa pengelolaan kegiatan bermain melalui kegiatan berpindah (moving
class activity) dan (5) evaluasi pembelajaran (learning evaluation) yang diistilahkan
dengan asesmen perkembangan anak melalui unjuk kerja dan dokumen portofolio.
Pengembangan model prosedural, berupa pengembangan desain
pembelajaran berbasis kecerdasan jamak dalam rangka meningkatkan kreativitas
anak usia dini. Kegiatan ini merupakan implementasi dari model konseptual yang
telah dikembangkan terlebih dahulu. Desain pembelajaran dikembangkan
berdasarkan tahapan kerja yang direkomendasikan Dick dan Carey Model dan telah
dimodifikasi oleh Suparman sesuai dengan penerapannya di Indonesia menjadi
model pengembangan instruksional (MPI).
30. Permainan Kreasi
Terhadap Obyek
Bermain
Drama Kreatif
Bermain Melalui Cerita
Bersambung
Bermain Melalui
Gerak Kreatif
Permainan Melalui
Pertanyaan Kreatif
Analisis Tugas
Perkembangan
Kompetensi
Dasar
Pengem-
bangan
Indikator
Perilaku Awal &
Karakteristik
anak
Pengembangan
Asesmen
Pembelajaran
Pengembangan
Strategi
Pembelajaran
Berbasis
Kecerdasan Jamak
Penyusunan
Bahan Belajar
dan Bermain
Evaluasi Proses
Kliping
Portofolio
Intra
Personal
Bodily
Kinestetik
Visual
Spasial
Inter
Personal
Pengembangan Tema
Kegiatan Bermain Kreatif
Pusat Kegiatan Belajar (Sentra) Pengelolaan Kelas Berpindah (Moving Class)
Catatan
Lapangan
Penguasaan
Indikator
Logika
Matematika Musikal NaturalistikLinguistik
Konsep Belajar Sambil Bermain Pendekatan Berpusat Pada Anak
Bagan 8: Desain Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak bagi Anak Usia Dini
Pengembangan model fisikal, setelah dilakukan kegiatan 6 (enam) kali
workshop pengembangan model yang melibatkan peserta terdiri dari guru kelompok
bermain 10 orang, guru taman kanak-kanak 10 orang dan mahasiswa S1 program
studi pendidikan anak usia dini berjumlah 5 orang. Adapun hasil yang didapat
berupa seperangkat dokumen tertulis, berupa sejumlah pedoman: (1)
pengembangan tema; (2) model keterpaduan tema dan indikator; (3) perencanaan
kegiatan bermain; (4) pengembangan bahan belajar dan bermain; (5) asesmen
perkembangan.
Selain itu dikembangkan juga produk pendukung, berupa perangkat
penelitian yang terdiri dari: (1) landasan konseptual pelaksanaan workshop; (2)
bagan alur kegiatan workshop; (3) prosedur kegiatan workshop; (4) daftar isian
responden evaluasi satu-satu, evaluasi pakar, lembar studi dokumentasi, pedoman
catatan lapangan, skenario pengambilan foto; (5) foto dan vcd dokumentasi
pelaksanaan kegiatan mingguan, terdiri dari dokumentasi kegiatan minggu ke-1,
minggu ke-2, minggu ke-3, minggu ke-4 dan pelaksanaan puncak tema.
31. Teknik Analisis Data
Pada tahap pra pengembangan model, data yang diperoleh dikaji
berdasarkan analisis data deskriptif naratif guna memperoleh kelompok bermain
yang terpilih untuk dijadikan sampel secara berjenjang dan berurutan dari setiap
jawaban dari instrumen berupa kuesioner yang diberikan dalam survai.
Pada tahap pengembangan model, data hasil ujicoba model berupa evaluasi
pakar dan evaluasi satu-satu dianalisis dalam bentuk deskriptif naratif secara tertulis
dan direfleksikan kembali berdasarkan teori-teori yang menjadi dasar
pengembangan model dalam penelitian ini. Selanjutnya pada bagian akhir dari
pengembangan model dilakukan uji keterlaksanaan model (workable) berupa
evaluasi formatif dengan menganalisis data yang diperoleh melalui: (1) Kata-kata
dan tindakan. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis (catatan lapangan)
dan hasilnya dianalisis secara induktif; (2) Sumber data tertulis berupa lembar
asesmen perkembangan anak dalam pencapaian kompetensi dasar / indikator dan
lembar klipping portofolio setiap anak; (3) Foto dan rekaman video merupakan data
deskriptif yang digunakan untuk menelaah segi-segi subyektif tanpa mengalami
editing terlebih dahulu dan hasilnya dianalisis secara induktif. Pada saat pelaporan,
sesuai rekomendasi Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2004: 157-161) sebaiknya
sumber data berupa foto dipaparkan terlebih dahulu kedalam catatan lapangan,
barulah kemudian dianalisis berdasarkan teori yang relevan.
