Dokumen tersebut membahas tiga pendekatan perencanaan kota yang tanggap terhadap perubahan iklim, yaitu kota-kota infrastruktur yang tangguh, perencanaan berkelompok, dan ketahanan terbangun. Pendekatan-pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi persoalan relokasi pasca bencana lahar dingin di Kali Putih adalah kurangnya partisipasi masyarakat, lokasi relokasi yang dianggap terlalu jauh dari sumber mata pencaharian, dan kekhawatiran akan hilangnya hak atas tanah.
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...INSISTPress
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen ini melakukan kajian literatur tentang dinamika wacana perubahan iklim dan keterkaitannya dengan hukum dan tenurial di Indonesia dengan melakukan pengumpulan data sekunder berupa literatur dari tahun 2000 hingga 2013. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pemahaman akademis dan praktisi Indonesia mengenai ketiga isu tersebut.
Tugas kelompok geografi manusia mengenai artikel adaptasi perubahan iklimdeyanakanos
Dokumen tersebut membahas tentang adaptasi perubahan iklim dan berbagai konsep yang terkait dengan hal tersebut seperti resiliensi dan sustainability. Manusia harus melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim karena dapat membahayakan lingkungan dan masyarakat. Yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah manusia. Untuk beradaptasi diperlukan resiliensi dan sustainability.
Danu dean asmoro menantang global warming sebagai suatu problem sosialDanu Dean Asmoro
Tulisan ini membahas perbedaan orientasi antara problem sosial dan gerakan sosial terkait dengan isu global warming. Konsep klaim digunakan dalam pendekatan problem sosial sedangkan konsep frame digunakan dalam pendekatan gerakan sosial. Klaim berfokus pada aktor individu sementara frame mempertimbangkan faktor historis dan kontekstual dalam mempengaruhi persepsi masyarakat.
Question and answer tentang keadilan iklim yayasan satu duniaSatuDunia Foundation
Dokumen tersebut merupakan pertanyaan dan jawaban tentang keadilan iklim yang disusun oleh Yayasan Satudunia. Dokumen tersebut menjelaskan definisi perubahan iklim, sejarah perundingan perubahan iklim internasional, lembaga terkait seperti IPCC, serta penjelasan mengenai Konferensi Para Pihak atau COP dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Los Angeles telah membangun ketahanan terhadap perubahan iklim dengan memperkuat infrastruktur, melibatkan masyarakat, dan mengintegrasikan prinsip ketahanan ke seluruh aspek pemerintahan untuk melindungi mereka yang paling rentan. Strategi utama Los Angeles adalah modernisasi infrastruktur, adaptasi iklim, kesiapsiagaan bencana, kepemimpinan dan keterlibatan masyarakat, serta keamanan ekonomi.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi persoalan relokasi pasca bencana lahar dingin di Kali Putih adalah kurangnya partisipasi masyarakat, lokasi relokasi yang dianggap terlalu jauh dari sumber mata pencaharian, dan kekhawatiran akan hilangnya hak atas tanah.
Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial ...INSISTPress
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen ini melakukan kajian literatur tentang dinamika wacana perubahan iklim dan keterkaitannya dengan hukum dan tenurial di Indonesia dengan melakukan pengumpulan data sekunder berupa literatur dari tahun 2000 hingga 2013. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pemahaman akademis dan praktisi Indonesia mengenai ketiga isu tersebut.
Tugas kelompok geografi manusia mengenai artikel adaptasi perubahan iklimdeyanakanos
Dokumen tersebut membahas tentang adaptasi perubahan iklim dan berbagai konsep yang terkait dengan hal tersebut seperti resiliensi dan sustainability. Manusia harus melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim karena dapat membahayakan lingkungan dan masyarakat. Yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah manusia. Untuk beradaptasi diperlukan resiliensi dan sustainability.
Danu dean asmoro menantang global warming sebagai suatu problem sosialDanu Dean Asmoro
Tulisan ini membahas perbedaan orientasi antara problem sosial dan gerakan sosial terkait dengan isu global warming. Konsep klaim digunakan dalam pendekatan problem sosial sedangkan konsep frame digunakan dalam pendekatan gerakan sosial. Klaim berfokus pada aktor individu sementara frame mempertimbangkan faktor historis dan kontekstual dalam mempengaruhi persepsi masyarakat.
Question and answer tentang keadilan iklim yayasan satu duniaSatuDunia Foundation
Dokumen tersebut merupakan pertanyaan dan jawaban tentang keadilan iklim yang disusun oleh Yayasan Satudunia. Dokumen tersebut menjelaskan definisi perubahan iklim, sejarah perundingan perubahan iklim internasional, lembaga terkait seperti IPCC, serta penjelasan mengenai Konferensi Para Pihak atau COP dalam kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Los Angeles telah membangun ketahanan terhadap perubahan iklim dengan memperkuat infrastruktur, melibatkan masyarakat, dan mengintegrasikan prinsip ketahanan ke seluruh aspek pemerintahan untuk melindungi mereka yang paling rentan. Strategi utama Los Angeles adalah modernisasi infrastruktur, adaptasi iklim, kesiapsiagaan bencana, kepemimpinan dan keterlibatan masyarakat, serta keamanan ekonomi.
