Dokumen tersebut membahas tentang konsep ketahanan pangan di Indonesia. Secara garis besar, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi di mana terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga dalam hal jumlah, mutu, keamanan, ketersediaan, dan aksesibilitas. Untuk mencapai ketahanan pangan, diperlukan upaya meningkatkan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan secara berkelanjutan.
2. DEFINISI FORMAL KETAHANAN PANGAN
1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975: ketahanan pangan adalah
"ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu … ... untuk
menjaga keberlanjutan konsumsi pangan ... dan menyeimbangkan fluktuasi
produksi dan harga."
2. FAO 1992: Ketahanan Pangan adalah "situasi di mana semua orang dalam
segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe)
dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3. World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah: "akses oleh semua orang
pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat
dan aktif.
4. Oxfam 2001: Ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam
segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup
dan kualitas yang baik demi hidup yang katif dan sehat. Dua kandungan
makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan
kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran
maupun klaim).
5. FIVIMS 2005: Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika “semua orang
pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat.”
Sumber: http://www.zef.de/module/register/media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan
%20Indonesia%201950-2005.pdf….. Diunduh 23/3/2012
Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana
terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi
rumah tangga yang diukur dari ketercukupan
pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga
adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi
yang merata dan kemampuan membeli.
Indonesia – UU No.7/1996:
3. KETAHANAN PANGAN: TANGGUNGJAWAB BERSAMA
Pihak yang dianggap paling bertanggungjawab atas tidak tercapainya ketahanan
pangan, misalnya dalam bentuk mencuatnya masalah busung lapar, maka
jawabnya adalah pemerintah. Hal ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP)
No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, bahwa pemerintah, termasuk
pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan, termasuk upaya pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan di wilayah masing-masing. Menurut PP ini, yang
merupakan penjabaran UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan
merupakan tanggungjawab berbagai kementerian, yaitu pertanian, kelautan dan
perikanan, kehutanan, industri dan perdagangan, dalam negeri, kesejahteraan
sosial, dan menteri keuangan.
Peraturan perundang-undangan menetapkan banyak instansi yang bertugas untuk
menjaga ketahanan pangan. Hal ini mencerminkan tingginya perhatian pemerintah
terhadap masalah ketahanan pangan. Namun ada kesan bahwa pemerintah daerah
tertentu, dimana kerawanan pangan dan busung lapar terjadi, kurang serius
menangani masalah tersebut. Untuk mengatasi hal ini, kinerja Pemda secara
reguler dievaluasi, mencakup masalah kerawanan pangan, dengan bobot penilaian
yang cukup tinggi. Setiap Pemda hendaknya memiliki program-program riil untuk
ketiga aspek yang telah ditekankan di atas, yaitu peningkatan ketersediaan pangan,
peningkatan akses rakyat terhadap bahan pangan, dan pengembangan diversifikasi
konsumsi pangan.
Salah satu upaya nyata untuk menangani masalah pangan ialah
dengan mengembangkan sistem deteksi dini (early warning
system) terhadap masalah kerawanan pangan, khususnya di
daerah-daerah yang berpeluang tinggi mengalami masalah
tersebut. Sistem tersebut perlu dirancang sehingga juga
melibatkan masyarakat secara relatif luas. Dengan adanya
sistem ini, masalah kerawanan pangan diharapkan dapat
dicegah sehingga tidak sampai berkembang menjadi gizi buruk
apalagi busung lapar.
4. TANTANGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.
Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk
memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas,
keragaman dan keamanannya.
Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien
untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam
jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau.
Subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan
secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan
dan kehalalannya.
Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara
lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari
rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70
% dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48
juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar,
yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003)
Ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk
mencapai kesejahteraan bangsa ini. Menurut Penjelasan PP 68/2002, upaya
mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya
pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
Dalam perjalanan sejarah pembangunan dapat dicatat
berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang
meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah
diberbagai Negara. Permasalahan seperti ini merupakan cirri
Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan.
5. TANTANGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk di dunia. Pada tahun 1930, penduduk dunia hanya 2 miliar dan 30
tahun kemudian pada tahun 1960 baru mencapai 3 miliar. Lonjakan penduduk dunia
mencapai peningkatan yang tinggi setelah tahun 1960, hal ini dapat kita lihat dari
jumlah penduduk tahun 2000an yang mencapai kurang lebih 6 miliar orang, tentu
saja dengan pertumbuhan penduduk ini akan mengkibatkan berbagai permasalahan
diantaranya kerawanan pangan.
Di Indonesia, permasalah pangan tidak dapat kita hindari, walaupun kita sering
disebut sebagai negara agararis yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia, hal ini
seiring dengan meningkatnya penduduk.
Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya permasalahan yang
menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Berkurangnya lahan
pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi
ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa
yang mandiri dalam bidang pangan.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
Permasalahan yang mengahambat dalam mencapai ketahanan pangan
dan menjauhkan Indonesia dari keadaan rawan pangan adalah konversi
lahan pertanian menjadi daerah industri.
Menurut Tambunan (2003) dengan semakin sempitnya lahan pertanian ini,
maka sulit untuk mengharapkan petani kita berproduksi secara optimum.
Roosita (2002, dalam Tambunan (2003) memperkirakan bahwa konversi
lahan pertanian ke non pertanian di Indonesia akan semakin meningkat
dengan rata-rata 30.000-50.000 ha per tahun, yang diperkirakan jumlah
petani gurem telah mencapai sekitar 12 juta orang.
KONVERSI LAHAN PERTANIAN
6. KONSEP KETAHANAN PANGAN
Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan sebagian terjemahan istilah food security, ketahanan pangan
diberikan pengertian sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan cukup bagi setiap
orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya
baik secara fisik maupun ekonomi.
Dalam pengertian ini ketahanan pangan dikaitkan dengan 3 faktor utama yaitu :
a.Kecukupan (ketersediaan) pangan
b.Stabilitas ekonomi pangan
c.Akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk mendapatkan pangan
Konsep ketahanan pangan ini dilegitimasi pada Undang-undang pangan Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemeintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Indonesia memasukkan mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang
harus terpenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup,
merata dan terjangkau. Kondisi Ketahanan Pangan yang diperlukan juga mencakup
persyaratan bagi kehidupan sehat.
Definisi Ketahanan pangan sebagai termuat dalam Undang-undang RI Nomor 7
Tahun 1996 adalah sebagai berikut :
“Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman,
merata dan terjangkau”.
Swasembada merupakan bagian dari ketahanan pangan, pengertian ketahanan
pangan dan swasembada secara konsep dapat dibedakan. Ketahanan pangan
merupakan sebagian dari ketahanan pangan. Meskipun demikian, pengertian
ketahanan pangan dan swasembada secara konsep dapat dibedakan.
Ketahanan pangan terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari
distribusi, produksi, konsumsi dan status gizi.
Konsep ketahanan pangan (food security) dapat diterapkan untuk menyatakan
ketahanan pangan pada beberapa tingkatan :
1.global,
2.nasional,
3.regional dan
4.tingkat rumah tangga dan individu.
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
23/3/2012
7. KONSEP KETAHANAN PANGAN
Pengertian Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan :
a.Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam
jumlah, mutu dan beragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup
sehat.
b.Kemampuan rumah tangga untuk mencukupi pangan anggotanya dari produk
sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat.
c.Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari
waktu ke waktu agar hidup sehat (Usep Sobar Sudrajat, 2004).
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :
a.Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau
pembuatan makanan dan minuman.
b.Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c.Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan,
pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan
dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d.Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
e.Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.
f.Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri
atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g.Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun
yang tidak.
h.Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup.
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
23/3/2012
8. KONSEP KETAHANAN PANGAN
PENYEDIAAN PANGAN
Penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui :
a.Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA),
manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta aplikasi dan
penguasaan teknologi yang optimal.
b.Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai disektor
perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.
Ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat
dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme
pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat disempurnakan dan kebijakan
tata niaga, atau distribusi pangan dari sentral produksi sampai ketangan konsumen.
Akses individu dapat juga ditopang dengan oleh intervensi kebijakan harga yang
memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat. Intervensi
pemerintah dalam hal distribusi pangan pokok masih nampak relevan, terutama
untuk melindungi produsen terhadap anjloknya harga produk pada musim panen,
dan untuk melindungi konsumen dari melambungnya harga kebutuhan pokok pada
musim tanam atau musim paceklik.
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
23/3/2012
Usaha-usaha Meningkatkan Hasil Pertanian
http://soerya.surabaya.go.id/AuP/e-
DU.KONTEN/edukasi.net/SMP/Geografi/Pertanian/materi04.html
9. Pengembangan Ketahan Pangan Rumah Tangga
Pengembangan ketahanan pangan khususnya di tingkat rumah tangga,
mempunyai prespektif pembangunan yang sangat mendasar karena :
1.Akses pangan dan gizi seimbang bagi seluruh rakyat sebagai pemenuhan
kebutuhan dasar pangan merupakan hak yang paling asasi bagi manusia
2.Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas sangat di
pengaruhi oleh keberhasilan untuk memenuhi kecukupan pangan dan nutrisi
3.Ketahanan pangan merupakan unsur trategis dalam pembangunan
ekonomi dan ketahan tangan (BKP, 2006).
Ketahanan Pangan Terdiri dari Berbagai Elemen :
a. Ketersediaan pangan
b. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan
untuk menguasai pangan yang cukup
c. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas
(menunjukkan pada kerentanan internal seperti penurunan
produksi) dan keandalan (menunjukkan pada kerentanan
eksternal seperti flukuasi perdagangan internasional).
d. Keberlanjutan merupakan kontinuitas dari akses
dan ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan
usaha tani.
INTENSIFIKASI PERTANIAN
Intensifikasi pertanian adalah pengolahan lahan pertanian yang ada dengan
sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan
berbagai sarana. Intensifikasi pertanian banyak dilakukan di Pulau Jawa dan
Bali yang memiliki lahan pertanian sempit.
Pada awalnya intensifikasi pertanian ditempuh dengan program Panca Usaha
Tani, yang kemudian dilanjutkan dengan program sapta usaha tani.
Adapun sapta usaha tani dalam bidang pertanian meliputi kegiatan sebagai
berikut :
1.Pengolahan tanah yang baik
2.Pengairan yang teratur
3.Pemilihan bibit unggul
4.Pemupukan
5.Pemberantasan hama dan penyakit tanaman
6.Pengolahan pasca panen
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
23/3/2012
10. SITUASI KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
Ketahanan pangan dan gizi menghendaki pasokan dan harga pangan yang
stabil, merata dan berkelanjutan, serta kemampuan rumah tangga untuk
memperoleh pangan yang cukup, serta mengelolanya dengan baik agar
setiap anggotanya memperoleh gizi yang cukup dari hari ke hari.
