dimensi-dimensi politik dlm proses kebijakan kesehatan jarang sekali diajarkan di fakultas kedokteran atau kesehatan masyarakat.
membaca, katanya jendela pengetahuan. recomended buat kawan-kawan kesehatan.
membaca, katalisator 3P pengilmuan-pengamalan-pengalaman. semoga bermanfaat :)
sumber : http://inilahkesmas.files.wordpress.com/2011/12/making-health-policy_book.pdf
1. 1
Kent Buse, Nicholas Mays & Gill
Making Health Policy
Understanding Health Policy
Membuat Kebijakan Kesehatan
Memahami Kebijakan Kesehatan
2. 2
Kent Buse, Nicholas Mays & Gill
Making Health Policy
Understanding Health Policy
Membuat Kebijakan Kesehatan
Memahami Kebijakan Kesehatan
3. 3
Daftar Isi
Bab 1
……………………………………………………………………..
6
Bab 2
……………………………………………………………………..
25
Bab 3
……………………………………………………………………..
67
Bab 4
……………………………………………………………………..
87
Bab 5
……………………………………………………………………..
114
Bab 6
……………………………………………………………………..
143
Bab 7
……………………………………………………………………..
170
Bab 8
……………………………………………………………………..
195
Bab 9
……………………………………………………………………..
224
Bab 10
……………………………………………………………………..
252
4. 4
Garis Besar Isi Buku
Pendahuluan
Buku ini memberikan pendahuluan yang lengkap untuk
mempelajari kekuasaan dan proses dalam kebijakan kesehatan. Buku
lain yang banyak tersedia berhubungan dengan isi kebijakan
kesehatan – apa arti kebijakan itu. Buku ini menggunakan ilmu
kedokteran, epidemiologi, teori organisasi atau ilmu ekonomi untuk
memberi bukti, atau evaluasi kebijakan kesehatan. Berbagai kelompok
dokter, ahli epidemiologi, ahli ekonomi kesehatan dan ahli teori
organisasi mengembangkan secara teknis jalan keluar yang masuk
akal atas masalah-masalah kesehatan masyarakat. Namun,
mengejutkan bahwa ternyata hanya ada sedikit bacaan bagi praktisi
kesehatan masyarakat yang berusaha memahami bagaimana isu-isu
yang dapat masuk ke dalam agenda kebijakan (dan bagaimana
merumuskan isu-isu ini agar dapat diterima dengan baik), bagaimana
para penyusun kebijakan mengolah bukti (dan bagaimana membangun
hubungan yang lebih baik diantara pengambil keputusan), dan
mengapa sejumlah inisiatif kebijakan dilaksanakan sedang yang lain
tidak. Dimensi-dimensi politik dalam proses kebijakan kesehatan
jarang sekali diajarkan di fakultas kedokteran atau kesehatan
masyarakat.
Mengapa Mempelajari Kebijakan Kesehatan?
Buku ini memadukan kekuasaan dan proses ke dalam suatu
pengkajian kebijakan kesehatan. Buku ini memandang kedua tema
tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk memahami
kebijakan. Siapa yang menyusun dan melaksanakan keputusan
kebijakan (mereka yang berkuasa) dan bagaimana keputusan diambil
(proses) sangat menentukan isi kebijakan kesehatan, dan kesehatan
masyarakat pada akhirnya. Untuk menjelaskan pandangan ini, ambil
kasus penyusunan kebijakan HIV di negara berpendapatan rendah.
Bila ahli ekonomi kesehatan dilibatkan sebagai penasehat menteri
kesehatan, maka besar kemungkinan langkah pencegahan yang akan
diambil (karena langkah pencegahan lebih menghemat dana daripada
langkah pengobatan). Namun, bila menteri kesehatan berkonsultasi
dengan perwakilan orang-orang penderita HIV, dan perusahaan
5. 5
farmasi, keputusan yang diambil mungkin adalah penekanan pada
pengobatan dan perawatan pasien. Walaupun jarang, organisasi
kewanitaan yang kuat dapat didengar oleh menteri, dimana para wanita
ini akan melobi untuk intervensi-intervensi memberdayakan wanita,
melindungi mereka dari seks yang tidak aman dan tidak dilindungi.
Penyatuan pandangan yang berbeda dan kebijakan yang dihasilkan
tergantung pada kekuasaan masing-masing pelaku dalam arena
kebijakan dan proses penyusunan kebijakan (misal, seberapa besar
kelompok yang dikonsultasi dan dilibatkan). Apakah intervensi HIV
preventif, kuratif, struktural diberikan atau tidak, prioritas pada
penanganan wabah HIV.
Semua kegiatan didasarkan pada politik. Sebagai contoh,
penelitian dalam masalah kesehatan masyarakat memerlukan dana.
Diberbagai universitas, ilmuwan kampus dan ilmuwan sosial saling
berlomba untuk mendapatkan dana penelitian. Politik akan menentukan
alokasi dana pemerintah untuk mendanai penelitian dalam bidang dan
disiplin ilmu yang berbeda, sedangkan perusahaan swasta akan
menginvestasikan dana mereka pada penelitian-penelitian yang
memberikan keuntungan terbesar. Politik tidak selesai sampai dengan
pendanaan, karena politik akan mengatur akses siapa yang diteliti dan
bahkan publikasi. Hasil yang tidak diharapkan akan disimpan dan
dibuang oleh penyandang dana proyek, dan hasil tersebut dapat dibawa
ke pengadilan atau diabaikan oleh para pengambil keputusan atau
mereka yang merasa tidak nyaman. Politik ada dimana-mana. Karena
alasan itulah, pemahaman terhadap politik dalam proses kebijakan
tidak diragukan sama pentingnya dengan pemahaman bagaimana obatobatan dapat meningkatkan kesehatan. Dengan cara lain, meski disiplin
akademik yang lain dapat memberikan bukti yang diperlukan untuk
meningkatkan kesehatan, tidak adanya pemahaman yang baik terhadap
proses kebijakan, jalan keluar teknis tidak akan cukup untuk merubah
praktek pelaksanaan di dunia nyata.
Buku ini ditujukan bagi mereka yang ingin memahami proses
kebijakan sehingga mereka memiliki bekal yang cukup untuk
mempengaruhinya dalam pekerjaan sehari-hari. Buku ini diharapkan
menjadi semacam pegangan bagi para profesional yang ingin
memperbaiki keterampilan mereka dalam memberi arah dan mengatur
proses kebijakan kesehatan – terlepas dari isu atau lingkungan
kesehatan.
6. 6
Susunan Buku
Pada konsepnya, buku ini disusun berdasarkan kerangka
analisa untuk kebijakan kesehatan yang dikembangkan oleh Walt dan
Gilson (1994). Kerangka ini berusaha untuk menyederhanakan apa
yang dalam prakteknya memiliki hubungan sangat komplek dengan
menjelaskannya melalui ‘segitiga kebijakan’. Kerangka ini
memperhatikan ‘konteks’ dimana kebijakan disusun dan dilaksanakan,
para ‘pelaku’ yang terlibat dalam penyusunan kebijakan, dan ‘proses’
yang berhubungan dengan pengembangan dan pelaksanaan kebijakan
– serta interaksi diantara ketiganya. Kerangka ini bermanfaat karena
dapat diterapkan di negara mana pun, dalam kebijakan apa pun, dan
dalam tingkatan kebijakan yang manapun. Teori yang berbeda serta
pendekatan disiplin ilmu, khususnya dari ilmu politik, hubungan
internasional, ilmu ekonomi, sosiologi, dan teori organisasi dibahas
dalam buku ini guna mendukung kerangka analisa sederhana ini dan
memberikan penjelasan lebih lanjut tentang proses kebijakan dan
kekuasaan.
Sepuluh bab dalam buku ini membahas tatap-tahap berbeda
dalam proses kebijakan. Bab 1 memberikan pendahuluan tentang
pentingnya dan makna kebijakan, penjelasan terhadap kerangka
analisa kebijakan, dan menunjukkan bagaimana kerangka tersebut
dapat digunakan untuk memahami perubahan dalam kebijakan. Bab 2
menggambarkan sejumlah teori yang membantu menjelaskan
hubungan antara kekuasaan dan penyusunan kebijakan, termasuk pula
hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana kekuasaan itu digunakan
oleh kelompok-kelompok yang berbeda, bagaimana sistem politik dan
pemerintahan merubah kekuasaan ke dalam kebijakan, bagaimana
kekuasaan didistribusikan, dan bagaimana kekuasaan mempengaruhi
proses pengambilan keputusan.
Bab 3 memperkenalkan sektor umum dan sektor swasta yang
berorientasi pada keuntungan. Bab 3 ini menunjukkan kembali
perubahan peran dari kedua sektor penting ini dalam kebijakan
kesehatan, agar dapat memberikan suatu latarbelakang kontekstual
bagi pemahaman isi dan proses penyusunan kebijakan kesehatan
kontemporer. Penyusunan agenda merupakan fokus dari Bab 4. Bab 5
kembali membahas tentang para pelaku dengan menekankan pada
lembaga pemerintah yang kembali berbeda dan pengaruh yang mereka
berikan. Bab 6 membahas pelaku di luar pemerintah. Sumber daya,
strategi dan keberhasilan dari jenis kelompok kepentingan dalam
sektor kesehatan dibandingkan dalam proses kebijakan.
7. 7
Bab 7 membahas proses kebijakan dengan memaparkan
pelaksanaan kebijakan. Bab ini membandingkan dan menyatukan
pendekatan ‘atas ke bawah’ (top-down) dan ‘bawah ke atas’ (bottomup)agar dapat menjelaskan pelaksanaannya (atau akan lebih banyak
membahas kekurangannya). Bab 8 memindahkan fokus pembahasan
ke tingkat global dan mengkaji peran berbagi pelaku dalam proses
kebijakan dan implikasi meningkatnya keterkaitan global dalam
penyusunan kebijakan di dalam negeri. Bab 9 meninjau evaluasi
kebijakan dan menggambarkan hubungan antara penelitian dan
kebijakan. Bab terakhir digunakan untuk melakukan pengkajian
kebijakan. Bab ini memperkenalkan suatu pendekatan politik untuk
pengkajian kebijakan, memberikan tips untuk mengumpulkan
informasi bagi pengkajian, dan petunjuk untuk menyajikan
pengkajian. Tujuan bab ini adalah untuk membantu pembaca dalam
mengembangkan strategi politik yang lebih baik untuk melaksanakan
reformasi kesehatan dalam kehidupan profesi.
Setiap bab diawali dengan garis besar isi, tujuan
pembelajaran, daftar istilah, kegiatan, feedback, dan ringkasan pendek,
serta daftar isi. Sejumlah kegiatan akan meminta pembaca untuk
merenungkan beragam aspek dalam kebijakan kesehatan yang dipilih
atas dasar kesamaan. Akan bermanfaat untuk mengesampingkan
terlebih dahulu dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
kebijakan yang anda pilih. Dokumen tersebut dapat berupa dokumen
pemerintah, laporan independen atas artikel dari penerbit ternama.
Ucapan Terimakasih
Buku ini disusun berdasarkan buku karangan Gill Walt,
Health Policy: An Introduction to Process and Power, 2nd edition
(1994). Kami berterima kasih kepada Profesor Calum Paton, Keele
University dalam proses penyempurnaan dan Deirdre Byrne,
manajerial, atas bantuan dan dukungan dalam persiapan buku ini.
Referensi
Walt G & Gilson L (1994). Reforming the health sector in developing
countries: the central role of policy analysis. Health Policy and
Planning 9: 353-70.
8. 8
1
Kerangka Kebijakan Kesehatan
Konteks, Proses dan Pelaku
Sekilas
Dalam bab ini anda mengetahui mengapa kebijakan
kesehatan itu penting serta bagaimana mengartikan kebijakan.
Kemudian anda akan diajak berpikir tentang kerangka analisa
sederhana yang mencakup pengertian konteks, proses, dan pelaku,
guna menunjukkan bagaimana ketiganya dapa membantu menjelaskan
bagaimana dan mengapa kebijakan berubah atau tidak berubah seiring
jalannya waktu.
Tujuan Pembelajaran
Setelah memahami bab ini, pembaca akan mampu untuk:
Memahami kerangka kebijakan kesehatan yang digunakan dalam
buku ini
Mengartikan konsep-konsep pokok dalam bab ini:
- kebijakan
- konteks
- pelaku
- proses
Menjelaskan bagaimana kebijakan kesehatan dibuat melalui
rangkaian hubungan konteks, proses dan pelaku
Istilah
Actor (pelaku): istilah sementara yang digunakan untuk merujuk ke
individu, organisasi atau bahkan negara, beserta tindakan mereka yang
mempengaruhi kebijakan.
Content (isi): subtansi dari suatu kebijakan yang memperinci bagian-bagian
dalam kebijakan.
Context (konteks): faktor-faktor sistematis – politik, ekonomi, sosial atau
budaya, baik nasional maupun internasional – yang dapat mempengaruhi
kebijakan kesehatan
9. 9
Policy (kebijakan): pernyataan yang luas tentang maksud, tujuan dan cara
yang membentuk kerangka kegiatan.
Policy Elites (elit kebijakan): kelompok khusus yang terdiri dari penyusun
kebijakan yang menduduki posisi tinggi dalam suatu organisasi, dan
memiliki akses khusus kepada sesama anggota terhormat dari organisasi
yang sama atau berbeda.
Policy makers (penyusun kebijakan): mereka yang menyusun kebijakan
dalam organisasi seperti pemerintah pusat atau daerah, perusahaan multinasional atau lokal, lembaga pendidikan atau rumah sakit.