Makalah ini membahas dua masalah utama yaitu masalah kependudukan dan lingkungan hidup di Indonesia. Masalah kependudukan meliputi besarnya jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah namun sumber daya alam terbatas, persebaran penduduk yang tidak merata, rendahnya kualitas penduduk dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sedangkan masalah lingkungan hidup meliputi lahan kritis, kerusakan hutan, pence
Green perspective muncul akibat kerusakan lingkungan seperti hujan asam, penipisan ozon, dan perubahan iklim. Perspektif ini memandang lingkungan secara ekocentrik dan bukan antropocentrik, serta menekankan pada pembatasan pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi pengelolaan lingkungan.
Makalah ini membahas keterlibatan NGO dalam mengendalikan penggunaan energi nuklir terkait isu lingkungan global. Ia menjelaskan bahwa energi nuklir digunakan oleh 30 negara untuk memenuhi kebutuhan energinya, namun telah terjadi beberapa kecelakaan reaktor nuklir yang mengkhawatirkan lingkungan dan masyarakat. Makalah ini juga menganalisis pandangan modernis dan ekoradikal terhadap penggunaan
Dokumen tersebut membahas hubungan antara manusia dan lingkungan, termasuk pengertian manusia dan lingkungan, interaksi antara keduanya, peran manusia terhadap lingkungan secara positif maupun negatif, serta perkembangan teori mengenai hubungan tersebut.
Sesi -1: Memahami Krisis iklim secara Sistem (Understanding Climate Crisis: A...Farhan Helmy
Paparan 1 dari 4 paparan yang disampaikan pada Lokakarya Kebikkan Perubahan Iklim menggunakan En-ROADS. Paparan ini membahas kompleksitas iklim sebagai suatu sistem yang dinamikanya digerakan baik secara fisik (physical system) maupun kegiatan manusia (antropogenik) yang kemudian melembaga dalam perilaku.
Translation:
"Presentation 1 of 4 presentations delivered at the Workshop on Wisdom of Climate Change using En-ROADS. This presentation discusses the complexity of climate as a system whose dynamics is moved both physically (physical system) and human activities (anthropogenic) which then institutionalizes in behavior."
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Farhan Helmy
My Presentation on climate change complexity and potential solutions using En-ROADS simulation developed by Climate Interactive, MIT and Ventana System. (in Bahasa Indonesia)
Dokumen tersebut membahas konsep pembangunan berkelanjutan menurut beberapa sumber dan analisis konflik antar stakeholder di Makassar. Konsep pembangunan berkelanjutan mencakup tiga pilar utama yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Dokumen ini juga mengidentifikasi stakeholder kunci di Makassar seperti pemerintah, nelayan, industri, dan pariwisata serta menganalisis potensi konflik antara stakeholder-stake
Ambisi Persetujuan Paris 2.0/1.5 C: mungkinkah dicapai?Farhan Helmy
Dokumen tersebut membahas tiga hal penting yaitu: (1) memahami krisis iklim secara sistemik dan kompleks, (2) tata kelola perubahan iklim yang melibatkan berbagai aktor dan proses, (3) tantangan mencapai target Paris Agreement 1.5-2°C dengan catatan reflektif mengenai komitmen, kebijakan publik, dan keadilan.
Konsep esensial geografi merupakan konsep dasar yang penting dalam memahami fenomena geografi secara menyeluruh. Konsep-konsep seperti lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, serta keterkaitan keruangan membantu menjelaskan berbagai fenomena geografi di permukaan bumi.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Dokumen tersebut membandingkan isu pembangunan dan perubahan sosial menurut teori-teori sosiologi;
(2) Isu pembangunan seperti banjir kilat disebabkan oleh pembangunan yang tidak terancang dikaitkan dengan teori konflik;
(3) Perubahan sosial seperti revolusi industri 4.0 yang mengubah aktiviti ekonomi ke arah e-dagangan.
Green Recovery, Teknologi dan UUCK: Beberapa CatatanFarhan Helmy
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya pemulihan ekonomi yang ramah lingkungan (green recovery) melalui investasi besar-besaran dalam teknologi rendah karbon, ekonomi sirkular, dan restorasi lingkungan sesuai dengan target ilmiah untuk menjaga peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius. Dokumen tersebut juga membahas pentingnya pengakuan hak masyarakat adat dan penyelesaian sengketa agraria dalam ker
Konsep esensial geografi merangkum konsep-konsep penting dalam geografi seperti lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, dan keterkaitan ruang. Konsep-konsep ini digunakan untuk memahami fenomena geografi secara menyeluruh.