Sejak tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri
kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa
Indonesia yang jumlahnya lebih dari 210 juta jiwa, Indonesia harus
mengimpor bahan pangan seperti beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta
ton, kedelai lebih dari 1 juta ton, kacang tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula
pasir 1,6 juta ton, ternak hidup setara 82 ribu ton, daging 39 ribu ton, susu
dan produknya 99 ribu ton per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per
tahun, juga beberapa komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi
pertumbuhan permintaan pangan yang terus meningkat dan tidak diikut
peningkatan produksi, bahkan ada peningkatan kecenderungan penurunan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebutuhan pangan tidak mampu
dipenuhi dari produksi nasional. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan
harus dipenuhi dari impor. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik karena
impor menguras banyak devisa serta tidak strategis bagi kepentingan
ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang (BKP, 2006).
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan
indikasi lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan.
Disisi penyediaan pangan, walaupun saat ini volumenya
mencukupi, namun saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang
cukup serius yaitu laju percepatan konsumsi, terutama didorong
oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dibadingkan laju
pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).
11. KETAHANAN PANGAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA
Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga sangat berkaitan dengan faktor
kemiskinan. Ketahanan pangan terutama ditentukan oleh nilai ekonomis beras,
sebab beras merupakan komoditas paling penting di Indonesia, terutama bagi
kelompok sosial ekonomi rendah. Dengan demikian tingkat harga beras merupakan
determinan utama kemiskinan di tingkat rumah tangga. Kebijakan tentang harga
beras merupakan dilema bagi masyarakat baik produsen maupun konsumen. Harga
beras yang tinggi akan merugikan kelompok masyarakat yang murni sebagai
konsumenn seperti masyarakat perkotaan, sedangkan harga beras yang rendah
akan merugikan masyarakat petani di pedesaan sebagai produsen beras.
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga dipengaruhi oleh ketahanan
pangan di tingkat nasional dan regional, namun tanpa disertai dengan distribusi dan
aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, maka tidak akan tercapai ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga
Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan. Ketahanan
pangan sangat ditentukan oleh faktor ketersediaan pangan, akses dan utilisasinya
terutama pada kelompok rentan.
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
merupakan faktor langsung yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumah
tangga. Ketersediaan pangan lebih mengacu
pada simpanan bahan pangan (food storage)
dan ketersediaan pangan pokok (staple food)
di rumah.
12. INDIKATOR KETAHANAN PANGAN
Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari beberapa indikator, yaitu
indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan
situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan,
sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak
langsung.
Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim,
akses terhadap sumber daya alam, praktek pengelolaan lahan,
pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial.
Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses
terhadap kredit modal.
Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk
memenuhi kekurangan pangan. Strategi ini dikenal sebagai koping ability
indikator.
Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi
pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan
dan status gizi.
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
Diversifikasi Pertanian
Adalah usaha penganekaragaman jenis usaha atau tanaman
pertanian untuk menghindari ketergantungan pada salah satu hasil
pertanian.
Diversifikasi pertanian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.Memperbanyak jenis kegiatan pertanian, misalnya seorang petani
selain bertani juga beternak ayam dan beternak ikan.
2.Memperbanyak jenis tanaman pada suatu lahan, misalnya pada
suatu lahan selain ditanam jagung juga ditanam padi ladang.
13. Pengertian Rawan Pangan
Rawan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai utnuk hidup sehat dan
beraktivitas dengan baik utnuk sementara waktu dalam jangka panjang.
Kondisi ini dapat saja sedang terjadi atau berpotensi untuk terjadi.
Rawan pangan juga didefinisikan kondisi didalamnya tidak hanya
mengandung unsur yang berhubungan dengan state of poverty saja seperti
masalah kelangkaan sumber daya alam, kekurangan, modal, miskin motivasi,
dan sifat malas yang disebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi
konsumsi pangan.
Rawan pangan juga mengandung unsur dinamis yang berkaitan dengan
proses bagaimana pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat
diperoleh setiap individu/rumah tangga melalui proses pertukaran guna
mempengaruhi kebutuhan pangan mereka.
KERAWANAN PANGAN
Istilah “Rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari
ketahanan pangan (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah
“terjadingan penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertian
sama.
Ada dua jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food
insecurity) dan bersifat sementara (transitory food insecurity).
Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah
tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk
tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang
terjadi sepanjang waktu.
Pengertian rawan pangan akut atau transitory mencangkup rawan pangan musiman
(seasonal). Rawan pangan ini terjadi karena adanya kejutan (shock) yang sangat
membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada
di pedesaan.
Bagi rumah tangga diperkotaan rawan pangan tersebut disebabkan oleh pemutusan
hubungan kerja dan pengangguran.
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
23/3/2012
14. PENYEBAB RAWAN PANGAN
Kerawanan pangan terjadi kalau suatu rumah tangga, masyarakat atau daerah
tertentu mengalami ketidak-cukupan pangan untuk memenuhi standart kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan seluruh individu anggotanya.
Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat rawan pangan, yaitu :
a.Kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah;
b.Kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan dan pangan;
c.Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang
dimiliki oleh individu/rumah tangga.
Ketiga hal tersebut, pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul
secara stimultan dan bersifat relatif permanen. Sedang pada kasus rawan pangan
musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh hanya salah satu atau dua faktor
yang tidak permanen.
Permasalahan rawan pangan yang muncul bukan persoalan produksi pangan
semata. Kerawanan pangan merupakan masalah multidimensional, bukan hanya
urusan produksi saja. Kerawanan pangan mencakup masalah pendidikan, tenaga
kerja, kesehatan, kebutuhan dan prasarana fisik.
Kerawanan pangan di Indonesia diakui masih mengakibatkan impor pangan
semakin meningkat.
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
Kerawanan Pangan
Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di tingkat
mikro. Produksi yang hanya terjadi di wilayah-wilayah tertentu pada waktu-waktu
tertentu menyebabkan terjadinya konsentrasi ketersediaan di daerah-daerah produksi
dan pada masa-masa panen.
Pola konsumsi yang relatif sama pada antar-individu, antar-waktu dan antar-daerah
mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Sehingga,
mekanisme mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu
dengan mengandalkan stok akan berpengaruh pada kesetimbangan antara
ketersediaan dan konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga
sangat terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Sehingga, meskipun
komoditas pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi sementara daya beli
rumah tangga rendah akan menyebabkan rumah tangga tidak bisa mengaksesnya.
Kondisi ini memicu timbulnya kerawanan pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata
71-89 % dari kecukupan energi normal. Penduduk sangat rawan pangan jika hanya
mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal. Banyaknya
penduduk rawan pangan masih terjadi di semua propnsi dengan
besaran yang berbeda.
(Sumber:
15. Kondisi Rawan Pangan di Tingkat Rumah Tangga
Kondisi rawan pangan ditingkat rumah tangga dapat dikategorikan tingkat empat,
yaitu :
a.Tidak rawan pangan (food secure);
b.Rawan pangan tanpa terjadi kelaparan (food insecure without hunger);
c.Rawan pangan dan terjadi kelaparan tingkat sedang (food insecure with hunger
moderate);
d.Rawan pangan dan terjadi kelaparan tingkat berat (food insecure with hunger
severe).
INDIKATOR RAWAN PANGAN
Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha individu/rumah
tangga untuk mengatasi kerawanan pangan, menurut Sapuan (2001).
a.Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala kekurangan
produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu :
1.Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;
2.Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus,
dan sebagainya;
3.Terjadi kegagalan tanaman pangan makanan pokok; dan
4.Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat;
b. Tanda-tanda rawan pangan ke dua yang terkait akibat rawan pangan, yaitu :
kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi :
1.Bentuk tubuh individu kurus;
2.Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang makanan (KM);
3.Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai Kesehatan
Puskesmas;
4.Peningkatan kematian bayi dan balita; dan
5.Peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan dibawah standar
c. Tanda-tanda yang ketiga yang erat hubungannya dengan masalah sosial
ekonomi dalam usaha individu atau rumah tangga untuk mengatasi masalah rawan
pangan yang meliputi:
1.Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang sudah mulai
makan sebagian masyarakat;
2.Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;
3.Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan sebagainya);
4.Meningkatkan kriminalitas
Sumber: http://ajangberkarya.wordpress.com/2008/05/20/konsep-ketahanan-pangan/….. Diunduh
16. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa
Ginandjar Kartasasmita
Seminar: “Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”
Bandung, 26 November 2005
Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
1.Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan
Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program
Swasembada Pangan.
2.Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada
pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun
1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan
yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank,1990).
Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
3.Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu
permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indoensia. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi
syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya
stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih
ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan,
belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima
petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.
Sumber: http://www.ginandjar.com/public/unpas26nov.pdf….. Diunduh 23/3/2012
Rehabilitasi Pertanian
Adalah usaha memperbaiki lahan pertanian yang semula tidak produktif atau sudah tidak
berproduksi menjadi lahan produktif atau mengganti tanaman yang sudah tidak produktif
menjadi tanaman yang lebih produktif. Sebagai tindak lanjut dari program-program tersebut,
telah ditempuh langkah-langkah berikut:
1.Memperluas,memperbaiki dan memelihara jaringan irigasi yang meluas di seluruh wilayah
Indonesia
2.Menyempurnakan sistem produksi pertanian pangan melalui penerapan berbagai paket
program yang diawali dengan program Bimbingan Masal (Bimas) pada tahun 1970.
Kemudian disusul dengan program intensifikasi Masal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus)
dan Supra Insus yang bertujuan meningkatkan produksi pangan secara
berkesinambungan.
3.Membangun pabrik pupuk serta pabrik insektisida dan pestisida yang dilaksanakan untuk
menunjang proses produksi pertanian.
4.Usaha-usaha meningkatkan hasil pertanian dapat dilakukan antara lain dengan cara :
5.Membangun gudang-gudang, pabrik penggilingan padi dan menetapkan harga dasar
gabah
6.Memberikan berbagai subsidi dan insentif modal kepada para petani agar petani dapat
meningkatkan produksi pertaniannya.
7.Menyempurnakan sistem kelembagaan usaha tani melalui pembentukan kelompok tani,
dan Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh pelosok daerah yang bertujuan untuk
memberikan motivasi produksi dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi para
petani.
17. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa
Ginandjar Kartasasmita
Seminar: “Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”
Bandung, 26 November 2005
KETAHANAN PANGAN DAN DEMOKRASI.