Policy process (proses kebijakan): cara mengawali kebijakan,
mengembangkan menyusun, bernegosiasi, mengkomunikasikan,
melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan.
Mengapa Kebijakan Kesehatan Penting?
Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di
berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor
kesehatan sama seperti spons – menyerap banyak sumber daya
nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang
lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit
perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang technologi biomedis atau produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan
menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi.
Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai
pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau
apotik; atau sebagai profesi kesehatan – perawat, dokter, tenaga
pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena pengambilan
keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan,
kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding
dengan masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi sejumlah keputusan yang tidak
ada kaitannya dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi
kesehatan masyarakat, sama halnya dengan polusi, air kotor atau
sanitasi yang buruk. Kebijakan ekonomi, seperti pajak merokok, atau
alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat. Penyebab
mutakhir meningkatnya obesitas ditengah masyarakat mencakup
kesediaan makanan cepat saji murah namun tinggi kalori, penjualan
soft drinks di sekolah, juga menurunnya kebiasaan berolah raga.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan
kesehatan itu sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga
10. 10
memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan utama yang
terjadi saat ini – meningkatnya obesitas, wabah HIV/AIDS,
meningkatnya resistensi obat – sekaligus memahani bagaimana
perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada kesehatan.
Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi
kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan
membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli
bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang
dimaksud dengan kebijakan kesehatan.
Apa Kebijakan Kesehatan Itu?
Kebijakan sering diartikan sebagai sejumlah keputusan yang
dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan
tertentu – bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan atau
perdagangan. Orang-orang yang menyusun kebijakan disebut dengan
pembuat kebijakan. Kebijakan dapat disusun di semua tingkatan –
pemerintah pusat atau daerah, perusahan multinasional atau daerah,
sekolah atau rumah sakit. Orang-orang ini kadang disebut pula sebagai
elit kebijakan – satu kelompok khusus dari para pembuat kebijakan
yang berkedudukan tinggi dalam suatu organisasi dan sering memiliki
hubungan istimewa dengan para petinggi dari organisasi yang sama
atau berbeda. Misal: elit kebijakan di pemerintahan dapat
beranggotakan para menteri dalam kabinet, yang semuanya dapat
berhubungan dan bertemu dengan para petinggi perusahaan multi
nasional atau badan internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO).
Kebijakan disusun disektor swasta dan pemerintah. Di sektor
swasta, konglomerat multi nasional dapat menyusun kebijakan bagi
semua anak perusahaannya diseluruh dunia, tetapi memberi
kesempatan kepada anak perusahaan di daerah untuk memutuskan
kebijakan mereka sendiri dengan sejumlah syarat. Sebagai contoh:
perusahaan seperti Anglo-American dan Heineken mengeluarkan
terapi anti-retroviral untuk para pekerjanya yang menderita HIV
positif di Afrika ditahun 2000 sebelum pemerintah yang lain
melakukan hal yang sama. Namun, perusahaan swasta harus
memastikan bahwa kebijakan mereka disusun sesuai dengan hukum
yang berlaku umum, yang disusun oleh pemerintah.
Kebijakan publik mengacu kepada kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh: Thomas Dye (2001) menyatakan bahwa kebijakan
11. 11
umum adalah segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilaksanakan atau tidak. Ia berpendapat bahwa kegagalan untuk
membuat keputusan atau bertindak atas suatu permasalahan juga
merupakan suatu kebijakan. Misal: pemerintah Amerika terus menerus
memutuskan untuk tidak menetapkan layanan kesehatan universal,
tetapi mengandalkan program market-plus untuk warga sangat miskin
dan lansia 65 tahun keatas, guna memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakatnya.
Ketika mempertimbangkan contoh-contoh dalam kebijakan
publik, pembaca harus mempertimbangkan pula pernyataan atau
pendapat resmi yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah atau
departemen. Pernyataan atau pendapat tersebut dapat digunakan dalam
pencapaian tujuan tertentu (melaksanakan program pelarangan
bertukar jarum guna mengurangi resiko diantara pengguna obat) atau
menyelesaikan suatu masalah memungut tarif untuk kendaraan guna
mengurangi kepadatan lalu lintas di daerah perkotaan).
Kebijakan dapat mengacu kepada kebijakan kesehatan atau
ekonomi yang disusun pemerintah dimana kebijakan tersebut
digunakan sebagai batasan kegiatan atau suatu usulan tertentu –
“dimulai pada tahun yang akan datang, akan menjadi suatu kebijakan
universitas untuk memastikan bahwa seluruh mahasiswa diwakili di
dewan mahasiswa”. Kadang kebijakan disebut sebagai suatu program:
program kesehatan sekolah yang dicanangkan pemerintah dapat
memiliki sejumlah kebijakan yang berbeda: menolak calon siswa
sebelum mereka memperoleh vaksin imunisasi penyakit anak,
menyelenggarakan pemeriksaan medis, mensubsidi makanan sekolah
dan pendidikan kesehatan yang wajib disertakan dalam kurikulum.
Program kesehatan sekolah tersebut menjadi kebijakan bagi anak usia
sekolah. Dalam contoh ini, jelas bahwa kebijakan tidak hanya
berpangkal pada satu keputusan saja tetapi meliputi sejumlah
keputusan yang mengarah ke suatu arah tindakan yang luas sepanjang
waktu. Keputusan atau tindakan ini dapat disengaja atau tidak sengaja
terdefinisi atau dianggap sebagai kebijakan.
Seperti yang pembaca ketahui, ada banyak cara yang
mendefinisikan kebijakan. Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang
menyatakan bahwa kebijakan umum adalah apa yang dilaksanakan
dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah tampaknya berlawanan
dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala kebijakan disusun
untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan
12. 12
Feedback
Policy (kebijakan) adalah keputusan yang diambil oleh pihak-pihak
yang bertanggung jawab atas area kebijakan tertentu.
Public policy (Kebijakan publik) merujuk pada kebijakan – kebijakan
yang dibuat oleh negara atau pemerintah.
Health policy (kebijakan kesehatan) mencakup tindakan yang
mempengaruhi institusi, organisasi, pelayanan, dan upaya pendanaan
sistem kesehatan.
Segitiga Kebijakan Kesehatan
Kerangka yang digunakan dalam buku ini memahami
pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan
kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan
kesehatan. Hal tersebut mengarah ke pemaparan peran Negara secara
nasional dan internasional, serta kelompok-kelompok yang
membentuk masyarakat sosial secara nasional dan global, memahami
bagaimana mereka berinteraksi dan mempengaruhi kabijakan
kesehatan. Juga berarti pemahaman terhadap proses dimana pengaruhpengaruh tersebut diolah (contoh: dalam penyusunan kebijakan) dan
konteks dimana para pelaku dan proses yang berbeda saling
berinteraksi. Kerangka ini (Gambar 1.1) berfokus pada isi, konteks,
proses dan pelaku. Kerangka tersebut dapat digunakan dalam buku
karena membantu dalam mengeksplorasi secara sistematis bidang
politik yang terabaikan dalam kebijakan kesehatan dan kerangka
tersebut dapat diterapkan dinegara dengan penghasilan rendah,
menengah dan tinggi.
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan
yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang
kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke-empat faktor
dapat dipertimbangkan secara terpisah. Tidak demikian seharusnya!
Pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang
individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam
konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti: ketidak-stabilan atau ideologi, dalam hal
sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana
isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut
dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka
dalam strutur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi
dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi,
13. 13
segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis
tentang pelaku-pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi
kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang menunjukkan jalanjalan utama sekaligus bukit, sungai, hutan, jalan setapak dan
pemukiman.
Konteks
Actor
Individu
Grup
Organisasi
Isi/ Content
Proses
Gambar 1.1 Segitiga Analisis Kebijakan
Sumber: Walt and Gilson (1994)
Para Pelaku Penyusun Kebijakan
Seperti yang pembaca lihat dalam Gambar 1.1., pelaku
berada ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku dapat
digunakan untuk menunjuk individu (seorang negarawan – Nelson
Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, misal), organisasi seperti
World bank atau perusahaan multi-nasional seperti Shell, atau bahkan
suatu Negara atau pemerintahan. Namun, penting untuk dipahami
bahwa itu semua adalah penyederhanaan. Individu tidak dapat
dipisahkan dari organisasi dimana mereka bekerja dan setiap
organisasi atau kelompok dibangun dari sejumlah orang yang berbeda,
yang tidak semuanya menyuarakan hal yang sama, yang masingmasing memiliki norma dan kepercayan yang berbeda.
Dalam bab-bab selanjutnya, pembaca akan melihat banyak
pelaku yang berbeda beserta cara untuk membedakan mereka supaya
dapat mengkaji siapa yang memiliki pengaruh dalam proses
kebijakan. Sebagai contoh: ada banyak cara untuk menggambarkan
kelompok-kelompok diluar daerah. Dalam hubungan internasional,
ada kebiasaan untuk membicarakan pelaku-pelaku non pemerintah.
Ilmuwan politik menganggapnya sebagai kelompok yang
berkepentingan dan kelompok yang menekan. Dalam perkembangan
14. 14
literatur, kelompok-kelompok ini sering disebut organisasi sosial
masyarakat (organisasi yang berdiri diantara pemerintah dan individu/
keluarga). Yang membedakan dari pelaku pemerintah adalah mereka
tidak mencari kekuatan politik yang formal untuk diri mereka sendiri,
meskipun mereka benar-benar ingin mempengaruhi mereka yang
memiliki kekuasan politik secara formal.
Terkadang sejumlah kelompok yang berbeda berkumpul
untuk menunjukkan sikap mereka terhadap isu tertentu – disebut
sebagai gerakan sosial atau gerakan masyarakat. Sebagai contoh,
gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berbeda di
tahun 1980an membuat perubahan politik dalam rezim sosialis di
Eropa Timur. Banyak gerakan social yang berjuang untuk
kemerdekaan, otonomi atau melawan rezim politik tertentu (gerakan
Zapatista di Provinsi Chiapas, Mexico, adalah bagian dari suatu
gerakan diseluruh Amerika Latin untuk mempertahankan hak
penduduk asli).
Para pelaku ini berusaha untuk mempengaruhi proses politik
ditingkat lokal, nasional, atau internasional. Seringkali mereka
merupakan bagian jaringan yang sering disebut sebagai partner, untuk
mengkonsultasikan dan memutuskan kebijakan diseluruh tingkatan
ini. Di tingkat lokal, sebagai contoh, pekerja kesehatan masyarakat
dapat bekerja dengan pegawai lingkungan, guru sekolah setempat, dan
bahkan perusahaan setempat. Dalam sisi spektrum yang lain, para
pelaku ini dapat pula dihubungkan dengan pelaku lain antar daerah,
sebagai contoh, mereka bisa menjadi anggota jaringan kerja antar
pemerintahan (yakni: pejabat pemerintahan dalam satu departemen
dari pemerintahan suatu negara, mengambil pelajaran dari pilihanpilihan yang diambil oleh pejabat pemerintahan dari satu negara yang
lain); atau mereka bisa saja menjadi bagian dari komunitas kebijakan
– jaringan professional yang saling bertemu dalam forum ilmiah atau
bekerja sama dalam proyek penelitian. Yang lain mungkin
membentuk jaringan isu – bertindak bersama dalam satu isu tertentu.
Di Bab 6 pembaca akan belajar banyak mengenai perbedaan diantara
kelompok-kelompok ini beserta peran mereka dalam proses kebijakan.
Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku
tersebut dalam proses kebijakan berarti pula memahami konsep
kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku
mungkin berusaha untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai
dimana pengaruh tersebut tergantung pada bagaimana mereka
memandang kekuasaan tersebut. Kekuasaan dapat dikategorikan
15. 15
berdasarkan kekayaan pribadi, kepribadian, tingkat atau akses kepada
ilmu pengetahuan, atau kewenangan, tetapi hal tersebut sangat
berhubungan dengan organisasi dan struktur (termasuk jaringan kerja)
dimana para pelaku individu ini bekerja dan tinggal. Ahli sosiologi
dan ilmu politik membahas hubungan diantara lembaga dan struktur
dengan mengedepankan pengertian bahwa kekuasaan para pelaku
(pejabat) terikat dalam stuktur organisasi mereka sendiri. Pembaca
akan memahami lebih dalam tentang pengertian kekuasaan dalam
Bab 2 tetapi buku ini berpendapat bahwa kekuasaan adalah hasil dari
hubungan antara lembaga dan struktur.
Kegiatan 1.2
Buatlah daftar perbedaan actor (pelaku) yang mungkin
terlibat dalam kebijakan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS.
Masukkan pelaku-pelaku tersebut dalam kelompok yang berbeda.
Feedback
Pembaca dapat mengelompokkan pelaku dengan berbagai
cara dan daftar tersebut mungkin spesifik untuk daerah tertentu dan
dapat berubah sepanjang waktu. Contoh di bawah ini mungkin sesuai
tapi setidaknya dapat memberikan ide mengenai pengkategorian dan
pelaku – pelaku yang terlibat. Jangan khawatir jika pembaca tidak
mengetahui karena keterangan selanjutnya akan pembaca dapatkan
pada bab berikutnya.
