1. 1
INTEGRASI DATA PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK EVALUASI LAHAN
EXITING RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BANTUL
LAPORAN STUDI KASUS II
DISUSUN OLEH
TITA SITI YUSNITHA
11/315451/DGE/00895
PROGRAM DIPLOMA
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DAN PENGINDERAAN JAUH
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
2. 2
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Tita Siti Yusnitha (11/315451/DGE/00895)
Judul Studi Kasus : Interpretasi Strip Foto Udara Dan Pembuatan Profil
(Penampang) Liputan Penggunaan lahan
Dosen Pembimbing : Drs. Retnadi Heru Jatmiko M.Sc.
Yogyakarta, 23 Agustus 2013
Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Drs. Retnadi Heru Jatmiko M.Sc.
NIP.196703171994031004
3. 3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan Studi Kasus II “Evaluasi
Penggunaan Lahan Kabupaten Bantul” ini dengan baik. Dalam penyusunan
Laporan Studi Kasus II ini penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. Drs. Retnadi Heru Jatmiko M.Sc. selaku dosen pembimbing atas
bimbingan, arahan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam
penyelesaian Laporan Studi Kasus II ini;
2. Firda Puspita Astri sebagai patner yang selalu bekerja keras serta tak kenal
lelah untuk terus berusaha dan belajar demi memperoleh hasil yang
maksimal dalam penelitian dan penyusunan Laporan Studi Kasus II ini;
3. Teman-teman Diploma PJ dan SIG yang telah banyak membantu dan
memberi semangat selama penyusunan laporan ini.;
4. Bapak dan Ibu informan atas kesediannya memberikan data yang
membantu penyusunan Laporan Studi Kasus II ini;
5. Seluruh karyawan Program Diploma SIG dan PJ atas segala bantuan dan
kerjasamanya serta penyediaan fasilitas selama proses berlangsungnya
Studi Kasus II ini;
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian Laporan
Studi Kasus ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu;
4. 4
Penulis menyadari bahwa Laporan Studi Kasus II ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharap saran dan kritik dari pembaca demi
menyempurnakan Laporan Studi Kasus II ini. Penulis berharap semoga Laporan
Studi Kasus II ini bisa berguna bagi semua pihak.
Yogyakarta, 23 Agusatus 2013
Penulis
5. 5
DAFTAAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. 2
KATA PENGANTAR......................................................................................... 3
DAFTAR ISI....................................................................................................... 5
DAFTAR TABEL ................................................................................................ 7
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... 8
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... 9
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 10
1.1. Latar belakang.................................................................................... 10
1.2. Tujuan................................................................................................ 12
1.3. Manfaat............................................................................................... 12
1.4. Tinjauan Pustaka................................................................................ 12
1.4.1 Penginderaan Jauh.................................................................. 12
1.4.2 Unsur Interpretasi Citra........................................................... 13
1.4.3 Klasifikasi Penggunaan Lahan............................................... 14
1.4.4 Sistem Satelit Alos................................................................. 16
1.4.5 Karakteristik Satelit Alos....................................................... 17
1.4.6 Pengolahan Data Citra Digital............................................... 18
1.4.7 Sistem Informasi Geografi (SIG)............................................ 23
BAB II DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN................................................ 24
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 25
3.1. Metode Perolehan Data...................................................................... 25
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 25
3.3.1 Alat.......................................................................................... 25
3.3.2 Bahan....................................................................................... 25
3.3. Tahap Penelitian ............................................................................... 25
3.3.1.Tahap Persiapan ........................................................................... 25
6. 6
3.3.2.Pelaksanaan................................................................................... 26
3.3.3. Pemindahan Hasil Interpretasi (Output)....................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 30
4.1. Hasil.................................................................................................... 30
4.2. Pembahasan........................................................................................ 31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 33
5.1. Kesimpulan......................................................................................... 33
5.2. Saran. ................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 34
7. 7
DAFTAR TABEL
Tabel 1. ............................................................................................................... 15
Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut Malingreau
Tabel 2…………………………………………………………………….…. .. 17
Karakteristik Satelit Alos
Tabel 3 ……………………………………………………………………….... 17
Karakteristik Utama AVNIR-2
8. 8
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Piramida unsur-unsur interpretasi...................................................... 14
Gambar 2.1 Pemotongan Citra…………………………….…………………….. 26
Gambar 2.2 Cara Pemotongan Citra...................................................................... 27
Gambar 2.3 Interpretasi Citra dan Peta................................................................. 27
Gambar 2.4 Diagram Alir Tahap Peneltian……………………………………... 29
9. 9
DAFTAR HASIL
1. Peta Tentatif Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul dengan Skala
1:250.000 dalam lembah HVS
2. Peta Tentatif Aktual Penggunaan Lahan Skala 1:250.000 dalam lembar HVS
3. Peta Tentatif Kesesuaian Lahan Kabupaten Bantul Skala 1:100.000 dalam
lembar HVS
10. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan secara geografis dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah
tertentu di atas permukaan bumi, khususnya meliputi semua benda penyusun
biosfer yang dapat dianggap bersifat tetap atau siklis berada di atas dan di
bawah wilayah tersebut meliputi atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi
air, tumbuh-tumbuhan dan binatang serta akibat-akibat dari aktivitas manusia
dimasa lalu maupun sekarang, yang semuanya mempunyai pengaruh nyata
atas penggunaan lahan oleh manusia pada masa sekarang dan yang akan
datang.
