Teks ini membahas tentang tafsir ayat Al-Maidah 51 yang melarang umat Islam mengangkat pemimpin dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Ayat ini dijelaskan oleh beberapa ulama tafsir seperti Ibn Katsir, Buya Hamka, dan riwayat dari Khalifah Umar bin Khattab. Buya Hamka menjelaskan bahwa ayat ini bertujuan memperkuat disiplin umat Islam dengan memisahkan antara kawan dan lawan. Ayat ini hanya dit
AHLUL BAYT DIKASIHI BAGINDA ﷺ , DIMULIAKAN ALLAH underitan
Kalau disebut Ahlul Bayt – apakah yang akan terdetik di benak fikiran anda? Kalau SYIAH- mungkin doktrin dan agenda mereka telah berjaya.
Ketahuilah sekiranya kita memuliakan dan mengutamaan AHLUL BAYT BAGINDA ﷺ kita BUKAN SYIAH, tetapi kita menjaga warisan Baginda ﷺ yang amat Baginda ﷺ cintai.
Mari kita telusuri 20 hadith tentang kemuliaan AHLUL BAYT
AHLUL BAYT DIKASIHI BAGINDA ﷺ , DIMULIAKAN ALLAH underitan
Kalau disebut Ahlul Bayt – apakah yang akan terdetik di benak fikiran anda? Kalau SYIAH- mungkin doktrin dan agenda mereka telah berjaya.
Ketahuilah sekiranya kita memuliakan dan mengutamaan AHLUL BAYT BAGINDA ﷺ kita BUKAN SYIAH, tetapi kita menjaga warisan Baginda ﷺ yang amat Baginda ﷺ cintai.
Mari kita telusuri 20 hadith tentang kemuliaan AHLUL BAYT
Aliran Khawarij telah tumbuh dan berkembang dengan cara yang keras dan ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Kehidupan dan lingkungan yang tidak begitu kondusif menjadikan mereka memahami ajaran Islam apa adanya tanpa ada usaha untuk memahami lebih lanjut tentang makna apa saja yang terkandung dalam wahyu Allah SWT.
Pengkafiran yang begitu mudah mereka lontarkan bagi orang-orang yang di luar paham mereka telah menyulut perpecahan bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit.
Allah SWT menurunkan kita pada zaman yang penuh dengan kerusakan dan zaman ketika Islam hanya disisakan di pojokan masjid.
Fahamilah bahwa Allah mempunyai maksud diatas semua itu, yaitu kita mesti menjadi orang-orang yang mengambil bagian dalam perjuangan mengembalikan tegaknya aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehingga ummat manusia sekarang bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
“Amma ba’du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba ALLAH. Utusan Robbku (Malaikat maut) hampir tibadan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah (al-Quran), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya dan Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku.”, hadis sahih riwayat Muslim.
Pemimpin dalam Islam adalah mereka yang memiliki kekuatan ilmu dan kekuatan semangat yang kokoh. Dengan kedua kafasitas itu, seorang pemimpin haruslah mencerminkan Islam dan kemampuanya dalam memberikan keteladanan dan kebaikan terhadap lingkungan sekitarnya, hingga tercipta kedamaian dan keimana secara bersamaan.
Aliran Khawarij telah tumbuh dan berkembang dengan cara yang keras dan ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Kehidupan dan lingkungan yang tidak begitu kondusif menjadikan mereka memahami ajaran Islam apa adanya tanpa ada usaha untuk memahami lebih lanjut tentang makna apa saja yang terkandung dalam wahyu Allah SWT.
Pengkafiran yang begitu mudah mereka lontarkan bagi orang-orang yang di luar paham mereka telah menyulut perpecahan bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit.
Allah SWT menurunkan kita pada zaman yang penuh dengan kerusakan dan zaman ketika Islam hanya disisakan di pojokan masjid.
Fahamilah bahwa Allah mempunyai maksud diatas semua itu, yaitu kita mesti menjadi orang-orang yang mengambil bagian dalam perjuangan mengembalikan tegaknya aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehingga ummat manusia sekarang bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Majalah Hidayatullah, media dakwah yang terbit tiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh.
“Amma ba’du. Hai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah hamba ALLAH. Utusan Robbku (Malaikat maut) hampir tibadan aku harus memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan pada kalian Ath-thaqalain (dua bekal berat). Yang pertama adalah (al-Quran), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Maka amalkan dan berpeganglah padanya dan Ahlul-Baitku. Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada ALLAH mengenai Ahlul Baitku.”, hadis sahih riwayat Muslim.