Pemerintah (menteri kesehatan, menteri pendidikan, menteri
tenaga kerja)
NGO,
Non-Govermental organizations, Internasional
(Medecins Sans Frontieres, Oxfam)
NGO nasional
Kelompok – kelompok terkait (Treatment Action Campaign)
Organisasi internasional ( WHO, UNAIDS, World Bank)
Agen bilateral (DFID, USAID, SIDA)
Organisasi pendonor (The Global Fund, PEPFAR)
Faktor Kontekstual yang Mempengaruhi Kebijakan
Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan social,
national dan internasional – yang mungkin memiliki pengaruh pada
kebijakan kesehatan. Ada banyak cara untuk mengelompokkan faktofaktor tersebut, tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup
bermanfaat:
16. 16
Konteks mengacu ke faktor sistematis – politk, ekonomi dan social,
national dan internasional – yang memiliki pengaruh pada kebijakan
kesehatan. Banyak cara untuk mengelompokkan fakto-faktor tersebut,
tetapi Leichter (1979) memaparkan cara yang cukup bermanfaat:
Faktor situasional, merupakan kondisi yang tidak permanen
atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh:
perang, kekeringan). Hal-hal tersebut sering dikenal sebagai
‘focusing event’ (lihat Bab 4). Event ini bersifat satu kejadian
saja, seperti: terjadinya gempa yang menyebabkan perubahan
dalam aturan bangunan rumah sakit, atau terlalu lama perhatian
publik akan suatu masalah baru. Contoh: terjadinya wabah HIV/
AIDS (yang menyita waktu lama untuk diakui sebagai wabah
internasional) memicu ditemukannya pengobatan baru dan
kebijakan pengawasan pada TBC karena adanya kaitan diantara
kedua penyakit tersebut – orang-orang pengidap HIV positif
lebih rentan terhadap berbagai penyakit, dan TBC dapat dipicu
oleh HIV.
Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang
relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik,
mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan
bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan
dan keputusan kebijakan; faktor struktural meliputi pula jenis
ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja. Contoh, pada saat gaji
perawat rendah, atau terlalu sedikit pekerjaan yang tersedia
untuk tenaga yang sudah terlatih, negara tersebut dapat
mengalami perpindahan tenaga professional ini ke sektor di
masyarakat yang masih kekurangan. Faktor struktural lain yang
akan mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu masyarakat
adalah kondisi demografi atau kemajuan teknologi. Contoh,
negara dengan populasi lansia yang tinggi memiliki lebih
banyak rumah sakit dan obat-obatan bagi para lansianya, karena
kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia.
Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan
dengan sesar dibanyak negara. Diantara alasan-alasan tersebut
terdapat peningkatan ketergantungan profesi kepada teknologi
maju yang menyebabkan keengganan para dokter dan bidan
untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan.
Dan tentu saja, kekayaan nasional suatu negara akan
berpengaruh kuat tehadap jenis layanan kesehatan yang dapat
diupayakan.
17. 17
karena kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia.
Perubahan teknologi menambah jumlah wanita melahirkan dengan
cesar dibanyak negara. Diantara alasan-alasan tersebut terdapat
peningkatan ketergantungan profesi kepada teknologi maju yang
menyebabkan keengganan para dokter dan bidan untuk mengambil
resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan tentu saja, kekayaan
nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis layanan
kesehatan yang dapat diupayakan.
Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam
masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat
sulit untuk bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior.
Kedudukan sebagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat
menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak
memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana
para wanita tidak dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas
kesehatan (karena harus ditemani oleh suami) atau dimana terdapat
stigma tentang suatu penyakit (misal: TBC atau HIV), pihak yang
berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah atau
kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat
mempengaruhi kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistennya President George W. Bush pada awal tahun 2000-an
dalam hal aturan seksual dengan meningkatnya pemakaian kontrasepsi
atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut mempengaruhi
kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan
kesehatan reproduksi sangat dibatasi atau dana dari pemerintah
Amerika dikurangi apabila mereka gagal melaksanakan keyakinan
tradisi budaya Presiden Bush.
Faktor
internasional atau exogenous, yang menyebabkan
meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi
kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan (lihat Bab
8). Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan
pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan
kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral.
Contoh, pemberantasan polio telah dilaksanakan hampir di seluruh
dunia melalui gerakan nasional atau regional, kadang dengan bantuan
badan internasional seperti WHO. Namun, meskipun satu daerah telah
berhasil mengimunisasi polio seluruh balitanya dan tetap
mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke daerah
tersebut dibawa oleh orang-orang yang tidak diimunisasi yang masuk
lewat perbatasan.
18. 18
Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan
tergantung pada waktu dan tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris
mengeluarkan kebijakan kesehatan mengenai penyakit menular
seksual diseluruh Kerajaan Inggris Raya. Berdasar asumsi kolonial
yang dominan, meskipun melihat bagaimana suku dan jenis kelamin
diterapkan dalam masyarakat Inggris, tetap mempertimbangkan
kebijakan yang mencerminkan prasangka dan asumsi kekuasaan
penjajah, daripada kebijakan yang sesuai dengan budaya setempat.
Levine (2003) menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita
harus mendaftarkan diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja
prostitusi, suatu kebijakan yang didasarkan pada kepercayaan Inggris
bahwa prostitusi tidak membawa tabu atau stigma tertentu di India.
Kepolisian kolonial yang mengurusi prostitusi mengharuskan rumahrumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak berwenang setempat.
Asumsi bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak mengakui
kebebasan para pekerjanya menyebabkan pihak colonial yang
berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang mewajibkan pemilik
rumah pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan pekerja
mereka. Di Inggris sendiri, rumah pelacuran ilegal dan kebijakan
mengenai pekerja seks wanita yang ada adalah yang khusus
mengurusi mereka “yang berkeliaran di jalan”.
Contoh menarik bagaimana konteks mempengaruhi kebijakan
dipaparkan oleh Shiffman dan rekannya (2002). Mereka
membandingkan hak reproduksi di Serbia dan Croatia, dimana, setelah
pemerintahan federal Yugoslavia terpecah, pemerintah menganjurkan
para wanitanya untuk memiliki lebih banyak anak. Penulis
berpendapat bahwa kebijakan yang mendukung kelahiran disebabkan
oleh keyakinan para elit dikedua negara bahwa ketahanan nasional
sedang diujung tanduk. Keyakinan para elit ini disebabkan oleh
beberapa faktor: salah satunya adalah pergeseran dari filosofi sosialis
mengenai emansipasi wanita ke ideologi yang lebih nasionalis. Faktor
yang lain adalah perbandingan yang dibuat oleh kalangan elit antara
tingkat kesuburan yang rendah diantara suku Serb di Serbia dan suku
Croats di Croatia, dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi di
kelompok suku lain yang terdapat di dua negara.
Untuk memahami bagaimana kebijakan kesehatan berubah,
atau tidak, mempunyai arti kemampuan untuk mengkaji kontek
dimana kebijakan tersebut dibuat, dan mencoba menilai sejauh mana
jenis-jenis faktor tersebut dapat mempengaruhi kebijakan yang
dihasilkan.
19. 19
Kegiatan 1.3
Pikirkan tentang kebijakan HIV/AIDS yang dilaksanakan di
negara pembaca masing-masing. Sebutkan faktor-faktor kontekstual
yang mungkin mempengaruhi cara bagaimana kebijakan itu
dikembangkan. Ingat bahwa faktor-faktor kontekstual telah dibedakan
menjadi empat faktor yang berbeda.
Feedback
Jelas bahwa masing-masing konteks memiliki sifat yang khusus, tetapi
jenis faktor kontekstual yang mungkin akan pembaca identifikasi
adalah:
Situasional
Perdana menteri atau presiden yang baru saja berkuasa dan
memutuskan kebijakan AIDS sebagai prioritas.
Kematian seseorang yang terkenal karena AIDS.
Struktural
Peran media atau LSM dalam mempublikasikan (atau tidak)
wabah AIDS — yang berkaitan dengan tingkatan dimana sistem
politik terbuka atau tertutup.
Bukti meningkatnya angka kematian karena AIDS yang
dipublikasikan – mungkin hanya dipublikasikan diantara
kelompok tertentu seperti tenaga kesehatan.
Budaya
Gerakan dari kelompok keagamaan – baik yang positif maupun
negatif – terhadap penderita HIV/AIDS atau perilaku seksual.
Internasional
Peran donor internasional – sumber dana ekstra yang diperoleh
melalui insentif global seperti Global Fund untuk AIDS, TB dan
Malaria.
Proses Penyusunan Kebijakan
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai,
dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan,
dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering
digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan
20. 20
menggunakan apa yang disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan
Jenkins-Smith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi proses
kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu
model dan tidak selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi
didunia nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk
memahami penyusunan kebijakan dalam tahapan-tahapan yang
berbeda:
Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu
yang ada dapat masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu
– isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan. Dalam Bab 4,
pembaca akan mengetahui tahap ini dengan lebih rinci.
Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat
dalam perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan,
disetujui, dan dikomunikasikan. Peran penyusunan kebijakan
dalam pemerintahan dibicarakan pada Bab 5 serta pihak-pihak
yang terkait dibahas pada bab 6
Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan
dan sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kedua
tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan
sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan
sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama
dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi – dan
hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan. isu ini dibahas
dalam Bab 7.
Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat
kebijakan dilaksanakan – bagaimana pengawasannya, apakah
tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak
diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan
dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru
ditetapkan. Bab 9 akan membahas tahap ini.
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang
berguna dan sederhana ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti
proses yang linier – dengan kata lain, proses ini berjalan dengan mulus
dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah hingga ke
pelaksanaan dan evaluasi. Namun, sebenarnya jarang terlihat jelas
sebagai suatu proses. Mungkin pada saat tahap pelaksanaan masalah
baru ditemukan atau kebijakan mungkin diformulasikan tetapi tidak
pernah mencapai tahap pelaksanaan. Dengan kata lain, penyusunan
kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional – iterative dan
21. 21
dipengaruhi oleh kepentingan sepihak yaitu pelaku. Banyak yang
sependapat dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah
sesuatu yang dicampur aduk oleh para penyusun kebijakan. Perihal ini
akan dibahas lebih mendalam dalam Bab 2.
Namun, tahap heuristics telah berlangsung sekian lama dan
tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak
hanya kebijakan tingkat nasional tetapi juga internasional guna
memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia.
Kegiatan 1.4
Ringkasan mengenai pasang surutnya kebijakan tentang TBC
yang dirangkum oleh Jessica Ogden dan rekan-rekannya (2003)
menggambarkan adanya tahapan yang berbeda dalam proses
kebijakan dimana memperhatikan pula konteks, pelaku serta proses:
Pada saat anda membacanya, terapkan pula segitiga kebijakan
kesehatan:
1.
2.
3.
4.
Tunjukkan dan tuliskan siapa para pelakunya!
Proses apa yang anda temukan?
Apa yang dapat pembaca bedakan dalam konteks?
Dibagian apa isi (konten) berperan dalam penetapan kebijakan?
Memasukkan TB pada Agenda Kebijakan dan Menyusun
1970: masa ketidak-pedulian dan kepuasan
Selama tahun 1970, program pemberantasan TB dilaksanakan
di banyak negara berpendapatan penduduk rendah dan menengah,
dengan mencapai hasil yang biasa saja. Hanya ada satu LSM
internasional, International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD), yang berusaha mencari jalan untuk meningkatkan
program TB, sebagian besar melalui upaya yang dilakukan oleh salah
satu dokter umum yang bergabung dalam LSM tersebut, Karel Styblo.
Sejak awal 1980an, Stybo and IUATLD berusaha untuk
mengembangkan suatu strategi pengawasan dengan menggunakan
pengobatan jangka pendek (6 bulan) yang dapat dilaksanakan dan
efektif di negara berkembang. Pada saat program pemberantasan TB
masih menggunakan pengobatan dengan jangka waktu lebih lama,
sedangkan komunitas kesehatan masyarakat tidak setuju dengan best
practice dalam pengobatan TB.
Selain itu, konteks kebijakan kesehatan internasional tahun
22. 22
tahun 1970-an menolak pengembangan pendekatan vertikal yang
dilakukan oleh IUATLD dalam pemberantasan TB. Masa ini adalah
saat WHO, khususnya Direktur Jenderal, Halfdan Mahler,
mencanangkan tujuan ‘Kesehatan untuk Semua Tahun 2000’. Tujuan
ini akan dicapai melalui gerakan mengembangkan dan
mengintegrasikan layanan kesehatan dasar negara miskin. Kesehatan
menekankan pada integrasi keluarga berencana dan imunisasi dalam
layanan kesehatan, bukan penetapan program vertikal (khusus)
pemberantasan penyakit.
Akhir 1980-an: masa kelahiran kembali dan masa melakukan
percobaan
Minat dan perhatian kembali diberikan pada program TB
mulai pertengahan 1980-an oleh negara-negara industri pada saat
terjadi peningkatan jumlah kasus dan jumlah penyakit akibat
penggunaan obat. Pada saat itu sebagian orang percaya bahwa TB
merupakan penyakit masa lalu. Terdapat peningkatan bukti bahwa TB
dan HIV/AIDS saling terkait, dan banyak kematian karena TB
dihubungkan dengan HIV.
Sejumlah badan internasional mengawali proses menjadikan
TB sebagai agenda kebijakan kesehatan internasional. World bank
membuat suatu kajian terhadap sejumlah intervensi kesehatan yang
berbeda sebagai bagian dari pengkajian prioritas sektor kesehatan, dan
menjadikan Pemberantasan TB sebagai intervensi dengan efektifitas
biaya yang tinggi. Komisi Ad Hoc Bidang Penelitian Kesehatan (yang
terdiri dari ahli-ahli kesehatan masyarakat terkemuka, dengan
bersekretariat di Universitas Harvard) juga menilai TB sebagai
penyakit yang tidak diperdulikan. Para anggota komisi tersebut
bertemu Styblo, dan terkesan dengan pendekatan yang dilakukannya.
WHO memperluas Unit TB-nya, dan menugaskan Arata Kochi,
mantan pejabat UNICEF sebagai kepala unit TB yang baru. Salah satu
dari tugas pertamanya adalah sebagai tenaga ahli untuk advokasi dan
komunikasi.