Lahan yang dijadikan sebagai tempat tinggal atau pun penggunaan
lahan lain kebutuhannya akan semakin meningkat hal ini diakibatkan oleh
peningkatan dari jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan luas lahan
yang semakin sempit. Hal ini terjadi terutama pada daerah perkotaan yang
mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Dengan kondisi
yang sedemikian ini akan membuat banyak sektor pembangunan yang akan
berpindah dari kota ke daerah sekitar di luar area perkotaan atau bergeser dari
pusat ke daerah. Dalam pembangunan baik secara area pemukiman atau pun
tempat kegiatan beraktivitas manusia lainnya dapat memungkinkan
terjadinya penyimpangan yang diakibatkan oleh perencanaan pembangunan
yang kurang memperhatikan aspek fisik atau pun biologis dari suatu lahan
tersebut. Sebagai contohnya pembangunan area pemukiman pada daerah
yang mempunyai resapan air yang sangat besar seperti diarea hutan, sehingga
akan menyebabkan atau menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan,
seperti banjir atau pun tanah longsor.
Penggunaan lahan dapat diartikan secara sempit sebagai interaksi
antara manusia dengan lingkungannya, dimana manusia fokus lingkungan
utamanya adalah lahan sedangkan sikap dan kebijakan manusia terhadap
lahan akan sangat menentukan pada setiap langkahnya, sehingga langkah ini
11. 11
akan meninggalkan bekas di atas lahan. Dalam praktiknya, untuk memantau
adanya perubahan penggunaan lahan serta perencanaan lahan sangat
memerlukan data-data yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Seperti
Metode pemerolehan data yang akan sangat optimal apabila didukung
dengan adanya metode penginderaan jauh. Hal ini akan jauh lebih efisien bila
dilakukan pembandingan secara konvensional yaitu dengan survey secara
terestrial yang pastinya akan menghabiskan waktu serta biaya yang tinggi.
Dengan metode atau konsep dari penginderaan jauh maka dapat dilakukan
pemantauan mengenai penggunaan lahan secara berkala dengan mudah serta
cepat dan pastinya menghemat biaya dan tenaga dengan keuntungan
ketelitian hasil yang cukup akurat.
Evaluasi Sumberdaya Lahan merupakan suatu proses untuk menduga
potensi suatu sumber daya lahan untuk berbagai penggunaanya. Evaluasi
lahan meliputi interpretasi data fisik kimia tanah, potensi penggunaan lahan
sekarang dan sebelumnya (Jones et al., 1990), yang bertujuan untuk
memecahkan masalah jangka panjang terhadap penurunan kualitas lahan
yang disebabkan oleh pengunaannya saat ini, memperhitungkan dampak
penggunaan lahan, merumuskan alternatif penggunaan lahan dan
mendapatkan cara pengelolaan yang lebih baik (Sys, 1985; Rossiter, 1994).
Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses – proses
serta fenomena – fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting
ialah penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe – tipe pemanfaatan lahan
(land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil - hasil pertanian
dan ternak (Hardjowigeno, 1985). Evaluasi lahan adalah suatu proses
penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan
suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan
memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan
keperluan.
12. 12
1.2 Tujuan
1. Mengetahui kesesuaian lahan terhadap penggunaan lahannya di
Kabupaten Bantul
2. Mengetahui proses evaluasi lahan menggunakan software ArcGIS 10
3. Mengetahui pembuatan Peta Evaluasi Lahan Kabupaten Bantul dengan
software ArcGIS 10
1.3 Manfaat
1. Memberikan informasi tentang kesesuaian penggunaan lahan dengan
rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Bantul
2. Pengembangan teknik penginderaan jauh untuk monitoring perubahan
penggunaan lahannya dengan evaluasi
3. Pemanfaatan SIG dan PJ dalam melakukan monitoring perubahan
penggunaan lahan memudahkan kegiatan pengambilan kebijakan oleh
pemerintah dan dapat diandalkan ketika harus membuat keputusan evaluasi
lahan secara cepat
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh ialah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang
telah diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap
obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1986). Alat yang dimaksud
ialah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada
wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik
atau wahana lainnya. Hasil dari perekaman sensor tersebut berupa data
penginderaan jauh. Data harus diterjemahkan menjadi informasi tentang
obyek, daerah atau gejala yang diindera. Proses dari penenrjemahan data
menjadi informasi tersebut disebut dengan analisis atau interpretasi data.
13. 13
1.4.2 Unsur Interpretasi Citra
Untuk dapat melakukan interpretasi, penafsir memerlukan unsur-unsur
pengenal pada obyek atau gejala yang terekan pada citra. Unsur interpretasi
tersebut meliputi 8 unsur berikut 1) Rona, mengacu ke kecerahan relatif
obyek pada citra. Rona dinyatakan dalam derajat keabuan (gray scale).
