Tiga kalimat:
Dokumen tersebut membahas tentang perubahan sistem pendidikan di era digital di mana orangtua lebih fokus pada karier dan biaya pendidikan. Anak-anak kini lebih dekat dengan guru daripada orangtua. Padahal, yang dibutuhkan anak adalah kasih sayang dan waktu berkualitas dari orangtua, bukan semata-mata biaya mahal.
Ini adalah materi karya ust M. Fauzil Adhim yang kami dapatkan langsung dari beliau saat menjadi pembicara di salah satu seminarnya, beliau mempersilahkan copy paste dan share ulang untuk kebaikan. ikuti udate langsung dari twitter beliau @Kupinang
silahkan semoga bermanfaat
materi Ini adalah milik ust fauzul adhim (penulis buku buku best dan pakar parenting islam indonesia), Saya sudah ijin untuk publish dan penulis mempersilahkan materi ini di copy paste dan share untuk kebaikan.
denganharapan ini sebagai salah satu jariyah beliau juga
Ini adalah materi karya ust M. Fauzil Adhim yang kami dapatkan langsung dari beliau saat menjadi pembicara di salah satu seminarnya, beliau mempersilahkan copy paste dan share ulang untuk kebaikan. ikuti udate langsung dari twitter beliau @Kupinang
silahkan semoga bermanfaat
materi Ini adalah milik ust fauzul adhim (penulis buku buku best dan pakar parenting islam indonesia), Saya sudah ijin untuk publish dan penulis mempersilahkan materi ini di copy paste dan share untuk kebaikan.
denganharapan ini sebagai salah satu jariyah beliau juga
Materi Seminar Parenting Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah Dalam Membentuk Kar...Namin AB Ibnu Solihin
Ā
Materi Seminar Parenting Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah Dalam Membentuk Karakter Anak Di Era Digital 2023 New - Disampaikan Oleh Namin AB Ibnu Solihin
Materi Seminar Parenting Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah Dalam Membentuk Kar...Namin AB Ibnu Solihin
Ā
Materi Seminar Parenting Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah Dalam Membentuk Karakter Anak Di Era Digital 2023 New - Disampaikan Oleh Namin AB Ibnu Solihin
Kadang kita lupa gambaran diri kita semasa kecil dan perjalanan hidup kita kadang menjadi cermin yg dipaksakan untuk ditiru oleh keturunan kita.
"Ikhlaskan dan Pasrahkan" kunci utama menjalani kehidupan dan tentu berlandaskan iman dan ilmu utk bekal tanggung jawab kepada-Nya
Parenting dan Urgensinya pada Kelompok BermainHusnul Khatimah
Ā
Parenting sebagai jembatan visi misi dan program sekolah yang berhubungan dengan anak, orang tua dan keluarga sebagai bagian dari interaksi yang menunjang proses tumbuh kembang anak,kepada orang tua.
Hi semua, terima kasih sudah berkunjung kesini š Semua file yang diupload adalah materi perkuliahan. Nah... materi ini dari dosen yang dikhususkan untuk teman-teman kelas #manabeve š
Biar gampang diakses, yah masukin sini aja kanš Sekalian membantu kalian yang mungkin butuh beberapa konten dalam file-file ini.
Jangan lupa di like yah š Kalau mau dishare atau didownload PLEASE MINTA IZIN dulu oke??
Biar ngga salah paham cuyš
ASK FOR PERMISSION ā¶ itsmeroses@mail.ru
Kalau kesulitan untuk mendownload FEEL FREE untuk email ke akušššš
[DISCLAIMER] Mohon banget kalau udah didownload. Kemuadian ingin dijadikan materi atau referensi. Jangan lupa cantumkan sumbernya. Terima kasih atas pengertiannyaš
------------------------------------------------------------
Materi details :
Coming soon ")
------------------------------------------------------------
MEET CLASS FELLASš
Instagram ā¶ https://www.instagram.com/manabeve
Blog ā¶ https://manabeve.blogspot.com
Email ā¶ manabeve@gmail.com
------------------------------------------------------------
LET'S BECOME FRIENDS WITH MEš
Instagram ā¶ https://www.instagram.com/ameldiana3
Twitter ā¶ https://www.twitter.com/amlediana3
Taufan rizky, sistem informasi semester 1, makalah pendidikantaufanrizky
Ā
Singkat kata setelah apa yang saya alami selama hidup, tentang pendidikan dan apa yang saya alami sekarang dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak saya, banyak hal yang sekiranya membuat saya khawatir. Diantaranya berawal ketika saya mendaftarkan sekolah Usia Dini untuk anak lelaki pertama saya
Ensiklik Rerum Novarum membahas tentang kondisi kelas kerja pada waktu itu, yakni buruh. Paus Leo XIII prihatin pada kondisi buruk para buruh, khususnya di negara-negara industri. Dilihat sejarahnya, ini sebagai dampak dari Revolusi Industri yang melahirkan pembagian kelas sosial, yakni kelas kapitalis (majikan) dan kelas pekerja (buruh).