Makalah ini membahas dua masalah utama yaitu masalah kependudukan dan lingkungan hidup di Indonesia. Masalah kependudukan meliputi besarnya jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah namun sumber daya alam terbatas, persebaran penduduk yang tidak merata, rendahnya kualitas penduduk dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sedangkan masalah lingkungan hidup meliputi lahan kritis, kerusakan hutan, pence
Green perspective muncul akibat kerusakan lingkungan seperti hujan asam, penipisan ozon, dan perubahan iklim. Perspektif ini memandang lingkungan secara ekocentrik dan bukan antropocentrik, serta menekankan pada pembatasan pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi pengelolaan lingkungan.
Makalah ini membahas keterlibatan NGO dalam mengendalikan penggunaan energi nuklir terkait isu lingkungan global. Ia menjelaskan bahwa energi nuklir digunakan oleh 30 negara untuk memenuhi kebutuhan energinya, namun telah terjadi beberapa kecelakaan reaktor nuklir yang mengkhawatirkan lingkungan dan masyarakat. Makalah ini juga menganalisis pandangan modernis dan ekoradikal terhadap penggunaan
Dokumen tersebut membahas hubungan antara manusia dan lingkungan, termasuk pengertian manusia dan lingkungan, interaksi antara keduanya, peran manusia terhadap lingkungan secara positif maupun negatif, serta perkembangan teori mengenai hubungan tersebut.
Sesi -1: Memahami Krisis iklim secara Sistem (Understanding Climate Crisis: A...Farhan Helmy
Paparan 1 dari 4 paparan yang disampaikan pada Lokakarya Kebikkan Perubahan Iklim menggunakan En-ROADS. Paparan ini membahas kompleksitas iklim sebagai suatu sistem yang dinamikanya digerakan baik secara fisik (physical system) maupun kegiatan manusia (antropogenik) yang kemudian melembaga dalam perilaku.
Translation:
"Presentation 1 of 4 presentations delivered at the Workshop on Wisdom of Climate Change using En-ROADS. This presentation discusses the complexity of climate as a system whose dynamics is moved both physically (physical system) and human activities (anthropogenic) which then institutionalizes in behavior."
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Farhan Helmy
My Presentation on climate change complexity and potential solutions using En-ROADS simulation developed by Climate Interactive, MIT and Ventana System. (in Bahasa Indonesia)
Dokumen tersebut membahas konsep pembangunan berkelanjutan menurut beberapa sumber dan analisis konflik antar stakeholder di Makassar. Konsep pembangunan berkelanjutan mencakup tiga pilar utama yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Dokumen ini juga mengidentifikasi stakeholder kunci di Makassar seperti pemerintah, nelayan, industri, dan pariwisata serta menganalisis potensi konflik antara stakeholder-stake
Ambisi Persetujuan Paris 2.0/1.5 C: mungkinkah dicapai?Farhan Helmy
Dokumen tersebut membahas tiga hal penting yaitu: (1) memahami krisis iklim secara sistemik dan kompleks, (2) tata kelola perubahan iklim yang melibatkan berbagai aktor dan proses, (3) tantangan mencapai target Paris Agreement 1.5-2°C dengan catatan reflektif mengenai komitmen, kebijakan publik, dan keadilan.
Konsep esensial geografi merupakan konsep dasar yang penting dalam memahami fenomena geografi secara menyeluruh. Konsep-konsep seperti lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, serta keterkaitan keruangan membantu menjelaskan berbagai fenomena geografi di permukaan bumi.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Dokumen tersebut membandingkan isu pembangunan dan perubahan sosial menurut teori-teori sosiologi;
(2) Isu pembangunan seperti banjir kilat disebabkan oleh pembangunan yang tidak terancang dikaitkan dengan teori konflik;
(3) Perubahan sosial seperti revolusi industri 4.0 yang mengubah aktiviti ekonomi ke arah e-dagangan.
Green Recovery, Teknologi dan UUCK: Beberapa CatatanFarhan Helmy
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya pemulihan ekonomi yang ramah lingkungan (green recovery) melalui investasi besar-besaran dalam teknologi rendah karbon, ekonomi sirkular, dan restorasi lingkungan sesuai dengan target ilmiah untuk menjaga peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius. Dokumen tersebut juga membahas pentingnya pengakuan hak masyarakat adat dan penyelesaian sengketa agraria dalam ker
Konsep esensial geografi merangkum konsep-konsep penting dalam geografi seperti lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, dan keterkaitan ruang. Konsep-konsep ini digunakan untuk memahami fenomena geografi secara menyeluruh.
1. Dokumen membahas tentang urgensi pembangunan kota rendah karbon dengan menjelaskan tantangan perubahan iklim, pertumbuhan populasi perkotaan, dan eksploitasi sumber daya alam.
2. Iklim bumi telah berubah karena peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, dan hal ini telah menyebabkan dampak seperti peningkatan banjir dan badai.
3. Pertumbuhan pend
1. Studi geografi Sophie Webber tentang politik adaptasi dan ketahanan perubahan iklim, terutama di Indonesia dan pulau-pulau Pasifik.
