SlideShare a Scribd company logo
M.K : Hidrologi Dasar
PRESIPITASI
Disusun oleh :
1. ADRIANI
2. MUH. NURMAN
3. A. ADRIANI
4. BASRI
5. YUSRIANI
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATAMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2005
PETUNJUK UMUM PEMBELAJARAN
Program pembelajaran disusun dalam bentuk 1 modul.
Modul ini terdiri dari 2 bagian yaitu Petunjuk Umum dan
Kegiatan Belajar. Kegiatan belajar terdiri dari : kegiatan belajar
1-4, topic, tujuan umum pembelajaran, tujuan khusus
pembelajaran, uraian dan contoh, latihan, rangkuman, tes
formatif, unpan balik dan tindak lanjut, referensi dan kunci
jawaban. Setiap kegiatan belajar di tulis kompetensi dan sub
kompetensi, diuraukan petunjuk belajar, kegiatan dan latihan
yang akan dilakukan, dan dilengkapi dengan rangkuman .
Setelah semua kegiatan dilakukan dan rangkuman telah dibaca,
maka mahasiswa dapat mengerjakan tes formatif yang telah
disediakan. Mahasiswa harus mengikuti urutan kegiatan yang
harus dilakukan. Setelah tes formatif selesai dikerjakan
mahasiswa, pekerjaan diperiksa sendiri dengan menggunakan
kunci jawaban. Jika memenuhi syarat maka mahasiswa dapat
pindah ke kegiatan belajar lain, jika tidak maka mahasiswa
mengulangi lagi bagian-bagian yang belum dikuasai.
KEGIATAN BELAJAR
A. Kegiatan Belajar 1
PENGERTIAN TANAH
1. Tujuan Umum Pembelajaran
Mahasiswa diharapkan dapat memahami dengan benar
pengertian tanah secara umum.
2. Tujuan Khusus Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah berdasarkan
pandangan ahli kimia, geologi, pertanian, geomorfologi.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah menurut ilmu
pedologi dan edapologi.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah menurut ilmu
geografi.
PRESIPITASI
Presipitasi adalah surahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke
permukaan bumi dan larut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di
daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (C.
Asdak).
Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur
hidrologi di suatu DAS. Terbentuknya ekologi, geografi dan tata guna lahan
di suatu daerah sebagian besar ditentukan atau tergantung pada fungsi daur
hidrologi dan dengan demikian presipitasi merupakan kendala sekaligus
kesempatan dalam usaha pengelolaan sumber daya tanah dan air.
A. Mekanisme Presipitasi
Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di
atmosfer bergerak ketempat yang lebih tinggi oleh adanya pada tekanan uap
air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke
tempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat
yang lebih tinggi tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami
kejenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi maka uap
air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran air hujan.
Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa
cara antara lain oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu
yang berbeda atau oleh sentuhan antara massa udara dengan suhu yang
berbeda atau sentuhan antara massa udara dengan obyek atau benda dingin.
Secra rigkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya
perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon
adanya beda tekanan antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di
tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah
maka terjadilah proses kondensasi dan pada gilirannya massa air basah
tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme
berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan
terjadi hujan apabila berlangsung 3 kejadian sebagai berikut :
1. kenaikan massa uap air ketempat yang lebih tinggi sampai saatnya
atmosfer menjadi jenuh.
2. Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
3. Partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk
kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena
gay gravitasi.
B. Tipe-Tipe Hujan
1. Hujan konvektif (convectional storms), tipe hujan ini disebabkan oleh
adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas
yang diterima oleh lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut.
2. Hujan Frontal (frontal/cyclonic storms), tipe hujan yang umumnya
disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu
dan kelembaban.
Hujan Frontal dapat dibedakan menjadi Hujan Frontal dingin dan
hangat. Hujan Frontal dingin biasanya mempunyai kemiringan
permukaan Frontal yang besar dan menyebabkan gerakan massa
udara ketempat yang lebih tinggi, lebih cepat sehingga bentuk hujan
yang dihasilkan adalah hujan lebat dalam waktu yang singkat.
Sebaiknya pada Hujan Frontal hangat, kemiringan permukaan Frontal
tidak terlalu besar sehingga gerakan massa udara ketempat yang lebih
tinggidapat dilakukan dengan perlahan-lahan. Hujan yang
dihasilkannya adalah hujan yang tidak terlalu lebat dan berlangung
dalam waktu yang lama.
3. Hujan Orografik (Orographic storms), jenis hujan yang umumnya
terjadi didaerah pegunungan, yaitu ketika massa udara bergerka
ketempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan
sampai saatnya terjadi proses kondensasi.
Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsoon yang
ditimbulkan oleh adanya sel tekanan (udara) tinggi dan sel tekanan (udara)
rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan
desember, januari dan februari, dibelahan bumi utara terjadi musim dingin,
akibatnya tedapat sel tekanan tinggi di daratan Asia. Sementara di belahan
bumi selatan pada waktu itu berlangsung musim panas, sehingga tedapat sel
tekanan tinggi di daratan Australia. Karena adanya perbedaan tekanan udara
di kedua daratan tersebut maka pada periode desember, januari dan februari
bertiup angin dari sel takanan tinggi di Asia menuju sel takanan rendah di
Australia. Angina ini sering disebut Monsun Barat. Dalam bulan juni, juli,
agustus, sebaliknya terdapat sel takanan rendah di daratan Asia dan sel
takanan tinggi di daratan Australia yang mengakibatkan timbulnya Monsun
Timur atau Monsun Tenggara.
Dalam peiode transisi antara Monsun Barat dan Monsun Timur
(maret, april,mei) dan tramsisi antara Monsun Barat dan Monsun Timur
(September, oktober, november) pada umunya arah angina berubah-ubah
dan kecepatan angina biasanya berkurang. Periode transisi ini biasanya
disebut Musim Pancaroba.
C. Faktor yang Mempengaruhi Hujan
Salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai pelindung
permukaan bumu. Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara
menyerap atau memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari
gelombang pendek yang menuju ke permukaan bumi. Ia juga membantu
menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari permukaan
bumi pada waktu siang dan malam hari.
Sejalan dengan meingkatnya suhu udara, meningkat pula kapasitas
udara dalam menampung uap air. Sebaliknya, ketika udara bertambah
dingin, gumpalan awan menjadi bertambah besar dan pada gilirannya akan
jatuh sebagai air hujan. Dalam mempelajari besarnya kandungan air di dalam
udara, dikenal dua unsure kelemababan udara. Kelembaban spesifik dan
kelembaban absolut. Kelemababan spesifik adalah banyaknya uap air (dalam
gram) yang terdapat di dalam 1 kg udara basah (gr/kg). Sedangkan
kelembaban absolut adalah perbandingan massa uap air dengan volume
udara total (gr/m3
).
Perbedaan kedua jenis kelembaban tersebut adalah bahwa pada
kelembaban spesifik perubahan tekanan udara tidak akan mempengaruhi
besar kecilnya kelembaban. Sebaliknya pada kelemababan absolute
perubahan tekanan udara akan memberikan pengaruh pada angka
kelembaban di tempat tersebut. Kerapatan udara kering pada permukaan
laut biasanya sekitar 1,28 gr/m3
. sedang kelembaban absolute pada
permukaan laut umumnya kurang dari 0,005 gr/m3
. Dengan demikian
lapisan atmosfer mengandung air kurang dari 0,5%.
Energi Matahari
Seperti telah disebutkan di muka bahwa energi matahari adalah
“mesin” yang mempertahankan berlangsungnya daur hidrologi. Ia juga
bersifat mempengaruhi terjadinyas perubahan iklim. Pada umumnya
besarnya energi matahari mencapai permukaan bumi adalah 0,5
langley/menit. Namun demikian, besarnya energi matahari bersih yang
diterima permukaan bumi bervariasi tergantung pada letak geografis dn
kondisi permukaan bumi. Permukaan bumi bersalju sebagai contoh, mampu
merefleksikan 80% dari radiasi matahari dating. Sementara permukaan bumi
dengan jenis tanah berwarna gelap dapat menyerap 90% (Wanielista, 1990).
Adanya perbedaan keadaan geografis tersebut mendorong terjadinya
gerakan udara di atmosfer, dan dengan demikian, juga berfungsi dalam
penyebaran energi matahari. Energi matahari bersifat memproduksi gerakan
massa udara di atmosfer dan di atas lautan. Energi ini merupakan sumber
tenaga untuk terjadinya proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasis
berlangsung pada permukaan badan perairan sedangkan transpirasi adalah
kehilangan air dari dalam vegetasi. Energi matahari mendorong terjadinya
daur hidrologi melalui proses radiasi. Sementara penyebaran kembali energi
matahari dilakukan melalui proses konduksi dari daratan dan konveksi yang
berlangsung di dalam badan air dan atmosfer.
Konduksi adalah suatu proses transportasi udara antara dua lapisan
(udara) yang berdekatan apabila suhu kedua lapisan tersebut berbeda. Untuk
konduktifitas termal. Besarnya laju pindah panas adalah sebagai berikut
(Rosemberg et al. 1985)
qx = KT {(ΔT)/x)