Advokasi membuka kesempatan
Program TB WHO berubah dari penekanan teknis menjadi
advokasi intensif pada 1993. Salah satu buktinya adalah peristiwa
media di London pada April 1993 yang mendeklarasikan TB sebagai
suatu ‘Global Emergency’. Yang kedua adalah nama sebutan untuk
kebijakan TB yang baru – DOTS – Directly Observed Therapy
23. 23
(Terapi Pengamatan Langsung), jangka pendek. DOTS terdiri dari
lima komponen: terapi pengamatan langsung (dimana petugas
kesehatan mengawasi pasien yang sedang mengkonsumsi obat);
pengujian dahak; sistem pencatatan pasien; penyediaan obat yang
efektif; dan komitmen politik.
Proses pemberian sebutan baru ini mengejutkan komunitas
akademik dan ilmiah. Kesenjangan terjadi antara ahli politik dan
operasional yang menginginkan diberlakukannya strategi baru (yang
menekankan pentingnya pengembangan vaksin dan obat baru untuk
TB) serta ahli teknis dan ilmiah (yang sebagian besar merupakan
komunitas akademik) yang menyatakan bahwa strategi WHO yang
baru tidak hanya terlalu menyederhanakan penanganan TB tetapi juga
mengurangi pendanaan untuk pengembangan penelitian. Ahli lain
tidak sependapat dengan apa yang awalnya dianggap sebagai
kebijakan yang sangat autokratik, yang membatasi kesempatan untuk
membicarakan cara – cara alternatif untuk mengendalikan TB.
Feedback
1. Pembaca telah mengenali pelaku-pelaku berikut:
a. Karel Styblo, Haalf dan Mahler, Arata Kochi (beserta organisasi
dimana mereka bekerja yang telah meletakkan dasar untuk
pengaruh mereka: IUATLD, WHO, UNICEF).
b. Ahli advokasi dan komunikasi yang tidak disebut namanya.
c. World bank, Komite Ad Hoc Bidang Penelitian Kesehatan
d. Jaringan: komunitas kesehatan masyarakat, ahli TB, ahli teknis
dan ilmiah yang berminat dalam penelitian obat dan vaksin baru
untuk TB.
2. Proses
Cerita ini dibagai dalam dekade yang menunjukkan tahap tidak
dihiraukan pada tahun 1970an (dimana program TB dilaksanakan
dibanyak negara tetapi tidak ada perhatian untuk memperbaiki
dampaknya); suatu tahap dimana masalah ditemukan pada tahun
1980-an yang menghubungkan wabah HIV/AIDS dengan
meningkatnya kasus TB melalui penelitian dan pengalaman.
Kemudian disusunnya agenda pada tahun 1990-an dimana gerakan
publik mengembalikan TB pada agenda kebijakan internasional.
3. Konteks
Sejumlah hal yang bisa pembaca masukkan dalam konteks adalah:
24. 24
kepuasaan diri di negara industri sampai dengan akhir tahun 1980an, karena TB dianggap telah diberantas. Hal ini tidaklah benar di
negara berpenghasilan rendah, sebagian disebabkan oleh hubungan
antara TB dan kemiskinan. Pembaca bisa menyebutkan bahwa
WHO sedang mencanangkan kebijakan ‘Kesehatan untuk Semua’
yang dimaksudkan untuk layanan kesehatan terpadu, dan menolak
program khusus serta vertikal dalam rancangan program TB yang
dulu.
4. Konten (isi)
Pembaca mungkin telah mencatat konten teknis dalam kebijakan
TB seperti pemberian obat jangka pendek. Pembaca mungkin juga
sudah mencatat kepanjangan dari DOTS beserta perbedaanperbedaan yang dimilikinya.
Menggunakan Segitiga Kebijakan Kesehatan
Pembaca bisa menggunakan segitiga kebijakan kesehatan
untuk mengkaji atau memahami kebijakan tertentu atau pembaca
dapat menerapkannya untuk merencanakan suatu kebijakan khusus.
Yang pertama tadi mengacu kepada pengkajian kebijakan, sedangkan
yang kedua mengenai pengkajian untuk kebijakan.
Pengkajian kebijakan pada umumnya bersifat retrospektif –
pengkajian ini melihat kembali penentuan kebijakan (bagaimana
kebijakan dapat dimasukkan kedalam agenda, bagaimana awal dan
perumusannya, apa isi kebijakan tersebut (konten). Pengkajian ini juga
meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan – apakah dapat mencapai
tujuan? Apakah dapat dianggap berhasil?
Pengkajian untuk kebijakan biasanya bersifat prospektif –
pengkajian yang melihat ke depan dan mencoba untuk mengantisipasi
apa yang akan terjadi jika suatu kebijakan tertentu dilaksanakan.
Pengkajian ini memberikan pemikiran strategis untuk masa
mendatang dan dapat mengarah ke advokasi dan lobi kebijakan.
Sebagai contoh: sebelum pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan
tentang penggunaan sabuk pengaman mobil yang wajib untuk
mengurangi angka kematian karena kecelakaan, pemerintah Inggris
mengadakan kampanye pendidikan nasional untuk mempengaruhi
masyarakat pada bukti yang menunjukkan bahwa sabuk pengaman
mengurangi kematian dan pemerintah juga mengkonsultasi pihak
kepolisian dan perusahaan mobil sebelum kebijakan tentang
pemakaian wajib sabuk pengaman dan pihak kepolisian menjamin
25. 25
pelaksanaannya. Pada Bab 10, pembaca akan mempelajari sejumlah
metode, seperti pengkajian pemegang keputusan, guna membantu
dalam prospektif perencanaan kebijakan.
Sebuah contoh tentang bagaimana pengkajian kebijakan
dapat membantu dalam tindakan untuk kebijakan dapat dilihat dalam
penelitian yang dilakukan oleh McKee et al. (1996) dimana mereka
membandingkan kebijakan yang dilaksanakan di sejumlah negara
berpenghasilan tinggi dalam pencegahan kematian bayi mendadak –
kadang disebut dengan ‘cot deaths’. Penelitian telah menemukan
bahwa kematian semacam ini dapat dihindari dengan menidurkan bayi
terlentang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bukti telah
ditemukan awal tahun 1980-an tetapi baru dilaksanakan beberapa
tahun kemudian dan sejumlah negara tidak segera menetapkan cara ini
agar mendorong orang tua untuk menidurkan bayi mereka terlentang.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa bukti statistik dianggap tidak
penting, sama halnya dengan pemerintah dibanyak negara yang tidak
tanggap akan adanya angka kematian bayi mendadak yang selalu
meningkat meski banyak bukti disekitar mereka. Sebaliknya, mereka
lebih menekankan pada program-program yang disiarkan media, serta
kegiatan dan feedback oleh LSM yang dianggap lebih penting.
Pelajaran yang dapat diambil tentang kebijakan tergantung
pada sistem politik: dalam pemerintahan federal, nampaknya ada
penyebaran kewenangan, kegiatan pusat sulit dilaksanakan. Hal ini
dapat diatasi dengan kampanye regional yang terorganisasi baik, serta
mengajak LSM dan media untuk ikut memperhatikan isu tersebut. Di
sebuah negara, layanan statistik yang terdesentralisasi mengakibatkan
kelambatan dalam memperoleh data kematian. Akibatnya pengenalan
masalah memerlukan waktu lebih lama. Penulis menyimpulkan bahwa
masih banyak negara yang harus mengkaji kembali tatanan mereka
dalam menghadapi bukti tantangan kesehatan masyarakat.
Ringkasan
Pembaca telah dikenalkan dengan definisi kebijakan dan
kebijakan kesehatan dalam bab ini, serta kerangka pengkajian
terhadap konteks, proses dan pelaku, yang akan membantu pembaca
dalam memahami politik yang berpengaruh pada proses penyusunan
kebijakan. Pembaca telah mempelajari bahwa segitiga kebijakan
dapat digunakan secara retrospektif – untuk menganalisis kebijakan
dimasa lalu, dan secara prospektif – membantu dalam perencanaan
untuk mengubah kebijakan yang sudah ada. Banyak konsep yang
26. 26
sudah pembaca ketahui ini akan diperluas dan diberi gambaran yang
lebih dalam bab-bab selanjutnya.
Referensi
Aderson J (1975). Public Policy Making. London: Nelson
Dye T (2001). Top Down Policymaking. London: Chatham House
Publisher
Leichter H (1979). A Comparative Approach to Policy Analysis:
Health Care Policy in Four Nation. Cambridge: Cambridge
University Press
Levine P (2003). Prostitution, Race and Politics: Policing Veneral
Disease in the British Empire. New York: Routlege
Lindblom CE (1959). The science of muddling through. Public Administrative Review 19: 79-88
McKee M, Fulop N, Bouvier P, Hort A, Brand H, Rasmussen R,
Kohler L, Varsovsky Z dan Rosdhl N (1996). Preventing
sudden infant deaths – the slow diffussin of an idea. Health
Policy 37: 117-35
Ogden J, Walt G dan Lush (2003). The Politics of ‘branding’ in policy transfer: The case of DOTS for tuberculosis control. Social Science and Medicine 57(1): 163-72
Sabatier P dan Jenkins-Smith H (1993). Policy Change and Learning. Boulder, CO: Westview Press
Shiffman J, Skarbalo M dan Subotic J (2002). Reproductive rights
and the state in Serbia and Croatia. Social Science and Medicine 54: 625-42
Watl G (1994). Health Policy: An Introduction to Process and
Power. London: Zed Books
Walt G dan Gilson L (1994). Reforming the health sector in developing countries: The central role of policy analysis. Health
Policy and Planning 9: 353-70
27. 27
2
Kekuasaan dan Proses Kebijakan
Sekilas
Dalam bab ini Pembaca akan mempelajari mengapa
pemahaman mengenai kekuasaan bersifat fundamental dalam
pengkajian kebijakan. Disamping itu akan dipaparkan sejumlah teori
yang diharapkan membantu Pembaca memahami hubungan antara
kekuasaan dan proses kebijakan. Penjelasan tersebut
meliputi
kekuasaan, pembagian kekuasaan di tengah masyarakat dan
bagaimana pemerintah membuat keputusan. Pemaparan teoritis ini
akan menjelaskan mengapa pembuatan keputusan tidak hanya sekedar
proses rasional tetapi lebih menyerupai hasil perjuangan kelompokkelompok pelaku yang saling bersaing.
Tujuan Pembelajaran
Pada akhir bab ini, Pembaca diharapkan mampu untuk:
Membedakan tiga dimensi kekuasaan dan menerapkannya pada
penyusunan kebijakan kesehatan
teori-teori yang membahas pembagian
kekuasaan di masyarakat dan memahami terhadap yang
menentukan kebijakan kesehatan
Mendefinisikan sistem politik, membedakan jenis-jenis
kekuasaan yang berbeda, serta memahami implikasi keikutsertaan
dalam penyusunan kebijakan
Membandingkan teori-teori pembuatan keputusan yang
didasarkan pada peran kekuasaan dalam proses kebijakan.
Membandingkan
Istilah
Authority (kewenangan): kekuasaan mengacu kepada kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain, sedangkan kewenangan mengacu kepada hak
untuk melakukan kekuasaan tersebut
Bounded rationality (rasionalitas terbatas ): pembuat kebijakan yang
berupaya untuk selalu rasional tetapi tidak dapat membuat keputusan yang
28. 28
yang memuaskan, karena kurangnya pengetahuan.
Elitism: teori yang mengatakan bahwa kekuasaan berpusat pada kelompok
minoritas dalam masyarakat.
Government (pemerintah): lembaga serta tata cara untuk membuat dan
melaksanakan peraturan serta keputusan bersama lainnya. Dalam konsep
yang lebih sempit dari suatu negara (bagian) yang meliputi lembaga
peradilan, militer dan keagamaan.
Incrementalism: teori yang menyebutkan bahwa keputusan ditetapkan tidak
melalui proses rasional tetapi melalui penyesuaian-penyesuaian kecil dalam
status quo kenyataan politik.
Pluralism (pluralisme): teori yang menyebutkan bahwa kekuasaan disebar
secara luas dalam masyarakat.
Sistem Politik: suatu proses yang digunakan pemerintah untuk merubah
input dari masyarakat menjadi output kebijakan.
Rasionalisme: Teori yang menyebutkan bahwa keputusan keputusan dibuat
melalui proses rasional dengan mempertimbangkan semua kemungkinan
beserta konsekuensinya dan kemudian memilih diantara alternatif yang
terbaik.
Sovereignty (kedaulatan): mencakup peraturan atau pengendalian yang
utama, komprehensif, terbaik dan eksklusif.
State (negara/negara bagian): suatu kesatuan lembaga yang memiliki
kedaulatan atas satu daerah teritorial tertentu.
Pendahuluan
Pembaca akan menyadari bahwa kekuasaan dilaksanakan
sebagai arah berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dalam bab berikut
pembaca akan mempelajari perubahan peran dari negara dan reformasi
akhir abad ke-20 yang ditujukan untuk “mengembalikan kembali”
negara yang ditentang oleh banyak pelaku dibanyak negara.
Penolakan ini tidak mengejutkan karena penyusunan kebijakan
merupakan perjuangan antar kelompok dengan kepentingan untuk
bersaing, sebagian mendukung perubahan dan sebagian yang lain
menolak, tergantung pada kepentingan atau idealisme mereka.