Apabila citra yang digunakan berwarna, maka unsur interpretasi yang
digunakan adalah warna (color). 2) Bentuk (shape), mengacu ke bentuk
secara umum, konfigurasi, atau garis besar wujud obyek secara indifidual.
Ukuran (size) obyek dalam foto harus dipertimbangkan dalam konteks skala
yang ada. 3) Pola (pattern) terkait dengan susunan keruangan obyek. Pola
biasanya terkait juga dengan adanya pengulangan bentuk umum suatu atau
sekelompok obyek dalam ruang. 4) Bayangan (shadows) sangat penting bagi
penafsir, karena dapat memberikan dua macam efek yang berlawanan. 5)
Tekstur (texture) merupakan ukuran frekuensi perubahan rona pada gambar
obyek. Tekstur dapat dihasilkan oleh agregasi / pengelompokan satuan
kenampakan yang terlalu kecil untuk dapat dibedakan secara individual. 6)
Situs (site) atau letak merupakan penjelasan tentang obyek relative terhadap
obyek atau kenampakan lain yang lebih mudah untuk dikenali, dan
dipandang dapat dijadikan dasar untuk identifikasi obyek yang dikaji. 7)
Asosiasi (association) merupakan unsur yang memperhatikan keterkaitan
antara suatu obyek atau fenomena dengan obyek atau fenomena lain, yang
digunakan sebagai dasar untuk mengenali obyek yang dikaji. 8) Ukuran,
ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan
volume (Projo Danoedoro, 1999).
14. 14
Gambar 1.1 Piramida unsur-unsur interpretasi
1.4.3 Klasifikasi Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam
kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak pada
citra. Sedangkan klasifikasi merupakan menetapkan objek-objek,
kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan, didalam suatu
sistem pengelompokan yang dibeda-bedakan berdasarkan sifat-sifat yang
khusus atau berdasarkan kandungan isinya (Malingreu,1981).Sistem
klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan ikut menentukan ketelitian
dalam identifikasi penggunaan lahan. Terdapat berbegai jenis klasifikasi
penggunaan lahan oleh berbagai pakar, namun dalam pemilihannya harus
disesuaikan dengan tujuan dari penelitian, daerah penelitian serta skala yang
digunakan.
15. 15
Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut Malingreau
Jenjang I Jenjang II Jenjang III Jenjang IV Simbol
1. Daerah Bervegetasi A. Daerah Pertanian 1. Sawah Irigasi Si
2. Sawah Tadah Hujan St
3. Sawah Lebak Sl
4. Sawah pasang surut Sp
5. Ladang/Tegal L
6. Perkebunan - Cengkeh C
- Coklat Co
- Karet K
- Kelapa Ke
- Kelapa Sawit Ks
- Kopi Ko
- Panili P
- Tebu T
- Teh Te
- Tembakau Tm
7. Perkebunaan Campuran Kc
8. Tanaman Campuran Te
B. Bukan Daerah
Pertanian
1. Huatan lahan kering - Hutan bambu Hb
- Hutan campuran Hc
- Hutan jati Hj
- Hutan pinus Hp
- Hutan lainnya Hl
2. Hutan lahan basah - Hutan bakau Hm
- Hutan campuran Hc
- Hutan nipah Hn
- Hutan sagu Hs
3. Belukar B
4. Semak S
5. Padang Rumput Pr
6. Savana Sa
7. Padang alang-alang Pa
8. Rumput rawa Rr
II. Daerah takbervegetasi
C.Bukan daerah
pertanian
1. Lahan terbuka Lb
2. Lahar dan Lava Ll
3. Beting Pantai Bp
4. Gosong sungai Gs
5. Gumukpasir Gp
III. Permukiman dan lahan
bukan pertanian
D.Daerah tanpa liputan
vegetasi
1. Permukiman Kp
2. Industri In
3. Jaringan jalan
4. Jaringan jalan KA
5. Jaringan listrik tegangan tinggi
6. Pelabuhan udara
7. Pelabuhan laut
IV. Perairan E. Tubuh perairan
1. Danau D
2. Waduk W
3. Tambakikan Ti
4. Tambakgaram Tg
5. Rawa R
6. Sungai
7. Anjir pelayaran
8. Saluran irigasi
9. Terumbu karang
10. Gosong pantai
Sumber: Malingreau, J.P. Rosalia Christiani, 1981 dalam Suharyadi (2001)
16. 16
1.4.4. Sistem Satelit Alos
Alos, Advance Land Observing Satelite, merupakan salah satu satelit
yang memiliki kombinasi resolusi spectral, dan radiometrik yang tertinggi.
NASDA’s ALOS (Advanced Land Observation Satelitte) sukses diluncurkan
pada tanggal 24 Januari 2006 dari Tanegashima Space Center.
ALOS memiliki tiga instrument remote-sensing :
1) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM)
for digital elevation mapping (DEMs).