1.Sesungguhnya ruh dari program ketahanan pangan adalah ketersediaan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan secara adil dan merata.
Ketersediaan mengandung nilai semangat produktifitas, adapun aksesibilitas
mencakup bagaimana pemenuhan hak asasi serta keterjangkauan termasuk
daya beli seluruh rakyat akan pangan. Produktifitas mengandung nilai
kemandirian dan keberdayaan. Adapun pemenuhan hak asasi rakyat akan
pangan berhubungan bagaimana proses demokratisasi pemerintahan berjalan
dengan baik.
2.Demokrasi membuka ruang publik agar rakyat berani mengemukakan
pendapat, keluhan dan masalahnya dalam koridor norma hukum yang berlaku.
Demokrasi juga membuka ruang untuk membangun tata kelola
kepemerintahan atas dasar partisipasi rakyat, egalitarian, transparansi, dan
akuntabel.
3.Dengan demikian, demokrasi dipercaya merupakan salah satu solusi
akseptabilitas pembangunan ketahanan pangan.
4.Demokrasi yang genuin dapat diwujudkan apabila hak dasar akan pangan
pada seluruh masyarakat sudah terpenuhi secara adil dan merata. Terdapat
hubungan timbal balik antara ketahanan pangan atau perkembangan kemajuan
ekonomi dengan kualitas demokrasi di suatu bangsa.
5.Proses desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang
keberlangsungan ketahanan pangan nasional dengan berbagai keunikan dan
keanekaragam hayati dan budaya lokalnya. Dalam konteks otonomi daerah,
ketahanan pangan nasional sangat ditentukan oleh ketahanan pangan di
daerah.
6.Semakin mandiri dan berdaya daerah dalam ketahanan pangannya, semakin
memungkinkan kemandirian nasional dan keberdayaan nasional dalam
ketahanannya pangannya.
7.Prakarsa dan inovasi program ketahanan pangan hanya dapat berkembang
dengan baik, tatkala demokratisasi kepemerintahan di daerah dengan berbagai
kearifannya berjalan dengan baik yang memadukan tuntutan kebutuhan lokal-
regional-nasional dan global.
Sumber: http://www.ginandjar.com/public/unpas26nov.pdf….. Diunduh 23/3/2012
18. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa
Ginandjar Kartasasmita
Seminar: “Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”
Bandung, 26 November 2005
Ketahanan Pangan dan Kemandirian
1.Globalisasi, merupakan tantangan yang harus dihadapi. Kemampuan kita mengubah
tantangan ini menjadi peluang, akan sangat tergantung dari cara pandang kita dalam
menghadapinya. Kaitannya dengan ketahanan pangan adalah bagaimana mensinergikan
aneka ragam hayati lokal sebagai sumber pangan dengan tuntutan kebutuhan pasar global.
2.Desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang manajemen pembangunan,
termasuk program ketahanan pangan, untuk dapat tumbuh atas prakarsa dan inovasi
daerahnya masing-masing dengan berbagai kearifannya. Pada era otonomi daerah ini, aneka
ragam budaya dan hayati lokal merupakan peluang untuk melakukan akselerasi dalam
mewujudkan ketahanan pangan nasional.
3.Tuntutan kebutuhan pasar global akan pangan bukan hanya dari seberapa cukup dan
tersedia pangan, akan tetapi sejauhmana kualitas kesehatan pangan yang aman dan bergizi.
Kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar global kembali ke alam merupakan peluang untuk
melakukan kemandirian pembangunan perdesaan sekaligus sebagai momentum untuk
melakukan pemberdayaan petani kita yang semula sangat tergantung pada asupan produk
kimiawi dan monokultur (beras) menuju pertanian inovatif yang multikultur.
4.Konsep kemandirian dalam ketahanan pangan bukanlah kemandirian dalam keterisolasian.
Dengan demikian, masalah kemandirian tidak didasarkan pada paradigma ketergantungan
yang banyak dibicarakan terutama di negara-negara berkembang di Amerika latin tahun 1950
dan 1960-an.
5.Kemandirian dalam konteks kini (global) menuntut adanya kondisi saling ketergantungan
(interdependency) antara lokal-global, traditional-modern, desa-kota, rakyat-pemerintah,
pertumbuhan-pemerataan, serta antar lembaga sesuai fungsinya. Kemandirian dengan
demikian adalah paham pro-aktif dan bukan reaktif atau defensif.
6.Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan
nasional hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun atas
dasar kekuatan modal sosial yang tinggi.
7.Kemandirian ketahanan pangan dalam era globalisasi hanya dapat diwujudkan tatkala
paradigma pembangunan yang dikembangkan baik di pusat maupun di daerah mampu
memadukan antara tuntutan global dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah fungsi dan
peran demokratisasi ekonomi-politik dan sosial pada semua tingkatan pemerintahan dan
lembaga masyarakat menjadi sangat penting apakah arus globalisasi ini merupakan peluang
untuk menjadi suatu kekuatan atau ancaman. Sesungguhnya para pendiri negara kita telah
mencanangkannya 60 tahun yang lalu, yaitu tertuang dalam pasal 27 ayat (2) dan 33 ayat (4)
UUD 1945.
Sumber: http://www.ginandjar.com/public/unpas26nov.pdf….. Diunduh 23/3/2012
19. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa
Ginandjar Kartasasmita
Seminar: “Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”
Bandung, 26 November 2005
Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Masyarakat
1.Tidak ada suatu kemandirian tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti
memampukan masyarakat dan pemerintah daerah dalam aspek material,
intelektual, moral dan manajerial.
2.Pemberdayaan dalam program ketahanan pangan berarti pula proses sistematis,
berkesinambung dan terpadu dalam sistem ketahanan pangan yang berakarkan
kekuatan rakyat serta kearifan budaya lokal untuk menghadapi tantangan dan
kebutuhan pangan secara nasional dan global.
3.Untuk pemaparan lebih lanjut tentang pemberdayaan, kisi-kisi pemberdayaan a.l.:
1.Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi dalam menjalankan pembangunan yang
berakarkan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan yang
merangkum nilai-nilai sosial. Bersifat “People-centered, participatory, empowering and
sustainable” (Chambers,1995).
2.Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam
masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Sebuah masyarakat
yang sebagian besar anggotanya sehat fisik, mental, terdidik dan kuat, juga memiliki nilai-nilai
intrinsik lainnya dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan yaitu kekeluargaan,
kegotongroyongan dan kebhinekaan.
3.Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan,
dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan
masyarakat ini menjadi sumber dari ketahanan nasional yaitu memampukan dan memandirikan
masyarakat.
4.Pemberdayaan adalah penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada
berbagai peluang (opportunities).
5.Pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan
pengamalan demokrasi.
6.Pertumbuhan ekonomi dalam sistem yang tidak mengindahkan partisipasi politik rakyat,
cenderung menghasilkan kesenjangan, yakni kesenjangan antara yang memperoleh kesempatan
dan tidak memperoleh kesempatan dalam sistem yang tertutup.
7.Dalam memecahkan problematika kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, selain upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga diperlukan upaya pembaharuan sosial.
8.Upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan
kemampuan rakyat, dengan cara ditingkatkan kemampuannya, serta dengan mengembangkan
dan mendinamisasikan potensinya (harkatmartabat- rasa percaya diri dan harga dirinya).
Sumber: http://www.ginandjar.com/public/unpas26nov.pdf….. Diunduh 23/3/2012
20. KEDAULATAN PANGAN
Krisis pangan yang dialami oleh suatu masyarakat dapat bermuara pada situasi
”tidak berdaulat atas pangan”. Kedaulatan pangan merupakan hak setiap
masyarakat untuk menetapkan pangan bagi dirinya sendiri dan hak untuk
menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa menjadikannya
subyek berbagai kekuatan pasar internasional.
Menurutnya, terdapat 7 prinsip tentang kedaulatan pangan:
(1)hak akses ke pangan;
(2)reformasi agraria;
(3)penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan;
(4)pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan;
(5)pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi;
(6)melarang penggunaan pangan sebagai senjata; dan
(7)pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Sumber: http://nusataniterpadu.files.wordpress.com/2008/10/ketahanan-pangan-2008.pdf …..
Diunduh 23/3/2012
Mengukur Kecukupan Pangan
Standart kecukupan pangan adalah dihitung kalori dan protein (akan direvisi
standarnya) sedangkan pola pangan harapan adalah suatu kombinasi dari
konsumsi yang kalau itu dinilai dengan skor 100 berarti sudah cukup beragam
didalam mengkonsumsi bahan-bahan sumber karbohidrat, protein, vitamin,
mineral, dst. Padi-padian kacang-kacangan sayuran, buah-buahan, kalau
ideal pola pangan harapannya 100. Tapi biasanya kita belum sampai 100,
ditingkat nasional baru sekitar 75.
Prinsip utama yang diamanatkan oleh semua komponen rakyat Indonesia
adalah membangun ketahanan pangan yang bertumpu pada kemampuan
sumberdaya, budaya dan kelembagaan lokal. Pangan sedapat mungkin
dihasilkan oleh produksi sumberdaya sendiri.
Pembangunan pertanian harus diupayakan sedemikian rupa sehingga
memenuhi persyaratan terutama keberkelanjutannya. Intinya dari sisi
sumberdaya alam harus dijaga supaya tidak cepat rusak,
21. KEBUTUHAN PANGAN RATA-RATA
Menurut prediksi yang dilakukan oleh Husodo (2002), kebutuhan
pangan rata-rata per orang pada awal abad ke 21 mencapai 133 kg.
Kecuali beras, rata-rata konsumsi beberapa pangan pokok masyarakat Indonesia
seperti jagung, ikan, ayam, daging (sapi, dll.), telur, susu, gula, kedelai, buah-
buahan, dan sayur-sayuran per kapita per tahun masih rendah.
Dibandingkan rata-rata konsumsi dunia sebesar 16 kg, kebutuhan ikan di Indonesia
hanya mencapai 12,5 kg per orang.
Kebutuhan ayam hanya 3,8 kg, lebih banyak daripada di Malaysia, tetapi lebih
rendah daripada di Filipina dan Thailand. Konsumsi buah-buahan hanya sekitar
40,06 kg, jumlah yang jauh lebih sedikit daripada di dua negara maju seperti Jepang
dan AS, yang masing-masing mencapai 120 kg dan 75 kg per kapita per tahun;
sedangkan FAO merekomendasi konsumsi buah-buahan sebanyak 65,75 kg.
Perkiraan konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia yang tidak mencapai 16 kg
juga masih dibawah rata-rata dunia yang diperkirakan sebesar 25,1 kg.
