Instrumen pengendalian pemanfaattan ruang di Indonesia.
Sebuah rekomendasi untuk memasukkan aspek-aspek science dan lingkungan hidup dalam proses tata ruang di Indonesia
Instrumen pengendalian pemanfaattan ruang di Indonesia.
Sebuah rekomendasi untuk memasukkan aspek-aspek science dan lingkungan hidup dalam proses tata ruang di Indonesia
Rancangan Kep Menteri LHK tentang Wilayah Ekoregion IndonesiaLAKSMI WIJAYANTI
Rancangan keputusan tentang satuan-satuan ekoregion di Indonesia di tingkat nasional yang digambarkan dalam peta dengan skala informasi 1:500.000 (skala cetak disesuaikan kembali)
Daya Dukung dan Daya Tampung LH Indikatif IndonesiaLAKSMI WIJAYANTI
Peta Daya Dukung dan Daya Tampung LH indikatif Indonesia yang disusun berdasarkan 5 jasa lingkungan utama : jasa penyedia pangan, jasa penyedia air, jasa pengatur tata air, dan jasa penampung limbah. Merupakan bagian dari rancangan Kepmen LHK tentang Daya Dukung dan Daya Tampung LH Nasional
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Disampaikan dalam Drum-up Laboratorium Inovasi Kabupaten Sorong, 27 Mei 2024
Dr. Tri Widodo W. Utomo, S.H., MA.
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1. RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 5 ayat (2);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
2. BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
2. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam
strategis pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
3. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
5. Fungsi lingkungan hidup adalah hasil kegunaan lingkungan hidup yang
mencakup jasa lingkungan hidup, sumber daya, ruang, dan kapasitas
penyerapan yang ditujukan untuk perlindungan dan budidaya
pemanfaatan.
6. Jasa lingkungan hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan
hidup bagi manusia dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya
mencakup penyediaan sumber daya alam, pengaturan alam dan
lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian nilai budaya.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya.
3. 8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energy, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya.
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk
kesatuan ekosistem.
10. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
11. RPPLH Nasional adalah dokumen RPPLH yang disusun oleh Menteri
dengan cakupan muatan perencanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup nasional.
12. RPPLH Provinsi adalah dokumen RPPLH yang disusun oleh Gubernur
dengan cakupan muatan perencanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup provinsi.
13. RPPLH Kabupaten/Kota adalah dokumen RPPLH yang disusun oleh
Bupati/Walikota dengan cakupan muatan perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan melalui tahapan :
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH
(2) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi sumber daya alam
(3) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b
dilakukan oleh Menteri sebelum menyusun RPPLH Nasional.
(4) Inventarisasi lingkungan hidup dan penetapan wilayah ekoregion
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan untuk
menentukan :
a. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan
b. cadangan sumber daya alam
4. (5) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
didasarkan pada hasil inventarisasi lingkungan hidup dan penetapan
wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
untuk menentukan rencana tentang :
a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
hidup;
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian
sumber daya alam; dan
d. Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim
Pasal 3
(1) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana
pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka
menengah.
(2) RPPLH disusun oleh :
a. Menteri, untuk RPPLH nasional;
b. Gubernur, untuk RPPLH provinsi; dan
c. bupati/walikota, untuk RPPLH kabupaten/kota
(3) RPPLH nasional menjadi dasar penyusunan RPPLH provinsi
(4) RPPLH provinsi menjadi dasar penyusunan RPPLH kabupaten/kota
(5) Dalam hal RPPLH provinsi belum tersusun, maka RPPLH nasional menjadi
dasar penyusunan RPPLH kabupaten/kota
Pasal 4
(1) RPPLH Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
(2) RPPLH provinsi ditetapkandengan Peraturan Daerah provinsi
(3) RPPLH kabupaten/kota ditetapkandengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
BAB II
TATA CARA INVENTARISASI LINGKUNGAN HIDUP DAN PENETAPAN
EKOREGION
Paragraf Kesatu
5. Pasal 5
(1) Inventarisasi lingkungan hidup tingkat nasional, tingkat pulau/kepulauan
dan tingkat wilayah ekoregion meliputi inventarisasi potensi, keberadaan,
kondisi dan pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem
(2) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mempertimbangkan informasi tentang :
a. Sumber, bentuk dan besaran pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup;
b. Berjalan atau tidak berjalannya fungsi-fungsi dan jasa lingkungan
hidup;
c. Pola sosial, ekonomi dan budaya masyarakat;
d. Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan; serta
e. Dampak, kondisi, dan resiko perubahan iklim beserta proyeksinya.
(3) Hasil inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk penetapan ekoregion dan menentukan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup serta cadangan sumber daya alam
(4) Mekanisme dan tata cara inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan
sesuai peraturan perundangan dibidangnya.
(5) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4) belum tersedia, maka
mekanisme dan tata cara inventarisasi lingkungan hidup mengikuti
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Paragraf Kedua
Tatacara Penetapan Ekoregion
Pasal 6
Wilayah ekoregion didasarkan pada pembentukan pulau dan kepulauan
Indonesia, yaitu:
a. Sejarah pembentukan geologi;
b. Pengaruh iklim; dan
c. Proses pembentukan geomorfologi.
6. Pasal 7
Wilayah Ekoregion tersebut pada Pasal 6 dimuat dalam Peta Ekoregion dengan
skala informasi minimal 1:500.000, yang meliputi:
a. Pulau Sumatera dan pulau-pulau yang berada di sekitarnya;
b. Pulau Jawa dan pulau-pulau yang berada di sekitarnya;
c. Pulau Kalimantan dan pulau-pulau yang berada di sekitarnya;
d. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau yang berada di sekitarnya;
e. Pulau Papua dan pulau-pulau yang berada di sekitarnya;
f. Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara;
g. Kepulauan Maluku, dan;
h. Wilayah Perairan Laut Indonesia.
Pasal 8
Batas satuan Ekoregion bersifat :
a. Umum dan indikatif;
b. Menggambarkan karakteristik bentang alam dominan;
b. Tidak mengintervensi penetapan batas ekosistem yang telah diatur dengan
peraturan perundangan.
Pasal 9
Satuan ekoregion digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan :
1 Inventarisasi lingkungan hidup diwilayah ekoregionnya;
2 Pengukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
3 Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH); dan
4 Pemetaan karakteristik ekoregion.
Pasal 10
(1) Tatacara inventarisasi lingkungan hidup diwilayah ekoregion diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
(2) Peta ekoregion sebagaimana dimaksud Pasal 6 ditetapkan oleh Menteri.
7. BAB III
TATA CARA PENYUSUNAN RPPLH
Bagian Kesatu
Tahapan Penyusunan RPPLH
Pasal 11
Tahapan penyusunan RPPLH, meliputi :
a. Inventarisasi lingkungan hidup
b. Pengolahan data dan informasi hasil inventarisasi lingkungan hidup
c. Penentuan isu strategis lingkungan hidup
d. Penentuan target dan indikator perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
e. Penyusunan muatan rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
Pasal 12
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 11
huruf a dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi dari
Kementerian/Lembaga, Dinas Daerah serta sumber-sumber lain.
(2) Pengelolaan data dan informasi inventarisasi lingkungan hidup
dilakukan untuk memperoleh potensi, kondisi dan permasalahan
lingkungan hidup.
(3) Penentuan isu strategis lingkungan hidup dilakukan dengan
musyawarah dan diskusi kelompok terarah serta mengacu pada hasil
data dan informasi sebagaimana ayat (2) dan indikasi daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup.
(4) Target dan indikator perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
menggunakan indeks kualitas lingkungan hidup.
8. (5) Penyusunan muatan rencana dan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilakukan untuk menyelesaikan isu strategis serta
pencapaian target dan indikator.
(6) Tata cara penentuan indeks kualitas lingkungan hidup diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri.
(7) Tata cara penulisan RPPLH diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
BAB IV
RPPLH NASIONAL
Pasal 13
(1) RPPLH Nasional memuat rencana :
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian
sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
(2) Rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk
kebijakan nasional yang meliputi:
a. kebijakan umum nasional;
b. kebijakan tingkat pulau/kepulauan;
(3) Muatan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk jangka
waktu pelaksanaan 30 (tiga puluh) tahun.
Bagian Kesatu
Kebijakan Umum Nasional
Pasal 14
Kebijakan Umum Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a memuat:
a. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nasional 2017 –
2047;
b. Sasaran dan dampak yang diinginkan dari perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup nasional 2017 – 2047;
9. c. Strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nasional 2017 –
2047; dan
d. Skenario perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nasional 2017 –
2047.
Pasal 15
(1) Tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a
meliputi :
a. Mengharmonisasikan pembangunan nasional dengan kemampuan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
b. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan melindungi keberlanjutan
fungsi lingkungan hidup;
c. Menguatkan tata kelola pemerintahan dan kelembagaan masyarakat
untuk pengendalian, pemantauan, dan pendayagunaan lingkungan
hidup;
d. Meningkatkan ketahanan dan kesiapan dalam menghadapi perubahan
iklim
(2) Sasaran dan dampak yang diinginkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 huruf b meliputi :
a. Terjaminnya ketersediaan air untuk kehidupan dan pembangunan
secara berkelanjutan;
b. Terjaminnya dukungan lingkungan hidup bagi produksi pangan dan
energi bersih secara berkelanjutan;
c. Terjaminnya keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di perairan
dan daratan;
d. Minimnya resiko dan dampak lingkungan hidup negatif yang ditanggung
warga masyarakat; dan
e. Meratanya manfaat sumber daya alam bagi warga masyarakat
(3) Strategi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c meliputi :
10. a. Strategi pengendalian dampak lingkungan hidup;
b. Strategi pengelolaan kualitas lingkungan hidup; dan
c. Strategi pengelolaan ekosistem;
(4) Skenario sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d meliputi:
a. Skenario penurunan laju penyusutan sumber daya alam dan laju
penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada
periode 10 tahun pertama;
b. Skenario pemulihan sumber daya alam dan peningkatan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup pada periode 10 tahun kedua; dan
c. Skenario perubahan pola produksi dan konsumsi serta penerapan
teknologi pada periode 10 tahun ketiga;
(5) Tujuan, sasaran dan dampak yang diinginkan dari perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dijabarkan dalam indikator dan target capaian RPPLH
Nasional
Paragraf Kesatu
Indikator dan Target Capaian RPPLH Nasional
Pasal 16
Indikator dan target capaian RPPLH Nasional adalah ukuran-ukuran tujuan,
sasaran, dan dampak yang diinginkan dari RPPLH Nasional yang menjadi
dasar pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RPPLH Nasional.
11. Pasal 17
(1) Indikator RPPLH Nasional meliputi:
a. Indikator daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional;
b. Indikator kualitas lingkungan hidup nasional;
c. Indikator keberlangsungan fungsi ekosistem; dan
d. Indikator mitigasi perubahan iklim nasional
(2) Target capaian RPPLH Nasional meliputi :
a. Target pencapaian sasaran (outcomes) diakhir masa perencanaan; dan
b. Target pencapaian sasaran bagi setiap periode skenario
Paragraf Kedua
Strategi RPPLH Nasional
Pasal 18
(1) Strategi pengendalian dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) huruf a meliputi :
a. Harmonisasi perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang
berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
b. Penerapan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; dan
c. Penguatan tata kelola pemerintahan dan kelembagaan dalam
pengendalian pembangunan, serta perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
(2) Strategi pengelolaan kualitas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b meliputi :
a. Pemeliharaan dan perlindungan wilayah-wilayah penyedia jasa
lingkungan hidup; dan
b. Pemulihan dan peningkatan kualitas air, udara, dan tanah
(3) Strategi pengelolaan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(3) huruf c meliputi :
12. a. Perlindungan dan pemantapan kawasan hutan;
b. Perlindungan dan pengelolaan ekosistem penting dan esensial;
c. Perluasan kawasan hutan milik Negara yang berasal dari areal
penggunan lain yang memiliki jasa lingkungan tinggi.
(4) Pelaksanaan muatan strategi pengendalian dampak lingkungan hidup,
pengelolaan kualitas lingkungan hidup, dan pengelolaan ekosistem
mengacu pada peraturan perundangan dibidangnya.
Paragraf Ketiga
Skenario RPPLH Nasional
Pasal 19
(1) Skenario penurunan laju penyusutan sumber daya alam serta laju
penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup periode 10
tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf a
meliputi :
a. Penerapan strategi RPPLH Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal
18; dan
b. Penyelesaian RPPLH Provinsi dan RPPLH Kabupaten/Kota, perencanaan
kehutanan, perencanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem,
perencanaan perlindungan dan pengelolaan kualitas lingkungan hidup
serta perencanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
(2) Perencanaan kehutanan, perencanaan perlindungan dan pengelolaan
ekosistem, perencanaan perlindungan dan pengelolaan kualitas lingkungan
hidup serta perencanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada peraturan
perundangan.
