1. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bertujuan untuk membebaskan anak dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara
penuh. Filosofi pendidikan ini berakar pada pemahaman yang mendalam tentang beberapa konsep kunci:
1. Menuntun: Makna sejati dari "menuntun" adalah membimbing anak secara lembut dan bijaksana menuju kesempurnaan sesuai dengan
sistem kekeluargaan tradisional (sistem among). Ini mencerminkan peran guru sebagai pemimpin yang mengarahkan siswa dengan kasih
sayang dan pengertian.
2. Merdeka: Merdeka bagi Ki Hajar Dewantara bukan hanya tentang kemerdekaan fisik, tetapi juga kebebasan dalam berpikir, bertindak, dan
berkarya sesuai dengan kodratnya masing-masing.
3. Bermain adalah Belajar: Anak belajar melalui bermain karena aktivitas tersebut memungkinkan mereka untuk bereksplorasi, berkreasi,
dan memperoleh pengalaman yang berharga tanpa tekanan.
4. Pendidikan yang Menghamba pada Anak: Pendidikan seharusnya mengutamakan kepentingan dan kebutuhan anak, bukan sebaliknya.
Guru harus mengabdikan diri pada pembelajaran dan perkembangan anak dengan penuh dedikasi.
5. Konsep Budi Pekerti: Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara tidak hanya tentang pengetahuan akademis, tetapi juga tentang
pembentukan karakter dan budi pekerti yang mulia.
6. Anak bukan Tabula Rasa: Ki Hajar Dewantara percaya bahwa setiap anak memiliki potensi dan kepribadian yang unik yang perlu diakui
dan dikembangkan.
7. Analogi Petani: Seperti seorang petani yang merawat tanaman dengan penuh perhatian, guru harus merawat dan mengasuh anak-anak
dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, sesuai dengan kodrat alamiah mereka.
Kaitannya dengan tujuan pendidikan untuk membentuk profil Pelajar Pancasila adalah bahwa pendidikan yang memerdekakan, sesuai dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara dan para pemikir seperti Montessori dan Frobel, bertujuan untuk menciptakan individu yang mandiri, bertanggung
jawab, berbudi pekerti luhur, dan memiliki kesadaran akan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Praktik-praktik belajar yang saya amati di sekitar saya saat ini mencakup berbagai pendekatan dan metode, tergantung pada
lingkungan dan konteks pendidikan yang berbeda. Beberapa praktik belajar yang umum diamati meliputi:
1. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran: Banyak institusi pendidikan yang mengintegrasikan teknologi, seperti penggunaan
perangkat lunak pembelajaran interaktif, platform daring, atau aplikasi mobile untuk meningkatkan akses dan efektivitas
pembelajaran.
2. Pembelajaran kolaboratif: Banyak guru dan institusi mendorong pembelajaran kolaboratif di mana siswa bekerja sama dalam
kelompok untuk memecahkan masalah, berdiskusi, atau membuat proyek bersama. Pendekatan ini membantu
mengembangkan keterampilan sosial, kolaborasi, dan pemecahan masalah.
3. Pendekatan berbasis proyek: Praktik pembelajaran ini menekankan pembelajaran aktif melalui pengalaman langsung dalam
membuat atau menyelesaikan proyek. Siswa diberi kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka
dalam konteks nyata, yang memungkinkan pembelajaran yang lebih mendalam dan relevan.
2. 4. Pembelajaran berbasis masalah: Metode ini melibatkan penyajian siswa dengan masalah nyata atau situasi yang kompleks
yang memerlukan pemecahan. Siswa kemudian diajak untuk menganalisis, menyelidiki, dan mencari solusi untuk masalah
tersebut, sehingga meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan pemikiran kritis mereka.
5. Pembelajaran individualis: Dalam konteks pendidikan informal atau pendidikan mandiri, saya juga melihat banyak orang belajar
secara mandiri melalui sumber daya daring, buku, atau kursus online. Pendekatan ini memberi siswa kontrol atas tempo dan
arah pembelajaran mereka sendiri.
Melalui berbagai praktik belajar ini, upaya untuk memperkuat pemahaman konsep dan keterampilan, serta mengembangkan
kemampuan siswa untuk berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif, menjadi fokus utama dalam proses pendidikan saat ini.
1. Definisi belajar yang saya pahami adalah proses internal di mana individu memperoleh pengetahuan, keterampilan,
pemahaman, atau sikap baru melalui interaksi dengan lingkungannya. Proses ini melibatkan pengalaman, refleksi, dan adaptasi
terhadap informasi atau stimulus yang diterima, sehingga menghasilkan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau
pemikiran individu.
2. Sementara itu, definisi pendidikan yang saya pahami adalah proses sistematis yang dirancang untuk memfasilitasi dan
mempromosikan belajar di antara individu atau kelompok. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan potensi penuh
individu, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial, serta membantu mereka menjadi anggota masyarakat yang
berkontribusi dan bertanggung jawab.
3. Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, saya terinspirasi oleh beberapa tokoh dan teori yang telah memberikan
pandangan dan kontribusi yang berharga terhadap pendidikan. Salah satu tokoh utama adalah John Dewey, seorang filsuf
pendidikan yang menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pengalaman dan partisipasi aktif siswa dalam proses
pembelajaran. Teori belajar konstruktivis dari Lev Vygotsky juga memengaruhi pendekatan saya, dengan penekanan pada
pembelajaran kolaboratif dan pembangunan pengetahuan melalui interaksi sosial.
4. Saya juga terinspirasi oleh pendekatan Montessori yang dipelopori oleh Maria Montessori, yang menekankan kebebasan dan
kemandirian siswa dalam pembelajaran, serta pendekatan holistik dalam pengembangan individu. Selain itu, teori
perkembangan kognitif dari Jean Piaget memberikan wawasan tentang tahapan perkembangan kognitif anak dan bagaimana
pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas mental mereka.
5. Semua tokoh dan teori ini menjadi referensi bagi saya dalam merancang dan melaksanakan strategi pembelajaran yang
memperhatikan kebutuhan dan potensi setiap siswa, serta mempromosikan pengalaman belajar yang bermakna dan relevan
dengan konteks mereka.
3. Setelah melakukan evaluasi diri terkait hasil diskusi dan umpan balik yang saya terima, saya dapat menarik beberapa kesimpulan:
1. Pemahaman tentang Pendidikan yang Memerdekakan: Saya semakin memahami bahwa Pendidikan yang Memerdekakan
adalah pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk memberdayakan individu agar menjadi pribadi yang mandiri, kritis, dan
bertanggung jawab. Ini melibatkan pengembangan kemandirian, pemikiran kritis, serta penanaman nilai-nilai demokrasi dan
keadilan dalam proses pendidikan.
2. Prinsip yang semakin saya yakini: Setelah belajar mandiri dan berdiskusi, saya semakin yakin bahwa prinsip pemberian
kebebasan dan kemandirian kepada siswa dalam pembelajaran adalah kunci dari Pendidikan yang Memerdekakan. Siswa
perlu diberi ruang untuk mengembangkan minat, bakat, dan kepribadian mereka sendiri, serta diberi kesempatan untuk
mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran.
3. Pemikiran yang perlu dihilangkan atau tidak relevan lagi: Melalui proses belajar dan diskusi, saya menyadari bahwa pemikiran
bahwa pendidikan harus bersifat otoriter dan mengutamakan pengetahuan yang diberikan secara pasif kepada siswa tidak lagi
relevan dalam konteks Pendidikan yang Memerdekakan. Pendekatan tersebut tidak memungkinkan siswa untuk
mengembangkan potensi penuh mereka dan cenderung membatasi kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran.
Dengan melakukan evaluasi diri ini, saya dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang konsep Pendidikan yang
Memerdekakan dan mengidentifikasi prinsip-prinsip yang penting untuk diterapkan dalam praktik pendidikan saya. Saya juga dapat
mengidentifikasi pemikiran-pemikiran yang perlu ditinggalkan agar dapat mengadopsi pendekatan yang lebih sesuai dengan tujuan
pendidikan yang memerdekakan.
Beberapa praktik pembelajaran yang menurut saya bisa diterapkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang memerdekakan
antara lain:
1. Pembelajaran Berbasis Proyek: Memberikan siswa proyek-proyek nyata yang memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan
pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mendorong
pembelajaran aktif, kolaboratif, dan pemecahan masalah.
2. Pembelajaran Kolaboratif: Mendorong siswa untuk bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan masalah, berdiskusi,
dan membuat proyek bersama. Pembelajaran kolaboratif membantu mengembangkan keterampilan sosial, kepemimpinan, dan
kerja tim.
3. Pembelajaran Diferensiasi: Mengakui keberagaman siswa dalam gaya belajar, minat, dan tingkat kemampuan, dan
menyediakan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Ini dapat dilakukan melalui penyediaan
bahan dan sumber daya yang beragam, serta mendukung siswa dalam mencapai potensi penuh mereka.
4. Pembelajaran Berbasis Pengalaman: Mengintegrasikan pengalaman nyata, kunjungan lapangan, dan aktivitas praktis ke dalam
pembelajaran untuk membuatnya lebih relevan dan berarti bagi siswa. Pendekatan ini membantu siswa membuat koneksi
antara teori dan praktik, serta meningkatkan motivasi dan minat mereka dalam pembelajaran.