2) Advanced Visibel and Near Infrared Radiometer type 2 (AVNIR-2)
untuk observasi tutupan lahan yang lebih tepat,
3) Phased Array type L-band Synthetic Aperature Radar (PALSAR) untuk
observasi lahan siang dan malam dan disegala cuaca dengan skala
1:25.000, tanpa tergantung pada titik refernsi dipermukaan bumi
Misi ALOS yang utama adalah untuk aplikasi manejemen bencana dan
pemetaan lahan.
Misi ALOS adalah :
Kartografi
Observasi regional untuk pembangunan berkelanjutan
Monitoring bencana
Survey sumberdaya
AVNIR-2 (AVNIR-2 Advance Visibel and Near Infrared Radiometer type
2)
AVNIR-2 adalah pengganti dari AVNIR yang ada pada Advanced Earth
Observing Satellite (ADESO), radiometer visible and near infrared untuk
observasi lahan dan coastal zones.
17. 17
1.4.5. Karakteristik Satelit Alos
Tabel 2 Karakteristik Satelit Alos
Resolusion 2.5m panchromatic
10m multispectral
Launch Vehicle H-IIA Rocket
Launch Site Tanegashima Space Center
Satellite Weight Approximately 4,000kg (at Lift-off)
Power Approximately 7,000W (End of Life)
Designed Life 3 to 5 years
Orbit Sun Synchronous Sub-Recurrent Orbit
Recurrent Period : 46 days
Orbit Sun-syncroneous
Sub cycle : 2days
Altitude : Approximately 692km (above the
equator)
Inclination : Approximately 98.2 degress
Resolusi Tempral 46 hari
Sistem Scanner Pushbroom
Tabel 3 Karakteristik Utama AVNIR-2
Number of Bands 4
Wavelength Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers
Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers
Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers
Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers
Spatial Resolusion 10m (at Nadir)
Swath Width 70km (at Nadir)
S/N >200
MTF Band 1 through 3 : >0.25
Band 4 : > 0.20
Number of Detectors 7000/band
Pointing Angel -44 to + 44 degree (Triplet Mode, Cross-track
direction)
Bit Length 8 bits
18. 18
1.4.6. Pengolahan Data Citra Digital
a. Pra Pemroresan / Resolusi Citra
Restorasi citra ini diperlukan apabila kualitas citra yang
digunakan tidak mencukupi dalam mendukung studi tertentu. Namun
sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak
lepas dari kesalahan, yang diakibatkan oleh mekanisme perekaman
sensornya, gerakan dan ujud geometri bumi, serta kondisi atmosfer pad
saat perekaman. Kesalahan yang terjadi pada proses pembentukan citra
ini perlu untuk dikoreksi, supaya aspek geometri dan radiometri yang
dikandung oleh citra tersebut menjadi lebih valid.
Tinggi rendahnya kuailtas citra dipengaruhi oleh banyak hal,
diantaranya: kualitas sensor atau detector, posisi wahana saat perekaman,
kondisi topografi saat diliput, dan kondisi atmosfer pada saat perekaman.
Keadaan awal kualitas citra ini akan berpengaruh terhadap kualitas hasil
restorasi. Penilaian kualitas citra dapat dilakuakan secara absolut dan
relatif. Penilaian secara absolut mengacu pada tolak ukur yang jelas,
seperti presentase liputan awan, banyaknya droup-out baris, serta korelasi
antar saluran pada sistem multispektral. Sedangkan penilaian secara
relatif biasanya dikaitkan dengan potensi citra yang bersangkutan untuk
suatu aplikasi tertentu, misalnya survey geologi, kota, ataupun vegetasi.
Disamping penilaian yang telah disebutkan diatas, ada pula penilaian atas
kualitas citra komposit. Kriteria penilaian ini adalah panduan dari suatu
parameter kuantitatif dengan pendekatan kualitatif. Secara garis besar,
kuailtas citra dapat dikelompokkan menjadi kualitas geometrik dan
kualitas radiometrik.
1. Koreksi Radiometrik Citra
Tidak konsistennya detector daslam menangkap informasi juga
akan menghasilkan kesalahan berupa anomaly. Piksel ini menjadi jauh
lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Koreksi radiometri
diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu: untuk memperbaiki kualitas
19. 19
visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai
dengan nilai pantulan atau penacran spektral yang sebenarnya.
Koreksi radiometri citra ditujukan untuk memperbaiki kualitas
visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena droup-out
baris maupun kesalahan awal pelarikan (scaning start). Baris atau bagian
baris yang bernilai tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan
mengambil nilai piksel satu barus diatas dan dibawahnya, kemudian
dirata-ratakan (Guindon, 1984 dalam Jensen, 1986)
Koreksi radiometri yang ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel
supaya sesuai dengan seharusnya biasanya mempertimbangkan faktor
gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pada koreksi ii,
diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan
(scene) seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai
terendah piksel pada kerangka liputan bukan nol, maka nilai penambahan
(offset) tersebut dipandang sebagai hasil hamburan atmosfer. Koreksi
radiometri ini dilakukan dengan beberapa diantaranya: penyesuaian
histogram, penyesuaian regresi, metode kalibrasi bayangan.