(3) Skenario pemulihan sumber daya alam serta peningkatan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup periode 10 tahun kedua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b meliputi:
13. a. Penerapan strategi RPPLH Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal
18; dan
b. Penguatan dunia usaha dan kelembagaan masyarakat dalam mendorong
perbaikan pola produksi dan konsumsi.
(4) Skenario perubahan pola produksi dan konsumsi serta penerapan teknologi
pada periode 10 tahun ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(3) huruf c meliputi:
a. Penerapan strategi RPPLH Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal
18; dan
b. Perpindahan pola produksi dan konsumsi dunia usaha dan masyarakat
sesuai kriteria penerapan ekonomi hijau dan teknologi hijau
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan
Bagian Kedua
Kebijakan Tingkat Pulau/Kepulauan
Pasal 20
(1) Kebijakan tingkat pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat
(2) huruf b meliputi tujuan, sasaran, dan strategi untuk :
a. Pulau Sumatera;
b. Pulau Jawa;
c. Pulau Kalimantan
d. Pulau Sulawesi
14. e. Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara
f. Kepulauan Maluku
g. Pulau Papua
(2) Tujuan dan sasaran kebijakan tingkat pulau/kepulauan merupakan
penjabaran dari tujuan dan sasaran kebijakan umum nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
(3) Strategi tingkat pulau/kepulauan memuat :
a. Penjabaran strategi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dengan memuat prioritas lokus; dan
b. Pengelompokkan pelaksanaan strategi berdasarkan skenario nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang prioritas dan jenis
upayanya disesuaikan dengan karakteristik masing-masing
pulau/kepulauan;
Bagian Ketiga
Dokumen RPPLH Nasional
Pasal 21
Dokumen RPPLH Nasional Tahun 2017 - 2047 sebagaimana tercantum pada
lampiran Peraturan Pemerintah ini dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan
BAB V
RPPLH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA
Pasal 22
15. (1) Isu strategis RPPLH Provinsi dan Kabupaten/Kota mengacu pada Isu
strategis RPPLH Nasional.
(2) Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menambah isu strategis sesuai dengan
karakter dan permasalahan masing-masing daerah.
(3) Muatan RPPLH Provinsi dan RPPLH Kabupaten/Kota mengacu pada
kebijakan tingkat pulau/kepulauan dalam dokumen RPPLH Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
(4) Dalam hal Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota tidak dapat mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib mengajukan
permohonan persetujuan kepada :
a. Menteri, untuk RPPLH Provinsi; atau
b. Gubernur, untuk RPPLH Kabupaten/Kota
(5) Menteri mendelegasikan kewenangan pemberian persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a kepada Pejabat yang ditunjuk.
(6) Gubernur mendelegasikan kewenangan pemberian persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b kepada pejabat yang
membidangi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya.
Pasal 23
Dokumen hasil perencanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem serta
dokumen hasil perencanaan perlindungan dan pengelolaan kualitas
lingkungan hidup merupakan bagian dari RPPLH sesuai dengan lingkup
kewenangannya
Pasal 24
Petunjuk Teknis penyusunan RPPLH Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
16. BAB VI
PELAKSANAAN RPPLH
Pasal 25
(1) Materi RPPLH Nasional yang menjadi dasar dan dimuat dalam RPJPN dan
RPJMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah:
a. Isu pokok RPPLH Nasional tentang Penyelamatan Air dan Pangan;
b. Muatan arahan RPPLH Nasional yang berupa skenario 10 Tahunan;
c. Target dan indikator RPPLH Nasional.
(2) Menteri yang membidangi urusan Perencanaan Pembangunan Nasional
berkoordinasi dengan Menteri untuk mengintegrasikan muatan
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, b, dan c.
(3) Apabila terdapat ketidaksesuaian muatan RPJM dengan RPPLH maka
RPJM wajib di revisi paling lama 2 (dua) tahun sejak ditemukan adanya
ketidaksesuaian.
Pasal 26
(1) Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
dan pelaku usaha dimasukkan dalam perhitungan keberhasilan
pencapaian indikator RPPLH.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah memberikan penghargaan kepada pihak-
pihak yang berhasil meningkatkan pencapaian indikator RPPLH dimaksud
ayat (1).
(3) Petunjuk teknis tata cara menghitung keberhasilan pencapaian indikator
RPPLH diatur oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
BAB VII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 27
(1) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RPPLH dilaksanakan oleh:
a. Menteri berkoordinasi dengan menteri yang membidangi perencanaan
pembangunan untuk RPPLH Nasional dan RPPLH Provinsi;
b. Gubernur untuk RPPLH Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan
c. Bupati/Walikota untuk RPPLH Kabupaten/Kota
(2) Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan saat penyusunan dan pelaksanaan
RPPLH secara berkala.
17. (3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana ayat (2) adalah untuk mengetahui
capaian target dan indikator RPPLH.
BAB VIII
MASA BERLAKU
Pasal 28
RPPLH disusun untuk kurun waktu berlaku 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun sekali.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 29
Pembiayaan penyusunan dan pelaksanaan RPPLH dibebankan kepada :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi RPPLH Nasional; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bagi RPPLH Provinsi dan RPPLH
Kabupaten/Kota;
c. Sumber Anggaran Lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB X
PENUTUP
Pasal 30
(1) RPPLH Provinsi dan RPPLH Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Dalam hal muatan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini, Gubernur atau
Bupati/Walikota wajib melakukan penyesuaian dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun setelah peraturan ini diundangkan.
18. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN 2017
TENTANG RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP
I. UMUM
Sesuai amanat Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup antara lain
mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai, RPPLH sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Di dalam Pasal 9 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009
tersebut mengatur bahwa RPPLH terdiri atas RPPLH nasional, RPPLH
provinsi dan RPPLH kabupaten/kota.
RPPLH nasional disusun berdasarkan inventarisasi nasional, RPPLH
provinsi disusun berdasarkan RPPLH nasional, inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan; dan inventarisasi tingkat ekoregion.
RPPLH kabupaten/kota disusun berdasarkan RPPLH provinsi,
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat
ekoregion.
Selanjutnya didalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
mengatur bahwa RPPLH disusun oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.Penyusunan RPPLH
memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran
penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal;e.
aspirasi masyarakat; danf. perubahan iklim.
RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan
daerah kabupaten/kota untukRPPLH kabupaten/kota.
19. RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau
pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan
kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian,
pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana
pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka
menengah.
Disadari bahwa kawasan yang secara alami menjadi penyimpan karbon
dan regulator air telah berubah menjadi kawasan hunian penduduk,
eksploitasi hutan, ekspansi perkebunan dan areal tambang terbuka,
perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun menyebabkan
lingkungan hidup menjadi rentan dan telah menempatkan
keberlanjutan pembangunan nasional pada kondisi yang
membahayakan.
Dengan pertimbangan tersebut, diperlukan strategi langkah-langkah
perencanaan pembangunan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah
sesuai dengan kewenangannya dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD).
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
20. Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
21. Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud sumber sumber lain adalah, data informasi dari lembaga
penilitian dari Perguruan Tinggi dan Organisasi Non-Pemerintah yang
berbadan hukum, baik nasional maupun internasional.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Diskusi kelompok terarah dilaksanakan dengan melibatkan sekurang-
kurangnya unsur KL, Dinas Daerah, Akademisi dan Organisasi Non-
Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
22. Ayat (3)
Tenggang waktu 30 tahun merupakan tenggang waktu yang dianggap
cukup untuk melihat dampak pembangunan terhadap
perbaikan/kondisi lingkungan serta untuk menjaga kesinambungan
arah pembangunan lingkungan hidup.
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Skenario 10 (sepuluh) tahunan bukan merupakan urutan skenario yang
dimuat dalam RPPLH.
Untuk masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
melaksanakan skenario periode 10 (sepuluh) tahun pertama, 10
( sepuluh) tahun kedua dan 10 (sepuluh) tahun ketiga, secara serentak
tergantung pada kondisi wilayah masing-masing, atau dimulai dari
skenario 10 (sepuluh) tahun kedua dan/atau 10 (sepuluh) tahun ketiga.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
23. Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
(Perlu penjelasan oleh Ibu Direktur)
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
24. Pasal 30
Cukup Jelas
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
YASONNA H. LAOLY
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor ...
25. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN….
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
NASIONAL 2017 - 2047
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mengalami masa keemasan perekonomian antara tahun 70-an
sampai dengan 80-an, antara lain didorong oleh suksesnya pemanfaatan
sumber daya alam nasional dalam skala besar. Perkembangan ekonomi yang
sangat cepat tersebut terus mendorong pemanfaatan sumberdaya yang
semakin besar, yang pada akhirnya tidak dapat lagi diimbangi oleh
kemampuan alam untuk memulihkan diri.
Pembangunan ekonomi yang berlandaskan sumber daya alam, memberikan
keuntungan yang sangat besar namun dilain pihak juga akan memberikan
dampak negative yang cukup siknifikan. Tidak dapat disangkal, bahwa dengan
adanya suatu pembangunan telah memberikan peluang-peluang berbagai
usaha yang membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. namun
sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki keterbatasan daya dukung.
Berpijak dari hal tersebut, pembangunan nasional perlu mendasarkan pada
isu pembangunan berkelanjutan sebagai isu utama, dimana aspek
pengelolaan lingkungan hidup dijadikan dasar dalam mengembangkan
kebijakan pembangunan nasional dengan sasaran akhir : (1) mempertahankan
dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup untuk menunjang keberlanjutan
pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan untuk
generasi sekarang dan akan datang; (2) mempertahankan dan memperbaiki
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk mendukung kualitas
kehidupan; (3) mempertahankan dan meningkatkan pemeliharaan dalam
pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.
26. Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi dan penjabaran lebih lanjut ke
dalam langkah-langkah perencanaan pembangunan dalam kurun waktu yang
lebih operasional dan dapat diimplementasikan secara konkrit di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangannya. Strategi
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan penjabarannya
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
B. Peran dan Posisi RPPLH
Peran RPPLH
1. Dari sisi perencanaan pembangunan nasional, RPPLH merupakan rencana
yang bersifat umum dan lintas sektoral dari perencanaan sektor lainnya.
2. RPPLH terstruktur dari tingkat Nasional yang dijabarkan dalam tingkat
Provinsi serta Kabupaten/Kota.
3. RPPLH Nasional merupakan bagian dari kerangka perencanaan
pembangunan nasional, yang materi muatannya, harus menjadi acuan
dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang & Menengah
(RPJP/M) dan merupakan bagian yang integral dalam pembangunan
ekonomi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi perencanaan K/L. dan
pemerintah daerah dalam menyusun RPPLH Daerahnya.
4. RPPLH menjadi dasar dan dimuat dalam rencana pembangunan, serta
menjadi masukan utama dan bagian integral dari dokumen perencanaan
pembangunan nasional agar pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan
sumberdaya alam lebih terkontrol.
5. RPPLH menjadi acuan bagi dokumen-dokumen perencanaan sumberdaya
lainnya yang lebih spesifik, seperti pengelolaan gambut, karst, mangrove,
termasuk perencanaan pengembangan pulau-pulau kecil.
Posisi RPPLH
27. 1. Rencana pengendalian pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, persoalan lingkungan hidup,
serta upaya perlindungan dan pengelolaanya dalam kurun waktu tertentu.
2. Penyusunan RPPLH merupakan mandat UU No 32/2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. RPPLH Nasional merupakan perencanaan yang berbasis ekoregion, yang
diharapkan dapat mengatur upaya penyelesaian masalah lingkungan hidup
yang bervariasi pada setiap ekoregion (Seperti diketahui, daratan Indonesia
dibagi kedalam 7 (tujuh) Ekoregion Pulau/Kepulauan. Ketujuh kawasan
ekoregion tersebut adalah ekoregion pulau Jawa, ekoregion pulau
Sumatera, ekorogion pulau Kalimantan, ekoregion pulau Sulawesi,
ekoregion pulau Papua, ekoregion kepulauan Bali Nusa Tenggara dan
ekoregion kepulauan Maluku).
4. RPPLH Nasional mengarahkan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup per pulau yang diharapkan dapat diadopsi dan
diimplementasikan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah
dalam penyusunan program-program pembangunan sektoral dan daerah
yang ramah lingkungan.
Perencanaan pada K/L yang telah diwarnai oleh RPPLH, secara lebih detail
dapat dilihat pada gambar 1.1.