5. Pembelajaran Mandiri: Mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri dengan
memberikan mereka kebebasan dalam memilih topik, mengatur tempo pembelajaran, dan mengeksplorasi minat mereka
4. sendiri. Ini dapat dilakukan melalui proyek-proyek mandiri, penugasan berbasis pilihan, atau sumber daya pembelajaran
mandiri.
Melalui penerapan praktik-praktik pembelajaran ini, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang memerdekakan, di mana
setiap siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka secara penuh dan meraih keberhasilan dalam kehidupan.
Praktik-praktik pembelajaran yang perlu dipertimbangkan untuk dihilangkan adalah yang tidak lagi relevan atau tidak mendukung
terciptanya lingkungan pendidikan yang memerdekakan. Beberapa praktik yang mungkin perlu dipertimbangkan untuk dihilangkan
antara lain:
1. Pembelajaran Berbasis Hafalan: Praktik yang terlalu menekankan pada hafalan tanpa pemahaman yang mendalam dapat
menghambat kemampuan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Sebaliknya, pendekatan yang mendorong
pemahaman konsep dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata lebih sesuai dengan tujuan pendidikan yang
memerdekakan.
2. Pembelajaran Pasif: Model pembelajaran di mana siswa secara pasif menerima informasi dari guru tanpa interaksi aktif atau
partisipasi siswa juga perlu dipertimbangkan untuk dihilangkan. Pembelajaran yang aktif, kolaboratif, dan berbasis pengalaman
lebih efektif dalam membangun pemahaman yang mendalam dan keterampilan yang relevan bagi siswa.
3. Penekanan pada Evaluasi Berbasis Tes: Praktik yang terlalu banyak menekankan pada tes standar atau evaluasi berbasis tes
dapat mengarah pada pembelajaran yang berorientasi pada memenuhi persyaratan ujian daripada pengembangan
pemahaman yang mendalam dan keterampilan yang relevan. Pendekatan evaluasi yang lebih holistik dan beragam, seperti
portofolio, proyek, atau penugasan reflektif, lebih sesuai dengan pendekatan pendidikan yang memerdekakan.
4. Kurangnya Diferensiasi: Model pembelajaran yang tidak memperhatikan keberagaman individu dalam gaya belajar, minat, dan
tingkat kemampuan dapat menyebabkan siswa yang kurang terlibat dan termotivasi dalam pembelajaran. Diferensiasi yang
tepat, baik melalui penyediaan sumber daya yang berbeda, penugasan yang disesuaikan, atau dukungan individual, penting
untuk memastikan bahwa setiap siswa dapat mencapai potensi penuh mereka.
Dengan mengidentifikasi dan menghilangkan praktik-praktik pembelajaran yang tidak lagi relevan atau tidak mendukung tujuan
pendidikan yang memerdekakan, kita dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif, berdaya, dan memerdekakan
bagi semua siswa.
Beberapa potensi yang dapat mendukung penerapan prinsip Pendidikan yang Memerdekakan meliputi:
1. Fleksibilitas Kurikulum: Merancang kurikulum yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan bakat
individu siswa memungkinkan adanya pengembangan yang lebih holistik dan relevan. Dengan memberikan ruang untuk pilihan
dan eksplorasi, siswa dapat merasa lebih terlibat dan memiliki kontrol atas pembelajaran mereka.
5. 2. Teknologi Pendidikan: Pemanfaatan teknologi pendidikan, seperti platform daring, aplikasi mobile, dan perangkat lunak
pembelajaran interaktif, dapat memperluas akses terhadap sumber daya pendidikan, mendukung pembelajaran mandiri, dan
memfasilitasi kolaborasi antara siswa dan guru.
3. Pengembangan Keterampilan Guru: Melakukan pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan bagi para guru
dalam hal strategi pengajaran yang inovatif, diferensiasi, dan berorientasi pada pembelajaran aktif dan kolaboratif, akan
memungkinkan mereka untuk lebih efektif menerapkan prinsip Pendidikan yang Memerdekakan dalam praktik sehari-hari.
4. Kemitraan dengan Komunitas: Memanfaatkan sumber daya dan dukungan dari komunitas lokal, organisasi non-pemerintah,
dan institusi lainnya dapat memperluas cakupan pembelajaran dan memberikan siswa pengalaman belajar yang beragam dan
bermakna di luar lingkungan kelas.
5. Penekanan pada Pengembangan Karakter: Mendukung pembelajaran karakter melalui integrasi nilai-nilai seperti
kepemimpinan, kerja sama, kemandirian, dan etika dalam kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler akan membantu siswa
mengembangkan keterampilan sosial, emosional, dan moral yang penting untuk sukses dalam kehidupan.