Untuk kedelai, masyarakat Indonesia rata-rata hanya mengkonsumsi 6,01 kg
dibandingkan rata-rata dunia sebanyak 7 kg.
Untuk sayuran, Indonesia mengkonsumi hampir 38 kg, sedangkan yang
direkomendasi oleh FAO adalah 65,75 kg.
Sumber: http://nusataniterpadu.files.wordpress.com/2008/10/ketahanan-pangan-2008.pdf …..
Diunduh 23/3/2012
KEBUTUHAN PANGAN
Pangan adalah kebutuhan paling utama manusia. Pangan dibutuhkan
manusia secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Usaha mencukupi
kebutuhan pangan di negara-negara berkembang dilakukan secara
tradisional atau dengan cara memperluas lahan pertanian yang disebut
ekstentifikasi, sedangkan di negara maju, sistem pertanian telah dilakukan
dengan cara intensifikasi yaitu cara mengolah pertanian dengan lebih baik
dan moderen.
Hal itu menyebabkan produksi pertanian negara maju lebih banyak
dibanding negara berkembang.
Di berbagai masyarakat, bahan makanan pokok memegang peranan utama
dalam memenuhi kebutuhan penduduk.
Contohnya orang di Sumatera dan Jawa sebagian besar mengonsumsi
nasi sedangkan masyarakat Maluku dan Papua mengonsumsi sagu.
22. FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENENTU KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh tiga pilar tersebut namun
oleh sejumlah faktor berikut:
(a)lahan (atau penguasaan tanah),
(b)infrastruktur,
(c)teknologi, keahlian dan wawasan,
(d)energi,
(e)dana (aspek perkreditan),
(f)lingkungan fisik/iklim,
(g)relasi kerja dan
(h)ketersediaan input lainnya.
Sumberdaya Lahan
Menurut berita di Kompas,36lahan sawah di Indonesia hanya 4,5% dari total luasan
daratan. Sekitar 8,5% merupakan tanah perkebunan, 7,8% lahan kering, 13% dalam
bentuk rumah, tegalan, dan ilalang, serta 63% merupakan kawaswan hutan.
Menurut BPS, pada tahun 2030 kebutuhan beras di Indonesia mencapai 59 juta ton.
Karena luas tanam padi tahun 2007 hanya sekitar 11,6, maka untuk mendukung
kebutuhan beras tersebut diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta ha.
Keterbatasan lahan pertanian, khususnya untuk komoditas-komoditas pangan,
memang sudah merupakan salah satu persoalan serius dalam kaitannya dengan
ketahanan pangan di Indonesia selama ini.
Menurut staf khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Herman Siregar),
lahan sawah terancam semakin cepat berkurang; walaupun sebenarnya lahan yang
secara potensial dapat digunakan, misalnya, namun belum digunakan masih
banyak.
Alasannya, pencetakan sawah baru menemui banyak kendala, termasuk biayanya
yang mahal, sehingga tambahan lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan
ketimbang luas areal yang terkonversi untuk keperluan non-pertanian.
Ironisnya, laju konversi lahan pertanian tidak bisa dikurangi, bahkan terus
meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan pesatnya urbanisasi (yang didorong
oleh peningkatan pendapatan per kapita dan imigrasi dari perdesaan ke perkotaan),
dan industrialisasi.
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
23. FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENENTU KETAHANAN PANGAN
Infrastruktur Pertanian Pangan
Menurut analisis Khomsan (2008), lambannya pembangunan infrastruktur ikut
berperan menentukan pangsa sektor pertanian dalam mendukung ketahanan
pangan. Pembangunan infrastruktur pertanian sangat penting dalam mendukung
produksi pangan yang mantap. Perbaikan infrastruktur pertanian seyogyana terus
dilakukan sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian dan tidak
mengganggu arus pendapatan ke petani.
Sistem dan jaringan Irigasi (termasuk bendungan dan waduk) merupakan bagian
penting dari infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik,
diharapkan dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian,
terutama tanaman pangan.
Jaringan irigasi yang baik dapat mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP).
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air
Departemen Pertanian, rata-rata IP lahan sawah di Indonesia
hanya 1,57 kali, artinya dalam satu tahun rata-rata lahan
pertanian di Indonesia ditanami kurang dari 2 kali musim
tanam.
Di pulau Jawa, IP rata-rata lebih besar dari 2, tetapi di luar
pulau Jawa umumnya nilai IP berkisar 1 hingga 1,3 kali. Bagi
petani, semakin tinggi IP semakin besar pendapatannya,
berarti semakin besar insentif ekonomi untuk meningkatkan
produksinya.
INDEKS PERTANAMAN (IP)
24. TEKNOLOGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA
Teknologi dan sumber daya manusia (SDM), sangat menentukan keberhasilan
pencapaian ketahanan pangan. Pemakaian teknologi dan input-input modern tidak
akan menghasilkan output yang optimal apabila kualitas petani dalam arti
pengetahuan atau wawasannya mengenai teknologi pertanian, pemasaran, standar
kualitas, dll. Masih sangat rendah.
Teknologi dan SDM merupakan dua faktor produksi yang sifatnya komplementer,
dan ini berlaku di semua sektor, termasuk pertanian.
Kualitas SDM di sektor pertanian sangat rendah jika dibandingkan di sektor-sektor
ekonomi lainnya seperti industri manufaktur, keuangan, dan jasa.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, lebih dari 50% dari jumlah petani adalah dari
kategori berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah dasar (SD).
Rendahnya pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan
petani Indonesia mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk menggunakan
traktor dan mesin pertanian lainnya secara efisien.
ENERGI
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung dan
tidak langsung.
Jalur langsung adalah energi seperti listrik atau bahan bakar minyak (BBM) yang
digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya, misalnya dalam menggunakan
traktor.
Deptan memperkirakan kenaikan harga BBM tahun itu mengakibatkan naiknya
biaya produksi antara 15% hingga 20%, dan ini akan mengurangi margin
keuntungan petani sebesar kenaikan biaya BBM tersebut.64Sedangkan lewat jalur
tidak langsung adalah energi yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang
membuat input-input lainnya dan alat-alat transportasi dan komunikasi
Sumber: ….. Diunduh 23/3/2012
FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENENTU KETAHANAN PANGAN
25. MODAL
Keterbatasan dana menjadi salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan di
Indonesia.
Diantara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit mendapat
kredit dari perbankan (dan juga dana investasi) di Indonesia.
Kekurangan modal juga menjadi penyebab banyak petani tidak mempunyai mesin
giling sendiri. Padahal jika petani punya mesin sendiri, berarti rantai distribusi
tambah pendek yang berarti juga kesempatan lebih besar bagi petani untuk
mendapatkan lebih banyak penghasilan.
Berdasarkan SP 2003, tercatat hanya sekitar 3,06% dari jumlah petani yang pernah
mendapatkan kredit bank, sedangkan sisanya membiayai kegiatan bertani dengan
menggunakan uang sendiri
FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENENTU KETAHANAN PANGAN
Usaha tani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang
terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian
seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang
dilakukan di atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-
bangunan yang didirikan di atas tanah tersebut dan
sebagainya.
Usahatani dapat berupa bercocok tanam atau memelihara
ternak.
Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama
dengan faktor produksi lainnya (tanah atau tenaga kerja)
menghasilkan barang-barang baru yaitu dalam hal ini hasil
pertanian. Modal dalam pertanian dapat diwujudkan dalam
bentuk pengeluaran pupuk dengan tujuan untuk meningkatkan
hasil pertanian.
USAHATANI
26. LINGKUNGAN FISIK/IKLIM
Dampak pemanasan global diduga juga berperan dalam menyebabkan krisis
pangan dunia, termasuk di Indonesia, karena pemanasan global menimbulkan
periode musim hujan dan musim kemarau yang semakin tidak menentu.
Pola tanam dan estimasi produksi pertanian serta persediaan stok pangan menjadi
sulit diprediksi dengan akurat. Pertanian pertanian pangan, merupakan sektor yang
paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya yang mengakibatkan
musim kering berkepanjangan; hal ini karena pertanian pangan di Indonesia masih
sangat mengandalkan pada pertanian sawah yang memerlukan banyak air.
Secara per kapita, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia memang masih lebih
sedikit jika dibandingkan dengan China dan India, apalagi dibandingkan dengan
negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Jepang, Namun,
secara nasional, Indonesia berada di urutan ketiga negara paling polutif di dunia,
setelah AS dan China.
Sekitar 85% emisi tahunan GRK Indonesia berasal dari sektor kehutanan, terutama
akibat penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian
atau perkebunan, dan kebakaran hutan.
Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah
penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air
karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim,
dapat mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam.
FAKTOR-FAKTOR UTAMA PENENTU KETAHANAN PANGAN
Hasil simulasi yang dilaporkan oleh
Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), setiap kenaikan suhu udara 2 derajat
Celsius akan menurunkan produksi pertanian
di China dan Bangladesh sebesar 30 persen
pada tahun 2050.
27. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun
1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi
untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1.kecukupan ketersediaan pangan;
2.stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari
tahun ke tahun.
3.aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4.kualitas/keamanan pangan
Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini merupakan indikator
utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan.
Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara
menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk
mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
Mengukur Kecukupan Pangan
Ketahanan Pangan merupakan kondisi dimana masyarakat kita mempunyai
pangan yang cukup di tingat wilayah, tetapi juga di masing-masing rumah
tangga mampu mengakses pangan dengan cukup untuk semua anggota
kelaurganya, dapat tumbuh hidup sehat dan bekerja secara produktif.
Ada dua prinsip yang harus dipenuhi dalam ketahanan pangan , yaitu (1)
Tersedianya pangan yang cukup dan (2) Kemampuan rumah tangga untuk
mengakses pangan.
Ketahanan pangan menghendaki bahwa tiap rumah tangga meng-
konsumsi pangan yang cukup. Standart kecukupan dalam mengkonsumsi
sekitar 2000 kalori dan ketersediaan 2.500 kalori.
Kondisi di suatu daerah sangat menarik, ketersediaan hampir 3.000 kalori
per kapita, tetapi di tingkat rumah tangga konsumsinya masih di bawah
kecukupan. Artinya kalau masih rata- rata kecukupan berarti masih ada
yang di atas tetapi ada juga yang di bawah kecukupan pangan.
Ketahanan pangan belum tercapai apabila masyarakat masih ada yang
belum mampu mengakses pangan dengan cukup.
28. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
KECUKUPAN KETERSEDIAAN PANGAN
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran
mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu
ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya
dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam
berikutnya.
Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa
implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini.