qx = laju pindah persatuan luas (cal/cm2
-dt)
KT = angka tetapan konduktivitas termal pada kedudukan konstan
(cal/cm2
-dt)
ΔT = beda suhu (0
C)
X = jarak (cm)
Angin
Angina adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau
udara nisbi terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angina yang
biasanya dikaji adalah arah dan kecepatan angina. Kecepatan angina penting
karena dapat menentukan besarnya kehilangan air melalui proses
evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan. Untuk
terjadinya hujan diperlukan adanya gerakan udara lembab yang berlangsung
terus-menerus. Dalam hal ini, gerakan udara (angina”) berfungsi sebagai
tenaga penggerak terjadinya gerakan udara lembab tersebut. Peralatan yang
digunakan untuk menentukan besarnya kecepatan angina dinamakan
anemometer.
Apabila dunia tidak berputar pada porosnya. Pola angina yang terjadi
semata-mata ditentukan oleh siklus termal. Angin akan bertiup ke arah
katulistiwa sebagai udara hangat dan udara yang mempunyai berat lebih
ringan akan naik ke atas dan digantikan oleh udara padat yang lebih dingin.
Oleh adanya perputaran bumi pada porosnya massa udara (frontal) akan
bergerak dari barat ke timur. Energi matahari dan rotasi bumi saling
berkaitan dalam sirkulasi termal. Apabila ada dua massa udara dengan dua
suhu yang berbeda bertemu, maka akan terjadi hujan di batas antara dua
massa udara tersebut.
Dalam satu hari, kecepatan dan arah angin dapat berubah-rubah.
Perubahan ini seringkali disebabkan oleh adanya beda suhu antara daratan
dan lautan. Angin umumnya bertiup dari bidang permukaan lebih dingin ke
bidang permukaan yang lebih hangat. Pada siang hari di bulan kemarau arah
angin cenderung bertiup dari lautan ke arah daratan yang lebih hangat.
Pegunungan juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan arah angin oleh
adanya proses pemanasan di salah satu sisi pegunungan tersebut dan dengan
demikian akan menyebabkan beda suhu antara satu punggung gunung
dengan lainnya. Adanya beda suhu tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan arah angin. Proses kehilangan panas oleh adanya padang pasir
daerah beraspal dan daerah dengan banyak bangunan juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan arah angin. Antara dua tempat yang
tekanan atmosfernya berbeda ada gaya yang arahnya dan tempat bertekanan
tinggi ke tempat bertekanan rendah. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
arah horizontal gerak atmosfer terhadap permukaan bumi disebabkan oleh
satu atau gabungan dari gaya gradient tekanan gaya Coriolis dan gaya
gesekan. Penjelasan lebih terinci tentang sifat dan mekanisme gaya-gaya
penggerak atmosfer tersebut dapat dilihat, antara lain dalam buku
“Metereologi” oleh Prawirowardoyo (1996).
Suhu Udara
Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan
transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah stu faktor yang dapat
memperkirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi.
Dengan demikian, adalah penting untuk mengetahui bagaimana cara
menentukan besarnya suhu udara.
Pengukuran besarnya suhu memerlukan pertimbangan-pertimbangan
sirkulasi udara dan bentuk-bentuk permukaan alat ukur suhu udara tersebut.
Satuan untuk suhu umumnya diekspresikan dalam derajat Celsius (0
C) dan
Fahrenheit (0
F) atau dalam skala-skala absolute. Suhu harian rata-rata
diwujudkan dalam bentuk interval dari data suhu yang dikumpulkan. Untuk
mendapatkan angka suhu harian rata-rata rumus berikut ini dapat
dimanfaatkan.
∑=
=
24
24/
li
iave TT
Tave = suhu harian rata-rata (0
C)
Ti = suhu udara per jam (0
C)
D. Pengukuran Presipitasi
Tujuan utama setiap metode pengukuran presipitasi adalah untuk
mendapatkan contoh yang benar-benar mewakili curah hujan di seluruh
kawasan tempat pengukuran dilakukan WMO (World Meteorological
Office), 1997. Karena itu di dalam memasang suatu penakar presipitasi
haruslah dijamin bahwa :
1. Percikan tetesan hujan ke dalam dan ke luar penampung harus di
cegah
2. Kehilangan air dari reservoir oleh penguapan haruslah seminimal
mungkin
3. Jika ada, salju haruslah melebur
Tentunya, pemajanan penakar hujan adalah sangat penting untuk
pengukuran yang benar-benar mewakili. Beberapa persyaratan disajikan di
bawah:
1. Untuk memperkecil pengaruh turbelensi angin (Larson dan Peck,
1974), tinggi penakar harus dipertahankan seminimal mungkin.
Sebaliknya, penakar hujan harus ditetapkan cukup tinggi, agar tidak
tertutup oleh salju. Penakar hujan setinggi tanah harus dilindungi dari
gangguan hewan. Untuk perbandingan pengukuran semua penakar
hujan dalam suatu jaringan haruslah ditempatkan pada tinggi yang
sama.
2. Bilamana mungkin, mulut penakar haruslah parallel dengan
permukaan tanah. Pada daerah yang berbukit, dimana penakar kerap
kali harus ditempatkan di ats bukit, ketelitian tangkapan penakar yang
baku dapat ditingkatkan dengan memiringkannya tegak lurus
permukaan tanah (lihat Storey dan Hamilton, 1943) atau dengan
menggunakan penakar hujan stereo (Storey dan Hamilton, 1943 dan
Sevruk, 1974). Namun, lokasi pada suatu kemiringan lereng umumnya
harus dihindari.
3. Suatu lokasi yang terlindung dari kekuatan penuh angin harus dipilih.
Akan tetapi, abyek di sekitarnya tidak boleh lebih dekat dengan
penakar yang melebihi suatu jarak yang sama dengan “n” kali (pada
umumnya n = 4; di Itali n = 10 dan di negeri Belanda n = 2) tinggi
penakar hujan. Suatu cara alternative adalah dengan membangun
pariasi angin di sekitar penakar.
Pemilihan suatu tipe penakar hujan tertentu dan lokasinya di suatu
tempat tergantung pada beberapa factor. Diantaranya disebutkan di bawah
ini (Volker, 1968) :
1. Dapat deipercaya (ketelitian pengukuran)
2. Tipe data yang diperlukan (menit, harian dan lain-lain)
3. Tipe presipitasi yang akan diukur (adanya salju, tebalnya salju)
4. Dapat diperbandingkan dengan penakar hujan lain yang ada
5. Biaya instalasi dan perawatannya
6. Intensitas perawatan
7. Mudahnya perawatan (deteksi kebocoran)
8. Gangguan oleh hewan atau manusia
Sesudah suatu tipe penakar hujan dipilih, maka langkah selanjutnya
adalah memutuskan jumlah minimum penakar yang dibutuhkan untuk
suatu kawasan. Pengajuan ini tergantung pada maksud tujuan penelitian,
posisi geografis kawasan tersebut (aspek iklim mikro seperti pengaruh
orografi), dan urbanisasi kawasan tersebut (Gray, 1973).
E. Perhitungan Presipitasi
Para pakar hidrologi dalam melaksanakan pekerjaannya seringkali
memerlukan informasi besarnya volume presipitasi rata-rata untuk suatu
daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai. Untuk mendapatkan data
curah hujan yang dapat mewakili daerah tangkapan ai tersebut diperlukan
alat penakar hujan dalam jumlah yang cukup. Dengan semakin banyaknya
alat-alat penakar hujan yang dipasang di lapangan diharapkan dapat
diketahui besarnya variasi hujan di tempat tersebut dan juga besarnya
presipitasi rata-rata yang akan menunjukkan besarnya presipitasi yang
terjadi di daerah tersebut.
System jaringan kerja dari sejumlah alat penakar hujan akan mewakili
sejumlah titik-titik pengamatan besarnya atau ketebalan curah hujan di
daerah tersebut. Dalam menentukan besarnya presipitasi (rata-rata) di suatu
daerah aliran sungai dengan memanfaatkan system jaringan kerja dari alat-
alat penakar hujan (bagaimanapun baiknya pengaturan sample yang
dilakukan), tetap saja akan terjadi kesalahan yang berkaitan dengan sifat acak
alamiah dari kejadian-kejadian hujan (Wiesner, 1970). Ketelitian hasil
pengukuran presipitasi akan tergantung pada veriabilitas spasial curah
hujan. Dengan demikian diperlukan lebih banyak lagi alat-alat penakar
hujan, terutama di daerah dengan kemiringan lereng besar dan daerah-
daerah yang banyak menerima tipe curah hujan lebat (thunderstorm)
dibandingkan tipe curah hujan frontal (Hutchinson, 1970; Browning, 1987).
Secara umum, ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan meningkat
dengan meningkatnya jumlah alat penakar hujan yang digunakan. Tetapi,
tingkat kerapatan alat penakar hujan yang tinggi seringkali sulit
mengaturnya di lapangan, disamping mahal biayanya. Cara penyelesaian
yang merupakan kompromi antara keterbatasan jumlah alat penakar hujan
yang digunakan dengan hasil ketelitian tetap memadai adalah dengan
membuat klasifikasi antara lain: klasifikasi tentang karakteristik topografi
seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, dll. Sebagai contoh, apabila
pengukuran besarnya presipitasi di suatu daerah dimaksudkan untuk
penelitian air larian, maka strategi penempatan alat penakar hujan lebih
diprioritaskan pada tempat-tempat yang dianggap sebagai sumber air larian.
Dengan pendekatan yang sama hal tersebut dilakukan untuk pengukuran
curah hujan untuk penelitian erosi atau sedimentasin. Dengan cara
penempatan alat penakar hujan yang disesuaikan dengan keperluan
pengukuran, maka jumlah alat penakar hujan diperlukan di lapangan dapat
dikurangi tanpa mengorbankan tingkat ketelitian yang diinginkan.
Untuk menghitung curah hujan harian, bulanan, dan tahunan di suatu
sub-DAS/DAS, umumnya digunakan dua cara perhitungan, yaitu :
(1) Rata-rata aritmatik
(2) Teknik poligon (thiessen poligon)
Prosedur perhitungan curah hujan tahunan rata-rata cara Aritmatik
Prosedur perhitungan curah hujan tahunan rata-rata metoda aritmatik
mengacu pada lokiasi dan jumlah stasiun penakar hujan di sub-DAS Citarik,
Jawa Barat.