Dengan memanfaatkan potensi-potensi ini secara optimal, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang memerdekakan, di
mana setiap siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi penuh mereka dan meraih keberhasilan dalam kehidupan.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam penerapan prinsip Pendidikan yang Memerdekakan meliputi:
1. Kurangnya Sumber Daya: Salah satu tantangan utama adalah kurangnya sumber daya, baik fisik maupun finansial, yang
diperlukan untuk mendukung pendidikan yang memerdekakan. Kurangnya akses terhadap teknologi, buku teks, fasilitas, dan
pelatihan bagi guru dapat menjadi hambatan dalam menyediakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan berdaya.
2. Kurikulum yang Tidak Fleksibel: Kurikulum yang kaku dan terlalu terfokus pada tes standar dapat menghambat kemampuan
guru untuk menyelaraskan pembelajaran dengan kebutuhan dan minat individu siswa. Kurikulum yang kurang fleksibel juga
dapat menghambat inovasi dan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada pembelajaran aktif dan kolaboratif.
3. Pendidikan yang Tidak Merata: Ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi masalah di banyak
daerah, baik di tingkat lokal maupun global. Hal ini dapat membatasi kesempatan bagi beberapa siswa untuk mengakses
pendidikan yang memerdekakan dan berkualitas, terutama mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang
mampu atau daerah terpencil.
4. Budaya Pendidikan yang Tidak Memadai: Budaya pendidikan yang masih menekankan pada hafalan, penilaian berbasis tes,
dan kedisiplinan yang otoriter dapat menghambat pengembangan pendidikan yang memerdekakan. Perubahan dalam budaya
sekolah dan masyarakat secara keseluruhan mungkin diperlukan untuk mendukung transformasi menuju pendidikan yang lebih
inklusif dan berdaya.
5. Penolakan atau Resistensi dari Pihak Terkait: Beberapa pihak mungkin menolak atau menghadapi resistensi terhadap
perubahan dalam pendidikan, terutama jika mereka telah terbiasa dengan praktik-praktik konvensional atau memiliki
6. kepentingan tertentu yang terkait dengan status quo. Mendorong kesadaran, partisipasi, dan dukungan dari berbagai
pemangku kepentingan dapat menjadi tantangan dalam upaya untuk mengubah sistem pendidikan secara menyeluruh.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, upaya yang berkelanjutan dan kolaboratif dari semua pihak terkait dapat membantu
mengatasi hambatan-hambatan ini dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih memerdekakan bagi semua siswa.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat komitmen yang kuat untuk mengubah paradigma pendidikan menuju
pendekatan yang lebih memerdekakan. Ini melibatkan kesadaran akan pentingnya perubahan dan keberanian untuk memulai proses
transformasi.
Setelah komitmen dibuat, langkah-langkah berikut ini dapat diambil:
1. Evaluasi Kebutuhan dan Potensi: Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan yang ada, identifikasi kebutuhan,
tantangan, dan potensi yang ada. Dengan memahami konteks dan situasi yang ada, kita dapat merencanakan langkah-langkah
yang tepat untuk meningkatkan pendidikan.
2. Pembentukan Tim dan Jaringan: Bentuk tim atau kelompok kerja yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk
guru, siswa, orangtua, staf sekolah, dan masyarakat setempat. Kolaborasi dan kemitraan yang kuat diperlukan untuk
mendukung proses perubahan.
3. Pengembangan Visi dan Tujuan Bersama: Bersama-sama, bentuk visi dan tujuan bersama untuk pendidikan yang
memerdekakan. Visi ini harus mencerminkan nilai-nilai inklusif, berdaya, dan memberdayakan individu untuk mencapai potensi
penuh mereka.
4. Identifikasi Prioritas dan Rencana Tindak: Tentukan prioritas utama dan rencanakan langkah-langkah konkret untuk mencapai
visi dan tujuan yang telah ditetapkan. Rencana tindak harus mencakup strategi untuk meningkatkan kurikulum, pengembangan
profesional guru, penyediaan sumber daya, dan pelibatan masyarakat.
5. Implementasi dan Evaluasi: Implementasikan rencana tindak secara bertahap, sambil terus melakukan evaluasi dan
penyesuaian sesuai dengan hasil yang dicapai. Evaluasi berkala diperlukan untuk memastikan bahwa perubahan yang
dilakukan sesuai dengan harapan dan memberikan dampak positif yang diinginkan.
6. Komunikasi dan Komitmen Terus-menerus: Terus-menerus komunikasikan visi, tujuan, dan kemajuan kepada semua
pemangku kepentingan, dan pertahankan komitmen terhadap perubahan yang diperlukan. Komunikasi yang terbuka dan
transparan akan membantu membangun dukungan dan keterlibatan yang lebih besar dari semua pihak terkait.
Dengan mengambil langkah-langkah ini, kita dapat memulai perjalanan menuju pendidikan yang lebih memerdekakan, di mana setiap
individu memiliki kesempatan untuk berkembang secara penuh dan meraih keberhasilan dalam kehidupan.