28. Gambar 1.1 Keterkaitan RPPLH dengan RPJM
C. Tujuan dan Sasaran
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun dengan
tujuan antara lain untuk :
1 Mengharmonisasikan pembangunan nasional dengan kemampuan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
2 Mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan
melindungi keberlanjutan fungsi lingkungan hidup;
3 Mempertahankan dan/atau menguatkan tata kelola pemerintahan dan
kelembagaan masyarakat untuk pengendalian, pemantauan, dan
pendayagunaan lingkungan hidup;
4 Mempertahankan dan/atau meningkatkan ketahanan dan kesiapan dalam
menghadapi perubahan iklim
29. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai melalui Dokumen Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nasional 2017 – 2047
adalah :
a. Terjaminnya ketersediaan air untuk kehidupan dan pembangunan secara
berkelanjutan;
b. Terjaminnya dukungan lingkungan hidup bagi produksi pangan dan energi
bersih secara berkelanjutan;
c. Terjaminnya keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di perairan dan
daratan;
d. Minimnya resiko dan dampak lingkungan hidup negatif yang ditanggung
warga masyarakat; dan
e. Meratanya manfaat sumber daya alam bagi warga masyarakat
D. Landasan Hukum RPPLH
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).
E. Prinsip RPPLH
30. 1. Pembangunan Berkelanjutan : Pembangunan Ekonomi dan Sosial tidak
mengorbankan Lingkungan Hidup dan mengintegrasikan perlindungan
lingkungan dari lingkungan paling kecil (lokal dan regional);
2. Pembangunan Rendah Karbon : pelaksanaan pembangunan pada
Kabupaten/Kota yang rendah karbon dan hemat energy, serta menciptakan
harmonisasi antara pembangunan ekonomi dengan perlindungan ekologi;
3. Partisipasi Publik : Melibatkan publik dalam seluruh proses, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
4. Kerjasama antar Daerah : Mengutamakan kerjasama antar daerah dalam
satu Ekoregion dan antar ekoregion sebagai keniscayaan untuk mendorong
keberhasilan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
31. Bab II
KONDISI DAN INDIKASI
DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, perairan
tawar maupun laut, yang bersifat terbarukan dan tak terbarukan. Mineral
merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dalam
jumlah besar, di antaranya emas, tembaga, perak, nikel, batubara, bauksit,
dan lainnya. Potensi sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia tersebut,
menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen emas, tembaga dan
batubara penting di dunia. Selain sumber daya alam tak terbarukan tersebut,
Indonesa juga memiliki sumber daya hutan yang melimpah, dengan potensi
produksi kayu yang besar, keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,
disamping sebagai penyimpan karbon dan pengendali hidro-orologi.
Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia seharusnya dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan, keberlanjutan, keterpaduan, dan demokratis,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan generasi
selanjutnya, serta memberikan keuntungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
pada masa sekarang, maupun pada masa mendatang. Dari sisi energi,
pasokan energi Indonesia masa mendatang akan didominasi oleh batubara
diikuti oleh minyak bumi dan gas bumi, walaupun pangsa Energi Baru dan
Terbarukan (EBT) juga berkembang cukup pesat. Berdasarkan skenario yang
diuraikan Energi Outlook 20131
, bauran pasokan energi tahun 2030 menjadi:
batubara 51%, minyak bumi 22,2%, gas bumi 20,4% dan sisanya 6,1% EBT.
Pada Skenario Mitigasi, bauran pasokan energi tahun 2030 adalah : batubara
29,5%, gas bumi 31,4%, minyak bumi 24,6%, dan sisanya 14,5% EBT; dengan
jenis EBT yang menonjol adalah BB Nabati (5,8%), tenaga air (2,9%) panas
bumi (3,5%) dan biomassa non rumah tangga (2,9%).
Berdasarkan dari hasil inventarisasi MenESDM (2013) distribusi sumberdaya
dan cadangan batubara terbanyak di Sumatera dan terbanyak kedua di
Kalimantan. Data MenESDM tersebut menunjukkan bahwa jumlah total
sumberdaya batubara secara nasional sebesar 161 Milyar ton yang terdiri dari
120 Milyar Ton Open Pit, 41 Milyar Ton Tambang Dalam, sedangkan jumlah
total cadangan batuba sebesar 28 Milyar ton. Adapun masalah ketimpangan
1
BPPT (2013) : OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2013
32. alokasi manfaat sumberdaya tambang ini dapat ditunjukkan adanya aspek
legalitas yang belum dapat dipenuhi dalam proses perizinan eksplorasi
maupun eksploitasi.
Kebutuhan akan lahan pertanian dapat digambarkan dengan tingkat produksi
padi dan luas panen padi nasional. Berdasakan hasil Studi Pendahuluan
RPJM 2015-2019 Bidang Pangan dan Pertanian diketahui bahwa produksi
padi dan luas panennya bertambah terus sejak tahun 2008 sampai tahun
2012. Produksi padi pada tahun 2008 sebesar 60.325.925 ton GKG atau
setara dengan beras 38.005.333 ton. Pada tahun 2012 meningkat menjadi
69.045.141 ton GKG atau setara dengan beras 43.498.439 ton. Sedangan luas
panen tahun 2008 12.327.425 Ha meningkat menjadi 13.443.443 Ha.
Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011, total potensi
perikanan laut Indonesia mencapai 6.520.200 ton/tahun. Angka tertinggi
potensi perikanan laut terdapat pada ikan pelagis ikan kecil mencapai
3.645.600 ton/tahun dan terendah mencapai 4.800 ton/tahun. Potensi
perikanan tangkap terbagi dalam 11 Wilayah Perikanan Penangkapan (WPP)
dimana yang terbesar terdapat pada WPP 711 Laut Cina Selatan. Selain untuk
tujuan budidaya ataupun konsumsi, potensi perikanan juga perlu
dikonservasi pada sebagian wilayah Indonesia, dimana lokasi tersebut
tumpang tindih dengan konsesi gas dan gas bumi.
Ketersediaan air di Indonesia mencapai 16.800 m3 per kapita per tahun.
Jumlah ini jauh lebih besar dari ketersediaan air rata-rata di dunia, yang
hanya 8.000 m3 per kapita per tahun (KLH, 2011). Namun informasi dari
Kementerian Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pada saat ini, ketersediaan
air tidak tersebar merata, baik secara kewilayahan maupun waktu sedangkan
distribusi air di setiap pulau tidak sebanding dengan sebaran jumlah
penduduknya. Kalimantan memiliki total potensi air terbesar, tetapi
populasinya sedikit. Sebaliknya, Pulau Jawa dengan populasi yang besar
memiliki total potensi air yang kecil. Dengan kondisi tersebut, Indonesia
sering menghadapi masalah ketersediaan air (Kementerian Pekerjaan Umum,
2012).
Menurut laporan Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Indonesia, sebagaimana disampaikan dalam SLHI 2012, pada tahun 2000
ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 m3
per kapita setiap tahun. Angka
itu akan terus menurun hingga 1.200 m3
per kapita setiap tahun pada 2020.
Padahal, standar kecukupan minimal sebanyak 2.000 m3
. Gambar 2.6
33. menggambarkan ketersediaan air pada musim hujan sangat banyak, terutama
di Pulau Sumatra, Kalimantan dan Papua; masing-masing sebesar 384.744,40
m3
, 389.689,30 m3
dan 381.763,90 m3
. Sementara kebutuhan air di tiga pulau
itu hanya 9.485,80 m3
di Sumatera; 2.505,80 m3
di Kalimantan; dan di Papua
hanya 117,10 m3
. Kebutuhan air terbanyak terdapat di Pulau Jawa, yaitu
31.487,10 m3
(KLH, 2011).
Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sangat berlimpah dikaruniai
berbagai tipe ekosistem yang sangat kaya. Indonesia menyimpan 17 persen
dari total spesies di muka Bumi yang menjadikan Indonesia menjadi salah
satu negara terpenting di dunia. Tidak kurang dari 52 tipe vegetasi yang bisa
ditemukan di Nusantara: mulai dari vegetasi salju di Puncak Jaya Wijaya,
alpina, sub-alpina, hutan hujan pegunungan, dataran rendah, hutan pantai,
savana, mangrove sampai rawa gambut (Kartawinata, 2006). Garis pantai
Nusantara yang membentang hampir 81.000 km dilindungi ekosistem
terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Tipe-tipe vegetasi dihuni aneka
spesies tumbuhan, hewan, dan jasad renik, yang membentuk ekosistem unik
dan kompleks. Sedikitnya 35.000 - 40.000 spesies tumbuhan (11-15 persen);
707 spesies mamalia (12 persen); 350 spesies amfibia dan reptil (15 persen);
1.602 spesies burung (17 persen) dan 2.184 spesies ikan air tawar (37 persen)
(LIPI, 2012). Sementara di perairan laut, tidak kurang dari 2.500 spesies
molluska; 2.000 spesies krustasea; 6 spesies penyu laut; 30 mamalia laut; dan
lebih 2.500 spesies ikan laut.
Keunggulan lainnya, Indonesia punya spesies endemik.Spesies endemik
tersebut terdiri dari: 14.800 jenis tumbuhan (nomor 5 dunia), di antaranya
225 jenis palem endemik (no 1 dunia); 201 jenis mamalia (nomor 2 dunia); 150
jenis reptilia (nomor 4 dunia); 397 jenis burung (nomor 5 dunia); 100 jenis
amfibia; 35 jenis primat; dan 121 jenis kupu-kupu. Endemisme sangat penting
karena makhluk hidup itu tidak dapat ditemukan di belahan bumi lain (LIPI.
2012).
A. Kondisi Jasa Lingkungan
Upaya untuk mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan akan
mendapatkan tantangan yang besar dari kondisi dan letak geografis Indonesia,
34. kondisi sumber daya alam yang makin berkurang, serta kondisi lingkungan
hidup yang semakin menurun.
Salah satu indikasi semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup adalah
dengan semakin seringnya terjadi bencana, terutama bencana yang secara
langsung maupun tidak langsung terkait dengan menurunnya kualitas jasa
ekosistem yang dihasilkan oleh lingkungan. Menurut data BNPB, sejak Tahun
1815 telah terjadi lebih dari 20.400 kejadian bencana di Indonesia. Dari
sejumlah kejadian tersebut, 84% kejadian merupakan bencana alam
sedangkan 79% diantaranya terkait langsung dengan kerusakan lingkungan
hidup. Data tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat trend bencana
alam terus meningkat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, khususnya di
daerah-daerah yang rawan bencana.
Sejumlah bencana yang kerap terjadi, seperti Banjir, longsor, dan kekeringan,
frekuensinya cenderung semakin meningkat. Perubahan pola iklim dunia
akibat pemanasan global yang diantaranya menyebabkan terjadinya fenomena
el nino dan la nina, berdampak cukup besar di wilayah Indonesia. Akan tetapi,
menurunnya kualitas jasa lingkungan hidup saat ini diyakini merupakan
faktor utama yang memicu meningkatnya kejadian tersebut dan mendorong
perluasan dampak yang ditimbulkannya.
Jasa Lingkungan merupakan pendefinisian dari Jasa Ekosistem dalam
terminologi Millennium Ecosystem Assessment (MEA). Jasa ekosistem adalah
manfaat bagi manusia yang didapat dari ekosistem (MEA, 2005; SCBD 2004),
meliputi jasa penyediaan seperti pangan dan air; jasa pengaturan seperti
pengendalian banjir dan penyakit; jasa budaya seperti manfaat budaya,
rekreasi dan spiritual; dan jasa pendukung seperti siklus nutrisi yang menjaga
kondisi kehidupan di bumi. Konsep “barang dan jasa ekosistem” sinonim
dengan jasa ekosistem. MEA melakukan klasifikasi jasa ekosistem
menggunakan empat kategori jasa: Penyediaan (provisioning), pengaturan
(regulating), budaya (cultural), dan pendukung (supporting)
Beberapa jasa lingkungan yang saat ini sedang mengalami tekanan hebat
adalah Jasa Regulator Air, Jasa Penyedia/Penyimpan Air dan Jasa Penyedia
Pangan. Kegiatan pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi,
mendorong pemanfaatan sumberdaya alam melewati batas pemulihannya.
Pembukaan wilayah hutan, pertambangan-pertambangan terbuka,
pengembangan infrastruktur dan perluasan area permukiman hingga wilayah-
wilayah terpencil telah mereduksi secara besar-besaran daerah-daerah dengan
Jasa Lingkungan tinggi.
35. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan pulau yang kondisi lingkungan
hidupnya mendapat tekanan paling besar. Pengembangan infrastruktur dan
perkebunan yang makin meluas dan pertambahan penduduk yang sangat
cepat telah menghilangkan sebagian besar daerah-daerah regulator air tinggi
di kawasan pegunungan Jawa dan pegunungan sepanjang Bukit Barisan
Sumatera serta daerah penyedia pangan di pulau Jawa.