2. Penelitiannya fokus pada keterbatasan adaptasi dan layanan informasi iklim.
3. Geografi memerlukan perspektif holistik untuk memahami hubungan timbal balik antara berbagai wilayah.
Mitigation behaviour sebagai upaya mereduksi dampak perubahan iklimRizki Yuniartanti
1. Kenaikan air laut di Kota Semarang diperparah oleh intervensi manusia dan perubahan iklim, meningkatkan sensitivitas kerentanan masyarakat. 2. Masyarakat miskin di kawasan pesisir kurang mampu melakukan mitigasi atau adaptasi jangka panjang untuk mengurangi risiko bencana. 3. Penelitian ini bertujuan merumuskan mitigasi bencana yang efektif jangka panjang untuk masyarakat Kota Semarang.
Dokumen tersebut membahas berbagai konsep terkait kota berkelanjutan seperti kota hijau, kota taman, kota nyaman, dan kota pintar. Dokumen ini juga menggunakan contoh penerapan konsep kota berkelanjutan di Jakarta melalui kota berketahanan dan smart city Jakarta.
1. INOVASI PERENCANAAN KOTA TANGGAP PERUBAHAN IKLIM:
Resilient Infrastucture Cities, Swarm Planning, dan Built-in Resilience
Oleh: Yasin Yusup*
*Kandidat Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB
Pendahuluan
Perubahan iklim menjadi isu besar dunia dan beberapa orang
menyebutnya sebagai tantangan terbesar dunia (Dow K, et al, 2006), bukan
hanya dari sisi ilmu pengetahuan (Archer, D., 2006), ekonomi (Stern, N., 2007)
tetapi juga politik (Dessler, A.E., et al, 2006; Roberts, J.T., et al, 2007; Giddens, A.,
2009), termasuk juga perencanaan (Roggema, R., 2009). Perubahan iklim
tampaknya semakin cepat dari prediksi yang ada: “sooner, faster, stronger”
(Roggema, R., 2009: 1). Ini artinya ketidakpastian perubahan kedepannya besar.
Seandainya pun hari ini dunia sukses mengurangi emisi CO2 atau upaya mitigasi
berhasil, dampak perubahan iklim akan terus memberi efek pada komunitas,
ekologi, dan ekonomi di seluruh dunia. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain,
selain adaptasi baru terhadap perubahan iklim, karena selalu ada kejutan
(regular surprise) terkait perubahan iklim, yaitu perubahan yang terjadi selalu
melebihi skenario yang diprediksikan (Roggema, R., 2009). Bentuk adaptasi yang
mampu mengatasi kejutan adalah resiliensi terhadap bencana (Paton, D., 2006),
baik pada tingkat komunitas (Salim, W., et al, 2008), kota (Pelling, M., 2003),
maupun ekosistem (Adger, W. N., et al, 2005).
Folke (2009) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas sistem (bisa
komunitas, kota, atau sistem ekonomi) untuk menghadapi perubahan dan terus
berkembang. Baik mengenai bertahan terhadap goncangan dan gangguan
seperti perubahan iklim atau krisis finansial, maupun menggunakan kejadian
tersebut sebagai katalis pembaruan kembali, kebaruan, dan inovasi. Dalam
sistem manusia pemikiran resiliensi menekankan pembelajaran dan
keberagaman sosial. Sementara pada level biosfir, fokusnya pada
2. kesalingtergantungan antara manusia dan alam, dan saling pengaruh dinamis
antara perubahan lambat dan gradual. Teori resiliensi pertama diperkenalkan
oleh ahli ekologi Kanada, C.S. Holling, pada tahun 1973, bermula dengan 2
premis radikal. Pertama, bahwa manusia dan alam bergandengan (coupled)
secara erat dan berevolusi bersama (co-evolved), dan karenanya harus dipahami
sebagai satu sistem sosial-ekologi. Kedua, asumsi implisit yang telah lama
dipegang bahwa respon sistem terhadap perubahan dalam “baju linier” dan
karenanya dapat diprediksi, tidak terbukti (Portugali, 2008). Dalam pemikiran
resiliensi, sistem dipahami dalam kondisi perubahan yang terus-menerus
(constant flux), sulit diprediksi, dan mengorganisir sendiri dengan feedback
melampaui berbagai skala ruang dan waktu; atau disebut sistem adaptif
kompleks.
Resiliensi menurut Folke (2009) memiliki 3 fitur yaitu keteguhan
(persistence), kemampuan adaptasi, dan kemampuan transformasi yang masing-
masing berinteraksi dari skala lokal sampai global. Resiliensi terlihat pada
bagaimana masyarakat mampu teguh dan adaptif untuk menghindari balikan
(tipping) ambang kritis menuju situasi yang diharapkan, di satu sisi; sebaliknya
ketika terjadi pergeseran menuju rezim yang tidak diinginkan dan tidak dapat
diubah, resiliensi terlihat pada bagaimana sistem sosial-ekologi mentransformasi
menyesuaikan dengan kondisi baru tersebut.