Sebagai contoh: ekonom kesehatan berharap membatasi otonomi
profesi medis agar dapat mengendalikan pola pengeluaran. Namun,
reformasi semacam itu sering ditentang oleh pada dokter – sebagian
dari mereka akan berpendapat bahwa pembatasan ini dapat merampas
otonomi profesi mereka dan sebagian yang lain akan berpendapat
bahwa pembatasan ini dapat mempengaruhi pendapatan mereka. Oleh
karena itu, penyusunan kebijakan sering diwarnai oleh konflik karena
perubahan yang diusulkan atau diusahakan mengancam status quo.
29. 29
Hasil dari konflik tergantung pada keseimbangan kekuasaan antara
para individu dan kelompok yang terlibat serta proses atau peraturan
yang ditetapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Oleh
karenanya, memahami penyusunan kebijakan memerlukan
pemahaman terhadap sifat alami kekuasaan, bagaimana
pendistribusian, dan cara pelaksanaannya.
Bab ini meringkas sejumlah teori yang membantu
pemahaman terhadap hubungan kekuasaan dan penyusunan kebijakan
kesehatan. Meskipun teori yang berbeda terbukti benar dalam
beberapa situasi, tapi kembali ke pembaca sendiri untuk menentukan
teori mana yang paling sesuai karena nampaknya semua tergantung
pada cara pandang masing-masing. Pertama, arti dari kekuasaan telah
dijelaskan. Kemudian, sejumlah teori tentang pembagian kekuasaan
dipaparkan – khususnya yang membandingkan pluralisme dan bentukbentuk elitisme. Selanjutnya, kami beralih ke bagaimana kebijakan
disusun dalam sistem politik agar dapat menjelaskan keadaan
kalangan pluralis dan elit yang memiliki kebenaran masing-masing
sesuai dengan isi dan konteks kebijakan. Sehubungan dengan peran
yang dimainkan kekuasaan dalam penyusunan kebijakan, pembaca
akhirnya akan mempelajari sampai batas mana pembuatan keputusan
merupakan suatu proses yang rasional atau sesuatu yang
mengorbankan penyebab demi kekuasaan.
Apa Kekuasaan Itu?
Kekuasaan pada umumnya dipahami sebagai kemampuan
untuk mencapai hasil yang diharapkan – untuk ‘melakukan’ sesuatu.
Dalam penyusunan kebijakan, konsep kekuasaan secara khusus
dipertimbangkan dalam suatu pemikiran hubungan “memiliki
kekuasaan” atas orang lain. Kekuasaan dilaksanakan pada saat A
meminta B melakukan sesuatu yang tidak akan dilakukan B
sebelumnya. Si A dapat meraih tujuan akhir atas B ini melalui
beberapa cara yang dikategorikan menjadi tiga dimensi kekuasaan:
kekuasaan dalam pengambilan keputusan, kekuasaan untuk tidak
membuat keputusan; dan kekuasaan sebagai pengendalian pikiran.
Kekuasaan sebagai pengambil keputusan
Kekuasaan dalam pengambilan keputusan menekankan pada
tindakan individu atau kelompok yang mempengaruhi pemutusan
kebijakan. Penelitian Rober Dahl, Who Governs? (Siapa yang
berkuasa?), melihat kepada siapa yang membuat keputusan penting
30. 30
atas isu-isu yang terjadi di New Haven, Connecticut, Amerika (Dahl,
1961). Ia menyimpulkan tentang siapa yang berkuasa dengan
mengkaji preferensi (keinginan) kelompok-kelompok berkepentingan
dan membandingkannya dengan hasil kebijakan. Ia menemukan
bahwa ada perbedaan sumber daya yang memberi kekuasaan kepada
warga masyarakat dan kelompok berkepentingan dan sumber daya ini
tidak didistribusikan dengan merata: meski sejumlah individu
memiliki kekayaan sumber daya politik, mereka menjadi miskin
dalam aspek lainnya. Ada penemuan bahwa individu dan kelompok
yang berbeda mampu untuk memberikan pengaruh pada isu kebijakan
yang berbeda. Atas penemuan-penemuan tersebut, Dahl
menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda,
termasuk kelompok yang lemah, dapat “menekan” ke dalam sistem
politik dan menguasai para pembuat keputusan sesuai dengan
preferensi (keinginan) mereka. Meski hanya sedikit orang yang
berkuasa langsung atas keputusan-keputusan kunci, yang diartikan
sebagai keberhasilan atau memveto usulan kebijakan, kebanyakan
orang memiliki kekuasaan tidak langsung melalui kekuatan suara
(vote).
Apa yang dimaksud dengan sumber daya politik? Menurut
daftar panjang tentang aset-aset kemampuan, Dahl mengambil status
sosial, akses terhadap uang, pinjaman dan kekayaan, fasilitas-fasilitas
resmi seperti memiliki kantor, pekerjaan, dan pengendalian informasi
yang penting dalam arena politik ini. Banyaknya sumber daya yang
dimiliki para pelaku kebijakan kesehatan berbeda-beda – dan akan
berfungsi dalam dalam isi dan konteks kebijakan tertentu.
Kekuasaan sebagai bahan pengambilan keputusan
Pemberi kritik atas pengkajian Dahl mengatakan bahwa
pengkajiannya tersebut hanya berfokus pada isu-isu kebijakan yang
dapat diamati dan tidak memperhatikan dimensi kekuasaan lain yang
penting karena pengkajiannya tersebut melupakan adanya
kemungkinan bahwa kelompok-kelompok dominan mengeluarkan
pengaruh mereka dengan membatasi agenda kebijakan kepada
pemikiran-pemikiran yang dapat diterima. Bachrach dan Barats
(1962) berpendapat bahwa “kekuasaan juga dilakukan ketika A
mengeluarkan tenaganya untuk menciptakan atau memberlakukan
nilai-nilai sosial dan politik serta kegiatan-kegiatan kelembagaan yang
dapat membatasi lingkup proses politik hanya pada pemikiran umum
dari isu-isu tersebut yang tidak membahayakan A”. Akibatnya,
kekuasaan sebagai latar belakang agenda menyoroti cara para
31. 31
kelompok berkuasa mengendalikan agenda tetap menjadi isu yang
mengancam di bawah layar radar kebijakan. Diutarakan dengan cara
berbeda, kekuasaan sebagai bukan pembuat keputusan mencakup
kegiatan yang membatasi lingkup pembuatan keputusan untuk
menyelamatkan isu dengan merubah nilai-nilai masyarakat yang
dominan, mitos dan lembaga serta prosedur politik’ (Bachrach dan
Barats 1963). Dalam dimensi kekuasaan ini, beberapa isu tetap
tersembunyi dan gagal memasuki arena politik.
Kegiatan 2.1
Pikirkan bagaimana seseorang (A) berkuasa atas orang lain
(B), yakni: bagaimana seseorang membuat orang lain untuk
melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya sendiri.
Feedback
Pembaca bisa mengidentifikasi ketiga cara berikut:
Intimidasi dan pemaksaan (tongkat)
Pertukaran yang produktif dengan saling memberi hasil (wortel)
Menciptakan kewajiban, kesetiaan dan komitmen (pelukan)
Sejumlah ahli berpendapat bahwa akan bermanfaat untuk
membedakan antara kekuasaan yang keras dan lembut. Kekuasaan
yang keras mengacu kepada wortel dan tongkat, dan kekuasaan
lembut mengacu kepada pelukan. Kekuasaan yang lembut membuat
orang menginginkan apa yang pembaca inginkan’ (Nye 2002).
Kekuasaan yang lembut memilih orang lain dengan membentuk
keinginan mereka dan dihubungkan dengan sumber daya seperti
budaya, nilai gagasan dan lembaga yang menarik.
Kegiatan 2.2
Apa yang membedakan kewenangan dari paksaan dan
bujukan? Mengapa perbedaan ini penting dalam hubungannya
menyuruh orang lain untuk mendukung suatu kebijakan yang tidak
mungkin ia lakukan tanpa disuruh?
Max Weber (1948) mengidentifikasi tiga sumber
kewenangan. Pertama, kewenangan tradisional muncul pada saat
seseorang patuh atas dasar kebiasaan dan cara baku melakukan
sesuatu (sebagai contoh: seorang raja/sultan memiliki kewenangan
tradisi). Orang-orang memenuhi kewenangan tersebut sebagai bagian
32. 32
dari kehidupan sehari-hari atas dasar sosialisasi. Sebagai contoh:
wanita hamil yang miskin di daerah pedesaan Guatemala tidak akan
bertanya kepada bidan apakah layanan dan nasehat yang ia terima ini
merupakan evidence based atau bukan, ia akan pasrah kepada
kewenangan bidan karena adanya kepercayaan yang diberikan
masyarakat kepada bidan atas pengalaman dan kepercayaan yang
terbaik.
Kedua, kewenangan kharismatik didasarkan pada komitmen
tinggi kepada seorang pemimpin serta ideologi mereka atau
ketertarikan pribadi lainnya. Kewenangan yang dilaksanakan atas
dasar kharisma, seperti pemimpin agama, negarawan (misal: Nelson
Mandela) serta tabib kesehatan dilakukan karena dinilai memiliki
kewenangan.
Feedback
Kewenangan diartikan sebagai hak untuk memerintah atau
mengatur. Kewenangan terjadi ketika bawahan menerima perintah
pemimpin mereka tanpa bertanya. Ketika kewenangan dilaksanakan,
penilaian pribadi diserahkan kepada suatu kewenangan atas dasar
kepercayaan dan/atau penerimaan.
Kategori Weber yang ketiga adalah kewenangan legalrasional. Kewenangan ini didasarkan pada peraturan dan prosedur.
Dalam hal ini kewenangan dimasukkan kedalam lembaga yang tidak
sesuai dengan sifat pejabat lembaga tersebut. Akibatnya, pejabat
dalam lembaga tersebut, berlawanan dengan keterampilan atau
keahliannya sendiri, memiliki kewenangan tersebut. Sejumlah negara
yang memiliki sejarah perundangan sebagai koloni Inggris
menempatkan Sekretaris Menteri sebagai birokrat paling senior dalam
Departemen Kesehatan. Jarang seorang dokter menjadi Sekretaris,
biasanya
seorang administrator profesional. Banyak dokter
melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Sekretaris Kesehatan atas
dasar kewenangan legal-rasional yang dimiliki oleh Sekretaris Menteri
bukan karena kewenangan tradisional atau kharismatik. Dengan
mempertimbangkan peran yang dimainkan oleh ilmu pengetahuan dan
keahlian dalam proses kebijakan kesehatan, akan bermanfaat untuk
memasukkan kewenangan teknis kedalam penggolongan yang
dilakukan oleh Weber (tradisi, kharismatik, legal-rasional). Pasien
menghormati nasehat yang diberikan oleh dokter mereka (sebagian
besar) atas dasar pengetahuan teknis yang mereka pikir dimiliki oleh
dokter.
33. 33
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apa yang membuat
orang menyerahkan penilaian pribadi mereka kepada pihak yang
berwenang dan disanalah konsep legitimasi (keabsahan) menjadi
bermanfaat. Orang yang memiliki kewenangan dianggap absah bila
penilaian pribadi tersebut didasarkan pada kepercayaan dan
penerimaan. Hal ini berbeda dari paksaan untuk membuat penilaian
yang didasarkan pada ancaman (misal: oleh pihak kepolisian).
Kewenangan yang absah menduduki tempat diantara spektrum
paksaan (tongkat) dan bujukan (wortel).
Kembali ke pertanyaan A yang membuat B melakukan
sesuatu untuk mendukung kebijakan yang mungkin tidak akan B
laksanakan: pendekatan-pendekatan yang berdasar pada paksaan dan
bujukan yang terlalu banyak dapat menghasilkan kebijakan yang tidak
dapat langsung diterima, dan akan mengalami kesulitan serta biaya
yang tinggi untuk menjamin pelaksanaannya.
Contoh dari kekuasaan sebagai tidak membuat keputusan
dapat ditemui di sektor kesehatan. Pada tahun 1999, komite ahli yang
independen melakukan kajian terhadap dokumen industri tembakau
untuk mengetahui pengaruh industri tersebut pada WHO. Laporan
kajian tersebut menyebutkan bahwa industri tembakau menggunakan
berbagai cara, termasuk acara-acara untuk mengalihkan perhatian dari
masalah kesehatan masyarakat karena tembakau dan dengan diamdiam membayar ahli-ahli ‘independen’ dan jurnalis untuk tetap
membuat Organisasi Kesehatan Dunia tersebut berfokus pada
penyakit menular.
Kekuasaan sebagai pengendali pikiran
Steven Lukes (1974) menggambarkan kekuasaan sebagai
pengendali gagasan. Dengan kata lain, kekuasaan berfungsi sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan membentuk
keinginan mereka. Dalam dimensi ini, “A melakukan kekuasaan
kepada B pada saat A mempengaruhi B dengan cara yang tidak sesuai
dengan keinginan B”. Sebagai contoh, orang-orang miskin
memberikan suara kepada Presiden Bush pada tahun 2004 meskipun
kebijakan dalam negerinya tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Lukes berpendapat bahwa A memperoleh kepatuhan B
melalui cara yang terselubung. Cara terselubung ini meliputi
kemampuan untuk membentuk arti dan cara pandang terhadap
kenyataan yang mungkin dilakukan melalui pengendalian informasi,
media massa dan atau melalui pengendalian proses sosialisasi.
34. 34
Perusahaan makanan cepat saji McDonald, mengeluarkan milyaran
dolar untuk promosi tiap tahunnya. Simbol panah emas McDonald
dilaporkan lebih banyak dikenal daripada simbol salib Kristen. Di
China, anak-anak telah terindoktrinasi untuk menerima maskot
perusahaan, Ronald McDonald, yang baik hati, lucu, lembut dan
memahami perasaan anak-anak, yang dengan halus telah
mengkondisikan pasar konsumer muda yang berkembang ini untuk
berpikir positif tentang McDonald beserta produknya. McDonalds
menyasar para pembuat keputusan berikut konsumennya. Sebelum
debat di parlemen tentang obesitas di Inggris, perusahaan McDonalds
memberi sponsor 20 anggota parlemen untuk menonton pertandingan
sepakbola Eropa di Portugal tahun 2004.