Pada metode penyesuaian histogram ii merupakan pilihan yang
peling sederhana, dengan melihat histogram setiap saluran secara
independen. Dari histogram dapat diketahui nilai piksel terendah saluran
tersebut. Asumsi yang melandasi metode ini adalah bahwa proses koding
digital oleh sensor, objek yang memberikan respon spektral paling lemah
atau tidak memberikan respon sama sekali seharusnya bernilai 0. Apabila
nilai ini ternyata >0, maka nilai tersebut dihitung sebagai offset, dan
koreksi dilakukan dengan mengurangi keseluruhan nilai pada saluran
tersebut dengan offset-nya. Besarnya offset menunjukkan besarnya
pengaruh gangguan oleh atmosfer.
Metode penyesuaian regresi diterapkan dengan memplit nilai
piksel hasil pengamatan pada beberapa saluran sekaligus. Hal ini dapat
diterapkan apabila ada saluran rujukan (yang relatif bebas gangguan)
yang menyajikan nilai 0 untuk objek tertentu, misalnya saluran TM7
20. 20
untuk air jernih, dalam, dan tenang. Kemudian setiap saluran rujukan
tersebut untuk membentuk diagram pencar nilai-nilai piksel diamati. Cara
ini secara teoritis dapat diterima, akan tetapi dalam praktek sulit
diterapkan. Disamping itu, tidak semua liputan citra mempunyai objek air
jernih, dalan, dan tenang. Terlebih lagi, pengambilan nilai piksel-piksel
pengamatan harus berpa objek yang secara gradual berubah naik nilainya,
pada kedua saluran sekaligus, dan bukannya hanya pada salah satu
saluran.
Masing-masing metode yang telah disebutkan diatas mempunyai
kelemahan, karena mengasumsikan faktor gangguan radiometrik bersifat
linear, dan seragam untuk sembarang posisi pada citra. Kenyataan
menunjukkan bahwa gangguan ini sebenarnya bervariasi dari satu tempat
ke tempat lain. Dengan demikian, suatu liputan citra dengan kondisi
medan dan penggunaan lahan yang sangat bervariasi mestinya
memerlukan koreksi atas gangguan atmosfer dengan metode yang tidak
sesederhana seperti yang dijelaskan diatas.
2. Koreksi Geometrik Citra
Citra yang dihasilkan secara langsung melalui proses perekaman
satelit tidaklah bebas dari kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya
gerakan satelit, rotasi vumi, gerakan cermin pada sensor scanner, dan
juga kelengkungan bumi. Kesalahan-kesalahan geometri ini dapat
dikoreksi dalam dua tahap utama yaitu kesalahan geometri yang sudah
dapat diperkirakan sebelumnya. Kesalahan ini dinamakan kesalahan
sistematis, misalnya pergerakan cermin pelarik, kecepatan lintasan satelit,
dan arah serta kecepatan rotasi bumi.
Transformasi geometri yang paling mendasar adalah penempatan
kembail posisi piksel sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang
tertransformasi dapat dilihat gambaran objek dipermukaan bumi yang
terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar
menjadi jajar genjang merupakan hasil dari transformasi ini. Tahap ini
21. 21
diterapkan pada citra digital mentah (langsung hasil perekaman satelit)
dan merupakan koreksi kesalahan geometrik sistematik.
Koreksi geometri selanjutnya diperlukan untuk menghasilkan data
yang lebih teliti dalam aspek planimetrik. Pada sistem koreksi ini, sistem
koordinat atau proyeksi peta tertentu dijadikan rujukan, sehingga
dihasilkan citra yang mempunyai sistem koordinat dan skala beragam.
Citra terkoreksi ini siap untuk dimanipulasi bersama dengan peta ke
dalam kerangka sistem informsi geografi (SIG).
b. Klasifikasi Multispektral
Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang
dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara
mengelompokkan frnimena berdasarkan kriteria tertentu. Klasifikasi
multispektral adalah proses pengumpulan informasi dari citra digital
berdasarkan analisis nilai spektral dan kemudian mengelompokkan
informasi tersebut menjadi kategori baru berdasarkan kesamaan nilai
spektralnya. Asumsi paling awal dalam klasifikasi multispektral adalah
bahwa tiap objek dapat dibedakan dari yang lain berdaasrkan nilai
spektralnya. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan,
semakin detil atau teliti hasil klasifikasi multispektral ini.Klasifikasi
multispektral membutuhkan informasi statistic citra pada tiap salurannya.
Semakin banyak informasi statistic yang dibutuhkan, meke semakin
rumit algoritmanya, dan semakin lama proses eksekusi klasifikasinya.
Cara kerja algoritma klasifikasi multispektral pada prinsipnya
adalah menandai tiap jenis objek hingga terlihat berbeda satu dari yang
lain, berdasarkan ciri-ciri nilai spektralnya sekaligus pada beberapa
saluran, dan menerjemahkan kenampakan saluran visual tersebut menjadi
parameter-parameter statistic yang dimengerti oleh komputer kemudian
dieksekusi. Dengan mengetahui karakteristik nilai, pembagian kelas
dapat dilakukan. Karakteristik spektral merupakan gambaran sifat dasar
interaksi objek dan spektral yang bekerja padanya (Dulbahri 1984).