Kondisi yang hampir serupa juga terjadi di Kalimantan dan Sulawesi,
meskipun belum mencapai tahap mengkhawatirkan seperti di Jawa dan
Sumatera. Pulau Kalimantan dan Sulawesi yang secara luas dikenal sebagai
wilayah yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dan bahan
tambang, mulai mempercepat pengembangan wilayah melalui pembangunan
infrastruktur konektivitas antar daerah dan pengembangan kawasan ekonomi
khusus, terutama di sekitar perbatasan. Meningkatnya kejadian banjir di
beberapa tempat di Kalimantan merupakan dampak nyata dari mulai
menurunnya kualitas jasa regulator air akibat eksploitasi hutan,
meningkatnya areal pertambangan, dan meluasnya perkebunan-perkebunan
sawit selama beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya konektivitas
wilayah, beberapa wilayah dengan Jasa Regulator dan Penyimpan Air Tinggi di
sepanjang Pegunungan Muller Schwaner, Pegunungan Meratus, kawasan
Gambut yang luas di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, dan kawasan
ekosistem Karst diperkirakan akan menjadi kawasan paling beresiko untuk
mengalami degradasi.
Selanjutnya, Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara dalam beberapa tahun telah
mengembangkan diri dan memacu kegiatan ekonomi berbasis pariwisata. Bali
dan Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan penting secara nasional dari
sisi suplai pangan karena merupakan salah satu Lumbung Pangan Nasional.
Kondisi Jasa Pangan Tinggi, terutama pada daerah-daerah pertanian
tradisional di Nusa Tenggara Barat mulai mendapat tekanan dari pesatnya
perkembangan perkotaan sedangkan daerah Jasa Regulator Air Tinggi
mendapat tekanan dari perluasan pemukiman di perdesaan dan tumbuhnya
kawasan wisata baru.
Sementara itu, Pulau Papua dalam perkembangannya sampai saat ini masih
mampu menjaga kualitas maupun kuantitas Jasa Lingkungan Tinggi untuk
regulator dan penyimpan air. Tutupan Hutan yang masih luas dan rapat,
perkembangan infrastruktur dan kawasan pengembangan yang belum secepat
36. di daerah lain, ikut membantu menjaga dan memelihara kualitas jasa dan
fungsi lingkungan hidup dalam kondisi baik.
B. Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Dari waktu ke waktu, pemakaian energi fosil di Indonesia menunjukan tren
yang terus meningkat di semua sektor. Selama 1990 – 2000 meningkatnya
konsumsi energi pada sektor domestik terus menunjukkan peningkatan
meskipun tidak terlalu besar dibandingkan sektor industri dan transportasi.
Transportasi menjadi salah satu sektor yang paling banyak menggunakan
bahan bakar fosil. Sektor ini terus menunjukkan tren naik di semua jenis
transportasi : darat, udara dan air (SLHI 2010). Peningkatan terbesar terjadi
pada transportasi darat, dengan kenaikan total kendaraan bermotor berkisar
10 persen (BPS, 2012). Sepeda motor merupakan merupakan moda
transportasi darat yang mengalami peningkatan paling tinggi dan terjadi
merata hampir di seluruh provinsi.
Dampak dari pemakaian energi fosil sangat besar pengaruhnya pada kualitas
udara. Pencemar udara yang umum dihasilkan dari proses pembakaran,
termasuk bahan bakar fosil, adalah Nitrogen oksida (NOx), Karbon monoksida
(CO), Sulfur dioksida (SO2), debu diameter 10 mikron dan 2,5 mikron ke
bawah (PM10 dan PM2,5), dan hidrokarbon (HC). Proses-proses lain dapat
menghasilkan pencemar, seperti H2S dan NH3, logam berat, aerosol dan gas
sekunder, seperti ozon (O3).
Secara global, pencemaran air berasal dari limbah cair domestik dan industri
yang tidak dikelola, sampah domestik, pemakaian air berlebihan, dan
penataan fungsi lahan yang tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah
dengan masih banyaknya masyarakat (30 persen) yang masih buang air besar
sembarangan di badan air. Setiap hari sekitar 14.000 ton tinja manusia belum
dikelola dengan benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air.
Selain hal tersebut, kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan
pada daerah-daerah resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di
kawasan hilir, yang menyebabkan meningkatnya potensi banjir.
Hasil pemantauan 2008 – 2012 menunjukkan kualitas air sungai cenderung
menurun, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera, seperti terlihat pada gambar
2.23. Sumber utama pencemar berasal dari aktivitas domestik, yang terlihat
dari parameter organik (proporsi BOD/COD dan kandungan Coliform)
37. terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Kualitas air
sungai sebagian besar provinsi memiliki nilai kandungan organik melebihi
baku mutu (diwakili parameter COD), yaitu sebesar 25 mg/l (PP Nomor
82/2001). Nilai organik tertinggi terpantau di Jawa Barat yang diperkirakan
berkaitan dengan tingkat sanitasi rendah. Khusus Pulau Jawa, terlihat ada
tendensi menurunnya kualitas air dari perindustrian. Sumber pencemar dari
pertanian belum bisa diidentifikasi karena monitoring rutin pencemar spesifik
sektor ini belum dilakukan.
Selanjutnya, pemantauan kualitas air di 15 danau utama pada 2011
menunjukkan, sebagian besar masuk dalam kategori eutrof, kondisi terestrial
daerah tangkapan air terancam, dan kondisi sempadan danau terancam (tabel
2.2.) Pada 2012, pemantauan di lima danau, terdapat dua danau yaitu Danau
Batur dan Danau Singkarak yang menunjukkan sedikit perbaikan.
Eutrofikasi disebabkan peningkatan kadar unsur hara, terutama Nitrogen dan
Fosfor pada air danau ataupun waduk. Kondisi Oligotrof adalah status trofik
air danau atau waduk yang mengandung kadar unsur hara rendah. Status ini
menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah, belum tercemar Nitrogen
dan Fosfor.
Ancaman pencemaran juga mengincar sumber daya laut. Beberapa wilayah
perairan Indonesia ternyata juga rentan terhadap pencemaran minyak. Dalam
kurun 1997 – 2012 telah terjadi 36 kasus tumpahan minyak, yang
berdampak pada sumber daya hayati dan non hayati laut (BPS, 2012). Pada
2012, pemantauan kualitas air laut menggunakan parameter baku mutu air
laut (BMAL) untuk kualitas pelabuhan dan wisata bahari (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004) di beberapa lokasi pelabuhan dan
wisata bahari seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta; Pelabuhan Ciwandan,
Banten; Pelabuhan Gorontalo dan Parigi, Teluk Tomini menunjukkan terdapat
beberapa parameter yang melebihi baku mutu, yaitu kecerahan (BMAL >
3meter). Parameter amoniak yang melampaui baku mutu terdeteksi di
Pelabuhan Tanjung Priok, yang dekat dengan industri, pelabuhan peti kemas,
dan pemecah gelombang. Sementara di Pelabuhan Parigi , parameter
amoniak ditemukan di outlet Sungai Olaya. Parameter Total Padatan
Tersuspensi (TSS) di lokasi wisata Parigi, Teluk Tomini, melebihi baku mutu,
yaitu 24 mg/L. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) diperkampungan Bajo di
Pahuwato, Gorontalo, berada di luar baku mutu, sedangkan lokasi lainnya
38. masuk dalam baku mutu. Kandungan Minyak Lemak di laut lepas dekat
perkampungan Bajo dan wisata Parigi terdeteksi melebihi baku mutu.
Hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati,
berperan dalam penyediaan jasa lingkungan dan tempat bergantung
masyarakat di yang hidup di sekitar hutan. Selain itu, hutan tropis
merupakan ekosistem yang menyimpan karbon terrestrial dalam jumlah yang
sangat besar. Deforestasi dan degradasi hutan akan menyebabkan pelepasan
emisi karbon dioksida ke atmosfer, sehingga mempengaruhi iklim secara
global. Pada tahun 2008, emisi dunia dari proses deforestasi dan degradasi
hutan mencapai 4,4 Giga ton CO atau 11% dari total emisi emisi
anthropogenik (UNEP, 2012), karena itu perlindungan hutan tropis menjadi
agenda internasional dalam rangka mitigasi perubahan iklim melalui
mekanisme Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+). REDD+ telah disepakati dalam Conference On Parties 16 (COP 16) di
Cancun, tahun 2010. Indonesia dan Brasil berperan penting dalam upaya
mitigasi REDD+ karena memiliki hutan yang sangat luas.
Dari penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+, 2000 - 2011, luas tutupan
hutan mengalami penurunan, dari 104.747.566 hektar pada 2000, menjadi
98.242.002 hektar pada 2011 (Gambar 2.33), atau terjadi deforestasi seluas
6,5 juta hektar selama 11 tahun.
Dinamika deforestasi terkait dengan berbagai faktor, baik secara langsung
(agent) maupun tidak langsung (driving force) (Sunderlin, W.D. &
Resosudarmo, 1996). Faktor penyebab ada dua: langsung dan tidak langsung.
Faktor langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung mengubah
tutupan hutan menjadi peruntukan lain, misalnya kebakaran hutan, ekspansi
lahan pertanian, perumahan dan pertambangan. Faktor secara tidak langsung
berupa kondisi sosial, ekonomi dan politik pada skala nasional, regional
maupun global.
Mencermati perubahan tutupan hutan selama 2000 – 2011, sebenarnya sejak
2003 laju deforestasi semakin mengecil. Laju deforestasi per tahun pada
periode 2000 – 2003: 344.657 hektar (0,33 persen); 2003 – 2006: 808.754
hektar (0,78 persen); 2006 – 2009: 747.754 hektar (0,74 persen); dan 2009 –
2011: 401.253 hektar (0,41 persen).
Sebelum 2003 adalah masa transisi otonomi yang menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam kasus penyerobotan kawasan hutan. Selama
39. transisi (1999-2001), terjadi 205 kasus penyerobotan kawasan hutan; pada
2002-2003 kasus menurun menjadi 66 (Wulan, et al. 2004). Prasetyo (2008)
juga menemukan kasus perambahan kawasan konservasi yang lebih luas pada
masa transisi itu dibandingkan periode sebelum otonomi.
Analisis lebih rinci menunjukkan tutupan hutan pada 2000 seluas 102 juta
hektar, 31,33 persen diantaranya telah berubah menjadi lahan tidak
produktif; 10,34 persen dibuka untuk pertanian; dan 2,69 persen untuk
perkebunan. Sedangkan hutan mangrove sebagian besar masih utuh, hanya
sebagian kecil dieksploitasi.
Beban pencemaran dan kerusakan tutupan hutan pada akhirnya mengancam
keragaman keanekaragaman hayati Indonesia. Pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan akan
mendorong laju kepunahan dan tingkat keterancaman keanekaragaman
hayati, karena itu perlindungan terhadap jenis flora dan fauna terancam
menjadi prioritas pemerintah.
C. Ekoregion, Jasa Lingkungan Hidup, Daya Dukung dan Daya Tampung
Bentang alam merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terdiri atas unsur
biotik dan abiotik serta proses aliran materi dan energi. Berdasarkan Tansley
(1935), sebuah ekosistem merupakan representasi dari hubungan yang
komplek antara faktor biotik dan abiotik dari sebuah lingkungan. Konsep
ekoregion dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi konsep ekosistem.
Ekoregion merupakan implementasi dari konsep ekosistem dalam ruang
kebumian (geospasial) dengan pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integrasi sistem alam dan lingkungan hidup pada suatu
batasan wilayah geografis. Ekoregion sebagai ekosistem merupakan habitat
bagi berbagai organisme ataupun populasi mahluk hidup, termasuk manusia,
dengan kekhasan karakteristik wilayahnya. Kekhasan karakteristik wilayah
akan menghasilkan struktur dan proses ekosistem yang berbeda untuk setiap
wilayah. Kekhasan ini akan menimbulkan keragaman organisme dalam
ekoregion yang menciptakan keanekaragaman hayati.
Struktur dan proses yang ada pada lingkungan hidup merupakan unit
fungsional yang menciptakan fungsi lingkungan hidup. Fungsi lingkungan
hidup yang berguna dan dimanfaatkan oleh manusia merupakan jasa
lingkungan hidup. Jasa Lingkungan Hidup adalah manfaat dari ekosistem dan
lingkungan hidup bagi manusia dan keberlangsungan kehidupan yang
40. diantaranya mencakup penyediaan sumber daya alam, pengaturan alam dan
lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian nilai budaya.
Klasifikasi fungsi dan jasa lingkungan hidup telah dilakukan oleh beberapa
peneliti yang kemudian diadopsi oleh dokumen Millenium Ecosystem
Assessment (2003). Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu
meliputi jasa penyediaan (provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa
budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MA,2005). Berdasarkan
empat kategori ini, dikelaskan ada 23 kelas klasifikasi jasa lingkungan hidup,
yaitu (De Groots, 2002):
A. Jasa Penyediaan : (1) Bahan Makanan (2) Air Bersih (3) Serat, bahan bakar
dan bahan dasar lainnya (4) Materi genetik (5) Bahan obat dan biokimia (6)
Spesies hias.
B. Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara (8) Pengaturan iklim (9)
Pencegahan gangguan (10) Pengaturan Air (11) Pengolahan limbah (12)
Perlindungan tanah (13) Penyerbukan (14) Pengaturan biologis (15)
Pembentukan tanah.
C. Budaya : (16) Estetika (17) Rekreasi (18)Inspirasi (19) Warisan dan
identitas budaya (20) Spiritual dan keagamaan (21) Pendidikan
D. Pendukung : (22) Habitat berkembang biak (23) Perlindungan Plasma
Nuftah
Produk materi dan jasa lingkungan menjadi daya dukung dan daya tampung
untuk kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Dapat diartikan bahwa daya dukung dan daya tampung merupakan kapasitas
fungsi dan jasa lingkungan dalam mendukung perikehidupan manusia atau
mahluk lainnya yang berada pada suatu lokasi tertentu (ekoregion). Fungsi
regulasi akan dapat mendukung daya tampung, sedangkan ketiga fungsi
lainnya akan mendukung daya dukung.
Perbedaan kemampuan suatu wilayah ekoregion dalam memproduksi materi
dan jasa lingkungan serta populasi manusia yang berbeda pada setiap wilayah
mengakibatkan adanya aliran materi dan energi antar-ekoregion, baik itu
secara alami maupun dengan teknologi manusia. Selain secara alami adanya
41. aliran energi dan materi antar-ekoregion dikarenakan adanya fungsi
lingkungan yang berbeda pada setiap karakteristik ekoregion. Sedangkan
aliran yang tidak alami lebih disebabkan adanya perbedaan produk dan
populasi manusia dari setiap satuan wilayah ekoregion sehingga dibutuhkan
pemindahan energi atau materi dari satu ekoregion ke ekoregion lainnya
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Kebutuhan akan jasa lingkungan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia
menjadi hal yang penting dan menjadi pertimbangan utama dalam melakukan
pengelolaan lingkungan hidup. Kesejahteraan menusia dapat menjadi
indicator kesehatan lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pemetaan jasa
lingkungan yang berbasiskan pada data spasial akan memberikan keuntungan
karena dapat disintesiskan dengan peta ekoregion. Jasa lingkungan dapat
diketahui distribusi dan besarannya pada setiap ekoregion.
Proses siklus materi dan energi dapat dibedakan menjadi siklus materi dan
energi yang alami dan aliran materi dan energi karena manusia. Diluar proses
siklus materi dan energi yang alami, keterbatasan dari ekoregion mendorong
terjadinya aliran materi dan energi antar ekoregion oleh manusia. Sehingga
menciptakan konektivitas antar ekoregion. Konektivitas antar ekoregion dapat
bersifat alami berupa siklus materi dan bersifat tidak alami berupa aliran
materi karena aktivitas manusia. Konektivitas ini menyebabkan adanya
ketergantungan antar wilayah ekoregion dan keharusan integrasi antar
wilayah wilayah administrasi. Ketergantungan antar wilayah menciptakan
fungsi lingkungan antara penyedia jasa lingkungan dengan pemanfaat jasa
lingkungan. Penyedia Jasa Lingkungan Hidup adalah setiap orang, Pemerintah
dan pemerintah daerah yang menjaga dan/atau mengelola lingkungan hidup
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas jasa lingkungan
hidup, sedangkan Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup adalah setiap orang,
Pemerintah dan pemerintah daerah yang menggunakan jasa lingkungan
hidup.
D. Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung Tiap Ekoregion
D.1 Kawasan Ekoregion Pulau Jawa
Ekoregion Pulau Jawa dipengaruhi proses vulkanik, struktural, denudasional
(pelapukan dan erosi) dan solusional (pelarutan batu gamping), serta fluvial.
Kawasan ekoregion Pulau Jawa memiliki berbagai tipe ekosistem alami dan
buatan. Ekosistem alami didominasi oleh ekosistem hujan tropika di dataran
pegunungan/perbukitan vulkanik, pegunungan/perbukitan struktural yang
tersebar di bagian tengah serta beberapa bagian di selatan Jawa. Ekosistem
42. buatan yang merupakan kawasan perkotaan yang padat pemukiman, kawasan
industri dan kawasan budidaya pertanian/beras serta budidaya hutan
tersebar di bagian utara Pulau Jawa.
Sumber : KLH, Deskripsi Peta Ekoregion, 2013
Gambar 2.14 Peta Ekoregion Pulau Jawa
D.1.a Layanan Jasa Lingkungan Pulau Jawa
Ekoregion pulau Jawa memberikan jasa layanan ekosistem sebagai berikut:
• Jasa Penyimpan air,
• Jasa Pengaturan Tata Air dan Banjir
• Jasa Penyedia pangan
Wilayah jasa penyimpan air di Pulau Jawa tersebar di 1) dataran fluvial di
pesisir utara Jawa Barat, di sebagian pesisir utara jawa tengah dan banten, 2)
pegunungan vulkanik di jawa barat, jawa tengah, jawa timur dan 3)
pegunungan solusional karst di sebagian pesisir selatan jawa tengah.
43. Gambar 2.15 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Jawa
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya Dukung
Nasional 2015
44. Sedangkan untuk Jasa Tata Air dan Banjir tinggi di Ekoregion Pulau Jawa
tersebar di daerah pegunungan/perbukitan vulkanik di pulau Jawa yang saat
ini masih berstatus sebagai kawasan hutan. Sebagai catchment area, wilayah-
wilayah tersebut akan menahan air hujan dan menyalurkan air ke daerah hilir
secara bertahap.
Pulau Jawa yang memiliki banyak gunung berapi aktif, menjadikan
ekoregionnya didominasi oleh dataran vulkanik dan fluvial yang sangat subur
untuk dijadikan lahan sawah dan tanaman semusim lainnya. Secara umum
hampir seluruh Ekoregion Jawa memiliki jasa lingkungan penyedia bahan
pangan, baik dari lahan kering maupun lahan basah. Ekoregion Jawa memiliki
kawasan budidaya yang luas, untuk persawahan terhampar pada ekoregion
dengan karakteristik dataran fluvial dan dataran vulkanik. Sedangkan
kawasan budidaya lahan kering terhampar pada ekoregion dengan
karakteristik perbukitan.
Ekoregion Jawa memiliki luas sawah 3,44 juta ha atau 42,35% dari luas
sawah nasional, dengan produktifitas paling tinggi sebesar 57,4 ku/ha, dan
dalam satu tahun menghasilkan padi sebanyak 37,49 juta ton atau 52,59 %
dari produksi nasional (BPS, 2014). Kawasan persawahan mayoritas terletak
pada dataran fluvial dan dataran pantai atau di Ekoregion Jawa bagian Utara,
sedangkan persawahan yang terletak di daerah perbukitan luasannya relatif
lebih kecil dan tersebar pada Ekoregion Jawa bagian Tengah. Namun demikian
jasa lingkungan ini terancam keberadaannya, terutama untuk pertanian lahan
basah di dataran fluvial, dataran vulkanik, dan dataran pantai karena alih
fungsi lahan. Jasa lingkungan penyedia pangan Pulau Jawa hampir sama
lokasinya dengan jasa lingkungan penyedia air, umumnya kawasan budidaya
pertanian membutuhkan ketersediaan unsur hara tinggi dan air berlimpah.
D.1.b Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
Luas ekoregion Jawa yang hanya berkisar 6,5% dari luas daratan di Indonesia
tapi menampung hampir 57% dari total penduduk Indonesia. Pada umumnya
penduduk bermukim di dataran fluvial dan dataran vulkanik yang memiliki
tanah subur dan tersedia air yang melimpah, hal ini menjadikan ekoregion
Jawa memiliki tekanan lingkungan yang tinggi karena populasi manusia-nya.
Permasalahan alih fungsi lahan terjadi di daerah perbatasan antara hutan
dengan kawasan budidaya dan kawasan budidaya dengan kawasan
pemukiman. Lokasi yang memiliki potensi besar terjadinya alih fungsi lahan di
Ekoregion Jawa memiliki ciri lokasi sebagai berikut :
• Alih fungsi lahan dari hutan menjadi kawasan budidaya pada umumnya
45. terjadi pada ekoregion dengan karakteristik perbukitan vulkanik.
Perbukitan vulkanik ini merupakan kawasan budidaya lahan kering
(seperti kebun). Kawasan yang memiliki potensi besar alih fungsi lahan
dari hutan menjadi kawasan budidaya diantaranya berada di :
o Banten di Kawasan Utara Cilegon-Serang-Pandeglang.
o Jawa Barat di Kawasan Bogor-Cianjur-Sukabumi, Kawasan Jawa Barat
Selatan.
o Jawa Tengah di Kawasan Utara Purwokerto – Purbalingga, Kawasan
Timur Wonosobo, Kawasan Magelang – Temanggung – Unggaran,
Kawasan Utara Sleman, Kawasan Lereng Gn. Merapi dan Merbabu di
Wonogiri – Magetan – Sragen- Karanganyar.
o Jawa Timur di Kawasan Batu, Kawasan Selatan Mojokerto, Kawasan
Utara Lumajang – Jembar.
• Alih fungsi lahan dari kawasan budidaya menjadi kawasan
industri/pemukiman mayoritas terjadi pada dataran fluvial, dataran
pantai, dataran struktural dan dataran vulkanik. Dataran fluvial pada
umumnya merupakan kawasan budidaya lahan basah (persawahan),
sedangkan di dataran pantai pada umumnya merupakan kawasan
budidaya pertambakan. Kawasan yang memiliki potensi besar terjadinya
alih fungsi lahan dari kawasan budidaya menjadi kawasan
industri/pemukiman diantaranya berada di :
o Dataran vulkanik, dataran fluvial dan dataran pantai di Kawasan Pantai
Utara mulai dari Cilegon hingga Pekalongan
o Dataran fluvial dan dataran pantai di Kawasan Pantai Utara dari Kendal
– Semarang – Demak – Jepara – Kudus – Pati – Rembang - Purwodadi.
o Dataran Struktural, dataran fluvial, dan dataran pantai di Kawasan
Lamongan – Gresik –Surabaya- Sidoarjo.
o Dataran Vulkanik di Jawa Timur pada Kawasan Madiun – Ngawi
-Ponorogo, Nganjuk - Kediri – Tulungagung – Blitar - Jombang, Kepanjen
– Malang – Purworejo – Probolinggo, Lumajang-Jembar, Bondowoso, dan
Banyuwangi.
o Dataran Vulkanik di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Kawasan Bantul
– Yogyakarta – Klaten – Surakarta –Sragen.
o Dataran fluvial di Jawa Tengah pada Kawasan Kebumen-Purworejo,
Purbalingga-Purworejo.
o Datar vulkanik di Jawa Barat pada Kawasan Cekungan Bandung, Garut,
46. dan Tasikmalaya – Ciamis.
o Perbukitan vulkanik di Jawa Barat di Kawasan Bogor-Cianjur-
Sukabumi.
Trend perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Wilayah permukiman bertambuh hampir sebesar 200 ribu hektar
Perkembangan wilayah pemukiman ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk
dan juga perkembangan kawasan industri sekunder/tersier. Perkembangan
wilayah pemukiman yang sangat signifikan terdapat di kawasan
Jabodetabek, kota Yogayakarta dan Surabaya serta pesisir utara Tuban.
Sementara perkembangan kota Bandung dan Semarang terlihat sedang.
2. Alih fungsi hutan primer menjadi hutan sekunder serta lahan pertanian
kering mencapai 274 ribu hektar. Alih fungsi hutan primer terbanyak
terjadi Provinsi Jawa Timur di kawasan kota Malang dan sekitarnya.
Adapun beberapa kawasan hutan seperti dikawasan Bogor-Puncak-Cianjur
dan kawasan pegunungan di Jawa Tengah sudah mengalami kondisi
mengkhawatirkan sejak tahun 2000.
3. Peningkatan luasan lahan pertanian kering yang berasal dari tanah terbuka
dan juga kawasan hutan sebesar hampir 300 ribu hektar.
4. Ketersedian sawah sebagai lumbung pangan di pulau Jawa tidak
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Namun demikian konversi
sawah menjadi areal penggunaan lain mencapai 203 ribu hektar dari total
3,9 juta hektar
47. D.2 Kawasan Ekoregion Pulau Sumatera
Ekoregion pulau Sumatera dipengaruhi proses vulkanik (letusan gunung api),
struktural (pengangkatan dan pelipatan), dan fluvial (aliran sungai), serta
beriklim tropika basah dan banyak memiliki dataran organik (gambut).