Kegiatan 2.3
Mengapa McDonalds mengirim para anggota parlemen
untuk menonton sepakbola?
Feedback
Tanpa akses kepada dokumen perusahaan, seseorang hanya
dapat berspekulasi tentang tujuan sumbangan seperti itu. Satu
penjelasan yang masuk akal adalah bahwa McDonalds berharap
untuk menanamkan para legislator keterkaitan antara McDonalds dan
langkah perusahaan untuk mendukung peningkatan kegiatan fisik
sebagai cara untuk menurunkan obesitas; suatu keterkaitan yang
dapat menggantikan keterkaitan lain yang mungkin dimiliki oleh
para penyusun kebijakan diantara, misalnya, produk perusahaan dan
hubungan lain yang mungkin timbul diantara konsumsi dan obesitas
mereka.
Lukes berpendapat bahwa dimensi kekuasaan inilah yang
paling “kuat” dan bentuk yang “paling tersembunyi” dimana dimensi
tersebut mencegah penolakan orang-orang dengan ‘membentuk cara
pandang, cara pikir dan keinginan mereka’ sedemikian rupa sehingga
mereka menerima peran mereka dalam tatanan yang sudah ada,
karena mereka memahaminya atau melihat tidak ada pilihan lain,
atau karena melihatnya sebagai hal yang alami dan tidak bisa
dirubah, atau karena mereka menilainya sebagai suatu takdir yang
bermanfaat’.
Pasar pengobatan dan minuman kesehatan yang tidak diatur
oleh hukum merupakan hasil dari bentuk kekuasaan semacam ini.
Pengobatan semacam itu sangat terkenal dan digunakan dibanyak
35. 35
negara. Di Australia, lebih dari separuh penduduknya menganggap
vitamin, mineral, minuman dan ramuan herbal bermanfaat untuk
mengobati depresi. Survei yang dilakukan di Amerika menunjukkan
bahwa lebih dari 50% responden yang mengalami depresi hebat telah
menggunakan terapi-terapi pelengkap selama 12 bulan sebelumnya
(Kessler et al. 2001). Namun, pengkajian sistematis terhadap bukti
keberhasilan dari sejumlah terapi pelengkap yang terkenal guna
menangani depresi menunjukkan bahwa tidak ada bukti satu pun yang
menunjukkan bahwa terapi-terapi tersebut efektif (Jorm et al, 2002).
Sementara itu, efek samping dari terapi-terapi semacam ini meningkat
dua kali selama tiga tahun terakhir ini (WHO, 2004). Kepentingan
konsumen, atau paling tidak konsumen tidak mampu, akan dapat
terpenuhi dengan baik jika mereka mengalokasikan dana kesehatan
yang terbatas itu kepada hal-hal atau barang-barang yang sudah
terbukti efektif. Namun, pihak pemasaran nampaknya telah mengubah
keinginan para konsumer agar dapat menggambarkan keinginan pihak
industri sendiri.
Kegiatan 2.4
Berikut adalah penelitian lama tentang polusi udara di
Amerika. Pada saat pembaca membacanya, pikirkan pula:
1. Dimensi kekuasaan apa yang digambarkan?
2. Apakah penelitian tersebut menunjukkan peran dari kekuatan
sebagai pengendali pikiran?
Polusi Udara yang Tidak Terpolitik
Pada tahun 1960-an, Matthew Crenson berusaha untuk
menjelaskan mengapa polusi udara tidak menjadi isu di banyak kota di
Amerika. Secara khusus, ia mengidentifikasi hubungan antara polusi
udara yang diabaikan dan karakter dari pemimpin politik dan lembaga.
Pendekatan yang digunakan Crenson menjelaskan mengapa
ada hal-hal yang tidak terjadi, sangat berbeda dengan pendekatan Dahl
yang lebih melihat pada apa yang mereka lakukan (1961). Crenson
mengadopsi strategi ini untuk menguji apakah penelitian terhadap
ketidakaktifan politik (tidak membuat keputusan) akan memberikan
gagasan baru pada cara berpikir tentang kekuasaan. Crenson juga
bertanya-tanya apakah pendekatan baru ini akan mendukung pendapat
yang diutarakan Dahl bahwa proses penyusunan kebijakan terbuka
bagi banyak kelompok dalam masyarakat.
36. 36
Crenson memulai pengkajiannya dengan menunjukkan
bahwa tindakan atau tidak bertindak atas permasalahan polusi di kotakota Amerika tidak dapat dikaitkan dengan perbedaan pada tingkat
polusi atau perbedaan dalam sifat-sifat sosial dari populasi di kota
yang berbeda. Penelitian ini melibatkan dua kota yang berdekatan di
Indiana yang sama-sama terpolusi dan memiliki profil demografi yang
serupa. Salah satu dari kota ini, Chicago Timur, telah bertindak
menangani polusi udara pada tahun 1949, sedangkan kota yang lain,
Gary, tidak melakukan apa pun sampai dengan tahun 1962. Crenson
berpendapat bahwa perbedaan ini terjadi karena Gary merupakan satu
kota pemerintahan yang didominasi oleh US Steel, yang memiliki
organisasi partai politik yang kuat, sedangkan Chicago ditempati oleh
sejumlah perusahaan baja dan tidak memiliki organisasi partai politik
yang kuat pada saat membicarakan undang-undang polusi udara. Yang
terjadi di kota Gary, antisipasi reaksi negatif dari perusahaan dianggap
telah mencegah para aktifis dan pejabat kota untuk membawa masalah
polusi udara dalam agenda. Crenson juga mewawancara pemimpin
politik dari 51 kota di Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa “isu
polusi udara cenderung tidak berkembang di kota-kota dimana industri
memiliki reputasi sebagai pemegang kekuasaan”.
Penemuan Crenson yang utama adalah, pertama, kekuasaan
dapat terdiri dari kemampuan untuk mencegah sesuatu menjadi suatu
isu. Kedua, bahwa kekuasaan tidak perlu digunakan agar dapat
terlaksana; hanya reputasi memiliki kekuasaan dapat membatasi
lingkup pengambilan keputusan. Ketiga, mereka yang dipengaruhi
oleh kekuasaan politik, ‘sang korban’ tetap tidak kelihatan, karena
kekuasaan atau reputasi berkuasa dapat menghalangi mereka yang
kurang berkuasa untuk memasuki arena penyusunan kebijakan.
Crenson menyimpulkan bahwa ‘non-issues’ bukan merupakan
kekeliruan politik yang acak tetapi merupakan contoh dari pengabaian
politik yang dipaksakan.
Feedback
1. Penelitian Crenson menggambarkan dan memberikan suatu dasar
empiris bagi kekuasaan yang bersifat tidak membuat keputusan
2. Karena orang-orang akan lebih memilih untuk tidak teracuni oleh
polusi udara, kasus ini menggambarkan bahwa orang-orang tidak
akan langsung bertindak atas dasar keinginan dan kepentingan
mereka. Hal ini mungkin terjadi karena adanya semacam
manipulasi atau indoktrinasi, penyusunan kebijakan melalui
pengendalian pikiran.
37. 37
Kegiatan 2.5
Dari apa yang pembaca pelajari sejauh ini, berilah tiga
jawaban sederhana tentang bagaimana hubungan antara A dan B
menunjukkan bahwa A sedang melakukan kekuasaannya atas B.
Feedback
A dapat membuat B melakukan apa yang mungkin tidak
dilakukan oleh B. A dapat menyimpan kepentingan B tidak masuk
dalam agenda kebijakan. A dapat memanipulasi B dengan cara
membuat B tidak dapat memahami kepentingannya yang sebenarnya.
Sejauh ini, pembaca telah belajar bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk meraih hasil yang diinginkan terlepas dari cara
yang digunakan. Kekuasaan mengacu pada kemampuan untuk
membuat seseorang melakukan apa yang tidak akan dilakukan. Dahl,
yang meneliti perihal pembuatan keputusan, menyimpulkan bahwa
kekuasaan didistribusikan secara luas kepada masyarakat tetapi
dikritik karena tidak dapat menentukan siapa yang menang dan kalah
– khususnya mereka yang kalah yang tidak memasuki arena
kebijakan. Lukes mengambil posisi saat kekuasaan dapat dilakukan
dengan cara yang lebih terselubung dengan membuat isu tidak keluar
dalam agenda atau melalui manipulasi psikologis. Yang umum dari
sudut pandang ini adalah pengertian bahwa proses kebijakan
mencakup tindakan kekuasaan dengan para pelaku yang bersaing
untuk mengendalikan sumber daya yang langka. Cara untuk
menyelesaikan perjuangan ini sangat tergantung pada siapa yang
berkuasa di masyarakat, suatu topik yang akan Pembaca
pertimbangkan.
Siapa yang Mempunyai Kekuasaan?
Jika kekuasaan mengacu pada kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain, maka akan timbul pertanyaan ‘siapa yang
mempunyai kekuasaan untuk menetapkan dan menolak kebijakan?’
Tiga “dimensi” kekuasaan memberikan cara pandang yang berbeda
tentang siapa yang memegang kekuasaan dan seberapa luas
pembagiannya dalam proses kebijakan. Tidak ada jawaban yang tepat
untuk pertanyaan ini karena penyebaran pengaruh akan bergantung
pada isi dan konteks dari kebijakan tertentu. Sebagai contoh: di
sebuah negara dimana tembakau memberikan proporsi terbesar
pendapatan domestik bruto dan merupakan sumber pendapatan negara
38. 38
yang bernilai. Pertanyaannya adalah apakah industri tembakau atau
Departemen Kesehatan serta kelompok kesehatan masyarakat dan
kelompok konsumen yang akan memiliki lebih banyak pengaruh
terhadap kelompok kebijakan pengawasan tembakau? Namun, di
negara yang sama, kelompok industri tidak terlalu berpengaruh pada
kebijakan screening kanker dibanding dengan, misalnya, Departemen
Kesehatan, profesi medis, dan kelompok pasien.
Meskipun ada perbedaan dalam isi dan konteks kebijakan
dalam pembagian kekuasaan dalam proses kebijakan tersebut,
berbagai usaha telah dilakukan untuk menyusun ke teori umum. Teoriteori ini mengacu sifat masyarakat dan negara. Sejumlah teori
meletakkan kekuasaan pada masyarakat dibanding pada negara,
namun semuanya dikaitkan dengan peran dan kepentingan negara
yang dimungkinkan masuk ke dalam proses kebijakan. Penekanan
pada negara karena peran dominan yang biasa dimainkannya dalam
proses kebijakan. Teori-teori tersebut memiliki dua perbedaan
penting. Pertama, pada penilaian apakah negara tersebut independen
dari masyarakat atau gambaran dari pendistribution kekuasaan dalam
masyarakat (berorientasi pada negara, kemudian pada masyarakat).
Kedua, cara pandang dari negara yang melayani prasarana dan
kepentingan dari suatu kelompok elit. Pembaca sekarang akan belajar
tentang dimana perbedaan teori-teori tersebut dan mempertimbangkan
implikasi dari perbedaan tersebut pada kebijakan kesehatan.
Pluralisme
Pluralisme merupakan kelompok dominan dari pemikiran
teoritis dalam pembagian kekuasaan dalam demokrasi liberal.
pembagian kekuasaan dalam demokrasi liberal. Dalam bentuk klasik,
pluralisme berpendapat bahwa kekuasaan tersebar diseluruh
masyarakat. Tidak ada satu kelompok yang memegang kekuasaan
mutlak dan negara memutuskan diantara kepentingan-kepentingan
yang bersaing dalam perkembangan kebijakan.
Sifat kunci dari pluralisme adalah:
Membuka persaingan pemilihan diantara sejumlah partai politik
Kemampuan para individu untuk menata diri mereka sendiri
kedalam kelompok penekan dan partai politik
Kemampuan kelompok penekan untuk mengeluarkan pendapat
mereka secara bebas
39. 39
Keterbukaan negara untuk melobi seluruh kelompok penekan
Negara sebagai wasit yang netral dalam mengadili tuntutan-
tuntutan yang saling bersaing
Meskipun masyarakat memiliki kelompok elit, tidak ada satu
kelompok yang mendominasi sepanjang waktu
Untuk kalangan pluralis, kebijakan kesehatan muncul sebagai
hasil dari konflik dan tawar-menawar diantara sejumlah besar
kelompok-kelompok yang terbentuk untuk melindungi kepentingan
khusus dari anggotanya. Negara memilih dari setiap gagasan dan
usulan yang diajukan oleh kelompok berkepentingan sesuai dengan
apa yang terbaik untuk masyarakat.
Pluralisme telah menjadi pokok skeptisme karena
menggambarkan negara sebagai wasit netral dalam pembagian
kekuasaan. Tantangan utama yang pertama kali muncul datang dari
teori tentang pilihan masyarakat dan kedua dari teori elit.