Setelah diperkenalkan 4 dekade lalu oleh Holling (1973), di bidang
ekologi, resiliensi kemudian berkembang dalam studi tentang bencana
(Timmerman, 1981; Tobin and Montz, 1997; Pelling, M., 2003; Paton, D., 2006;
Brown, O., et al, 2006; Twigg, J., 2007; Gaillard, J.C., 2007); studi sosial (Adger,
W.N., 2000; Obrist, B., 2010; Longstaff, P. H., et al, 2010; Larsen, R.K., et al,
2011); studi sosial-ekologis (Holling, C.S., 2001; Berkes, F,. et al, 2003; Walker,
B., et al, 2004; Lebel, L., et al, 2006; Folke, C., 2006; Resilience Aliance, 2010),
termasuk perencanaan (Wildavsky, 1988; Goldschalk, 3003; Vale, L. J., and T. J.
Campanella, 2005; Morttimer, C., 2010; Prasad, N., et al, 2009; Goldstein, B. E.,
2009; Innes, J. I., dan Booher, D. E., 2010; dan Roggema, 2009).
3. Dalam planning, resiliensi pertama dikembangkan oleh Wildavsky pada
tahun 1988. Menurut Wildavsky, “pendekatan resiliensi tepat digunakan ketika
kondisi pengetahuan baik mengenai sifat dan skope risiko dan kondisi masa
depan maupun pengetahuan tentang upaya intervensi rendah”, seperti dalam
kasus ledakan reaktor nuklir Chernobyl. Resiliensi juga dikembangkan dalam
konteks bencana besar, terorisme, krisis energi dan perubahan iklim (Goldschalk,
2003; Vale, L. J., and T. J. Campanella, 2005; Morttimer, C., 2010; Prasad, N., et
al, 2009). Sementara Goldstein (2009) mencoba mengkaitkan resiliensi sosial-
ekologis dengan perencanaan komunitaf; sedangkan Innes dan Booher (2010)
mencoba mengadopsi sistem adaptif kompleks dalam perencanaan kolaboratif
untuk tata kelola resiliensi (governance for resilience).
Ketidakpastian, Resiliensi, dan Network
Pemikiran Resiliensi menggeser tujuan planning dari pertanyaan "di mana
kita ingin berada ? dan bagaimana kita sampai di sana?” ke "bagaimana kita
bergerak ke arah yang diinginkan dalam menghadapi ketidakpastian?"
Pertanyaan terakhir menggeser fokus perencanaan dari berdebat mengenai
solusi alternatif menjadi bekerja sama dengan beragam pengetahuan (diverse
knowledge) untuk menyusun strategi adaptif yang yang dapat membantu kita
bergerak ke arah yang diinginkan. Dalam perspektif ini proses perencanaan
ditingkatkan dengan membuatnya fleksibel untuk berurusan dengan
ketidakpastian dan kejutan dan dengan membangun kapasitasnya untuk
berkembang-bersama (co-evolve) dengan perubahan (Berkes, et al, 2003:352).
Norgard (1994, dalam Pelling, 2003) menggambarkan pola perubahan
proses manusia dan lingkungan pada suatu tempat merupakan evolusi bersama
(co-evolutionary). Di sini tidak ada satu garis arah kausalitas sederhana dalam
produksi kondisi manusia atau lingkungan: “alam” menyebabkan “bencana
alami”; risiko di kota merupakan hasil dari berbagai loop timbal-balik dan
ambang batas, serta ide, mekanisme, dan bentuk yang berkompetisi. Dengan
4. cara ini penerobosan ambang batas kritis dapat memulai serangkaian dampak
benturan bertingkat dengan akibat yang luas di seluruh sistem perkotaan.
Tingkat perubahan bisa cepat atau lambat, dan kejadian yang mempercepat
seperti bencana katastropis atau reformasi politik, kadang-kadang mengubah
konteks dimana sistem manusia-lingkungan beroperasi. Hal ini menciptakan
ruang (space) untuk beradaptasi secara cepat atau bentuk organisasi manusia
dan atau lingkungan yang baru untuk berevolusi menjadi lebih unggul menuju
keseimbangan baru untuk memantapkan dirinya sebelum masuk pada
pergolakan berikutnya.
Hillier (2010) menganggap perencanaan tata ruang sebagai praktek
percobaan ketika berhadapan dengan keraguan (doubt) dan ketidakpastian
(uncertainty), terlibat dengan adaptasi dan penciptaan, sebuah “latihan
spekulatif”. Hillier menyarankan perencanaan ruang sebagai navigasi strategis
(strategic navigation) sepanjang garis investigasi 'virtualities' yang tak terlihat
pada saat ini; spekulasi tentang apa yang mungkin belum terjadi; penyelidikan
terhadap apa yang mungkin dipikirkan atau dilakukan pada waktu dan tempat
tertentu, dan bagaimana hal ini mungkin berpengaruh terhadap bentuk spasial
yang secara sosial dan lingkungan adil.