Kawasan ekoregion Pulau Sumatera masih didominasi oleh ekosistem alami,
ekosistem yang didominasi oleh hujan tropika di kawasan pegunungan Bukit
Barisan dan lahan gambut di pesisir timur Sumatera. Pulau Sumatera
memiliki daerah pegunungan bukit barisan yang memanjang dari Aceh hingga
Lampung dengan ketinggian di atas 1000 m dpl yang sangat tinggi curah
hujannya dibandingkan dengan evapotranspirasi potensialnya.
Sumber : KLHK, Deskripsi Peta Ekoregion Pulau Kepulauan, 2013
Gambar. 2.16 Peta Ekoregion Pulau Sumatera
D.2.a. Layanan Jasa Lingkungan Ekoregion Pulau Sumatera
Ekoregion Pulau Sumatera memberikan jasa layanan ekosistem sebagai
berikut:
• Penyimpan Air;
• Produksi Pangan;
48. • Pendukung Sumberdaya Genetik;
• Tata Air dan Banjir;
• Penyimpan Karbon.
Wilayah-wilayah di pulau Sumatera yang memberikan jasa penyimpan air
adalah 1) lahan gambut yang banyak terdapat di bagian timur Pulau
Sumatera, 2) pegunungan/perbukitan vulkanik di beberapa wilayah di
rangkaian pegunungan vulkanik dan 3) dataran fluvial di beberapa wilayah
bagian tengah Pulau Sumatera. Pulau Sumatera yang memiliki luasan hutan
primer yang masih cukup signifikan, memiliki keragaman spesies flora dan
fauna (biodiversity). Beberapa spesies sudah terancam punah sehingga patut
dilindungi seperti Gajah dan Harimau. Kedua spesies ini memerlukan luasan
habitat yang cukup besar berupa hutan primer untuk koridor migrasinya.
Selain hutan primer, lahan gambut Sumatera juga merupakan tempat
bernaungnya beragam habitat.
Kondisi karakteristik ekoregion Sumatera merupakan wilayah penghasil
bahan pangan, material mentah hasil perkebunan, dan kayu. Jasa lingkungan
penghasil bahan pangan di Ekoregion Sumatera disokong oleh pertanian lahan
basah berupa sawah seluas 2,22 juta ha, dengan produktivitasnya 41,0
ku/ha, dan setiap tahunnya menghasilkan 167,7 ton padi (BPS,2014). Jasa
lingkungan penyedia pangan yang tinggi mayoritas terdistribusi pada dataran
di Ekoregion Sumatera bagian timur, walaupun beberapa bagian di pantai
bagian barat juga tersedia jasa tersebut.
Wilayah penyedia pangan Pulau Sumatera berada di zona vulkanik serta
fluvial. Zona fluvial merupakan hasil sedimentasi dari zona vulkanik sehingga
memiliki unsur hara tinggi dan tersedimentasi di daerah hilir. Budidaya
pertanian membutuhkan ketersediaan unsur hara tinggi selain air berlimpah.
Berbeda halnya dengan lahan gambut yang juga merupakan pemberi jasa
penyedia air namun tidak memberikan unsur hara yang cukup dan bersifat
asam sehingga tidak sesuai untuk lahan pertanian pangan.
Jasa lingkungan pengatur tata air dan banjir di pulau Sumatera tersebar di
daerah pegunungan bukit barisan yang memiliki kerapatan hutan yang cukup
tinggi sebagai catchment area. Kerapatan hutan tersebut berkontribusi untuk
menahan air hujan dan menyalurkan melalui badan sungai dalam satu DAS
ke daerah hilir secara bertahap. Selain hutan di pegunungan bukit barisan,
49. lahan gambut Sumatera yang cukup luas di pesisir timur merupakan media
penampungan (reservoir) air yang sangat baik.
Sebagai pulau yang memiliki kerapatan hutan hujan tropis yang tinggi, pulau
Sumatera memiliki fungsi layanan penyerap & penyimpan karbon yang tinggi.
Begitu pula lahan gambut pada hakikatnya merupakan tempat cadangan
karbon sangat besar. Alih fungsi lahan terhadap kedua jenis lahan ini
tentunya akan mengemisikan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
50. Gambar 2.17 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Sumatera
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
51. D.2.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
Trend perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Perubahan alih fungsi hutan rawa primer menjadi lahan perkebunan
sangat signifikan terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi dan
Sumatera Selatan. Dominasi perkebunan sawit dan karet yang
memberikan manfaat ekonomi menjadi pendorong utama.
2. Alih fungsi hutan sekunder menjadi lahan pertanian kering terjadi
cukup masif di beberapa kawasan di provinsi Sumatera Selatan, Jambi
dan Riau.
3. Alih fungsi kawasan hutan primer masih terbilang rendah. Namun
karena sebagian besar hutan primer ini berada di kawasan pegunungan
bukit barisan yang juga memiliki potensi bahan mineral tinggi, maka
akan menarik kegiatan pertambangan.
4. Perkembangan wilayah pemukiman di beberapa kota besar di Sumatera
seperti Medan, Palembang serta Tanjung Karang terjadi cukup pesat
akibat pertumbuhan industri. Perkembangan wilayah pemukiman ini
mengkonversi lahan persawahan sebagai penyedia pangan ataupun
kawasan rawa-rawa sebagai reservoir air baku.
D.3 Kawasan Ekoregion Pulau Kalimantan
Ekoregion Pulau Kalimantan dipengaruhi proses denudasional, fluvial, gambut
dan marin. Perbukitan dan pegunungan berasal dari proses vulkanik tua.
Besarnya pengaruh pelapukan menyebabkan tanahnya relatif miskin hara dan
tidak sesubur Sumatera dan Jawa, namun banyak mengandung deposit
batubara. Pulau ini terlindungi dari zona subduksi lempeng benua.
Kawasan ekoregion Pulau Kalimantan masih didominasi oleh ekosistem alami
yang didominasi oleh ekosistem hujan tropika di sebagian besar wilayah dan
lahan gambut di belahan selatan. Ekosistem buatan didominasi oleh
perkebunan kelapa sawit dan hutan sekunder. Wilayah pemukiman
terkonsenterasi di beberapa kota besar di Ibukota Provinsi namun
keberadaannya belum signifikan.
D.3.a. Layanan Jasa Lingkungan Ekoregion Pulau Kalimantan
Ekoregion pulau Kalimantan memberikan jasa layanan ekosistem sebagai
berikut:
• Penyimpan Air;
• Penyedia energi;
52. • Pendukung Sumberdaya Genetik;
• Pengatur tata air;
• Penyimpan Karbon;
• Penyedia Pangan.
•
Sumber : KLH, Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan
Gambar 2.18 Peta ekoregion Pulau Kalimantan
Wilayah-wilayah di pulau Kalimantan yang memberikan jasa penyimpan Air
bertumpu kepada lahan Gambut yang merupakan hilir dari DAS – DAS besar.
Pulau Kalimantan yang memiliki kerapatan hutan hujan tropis yang tinggi
sehingga berfungsi sebagai pemberi layanan jasa lingkungan penyerap &
penyimpan karbon yang tinggi. Begitu pula lahan gambut pada hakikatnya
merupakan tempat cadangan karbon yang sangat besar. Alih fungsi lahan
terhadap kedua jenis lahan ini akan mengemisikan karbon dalam jumlah
besar ke atmosfer.
Besarnya kawasan hutan hujan tropis dengan kerapatan canopi yang tinggi di
Pulau Kalimantan menjadikan pulau ini memiliki keberagaman spesies fauna
53. dan flora (biodiversity) yang tinggi. Selain hutan hujan tropis, lahan gambut
juga merupakan tempat penyedia habitat yang cukup tinggi.
Wilayah-wilayah yang menjadi pengatur tata air di Pulau Kalimantan adalah
kawasan pegunungan dengan kerapatan vegetasi tinggi di bagian tengah dan
lahan-lahan gambut di Kalimantan.
Ekoregion perbukitan dan pegunungan vulkanik yang ada di Pulau
Kalimantan merupakan vulkanik tua, yang terkonsentrasi di bagian Tengah.
Iklimnya yang termasuk tropika basah dengan curah hujan cukup tinggi dan
air sungainya yang mengalir sepanjang tahun membuat ketersediaan airnya
cukup melimpah. Kondisi iklim yang demikian mengakibatkan proses
pelapukan batuan di pulau ini berlangsung sangat intensif, sehingga banyak
terbentuk ekoregion dengan karakteristik dataran denudasional dengan jenis
tanah Podsolik dan Spodosol yang miskin akan hara tanaman. Selain itu,
ekoregion dengan karakteristik dataran fluvial dan dataran gambutnya tidak
sesubur di Sumatera karena bahan induknya berpasir kuarsa.
54. Gambar 2.19 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Kalimantan
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
55. D.3.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
Trend perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Konversi lahan hutan primer menjadi hutan sekunder. Alih fungsi lahan
ini tentunya menurunkan daya dukung habitat sehingga mengancam
keragaman biodiversity di Kalimantan, selain itu juga berakibat
menurunkan fungsi tata air yang menyebabkan sering terjadi banjir di
daerah hilir dan tingginya laju sedimentasi.
2. Perkembangan wilayah pemukiman yang tinggi hanya terjadi di ibukota-
ibukota provinsi dan kota Balikpapan. Mengingat penyebaran penduduk
di Kalimantan sebagian besar masih berada di pedesaan (rural) maka
perkembangan wilayah pemukiman belum terlalu mengkhawatirkan
dalam 20 tahun ke depan.
3. Konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit terjadi cukup
masif di semua provinsi di Kalimantan. Di sisi lain, lahan gambut
memiliki fungsi tinggi dalam menyimpan air dengan demikian fungsi
penyedia air bagi kelima provinsi akan terganggu. Banjir di musim hujan
dan kelangkaan air di musim kemarau.
4. Perkembangan wilayah pertambangan batubara sangat masif di
Kalimantan Tengah, Selatan dan Timur. Kegiatan pertambangan
tentunya akan merubah ekosistem alami tempat bernaungnya spesies
habitat. Pembukaan kawasan hutan untuk pertambangan juga
menyebabkan menurunnya fungsi tata air di Kalimantan.
5. Pembukaan wilayah-wilayah perbatasan dan terpencil di utara Pulau
Kalimantan yang bersinggungan langsung dengan taman nasional dan
kawasan hutan, otomatis mengurangi besarnya luas wilayah jasa
pengatur air di Pulau Kalimantan. Selain itu, pembukaan wilayah
kawasan hutan yang selama ini terisolir mengakibatkan mudahnya alih
fungsi lahan terjadi di kawasan-kawasan lindung.
D.4 Kawasan Ekoregion Pulau Sulawesi
Ekoregion Pulau Sulawesi terdiri dari daerah perbukitan dan pegunungan
vulkanik aktif dengan kelerengan curam yang mengandung banyak mineral di
bagian utara, serta vulkanik tua dan perbukitan solusional/karst di selatan.
Memiliki wilayah fluvial yang cukup subur walau lebih sempit dari pulau
lainnya.
Kawasan ekoregion Pulau Sulawesi masih didominasi oleh ekosistem alami
yang didominasi oleh ekosistem hujan tropika di daerah pegunungan
56. sepanjang busur Pulau Sulawesi. Ekosistem buatan didominasi oleh
perkebunan dan hutan sekunder. Wilayah pemukiman terkonsenterasi di
beberapa kota besar di Ibukota Provinsi namun keberadaannya belum terlalu
signifikan memberikan pengaruh terhadap tutupan lahan secara keseluruhan.
Sumber : KLH, Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan, 2013
Gambar 2.20 Peta ekoregion Pulau Sulawesi
D.4.a. Layanan Jasa Lingkungan Ekoregion Pulau Sulawesi
Ekoregion pulau Sulawesi memberikan jasa layanan ekosistem sebagai
berikut:
• Penyedia Energi;
57. • Penyimpan Air;
• Pendukung Sumberdaya Genetik;
• Penyedia Pangan;
• Pengatur Tata Air.
Pulau Sulawesi sebagai pulau yang memiliki cadangan gas alam yang cukup
besar setelah Kalimantan dan Sumatera. Cadangan gas terbesar berada di
daerah Sengkang dan Donggi Senoro Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada Ekoregion Sulawesi, kawasan dengan karakteristik pegunungan
struktural memiliki peranan yang sangat penting dalam jasa pengaturan air.
Ekoregion pegunungan struktural yang membentang dari mulai Enrekang-
Mamasa – Makale – Lasolo – Bungku Tengah – Luwuk hingga Palu dan Palu
hingga Minahasa Selatan, setidaknya menjadi kawasan hulu bagi lebih dari
1000 DAS di hampir seluruh ekoregion Sulawesi, dan Jasa lingkungan untuk
menyediakan air baku di Ekorgion Sulawesi pada umumnya memiliki kondisi
yang baik dengan kemampuan yang tinggi dalam menyediakan air bersih.