Pemimpin dalam Islam adalah mereka yang memiliki kekuatan ilmu dan kekuatan semangat yang kokoh. Dengan kedua kafasitas itu, seorang pemimpin haruslah mencerminkan Islam dan kemampuanya dalam memberikan keteladanan dan kebaikan terhadap lingkungan sekitarnya, hingga tercipta kedamaian dan keimana secara bersamaan.
Kepemimpinan kristiani merupakan suatu isu global yang terjadi di dunia khususnya di Indonesia. isu ini bisa menjadi polemik yang berkepanjangan. isu ini juga bisa menjadi isu politik yang bisa menjatuhkan lawan politik. untuk itu sebagai warga yang baik harus dewasa untuk menanggapi isu ini sebagai kondisi yang harus ditemukan oleh kita.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. MENDUDUKKAN POLEMIK AL-MAIDAH: 51
Oleh: Anto Apriyanto, M.E.I.
(Dosen Ekonomi Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang dan 5 kampus lainnya)
اَياَهَُّيأَينِذَّلااوُنَآمَلاوُذَِّختَتَودُهَيْلاىَارََّصنالَوَاءَيِلَْوأْمُهُضْعَبُاءَيِلَْوأضْعَبْنَمَوْمََُّّلَوَتَيْمُكْنِمَُّهنِإَفْمُهْنِم
َّنِإَهَّلالَليِدْهَيَمْوَقْلاَيِمِالَّظال
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di
anta-ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." (QS. Al-
Maaidah: 51)
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mu'min mengangkat orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani sebagai wali (pemimpin sentral), karena mereka adalah musuh-musuh Islam
dan para penganutnya (muslim). Dalam Tafsir Ibn Katsir bahkan sang Mufassir menambahkan
kalimat "Semoga Allah melaknat mereka".1
Ibn Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan secara berantai dari Kasir bin Syihab, dari
Muhammad (yakni Ibn Sa'id bin Sabiq), dari Amr bin Abu Qais, dari Sammak bin Harb, dari Iyad,
bahwa Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab pernah memerintahkan Abu Musa Al-Asy'ari untuk
melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan
pengeluarannya, maksudnya Laporan Keuangan Negara pada Baitul Maal) dalam suatu catatan
lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang
Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar r.a. Maka Khalifah Umar
merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai,
apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari
negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar
bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai janabah (tidak suci)?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata,
"Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentak Iyad dan memukul
pahanya, lalu berkata, "Pecatlah dia! (orang Nasrani tersebut)" Selanjutnya Khalifah Umar
1
Lihat uraian tafsir mengenai ayat-ayat akhir Surat Al-Fatihah. Ibn Katsir menafsirkan Al-Maghdhub sebagai orang-
orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui perkara kebenaran, tetapi menyimpang darinya. Kemudian
Adh-Dhaalliin sebagai orang yang sesat; mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama, akhirnya
mereka bergelimang dalam kesesatan, tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang haq (benar). Pembicaraan dalam
ayat ini dikuatkan dengan huruf laa untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan
yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani. Singkatnya, Al-Maghdhub adalah Yahudi dan
Adh-Dhaalliin adalah Nasrani.)
2. membacakan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian)." (QS. Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Dalam riwayat lain Ibn Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan secara berurutan dari
Muhammad bin Hasan bin Muhammad bin Sabah, dari Usman bin Umar, dari Ibn Aun, dari
Muhammad bin Sirin, bahwa Abdullah bin Atabah pernah berkata, "Hendaklah seseorang di
antara kalian memelihara dirinya, jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani,
sedangkan dia tidak menyadarinya." Menurut Muhammad bin Sirin, yang dimaksud oleh sahabat
nabi tersebut adalah firman Allah SWT yang mengatakan: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian)." (QS. Al-
Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Jika dirasa penafsiran ulama tafsir terdahulu kaliber Ibn Katsir tidak relevan dengan konteks
keindonesiaan kini, mari buka tafsir kearifan lokal tanah air dari seorang ulama kharismatik
Indonesia. Buya Hamka dalam karya besarnya Tafsir Al-Azhar mengawali penjelasan tentang QS.
Al-Maidah: 51 dengan kata-kata yang tegas: “Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana
kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan: “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.”
(pangkal ayat 51).