Walaupun evaluasi formatif tetap dilakukan, tetapi hasil akhir yang
dipentingkan dalam penelitian ini adalah adanya perubahan yang membawa
perbaikan (what works better) daripada kemengapaannya (Semiawan,
2007:181-
187) dan tidak untuk dikembangkan menjadi suatu generalisasi tetapi lebih pada
memerinci kekhususnya yang ada ramuan konteks yang unik (Moleong, 2004: 224).
Itu artinya keterlaksanaan model (workable) yang telah dikembangkan dalam
penelitian lebih mementingkan kemanfaatan model tersebut dalam praktek
pendidikan bagi anak usia dini.
Pada tahap penerapan model, data hasil uji efektivitas melalui rumus t test.
Selanjutnya untuk mengetahui bahwa hipotesis diterima atau ditolak maka nilai t
dibandingkan dengan nilai t tabel. dan taraf kesalahan ditentukan sebesar 5%.
Setelah diketahui nilai korelasi antara skor pretest dan post test, maka selanjutnya
adalah menguji hipotesis komparatif rata-rata yang menggunakan t-test.
E. HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Hasil Pengembangan Model
Sebelum model dikembangkan terlebih dahulu diadakan studi literatur dan
penelitian pendahuluan. Setelah itu dilakukan pengembangan model konseptual,
prosedural dan fisikal.
Hasil temuan penelitian pendahuluan, penyebaran kuesioner dilakukan
dua kali, yaitu: pada sebaran pertama dari 200 kuesioner yang kembali 150
kuesioner; pada sebaran kedua dari 100 kuesioner kembali 55 kuesioner; dan dari
data laporan observasi mahasiswa di kelompok bermain berjumlah 21 lembaga,
sehingga kuesioner yang berhasil dikumpulkan berjumlah 205 responden.
Berdasarkan hasil sebaran kuesioner dan studi dokumentasi, maka sesuai
dengan tujuan pemilihan sampel bertujuan yang bersifat penyesuaian berkelanjutan
dari urutan butir pertanyaan yang diajukan didapat temuan sebagai berikut:
32. Bagan 9: Alur Analisis Data Sebaran Kuesioner dan Studi Dokumentasi
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ditemukan bahwa tidak terdapat
kelompok bermain yang memenuhi kriteria untuk menjadi sampel dalam penelitian
ini. Itu berarti pengembangan model program kegiatan bermain berbasis kecerdasan
jamak dalam rangka meningkatkan kreativitas anak usia dini pada kelompok
bermain yang dikembangkan pada penelitian ini adalah model yang tergolong
inovasi baru, karena belum ada model sejenis di DKI Jakarta.
Temuan hasil pengembangan model, sesuai dengan tujuan pengembang-
an model, maka telah dihasilkan tiga produk pengembangan dimana dalam proses
kerjanya ketiga produk pengembangan model ini bersifat hirarkikal dan saling
berkesinambungan.
MODEL KONSEPTUAL
Bagan 10: Model Program Kegiatan Bermain Berbasis Kecerdasan Jamak Dalam
rangka meningkatkan Kreativitas Anak Usia Dini
Model konseptual berupa pengembangan model berdasarkan kajian teori
yang disajikan dalam bentuk bagan di atas.
Kelompok bermain
telah berdiri 3 Tahun
(= 36 KB)
Menggunakan
kurikulum anak
usia dini
(= 32 KB)
Menerapkan
kurikulum anak usia
dini > 1tahun
(= 15 KB)
Mengintegrasikan
indikatorkurikulum
dengan kecerdasan
jamak (= 14 KB)
Studi dokumentasi
(Kebenaran jawaban
hasil survei)
( = 0 KB )
Kelompok bermain
terpilih sesuai kriteria
survai
( = 6 KB )
Menggunakan SKM
berbasis kecerdasan
jamak
( = 6 KB )
Menggunakan model
keterpaduan tema dan
Indikator
(= 10 KB)
Strategi
Pembelajaran
Umpan Balik
Kompetensi Dasar
dan Indikator Berbasis
Kecerdasan Jamak
Bahan Belajar dan Bermain
berdasarkan
Tema dan Sub Tema
Metode
Media/sumber
belajar
Urutan kegiatan
Alokasi waktu
Proses
Pembelajaran
Pengelolaan
Kegiatan
Bermain.