Pulau Sulawesi juga memiliki hutan primer yang cukup besar bahkan
beberapa kawasan merupakan taman nasional dan hutan konservasi. Hutan
primer menjadi tempat ideal untuk bernaungnya beragam spesies fauna dan
flora. Bahkan beberapa species di Pulau Sulawesi merupakan species yang
unik dan tidak berada di tempat lain.
Pada Ekoregion Sulawesi ditemukan juga dataran fluvial dan dataran vulkanik
yang subur, walaupun relatif sempit daripada di Jawa dan Sumatera. Jasa
lingkungan penyedia pangan yang cukup tinggi di Ekoregion Sulawesi
umumnya terdapat pada ekoregion dengan karakteristik dataran fluvial, dan
perbukitan karst. Persawahan di Ekoregion Sulawesi luasannya sebesar 919,9
ribu ha dengan produksi beras per tahun 5 juta ton (BPS,2014). Lokasi sawah
yang berada pada dataran fuvial sedikit tidak menguntungkan karena
kawasan yang berkembang menjadi pemukiman dan perkotaan umumnya
berada pada ekoregion dengan karakteristik dataran fluvial dan dataran
pantai.
58. Gambar 2.21 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Sulawesi
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
59. D.4.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
Trend perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Konversi hutan primer menjadi hutan sekunder terlihat cukup banyak
terjadi. Kemampuan hutan sekunder dalam fungsi layanan tata air yang
lebih rendah dibanding hutan alami berdampak kepada kelangkaan air
di musim kemarau dan banjir di musim penghujan.
2. Terjadi penambahan luasan sawah sebagai lumbung pangan yang
signifikan. Berdasarkan peta ekoregion terlihat bahwa pegembangan
areal persawahan menempati lahan fluvial yang subur namun sempit.
Hal ini berdampak kepada peningkatan daya dukung penyediaan
pangan pulau Sulawesi.
3. Perkembangan wilayah pemukiman yang tinggi hanya terjadi di ibukota-
ibukota provinsi. Pertumbuhan yang paling tinggi terjadi Kota Manado
dan Makasar. Mengingat penyebaran penduduk di Sulawesi sebagian
besar masih berada di pedesaan (rural) maka perkembangan wilayah
pemukiman belum terlalu mengkhawatirkan dalam 20 tahun ke depan.
D.5 Kawasan Ekoregion Kepulauan Bali Nusa Tenggara
Bali dipengaruhi proses vulkanik, fluvial, dan marin (proses yang berkaitan
dengan lingkungan laut) sehingga memiliki banyak perbukitan dengan tanah
subur dan banyak air, walau iklimnya lebih kering. Sedangkan Nusa Tenggara
lebih banyak dipengaruhi proses marin dengan banyaknya bahan organik dari
koral yang ditumbuhi padang rumput. Seperti halnya Sumatera dan Jawa,
daerah ini berada dalam jalur subduksi lempeng benua.
Kawasan ekoregion Kepulauan Bali-Nusa Tenggara memiliki perbedaan yang
cukup signifikan untuk setiap pulau-pulau besarnya. Pulau Bali memiliki
kawasan ekosistem alami kawasan hutan hujan tropis yang terbatas di daerah
pegunungan. Namun daerah dataran rendah umumnya menjadi daerah
pemukiman, persawahan dan pertanian lahan kering (campuran). Sementara
kawasan ekosistem alami provinsi NTB dan NTT didominasi dengan semak
belukar dan hutan sekunder dengan tingkat kerapatan sedang hingga rendah.
D.5.a. Layanan Jasa Lingkungan Ekoregion Pulau Bali Nusa Tenggara
Ekoregion Bali Nusa Tenggara memberikan jasa lingkungan sebagai berikut:
• Penyimpan Air;
• Produksi Pangan;
• Pengatur Tata Air dan Banjir.
60. Selain di bagian selatan dan tengah di Pulau Bali dan bagian selatan Pulau
Lombok, wilayah kepulauan Bali-Nusa Tenggara memberikan jasa penyimpan
air yang sangat terbatas.
Ekoregion Bali-Nusa Tenggara memiliki karakter lahan yang beragam. Pulau
Bali memiliki karakteristik beriklim agak basah dan sebagian besar
merupakan dataran perbukitan dan pegunungan vulkanik. Oleh karenanya
Pulau Bali memiliki tanah yang subur dengan ketersedian air yang melimpah,
sehingga banyak dimanfaatkan untuk lahan sawah dan tanaman semusim
lainnya. Berbeda halnya dengan bagian Nusa Tenggara, karena kondisi
iklimnya lebih kering, pertanian lahan sawah di Nusa Tenggara tidak sebaik di
Bali. Di Nusa Tenggara banyak dijumpai ekoregion dengan karakteristik
berbahan organik (karang) yang ditumbuhi padang rumput savana dan
bebatuan pada permukaan tanahnya, yang banyak dimanfaatkan untuk
pengembangan peternakan sapi.
Sumber : KLH, Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan, 2013
Gambar 2.22 Peta ekoregion Kepulauan Bali Nusa Tenggara
Penutup lahan yang dominan pada Ekoregion Bali-Nusa Tenggara adalah
lahan kering (berupa savana, semak belukar dan padang alang-alang) hingga
mencapai 45%, hutan 23,31%, dan perkebunan 9,68%. Berbeda dengan
ekoregion lain, yang mengandalkan jasa ekosistem penyedia pangan dari
persawahan dan perkebunan, selain persawahan di Bali pada Ekoregion Bali-
61. Nusa Tenggara mengandalkan peternakan yang memanfaatkan lahan kering.
Produksi padi ekoregion Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,8 juta ton, dari luas
sawah sebesar 462 ribu ha (BPS, 2014).
Bali bagian tengah terdiri dari ekoregion dengan karakteristik pegunungan dan
perbukitan struktral, sedangkan di Bali bagian barat terdiri dari pegunungan
dan perbukitan vulkanik yang merupakan ekosistem penting dalam menjaga
fungsi lingkungan hidup terutama jasa lingkungan pengaturan air. Kawasan
pegunungan dan perbukitan struktural di Bali bagian barat merupakan
kawasan konservasi yang menjadi kawasan hulu setidaknya bagi 23 DAS.
Sedangkan untuk kawasan perbukitan dan pegunungan vulkanik di Bali
bagian tengah setidaknya menjadi kawasan hulu bagi 40 DAS.
Ekoregion pada Pulau Lombok terdiri dari pegunungan vulkanik yang berada
disekitar Gn. Rinjani dan merupakan ekosistem penting dan merupakan
kawasan hulu bagi setidaknya 25 daerah aliran sungai. Sedangkan pada
Pulau Sumbawa, ekoregionnya terdiri dari pegunungan struktural dan
pegunungan vulkanik yang merupakan ekosistem penting bagi jasa ekosistem
pengaturan air, hampir seluruh daerah alisan sungai di pulau ini berhulu di
kawasan tersebut
62. Gambar 2.23 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Bali Nusa Tenggara
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
63. Pulau Flores memiliki ekoregion dengan karakteristik pegunungan struktural
yang merupakan ekosistem penting dalam jasa pengaturan air. Pulau Sumba
memiliki pegunungan struktural dan perbukitan solusional merupakan
ekosistem penting dalam pengaturan air, air permukaan tersedia dengan baik,
namum pada saat kemarau menjadi sangat terbatas dan air tanah
terakumulasi pada sungai bawah tanah. Pulau Timor memiliki ekoregion
pegunungan denundasional sebagai ekosistem penting dalam pengaturan air.
D.5.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
1. Alih fungsi hutan primer di Pulau Bali menjadi areal persawahan,
pertanian lahan kering dan tanah terbuka mencapai 18.54%. Sementara di
provinsi NTB dan NTT secara berturut-turut memiliki laju deforestasi
hutan primer dalam 14 tahun sebesar 11.53% dan 26.2%. Provinsi NTT
memiliki laju tertinggi, bahkan konversi hutan sekunder menjadi area
penggunaan lain mencapai 33%.
2. Seiring dengan pembukaan kawasan hutan, terjadi peningkatan kawasan
pertanian lahan kering (campuran) khususnya di pulau Flores, Timor dan
Sumba. Laju pertumbuhan kawasan tersebut dalam 14 tahun mencapai
82% sehingga saat ini provinsi NTT memiliki lahan pertanian kering
(campuran) berkisar 400 ribu hektar.
3. Laju pertumbuhan wilayah pemukiman di ketiga provinsi mencapai
16.38%. Laju terbesar terdapat di Provinsi NTB khususnya pulau Lombok.
Saat ini luasan areal pemukiman di kepulauan Bali-Nusra mencapai
82,500 hektar.
4. Provinsi NTB memiliki potensi mineral dan bahan galian yang tinggi. Hal
ini berdampak kepada laju pertumbuhan area pertambangan cukup tinggi
(67%). Memang luasan area pertambangan 0.02% dari luasan total
provinsi, namun mengingat kegiatan pertambangan memiliki dampak
lingkungan yang besar tentunya hal ini harus menjadi perhatian.
D.6 Kawasan Ekoregion Kepulauan Maluku
Kawasan ekoregion Kepulauan Maluku sebagian besar terbangun dari batuan
vulkanik dan bahan organik karang dengan iklim kering, yang kemudian
muncul sebagai pulau-pulau kecil. Air sungainya cepat terbuang ke laut
sehingga miskin air tanah dan hara. Kawasan ekoregion kepulauan Maluku
terdiri dari ekosistem pesisir dan ekosistem pegunungan dengan kawasan
hutan alami di beberapa pulau berukuran medium seperti Seram, Buru,
Halmahera dan Sula.
64. Kepulauan Maluku memiliki iklim monsoon timur yang relative kering dan
monsoon barat yang relative basah. Curah hujan tahunan secara rata-rata di
provinsi Maluku berkisar 2000 – 3000 mm begitu pula curah hujan di provinsi
Maluku utara. Di beberapa lokasi seperti di timur Wetar, kepulauan Arafura
dan pulau Buru sebelah timur memiliki curah hujan antara 1000-2000 mm.
Sumber : KLH, Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan, 2013
Gambar 2.24 Peta ekoregion Kepulauan Maluku
D.6.a. Layanan Jasa Ekoregion Kepulauan Maluku
Ekoregion Kepulauan Maluku memberikan jasa layanan ekosistem sebagai
berikut:
• Penyimpan air;
• Penyedia Pangan;
65. • Tata Air dan Banjir;
• Pendukung Sumber Daya Genetik.
Wilayah Kepulauan Maluku yang memberikan jasa penyimpan air adalah
bagian utara pulau Halmahera, bagian utara pulau Seram, kabupaten Seram
Timur, bagian timur pulau Sula, pulau Aru serta pulau-pulau vulkanik kecil.
Wilayah penyedia pangan kepulauan Maluku terdapat di bagian utara
Halmahera, utara Kabupaten Seram timur, timur Pulau Buru dan Pulau Aru.
Selain sebagai penyedia pangan, wilayah-wilayah ini juga berfungsi sebagai
penyedia air karena umumnya kawasan budidaya pertanian membutuhkan
ketersediaan unsur hara tinggi dan air berlimpah. Dataran fluvial yang
merupakan hasil sedimentasi dari zona vulkanik membawa unsur hara yang
memberikan kesuburan tanah.
Ekoregion Maluku memiliki luas persawahan sebanyak 22,7 ribu ha, dengan
produksi pertahun sebesar 174,2 ribu ton (BPS, 2014). Sifat Ekoregion
Kepulauan Maluku yang terdiri atas pulau-pulau yang relative kecil, luasan
persawahan pun relative kecil dan terpisah-pisah (patchy) sehingga cenderung
rentan terhadap perubahan lahan. Hal ini terlihat juga pada sebaran distribusi
jasa lingkungan untuk penyedia bahan pangan.
Ekoregion Kepulauan Maluku merupakan kepulauan yang unik, masing-
masing punya keunikan dalam hal jasa lingkungan pengaturan air. Secara
umum di Ekorgion Kepulauan Maluku, jasa lingkungan pengaturan air berada
pada kondisi yang baik (cukup tinggi), namun karakternya rentan karena
bentuk dan besaran dari jasa lingkungan ini relatif kecil. Sehingga distribusi
jasa lingkungan pengaturan air di Ekoregion Maluku saat ini berada pada
kondisi tertekan dan sangat rentan dihampir semua pulau karena banyaknya
perizinan kegiatan yang dikeluarkan.