22. 22
Secara garis besar klasifikasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
klasifikasi terselia (supervised classification) dan klasifikasi tak terselia
(unsupervised classification).
Pada klasifikasi terselia dilaksanakan berdasarkan pada
karakteristik data atau piksel yang dipilih sebagai acuan. Pemilihan
piksel-piksel sebagai sampel dalam klasifikasi harus memperhatikan
homogenitasnya. Disamping itu, kriteria statistic diperlukan untuk
menilai sampel. Semakin tinggi homogenitas sampel, maka akan
memberikan hasil klasifikasi yang semakin baik pula, yang ditunjukkan
dengan kecilnya simpangan baku, bentuk histogramnya, dan tentu saja
bentuk gugusnya mengelompok pada feature space.
Berbeda dengan klasifikasi terselia, pada klasifikasi tak terselia
secara otomatis diputuskan oleh komputer, tanpa campur tangan operator
(kalaupun ada proses interaksi ini sangat terbatas). Proses ini sendiri
adalah suatu proses literasi sampai menghasilkan pengelompokan akhir
gugus-gugus spektral. Pada klasifikasi tak terselia ini tidak diperlukan
data atau piksel sebagai acuan, hal ini didasari pada asumsi bahwa objek
yang sama akan memberikan nilai spektral yang sama atau hampir sama,
sehingga piksel yang berbeda akan saling terpisah.
Hasil klasifikasi multispektral, baik secara terselia maupun tidak,
adalah suatu peta yang menyatakan distribusi spasial objek pada daerah
penelitian. Tiap objek diwakili oleh suatu nilai, dan ditampilkan sebagai
warna tertentu. Nilai disini sudah bukan lagi ekspresi respons spektral
objek, melainkan urutan pemberian lebel atau tanda pada waktu
pengambilan sampel. Perlu pula diperhatikan bahwa hasil langsung
klasifikasi multispektral ialah klas-klas spectral yang berhubungan
dengan penutup lahan. Hasil klasifikasi multispektral yang berupa peta
penutup lahan ataupun penggunaan lahan mempunyai tingkat ketelitian
(akurasi) tertentu, yang dapat diukur secara kuantitatif.
23. 23
1.4.7. Sistem Informasi Geografi (SIG)
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang
selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis
(Aronoff, 1989).Secara umum pengertian SIG adalah suatu komponen yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak, datageografis dan sumberdaya manusia
yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Dalam pembahasan
selanjutnya, SIG akan selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer,
walaupun pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis
komputer akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar
(dalam jumlah dan ukuran) dan terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan.SIG
mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan
hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah
data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem
koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat
menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan.
Kemampuan inilah yang membedakanSIG dari sistem informasi lainnya.
24. 24
BAB II
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
Kabupaten Bantul terletak di sebelah Selatan Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang berada disebelah utara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" - 08° 00' 27" Lintang Selatan dan
110° 12' 34" - 110° 31' 08" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bantul 508,85
Km2 (15,90 5 dari Luas wilayah Propinsi DIY) dengan topografi sebagai dataran
rendah 140% dan lebih dari separonya (60%) daerah perbukitan yang kurang
subur.
Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa dan 933 pedukuhan
dengan luas wilayah 506,85 km². Secara topografis, Kabupaten Bantul terbagi
menjadi daerah dataran yang terletak pada bagian tengah dan utara, daerah
perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat serta daerah pantai yang
terletak pada bagian selatan. Wilayah Kabupaten Bantul dilewati oleh tiga sungai
utama, yaitu Sungai Opak, Sungai Oya, dan Sungai Progo.
Kondisi demografi Kabupaten Bantul hingga tahun 2009 penduduknya
berjumlah 922.566 jiwa yang tersebar di 17 kecamatan. Pertumbuhan penduduk di
Kabupaten Bantul dipengaruhi oleh adanya migrasi ke luar daerah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pertambahan penduduk alamiahnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk tidak dapat menggantungkan
hidupnya di daerahnya sendiri. Bertambahnya jumlah penduduk akan berimplikasi
terhadap meningkatnya kebutuhan pelayanan yang harus disiapkan.
25. 25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 METODE PEROLEHAN DATA
Data yang digunakan pada studi kasus II ini ialah data sekunder yang
berasal dari Instasi BAPPEDA Kabupaten Bantul yaitu data Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul dan dari Laboratorium Digital
PJSIG yaitu citra ALOS DIY dan Sekitarnya dengan tahun perekaman Juni
2009
3.2 ALAT DAN BAHAN
3.2.1 Alat
1. Seperangkat Komputer/Laptop
2. Software ENVI 4.5
3. Software ArcGIS 10
3.2.2 Bahan
1. Citra Satelit ALOS Kabupaten Bantul Juni 2010
2. Peta RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bantul Tahun
2010-2030
3. Data RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bantul
Tahun 2010-2030
4. Lembar HVS A4
3.3 TAHAP PENELITIAN
3.3.1 Tahap Persiapan
a. Menyiapkan data acuan (kajian pustaka)
Data acuan yang digunakan berasal dari laporan penelitian studi kasus
angkatan sebelumnya dan beberapa buku referensi. Kegiatan ini
26. 26
bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dan
mendukung dalam penelitian.
b. Mengumpulkan data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ialah Citra ALOS yang
perekamannya dilakukan pada Juni 2009 dan peta RTRW (Rencana
Tata Ruang Wilayah) dikumpulkan untuk proses pengolahan lebih
lanjut.
