1. Locker Room Talk:
The Art of Blind Date
Cenderung sulit menemukan
pasangan di luar social circle, am I
an outer space creature?
Here's my little story tentang kencan buta.
Jakarta adalah kota yang cukup aneh. Kota ini merupakan salah satu kota yang
memiliki kepadatan penduduk terparah di dunia. Jumlah penduduk di Jakarta sendiri
setara dengan jumlah penduduk total Malaysia dan jauh melebihi negara-negara
lainnya seperti Australia, Taiwan, dan Belanda. Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk ke-4 terbanyak di dunia dan 10% dari total penduduk
Indonesia terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek.
Dengan statistik seperti ini, maka tidaklah heran bahwa orang Jakarta sering
mengeluh mengenai kepadatan dan kemacetan kota Jakarta. Ramainya tempat-
tempat hiburan seperti mal-mal di Jakarta dan sulitnya mencari tempat parkir
dimanapun saat weekend menjadi bukti kuat bahwa Jakarta sudah terlalu padat.
Tetapi walau dengan kepadatan yang menggila ini, Jakarta masih merupakan salah
satu tempat yang kurang bersahabat. Para warga Jakarta cenderung bergaul
dengan grup mereka sendiri, baik yang mereka temui di kantor, sekolah, atau
institusi lainnya. Kelompok orang di Jakarta jarang sekali untuk mencoba mencari
teman baru diluar social circle mereka, apalagi mencari pacar.
Pada saat mencari pasangan di Jakarta, pria akan cenderung mencari pasangan
didalam social circle mereka sendiri, atau sejauh-jauhnya akan meminta teman dari
teman untuk menjodohkan mereka dengan seseorang. Walau metode ini
menghasilkan hubungan yang setidaknya akan compatible on a social level, cara ini
sangat membatasi pencarian pasangan di ibu kota.
Personally, saya suka memikirkan mengenai fenomena sosial ini dan saat saya
utarakan kepada teman saya, dia memberikan saya proposal yang menarik yaitu
untuk dijodohkan melalui blind date. Sebagai sanggahan, saya belum pernah
mengikuti hal seperti itu sebelumnya dan idenya cukup menarik untuk saya setujui.
Rasa penasaran saya disambut oleh teman saya yang akhirnya merencanakan
pertemuan dengan temannya yang rencananya akan menjadi pasangan kencan
buta saya.
Saya tidak diberi tahu nama lengkap orang yang akan saya temui (untuk
2. mencegah facebook-stalking), tidak diberi tahu asal usul orang ini (asal
sekolahnya, pekerjaannya, dsb.), dan tentunya tidak diberi foto wanita ini. Saya
hanya diminta untuk membuat reservation di manapun saya mau, dan teman saya
seterusnya bekerja sebagai penengah antara saya dan blind date saya ini.
Perasaan cemas, tegang, dan penasaran bercampur aduk mengikuti hari-hari
sebelum blind date saya. Saya terus mengira-ngira seperti apa tampangnya, apa
pekerjaannya, apakah ia akan cukup menarik atau tidak, dan yang paling penting,
apakah ia akan suka dengan saya.
Ekspektasi dan rasa penasaran ini saja sudah cukup untuk membuat saya senang
dengan ide ini. Saya merencanakan penampilan saya berjam-jam sebelumnya.
Mengecek apakah saya sudah terlihat cukup rapi dari atas sampai bawah, mencukur
untuk memastikan muka saya bersih, memastikan baju-baju saya tersetrika rapi,
memastikan parfum yang saya pakai tidak terlalu menyengat, dan sebagainya.
Kencan buta ini akhirnya direncanakan di sebuah restoran di daerah Kuningan. Saya
sudah membuat reservasi beberapa hari sebelumnya, maka pada saat saya tiba dan
menyebut nama reservasinya, saya langsung diarahkan kepada meja saya dan
disanalah saya melihat dia sedang menunggu. Ia berpenampilan muda dan
berkelas, jelas bahwa ia juga memikirkan persepsi macam apa yang ingin ia
tampilkan kepada saya. Dari overall look dan details yang dia pasang pada
saat bertemu saya, ia terlihat sangat rapi, walau casual sekali.