1.Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok
(seperti Provinsi Lampung) digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk
menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok
cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang
dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan
asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat
panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng,
dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan.
Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga
rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
1. Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti
Provinsi Nusa Tenggara Timur) digunakan batas waktu selama
365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah
tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini
didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang
hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.
29. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim
panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan
sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain,
ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan
pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.
Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut:
Untuk Provinsi Lampung, sebagai contoh, dengan beras sebagai makanan pokok:
1.Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan
rumah tangga cukup
2.Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239 hari, berarti pesediaan
pangan rumah tangga kurang cukup
3.Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan
rumah tangga tidak cukup.
Untuk Provinsi NTT, sebagai contoh, dengan jagung sebagai makanan pokok:
1.Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan
rumah tangga cukup
2.Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364 hari, berarti pesediaan
pangan rumah tangga kurang cukup
3.Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan
rumah tangga tidak cukup
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
30. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
STABILITAS KETERSEDIAAN
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur
berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan
anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan
memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan
pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360
hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga)
kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai
kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat
menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah
tangga.
Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan
mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan
pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI
di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi
frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk
memperpanjang ketahanan pangannya.
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai
indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa
(berdasarkan penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki
persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3
kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya
makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu
strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak
segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari,
kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki
persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
31. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per
hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat
kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator
stabilitas ketersediaan pangan seperti berikut.
Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga (dengan
contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT)
Kecukupan
ketersediaan pangan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
> 3 kali 2 kali 1 kali
> 240 hari
> 360 hari
Stabil Kurang stabil Tidak stabil
1 -239 hari
1 – 364 hari
Kurang stabil Tidak stabil Tidak stabil
Tidak ada persediaan Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
Mengukur Kecukupan Pangan
Apa yang telah disampaikan oleh teman-teman dari Lesman tadi sudah merupakan
implementasi operasi dari suatu proses pemberdayaan masyarakat. Prinsip utama adalah
memberikan fasilitasi untuk masyarakat supaya bisa membangun pertanian secara
berkelanjutan dalam arti kelestarian sumberdaya alam dan pendapatan yang layak,
memberikan perlindungan dari persaingan yang tidak adil dengan barang-barang yang
datang dari luar negeri. Tugas lainya adalah pemberdayaan masyarakat agar masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri, mengatasi masalahnya secara mandiri. Itu kita sadari
dengan jelas bahwa pemerintah tidak mungkin melakukan sendiri. Pemerintah fungsinya
memfasilitasi, merespon kebutuhan masyarakat
Proses-proses Fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih berlawanan
dengan yang telah disampaikan Lesman. Di pihak pemerintah termasuk Legislatif dan
Eksekutif harus belajar dan harus mampu merubah cara kerja agar betul-betul bisa
merespon kebutuhan masyarakat untuk bisa mandiri seperti yang disampaikan oleh teman-
teman dari Lesman. Memasukkan unsur-unsur masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan merupakan salah satu pembaruan oleh Bupati, Kepala Dinas, karena hal
tersebut merupakan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Termasuk dalam proses
pengambilan keputusan apabila mengikutsertakan komponen petani, paling tidak bapak-
bapak sebagai pamong praja bisa mendengarkan aspirasi dan kebutuhan, Sehingga
kebijakan yang diputuskan bisa merespon dan menjawab kebutuhan masyarakat.
32. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga
memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan (missal sawah
untuk provinsi Lampung dan ladang untuk provinsi NTT) serta cara rumah
tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan
pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
1.Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan
sawah/ladang
2.Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki
lahan sawah/ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2
(dua) kateori yaitu:
(1)produksi sendiri dan
(2)membeli.
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan
dikelompokkan dalam kategori seperti berikut.
Pemilikan
sawah/ladang
Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan
Punya Akses langsung Akses tidak langsung
Tidak punya Akses tidak langsung
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
33. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas
ketersedian pangan yang merupaan penggabungan dari stabilitas ketersediaan
pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan
ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:
1.Mempunyai persediaan pangan cukup
2.Konsumsi rumah tanga normal dan
3.Mempunyai akses langsung tarhadap pangan
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat
dalam tabel berikut.
Akses terhadap
pangan
Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga
Stabil; Kurang stabil Tidak stabil
Akses langsung Kontinyu Kurang kontinyu Tidakkontinyu
Akses tidak
langsung
Kurang kontinyu Tidak kontinyu Tidak kontinyu
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
KETERSEDIAAN PANGAN
Terjaminnya ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, kualitas yang
memadai dan tingkat harga yang terjangkau oleh penduduk merupakan
beberapa sasaran dan target yang ingin dicapai dalam penyusunan dan
perumusan kebijakan pangan nasional, ketidakstabilan penyediaan pangan
atau bergejolaknya harga pangan pokok (beras) di Indonesia telah terbukti
dapat memicu munculnya ketidakstabilan sosial.
Upaya pencukupan penyediaan pangan pokok guna mewujudkan ketahanan
pangan didasarkan atas swasembada pangan pokok masing-masing lokasi
dan daerah. Swasembada pangan masing-masing lokasi dan daerah pada
akhirnya menjadi komponen ketahanan pangan nasional. Swasembada
tersebut diartikan sebagai suatu upaya pencapaian pencukupan pangan
secara rasional dan bertanggung jawab dalam semangat gotong royong
seluruh warga Indonesia (Sinar Tani. 2006. Pentingnya Setiap Propinsi
Berswasembada Beras. Sinar Tani Edisi 1-7 Maret 2006, No. 3139 Tahun
XXXVI).
34. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Kualitas/Keamanan pangan
Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan
berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda.,
sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan
makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam
rumah tangga.
Ukuran kualitas pangan dapat dianalisis dari data pengeluaran untuk konsumsi
makanan (lauk-pauk) sehari-hari , apakah mengandung protein hewani dan/atau
nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yaitu:
1.Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani
saja.
2.Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang
memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3.Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak
memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
Ukuran kualitas pangan ini tidak
mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan
yang mendasari adalah karena kandungan energi
dan karbohidrat antara beras, jagung dan ubi
kayu/tiwul sebagai makanan pokok di desa-desa
penelitian tidak berbeda secara signifikan.
35. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Indeks ketahanan pangan
Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat
indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan
pangan, keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan) Kombinasi antara
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator
stabilitas ketersediaan pangan.
Kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap
pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks
ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator
kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan.
Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti
berikut.
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
Kontinyuitas
ketersediaan
pangan
Kulaitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani
dan/atau nabati
Protein hewani
dan nabati/protein
hewani saja
Protein nabati saja Tidak ada
konsumsi protein
hewani, dan
nabati
Kontinyu Tahan Kurang tahan Tidak tahan
Kurang kontinyu Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan
Tidak kontinyu Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan
36. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat
dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki
persedian pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan
makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan
frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani
saja
2.Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki:
a. Kontyuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi hanya
mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja
b. Kontinuitas ketersdiaan pangan/makanan kurang kontinyu dan
mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
Sumber: PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri
Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit Kependudukan _ LIPI.
3. Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang
dicirikan oleh:
1. Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu, tetapi tidak
memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati
2. Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu kurang kontinyu
dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau
nabati, atau tidak untuk kedua-duanya.
3. Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu walaupun
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
4. Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu dan hanya
memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak
untuk kedua-duanya.
37. PEKARANGAN, LUMBUNG PANGAN KELUARGA
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah
(Poerwodarminto, 1976). Sedangkan secara luas, batasan pengertian pekarangan adalah:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan
biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman
tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan
kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.
Batasan lain, adalah pekarangan sebagai suatu ekosistem:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan
jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih
mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan.
Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya,
hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).
Sumber: ….. Diunduh 26/3/2012
Pekarangan adalah sebidang tanah di sekitar rumah yang mudah
di usahakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi
mikro melalui perbaikan menu keluarga. Pekarangan sering juga
disebut sebagai lumbung hidup, warung hidup atau apotik
hidup. Dalam kondisi tertentu, pekarangan dapat memanfaatkan
kebun/rawa di sekitar rumah.
Pemanfaatan Pekarangan adalah pekarangan yang dikelola
melalui pendekatan terpadu berbagai jenis tanaman, ternak dan
ikan, sehingga akan menjamin ketersediaan bahan pangan yang
beranekaragam secara terus menerus, guna pemenuhan gizi
keluarga.
Pekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah
dan umumnya berpagar keliling. Di atas lahan pekarangan
tumbuh berbagai ragam tanaman. Bentuk dan pola tanaman
pekarangan tidak dapat disamakan, bergantung pada luas tanah,
tinggi tempat, iklim, jarak dari kota, jenis tanaman. Pada lahan
pekarangan tersebut biasanya dipelihara ikan dalam kolom , dan
hewan piaraaan seperti ayam, itik, kambing, domba, kelinci, sapi
dan kerbau. Keragaman tumbuhan dan bintang piaraan inilah
yang menciptakan pelestarian lingkungan hidup pada pekarangan.
38. PEKARANGAN SEBAGAI
LUMBUNG PANGAN KELUARGA
Fungsi Ekosistem Pekarangan sebagai berikut :
1.Fungsi Lumbung Hidup
Untuk menghadapi musim paceklik, pekarangan biasanya dapat membantu
penghuninya menyediakan sumber pangan yang hidup (lumbung hidup) seperti : tanaman
palawija, tanaman pangan dan hortikultura, hasil binatang peliharaan, dan ikan
2. Fungsi Warung Hidup
Pekarangan menyediakan berbagai jenis tanaman dan binatang peliharaan yang
setiap saat siap dijual untuk kebutuhan keluarga pemiliknya.
3. Fungsi Apotik Hidup
Pekarangan menyediakan berbagai jenis tanaman obat-obatan, misalnya sembung,
jeruk nipis, kunir, kencur, jahe, kapulaga dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat digunakan
untuk obat-obatan tradisional yang tidak kalah khasiatnya dengan obat-obatan yang diproduksi
secara kimiawi.
4. Fungsi Sosial
Lahan pekarangan yang letaknya berbatasan dengan tetangga biasanya digunakan
untuk ngumpul-ngumpul hajatan, tempat bermain, berdiskusi, dan kegiatan social lainnya. Hasil
pekarangan biasanya saling ditukarkan dengan hasil pekarangan tetangga untuk menjalin
keeratan hubungan social.
5. Fungsi Sumber Benih dan Bibit.
Pekarangan yang ditamani berbagai jenis tanaman dan untuk memelihara ternak
atau ikan mampu menyediakan benih atapun bibit baik berupa biji-bijian, stek, cangkok, okulasi
maupun bibit ternak dan benih ikan.