Pilihan Rakyat
Para ahli teori pilihan rakyat sepakat dengan para pluralis
bahwa masyarakat terbentuk dari kelompok-kelompok yang bersaing
untuk meraih tujuan masing-masing. Tetapi mereka
mempermasalahkan kenetralan negara. Para ahli teori pilihan rakyat
menyatakan bahwa negara sendiri merupakan suatu kelompok
berkepentingan yang berkuasa atas proses kebijakan untuk meraih
kepentingan pelaksana negara: para pejabat terpilih dan pegawai
pemerintahan. Untuk tetap berkuasa, para pejabat terpilih berusaha
untuk memfasilitasi kelompok-kelompok dengan anggaran, barang,
jasa dan peraturan yang mendukung dengan harapan bahwa
kelompok-kelompok ini akan tetap menjadikannya berkuasa. Sama
halnya, pejabat pemerintah menggunakan lembaga dan kedekatan
mereka untuk para pembuat keputusan politik untuk memperoleh
“sewa” dengan menyediakan akses khusus kepada sumber daya umum
dan peraturan-peraturan yang sesuai dengan keinginan kelompok
tertentu. Akibatnya, pejabat pemerintah mempunyai harapan untuk
memperluas kerajaan birokrasi mereka yang akan mengarah ke
besarnya gaji dan kesempatan untuk naik jabatan, kekuasaan,
perlindungan, dan gengsi. Oleh karena itu, negara dikatakan memiliki
dinamika internal yang dapat mengarah ke perkembangan kekuasaan
pemerintah.
Para ahli teori pilihan rakyat berpendapat bahwa sikap
mementingkan kepentingan sendiri dari para pejabat negara akan
40. 40
menimbulkan suatu kebijakan yang dipahami oleh kelompok
kepentingan tertentu.
Akibatnya, kebijakan akan terpecah secara ekonomi dan tidak
sesuai dengan kepentingan umum. Penganut kelompok ini
berpendapat bahwa kebijakan kesehatan yang menarik kembali
pemerintah akan ditolak oleh para birokrat, bukan karena keuntungan
atau kerugian teknis yang diakibatkan oleh kebijakan, tetapi karena
birokrat lebih memilih kebijakan yang akan memperkokoh jabatannya
dan memperluas pengaruhnya. Sebagai contoh, di Bangladesh,
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga menolak usulan
untuk mengkontrakkan fasilitas sektor umum kepada organisasi non
pemerintah untuk penatalaksanaan dan pemberian layanan, juga
menolak proposal untuk membangun suatu organisasi otonomi untuk
mengatur proses kontrak. Pendukung pilihan rakyat akan menjelaskan
penolakan ini atas dasar kekhawatiran akan kelebihan tenaga,
mengurangi kesempatan untuk penyewaan dan perlindungan serta
pemikiran akan berkurangnya tanggung jawab sesuai undang-undang.
Para kritikus menyatakan bahwa pilihan rakyat terlalu
menekankan pada kekuasaan birokrasi dalam proses kebijakan dan
didorong oleh ideologi sebagai oposisi untuk meningkatkan
pengeluaran publik dan pemerintahan yang besar.
Elitisme
Ahli teori elitisme menyatakan bahwa kebijakan didominasi
oleh minoritas istimewa. Mereka berpendapat kebijakan umum
menggambarkan nilai dan kepentingan dari para elit atau aristokrat,
bukan “rakyat” seperti yang dianggap oleh pluralis. Para elit modern
mempertanyakan sampai dimana sistem politik modern mencapai citacita demokrasi yang dinyatakan oleh kaum pluralis liberal. Sebagai
contoh: demokrasi di Amerika, akademisi menunjukkan bagaimana
kaum elit membentuk keputusan-keputusan kunci. President G.W.
Bush dan ayahandanya, mantan Presiden, memiliki kepentingan
keuangan besar di sektor pertahanan dan energi, sedangkan wakil
presiden Dick Cheney merupakan mantan kepala eksekutif perusahaan
minyak besar. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang mewakili
kepentingan perusahaan kecil, buruh dan kepentingan konsumen
hanya mampu memberi pengaruh sedikit dalam proses kebijakan.
Dalam hal kebijakan kesehatan, apakah teori elitisme terlalu
menekankan kemampuan para elit untuk memegang kekuasaan?
41. 41
saja, kebanyakan kebijakan kesehatan dianggap tidak begitu penting
secara marginal, dan akibatnya, teori elitisme tidak akan berguna
untuk menunjukkan kekuasaan dalam kebijakan kesehatan. Isu-isu
marginal seperti itu sering disebut sebagai “politik rendah”. Namun,
pembaca akan melihat banyak contoh dalam buku ini yang
menunjukkan bahwa kaum elit memiliki pengaruh kuat dalam
penyusunan kebijakan yang relatif dianggap rendah.
Ahli lain yang mengkaji elitisme membuat perbedaan antara
“elit politik” yang terbentuk dari mereka yang betul-betul
menggunakan kekuasaannya setiap saat dan mereka yang termasuk:
Pejabat pemerintah dan pejabat tinggi administrasi, pemimpin
militer, dan, untuk beberapa kasus, keluarga yang berpengaruh
secara politis serta pemimpin perusahaan besar dan golongan politik
lain antara lain elit politik dan pemimpin partai oposisi, pemimpin
serikat buruh, orang-orang bisnis dan anggota kelompok elit sosial
yang lain (Bottomore, 1966).
Dapat disimpulkan bahwa para ahli teori elitisme, kekuasaan
dapat didasarkan pada beragam sumberdaya: kekayaan, hubungan
keluarga, keahlian teknis, atau lembaga. Namun, yang tak kalah
penting adalah untuk satu anggota kalangan elit, kekuasaan tidak
mungkin tergantung pada satu sumber saja.
Menurut para ahli teori elitisme:
Masyarakat terdiri dari kalangan kecil yang memiliki kekuasaan,
dan sebagian besar lagi tanpa memiliki kekuasaan apapun.
Hanya kalangan kecil tersebut yang memiliki kekuasaan untuk
menyusun kebijakan publik.
Mereka yang memerintah tidak seperti mereka yang tidak
memerintah. Secara khusus, para elit berasal dari tingkat sosial
ekonomi yang lebih tinggi
Kalangan non-elit dapat dimasukkan kedalam lingkaran
pemerintahan jika mereka menerima kesepakatan dasar dari para
elit.
Kebijakan publik menggambarkan nilai dari para elit. Hal ini
tidak selalu menimbulkan konflik dengan nilai yang dianut
masyarakat. Seperti pendapat Lukes (1974), para elit dapat
memanipulasi nilai yang dianut masyarakat agar dapat
mencerminkan nilai mereka sendiri.
Kelompok kepentingan muncul tetapi mereka tidak memiliki
kekuasaan yang sama dan tidak memiliki akses yang sama
terhadap proses penyusunan kebijakan.
42. 42
Nilai yang dianut para elit sifatnya konservatif dan akibatnya
perubahan kebijakan akan bersifat instrumental
Terlihat bahwa teori elitisme sesuai untuk berbagai negara di
Amerika latin, Afrika dan Asia, dimana para politikus, birokrat senior,
pebisnis, profesional dan militer membuat ikatan kebijakan yang kuat
sehingga mereka menjadi kalangan yang dominan. Di beberapa
tempat, kalangan elit demikian sedikitnya sehingga mereka dapat
dikenali dari nama keluarganya.
Pengertian bahwa tidak semua kelompok berkepentingan
sama pengaruhnya, memiliki daya tarik intuitif yang sama. Terjadi
peningkatan konsentrasi kepemilikan atas sejumlah industri, sebagai
contoh: tembakau, alkohol, dan farmasi. Kelompok-kelompok
berkuasa ini akan memiliki lebih banyak pengaruh terhadap kebijakan
dibanding kelompok kesehatan masyarakat. Bagian berikut menyoroti
hasil penelitian Landers dan Sehgal (2004) terhadap sumberdaya yang
digunakan oleh kelompok-kelompok yang berlobi sampai dengan
tingkat nasional di Amerika.
Lobi Layanan Kesehatan di Amerika
Istilah lobi sebagai kata benda berhubungan dengan area
dalam parlemen dimana warga masyarakat dapat membuat tuntutan
kepada legislator dan tempat dimana para penyusun kebijakan
bertemu. Istilah ‘lobi’ juga dipakai sebagai kata kerja yang berarti
membuat pertemuan langsung dengan seorang penyusun kebijakan.
Lobi dan kelompok berkepentingan mempunyai kesamaan dimana
keduanya berusaha untuk mempengaruhi penyusun kebijakan. Pelobi
dipekerjakan oleh berbagai organisasi untuk mewakili kepentingan
klien mereka dengan dasar komersil.
Pada tahun 2000, para pelobi layanan kesehatan
mengeluarkan dana 237 juta dolar, lebih besar daripada industri mana
pun, untuk mempengaruhi para wakil dan senator, eksekutif dan badan
federal lainnya di tingkat nasional. Dari jumlah ini, perusahaan obat
dan perlengkapan medis menyumbang lebih dari sepertiganya (96 juta
dolar); dokter umum dan profesi kesehatan lainnya (46 juta dolar),
rumah sakit dan panti kesehatan (40 juta dolar); perusahaan asuransi
kesehatan dan managed-care (31 juta dolar); advokasi penyakit dan
organisasi kesehatan masyarakat (12 juta dolar).
Semakin besar jumlah pendanaan, semakin besar pula
kemungkinan para kelompok ini untuk mengajukan pendapat mereka
43. 43
kepada legislator. Para dokter yang memberi komentar pada penelitian
ini menunjukkan kekhawatiran mereka bahwa ‘kebijakan kesehatan
berada dalam resiko terlalu dipengaruhi oleh kelompok kepentingan
tertentu yang dapat menyediakan sumberdaya keuangan yang paling
besar.’ (Kushel dan Bindman 2004).
Selama tiga periode waktu penelitian ini, jumlah organisasi
yang memperkerjakan para pelobi meningkat 50%. Hal ini
menunjukkan bahwa lobi merupakan alat yang semakin populer untuk
memberi pengaruh kepada sistem politik Amerika.
Kegiatan 2.6
Pada titik ini, akan bermanfaat untuk mempertimbangkan
bagaimana para akademisi sampai pada kesimpulan yang berbeda
dalam pembagian kekuasaan di Amerika. Dahl (1961) berpendapat
bahwa sejumlah kelompok mampu mempengaruhi proses kebijakan
sedangkan penulis yang lain menyatakan bahwa hanya kalangan
penguasa atau elit yang mampu yang terdiri dari pemimpin bisnis,
eksekutif politik dan petinggi militer.
Feedback
Jawaban terdapat pada apa yang dipelajari dan diamati oleh
akademisi. Dahl berfokus pada konflik aktual antara kelompok. Para
ahli teori elitisme meneliti ‘reputasi akan kekuasaan’. Para elit
menyatakan bahwa mereka yang memiliki reputasi kekuasaan akan
lebih efektif mempertahankan isu-isu kontroversial tidak muncul
dalam agenda kebijakan, yang mungkin di luar jangkauan konflikkonflik yang dipelajari Dahl.
Ada sejumlah kerangka elitisme lain yang penting yang
meletakkan kekuasaan diatas kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Marxisme berpendapat bahwa kekuasaan diberikan
kepada golongan kapitalis yang berkuasa dan sehingga golongan ini
mengendalikan negara. Profesionalisme memberi perhatian pada
kekuasaan kelompok profesional tertentu dan cara mereka
menggunakan kekuasaan dalam proses kebijakan. Pembaca akan
mempelajari lebih banyak lagi tentang kedudukan khusus dari profesi
medis dalam kebijakan kesehatan pada Bab 6. Feminisme berfokus
pada kekuasaan sistematis, pervasif, dan kelembagaan yang digunakan
oleh para pria terhadap wanita dalam lingkaran domestik/pribadi dan
umum. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, wanita tetap berada dalam
44. 44
area pribadi (sebagai ibu dan istri) sedangkan urusan umum, seperti
negara, dilaksanakan oleh dan untuk para pria. Dalam masyarakat
patriarki, pria menentukan permasalahan berikut pemecahannya,
memutuskan isu mana yang berharga untuk kebijakan dan mana yang
tidak, dan sejalan dengan pendapat Lukes tentang kekuasaan sebagai
pengendali pikiran (1974) telah membuat banyak wanita pasrah akan
statusnya dalam skema ini. Antara tahun 1990 dan 2000, proporsi
kursi yang dipegang oleh wanita dalam parlemen nasional meningkat,
dari 13 menjadi 14%. Terdapat perbedaan yang mencolok antar
negara, meski partisipasi wanita meningkat di negara-negara
Skandinavian sebesar 40%, proporsi di Asia Barat menurun dari 5%
ke 4% (UN, 2002).
Kegiatan 2.7
Setelah pembaca membaca tulisan berikut mengenai aborsi
berdasarkan jenis kelamin, pikirkan apakah pendapat tentang
kebijakan kesehatan di India yang dipegang oleh para pria itu valid.
Pelaksanaan Kebijakan sesuai Gender
Di India teknologi ultrasound pra-kelahiran yang pertama kali
dikenalkan untuk mengidentifikasi komplikasi bawaan, telah merubah
preferensi budaya mengarah ke keturunan laki-laki menjadi sebuah
proses dimana orang-orang yang mampu melakukan scan, yang
jumlahnya semakin meningkat, dapat memilih janin laki-laki selama
kehamilan dan memilih untuk mengaborsi janin perempuan. Hal ini
telah berakibat pada peningkatan perbandingan jenis kelamin di
negara tersebut. Sensus tahun 2001 menunjukkan perbandingan jenis
kelamin nasional (usia 0-6 tahun) 933wanita berbanding 1000 pria
(sedangkan orang lain akan berharap perbandingan yang seimbang
antara jumlah wanita dan pria dalam masyarakat dengan kesetaraan
gender). Sejumlah negara memiliki angka perbedaan yang lebih
tinggi. Misalnya, laporan dari Punjab menunjukkan perbandingan 792
wanita berbanding 1000 pria pada kelompok usia tersebut.