3.3.2 Pelaksanaan
a. Menampilkan Citra
Menu utama ENVI, mengklik File memilih Open Image File
memilih data citra yang akan ditampilkan memilih citra dengan
saluran yang telah ditentukan melalui Available List
Gambar 2.1 Pemotongan Citra
b. Memotong Citra
- Membuka data image dan data vektor dalam satu display
- Melakukan masking dengan cara mengklik Basic Tool memilih
Masking memilih Build Mask klik Display#1 klik Options
klik Import EVFs menentukan layer menampilkan hasil
masking tersebut dengan apply
27. 27
Gambar 2.2 Cara Pemotongan Citra
- Klik Basic Tool memilih Masking memilih Apply Mask
memilih input file (data image)
- Kemudian mengatur Spatial Subset dan menentukan Select Mask
Band dengan Build Mask
- Menyimpan hasil potongan citra tersebut dengan mengklik menu File
memilih Save File As menentukan jenis format data yang
dikehendaki
c. Interpretasi Citra dan Peta
- Melakukan persiapan interpretasi peta
- Melakukan input data Peta RTRW pada menu Add Data ArcGIS 10
membuat geodatabase shapefile baru dengan menentukan sistem
proyeksinya melakukan proses georeference melakukan digitasi
Gambar 2.3 Interpretasi Citra dan Peta
28. 28
- Menyimpan hasil proses pengolahan data tersebut
- Menentukan klasifikasi untuk interpretasi dengan menentukan
klasifikasinya (Klasifikasi Malingreau)
- Melakukan input data citra di menu Add Data ArcGIS 10
membuat geodatabase-shapefile baru dengan menentukan system
proyeksi yang sesuai melakukan digitasi
- Menyimpan hasil proses pengolahan data tersebut
3.3.3. Pemindahan Hasil Interpretasi (Output)
- Melakukan overlay-intersect data vector hasil digitasi RTRW dan data
vector hasil digitasi citra
- Melakukan layouting sesuai kaidah kartografi
29. 29
Gambar 2.4 Diagram Alir Tahap Penelitian
Menyiapkan Data Bantul / Peta Digital
INTERPRETASI
Klasifikasi
Interpretasi penggunaan lahan dari citra
Peta tentatif penggunaan lahan
Pembuatan Laporan
Pengenalan daerah
penelitian
Pemberian simbol
Penggambaran
kesesuaian obyek
Pemberian simbol
Peta RTRW Kabupaten Bantul
30. 30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
Hasil ini berupa Peta Evaluasi Lahan, antara lain :
1. Peta Tentatif Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul dengan
Skala 1:250.000 dalam lembah HVS
2. Peta Tentatif Aktual Penggunaan Lahan Skala 1:250.000 dalam lembar
HVS
3. Peta Tentatif Kesesuaian Lahan Kabupaten Bantul Skala 1:100.000
dalam lembar HVS
31. 31
4.2 PEMBAHASAN
Kebutuhan akan lahan sebagai tempat tinggal atau pun penggunaan lahan
lainnya yang semakin meningkat diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk
yang tidak seimbang dengan luas lahan yang semakin sempit. Hal ini terjadi pada
wilayah Indonesia termasuk daerah perkotaan yang umumnya memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Sehingga pengetahuan tentang cara
pengelolaan penggunaan lahan yang berhubungan dengan daerah permukaan bumi
sangat perlu untuk membantu kebutuhan hidup manusia.
Penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui sesuai atau tidak
sesuainya lahan yang menggunakan data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografi. Untuk mengetahuin hasil kesesuaian lahan atau tidak sesuainya lahan
adalah dengan melihat peta rencana tata ruang wilayah daerah yang digunakan
adalah Kabupaten Bantul karena daerah yang mempunyai lahan yang luas untuk
dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata dan membagi daerahnya dengan
kelompok sesuai penggunaan lahan sebelumnya.
Untuk melakukan proses penentuan lahan sesuai atau tidak sesuai
menggunakan Citra Alos pada bulan Juni tahun 2010 dan Peta Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bantul pada tahun 2010-2030. Pada proses digitasi
penggunaan lahan yang dilakukan pada Citra Alos tersebut terdapat kendala dalam
melakukan digitasi karena kenampakan citra yang terdapat awan yang
mengakibatkan penggunaan lahan yang mungkin tidak akan terlihat lebih sama
dengan kenampakan aslinya dilapangan. Untuk menentukan penggunaan lahan apa
saja yang diambil dalam melakukan digitasi citra tersebut yaitu dengan
menggunakan tabel Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut
Malingreau.