Stasiun penakar hujan Curah hujan tahunan (mm)
1. Ujung berung 1545,5
2. Selacau 1728,9
3. Tanjung sari 2158,6
4. Derwati 1521,1
5. Bajong salam 1816,8
6. Ciparay 2087,8
7. Cicalengka 1607,8
8. Cipaku/paseh 1927,5
Curah hujan tahunan rata-rata sub-DAS Citarik adalah:
(1545,5 + 1728,9 + 2158,6 + …….+1927,5)/8 =1799,3 mm.
Catatan:
 Alat-alat penakar hujan sebaiknya berada dalam daerah tangkapan
air yang diamati, namun demikian, alat penakar di luar daerah
tangkapan air dapat dimanfaatkan sepanjang mewakili atau berada
tidak jauh dari daerah pengamatan.
 Teknik rata-rata aritmatik dapat memberikan hasil pengukuran
curah hujan yg memadai apabila: 1) lokasi alat penakar hujan di
daerah tangkapan air penyebaran merata, dan 2) daerah kajian
relative seragam, terutama dalam hal ketinggian sehingga variasi
curah hujan tidak teralalu besar.
Prosedur perhitungan curah hujan-rata-rata cara Poligon (Thiessen
Poligon)
Teknik poligon dilakukan dengan cara menghubungkan satu
alat penakar hujan dengan lainnya menggunakan garis lurus. Pada
peta daerah tangkapan air untuk masing-masing alat penakar hujan,
daerah tersebut dibagi menjadi beberapa poligon (jarak garis pembagi
dua penakar hujan yang berdekatan lebih sama).
Hasil pengukuran pada setiap alat penakar hujan terlebih
dahulu diberi bobot (weighing) dengan menggunakan bagian-bagian
wilayah dari total daerah tangkapan air yang diwakili oleh alat
penakar hujan masing-masing lokasi, kemudian dijumlahkan. Daerah
poligon, a1, untuk masing-masing alat penakar hujan dihitung dengan
menggunakan planimeter atau menggunakan teknik dot grid. Curah
hujan tahunan rata-rata di daerah tersebut diperoleh dari persamaan
di bawah ini.
(R1 a1 / A) + (R2 a2 / A) + …… + (Ra aa / A) (26)
R1, R2 …… Ra adalah curah hunan untuk masing-masing alat
penakar hujan (mm).
a1, a2 ……. aa adalah luas untuk masing-masing daerah poligon
(ha).
A adalah luas total daerah tangkapan air (ha).
Cara oerhitungan curah hujan tahunan rata-rata sub-DAS
Citarik menggunakan 8 alat penakar hujan yang terdiri atas 5 penakar
curah hujan di dalam wilayah sub DAS Citarik dan 3 alat penakar
hujan lainnya berada di luar sub-DAS Citarik.
Bilangan pecahan a1/A disebut angka tetapan Thiessen. Sekali
tetapan ini ditentukan, maka besarnya curah hujan daerah yang
bersangkutan dapat ditentukan dengan cepat berdasarkan data
pengamatan dari masing-masing alat penakar hujan yang digunakan.
Seandainya oleh suatu hal ada data hilang dari satu lokasi
pengamatan, jalan termudah yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hal terseut adalah dengan memperkirakan data yang hilang tersebut
dan tetap menggunakan angka tetapan yang sama. Contoh
perhitungan curah hujan menggunakan metoda poligon dapat dilihat
pada Tabel 2.1
Stasiun
Penakar
Hujan
Curah
Hujan
(mm)
(1)
Luas
Poligon
(ha)
(2)
Persentase1
dari luas
total (%)
(3)
Weighed2
Faktor
(4)
Weighed3
Curah
Hujan
(mm)
Ujung Berung
Selacu
Tanjung Sari
Derwati
Bojong Salam
Siparay
Cicalengka
Cipaku/Paseh
1545,5
1728,9
2158,6
1521,1
1816,8
2087,8
1607,8
1927,5
7863,8
8036,3
2201,2
4691,0
9430,0
2972,5
12033,8
4123,8
15,3
15,6
4,3
9,1
18,4
5,8
23,4
8,0
0,153
0,156
0,043
0.091
0,184
0,058
0,234
0,080
236,5
269,7
92,8
138,4
334,3
121,1
376,2
154,2
Total 14394,0 51352,4 100,0 1723,2
Catatan :
1
l (2)/(51352,4) l x 100
2
(3)/100
3
(1) x (4)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa besarnya curah hujan tahunan
rata-rata menurut metoda poligon adalah 1723,2 masing-masing,
sedikit lebih kecil dari pada angka curah hujan rata-rata yang
diperoleh dengan metode aritmatik (1799,3 mm). Dari cara
perhitungannya, dapat dikatakan bahwa metoda poligon
menghasilkan angka curah hujan tahunan rata-rata yang lebih akurat.
Teknik poligon termasuk memadai guna menentukan curah
hujan suatu daerah, namun demikian hasil yang baik akan ditentukan
daerah pengamatan ia tidak cocok penakar hujan yang tinggi (Shaw,
1985). Teknik ketiga dalam pengukuran curah hujan adalah teknik
isohet (isohyet). Teknik ini dipandang paling baik, tapi bersifat
subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, dan
pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan di daerah setempat.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cara isohet lebih
teliti cara perhitungannya memerlukan banyak waktu karena garis
isohet yang baru perlu ditentukan untuk setiap curah hujan. Metoda
isohet terutama berguna untuk mempelajari pengaruh curah hujan
terhadap perilaku aliran air sungai terutama di daerah dengan tipe
curah hujan omografik. Pada beberapa kasus, besarnya curah hujan di
suatu tempat dapat diperkirakan dari ketinggian tempat tersebut. Hal
ini terutama lazim terjadi di daerah dengan tipe curah hujan orografik.
Di daerah ini, interval garis kontur dapat digunakan untuk membantu
memperkirakan posisi garis-garis dengan curah hujan yang sama
besarnya (isohet). Setelah penentuan garis isohet, kemudian dapat
dihitung besarnya curah hujan rata-rata untuk masing-masing fraksi
isohet, dan dengan demikian, dapat diperkirakan besarnya curah
hujan rata-rata untuk seluruh DAS. Tampak bahwa teknik isohet
mempunyai persyaratan yang lebih rumit dibandingkan metoda
aritmatik atau poligon, oleh karenanya, apabila persyaratan tersebut
tidak terpenuhi, maka metoda aritmatik, dan terutama metoda poligon
lebih diutamakan.
Ketepatan dalam memperkirakan besarnya curah hujan rata-
rata untuk suatu daerah tergantung pada kerapatan jaringan stasiun
pencatat hujan dan tipe serta ukuran hujan. Di daerah girun dengan
badai hujan local (localized thunderstorms), sangat sulit untuk
menentukan besarnya curah hujan rata-rata di tempat tersebut
dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang bersifat siklon
(cyclonic storms). Jaringan alat pencatat hujan yang terletak terpencar
tidak mewakili daerah pengamatan cenderung menghasilkan jumlah
dan intensitas hujan lebih kecil dari yang seharusnya. Hal yang sama
terjadi juga pada pengambilan data hujan untuk waktu yang terlalu
singkat. Apabila data hujan yang kurang memadai ini dipakai sebagai
data dasar perancangan program konservasi tanah dan air serta
pembuatan bangunan konservasi kainnya, maka rancangan yang
dihasilkan juga menjadi lebih kecil dari pada angka yang seharusnya
(underestimate).
2.2.4 Intensitas dan Lama Waktu Hujan
Intensitas hujan adalah jumlah hujan persatuan waktu. Untuk
mendapatkan nilai intensitas hujan disutu tempat maka alat penakar hujan
yang digunakan harus mampu mencatat besarnya volume hujan dan waktu
mulai berlangsungnya hujan sampai hujan tersebut berhenti. Dalam hal ini,
alat penakar hujan yang dapat dimamfaatkan adalah alat penakar hujan
otomatis. Alat penakar hujan standar juga asal waktu selama hujan tersebut
berlangsung diketahui (dapat dilakukan dengan menandai waktu
berlangsungnya dan berakhirnya hujan dengan jam dinding misalnya.)
Intensitas hujan atau ketebalan hujan persatuan waktu lazimya
dilaporkan dalam satuan millimeter per jam. Stasiun pengukur Cuaca
Otomatis dilengkapi dengan alat penakar hujan yang dapat mencatat data
intensitas hujan secara continu. Data intensitas hujan tersebut umumya
dalam bentuk tabular atau grafik (hytograph). Cara lain untuk menentukan
besarnya intensitas curah hujan adalah dengan menggunakan teknik interval
waktu yang berbeda. Intensitas dari grafik curah hujan yang dihailkan secara
otomatis (harian atau bulanan). Dan intensitas hujan biasanya dimanfaatkan
untuk perhitungan-perhitungan perkiraan besarnya erosi, debit puncak
(banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Data intensitas
hujan (kejadian hujan tunggal) juga dapat dimanfaatkan untuk
memperkirakan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
perubahan tataguna lahan dalam skala besr terhadap kemungkinan
perubahan karakteristik hidrologi. Para pakar geomorfologi memerlukan
data intensitas hujan karena proses pembentukan tanah dari bahan induk
(batuan) berlangsung pada saat terjadinya hujan dengan intensitas tertentu
setiap tahun.
Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam
hal ini dapat mewakili total curah hujan dalam periode hujan yang singkat
dari curah hujan yang relative seragam. Cara untuk menentukan besarnya
intensitas hujan adalah dengan memanfaatkan data pengukuran hujan yang
dihasilkan oleh alat penakar hujan.
Selain intensitas dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan
jatuhnya hujan juga penting untuk diketahui. Kecepatan curah hujan dapat
diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi
oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk
mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan
sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air
hujan. Ketika kecepatan menjadi kecil dengan kecepatan jatuh lebih lambat.
Ukuran diameter, kecepatan jatuhnya air, dan intensitas hujan berhubungan
suatu dengan lamanya.
Dengan memahami keterkaitan hubungan antara ukuran diameter,
kecepatan jatuhnya butiran-butiran air hujan dan intensitas hujan, misalnya
terjadinya erosi, terutama erosi percikan, dapat lebih dimengerti, dan dengan
demikian, dapat diupayakan tindakan pencegahan yang memadai.
2.3 Analisis Data Presitasi
Ada beberapa aspek data presitasi yang menjadi perhatian khusus
para ahli hidrologi. Data presitasi yang umum menjadi kajian adalah :
- Jumlah hujan tahunana total untuk luas wilayah tertentu