Misdinar itu seorang pelayan, yakni pelayan Misa (Perayaan Ekaristi).
Dalam prakteknya, misdinar bahkan menjadi pelayan bukan saja dalam Misa tapi juga dalam berbagai perayaan liturgi dan ibadat yang tidak selalu Misa.
Lewat peran di atas seorang misdinar sudah menjadi seorang katolik yang aktif dan ikut berperan dalam berbagai tugas dan tanggungjawab Gereja.Ā
Kita para pengikut Yesus harus belajar dari pola pikir Yesus berikut ini: INOVATIF, ORISINAL, KREATIF, INSPIRATIF, KHARISMATIS, EKSPLORATIF, dan PROGRESSIF
Sosok gadis sederhana yang hidupnya suci, kata-katanya bernats, dan doa-daoanya didengarkan Tuhan. Ia bukan seorang teolog atau ahli kitab, tetapi kesuciannya telah menghantarnya menjadi seorang Pujangga Gereja.
3. Kini kita hidup di zaman serba instan di segala
bidang, tak terkecuali di bidang pendidikan.
Apabila di masa orangtua kita masih
anak-anak, seseorang bisa berhasil tanpa
pendidikan formal, maka kini selembar
ijazah memiliki arti yang bergitu penting
nilainya dalam menapaki karir seseorang.
4. Tentu ada saja orang yang bernasib mujur
tanpa perlu bersekolah (formal) tinggi,
kendati fakta semacam ini sangatlah jarang
terjadi.
Di atas segalanya penulis melihat
bahwa ada hal yang selalu sama
diajarkan dalam pendidikan anak,
baik di zaman dulu maupun
sekarang, yakni pentingnya
menanamkan nilai-nilai moral-etis
kepada anak-anak kita.
Ini adalah wariskan terhebat
dari leluhur kita kepada
generasi sekarang dan yang
akan datang.
www.lusius-sinurat.com 4
6. Kenyataan lain dalam dunia pendidikan anak adalah
semakin sengitnya persaingan antar sekolah yang satu
dengan sekolah lainnya, antara anak yang satu dengan
anak lainnya.
Persaingan atau kompetisi itu bahkan tak
jarang melangkahi tatanan etis-moral
yang diajarkan sejak dini di keluarga.
Anehnya, disaat seseorang menyukai
kompetisi, serentak ia juga takut kalah
dalam kompetisi itu. Padahal hanya ada
satu sang juara ditengah banyak
petarung.
Hal ini jugalah yang telah memengaruhi
anak-anak kita mempersiapkan masa
depan mereka.
www.lusius-sinurat.com 6
7. Ketika anak-anak masih usia sekolah, guru, dengan
sokongan sistem pendidikan justru sangat menekankan
kompetisi mencapai nilai akademis di antara mereka.
Nilai (score) pun telah menjadi satu-
satunya tolok ukur keberhasilan si anak.
Kita tahu bahwa sistem pendidikan yang
score-oriented atau ranking oriented ini
sangat melukai si anak, sebab banyak
faktor lain yang jauh lebih penting dari
sekedar angka-angka itu. Namun
kenyataannya kita hidup di zaman yang
demikian.
www.lusius-sinurat.com 7
9. Hasrat menjadi yang terbaik dan tak mau kalah dalam persaingan
di sekolah ini pada akhirnya menggiring para orangtua untuk
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah terbaik pula.
Sayangnya, yang terbaik hampir selalu identik dengan yang
termahal.
Hasrat ini pun ditangkap oleh para pelaku bisnis,
hingga sistem pendidikan pun mereka bisniskan. Ya,
sekolah telah dijadikan ajang bisnis.
Sebetulnya sah-sah saja bila sekolah dibisnsikan,
tetapi jangan sampai sekolah dijalankan dengan nafsu
money-oriented seperti para pelaku bisnis di bidang
lain.