Roggema (2009) menjelaskan bahwa ketika perubahan dalam masyarakat
terjadi secara cepat dan ada kebutuhan untuk mengantisipasi perubahan,
landskap baru berevolusi, dimana setiap orang bekerjasama mengantisipasi
perubahan dengan menggunakan jaringan (network-based way). Roggema
mengingatkan bahwa karena ada fakta pembangunan jangka panjang tidak lagi
mendefinisikan gambar akhir masa depan (end images of future), tetapi lebih
ditujukan untuk mendefinisikan intervensi stratejik dalam memandu dan
menginisiasi pembangunan masa depan pada arah yang lebih resilien. Dengan
menerapkan prinsip yang didefinisikan oleh teori sistem adaptif kompleks
terhadap metode perencanaan ruang, resiliensi wilayah untuk menangani masa
depan yang turbulen dapat ditingkatkan, yaitu dengan merubah praktek
perencanaan menuju bentuk perencanaan yang lebih adaptif dan fleksibel.
5. Pertanyaannya bagaimana praktek perencanaan kota yang tanggap terhadap
perubahan iklim?
Resilient Infrastucture Cities, Swarm Planning, dan Built-in Resilience
Peter Newman dalam Resilient Infrastucture Cities (2010), menyebut ada
7 fitur resiliensi yang sedang berkembang dalam infrastruktur yang cocok untuk
mitigasi perubahan iklim, yaitu:
1. Kota energi terbarukan (the renewable energy city)
2. Kota bebas karbon (the carbon-neutral city)
3. Kota yang terdistribusi (the distributed city)
4. Kota infrastruktur hijau (the biophilic city)
5. Kota yang efisien secara ekologi (the eco-efficient city)
6. Kota berbasis ekonomi lokal (the place-based city)
7. Kota transport berkelanjutan (the sustainable transport city)
Memnurut Newman, “tipe-tipe kota ini jelas saling overlap dalam
pendekatan dan hasilnya, tetapi masing-masing menyediakan perspektif
bagaimana usaha untuk meningkatkan resiliensi sebuah kota bisa dicapai. Tidak
ada satu pun kota yang menunjukkan inovasi dalam semua 7 area, beberapa
unggul dalam satu atau dua area. Tantangan bagi perencana kota adalah untuk
menerapkan seluruh pendekatan ini secara bersama, untuk membangkitkan “a
sense of purpose” melalui kombinasi teknologi baru, desain kota, dan inovasi
berbasis komunitas dalam infrastuktur yang resilien.
Pendekatan mitigasi perubahan iklim perlu dilengkapi dengan
pendekatan adaptasi. Roggema (2008) mendasarkan teori sistem kompleks
menawarkan swarm planning sebagai strategi adaptif terhadap situasi yang
penuh guncangan (turbulence) seperti dalam kasus perubahan iklim. Swarm
Planning, berjalan bila:
Grup element individu yang besar (orang, bangunan)
6. Banyak koneksi (virtual, jalan, rel, air)
Kualitas hubungan yang baik (cepat, intensif)
Jaringan berkualitas tinggi (fleksibilitas, intensitas)
Cukup keberagaman, tetapi tidak terlalu banyak (neighbourhoods,
groups)
Beberapa pola eksis-bersama/co-exist (patches)
Ketika dampak perubahan yang besar seperti perubahan iklim,
masyarakat internet (network society), atau suplai energi tidak menentu terjadi,
hal itu mengakibatkan meningkatnya goncangan (turbulence). Perkembangan ini
mempengaruhi sistem ruang regional. Untuk memahami sistem regional lebih
baik, prinsip dan karakteristik sistem adaptif kompleks dan pemetaan regional
iklim dan potensi energi dapat membantu. Lesson learned dari sistem adaptif
dikombinasikan dengan karakteristik energi dan iklim regional menawarkan
peluang untuk intervensi stratejik yang paling sesuai dan lokalisasi ruang yang
fleksibel. Kedua elemen ini mengarahkan meningkatnya resiliensi sistem ruang
regional, bila digunakan dalam sistem perencanaan ruang yang tepat, lihat
Gambar 1.
Gambar 1. Interrelatedness and mutual influences (Roggema, 2008)
7. Menghadapi risiko perubahan iklim bukan situasi yang baru bagi kaum
miskin kota, dan banyak yang bisa dipelajari dari respons otonom mereka (slowly
matured autonomous responses) dalam rangka membangun rencana dan
kebijakan adaptasi lokal berbasis pengalaman akar rumput (evidence base of
grassroots experience). Jabeen, dkk (2010) dalam Built-in resilience: learning
from grassroots coping strategies for climate variability menggambarkan strategi
menghadapi (coping strategies) yang dikembangkan oleh kaum miskin di Korail,
Dhaka. Ini mencakup prkatek adaptasi fisik (physical adaptive practices) pada
tingkat individu (individual dwellings), melalui usaha bersama (collective efforts)
membanguan dan menjaga fasilitas drainase, penggunaan modal sosial lokal
(local social capital), seperti berbagi makanan dan fasilitas memasak, atau
pindah ke bangunan yang kurang terpengaruh di lingkungan selama banjir.