6. Fungsi Pemberian Keasrian
Pekarangan yang berisi berbagai jenis tanaman, baik tanaman merambat, tanaman
perdu maupun tanaman tinggi dan besar, dapat menciptakan suasana asri dan sejuk.
7. Fungsi Pemberi Keindahan
Pekarangan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman bunga-bungaan dan
pagar hidup yang ditata rapi akan memberi keindahan dan keteangan bagi penghuninya.
Sumber: ….. Diunduh 26/3/2012
39. PEKARANGAN SEBAGAI
LUMBUNG PANGAN KELUARGA
. Fungsi Hubungan EKONOMI
Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan
ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu: sebagai
sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai
penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai
macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan
kerajinan).
Bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup”
yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan
“terminal basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil
manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau
kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam
yang lain.
Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani dikelompokkan menurut
fungsinya. (Sumber: Danoesastro, 1978)
Sumber: ….. Diunduh 26/3/2012
No
.
Golongan Tanaman Macam Tanamannya
I Sumber bahan makanan
tambahan :
1.Tanaman karbohdrat
2.Tanaman sayuran
3.Buah-buahan
4.Lain-lain
Ubikayu, ganyong, uwi,
gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk,
duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
II Tanaman perdagangan Kelapa, cengkeh, rambutan.
III Rempah-rempah, obat-
obatan.
Jahe, laos, kunir, kencur, dll.
IV Kayu-kayuan:
1.Kayu bakar
2.Bahan bangunan
3.Bahan kerajinan
Munggur, mahoni, lmtoro.
Jati, sono, bambu, wadang.
Bambu, pandan, dll.
40. PEKARANGAN SEBAGAI
LUMBUNG PANGAN KELUARGA
. KEGIATAN PEMANFAATAN PEKARANGAN
Pekarangan sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai penunjang konsumsi
sehari-hari serta belum banyak mempehatikan aspek keragaman dan budidaya.
Untuk mensinergikan antara potensi pekarangan yang ada dengan permasalahan
pangan dan gizi yang terjadi, maka fungsi pemanfaatan pekarangan perlu
ditingkatkan lagi, baik dipedesaan maupun di perkotaan.
Lahan pekarangan yang dikelola secara optimal dapat memberikan manfaat bagi
rumah tangga dan keluarga yang mengelolanya. Lahan pekarangan yang dikelola
dengan baik dapat memberikan manfaat antara lain adanya peningkatan gizi
keluarga, tambahan pendapatan keluarga, lingkungan rumah asri, teratur, indah dan
nyaman.
Tujuan dari pemanfaatan pekarangan adalah :
1.Memenuhi kebutuhan gizi mikro keluarga secara berkesinambungan melalui
pemanfaatan pekarangan.
2.Meningkatkan ketrampilan keluarga tani-nelayan dalam budidaya tanaman, ternak
dan ikan serta pengolahannya dengan teknologi tepat guna.
3.Meningkatkan pendapatan keluarga tani-nelayan mellui kerjasama pemanfaatan
pekarangan dengan berkelompok dalam skal usaha ekonomi.
Sumber: ….. Diunduh 26/3/2012
Lahan pekarangan sudah lama dikenal dan
memiliki fungsi multiguna.
Fungsi pekarangan adalah untuk
menghasilkan : (1) bahan makan sebagai
tambahan hasil dari lahan sawah dan
tegalan; (2) sayuran dan buah-buahan; (3)
unggas, ternak kecil dan ikan; (4) rempah,
bumbu-bumbu dan wangi-wangian; (5)
bahan kerajinan tangan; dan (7) uang tunai.
41. KONSEP GERAKAN MAKAN BERAGAM,
BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
Pangan beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep
ketahanan pangan bagi setiap orang dan keluarga agar dapat hidup sehat, aktif
dan produktif.
Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang, sebaliknya pangan
yang beragam belum tentu dikonsumsi seimbang antar kelompok pangan dan
antar waktu makan dalam memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan keluarga.
Dalam konteks penganekaragaman konsumsi pangan, gerakan makan beragam,
bergizi seimbang dan aman pada ibu hamil, menyusui, anak balita dan anak
sekolah dapat dilihat sebagai upaya:
(1)peningkatan pemenuhan kalori masyarakat per kapita untuk mencapai kondisi
ideal,
(2)memberikan pemahaman kepada ibu hamil dan menyusui bahwa pangan
yang dikonsumsi secara beragam, bergizi seimbang dan aman sangat diperlukan
bagi ibu hamil dan menyusui,
(3)untuk menumbuhkan dan menanamkan pola makan sehari-hari yang
beragam, bergizi seimbang dan aman kepada anak sejak usia dini dan
lingkungan keluarga, dan
(4)gerakan ini juga diharapkan dapat mendorong pengenalan, pengkajian dan
pemanfaatan pangan-pangan lokal non-beras sebagai pangan alternatif yang
memiliki nilai gizi dan ekonomi yang tidak kalah dengan beras.
Sumber: PEDOMAN UMUM GERAKAN MAKAN BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
BAGI IBU HAMIL, MENYUSUI, ANAK BALITA DAN ANAK SEKOLAH (SD/MI)
BADAN KETAHANAN PANGAN DEPARTEMEN PERTANIAN JAKARTA, MARET 2008
Gizi Seimbang Sebagai Ganti 4 Sehat 5 Sempurna
Prinsip 4S5S dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu Gizi
karena susunan makan yang terdiri dari 4 kelompok tersebut belum tentu
sehat, karena bergantung pada kecukupan porsi dan variasi zat gizinya.
Misalnya, dalam satu set hidangan sudah terkandung 4 unsur gizi sehat.
Namun ternyata cuma nasi dan sayur saja yang banyak, sedangkan
sumber protein hanya sepotong kecil tempe atau telur dibelah 8 (karena
dibagi rata seluruh keluarga), maka jelas komposisi seperti itu tidak sehat.
Menurut ahli gizi, konsep “Gizi Seimbang” tidak hanya memperhatikan
sumber zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak, dan air) dan zat gizi
mikro (vitamin dan mineral), tapi juga harus memperhatikan faktor eksternal
seperti usia, aktivitas fisik dan kondisi seseorang, kebersihan, dan berat
badan ideal.
42. KONSEP GERAKAN MAKAN BERAGAM,
BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
Kerangka pikir gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman pada ibu hamil, menyusui,
anak balita dan anak sekolah (SD/MI) dalam mencapai sasaran yang ditetapkan, dapat
diperhatikan pada gambar :
Sumber: PEDOMAN UMUM GERAKAN MAKAN BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
BAGI IBU HAMIL, MENYUSUI, ANAK BALITA DAN ANAK SEKOLAH (SD/MI)
BADAN KETAHANAN PANGAN DEPARTEMEN PERTANIAN JAKARTA, MARET 2008
43. KONSEP GERAKAN MAKAN BERAGAM,
BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
Langkah-langkah operasional, daerah sasaran dan output yang diharapkan dari gerakan makan
beragam, bergizi seimbang dan aman bagi ibu hamil, menyusui, balita dan anak sekolah SD/MI
dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Sumber: PEDOMAN UMUM GERAKAN MAKAN BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
BAGI IBU HAMIL, MENYUSUI, ANAK BALITA DAN ANAK SEKOLAH (SD/MI)
BADAN KETAHANAN PANGAN DEPARTEMEN PERTANIAN JAKARTA, MARET 2008
44. KONSEP GERAKAN MAKAN BERAGAM,
BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
Gerakan makan beragam,bergizi seimbang dan aman ini diarahkan pada Desa
Mandiri Pangan dimana:
(a)daerah yang tingkat ketersediaan dan konsumsi energi masih rendah,
(b)daerah miskin dan tertinggal,
(c)daerah yang banyak dijumpai keluarga miskin (pra-sejahtera dan sejahtera-1)
dan hampir miskin (sejahtera-2),
(d)daerah rawan pangan dan
(e)daerah yang memiliki banyak kelompok ibu hamil, menyusui, anak usia dini dan
anak sekolah (SD/MI) yang rawan gizi.
Seleksi lokasi dilaksanakan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah
setempat, mengingat mereka lebih mengetahui kondisi wilayah sasaran. Lokasi
sasaran (Kabupaten, Kecamatan dan Desa) adalah Desa Mapan tahun 2006 dan
2007 yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Wilayah Kabupaten
- Merupakan kabupaten yang rawan pangan
- Memiliki Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Perbantuan serta dana
APBD tahun 2007.
- Memiliki unit kerja atau institusi yang menangani ketahanan pangan.
2. Wilayah Kecamatan
-Adanya kelembagaan pangan (Tim Pangan Kecamatan).
-Memiliki potensi SDA, sumberdaya pangan lokal dan makanan tradisional
yang dapat dikembangkan.
3. Wilayah Desa
- Berada pada Desa Mandiri Pangan.
- Adanya kelembagaan pangan/Tim Pangan Desa yang beranggota TP-
PKK tingkat desa, Posyandu.
- Memiliki potensi SDA, pangan lokal dan makanan tradisional yang dapat
dikembangkan.
Sumber: PEDOMAN UMUM GERAKAN MAKAN BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
BAGI IBU HAMIL, MENYUSUI, ANAK BALITA DAN ANAK SEKOLAH (SD/MI)
BADAN KETAHANAN PANGAN DEPARTEMEN PERTANIAN JAKARTA, MARET 2008
45. KONSEP GERAKAN MAKAN BERAGAM,
BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
Seleksi penerima manfaat Calon penerima manfaat gerakan makan beragam,
bergizi seimbang dan aman per desa mandiri pangan sebanyak 50 orang. Kriteria
penerima manfaat gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman adalah:
1.Rumahtangga miskin/ rawan pangan
2. Pemilihan calon penerima manfaat dilaksanakan dengan
memperhatikan skala prioritas sebagai berikut
(a) Prioritas pertama, ibu hamil 3 bulan atau lebih,
(b) Priortas kedua, ibu menyusui anak yang berumur 0 – 6 bulan,
(c) Prioritas ketiga, anak yang berumur lebih besar dari 6 bulan sampai
dengan 3 tahun,
(d) Prioritas keempat, anak yang berumur lebih besar dari 3 tahun sampai
dengan 5 tahun,
(e) Prioritas kelima, anak sekolah dasar atau MI.
Cara memilih calon penerima manfaat sebagai berikut:
1. Dipilih penerima manfaat sebanyak 50 orang per desa dari prioritas
pertama.
2. Apabila prioritas pertama ternyata kurang dari 50 orang, maka
kekurangannya dapat diambil dari prioritas kedua, dan
3. Apabila masih belum mencukupi dapat diambil dari prioritas ketiga dan
seterusnya sampai diperoleh jumlah 50 orang peneriman manfaat per desa.