- Variasi hujan musiman dan tahunans serta realibilitas hujan musiman
- Perkiraan besarnya curah hujan (presitasi)n rata-rata untuk luas
wilayah tertentu atau menentukan pola spasial dan perubahan
kejadian hujan tunggal
- Frekuensi kejadian hujan untuk besaran yang berbeda dan untuk
mempelajari karakteristik statistic data presitasi
- Perkiraan besarnya kejadian hujan terbesar untuk suatu wilayah
tertentu. Hal terakhir inilah dalam bidang hidrologi sering dikenal
dengan istilah kemungkinan presitasi maksimum (probable maximum
precipitation, PMP).
Kemungkinan presitasi maksimum (PMP) secara teoritis dapat
didefenisikan sebagai “ketebalan hujan maksimum untuk lama waktu tertentu
yang secara fisik mungkin terjadi dengan suatu wilayah aliran dalam kurun waktu
tertentu” (American Metereological Society, 1959). Kata “kemungkinan”
dimaksudkan untuk menekankan bahwa karena di proses fisik yang
berlangsung di atmosfer kurang begitu dimengerti dan adanya keterbatasan
data iklim maka menjadi tidak mungkin untuk menentukan besarnya
presitasi maksimum dengan ketelitian yang tinggi. Namun demikian, hal ini
tidak dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat tertentu dari probabilitas
statistika atau periode ulang.
Ada beberapa teknik untuk memperkirakan besarnya PMP. Weisner
(1970), berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa pada prinsipnya ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memperkirakan besarnya PMP. Pertama, dengan cara maksimisasi dan
transposisi kejadian-kejadian hujan (atau model kejadian hujan) dan kedua,
dengan cara analisis statistika untuk data kejadian hujan ekterm. Teknik
maksimisasi melibatkan perkiraan batas maksimum konsentrasi kelembaban
di udara yang mengalir ke dalam atmosfer di atas suatu DAS. Pada batas
maksimum tersebut, hembusan angin akan membawa serta udara lembab ke
atmosfer di atas DAS yang bersangkutan dan batas maksimum fraksi dari
aliran uap air yang akan menjadi air hujan. Perkiraan besarnya PMP di
daerah dengan tipe hujan orografik terbatas biasanya dilakukan dengan cara
maksimisasi dan transposisi kejadian hujan yang sesungguhnya. Sementara
di daerah dengan pengaruh hujan orografik kuat, kejadian hujan yang
dihasilkan dari simulasi model lebih banyak dimanfaatkan untuk prosedur
maksimisasi untuk kejadian hujan jangka panjang yang meliputi wilayah
yang luas (Weisner, 1970).
Dari hasil analisis curah hujan maksimum tahunan yang berasal dari
ribuan stasiun penakar hujan. Herhfield (1965) mengajukan rumus umum
untuk analisis data curah hujan ekstrem yang dikembangkan oleh Chow
(1951) dalam Ward dan Robinson (1990). Rumus umum tersebut berusaha
mengkaitkan antara besarnya PMP untuk lama waktu hujan tersebut
terhadap nilai tengah (X) dan standar deviasi (s) untuk data hujan terbesar
tahunan seperti tersebut di bawah ini :
PMP = X + Ks
Besarnyan parameter K biasanya ditentukan 15, namun demikian, di
lapangan besarnya factor tersebut umumnya bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain bergantung pada nilai tengah data hujan maksimum tahunan (X)
dan lama waktu hujan. Teknik ini mempunyai keuntungan dalam hal mudah
pemakaiannya dan didasarkan pada pencatatan data hujan di lapangan.
Sedang kekurangannya adalah seperti halnya analisis statistika lainnya,
teknik perkiran PMP dengan cara ini memerlukan data curah hujan yang
berjangka panjang, dan besarnya parameter K juga ditentukan oleh factor lain
selain nilai tengah data hujan maksimum tahunan dan lama waktu hujan.
Jumlah Presitasi Total
Jumlah curah hujan total (m3
) untuk luas wilayah tertentu adalah
ketebalan air hujan (m) di suatu titik pengamatan dikalikan luas wilayah
yang menjadi kajian (m2
). Namun demikian, seringkali wilayah yang menjadi
kajian terlalu luas, dan oleh karenanya, meningkatkan variasi hujan spasial di
daerah tersebut. Dalam kasus seperti ini, cara pengukuran jumlah curah
hujan total yang paling memadai adalah cara isohet (pembuatan garis-garis
yang dibentuk oleh titik-titik dengan curah hujan yang kurang lebih sama).
Kemudian, luas wilayah antara dua garis isohet tersebut dihitung besarnya
dengan menggunakan planimeter untuk kemudian dikalikan dengan
besarnya curah hujan rata-rata di antara dua garis isohet tersebut. Teknik
perhitungan curah hujan total dengan menggunakan cara isohet
menguntungkan karena memungkinkan dipertimbangkannya bentuk
bentang lahan dan tipe hujan yang terjadi sehingga dapat menunjukkan
besarnya curah hujan total secara lebih relistis. Kekurangan cara perhitungan
ini lebih merupakan banyaknya waktu yang diperlukan untuk membuat
garis-garis isohet serta menghitung luas antara dia garis isohet.
Cara lain yang dapat dimanfaatkan untuk menghitung besarnya curah
hujan total serta dianggap lebih mudah dilakukan adalah cara thiessen
polygons. Dengan cara ini, pembuatan gambar polygon hanya dilakukan
sekali saja, sementara perubahan data hujan per titik dapat dip roses secara
cepat tanpa perlu menghitung lagi luas per bagian poligon. Metoda polgon
adalah cara perhitungan besarnya curah hujan dengan cara merancang
daerah yang akan ditentukan besarnya curah hujan secara geometric dan
dalam hal ini tidak perlu mempertimbangkan bentang lahan atau tofgrafi di
daerah kajian.
Veriabilitas Presitasi
Veriabilitas curah hujan umumnya dibedakan menjadi veriabilitas
yang berdimensi ruang (spatial) dan waktu (temporal). Tidak sperti yang
lazim dijumpai di daerah beriklim sedang (temperature climate), veriabilitas
hujan di daerah tropis jauh lebih besar. Secara umum besarnya curah hujan
bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai akibat pengaruh orografik.
Besarnya curah hujan yang turun di daerah tropis umumnya
bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam
kurun waktu satu tahun. Dengan adanya variasi besarnya hujan tersebut
maka diperlukan data hujan dalam jangka panjang untuk dapat
memperkirakan besarnya nilai tengah curah hujan dan besarnya frekuensi
hujan, yaitu ketika satu besaran hujan tertentu akan datang lagi pada periode
waktu tertentu. Besarnya kejadian hujan berulang (recurrence interval) dalam
stu serial data pengamatan curah hujan dapat ditentukan dengan rumus
berikut :
T = (n + 1)/m
T = kejadian hujan berulang untuk m pengamatan data hujan
n = jumlah total pengamatan kejadian hujan
m = nomor peringkat untuk pengamatan kejadian hujan tertentu
Prosedur yang harus dilakukan adalah dengan cara menyusun data
hujan (berdasarkan besarnya) secara menurun (decreasing order). Data hujan
yang terbesar diberi nomor peringkat 1 (m=1) dan data hujan terbesar kedua
diberi peringkat 2, demikian seterusnya. Penentuan nomor peringkat ini
terus dilakukan sampai setengah dari jumlah kejadian hujan berulang telah
ditentukan. Nilai-nilai yang telah ditentukan tersebut kemudian diplotkan
dengan urutan meningkat (increasing order), data hujan yang terkecil diberi
nomor peringkat m = 1, dan data hujan terkecil kedua diberi nomor
peringkat m = 2 demikian seterusnya. Selurug data pengamatan tersebut
kemudian diplotkan di atas kertas grafik semi-logaritmik dengan data curah
hujan sebagai ordinat (yang) dan nilai kejadian hujan berulang sebagai absis
(X). akhirnya, kurva kejadian hujan berulang sebagai cara menarik garis yang
melewati titik-titik kejadian hujan berulang yang telah di plotkan di atas
kertas grafik tersebut di atas. Untuk memberikan gambaran proses
pembuatan kurva kejadian hujan berulang. Dengan prosedur yang kurang
lebih sama, dapat dibuat kurva debit banjir berulang tahunan, kurva aliran
debit kecil berulang tahunan, dan karakteristik hidrologi lainnya, terutama
yang mempunyai veriabilitas cukup besar.
Presipitasi rata-rata daerah tangkapan air
Dalam studi pengembangan sumberdaya air, misalnya studi tentang
neraca air, diperlukan data atau informasi tentang besarnya presipitasi rata-
rata di suatu DAS. Adanya veroiabilitas spasial curah hujan di suatu tempat
mengharuskan penempatan alat penakar hujan sedemikian rupa sehingga
dapat diperoleh perkiraan besarnoya presipitasi rata-rata di daerah kajian
yang lebih realistic. Cara yang paling sederhana adalah dengan melakukan
perhitungan rata-rata aritmatik dari data presitasi yang diperoleh dari
seluruh alat penakar hujan yang digunakan. Cara ini barangkali dianggap
cukup memadai sepanjang digunakan di daerah yang relatif landai dengan
variasi curah hujan yang tidak terlalu besar serta penyebaran alat penakar
hujan yang diusahakan seragam. Keadaan seperti tersebut di atas seringkali
tidak banyak dijumpai sehingga diperlukan cara lain yang lebih memadai.
Metoda prakiraan presitasi daerah tangkapan hujan yang dianggap
lebih memadai dibandingkan dengan metoda rata-rata aritmatik adalah
metoda poligon (thiessen polygon). Metoda ini telah digunakan secara luas
karena dianggap dapat memberikan data presitasi yang lebih akurat karena
pada metoda poligon, setiap bagian wilayah tangkapan hujan diwakili secara
proporsional oleh satu alat penakar hujan. Besarnya presitasi rata-rata untuk
suatu daerah tangkapan merupakan hasil rata-rata data hujan dari seluruh
bagian daerah tangkapan yang diwakili oleh satu data hujan penakar hujan.
Dengan metoda yang bersifat geometric ini, kemungkinan adanya
penurunan ketelitian data curah hujan yang diakibatkan oleh adanya variasi
(spasial) hujan dan sebaran alat penakar hujan dapat dikurangi.
2.4 Data Pengamatan Yang Hilang