Sekitar 50 persen rumah tangga yang diwawancarai berpartisipasi dalam
skema tabungan (saving schemes) dengan tujuan mengambil pinjaman dari
tabungan mereka selama waktu sulit. Lebih jauh, beberapa strategi, seperti
menggunakan kanopi atap atau vegetasi untuk mengurangi paparan panas (heat
exposure), yang diidentifikasi sebagai regular practices yang diimport dari
wilayah desa diamana beberapa penduduk Korail berasal. Strategi fisik dan sosial
yang diadopsi saling memperkuat seperti ditunjukkan dalam wide use of
courtyards, yang bukan saja menyediakan shaded open space untuk ventilasi
tetapi juga untuk outdoor inter-household activities yang memperkuat solidarity
bonds diantara tetangga. Seperti dicatat oleh Wisner dkk, (2004), grassroots
coping strategies bisa terdiri dari preventative, tindakan meminimasi dampak
atau post-event coping actions, semua ditujukan untuk mengurangi kerentanan
melalui mekanisme yang beragam dari penggunaan teknologi, organisasi sosial,
hubungan ekonomi dan pengaturan budaya (cultural arrangements).
Ada benang merah antara 3 inovasi diatas (Resilient Infrastucture Cities,
Swarm Planning, dan Built-in Resilience) yaitu semua terkait dengan network
(Landscape 2.0, Roggema, 2009) dan beroperasi pada skala lokal, seperti
diingatkan oleh Joan Clos dalam mengantar Global Report on Human
8. Settlements: Cities and Climate Change (UN HABITAT 2011), “local action is
indispensable for the realization of national climate change commitments agreed
through international negotiations. Yet most of the mechanisms within the
international climate change framework are addressed primarily to national
governments and do not indicate a clear process by which local governments,
stakeholders and actors may participate.”
Daftar Pustaka
Adger, N., 2000. Social and Ecological Resilience: are They Related?. Progress in
Human Geography 24, 3 (2000) pp. 347-364.
Adger, W. N., T. P. Hughes, C. Folke, S. R. Carpenter, and J. Rockstrom. 2005.
Social–ecological resilience to coastal disasters. Science 309:1036–1039.
Archer, D., 2006. Global Warming: Undrstanding The Forecast. Blackwell
Publishing Ltd, Malden, USA; Oxford, UK & Victoria, Australia.
Berkes, F., Colding, J., dan Folke, C., 2003. Navigating Social-Ecological Systems:
Building Resilience for Complexity and Change, Cambridge University
Press, Cambiridge.
Brown, O., Crawford, A., Hammil, A., 2006. Natural Resources and Resources
Right: Building Resilience, Rebuilding Lives. International Institut for
Sustainable Development.
Carp, J., 2008. “Ground-Truthing” Representations of Social Space: Using
Lefebvre’s Conceptual Triad. Journal of Planning Education dan Research
28: 129-142. [9 mei 2011] http://jpe.sagepub.content/28/2/129
Davoudi, S., and I. Strange, eds, 2009. Conceptions of space and place in
strategic spatial planning, Royal Town Planning Institute , Routledge.
Dessler, A., and Parson, E., 2006. The Science and Politics of Climate Change.
Cambridge University Press, Cambridge.
Douglas Paton, and David Johnston, 2006, Disaster Resilience: an integrated
approach, Charles C Thomas Publisher, LTD, Illionis, USA.
Dow, K., and Downing, T.E., 2006. The Atlas of Climate Change: Mapping The
World’s Greatest Challenge. University of California Press, California.
9. Folke,C., 2006. Resilience: The Emergence of A Perspective for Social-Ecological
Systems Analyses. Global Environmental Change 16 (2006) 253-267.
Gaillard, J.C., 2007. Resilience of Traditional Societies in Facing Natural Disaster.
Disaster Prevention and Management Vol. 16 No. 4, 2007 pp. 522-544.
Giddens, A., 2009. The Politics of Climate Change. Polity Press, Cambridge, UK &
Malden, USA.
Godschalk, 2003. Urban hazard mitigation: Creating resilient cities. Natural
Hazards Review 4(3), 136-143.
Goldstein., B.E., 2009. Resilience to Surprises through Commicative Planning.
Ecology and Society 14 (2): 33
http://www.ecologyandsociety.org/vol14/iss2/art33/ diunduh pada 16
Februari 2011.
Hillier, J., 2010. “Strategic Navigation in an Ocean of Theoritical and Practice
Complexity” in Hillier, J., and Healey, P., eds., Plannign Theory:
Conceptual Challenges for Spatial Planning. Ashgate, England and USA.
Holling, C. S. 1973. Resilience and stability of ecological systems. Annual Review
of Ecological Systems 4:1-23.
Holling, C.S., 1986. Resilience of Ecosystems; local surprise and Global Change.
In Clark, W.C., Munn, R.E., editors. Sustainable Development of
Biosphere. Cambridge (UK): Cambridge University Press. 292-317.
Holling, C.S., 2001., Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and
Social Systems. Ecosystems (2001) 4: 390-405.
Innes, J., dan Booher, D.E., 2010. Planning with Complexity: An introduction to
collaborative rationality for public policy. Routledge, USA dan Canada.