Tetapi apabila prioritas pertama lebih dari 50 orang, maka diseleksi lagi sampai
tinggal 50 orang penerima manfaat per desa dengan skala prioritas sebagai berikut:
1. Berasal dari keluarga miskin Pra-sejahtera,
2. Berasal dari keluarga miskin Sejahtera-1,
3. Berasal dari keluarga hampir miskin (Sejahtera-2).
Sumber: PEDOMAN UMUM GERAKAN MAKAN BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN
BAGI IBU HAMIL, MENYUSUI, ANAK BALITA DAN ANAK SEKOLAH (SD/MI)
BADAN KETAHANAN PANGAN DEPARTEMEN PERTANIAN JAKARTA, MARET 2008
46. WIDYAKARYA NASIONAL PANGAN DAN GIZI (WNPG) X
Auditorium LIPI Jakarta, 20-21 Nopember 2012
TEMA : Pemantapan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Berbasis
Kemandirian dan Kearifan Lokal
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan
atas pangan menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Karena itu, pembangunan pangan dan gizi perlu diposisikan sebagai central of
development bagi keseluruhan pencapaian target Millenium Development Goal’s
(MDGs) yang menjadi komitmen bersama.
Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang sangat cepat dan
komplek. Perkembangan lingkungan global seperti adanya global climate change
dan meningkatnya harga minyak dunia telah mendorong kompetisi penggunaan
hasil pertanian untuk pangan (food), bahan energy (fuel) dan pakan ternak (feed)
yang makin tajam. Di samping itu, kecenderungan pengabaian terhadap good
agricultural practices dan sumber pangan lokal (biodiversity) dikhawatirkan akan
mengancam ketahanan pangan dan gizi nasional. Perkembangan ini memerlukan
telaah dan respon kebijakan yang lebih menjamin terhadap pengamanan
aksesibilitas pangan masyarakat.
Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan masyarakat yang
memerlukan perhatian akan dampaknya terhadap kesehatan. Di samping itu,
adanya berbagai isu di masyarakat seperti permasalahan kekurangan gizi dalam
bentuk gizi kurang dan gizi buruk, masalah kegemukan atau gizi lebih, serta
keamanan pangan juga memerlukan telaah yang komprehensif untuk mencari
solusinya, termasuk aspek revitalisasi kelembagaan pangan dan gizi.
Selama ini, berbagai isu dan permasalahan di atas menjadi bahan pembahasan
dalam forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) yang berlangsung
secara periodik setiap empat tahun terutama membahas isu perkembangan iptek
dan solusi pangan dan gizi.
Sumber: http://www.wnpg.org/frm_index.php?pg=informasi/info_umum.php
47. Masih tersedianya lahan di Kecamatan Mijen, membuat Walikota Semarang
menyinggung soal kebutuhan pangan di Kota Semarang. Menurut Walikota, perlu
dilakukan pemanfaatan lahan pekarangan di rumah masing-masing untuk
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Jika lahan di wilayah Mijen ini dapat dikembangkan, masyarakat tidak perlu ke
pasar karena masih ada pekarangan yang memungkinkan warga untuk menanam
tanaman pangan serperti sayuran, buah-buahan, bahkan untuk beternak.
Mijen, Gunungpati, Tembalang, dan Genuk termasuk dalam daerah
pengembangan, untuk itu pihaknya berharap wilayah tersebut dapat diintensifkan
terutama dalam hal pemanfaatan lahan pekarangan untuk kebutuhan pangan
warga.
“Saya harap gerakan menanam tanaman pangan di pekarangan ini dapat didukung
warga masyarakat berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi. Eman-eman kalau
punya pekarangan dibiarkan kosong” ujar Walikota Semarang.
Menurut Kepala Kantor Ketahanan Pangan, Ir. WP Rusdiana MP, selama ini Kantor
Ketahanan Pangan Kota Semarang juga berupaya untuk meningkatkan konsumsi
sayur, buah dan protein. Konsumsi masyarakat Kota Semarang terhadap unsur
makanan ini masih di bawah rata-rata. Hal ini dikarenakan ketersediaan sayur dan
buah di Kota Semarang sangat terbatas sehingga produksinya tidak mencukupi.
Kebutuhan sayuran masyarakat adalah sebesar 250 gram per kapita per hari
sehingga dibutuhkan sekitar 155.320 ton per tahun. Sedangkan produksi sayuran
pertahun kota Semarang adalah 764,4 ton per tahun, sehingga terdapat kekurangan
sebesar 154.556 ton per tahun.
Solusinya penjual harus memasok dari luar kota untuk memenuhi produksi buah
dan sayur di Kota Semarang. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memenuhi
kebutuhan sayuran dengan mengoptimakan pekarangan secara terpadu dan
mengurangi ketergantungan dari darah lain untuk mencukupi kebutuhan sayuran
ditingkat rumah tangga supaya mendapatkan pangan yang B2SA (Beragam, bergizi,
seimbang, dan aman).
Pemanfaatan lahan pekarangan rumah dalam mencukupi kebutuhan pangan secara
mandiri tersebut merupakan langkah solusi bijaksana dalam menghadapi tingkat
kebutuhan pangan yang semakin tinggi.
MANFAATKAN PEKARANGAN RUMAH, PENUHI KEBUTUHAN
PANGAN SECARA MANDIRI
Sumber: http://semarangkota.go.id/cms/index.php?
option=com_content&task=view&id=1902&Itemid=1 ….. Diunduh 26/3/2012
48. AKAR MASALAH KETAHANAN PANGAN
Ada lima akar permasalahan yang menyebabkan kerentanan pangan nasional.
Pertama, tingginya angka kemiskinan;
Ke dua, terbatasnya akses terhadap listrik;
Ke tiga, masih tinggi angka underweight pada balita;
Ke empat, terbatasnya akses jalan untuk roda empat; dan
Ke lima, terbatasnya akses terhadap air bersih.
Akar masalah kerentanan pangan tersebut muncul dalam Peta Ketahanan
Pangan Nasional yang disusun oleh pemerintah. Dari hasil kajian pemetaan
tersebut ada sekitar 100 kabupaten yang ternyata masih rentan Ketahanan
Pangan.
Peta Ketahanan Pangan 2007-2009 itu disusun berdasarkan 13 indikator yang
dikelompokan dalam empat kelompok besar yakni kelompok ketersediaan
pangan, akes pangan, pemanfaatan pangan dan kerentanaan terhadap
kerawanan pangan. Dari hasil pengelompokan tersebut ada kabupaten yang
mempunyai ketahanan pangan cukup baik, tapi juga ada yang mempunyai
kerentanan pangan tinggi.
Dengan informasi yang ada dalam Peta Ketahanan Pangan, akan menjadi
perhatian bagi Pemda dalam prioritas pembangunan. Jadi jawabannya tidak
harus peningkatan produksi, tapi bisa saja
penyebab utamanya adalam persoalan infrastruktur.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
Pemerintah melakukan konferensi ketahanan
pangan untuk mensinergikan otoritas pusat dan
daerah; sekaligus memetakan dan mengatasi
masalah rawan pangan di sejumlah daerah.
49. . Peta Kerawanan Pangan Kecamatan
Badan Ketahana Pangan Propinsi Jawa Timur telah melakukan pemetaan kerawanan pangan tingkat kecamatan di
seluruh Kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2006. Pemetaan kerawanan pangan tersebut menggunakan indikator
FIA (Food Security Atlas). Menurut FIA, Indikator Ketahanan Pangan terdiri dari:
Ketersediaan Pangan
Akses Pangan
Kesehatan dan Gizi
Kerawanan Pangan
1. KETERSEDIAAN PANGAN
Ketersediaan pangan diperoleh dari produksi pangan serealia di suatu wilayah serta kondisi netto ekspor dan impor
yang diperoleh melalui berbagai jalur. Ketersediaan Pangan menggunakan proporsi konsumsi normatif terhadap
ketersediaan netto padi dan jagung yang layak dikonsumsi manusia.
2. AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENDAPATAN
Indikator-indikator yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
a. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (data estimasi dari BPS)
b. Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu
c. Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar
d. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas listrik
e. Panjang jalan per kilometer persegi
3. PEMANFAATAN/PENYERAPAN PANGAN
Pemanfaatan/penyerapan pangan meliputi infrastruktur kesehatan dan akibat yang ditimbulkan (outcome) dilihat dari
aspek nutrisi dan kesehatan. Selain ke dua indikator ini, data Perempuan Buta Huruf dimasukkan di sini, yang secara
global diakui sebagai indikator yang menjelaskan proporsi yang signifikan dari tingkat malnutrisi pada anak
% Rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan
Populasi per dokter yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk
% Anak yang tidak diimunisasi secara lengkap (4 jenis imunisasi
% Rumah tangga tanpa akses ke air bersih
Angka harapan hidup waktu lahir
% Anak dengan berat badan di bawah standar
Tingkat kematian Bayi (IMR)
% Perempuan buta huruf
4. KERENTANAN PANGAN
Dimensi ini mencerminkan kondisi rawan pangan sementara (transient) dan resiko yang disebabkan oleh faktor
lingkungan, yang mengancam kelangsungan kondisi tahan pangan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Indikator yang digunakan adalah fluktuasi curah hujan, persentase penutupan hutan terhadap luas total wilayah,
persentase lahan yang rusak terhadap luas total wilayah, dan persentase luas panen tanaman padi yang rusak akibat
kekeringan, banjir, longsor dan hama (daerah puso).
Persentase daerah hutan (PDH)
Persentase daerah puso (PDP)
Daerah rawan longsor & banjir (DLB)
Penyimpangan curah hujan (DCH)
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
50. KREDIT KETAHANAN PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan. Pembangunan ketahanan pangan sesuai
amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, bertujuan untuk
mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang
cukup, mutu, dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh
setiap individu.
Istilah “ketahanan pangan” (food security) didefinisikan sebagai akses dari semua
penduduk di suatu negara/wilayah untuk memenuhi konsumsi kebutuhan dasar
makanan yang cukup, yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara layak (aktif dan
sehat). Dalam hal ini, elemen terpenting dari ketahanan pangan yaitu ketersediaan
pangan dan kemampuan untuk memperoleh kebutuhan makanan yang paling
esensi.
“Kerawanan pangan” (food insecurity) diartikan sebagai kurangnya akses untuk
kebutuhan makanan yang memadai. Secara konseptual, terdapat dua jenis
kerawanan pangan, yaitu kronis dan sementara (chronic and transitory food
insecurity).