Data presitasi seringkali ditemukan dalam keadaan terputus atau
tidak bersambung. Hal ini dapat disebabkan oleh karena alat pencatat hujan
tidak berfungsi untuk periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal
stasiun pengamat hujan di tempat tersebut ditutup untuk sementara waktu.
Tidak tercatatnya data hujan pada saat-saat seperti tersebut di atas dapat
dilengkapi dengan memanfaatkan data hujan dari tempat lain yang
berdekatan (masih termasuk dalam satu system jaringan pengukuran curah
hujan). Dengan kata lain, data hujan di tempat tersebut diperkirakan
besarnya dengan menggunakan data hujan dari tempat lain yang berdekatan
tersebut. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memperkirakan
besarnya data presitasin yang tidak terukur pada periode waktu tertentu.
Kedua cara yang dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan curah hujan
dari tiga alat penakar hujan yang terletak di sekitar data yang hilang tersebut.
Likasi ketiga alat penakar hujan yang akan digunakan sebagai masukan data
haruslah tidak terlalu berjauhan dan kurang lebih tersebar merata di antara
alat penakar hujan yang akan diprakirakan besarnya. Kedua cara tersebut
masing-masing menggunakan masukan data curah hujan rata-rata tahunan
dari ketiga stasiun penakar hujan.
Apabila besarnya perbedan antara curah hujan rata-rata tahunan dari
masing-masing ketiga stasiun penakar hujan tersebut dan curah hujan rata-
rata tahunan alat penakar hujan yang akan diprakirakan kurang dari 10%,
maka metoda prakiraan yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut
(Wanielista, 1990; Dunne dan Leopold, 1978).
2.5 Konsistensi Data Presitasi
Bagian awal dari car pengukuran curah hujan telah membicarakan
tentang bentuk-bentuk kesalahan dalam melakukan pengukuran curah
hujan. Pemindahan alat penakar hujan, tertutupnya alat penakar hujan oleh
vegetasi atau bentuk penghalang lainnya dapat mengakibatkan perubahan
data curah hujan yang tercatat. Agar data curh hujan yang kita kumpulkan
atau data curah hujan yang kita konsisten, maka data curah hujan tersebut
perlu “disesuikan” (adjustment) untuk menghilangkan pengaruh perubahan
lokasi alat ukur atau gangguan lainnnya terhadap konsistensi data hujan
yang dihasilkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka dapat digunakan
analisis kurva ganda (double mass analysis).
Untuk mengetahui tingkat konsistensi data curah hujan di stasiun A,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan curah hujan
yang homogen dari beberapa stasiun pencatat curah hujan di sekitar stasiun
A. kemudian curah hujan total dari keseluruhan stasiun di sekitar lokasi
stasiun A tersebut dicari harga rata-rata tahunannya. Nilai akumulasi rata-
rata curah hujan dari stasiun-stasiun tersebut kemudian diplotkan terhadap
akumulasi curah hujan rata-rata tahunan dari stasiun A.
2.6 Analisis Hubungan Intensitas Durasi Frekuensi Hujan
Dalam rancangan keteknikan, adalah tidak ekonomis merencanakan
struktur desain untuk menghadapi kejadian-kejadian klimatis yang ekstrem
(kejadian hujan terbesar, banjir besar) dengan menempatkannya pada
prioritas dan investasi yang rendah. Para perencana keteknikan air umumnya
berusaha mengantisipasi kejadian-kejadian klimatik ekstrem yang mungkin
terjadi tersebut dan mempertimbangkannya dalam struktur desain yang
dibuatnya. Dalam bidang geomorfologi, kejadian hujan yang sangat besar
dapat menjadi penyebab terjadinya tanah longsor atau bentuk gerakan tanah
lainnya. Akan tetapi, pada umumnya, kejadian hujan dengan besaran yang
lebih ringan dirasakan lebih sering terjadi, dan dengan demikian, para spakar
geomorfologi tersebut lebih tertarik dan memeberi perhatian lebih pada
besaran dan frekuensi terjadinya kejadian-kejadian hujan tertentu di daerah
tersebut. Setelah berlangsungnya kejadian hujan yang mengakibatkan
terjadinya erosi berat di lading-ladang pertanian, kerusakan atau perubahan
alur-alur sungai, dan kerusakan-kerusakan lain yang diakibatkan oleh
besarnya aliran air dan erosi, yang harus dilakukan untuk mencegah agar
peristiwa tersebut tidak terjadi lagi adalah dengan memperlajari frekuensi
terjadinya kejadian hujan dengan besaran kurang lebih sama dengan
kejadian hujan yang menimbulkan kerusakan tersebut. Apabila kejadian
hujan dengan besaran seperti tersebut dia atas hanya terjadi rata-rata sekali
dalam lima ratus tahun, maka adalah tidak realistis untuk mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk menanggulangi kejadian yang jarang sekali
terjadi tersebut. Oleh karenanya, para pakar konservasi tanah dan air, pakar
geomorfologi dan pakar teknik sipil (basah) lebih tertarik untuk melakukan
analisis frekuensi kejadian klimatik yang ekstrem pada intensitas dan lama
waktu yang berbeda. Untuk memudahkan pemahaman, tujuan tentang
intensitas, lama waktu (durasi) dan frekuensi sebaiknya dilakukan untuk
curah hujan yang diperoleh dari satu stasiun penakar hujan. Perhitungan
angka rata-rata untuk skala DAS misalnya dapat dilakukan kemudian.
Pengalaman yang diperoleh dari daerah tropis menunjukkan bahwa
curah hujan sangat intensif, umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif
singkat sedangkan presipitasi yang berlangsung cukup lama, pada umumnya
tidak terlalu deras. Dalam hal ini, hubungan yang bersifat kebalikan antara
intensitas, lama waktu dan frekuensi perlu di kuantifisir.
Data dasar yang diperlukan untuk perhitungan atau analisis
hubungan intensitas-durasi-frekuensi hujan yang terdiri atas kejadian hujan
terbesar yang terjadi setiap tahun (mislnya curah hujan terbesar selama lima
menit atau enam jam dalam kurun waktu satu tahun). Pengaturan atau
pengelompokan seperti ini dinamakan serial hujan maksimum tahunan
(annual maksimum series). Sama halnya dengan kurva normal, adalah
mungkin untuk menarik garis linear untuk sebaran angka-angka ekstrem
pada kertas probabilitas khusus yang disebut kertas Gumbel atau kertas
angka ekstrem. Untuk menunjukkan permasalahan rancang bangun dalam
kaitannya dengan besarnya curah hujan misalnya, biasanya perhatian lebih
banyak ditujukan kepada besarnya kementakan (probabilitas) untuk
berlangsungnya kejadian (hujan) yang lebih besar daripada besaran kejadian
tertentu.
Frekuensi kejadian-kejadian hidrologi dapat dijelaskan dengan
menggunakan besarnya angka periode ulang. Ekstrapolasi dengan
menggunakan kurva hubungan intensitas-durasi-frekuensis curah hujan
seringkali dilakukan dengan analisis data hidrologi. Tingkat kesalahan akibat
ekstrapolasi ini cukup besar apabila kurva hubungan tersebut dimanfaatkan
untuk memprakirakan besarnya suatu kejadian hujan atau banjir dengan
periode ulang lebih besar daripada jumlah data (tahun) yang digunakan
untuk analisis.
Penyebaran frekuensi angka ekstrem Gumbel bukanlah satu-satunya
cara untuk memprakirakan besarnya kejadian-kejadian hujan atau banjir
besar. Akan tetapi, metoda tersebut merupakan teknik yang paling banyak
digunakan dan dianggap memadai untuk pemakaian di berbagai belahan
dunia. Konsep periode ulang seperiti tersebut seharusnya tidak boleh
diartikan bahwa suatu kejadian atau banjir besar dengan periode ulang dua
puluh tahun misalnya, akan berlangsung sekali dua puluh tahun. Melainkan,
apabila kejadian ekstrem tersebut terjadi tahun ini, maka besarnya
kementakan atau probabilitas bahwa kejadian tersebut akan terjadi lagi tahun
depan adalah 0,05 (5%). Dengan demikian, besarnya periode ulang
menunjukkan interval tahun rata-rata berlangsungnya kejadian ekstrem
dalam kurun waktu (tahun) yang sangat panjang. Adalah hal yang mungkin
bahwa kejadian hujan (ekstrem) lima-menit dengan periode ulang dua puluh
tahun akan berlangsung dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut atau
tidak terjadi sama-sekali dalam rentang waktu tiga puluh tahun atau lebih.
Apabila besarnya probabilitas untuk terjadinya kejadian hujan
ekstrem (sama dengan atau lebih besar daripada X) tahun depan adalah p,
maka besarnya probalbilitas untuk tidak terjadinya ekstrem tersebut tahun
depan adalah (1-p). Sedangkan besarnya probabilitas bahwa kejadian
tersebut tidak akan terjadi pada dua tahun mendatang adalah (1-p)2
dan
besarnya probabilitas bahwa tidak akan ada kejadian ekstrem tersebut pada n
tahun yang akan datang (1-p)n
. dengan demikian besarnya kemungkinan
untuk berlangsungnya kejadian hujan banjir besar ≥ X pada N tahun yang
akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Asdak C, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
D, Darmakusumah 1999. Pengelolaan Sumber Daya Air. Fakultas Geografi
UGM Yogyakarta.
Seyhan E, 1995. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Soewarno, 1991. Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai. Nova
Bandung.
Sostrodarsono, S & Kensaku Takeda, 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. PT
Prima Karsa Utama. Jakarta
Soal-Soal
1. Jelaskan pengertian presipitasi?
2. Jelaskan proses terjadinya presipitasi?
3. mengapa presipitasi sangat beragam baik menurut ruang maupun
waktu?
4. Sebutkan dan jelaskan presipitasi yang terjadi secara vertical ?
5. Sebutkan dan jelaskan 4 unsur yang mencirikan presipitasi yang
jatuh pada suatu wilayah?
6. Jelaskan syarat-syarat memasang alat penakar curah hujan?
7. Sebutkan dan jelaskan alat-alat pengukur presipitasi menurut
seyhan?
8. Jelaskan hubungan antara presipitasi yang terjadi di suatu wilayah
dengan kondisi topografi ?