Jika dicermati seksama, di awal ayat ini Allah SWT menggunakan kalimat seruan khusus
(yaa ayyuhalladziina aamaanuu), bukan seruan umum (yaa ayyuhannaas). Secara imani dapat
dipastikan yang akan tunduk patuh pada perintah tersebut adalah hanya mu'min (muslim yang
beriman). Ketika sampai ayat ini kepada orang-orang beriman maka yang dilakukan adalah
sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taat) karena keimanannya. Jadi jika ada yang mengaku
muslim menghadapi firman Allah tersebut ia menolak, bahkan dengan sengaja ia menjadi
pendukung non-muslim yang Allah larang menjadi pemimpin kenegaraan, maka patut
dipertanyakan apakah termasuk orang beriman? Bukankah orang beriman meyakini dengan pasti
tanpa keraguan terdapat rukun iman yang di antaranya adalah iman kepada Allah dan iman kepada
kitab-Nya? Dan dalam hal ini, Islam menegaskan Al-Quranul Karim adalah kitab suci pamungkas
yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya yang wajib diimani. Lalu mengapa tidak
melaksanakan perintah Surat Al-Maidah: 51 kalau merasa mu'min? Kecuali memang merasa
bukan orang beriman.
Selanjutnya Buya Hamka menguatkan dalam tafsirnya:
“Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu
konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau
menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka
rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian
yang akan didapat, melainkan bertambah kusut…”
Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian
yang lain. Buya Hamka menjelaskan:
3. “(… Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian). Maksud ayat ini
dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau
kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu, bahwa
sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak
kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan diatas itu pada hakikatnya
ialah tidak turut dengan kamu. Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam
kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dan Nasrani; Yahudi menuduh
Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi
insan. Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani
telah kuat kedudukannya, merekapun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam
sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila
mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang
setengah mereka akan memimpin setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam,
mereka tidak keberatan bekerja sama..."
Dilanjutkan dengan Allah mengancam orang mu'min yang melakukan hal itu (mendukung
pemimpin dari non-muslim) melalui firman-Nya:
ْنَمَوْمََُّّلَوَتَيْمُكْنِمَُّهنِإَفمُهْنِم
"...Siapa saja di antara kalian (muslim) mengambil mereka menjadi wali, maka
sesungguhnya kalian termasuk golongan mereka..." (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Masih dalam Tafsir Al-Azhar, profesor dan tokoh besar Muhammadiyah di masa Orde Lama
dan Orde Baru itu menegaskan:
"...Yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk
golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu..."
Menarik untuk disimak, uraian lanjutan Buya Hamka mengenai muslim yang menjadi kaki
tangan pemimpin bukan Islam sebagai orang-orang yang amat sulit diberi nasihat bahkan
cenderung menolak kebenaran hingga menyerang agamanya (Islam) sendiri. Ketua Umum MUI
pertama tersebut menjelaskan:
"...Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada
mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada
seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama,
sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek
yang meminta keterangan agama yang masuk akal. Padahal akalnya itu telah dicekok oleh
didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang
seperti ini, seorang Muslim yang taat harus bersikap seperti “menatang minyak penuh”,
sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis
melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada
bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya
4. sendiri. Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah
tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, No. 23). Kata beliau, “Orang yang kalah selalu
meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau
kebiasaannya dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa
itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah mengalahkannya
itu. Lalu dia menjadi penurut, peniru. Baik oleh karena sudah sangat tertanam rasa
pemujaan atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan
yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri yang menang selalu benar!
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti
bahwa mereka mengalih agama. Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan,
tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa
mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan menjual agama dan
bangsanya dengan harga murah.
Ketika Belanda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh
mempertahankan kemerdekaan mereka sehingga nyaris gagal maka yang menunjukkan cara
bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama
Islam yang didatangkan dari luar Aceh. Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan
tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah mereka memakai
rencong juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin
Aceh yang masih bertahan secara gerilya. kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah
seorang Islam yang taat shalat dan puasa. dan dia mendapat bintang Willemsorde dari
Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak
dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh
sahabat Rasulullah saw tadi, yaitu mereka telah menjadi Yahudi, dan disini telah menjadi
Nasrani, padahal mereka tidak sadar.”
Di akhir ayat ke-51 tersebut Allah menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidaklah memberi
petunjuk kepada kaum yang zhalim.”
Buya Hamka pun mengingatkan:
"Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah
sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal
dari zhulm, artinya gelap. mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang
dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun
bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan
Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha,
sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya
dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu
selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
5. Hal yang hampir senada dijelaskan oleh An-Nawawi Al-Bantani (ulama besar terdahulu asal
Banten) dalam Tafsir Al-Munir. Bila tidak percaya silahkan buka semua kitab tafsir karya para
ulama Islam klasik tapi yang diterima mayoritas ahlussunnah wal jama'ah. Begitu gamblangnya
firman Allah SWT yang melarang muslim memiliki pemimpin kenegaraan dari kalangan non-
muslim. Sebelum mereka bersyahadat dan ikhlas menjadi muslim, pada hakikatnya mereka
tergolong munafik, musyrik, bahkan kafir.