Artinya, sekolah mutlak melaksanakan tugas
utamanya dengan baik: menjadi wahana asah-asuh-
asih anak demi mempersiapkan masa depan mereka.
www.lusius-sinurat.com 9
10. Tak hanya pebisnis, para guru pun tergoda turut
berbisnis.
Dalam berbagai kasus pendidikan anak, kita menemukan
fakta bahwa para guru tidak menjalani fungsinya dengan
baik, bahkan terkesan hanya men-delivery sebagian kecil isi
otaknya kepada ana didiknya.
Ya, sebagian besar isi otaknya ia tumpahkan di rumah atau di
tempat ia mengajar kursus mata pelajaran. Lagi-lagi hal ini
adalah cara si guru mendapat penghasilan tambahan yang
menurutnya tak cukup bila hanya mengajar secara formal
dan reguler di sekolah.
11. Dilema bagi orangtua: mau bertahan untuk tidak
mengikuti arus āmemberi kursus tambahanā diluar
sekolah atau malah memberi waktu lebih untuk
mendidik anaknya sendiri di rumah?
Tentu saja orangtua ingin memberi yang terbaik bagi anak-anaknya. Itu
berarti bila anaknya tak terlalu pintar maka ia harus diupayakan agar
menjadi anak pintar.
Bila belajar di sekolah formal saja tidak cukup, maka sebagai orangtua
yang sibuk, maka mereka harus mencari penghasilan tambahan agar
anak-anaknya bias les/kursus di lembaga kursus dan pelatihan, bahkan
ketika tempat lesa tadi mensyaratkan biaya yang lebih mahal dari biaya
bulanan di sekolah.
Ini realita zaman ini, ketika sistem pendidikan di sekolah-sekolah kita
masih mengutamakan nilai atau skor, apalagi ketika nial tadi menjadi
syarat bagi si anak bila ia ingin melanjutkan penddidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
www.lusius-sinurat.com 11
12. Selain karena kesibukan menapakai karir, para
orangtua juga seringkali tak mampu dan tak
punya waktu untuk mengajari anak-anak mereka
di rumah.
Sesungguhnya para orang tua itu sangat tahu
bahwa membantu mengajari anak sendiri di
rumah itu ideal, tetapi kebanyakan orangtua
memang lebih memilih jungkir balik mencari
uang demi membeli kecerdasan anak di luar
sana.
Toh mereka bisa membelinya, seperti juga
mereka bisa membeli rumah mewah,
kendaraan super mewah, iPad terbaru dan
terbaik serta berbagai perhiasan dan barang
mewah lainnya.
www.lusius-sinurat.com 12
14. Zaman memang telah berubah dan kita pun turut
berubah bersamanya, tak terkecuali pendidikan anak,
Tingkat kesibukan orangtua yang semakin menjadi-
jadi telah menggiring perubahan pendidikan anak di
dalam keluarga, juga pola pendidikan di sekolah.
Orangtua secara tidak sadar
ātegaā melepaskan tanggung
jawab mereka untuk mendidik
anak dan merasa telah
menjalankan tugas dan
kewajiban mereka mencari uang
sebanyak-banyaknya demi
keberlangsungan pendidikan
anak-anak mereka.
www.lusius-sinurat.com 14
15. Kenyataan ini pun telah membuat anak-
anak mereka justru lebih mengenal
guru-gurunya di sekolah (bertemu 6-8
jam per hari selama 6 hari seminggu),
guru-guru les-nya (2-3 jam sehari
selama 4-6 hari seminggu),
pembantu/baby sitter-nya (2-3 jam
sehari setiap hari), internet dan media
sosial (2 jam sehari) dibanding orangtua
mereka yang belum tentu bertemu
setiap hari.
16. Bahkan seorang anak hanya āsempatā bertemu orang tuanya
1-3 jam sehari, entah dengan papanya atau mama-nya. Itu pun
justru disaat orangtuanya mau berangkat kerja atau sepulang
kerja.
Namun tak jarang terjadi bahwa
pertemuan itu berlangsung
secara basa-basi, karena mereka
terburu-buru mau berangkat
kerja atau terlalu lelah setelah
pulang kerja.
Beruntung apabila yang bekerja itu hanya salah satu dari kedua orangtuanya.
Kendati situasi seperti ini pun tak lantas menjamin bahwa orangtua akan
memberi waktu lebih kepada anak-anaknya.