More Related Content

What's hot

Dasar klimatologi
Dasar klimatologiDasar klimatologi
Dasar klimatologi
Dedep Tohpati
 
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusiaPengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
ariesmoela
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTAN
EDIS BLOG
 
Cuaca dan iklim kelas 7
Cuaca dan iklim kelas 7Cuaca dan iklim kelas 7
Cuaca dan iklim kelas 7Walter Malau
 
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)Kelompok 11 (cuaca dan iklim)
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)Nanda Reda
 
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferliLaporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Ferli Dian SAputra
 
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
Polytechnic State Semarang
 
Siklus hidrologi
Siklus hidrologiSiklus hidrologi
Siklus hidrologi
Saedi Saputra Siagian
 
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
Muhamad Dzaki Albiruni
 
Laporan praktikum agroklimatologi angin
Laporan praktikum agroklimatologi anginLaporan praktikum agroklimatologi angin
Laporan praktikum agroklimatologi angin
Ferli Dian SAputra
 
cuaca iklim
cuaca iklimcuaca iklim
cuaca iklim
suretno
 
Geografi cuaca dan iklim
Geografi cuaca dan iklimGeografi cuaca dan iklim
Geografi cuaca dan iklimReni Lestari
 
Evapotranspirasi power point
Evapotranspirasi power pointEvapotranspirasi power point
Evapotranspirasi power point
nuelsitohang
 
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah HidrologiMateri Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
Nurul Afdal Haris
 
Klimatologi fix acc
Klimatologi fix accKlimatologi fix acc
Klimatologi fix acc
Yanu Andria
 
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & SalinitasMateri Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
Satriyo Unggul Wicaksono
 
Klimatologi
KlimatologiKlimatologi
KlimatologiYuliLovy
 

What's hot (20)

Dasar klimatologi
Dasar klimatologiDasar klimatologi
Dasar klimatologi
 
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusiaPengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
Pengaruh cuaca dan iklim terhadap kehidupan manusia
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTAN
 
Cuaca dan iklim kelas 7
Cuaca dan iklim kelas 7Cuaca dan iklim kelas 7
Cuaca dan iklim kelas 7
 
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)Kelompok 11 (cuaca dan iklim)
Kelompok 11 (cuaca dan iklim)
 
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferliLaporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
 
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
Laporan kelompok "Pengaruh cuaca terhadap kehidupan makhluk hidup"
 
Siklus hidrologi
Siklus hidrologiSiklus hidrologi
Siklus hidrologi
 
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
Meteorologi dan Klimatologi (Materi OSN dari BMKG)
 
Pengaruh cuaca dan iklim pada mata pencaharian
Pengaruh cuaca dan iklim pada mata pencaharianPengaruh cuaca dan iklim pada mata pencaharian
Pengaruh cuaca dan iklim pada mata pencaharian
 
Laporan praktikum agroklimatologi angin
Laporan praktikum agroklimatologi anginLaporan praktikum agroklimatologi angin
Laporan praktikum agroklimatologi angin
 
cuaca iklim
cuaca iklimcuaca iklim
cuaca iklim
 
Geografi cuaca dan iklim
Geografi cuaca dan iklimGeografi cuaca dan iklim
Geografi cuaca dan iklim
 
Evapotranspirasi power point
Evapotranspirasi power pointEvapotranspirasi power point
Evapotranspirasi power point
 
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah HidrologiMateri Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Hidrologi Hutan Mata Kuliah Hidrologi
 
Klimatologi fix acc
Klimatologi fix accKlimatologi fix acc
Klimatologi fix acc
 
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & SalinitasMateri Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
Materi Tentang Samudera, Arus Laut, Sirkulasi Laut & Salinitas
 
Makalah intan
Makalah intanMakalah intan
Makalah intan
 
Klimatologi
KlimatologiKlimatologi
Klimatologi
 
Cuaca& Iklim
Cuaca& IklimCuaca& Iklim
Cuaca& Iklim
 

Similar to Materi Infiltrasi Air Hujan Mata Kuliah Hidrologi

Kitaran hidrologi (forum)
Kitaran hidrologi (forum)Kitaran hidrologi (forum)
Kitaran hidrologi (forum)Nur Mirza
 
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosper
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosperTugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosper
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosperdasriyanti
 
pembahasan OSK Geografi 2019.pptx
pembahasan OSK Geografi 2019.pptxpembahasan OSK Geografi 2019.pptx
pembahasan OSK Geografi 2019.pptx
KhairunnisaMaizuward4
 
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptxPengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
fadillahdila7
 
Tugas APKU: Diskusi Meteorologi
Tugas APKU: Diskusi MeteorologiTugas APKU: Diskusi Meteorologi
Tugas APKU: Diskusi Meteorologi
Nyak Nisa Ul Khairani
 
Makalah perubahan iklim
Makalah perubahan iklimMakalah perubahan iklim
Makalah perubahan iklimirham kajang
 
Faktor pengendali suhu
Faktor pengendali suhuFaktor pengendali suhu
Faktor pengendali suhu
savero281
 
K7 Atmosfera 1
K7 Atmosfera 1K7 Atmosfera 1
K7 Atmosfera 1
guest97a93f
 
Laporan praktikum klimatologi awan
Laporan praktikum klimatologi awanLaporan praktikum klimatologi awan
Laporan praktikum klimatologi awan
Ferli Dian SAputra
 
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa NaibahoLaporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
Shinta R Naibaho
 
I RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
I  RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdfI  RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
I RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
DesmaHarmaidi
 
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuacaips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
Afifah Zulianuriauwani
 
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca NaibahoLaporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
Shinta R Naibaho
 
Atmosfer
AtmosferAtmosfer
Atmosfer
muhammad riezky
 
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptxHidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
AstriDiniaAgustina1
 
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptxHidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
iphank1
 
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferli
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferliLaporan praktikum agroklimatologi angin ferli
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferli
Ferli Dian SAputra
 
Laporan Metklim Pendidikan Geografi
Laporan Metklim Pendidikan GeografiLaporan Metklim Pendidikan Geografi
Laporan Metklim Pendidikan Geografi
Janatun Rahmilah
 

Similar to Materi Infiltrasi Air Hujan Mata Kuliah Hidrologi (20)

Kitaran hidrologi (forum)
Kitaran hidrologi (forum)Kitaran hidrologi (forum)
Kitaran hidrologi (forum)
 
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosper
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosperTugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosper
Tugas kuliah ilmu alamiah dasar atmosper
 
pembahasan OSK Geografi 2019.pptx
pembahasan OSK Geografi 2019.pptxpembahasan OSK Geografi 2019.pptx
pembahasan OSK Geografi 2019.pptx
 
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptxPengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
Pengertian Atmosfer dalam pembelajaran geografi .pptx
 
Tugas APKU: Diskusi Meteorologi
Tugas APKU: Diskusi MeteorologiTugas APKU: Diskusi Meteorologi
Tugas APKU: Diskusi Meteorologi
 
Makalah perubahan iklim
Makalah perubahan iklimMakalah perubahan iklim
Makalah perubahan iklim
 
Faktor pengendali suhu
Faktor pengendali suhuFaktor pengendali suhu
Faktor pengendali suhu
 
K7 Atmosfera 1
K7 Atmosfera 1K7 Atmosfera 1
K7 Atmosfera 1
 
Laporan metklim
Laporan metklimLaporan metklim
Laporan metklim
 
Laporan praktikum klimatologi awan
Laporan praktikum klimatologi awanLaporan praktikum klimatologi awan
Laporan praktikum klimatologi awan
 
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa NaibahoLaporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 5 & 6 Shinta Rebecaa Naibaho
 
I RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
I  RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdfI  RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
I RUANG LINGKUP KLIMATOLOGI.pdf
 
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuacaips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
ips mengenai angin-hujan-iklim-cuaca
 
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca NaibahoLaporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
Laporan Praktikum Klimatologi Acara 8&9 Shinta Rebecca Naibaho
 
Atmosfer
AtmosferAtmosfer
Atmosfer
 
Tugas mk klimatologi
Tugas mk klimatologiTugas mk klimatologi
Tugas mk klimatologi
 
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptxHidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
 
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptxHidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
Hidrosfer dan Atmosfer (Pelatda Jkt).pptx
 
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferli
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferliLaporan praktikum agroklimatologi angin ferli
Laporan praktikum agroklimatologi angin ferli
 
Laporan Metklim Pendidikan Geografi
Laporan Metklim Pendidikan GeografiLaporan Metklim Pendidikan Geografi
Laporan Metklim Pendidikan Geografi
 

More from Nurul Afdal Haris

Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
Nurul Afdal Haris
 
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasarFormat Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
Nurul Afdal Haris
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
Nurul Afdal Haris
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
Nurul Afdal Haris
 
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi TanahLaporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
Nurul Afdal Haris
 
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/AeolinMateri MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
Nurul Afdal Haris
 
Laporan Kartografi Dasar
Laporan Kartografi DasarLaporan Kartografi Dasar
Laporan Kartografi Dasar
Nurul Afdal Haris
 
Laporan Hidrologi Dasar
Laporan Hidrologi DasarLaporan Hidrologi Dasar
Laporan Hidrologi Dasar
Nurul Afdal Haris
 
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber DayaLaporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
Nurul Afdal Haris
 
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Perubahan Iklim dan Pemanasan GlobalPerubahan Iklim dan Pemanasan Global
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Nurul Afdal Haris
 
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah HidrologiMateri Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Nurul Afdal Haris
 

More from Nurul Afdal Haris (20)

Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
Format Laporan Ilmu Tanah/Geografi Tanah/Soil Geography 2019
 
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasarFormat Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
Format Laporan Praktek Lapang Mata Kuliah Hidrologi dasar
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sumatera)
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Sulawesi)
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Papua)
 
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
Materi Mata Kuliah Gemorfologi Indonesia (Geomorfologi Maluku)
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Kalimantan)
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Jawa)
 
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
Materi Mata Kuliah Geomorfologi Indonesia (Geomorfologi Bali dan Nusa Tenggara)
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (FOTOGRAMETRI)
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Konsep Dasar "Remote Sensing")
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Interpretasi Citra)
 
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
Materi Kuliah Penginderaan Jauh Dasar (Sejarah Perkembangan Teknologi Pengind...
 