Saya menghampiri mejanya, dia berdiri untuk menyambut saya secara formal, saya
sarankan agar ia duduk saja dan saya mengulurkan tangan saya untuk berjabat dan
kami berdua pun akhirnya berkenalan secara resmi. Saya duduk menyeberanginya
dan memulai proses untuk mengenalnya lebih baik.
Secara teoritis, kami sepertinya sangat compatible mulai dari jenjang pendidikan
yang serupa, latar belakang sosial-ekonomi yang sama, a shared cultural
background dan tidak ada keterbatasan bahasa antara kita berdua. Namun setelah
kurang lebih 2 jam exchanging questions mengenai each other, saya kecewa pada
saat menyadari bahwa kami tidak menemukan titik temu dalam perbincangan kami.
She had her own interests, I had mine.
Setelah menyelesaikan makan malam dan hidangan pencuci mulut, akhirnya kami
memutuskan untuk pergi menemui teman yang telah menjodohkan kami di sebuah
bar yang berlokasi di dekat restorannya. Di dalam perjalanan ke tujuan kami, kami
pun masih memaksakan perbincangan untuk mendapatkan titik temu, failing
miserably.
Pada saat kami tiba, kami berbincang sebentar dan setelahnya ia memisahkan diri
dari saya untuk bergabung dengan teman-temannya dan saya pun tidak
mengikutinya. Saat akan pulang, saya sempat menghampirinya untuk berpamitan
dan dia tidak memperkenalkan saya kepada teman-temannya, menandakan secara
mutlak bahwa ia pun tidak tertarik untuk mengembangkan blind date kami ke level
yang lebih tinggi. At least she and I agreed on that.
Malamnya, ia mengirimkan sms kepada saya berisi terima kasih atas makan
malamnya dan basa-basi mengenai betapa serunya acara kami. Saya balas dengan
tata krama berbasa-basi yang acceptable dan mengatakan bahwa pengalaman kami
3. seru dan mengakhirinya dengan “we should hang out sometime”, walau saya
sendiri tahu itu tidak akan terjadi.
Sejujurnya, date kami sendiri itu tidaklah begitu seru. Kami berdua mungkin tidak
mendapatkan chemistry yang pas dan tidak menghasilkan romantic sparks yang
cukup untuk mengembangkan interaksi kami berdua untuk sesuatu lebih dari date
ini. Tetapi blind date sendiri adalah hal yang sangat menarik.
Untuk mendapatkan kesempatan mengenal orang lebih dalam secara up close and
personal seperti ini sangatlah jarang karena terjadi diluar tekanan dari teman-teman
atau gengsi yang dimiliki orang Jakarta pada umumnya yang membuat mereka
bertindak sangat berbeda di depan umum. Situasi seperti blind date ini merobohkan
personal barriers dan mencabut semua exit strategy khas orang Jakarta seperti “Eh
gue kesana dulu ya” atau “Gue mau nyamperin temen gue disana”, dan
memanusiakan interaksi antar dua individu.
Yang menarik dari pengalaman saya adalah, pada saat saya menanyakan kemauan
teman-teman saya untuk melaluinya, banyak yang menolak. Alasannya berbagai
macam, berkisar dari “Gak usah deh, gue lagi gak nyari pacar” sampai yang lebih
jujur seperti “Kalo dia jelek gimana?” dan hal inilah yang membatasi para warga
Jakarta. Walau banyak orang sering mengeluh mengenai kurangnya exposure
mereka terhadap lawan jenis atau banyak orang sering berkata “kenalin gw ke
cewek/cowok (depending on your orientation) dong”, tidak banyak orang mau
mengambil resiko menemui calon pasangan yang tidak memenuhi standar kriteria
mereka.
Walau experience saya sendiri mungkin tidaklah menyenangkan,
tetapi jika ada tawaran untuk melakukan hal serupa saya pasti akan
menerima ajakannya.
Untuk mengenal seseorang di Jakarta secara personal tanpa adanya tekanan
eksternal untuk sesaat adalah hal yang jarang terjadi di ibu kota, dan ada baiknya
jika kita semua mulai mengenal orang lain lebih dalam. Saya fully support dan
menyarankan pengalaman ini kepada semua pria dan wanita di Jakarta. Stretch
your social circle, get out of your comfort zone. Dan jika ternyata orang itu tidak
memenuhi harapan anda pada saat blind date, so what? It’s not about quality, it’s
about variety.