Untuk membuat peta kesesuaian dilakukan dengan menggunakan software
ArcGIS untuk lebih memudahkan dalam menyatukan peta hasil digitasi, tapi dalam
proses penyatuan kedua peta yaitu peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
32. 32
Bantul dan Citra yang telah digitasi tidak bias bertampalan dikarenakan masalah
pada Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul yang salah dalam
penentuan letak geografis peta tersebut dengan data yang ditemukan.
Hasil digitasi Peta Tentatif Aktual Penggunaan Lahan dengan Skala
1:250.000 menghasilkan 3 penggunaan lahan antara lain hutan lahan kering, sawah
irigasi dan permukiman. Sedangkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bantul yang berskala 1:250.000 dengan 10 penggunaan lahan antara
lain Cagar Budaya, Hutan Lindung, Hutan Rakyat, Pariwisata, Perdesaan,
Perkotaan, Pertanian Lahan Basah, Pertanian Lahan Kering, Resapan Air dan
Sempadan Pantai.
Setelah penyatuan kedua peta berhasil bertampalan dan hasil overlay-
intersect pun berhasil juga karena sudah tidak terjadi masalah antara kedua peta.
Intersect melakukan tugas untuk meng-overlay dua buah peta penggunaan lahan
beserta dengan atribut-atributnya. Hasil peta Peta Tentatif Kesesuaian Lahan
Kabupaten Bantul adalah kesesuaian peta yang tepat dengan Citra Alos Kabupaten
Bantul dengan kenampakan bentuk lahan yang sebenarnya dilapangan. Hasil tidak
sesuai dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul terlihat lebih
banyak penggunaan lahan yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan lahan
semestinya, jika lahan yang digunakan tidak semestinya dengan lahan sebenarnya
dapat merusak lahan itu sendiri dan tidak dapat digolongkan sebagai lahan yang
lagi bermanfaat. Adapun lahan yang belum terealisasi yang terlihat pada hasil Peta
Tentatif Kesesuaian Lahan Kabupaten Bantul merupakan lahan yang belum
termasuk dalam aturan penggunaan lahan sehingga tidak termasuk dalam bentuk
lahan yang sesuai atau tidak sesuainya lahan tersebut.
33. 33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Kesesuaian pada hasil pembuatan Peta Tentatif Kesesuaian Lahan
Kabupaten Bantul menghasilkan peta dengan Kesesuaian lahan antara lain
; Belum Terealisasi, Sesuai, dan Tidak Sesuai
2. Peta yang digunakan untuk mnegetahui kesesuaian lahan adalah dengan
menggunakan Peta RTRW dan menggunakan Citra untuk mengetahui
keadaan sebenarnya dilapangan agar tidak ada kesalahan dalam
menentukan kesesuaian lahan
3. Hasil penentuan kesesuaian lahan yang terdapat pada Peta Tentatif
Kesesuaian Lahan sebagian besar mencakup penggunaan lahan seperti
permukiman dan sawah irigasi yang dimanfaat sebagaimana mestinya
4. Teknologi SIG dan penginderaan jauh mempermudah kegiatan penelitian
dan membuat waktu pengerjaan menjadi lebih singkat.
5. Penentuan georefrens peta yang dibutuhkan sangat bermanfaat untuk
membuat Peta Kesesuaian peta
5.2 SARAN
1. Bahan berupa citra sebaiknya lebih ditingkatkan kualitasnya agar
menghasilkan klasifikasi yang lebih sesuai.
2. Agar menghasilkan klasifikasi yang detil lebih baik menggunakan citra
dengan resolusi spasial yang detil pula
3. Lebih banyak belajar untuk menentukan koordinat peta dengan baik dan
benar agar tidak menemukan kesalah pada saat proses pembuatan peta.
34. 34
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, Projo, 1999. Pedoman Praktikum Penginderaan Jauh
Dasar.Yogyakarta : Fakultas Geografi , Gadjah Mada University
Harini, Rika, 2005. Hand-out Penggunaan Lahan Dan Vegetasi. Program
Diploma. Fakultas Geografi, Gadjah Mada University
Jatmiko, Retnadi Heru. 2005. Modul Praktikum Evaluasi Sumberdaya Lahan.
Yogyakarta : Program Diploma PJ dan SIG. Fakultas Geografi. Universitas
Gadjah Mada
Martha Sukendra, Poniman Aris, Hartono, 2011. Kamus Penginderaan Jauh.
Yogyakarta. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Purnomo, Djoko. 2005. Modul Praktikum Evaluasi Sumberdaya Lahan.
Yogyakarta : Program Diploma PJ dan SIG. Fakultas Geografi. Universitas
Gadjah Mada
Widayani, Prima. 2005. Modul Praktikum Evaluasi Sumberdaya Lahan.
Yogyakarta : Program Diploma PJ dan SIG. Fakultas Geografi. Universitas
Gadjah Mada
______, 1994. Penginderaan jauh Julid 1. Yogyakarta: Fakultas Geografi, Gadjah
Mada University
______, 1978. Penginderaan Jauh, PUSPICS. Gadjah Mada, University