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi TanahLaporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
Laporan Mata Kuliah Ilmu Tanah / Geografi Tanah
 
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/AeolinMateri MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
Materi MK Geomorfologi Dasar Mengenai Bentuklahan Bentukan Asal Angin/Aeolin
 
Laporan Kartografi Dasar
Laporan Kartografi DasarLaporan Kartografi Dasar
Laporan Kartografi Dasar
 
Laporan Hidrologi Dasar
Laporan Hidrologi DasarLaporan Hidrologi Dasar
Laporan Hidrologi Dasar
 
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber DayaLaporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
Laporan Praktek Lapangan Mata Kuliah Geografi Sumber Daya
 
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Perubahan Iklim dan Pemanasan GlobalPerubahan Iklim dan Pemanasan Global
Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
 
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah HidrologiMateri Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
Materi Aliran/Limpasan Permukaan Mata Kuliah Hidrologi
 

Recently uploaded

PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
GusniartiGusniarti5
 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
DataSupriatna
 
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya PositifKoneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
Rima98947
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
SdyokoSusanto1
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
UmyHasna1
 
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SDKisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
denunugraha
 
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
nasrudienaulia
 
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Eldi Mardiansyah
 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
asyi1
 
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
JokoPramono34
 
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
arianferdana
 
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
zakkimushoffi41
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
akram124738
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkdpenjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
jaya35ml2
 
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawasuntuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
TEDYHARTO1
 
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
AskariB1
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
GuneriHollyIrda
 
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA Kelas VII (1).pptx
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA  Kelas VII (1).pptxALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA  Kelas VII (1).pptx
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA Kelas VII (1).pptx
rusinaharva1
 

Recently uploaded (20)

PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
 
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya PositifKoneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
Koneksi Antar Materi modul 1.4 Budaya Positif
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
 
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SDKisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
Kisi-kisi Soal PAT Matematika Kelas 3 SD
 
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
 
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
 
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
Komunitas Belajar dalam Sekolah.Mari Melakukan Identifikasi! Apakah kombel Ib...
 
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
 
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
1.4.a.4.5. Restitusi - Lima Posisi Kontrol.pdf
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
 
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
 
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkdpenjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
penjelasan tentang tugas dan wewenang pkd
 
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawasuntuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
untuk observasi kepala sekolah dengan pengawas
 
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
7 - Kombinatorial dan Peluang Diskrit.pptx
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
 
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar IPS Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka
 
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA Kelas VII (1).pptx
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA  Kelas VII (1).pptxALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA  Kelas VII (1).pptx
ALur Tujuan Pembelajaran Materi IPA Kelas VII (1).pptx
 