Sejak Allah menurunkan QS. Al-Maidah: 3 kepada Rasulullah saw, maka sejak itulah
golongan Ahlul Kitab tidak diterima sebagai orang beriman, apalagi pemimpin publik yang
bersifat kenegaraan/kewilayahan. Dalam penggalan ayat tersebut Allah berfirman:
َمْوَيْلاُتْلَمْكَأْمُكَلْمُكَينِدُتْمََْْتأَوْمُكْيَلَعِتَمْعِنُيتِضَرَوُمُكَلَم ََلْسِْاْلاًينِد
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS.Al-
Maidah: 3)
Kesempurnaan Islam sudah mutlak dijamin oleh Allah SWT. Kesempurnaannya mencakup
ketersediaan peraturan segala bidang kehidupan umat manusia, tanpa ada yang tercecer atau
terlewat diatur. Semua sudah lengkap. Termasuk urusan kepemimpinan publik yang erat
hubungannya dengan hajat hidup umat Islam.
Diskursus berujung polemik yang terjadi saat ini di antara sesama muslim terkait
kepemimpinan non-muslim, apalagi setelah Ahok menistakan secara jelas Surat Al-Maidah: 51
pada tanggal 28 September 2016 lalu di Pulau Seribu, semestinya disikapi arif dan bijaksana oleh
muslim pendukung Ahok. Bila masih mengaku muslim, bila kitab sucinya masih Al-Quran,
mengapa tidak mengembalikan semua kepada dasar pedoman Islam, yakni Al-Quran dan As-
Sunnah? Tidak ingatkah firman Allah SWT:
اَياَهَُّيأَينِذَّلااوُنَآماوُيعَِطأَهَّلالاوُيعَِطأَوَولُسَّالرُوأَوِلِرَْمْاْلْمُكْنِمْنِإَفْمُتْعَنازَتِفءْيَشُوهُّدُرَفَلِإِهَّلال
ِولُسَّالرَوْنِإْمُتْنُكَنوُنِمْؤُتِهَّلالِبِمْوَيْلاَوِرِخ ْاْلَكِذلرْيَخُنَسَْحأَوًَليِوْأَت )
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di
antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan
lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)
Perlu digarisbawahi bahwa yang dilarang Islam terkait non-muslim adalah masalah
kepemimpinan publik (politik), bukan dalam semua masalah. Misalnya yang berkaitan dengan
mu'amalah (sosial-ekonomi) Islam masih membolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat.
Tapi, urusan Aqidah dan Ibadah tidak ada kompromi dari Islam.
6. Terdapat riwayat Abu Sa'id Al-Asyaj, dari ibn Fudhail, dari Asim, dari Ikrimah, dari Ibn
Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Maka ia
menjawab, "Boleh dimakan." Allah SWT hanya berfirman: "Siapa saja di antara kalian
mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (Al-
Maidah: 51). Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abuz Zanad. Meskipun hal ini perlu
dikaji rinci pada bab lain.
Sebagai penutup, semoga Allah memberi hidayah pada semua umat manusia, terutama
muslim yang masih mendukung pemimpin non-muslim. Silahkan direnungkan sabda Rasulullah
saw berikut:
َالَقوَُبأَدُاوَد:اَنََّثدَح،َّددَسُماَنََّثدَح، ََيََْيْنَعِدْيَبُع،ِهَّلالاَنََّثدَح،عِافَنْنَعِدْبَعاهللبن،عمرْنَع
ِولُسَرِهَّلالىَّلَصُهَّلالِهْيَلَعَمَّلَسَوَالَق" :ُعْمَّالسُةَاعَّطالَوىَلَعِءْرَمْلاِمِلْسُمْلااَيمِفَّبََحأ،َهِرَكَواَمَْل
ْرَمْؤُي،ةَيِصْعَِِباَذِإَفَرُِمأةَيِصْعَِِبََلَفَعََْسَلَوةَاعَطَ ".
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan
kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah
ibnu Umar, dari Rasulullah saw yang telah bersabda: "Tunduk dan patuh diperbolehkan
bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak
diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk
dan tidak boleh patuh." (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam riwayat lain, Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadits Yahya
Al-Qattan:
Dari Ubadah bin Shamit, "Kami bersumpah setia kepada Rasulullah saw untuk tunduk patuh
dalam semua keadaan, baik dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan malas, dalam
keadaan sulit ataupun dalam keadaan mudah, dengan mengesampingkan kepentingan
pribadi, dan kami tidak akan merebut urusan dari yang berhak menerimanya." Rasulullah
saw bersabda:
َّلِإْنَأاْوَرَتاًرْفُكاًاحَوَبْمُكَدْنِعِيهِفَنِمِهَّلالانَهْرُب
"Terkecuali jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan di kalangan kalian, dan
ada bukti dari Allah mengenainya." (HR. Bukhari-Muslim) [ ]