66. Gambar 2.25 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Maluku
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
67. D.6.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014
Trend perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Alih fungsi hutan primer menjadi lahan perkebunan, hutan sekunder
dan lain-lain mencapai 18%. Umumya hutan primer yang terletak di
kawasan pegunungan memiliki fungsi sebagai resapan air hujan. Saat
ini luasan hutan primer dan hutan sekunder di kepulauan Maluku
mencapai 885 ribu hektar (11%) dan 3,9 juta hektar (50,75%).
2. Pertumbuhan kawasan pemukiman yang umumnya terletak di daerah
pesisir mencapai 15.55%. Sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari
beberapa pulau berukuran sedang dan ribuan pulau-pulau kecil
bermorfologi pegunungan atau perbukitan, ketersediaan lahan
pemukiman dan budidaya tentunya menjadi terbatas.
3. Hutan mangrove baik primer maupun sekunder mengalami
pertumbuhan positif sepanjang 14 tahun. Sebagai wilayah kepulauan
dengan banyak pulau-pulau kecil keberadaan hutan mangrove ini
sangat bermanfaat untuk mencegah abrasi pantai serta tempat penyedia
habitat spesies aquatic.
4. Pertumbuhan lahan pertanian kering campuran yang berfungsi sebagai
penyedia pangan mencapai 29% dengan total luasan pada tahun 2014
sebesar 1,1 juta hektar. Namun luasan pertanian lahan kering
mengalami penurunan sebesar 19% menjadi sekitar 214 ribu hektar.
D.7 Kawasan Ekoregion Pulau Papua
Ekoregion pulau Papua berada diatas lempeng Australia yang sebagian besar
merupakan dataran marin dan rawa gambut, dan pegunungan struktural yang
kaya mineral. Iklimnya basah sehingga air melimpah, namun tanahnya relatif
miskin hara karena intensifnya pelapukan batuan vulkanik tua.
Kawasan ekoregion Pulau Papua masih didominasi oleh ekosistem alami,
seperti Hutan hujan tropis yang merupakan tempat bernaungnya habitat
termasuk sebagian besar penduduk asli Papua. Penduduk asli Papua ini
masih berketergantungan secara langsung dengan keberadaan ekosistem
hutan hujan tersebut. Di bagian tengah pulau Papua terdapat pegunungan
Jayawijaya yang salah satu puncaknya berada di atas ketinggian 4500 m
sehingga membentuk ekosistem tersendiri. Adapun keberadaan ekosistem
buatan seperti pertambangan, pemukiman, perkebunan dan pertambangan
masih sangat sedikit dibanding total luasan pulau Papua tersebut.
68. D.7.a Layanan Jasa Lingkungan Ekoregion Pulau Papua
Ekoregion pulau Papua memberikan jasa layanan lingkungan sebagai berikut:
• Penyimpan Air;
• Produksi pangan;
• Penyimpan Karbon;
• Pendukung Sumberdaya Genetik;
• Tata Air dan Banjir.
Wilayah-wilayah di Pulau Papua memberikan jasa penyimpan air adalah 1)
Dataran rendah di pesisir selatan Pulau Papua yang merupakan dataran
marin dan 2) lahan-lahan gambut utara Papua Barat.
Ekoregion Papua terbentuk di atas lempeng Benua Australia. Sebagian besar
ekoregion ini merupakan dataran marin dengan vegetasi monsun air masin
atau rawa gambut, dan pegunungan struktural Jayawijaya dengan vegetasi
monsun pegunungan Sub Alpin, dan Alpin serta tundra salju permanen.
Hampir semua ekoregion beriklim tropika basah dengan suhu panas hingga
sejuk dan curah hujan tahunan cukup tinggi (1.500-6.500 mm). Kondisi iklim
yang demikian mengakibatkan ketersediaan airnya termasuk cukup melimpah
dan jenis tanahnya berekasi masam dan miskin hara tanaman karena proses
pelapukan batuan vulkanik tua yang berlangsung sangat intensif.
69. Sumber : KLH, Peta Deskripsi Ekoregion Pulau/Kepulauan, 2013
Gambar 2.26 Peta Ekoregion Pulau Papua
Ketersediaan hutan sebagai sumber bahan pangan merupakan hal yang
mendukung kehidupan di Ekoregion Papua. Kawasan budidaya yang ada di
Ekoregion Papua terdiri atas 4,5% dari luas daratan Papua, perkebunan dan
pertanian lahan kering hanya mencapai 3%nya saja. Distribusi jasa ekosistem
penyedia bahan pangan di Ekoregion Papua seperti pada gambar 2.26. Secara
umum, Wilayah Papua yang memberikan jasa penyediaan pangan terletak di
dataran organik gambut yang memiliki tingkat kesuburan sedang.
Jasa lingkungan pengaturan air pada Ekoregion Papua dengan karakteristik
pegunungan dan perbukitan struktural dibagian utara terlihat baik dan kuat
karena bentuknya masif dan luas, sedangkan untuk ekoregion dengan
karakteristik dataran dibagian selatan berada pada kondisi yang lebih buruk
dengan kondisi drainase semakin ke pantai semakin buruk sehingga tanah
lebih basah (Endoaquept dan Aquic Dystrudept). Drainase yang kurang baik
juga menyebabkan cerukan air pada dataran gambut hingga membentuk
dataran banjir yang berawa (backswamp).
70. Gambar 2.27 Peta Indikasi Jasa Lingkungan Utama di Ekoregion Papua
Sumber : KLHK, Atlas Peta Indikasi Daya
Dukung Nasional 2015
71. D.7.b. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000-2014//
Berdasarkan hasil analisis terhadap tutupan lahan, trend perubahan tutupan
lahan di Pulau Papua dari tahun 2000 ke 2014 menunjukan:
1. Konversi hutan primer umumnya menjadi hutan sekunder mencapai
hampir 2,9 juta hektar. Konversi hutan primer tentunya mengancam
biodiversity serta kemampuan pulau Papua sebagai regulator air.
2. Konversi lahan hutan rawa primer menjadi sekunder dan penggunaan lain
juga cukup besar mencapai 518 ribu hektar. Hal ini tentunya akan
mengganggu habitat spesies akuatik serta kemampuan penyediaan air.
3. Pertumbuhan lahan pertanian kering (campuran) juga terjadi cukup pesat
mencapai sekitar 706 ribu hektar. Tentunya pertambahan lahan pertanian
kering ini berdampak kepada peningkatan kemampuan penyediaan pangan
bagi penduduk di pulau Papua yang sebagian besar masih tergantung
kepada tanaman Sagu.
E. Tantangan Lingkungan Hidup 30 Tahun ke Depan
Pada tahun 2013, Bappenas bersama Badan Pusat Statistik telah melakukan
kajian terkait pertumbuhan penduduk Indonesia yang salah satunya
menghasilkan data proyeksi pertumbuhan dan jumlah penduduk Indonesia
sampai tahun 2035. Meskipun ada tren penurunan laju pertumbuhan, akan
tetapi jumlah penduduk Indonesia diperkirakan masih akan bertambah sangat
besar, yaitu sekitar 50 juta jiwa pada tahun 2035 dibandingkan jumlah
penduduk tahun 2015. Berdasarkan data yang sama, konsentrasi penduduk
Indonesia masih akan berpusat di Jawa dan Sumatera akan tetapi ada laju
pertumbuhan penduduk yang signifikan di Indonesia bagian timur.
Pertambahan penduduk di Maluku, Papua, dan Kalimantan diproyeksikan
akan bertambah antara 32% - 36% pada tahun 2035.
Disamping pertumbuhan penduduk, pembangunan Indonesia 20 – 30 tahun
ke depan masih akan diwarnai oleh percepatan pembangunan ekonomi yang
salah satu tujuannya adalah pemerataan pembangunan antar daerah melalui
pendekatan sektoral dan regional, membangun pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi, pembangunan konektivitas dan pengembangan SDM melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi. Akan terjadi
mobilisasi sumberdaya alam untuk mendukung dan memastikan keberhasilan
program-program yang dicanangkan, terutama yang berkaitan dengan sumber
energi, bahan baku, dan lahan.
72. Tantangan terbesar dalam pembangunan lingkungan adalah bagaimana agar
lingkungan hidup mampu mempertahankan fungsi dan jasa lingkungan
alaminya untuk mendukung kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Setidaknya ada 3 (Tiga) Jasa Lingkungan yang bernilai sangat penting dan
saling terkait dalam mendukung kehidupan, yaitu Jasa Penyedia Pangan,
Jasa Penyimpan Air, dan Jasa Regulator Air.
Hal yang terkait langsung dengan meningkatnya jumlah penduduk adalah
kebutuhan akan pangan yang juga semakin meningkat. Kestabilan dan
keberlangsungan negara akan sangat bergantung pada ketahanan pangannya.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/ atau pembuatan makanan atau minuman2
. Berdasarkan
Peta Indeks Ketahanan dan Kerawanan Pangan Nasional Tahun 2015 dari
Kementerian Pertanian, secara umum ketahan pangan nasional masih dalam
kondisi terjaga, kecuali di sebagian besar Papua, sebagian Maluku dan Nusa
Tenggara Timur.
Bappenas telah melakukan studi tentang pangan dan pertanian yang
komperhensif. Studi ini telah membahas isu penting pembangunan pertanian
yang mencakup: harga komoditas pertanian yang berfluktuasi dan terus
meningkat, defisit beberapa jenis komoditas terutama kedelai dan daging sapi,
hambatan peningkatan produksi, pembiayaan pertanian, pembibitan dan
pembenihan, konsumsi pangan dan isu kesejahteraan petani. Studi ini
membuat analisis mendalam tentang: padi/beras, jagung, kedelai, gula,
daging sapi, cabai, bawang merah dan kelapa sawit. Permasalahan lingkungan
tidak dibahas secara khusus tetapi, tetapi eksplisit dalam pembahasan
komoditi pertanian. Ada tiga permasalahan yang diungkapkan yaitu: alih
fungsi lahan pertanian yang mendapat tekanan urbanisasi, kerusakan sistem
irigasi karena kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya air, dan variabilitas
iklim.
Namun demikian, alih fungsi lahan pertanian pertanian berkembang terus
karena beberapa hal sebagai berikut:
2
UU No.18/2012 tentang Pangan
73. a. Permintaan lahan untuk pemukiman, perkembangan industri,
pambangunan infrastruktur (jalan raya/toll, bandara, dll. );
b. Kebijakan alih fungsi lahan tidak tegas dan tidak konsisten (kontradiktif,
cakupan terbatas dan perencanaan tataguna tanah tidak konsisten),
peraturan perundangan masih mengandung kelemahan, pandangan
Pemda tentang alih fungsi lahan berbeda-beda, target konkrit masing-
masing lembaga tidak tegas, dan otonomi daerah;
c. Efek domino pembangunan jala raya/toll;
d. Fragmentasi pemilikan lahan; dan
e. Keuntungan relatif dan risiko usahatani.
Selain tekanan tersebut, produk pertanian utama nasional masih sangat
mengandalkan Padi yang cenderung fluktuatif pasokannya dengan sebaran
daerah penghasil produk yang tidak merata, memerlukan teknologi dan
inovasi yang makin beragam dimasa yang akan datang. Produsen pertanian
tidak mampu merespon permintaan pasar karena adanya keterbatasan
infrastruktur yang menghubungkan kota dengan sentra produksi, lemahnya
kelembagaan petani dan kecenderungan petani bekerja secara individualistik
(kepercayaan kepada orang lain rendah), buruknya kelembagaan pasar (sistem
mafia) dan tingginya biaya transaksi; dan rendahnya aktivitas penciptaan nilai
tambah dan pengolahan produk primer di pedesaan. Disamping itu, sebagian
besar padi diproduksi oleh petani yang berstatus sebagai petani penggarap
dengan luas garapan lahannya yang kecil-kecil (< 0,50 ha). Bagi petani kecil,
peranan sawah sebagai sumber pendapatan kurang memadai, sehingga
mereka menjadikan pertanian sawah sebagai usaha sambilan. Karena sebagai
usaha sambilan, maka intensitas pemeliharaan menjadi kurang, dan mereka
banyak bekerja di luar usaha tani padi sebagai buruh tani, tukang/kuli
bangunan, dan pekerjaan kasar lainnya dengan upah rendah. Teknologi baru
yang diintroduksi tidak diadopsi secara penuh karena kondisi diatas.
UNEP pada tahun 2012 menyatakan bahwa trend perubahan iklim global yang
terjadi harus menjadi bahan evaluasi dalam persiapan dan kesiapan sektor
pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Peningkatan suhu
laut dan fenomena El-nino dan La-nina menyebabkan terjadinya perubahan
kondisi lingkungan yang mempengaruhi curah hujan bulanan (Gambar 2.30
dan Gambar 2.31) sehingga mengganggu pola dan produksi hasil pertanian.
Selain pangan, kondisi ketersediaan air nasional juga mengalami ancaman
dari berkurangnya daerah-daerah resapan air dan berubah fungsinya daerah-