Untuk menanggapi masalah tersebut, pemerintah federal
mengeluarkan Undang-undang Tehnik Diagnosa Pra-kelahiran tahun
1994. Sedikit yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang
sampai dengan tahun 2001 ketika sebuah LSM melaporkan
kepentingan masyarakat ke Mahkamah Agung. Mahkamah
memerintahkan sejumlah negara bagian untuk melakukan tindakan
45. 45
(menyita mesin tanpa surat ijin di klinik) tetapi seorang tokoh
demografi tetap yakin bahwa undang-undang tersebut benar-benar
tidak efektif dilaksanakan. Nampaknya, tidak ada tindakan yang
diambil atas klinik-klinik yang tidak memiliki ijin seperti di Delhi,
tetapi masalahnya adalah bahwa para penyedia jasa tetap
menggunakan mesin tersebut meski melanggar undang-undang. Isu ini
menjadi semakin mendesak dengan adanya teknologi baru untuk
menentukan jenis kelamin yang dipasarkan di India oleh perusahaan
Amerika melalui internet. Akibatnya, ada tuntutan untuk merubah
undang-undang tersebut. Namun, ada pendapat bahwa ada batas-batas
yang dapat dilakukan oleh undang-undang dan pengadilan dalam
menghadapi prasangka yang telah mengakar terhadap anak-anak
perempuan.
Feedback
Meski jelas bahwa diskriminasi jenis kelamin bersifat kuat di
India, kehadiran undang-undang th 1994 menjadi bukti bahwa wanita
berhasil masuk ke dalam proses kebijakan. Kaum feminist mungkin
akan berpendapat bahwa undang-undang tersebut terlalu sempit,
terlambat, buruk pelaksanaannya. Untuk menjelaskan kegagalan
tersebut memerlukan informasi lebih banyak mengenai bagaimana
masalah tersebut dibingkai dan siapa yang memasukkannya kedalam
agenda kebijakan (nampaknya para wanita) dan siapa yang
bertanggung jawab atas pelaksanaannya, terutama pria!
Kegiatan 2.8
Berikut ini adalah tulisan Kelley Lee dan Hillary Goodman
(2002) tentang pembagian kekuasaan dalam kesehatan internasional
yang berhubungan dengan kebijakan pembiayaan layanan kesehatan.
Buatlah catatan mengapa Lee dan Goodman menggambarkan
pelaku kebijakan sebagai bagian dari jaringan kebijakan global dan
apa yang menyebabkan keberhasilannya. Dan pikirkan pendapat
pembaca bahwa kehadiran jaringan ini merupakan bukti kekurangan
dari elit kebijakan di reformasi sektor kesehatan.
Reformasi Pembiayaan Kesehatan Internasional:
didominasi oleh sebuah elit?
Dalam usaha untuk menggambarkan dampak globalisasi pada
46. 46
proses penyusunan kebijakan kesehatan, Lee dan Goodman (2002)
melakukan pengkajian empiris terhadap reformasi pembiayaan
layanan kesehatan pada tahun 1980-an dan 1990-an. Meski nampak
bahwa kebanyakan para pelaku non pemerintah semakin terlibat
dalam pemberian pelayanan dan pendanaan layanan kesehatan, tidak
terlalu jelas apakah perbedaan besar ini direfleksikan dalam debat dan
penyusunan kebijakan kesehatan. Lee dan Goodman merasa skeptis
dengan pendapat yang menganggap bahwa globalisasi telah
meningkatkan besarnya suara dan keanekaragaman suara dalam
proses kebijakan, oleh karenanya mereka mencoba menentukan siapa
yang bertanggung jawab atas gagasan dan isi dari kebijakan
pembiayaan layanan kesehatan.
Penelitian ini diawali dengan mengkaji perubahan-perubahan
bermakna dalam isi kebijakan pembiayaan layanan kesehatan selama
masa itu, ditandai dengan suatu pergeseran dari adanya keengganan
menjadi ke penerimaan pendanaan swasta untuk sejumlah layanan
kesehatan. Orang-orang dan lembaga-lembaga penting yang terlibat
dalam pembicaraan mengenai kebijakan pembiayaan diidentifikasi
melalui suatu pencarian sistematis pada literatur. Identifikasi ini
menghasilkan suatu daftar orang-orang yang telah menerbitkan jurnaljurnal penting, sering dikutip, dan/atau terlibat dalam dokumen
kebijakan. Lembaga tempat bekerja, sumber daya dan kebangsaan dari
pelaku-pelaku penting ini dicatat. Pelaku - pelaku ini kemudian
diwawancarai untuk memperoleh pandangan mereka mengenai
dokumen yang paling berpengaruh, orang-orang, lembaga, dan
pertemuan-pertemuan dalam area kebijakan dan riwayat hidup mereka
diminta. Akhirnya, peneliti-peneliti tersebut mempelajari catatan
kehadiran dan presentasi pada pertemuan-pertemuan dilaporkan oleh
informan sebagai sesuatu yang baru dalam evolusi kebijakan.
Peta jaringan dikembangkan untuk menghubungkan lembaga
dan individu. Para peneliti tersebut menemukan bahwa suatu
kelompok kecil (sekitar 25) dan terkait erat yang terdiri dari penyusun
kebijakan, penasehat teknis dan akademis mendominasi proses dan isi
reformasi pembiayaan kesehatan. Kelompok ini, yang terhubung
dengan suatu jaringan yang kompleks, didasarkan pada sejumlah
lembaga kecil yang dipimpin oleh World bank dan USAID. Anggota
jaringan diamati mengikuti suatu perkembangan karir yang serupa.
Anggota kelompok ini diberi kesempatan bergantian menduduki
lembaga-lembaga kunci, sehingga mereka dapat memainkan berbagai
peran bergantian seperti peneliti, penasehat, pemberi dana penelitian
dan proyek percontohan, dan pengambil keputusan.
47. 47
Lee dan Goodman menyimpulkan bahwa elit global telah
mendominasi diskusi kebijakan dengan mengendalikan sumber daya
yang ada, tetapi yang lebih penting adalah pengendalian mereka atas
segala debat melalui pengetahuan keahlian, dukungan penelitian, dan
kedudukan yang penting dalam jaringan tersebut. Yang menjadi
pemikiran peneliti bukan terletak pada suatu kelompok kecil pimpinan
membentuk debat tentang kebijakan, tetapi lebih karena
kepemimpinan yang ada tidak mewakili kepentingan yang sedang
dipertaruhkan: ‘jaringan kebijakan global hanya didasarkan pada
sejumlah kecil lembaga, dipimpin oleh World bank dan USAID (tetapi
dianggotai pula oleh Abt Associates, suatu perusahaan konsultasi
swasta dan Universitas Harvard), dalam latar belakang negara dan
disiplin ilmu dari individu-individu kunci yang terlibat’. Lee dan
Goodman juga menyayangkan bahwa kebijakan tidak dihasilkan dari
‘titik temu rasional antara kebutuhan kesehatan dan pemecahannya’.
Sebaliknya, para elit tersebut digambarkan telah menggunakan
pengaruhnya pada agenda-agenda nasional melalui pendekatan
paksaan (syarat-syarat pemberian bantuan dalam kelangkaan
sumberdaya) dan pendekatan kerjasama (penelitian bersama,
pelatihan, dan pilihan-pilihan yang diberikan oleh elit kebijakan).
Para peneliti tersebut berpendapat bahwa fakta ini
berlawanan dengan pendapat pluralis yang mengatakan bahwa
globalisasi membuka luas penentuan keputusan ke sebagian besar
individu dan kelompok.
Feedback
Kelompok yang mengatur agenda pembiayaan layanan
kesehatan dapat digambarkan sebagai elit karena jumlahnya kecil
dan anggotanya memiliki latar belakang pendidikan, disiplin ilmu dan
kebangsaan yang sama. Selama lebih dari 20 tahun, elit kebijakan ini
berhasil menentukan suatu agenda pembiayaan layanan kesehatan dan
menyusun kebijakan yang dilaksanakan dibanyak negara. Elit ini
mampu melakukannya sebagian karena kedudukannya sebagai
pendamping pengembangan, tetapi yang lebih penting lagi adalah
kekuasaannya atas keahlian teknis, ilmu pengetahuan dan posisi serta
tugas yang penting dalam jaringan tersebut. Kehadiran jaringan ini
bukan merupakan bukti bahwa elit mendominasi seluruh kebijakan
reformasi kesehatan. Jika diketahui bahwa isu kebijakan lain dalam
konteks kebijakan internasional yang luas dipengaruhi oleh orangorang dan lembaga yang berasal dari negara lain, dan disusun oleh
48. 48
para pembuat keputusan dengan mandat dan latar belakang yang
berbeda, pembaca dapat menyimpulkan bahwa terjadi bentuk pluralis.
Sejumlah teori tentang pembagian kekuasaan di masyarakat
dan sifat-sifat keadaan dalam penyusunan kebijakan telah disajikan.
Perbedaan yang ada tidak sepele karena perbedaan-perbedaan tersebut
mengandung implikasi siapa yang berkuasa dan apa yang
menyebabkan perubahan dalam kebijakan. Sejumlah perbedaan
disebabkan oleh perbedaan pendekatan metode. Dengan
mempertimbangkan segala kritik, hambatan-hambatan metodologis
dan bukti empiris yang baru, para ahli teori telah memodifikasi dan
memperbaharui pendekatan mereka. Kebanyakan pluralis saat ini
mengakui bahwa penyusunan kebijakan tidak bisa seimbang. Mereka
mencatat adanya posisi-posisi istimewa dalam perusahaan-perusahaan
dan peran yang dimainkan media dalam kebanyakan sistem politik.
Meskipun ada tumpang tindih antara teori dan kesepakatan
atas beberapa hal, tetap ada bukti empiris yang masuk akal untuk
setiap pendapat teoritis. Jadi, akan lebih baik untuk kembali ke
permulaan. Dalam beberapa hal, pembagian kekuasaan akan
bergantung pada konteks dan isi kebijakan. Isu-isu tentang
kepentingan nasional nampaknya dibuat oleh kekuasaan elit,
sedangkan isu-isu rutin nampaknya sangat diperdebatkan dan
dipengaruhi oleh sejumlah kelompok kepentingan. Apa yang paling
bermanfaat dari contoh-contoh tersebut adalah mereka menunjukkan
cara yang berbeda untuk memahami suatu isu kebijakan.
Kekuasaan dan Sistem Politik
Model sistem penyusunan kebijakan yang ditunjukkan oleh
David Easton (1965) merupakan suatu pendekatan untuk
menyederhanakan pengambilan keputusan politik dan memahami
komponen pokok yang universal. Suatu sistem merupakan kesatuan
yang kompleks yang terdiri dari sejumlah bagian yang saling
berhubungan dan terkait. Bagian-bagian sistem dapat mengalami
perubahan pada saat saling berinteraksi dalam lingkungan yang lebih
luas. Meski perubahan dan proses interaksi ini menghasilkan
perubahan konstan dalam sistem, perubahan dan proses interaksi
tersebut harus tetap berada dalam keseimbangan jika mengharapkan
sistem tersebut tetap bertahan.
Sistem politik berkaitan dengan keputusan-keputusan
mengenai barang apa, jasa apa, kebebasan, hak dan keistimewaan apa
49. 49
yang hendak diberikan (atau tidak) dan kepada siapa akan diberikan
(atau tidak). Lingkungan mempengaruhi sistem politik karena
lingkungan menyediakan kesempatan, sumber-daya, tantangan dan
hambatan terhadap keputusan politik. Sebagai contoh: terjadi
kekurangan tenaga perawat. Kekurangan ini dapat menyebabkan suatu
tindakan (keputusan kebijakan) dari sistem politik untuk mengatasi
kekurangan tersebut. Diantara pilihan-pilihan kebijakan, sistem politik
mungkin akan meningkatkan jumlah mahasiswa perguruan tinggi,
memberikan insentif finansial seperti pinjaman untuk mendorong
mahasiswa mengikuti pendidikan perawat, merekrut perawat dari
negara lain, meningkatkan keterampilan dari staf paramedis untuk
melaksanakan sejumlah fungsi perawat, atau malah tidak melakukan
apa pun.
Kegiatan 2.9
Buatlah identifikasi mengenai hambatan dan tantangan dari
terhadap setiap kebijakan yang digambarkan diatas untuk menghadapi
kekurangan tenaga perawat. Sebagai contoh: peningkatan mahasiswa
perawat di pendidikan tinggi akan memerlukan tambahan dana, tidak
akan langsung menarik tambahan mahasiswa, dan akan memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Feedback
1. Menyediakan insentif keuangan untuk mahasiswa keperawatan
akan memerlukan tambahan dana, akan dipandang tidak adil
oleh mahasiswa dari fakultas lain akan sulit dikelola, dan
mungkin tidak menambah jumlah mahasiswa
2. Merekrut perawat asing akan memerlukan dana tambahan,
memerlukan perubahan dalam peraturan pengangkatan perawat
asing yang sudah ada, dan mungkin akan ditentang oleh asosiasi
perawat dalam negeri, kelompok yang takut orang asing atau
pasien
3. meningkatkan keterampilan kader kesehatan dan tenaga lain
untuk melaksanakan fungsi perawat akan mengakibatkan
permintaan penggajian sebagai perawat, memerlukan dana
tambahan, dan dapat ditentang oleh asosiasi perawat.
Proses kunci yang disoroti oleh model-model sistem tersebut
merupakan ‘input’ dan ‘output’ serta keterkaitan keduanya (Gambar
2.1). Input dalam bentuk tuntutan dan dukungan dari populasi (energi
yang menggerakkan sistem). Tuntutan terhadap sistem dibuat oleh