Pengelolaan
Kelas Sentra
Asesmen
Perkembangan Anak
Interpersonal Intrapersonal Naturalistik
Linguistik
Logika
matematika
Visual SpasialMusikal / Ritmik
Kinestetik
Spiritual
Sembilan Aspek
Kecerdasan Jamak
33. Pengembangan Tujuan Program Kegiatan Bermain
Berbasis Kecerdasan Jamak
Mengintegrasikan kompetensi dasar dari 5 (lima) bidang pengembangan
yang terdapat pada kurikulum anak usia dini dengan 9 (sembilan) indikator aspek
kecerdasan jamak.
Bagan 11: Model Integrasi Kompetensi Dasar dan Aspek Kecerdasan Jamak
Pengembangan Bahan Belajar dan Bermain
Dilakukan dengan mengembangkan tema besar satu tahun, tema dan sub tema
yang berisi sejumlah pengetahuan yang akan diberikan pada anak.
Bagan 12: Pengembangan Tema
Hasil Pengembangan Tema Besar Satu Tahun
Sub Tema Sub Tema
Tema 1 Tema 2
Sub Tema Tema 6 Tema 3 Sub Tema
Tema 5 Tema 4
Sub Tema Sub Tema
Tema Besar :
Satu Tahun
Aspek
INTRAPERSONAL
Aspek
INTERPERSONAL
Aspek
NATURALISTIK
Aspek
SPIRITUAL
Pengembangan PERILAKU
Integrasi bidang pengembangan
kurikulum/media pembelajaran dengan
aspek kecerdasan jamak
Aspek
LINGUISTIK
Aspek
LOGIKA
MATEMATIKA
Pengembangan
BAHASA
Pengembangan
KOGNITIF
Aspek
MUSIKAL /RITMIK
Aspek
VISUAL SPASIAL
Aspek
KINESTETIK
MOTORIK KASAR
Aspek
KINESTETIK
MOTORIK HALUS
Pengembangan
FISIK
Pengembangan
SENI
34. Hasil Pengembangan Sub Tema Keluarga
Hasil Sebaran Tema dan Alokasi Waktu
Hasil sebaran tema dan alokasi waktu per minggu dengan sub tema aku dan
keluargaku disesuaikan dengan kalender tahun pelajaran 2005-2006 pada semester
II saat uji keterlaksanaan model dapat dipaparkan sebagai berikut:
Semester II (Genap)
Tema dan Sub tema Tema : Aku dan Keluargaku
Jumlah
Minggu
Urutan
Minggu
ke-
AKU
1. sekolahku
2. Identitasku
3. Keluargaku
4. Kesukaanku
5.Alam Sekitarku
6. Hari Besarku
Aku dan Keluargaku
(5 minggu)
Kesukaan anggota
keluargaku :
Makanan
Minuman
Warna
Disiplin / Peraturan di
keluargaku:
Disiplin diri sendiri
Disiplin keluarga
Kebiasaan dalam keluarga:
Makan bersama
Beribadah (doabersama)
Hidup sehat: mandi, gosok gigi, potong
rambut, potong kuku,cuci rambut.
Anggota keluarga dantugasnya:
Ayah dan Ibu
Aku (diri sendiri)
Kakak dan Adik
Pengasuh
35. Logika
Matematika:
F1,F2
VisualSpatial:
K1, k2
Naturalistik
C1, C2
Spiritual
D1, D2
Lingustik:
E1, E2, E3
Musikal
J1, J2
Intrapersonal:
A 1, A 2
Interpersonal
B3,B4, B5
Bodily Kinestetic
I1 I H1 H2 H3
Tema: Aku dan Keluargaku
Sub tema:
1. Anggota keluargaku dan tugasnya.
2. Kesukaan anggota keluarga (makanan, minuman, warna)
3. Kebiasaan dalam keluargaku (makan, beribadah dan hidup
sehat)
4. Tata tertib keluargaku
Tema sisipan:
Hari spesial “ Family Day”
4 19
20
21
22
23
Hasil Pengembangan Kegiatan pada Puncak Tema
Tema yang dikembangkan pada kegiatan puncak tema adalah tema sisipan
hari spesial “family day”. Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan selama setengah hari
yang dilakukan di kelompok bermain dengan melibatkan anggota keluarga, terutama
ibu dan bapak.
Hasil Pengembangan Model Keterpaduan
Bagan 13: Keterpaduan Tema dan Indikator
Pengembangan model keterpaduan tema dan indikator dengan meng-
gunakan model jaring laba-laba (webbed) pada tema dan sub tema keluarga. Untuk
memudahkan penulisan model keterpaduan tema dan indikator, maka digunakan
sistem pengkodean indikator. Berikut dipaparkan hasil pengembangan model
keterpaduan tema keluargaku dan indikator dari 9 aspek kecerdasan jamak.