Kerawanan pangan kronik (Chronic Food Insecurity) merupakan situasi ketika
sekelompok penduduk mengalami ketidakmampuan atas kebutuhan dasar gizi
(minimum dietary needs) secara terus menerus yang umumnya disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan pokok makanan. Insiden
kerawanan pangan kronis ini mempengaruhi rumah tangga-rumah tangga yang
secara “konsisten” mempengaruhi kemampuan yang sangat terbatas baik untuk
membeli kebutuhan pangan yang cukup maupun untuk memproduksinya sendiri.
“Kerawanan pangan sementara” (Transitory Food Insecurity) merupakan penurunan
atau gangguan mendadak – namun bersifat sementara – pada akses
penduduk/rumah tangga-rumah tangga terhadap kebutuhan pangan yang cukup.
Situasi seperti ini biasanya berkaitan dengan komoditi makanan pokok, produksi
pangan dan rata-rata tingkat pendapatan rumah tangga. Dalam kondisi yang
terburuk kerawanan pangan bisa menjurus ke bencana kelaparan.
Biasanya kerawanan pangan dialami oleh para penduduk yang bertempat tinggal di
daerah kering atau daerah yang lahannya miskin, daerah dengan kondisi
agroklimatnya membatasi produksi pertanian.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
51. KREDIT KETAHANAN PANGAN
Kondisi ekosistem di suatu daerah ternyata juga berperan dalam menentukan pola
ketahanan pangan yang unik, sebagai bentuk adaptasi penduduknya terhadap
lingkungan fisik yang mempunyai beberapa kendalam bagi usaha-usaha
pertaniannya, seperti di Kabupaten Kupang yang dicirikan oleh ekosistem lahan
kering tadah hujan.
Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat , Kabupaten Kupang
memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan, yaitu :
1.Usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Produksi usaha
tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya
pola hidup masyarakatnya berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak
berorientasi pada pasar).
2.Bila penyangga pertama runtuh (seperti karena ada paceklik) maka mereka masih
memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau, dan kuda).
Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.
3.Bila penyanggah kedua ini tidak berhasil maka masyarakat masih memiliki
peyanggah ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar)
seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan berwarna hitam, talas liar,
dan lain-lain.
Dalam upaya mengembangkan usahatani masyarakat, modal menjadi salah satu
komponen yang snagat penting. Modal usahatani ini dapat diperoleh dari berbagai
program kredit pertanian. Selama ini, program kredit usahatani, khususnya padi dan
palawija, telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan.
Setelah terjadinya tunggakan yang tinggi pada kredit Bimas/Inmas akibat puso pada
tahun 1970-an dan awal 1980-an, pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan
program Kredit Usaha Tani (KUT) yang menggunakan pendekatan kelompok.
Program KUT ternyata juga mengalami kemacetan dengan total tunggakan sekitar
23 % dari realisasi kredit Rp 1,184 triliun yang disalurkan hingga musim tanam
1997/1998. Meskipun demikian, sejak tahun 1998 pemerintah mengubah KUT
dengan sistem baru dan plafon ditingkatkan secara drastis, yaitu lebih dari 13 kali
lipat menjadi Rp 8,4 triliun. Bank tidak lagi menjadi executing agent tetapi hanya
sebagai channeling agent. Fungsi executing agent digantikan oleh Departemen
Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil dan Menengah) yang melibatkan koperasi dan
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam pelaksanaannya.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
52. PENANGANAN DAERAH RAWAN PANGAN
Rawan Pangan
Rawan pangan adalah kondisi suatu wilayah/daerah, masyarakat atau rumah
tangga yang tidak menpunyai akses secara fisik (ketersediaan) dan ekonomi (daya
beli) untuk memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, beragam dan
aman untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan
kesehatan.
Mengacu kepada konsep ketahanan pangan dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang
pangan yaitu :
a. Tidak adanya kasus secara fisik maupun ekonomi bagi individu/rumah tangga
untuk memperoleh pangan yang cukup.
b. Tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, beragam, aman
dan terjangkau.
c. Tidak tercukupnya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah
tangga.
Rawan pangan terdiri dari :
Rawan pangan Kronis
Suatu keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu,
disebabkan karena keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan keterbatasan
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengakses pangan dan gizi.
Rawan Pangan Transien
Suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang
disebabkan oleh kejadian berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya,
seperti: bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tsunami) dan
konflik sosial.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
53. SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI (SKPG)
Pengertian SKPG :
Merupakan suatu system pendeteksian dan pengelolaan informasi yang berjalan
terus menerus tentang situasi pangan dan gizi, yang dianalisis berdasarkan
indicator pertanian, kesehatan dan kemiskinan.
Informasi program pencegahan dan penanggulangan rawan pangan dan gizi.
Hasil Analisis SKPG yang digunakan :
a. Pencegahan Rawan Pangan
Dengan cara peramalan produksi pangan dan gizi
Hasil pemetaan, untuk mengetahui tingkat resiko rawan pangan kronis
Penanganan rawan pangan kronis, dilakukan melalui intervensi jangka menengah
dan jangka panjang.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
b. Penanggulangan Rawan Pangan
- Dengan cara pemetaan situasi pangan dan gizi
- Hasil pemetaan, untuk mengetahui tingkat resiko
rawan pangan kronis.
Penanganan rawan pangan kronis, dilakukan melalui
intervensi jangka menengah dan jangka panjang.
54. INVESTIGASI KEJADIAN RAWAN PANGAN
Adalah kegiatan peninjauan ke tempat kejadian rawan pangan untuk melihat
langsung dan melakukan cross check terhadap kejadian rawan pangan dan gizi,
sekaligus mengumpulkan data dan informasi guna mengidentifikasi permasalahan,
sasaran penerima manfaat, serta jenis bantuan yang diperlukan.
Investigasi digunakan untuk penetapan kriteria sasaran penerima manfaat.
Kriteria Sasaran Penerima Manfaat
1. Kecamatan resiko tinggi berdasarkan hasil pemetaan SKPG
2. Desa resiko tinggi berdasarkan:
a. Indikator pertanian (tingkat produksi pangan <50% dari kebutuhan)
b. Indikator kesehatan (>5% balita mengalami gizi kurang dan gizi buruk)
c. Indikator kemiskinan (>30% kk miskin menurut BPS)
3. Penerima Manfaat :
a. Petani yang mengalami kerusakan/gangguan usaha tani
b. Balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk
c. Masyarakat yang terkena bencana alam dan konflik social
4. Kejadian Luar Biasa (KLB) Rawan Pangan
KLB rawan pangan merupakan kejadian rawan pangan kronis maupun transien
yang menyebabkan sebagian besar (50%) masyarakat dari suatu wilayah
mengalami gangguan dalam mengakses pangan dengan kriteria:
1. Kerusakan infrastruktur distribusi pangan (> 50%)
2. Kerusakan usaha tani (> 30%)
3. Minimnya cadangan pangan (+ 2 bln)
4. Tingginya angka status gizi kurang da gizi buruk (10%)
5. Waktu recovery relatif lama (> 2 tahun)
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
55. Intervensi untuk Rawan Pangan
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama masyarakat dalam
menanggulangi kejadian rawan pangan transien maupun kronis, untuk mengatasi
masyarakat yang mengalami kerawanan pangan sesuai dengan kebutuhannya
secara tepat dan cepat.
Jenis Intervensi
a. Intervensi Jangka Pendek
Untuk menanggulangi rawan pangan transien (tanggap darurat)
Jenis bantuan : bahan pangan
Jangka waktu : 3 bulan
Sumber dana : APBN, APBD, masyarakat
Pelaksana : Pusat, Propinsi, Kabupaten
Sasaran : Masyarakat yang mengalami musibah/ bencana
Untuk mencegah gejala penurunan produksi pangan dan gejala gizi kurang (hasil
peramalan SKPG)
Penurunan Produksi
Jenis bantuan : bahan saprodi
Jangka waktu : 3 bulan
Sumber dana : APBN, APBD, masyarakat
Pelaksana : Propinsi, Kabupaten
Sasaran : Balita gizi kurang dan gizi buruk
b. Intervensi Jangka Menengah
Untuk menanggulangi rawan pangan kronis resiko tinggi
Jenis bantuan : bahan pangan untuk padat karya (food for work), Saprodi, modal
kerja (PUMK)
Jangka waktu : 3 – 6 bulan
Sumber dana : APBN, APBD, masyarakat
Pelaksana : Propinsi, Kabupaten
Sasaran : Petani, masyarakat yang bekerja untuk perbaikan sarana pedesaan.
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012
56. PETA KERAWANAN PANGAN
Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia
perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik.
Kerawanan pangan yang bersifat khronis (chronic food insecurity) memerlukan
penanganan jangka panjang, sedangkan kerawanan pangan yang bersifat
transien (transient food insecurity) terjadi akibat adanya bencana alam: banjir,
gempa bumi, tsunami, kekeringan, letusan gunung berapi dan tanah longsor di
daerah yang berpotensi atau rentan terhadap bencana alam, memerlukan
penanganan jangka pendek. Sejalan dengan ikrar yang dirumuskan dalam
World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma, diharapkan dari 800 juta
penduduk dunia yang saat ini masih mengalami kelaparan dapat dikurangi
separuhnya pada tahun 2015.
Agar dapat mewujudkan harapan dari hasil WFS tersebut, Indonesia
menyikapinya dengan upaya tahap awal yaitu mengidentifikasi daerah rawan
pangan di tingkat kabupaten di seluruh Indonesia. Pada saat ini daerah kota
belum disertakan dalam pembuatan peta. Untuk membuat perbandingan antar-
kabupaten, digunakan tiga indicator makro untuk menetapkan daerah rawan
pangan, yaitu ketersediaan pangan, penyerapan pangan dan konsumsi pangan.
Ketiga indikator tersebut digunakan untuk menetapkan kabupaten sasaran yang
didokumentasikan dalam peta kerawanan pangan/ food insecurity atlas (FIA),
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas
daerah rawan pangan dalam perumusan kebijakan di tingkat pusat, propinsi
maupun kabupaten untuk program pangan yang efektif karena dengan
menggunakan FIA berarti perumus kebijakan telah memanfaatkan informasi
ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik.
FIA Indonesia ini merupakan hasil kerja sama dari sekretariat Dewan Ketahanan
Pangan, Departemen Pertanian dengan World Food Programme (WFP) di mana
dilibatkan pula beberapa nara sumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Urusan Logistik (Bulog), Departemen Kesehatan (Depkes), Badan Ketahanan
Pangan propinsi, Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP).
Sumber: ….. Diunduh 27/3/2012