Jabeen, H., Johnson. C., and Allen, A., 2010. Built-in resilience: learning from
grassroots coping strategies for climate variability. Environment and
Urbanization, Vol 22(2): 415–431.
Larsen, R.K., Calgaro, E., Thomall, F., 2011. Governing Resilience Building in
Thailand’s Tourim-Dependent Coastal Communities: Conceptualising
Stakeholder Agency in Social-Ecological Systems. Global Environmental
Change xxx (2011) xxx-xxx, http://elsevier.com/locate/gloenvcha diunduh
pada 17 Februari 2011.
Lebel, L., Anderies, J.M., Campbell, B., Folke, C., Dodds, S.H., Hughes, T.P., dan
Wilson, J., 2006. Governance and the Capacity to Manage Resilience in
10. Regional Social-Ecological Systems. Ecology and Society 11(1): 19.
[online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss1/art19/
diunduh pada 15 Februari 2011.
Longstaff, P.H., Armstrong, N.J., Perrin, K.A., Parker, W.M., dan Hidek, M., 2010.
Community Resilience: A Function of Resources and Adaptability. White
Paper. Institut for National Security and Counterterrorism, Syracuse
University.
Mark Pelling, 2003, The Vulnerability of Cities: Natural Disasters and Social
Resilience, Earthscan, London.
Mortimer, C., 2010. Assessing Urban Resilience. Diunduh dari
http://policyproject.ac.nz./clairemortimer/ pada 15 Februari 2011
Obrist, B., 2010. Multi-layered Social Resilience: A New Approach in Mitigation
Research. Progress In Development Studies 10, 4(2010) pp. 283-293.
Paton, D., 2006. “Disaster Resilience: Building Capacity to Co-exist with Natural
Hazards and Their Consequences” in Paton, D., dan David Johnston, eds.,
Disaster Resilience: An Integrated Approach. Charles C Thomas
Publisher, Springfield, Illionis, USA.
Pelling, M., 2007 [2003]. “Tracing the Roots of Urban Risk and Vulnerability” in
The Vulnerability of Cities: Natural Disaster and Social Resilience,
Earthscan, UK dan USA.
Pimm, S. L. 1984. The complexity and stability of ecosystems. Nature 307: 322-
326.
Portugali, J., 2008. Learning From Paradoxes about Prediction and Planning in
Self-Organizing Cities. Planning Theory Vol 7(3): 248–262. [9 Mei 2011]
http://plt.sagepub.com/content/7/3/248.full.pdf
Prasad, N., Ranghieri, F., Shah, F., Trohanis, Z., Kessler, E., dan Sinha, R., 2009.
Climate Resilient Cities: A Primer on Reducing Vulnerabilities to
Disasters. The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank, Washington.
Resilience Alliance, 2010. Assessing Resilience in Social-Ecological Systems:
Workbook for Practitioners. Version 2.0.
Roberts, J.T., and Parks, B.C., 2007. A Climate of Injustice. MIT, Cambridge, MA.
11. Roggema, 2008. The Use of Spatial Planning to Increase The Resilience for Future
Turbulence in The Spatial System of The Groningen Region to Deal with
Climate Change. Proceedings UKSS-Conference ‘Building Resilience:
Responding to a Turbulent World’: Oxford University, Oxford.
Roggema, R., 2009. Adaptation to Climate Change: A Spatial Challenge.
Springer, Dordrecht, Heidelberg, London, New York.
Stern, N., 2007. The Economics of Climate Change. Cambridge University Press,
Cambridge.
Timmerman, P., 1981. Vulnerability, Resilience, and the collapse of Society: A
Review of Models and Possible Climatic Applications. Environmental
Monograph 1., Institut for Environmental Studies, University of Toronto,
Toronto.
Tobin, G.A., dan Montz, B.E., 1997. Natural Hazard: Explanation and
Integration. Guildford Press, London.
Twigg J., 2007. Characteristics of A Disaster-Resilient Community: A Guidance
Note. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group.
UN HABITAT, 2011. Global Report on Human Settlements: Cities and Climate
Change, Earthscan, London & Washington, DC.
Vale, L.J., dan Campanella, T.J., editors. The Resilient City: How Modern Cities
Recover from Disaster. : Oxford University Press, New York, USA.
Walker, B., Holling, C.S., Carpenter, S.R., Kinzig, A., 2004. Resilience, Adaptability,
and Transformability in Social-Ecological Systems. Ecology and Society 9
(2): 5 http://ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art5 diunduh pada 17
Februari 2011.
Wildavsky, A., 1988. Searching for Safety, New Brunswich N.J.: Transaction
Books
Wilmar Salim, Kiran Sagoo, editors, 2008, Sustaining a Resilient Asia Pacific
Community, Cambridge Scholars Publishing, Newscastle.
Wisner, Ben, Piers Blaikie, Terry Cannon and Ian Davis (2004), At Risk: Natural
Hazards, People’s Vulnerability and Disasters, Routledge, London,
Second Edition, 320 pages.