Pengembangan Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari 4 komponen yaitu
pengembangan metode pembelajaran, media dan sumber belajar, urutan kegiatan
bermain dan alokasi waktu.
36. Pengembangan Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran berbasis kecerdasan jamak dalam rangka
meningkatkan kreativitas anak usia dini diimplementasikan dalam satuan kegiatan
mingguan (SKM) dan satuan kegiatan harian (SKH).
Satuan Kegiatan Harian
Satuan Kegiatan Mingguan
S S S S
K K K K
H M M H
S K M
S K H
Bagan 14: Proses Pembelajaran berbasis Kecerdasan Jamak dalam Rangka Meningkatkan
Kreativitas Anak Usia Dini
Pengembangan Satuan Kegiatan Mingguan
Berdasarkan hasil workshop pengembangan satuan kegiatan mingguan, telah
dihasilkan produk sebagai berikut: (1) satuan kegiatan mingguan (SKM) yang
dipaparkan lebih terfokus pada SKM yang digunakan pada saat uji lapangan yang
berjumlah 4 (empat) minggu; (2) pada bagian awal dari format SKM yang telah
dikembangkan berisi Identitas lembaga, yang terdiri dari: kelompok anak, semester,
urutan minggu serta tema dan sub tema; (3) kolom yang terdapat pada bagan SKM
terdiri dari jumlah hari pada setiap minggu, 5 bidang pengembangan dan 9 aspek
kecerdasan jamak.
Hasil Pengembangan Satuan Kegiatan Harian
Berdasarkan hasil workshop pengembangan satuan kegiatan harian telah dihasilkan
produk sebagai berikut: (1) satuan kegiatan harian (SKH) dikembangkan
berdasarkan SKM yang telah disusun. (2) pada bagian awal dari bagan SKH yang
telah dikembangkan berisi: Kelompok anak, semester, urutan minggu dan hari,
Kreasi terhadap
Objek
Pertanyaan kreatif
Drama KeratifGerak kreatif
Cerita bersambung
Indikator Kecerdasan Jamak
Indikator bermain
37. alokasi waktu serta tema dan sub tema; (3) SKH terdiri dari 3 urutan kegiatan
belajar, yaitu kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup; (4) pada
bagian akhir tertulis tempat dan tanggal pelaksanaan kegiatan belajar dan paraf guru
serta mengetahui paraf kepala kelompok bermain.
Hasil Pengembangan Asesmen Perkembangan Anak
Asesmen perkembangan dikembangkan berdasarkan sembilan aspek
kecerdasan jamak dengan menggunakan bentuk penilaian portofolio yang
bervariasi.
Model prosedural, dikembangkan sesuai dengan kajian teori dan tahapan
pengembangan desain pembelajaran. Berikut ini dipaparkan hasil pengembangan
desain pembelajaran berbasis kecerdasan jamak bagi anak usia dini pada kelompok
bermain yang mengacu pada model pengembangan desain pembelajaran dari Dick
dan Carey yang dimodifikasi oleh Suparman (2001:21) untuk pemanfaatannya di
Indonesia.
Permainan Kreasi
Terhadap Obyek
Bermain
Drama Kreatif
Bermain Melalui Cerita
Bersambung
Bermain Melalui
Gerak Kreatif
Permainan Melalui
Pertanyaan Kreatif
Analisis Tugas
Perkembangan
Kompetensi
Dasar
Pengem-
bangan
Indikator
Perilaku Awal &
Karakteristik
anak
Pengembangan
Asesmen
Pembelajaran
Pengembangan
Strategi
Pembelajaran
Berbasis
Kecerdasan Jamak
Penyusunan
Bahan Belajar
dan Bermain
Evaluasi Proses
Kliping
Portofolio
Intra
Personal
Bodily
Kinestetik
Visual
Spasial
Inter
Personal
Pengembangan Tema
Kegiatan Bermain Kreatif
Pusat Kegiatan Belajar (Sentra) Pengelolaan Kelas Berpindah (Moving Class)
Catatan
Lapangan
Penguasaan
Indikator
Logika
Matematika Musikal NaturalistikLinguistik
Konsep Belajar Sambil Bermain Pendekatan Berpusat Pada Anak
Bagan 15: Desain Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak bagi Anak Usia Dini
Model fisikal,
Setelah dilakukan kegiatan 6 (enam) kali workshop pengembangan model
program kegiatan bermain bagi anak usia dini di kelompok bermain yang melibatkan
peserta terdiri dari guru kelompok bermain 10 orang, guru taman kanak-kanak 10