Begitu juga saat anak liburan, orangtua
hanya bisa ambil cuti sebentar dan
menajalani ākewajiabanā mereka untuk
membawa anak liburan. Belum lagi saat
liburan bersama tadi, pembantu dan baby
sitter juga tetap diajak, agar anak-anak
bisa ditinggal di hotel, sementara mama-
papanya bisa bersenang-senang tanpa
gangguan anak-anak.
www.lusius-sinurat.com 16
17. Banyak orang tua yang berpikir bahwa tanggung
jawab pendidikan itu adalah memenuhi biaya besar
yang dibutuhkan untuk menyekolahkan anak-
anaknya
Orangtua sering berpikir bahwa tanggung
jawab pendidikan anak berarti
menuntaskan seluruh ongkos yang
dibutuhkan anak untuk sekolah, antara
lain dengan menyekolahkannya di
sekolah terbaik, menyuruhnya les
tambahan di lembaga-lembaga kursus
terbaik, ikut berbagai pelatihan mahal
untuk pengembangan kepribadian anak,
serta menyediakan berbagai fasilitas
mewah yang dibutuhkan buah hatinya.
www.lusius-sinurat.com 17
19. Pendidikan memang mahal, namun tak lantas berarti
bahwa mahalnya biaya tak otomatis menjadikan
anak yang berkualitas secara lahir dan batin.
Itu karena pendidikan anak memang
mengandaikan adanya pengorbanan
orangtua.
Orangtua mau tidak mau harus memberikan
waktu untuk anak- anak mereka, agar
mereka belajar tentang perasaan jengkel
saat membantu anak-anaknya
mengerajakan PR serta belajar mengalami
āmakan hatiā saat anak menolak keinginkan
mereka, dan seterusnya.
Inilah pendidikan yang sesungguhnya.
www.lusius-sinurat.com 19
20. Di zaman ini anak-anak sering diperlakukan sebagai "investasi"
orangtua yang hanya akan dipandang berhasil bia mereka
berhasil menggandakan apa yang telah diinvestasikan
orangtuanya sepanjang masa pendidikannya.
Padahal anak-anak sesungguhnya tak butuh
ādana yang sangat besarā dari orangtua untuk
pendidikan mereka. Ketika masih balita, anak-
akan itu hanya hanya ingin bermain kuda-
kudaan dengan papa-nya atau sekedar
mendengarkan dongeng indah dari mulut
mamanya sesaat sebelum terlelap.
Anak-anak sungguh membutuhkan nilai-nilai
kehidupan, bukan pertama-tama nilai tinggi di
sekolah berkat usaha orangtuanya. Bukan itu.
Anak-anak hanya ingin diberitahu tentang nilai
kesuksesan diatas besarnya pengorbanan
orangtua mereka.
www.lusius-sinurat.com 20
21. Akhirnya, yang dibutuhkan oleh anak-anak adalah orang
tua yang selau āadaā di dekatnya dab menyempatkan diri
berbagi waktu secara kuantitatif dan kualitatif bersama
mereka.
Anak-anak sungguh membutuhkan
orang tuanya disaat mereka dipaksa
menjadi dewasa oleh godaan media
sosial yang muda mereka akses di
ponsel cerdasnya.
Mereka ingin agar orang tua mereka
ada disaat dunia sekitar mereka
memaksa mereka berlaku bak orang
dewasa, mulai dari berpakaian bak
orang dewasa, bertutur layaknya orang
dewasa, menyukai apa yang menjadi
kesukaan orang dewasa, serta
memenggiring mereka cepat
bertumbuh menjadi dewasa.
Semua harapan di atas hanya
bisa didapatkankan oelh anak-
anak di rumah, bukan di sekolah.
Sebab, semua lembaga
pendidikan yang sangat hebat
sekalipun tak lebih dari sekedar
tempat mencari ilmu ātambahanā
sebagai pelengkap pendidikan
yang mereka peroleh di dalam
keluarga.
www.lusius-sinurat.com 21
23. Anak-anak membutuhkan ayah dan ibunya disaat
media tiada henti merangsang mereka agar
bertumbuh mekar secepat kecepatan sinar.
Ya, anak-anak membutuhkan kdua
orangtuanya di masa pertumbuhan
mereka, terutama dalam rangka
mempersiapkan masa depan mereka.
Untuk itu para orangtua semestinya
tidak melewatkan kesempatan untuk
mencintai anak-anaknya dalam
proses itu...
Because love is to be, not to have!
www.lusius-sinurat.com 23