Materi Infiltrasi Air Hujan Mata Kuliah Hidrologi

  • 1. M.K : Hidrologi Dasar PRESIPITASI Disusun oleh : 1. ADRIANI 2. MUH. NURMAN 3. A. ADRIANI 4. BASRI 5. YUSRIANI JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS MATAMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2005
  • 2. PETUNJUK UMUM PEMBELAJARAN Program pembelajaran disusun dalam bentuk 1 modul. Modul ini terdiri dari 2 bagian yaitu Petunjuk Umum dan Kegiatan Belajar. Kegiatan belajar terdiri dari : kegiatan belajar 1-4, topic, tujuan umum pembelajaran, tujuan khusus pembelajaran, uraian dan contoh, latihan, rangkuman, tes formatif, unpan balik dan tindak lanjut, referensi dan kunci jawaban. Setiap kegiatan belajar di tulis kompetensi dan sub kompetensi, diuraukan petunjuk belajar, kegiatan dan latihan yang akan dilakukan, dan dilengkapi dengan rangkuman . Setelah semua kegiatan dilakukan dan rangkuman telah dibaca, maka mahasiswa dapat mengerjakan tes formatif yang telah disediakan. Mahasiswa harus mengikuti urutan kegiatan yang harus dilakukan. Setelah tes formatif selesai dikerjakan mahasiswa, pekerjaan diperiksa sendiri dengan menggunakan kunci jawaban. Jika memenuhi syarat maka mahasiswa dapat pindah ke kegiatan belajar lain, jika tidak maka mahasiswa mengulangi lagi bagian-bagian yang belum dikuasai.
  • 3. KEGIATAN BELAJAR A. Kegiatan Belajar 1 PENGERTIAN TANAH 1. Tujuan Umum Pembelajaran Mahasiswa diharapkan dapat memahami dengan benar pengertian tanah secara umum. 2. Tujuan Khusus Pembelajaran 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah berdasarkan pandangan ahli kimia, geologi, pertanian, geomorfologi. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah menurut ilmu pedologi dan edapologi. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian tanah menurut ilmu geografi. PRESIPITASI Presipitasi adalah surahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan larut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (C. Asdak). Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS. Terbentuknya ekologi, geografi dan tata guna lahan
  • 4. di suatu daerah sebagian besar ditentukan atau tergantung pada fungsi daur hidrologi dan dengan demikian presipitasi merupakan kendala sekaligus kesempatan dalam usaha pengelolaan sumber daya tanah dan air. A. Mekanisme Presipitasi Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer bergerak ketempat yang lebih tinggi oleh adanya pada tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan uap air lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami kejenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran air hujan. Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa cara antara lain oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu yang berbeda atau oleh sentuhan antara massa udara dengan suhu yang berbeda atau sentuhan antara massa udara dengan obyek atau benda dingin. Secra rigkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi dan pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsung 3 kejadian sebagai berikut : 1. kenaikan massa uap air ketempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
  • 5. 3. Partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gay gravitasi. B. Tipe-Tipe Hujan 1. Hujan konvektif (convectional storms), tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut. 2. Hujan Frontal (frontal/cyclonic storms), tipe hujan yang umumnya disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Hujan Frontal dapat dibedakan menjadi Hujan Frontal dingin dan hangat. Hujan Frontal dingin biasanya mempunyai kemiringan permukaan Frontal yang besar dan menyebabkan gerakan massa udara ketempat yang lebih tinggi, lebih cepat sehingga bentuk hujan yang dihasilkan adalah hujan lebat dalam waktu yang singkat. Sebaiknya pada Hujan Frontal hangat, kemiringan permukaan Frontal tidak terlalu besar sehingga gerakan massa udara ketempat yang lebih tinggidapat dilakukan dengan perlahan-lahan. Hujan yang dihasilkannya adalah hujan yang tidak terlalu lebat dan berlangung dalam waktu yang lama. 3. Hujan Orografik (Orographic storms), jenis hujan yang umumnya terjadi didaerah pegunungan, yaitu ketika massa udara bergerka ketempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsoon yang ditimbulkan oleh adanya sel tekanan (udara) tinggi dan sel tekanan (udara)
  • 6. rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan desember, januari dan februari, dibelahan bumi utara terjadi musim dingin, akibatnya tedapat sel tekanan tinggi di daratan Asia. Sementara di belahan bumi selatan pada waktu itu berlangsung musim panas, sehingga tedapat sel tekanan tinggi di daratan Australia. Karena adanya perbedaan tekanan udara di kedua daratan tersebut maka pada periode desember, januari dan februari bertiup angin dari sel takanan tinggi di Asia menuju sel takanan rendah di Australia. Angina ini sering disebut Monsun Barat. Dalam bulan juni, juli, agustus, sebaliknya terdapat sel takanan rendah di daratan Asia dan sel takanan tinggi di daratan Australia yang mengakibatkan timbulnya Monsun Timur atau Monsun Tenggara. Dalam peiode transisi antara Monsun Barat dan Monsun Timur (maret, april,mei) dan tramsisi antara Monsun Barat dan Monsun Timur (September, oktober, november) pada umunya arah angina berubah-ubah dan kecepatan angina biasanya berkurang. Periode transisi ini biasanya disebut Musim Pancaroba.
  • 7. C. Faktor yang Mempengaruhi Hujan Salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai pelindung permukaan bumu. Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju ke permukaan bumi. Ia juga membantu menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam hari. Sejalan dengan meingkatnya suhu udara, meningkat pula kapasitas udara dalam menampung uap air. Sebaliknya, ketika udara bertambah dingin, gumpalan awan menjadi bertambah besar dan pada gilirannya akan jatuh sebagai air hujan. Dalam mempelajari besarnya kandungan air di dalam udara, dikenal dua unsure kelemababan udara. Kelembaban spesifik dan kelembaban absolut. Kelemababan spesifik adalah banyaknya uap air (dalam gram) yang terdapat di dalam 1 kg udara basah (gr/kg). Sedangkan kelembaban absolut adalah perbandingan massa uap air dengan volume udara total (gr/m3 ). Perbedaan kedua jenis kelembaban tersebut adalah bahwa pada kelembaban spesifik perubahan tekanan udara tidak akan mempengaruhi besar kecilnya kelembaban. Sebaliknya pada kelemababan absolute perubahan tekanan udara akan memberikan pengaruh pada angka kelembaban di tempat tersebut. Kerapatan udara kering pada permukaan laut biasanya sekitar 1,28 gr/m3 . sedang kelembaban absolute pada permukaan laut umumnya kurang dari 0,005 gr/m3 . Dengan demikian lapisan atmosfer mengandung air kurang dari 0,5%.
  • 8. Energi Matahari Seperti telah disebutkan di muka bahwa energi matahari adalah “mesin” yang mempertahankan berlangsungnya daur hidrologi. Ia juga bersifat mempengaruhi terjadinyas perubahan iklim. Pada umumnya besarnya energi matahari mencapai permukaan bumi adalah 0,5 langley/menit. Namun demikian, besarnya energi matahari bersih yang diterima permukaan bumi bervariasi tergantung pada letak geografis dn kondisi permukaan bumi. Permukaan bumi bersalju sebagai contoh, mampu merefleksikan 80% dari radiasi matahari dating. Sementara permukaan bumi dengan jenis tanah berwarna gelap dapat menyerap 90% (Wanielista, 1990). Adanya perbedaan keadaan geografis tersebut mendorong terjadinya gerakan udara di atmosfer, dan dengan demikian, juga berfungsi dalam penyebaran energi matahari. Energi matahari bersifat memproduksi gerakan massa udara di atmosfer dan di atas lautan. Energi ini merupakan sumber tenaga untuk terjadinya proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasis berlangsung pada permukaan badan perairan sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari dalam vegetasi. Energi matahari mendorong terjadinya daur hidrologi melalui proses radiasi. Sementara penyebaran kembali energi matahari dilakukan melalui proses konduksi dari daratan dan konveksi yang berlangsung di dalam badan air dan atmosfer. Konduksi adalah suatu proses transportasi udara antara dua lapisan (udara) yang berdekatan apabila suhu kedua lapisan tersebut berbeda. Untuk konduktifitas termal. Besarnya laju pindah panas adalah sebagai berikut (Rosemberg et al. 1985) qx = KT {(ΔT)/x) qx = laju pindah persatuan luas (cal/cm2 -dt)
  • 9. KT = angka tetapan konduktivitas termal pada kedudukan konstan (cal/cm2 -dt) ΔT = beda suhu (0 C) X = jarak (cm) Angin Angina adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau udara nisbi terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angina yang biasanya dikaji adalah arah dan kecepatan angina. Kecepatan angina penting karena dapat menentukan besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan. Untuk terjadinya hujan diperlukan adanya gerakan udara lembab yang berlangsung terus-menerus. Dalam hal ini, gerakan udara (angina”) berfungsi sebagai tenaga penggerak terjadinya gerakan udara lembab tersebut. Peralatan yang digunakan untuk menentukan besarnya kecepatan angina dinamakan anemometer. Apabila dunia tidak berputar pada porosnya. Pola angina yang terjadi semata-mata ditentukan oleh siklus termal. Angin akan bertiup ke arah katulistiwa sebagai udara hangat dan udara yang mempunyai berat lebih ringan akan naik ke atas dan digantikan oleh udara padat yang lebih dingin. Oleh adanya perputaran bumi pada porosnya massa udara (frontal) akan bergerak dari barat ke timur. Energi matahari dan rotasi bumi saling berkaitan dalam sirkulasi termal. Apabila ada dua massa udara dengan dua suhu yang berbeda bertemu, maka akan terjadi hujan di batas antara dua massa udara tersebut. Dalam satu hari, kecepatan dan arah angin dapat berubah-rubah. Perubahan ini seringkali disebabkan oleh adanya beda suhu antara daratan
  • 10. dan lautan. Angin umumnya bertiup dari bidang permukaan lebih dingin ke bidang permukaan yang lebih hangat. Pada siang hari di bulan kemarau arah angin cenderung bertiup dari lautan ke arah daratan yang lebih hangat. Pegunungan juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan arah angin oleh adanya proses pemanasan di salah satu sisi pegunungan tersebut dan dengan demikian akan menyebabkan beda suhu antara satu punggung gunung dengan lainnya. Adanya beda suhu tersebut menyebabkan terjadinya perubahan arah angin. Proses kehilangan panas oleh adanya padang pasir daerah beraspal dan daerah dengan banyak bangunan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan arah angin. Antara dua tempat yang tekanan atmosfernya berbeda ada gaya yang arahnya dan tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa arah horizontal gerak atmosfer terhadap permukaan bumi disebabkan oleh satu atau gabungan dari gaya gradient tekanan gaya Coriolis dan gaya gesekan. Penjelasan lebih terinci tentang sifat dan mekanisme gaya-gaya penggerak atmosfer tersebut dapat dilihat, antara lain dalam buku “Metereologi” oleh Prawirowardoyo (1996). Suhu Udara Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah stu faktor yang dapat memperkirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian, adalah penting untuk mengetahui bagaimana cara menentukan besarnya suhu udara. Pengukuran besarnya suhu memerlukan pertimbangan-pertimbangan sirkulasi udara dan bentuk-bentuk permukaan alat ukur suhu udara tersebut. Satuan untuk suhu umumnya diekspresikan dalam derajat Celsius (0 C) dan
  • 11. Fahrenheit (0 F) atau dalam skala-skala absolute. Suhu harian rata-rata diwujudkan dalam bentuk interval dari data suhu yang dikumpulkan. Untuk mendapatkan angka suhu harian rata-rata rumus berikut ini dapat dimanfaatkan. ∑= = 24 24/ li iave TT Tave = suhu harian rata-rata (0 C) Ti = suhu udara per jam (0 C) D. Pengukuran Presipitasi Tujuan utama setiap metode pengukuran presipitasi adalah untuk mendapatkan contoh yang benar-benar mewakili curah hujan di seluruh kawasan tempat pengukuran dilakukan WMO (World Meteorological Office), 1997. Karena itu di dalam memasang suatu penakar presipitasi haruslah dijamin bahwa : 1. Percikan tetesan hujan ke dalam dan ke luar penampung harus di cegah 2. Kehilangan air dari reservoir oleh penguapan haruslah seminimal mungkin 3. Jika ada, salju haruslah melebur Tentunya, pemajanan penakar hujan adalah sangat penting untuk pengukuran yang benar-benar mewakili. Beberapa persyaratan disajikan di bawah: 1. Untuk memperkecil pengaruh turbelensi angin (Larson dan Peck, 1974), tinggi penakar harus dipertahankan seminimal mungkin. Sebaliknya, penakar hujan harus ditetapkan cukup tinggi, agar tidak tertutup oleh salju. Penakar hujan setinggi tanah harus dilindungi dari
  • 12. gangguan hewan. Untuk perbandingan pengukuran semua penakar hujan dalam suatu jaringan haruslah ditempatkan pada tinggi yang sama. 2. Bilamana mungkin, mulut penakar haruslah parallel dengan permukaan tanah. Pada daerah yang berbukit, dimana penakar kerap kali harus ditempatkan di ats bukit, ketelitian tangkapan penakar yang baku dapat ditingkatkan dengan memiringkannya tegak lurus permukaan tanah (lihat Storey dan Hamilton, 1943) atau dengan menggunakan penakar hujan stereo (Storey dan Hamilton, 1943 dan Sevruk, 1974). Namun, lokasi pada suatu kemiringan lereng umumnya harus dihindari. 3. Suatu lokasi yang terlindung dari kekuatan penuh angin harus dipilih. Akan tetapi, abyek di sekitarnya tidak boleh lebih dekat dengan penakar yang melebihi suatu jarak yang sama dengan “n” kali (pada umumnya n = 4; di Itali n = 10 dan di negeri Belanda n = 2) tinggi penakar hujan. Suatu cara alternative adalah dengan membangun pariasi angin di sekitar penakar. Pemilihan suatu tipe penakar hujan tertentu dan lokasinya di suatu tempat tergantung pada beberapa factor. Diantaranya disebutkan di bawah ini (Volker, 1968) : 1. Dapat deipercaya (ketelitian pengukuran) 2. Tipe data yang diperlukan (menit, harian dan lain-lain) 3. Tipe presipitasi yang akan diukur (adanya salju, tebalnya salju) 4. Dapat diperbandingkan dengan penakar hujan lain yang ada 5. Biaya instalasi dan perawatannya 6. Intensitas perawatan
  • 13. 7. Mudahnya perawatan (deteksi kebocoran) 8. Gangguan oleh hewan atau manusia Sesudah suatu tipe penakar hujan dipilih, maka langkah selanjutnya adalah memutuskan jumlah minimum penakar yang dibutuhkan untuk suatu kawasan. Pengajuan ini tergantung pada maksud tujuan penelitian, posisi geografis kawasan tersebut (aspek iklim mikro seperti pengaruh orografi), dan urbanisasi kawasan tersebut (Gray, 1973). E. Perhitungan Presipitasi Para pakar hidrologi dalam melaksanakan pekerjaannya seringkali memerlukan informasi besarnya volume presipitasi rata-rata untuk suatu daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai. Untuk mendapatkan data curah hujan yang dapat mewakili daerah tangkapan ai tersebut diperlukan alat penakar hujan dalam jumlah yang cukup. Dengan semakin banyaknya alat-alat penakar hujan yang dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya variasi hujan di tempat tersebut dan juga besarnya presipitasi rata-rata yang akan menunjukkan besarnya presipitasi yang terjadi di daerah tersebut. System jaringan kerja dari sejumlah alat penakar hujan akan mewakili sejumlah titik-titik pengamatan besarnya atau ketebalan curah hujan di daerah tersebut. Dalam menentukan besarnya presipitasi (rata-rata) di suatu daerah aliran sungai dengan memanfaatkan system jaringan kerja dari alat- alat penakar hujan (bagaimanapun baiknya pengaturan sample yang dilakukan), tetap saja akan terjadi kesalahan yang berkaitan dengan sifat acak alamiah dari kejadian-kejadian hujan (Wiesner, 1970). Ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan tergantung pada veriabilitas spasial curah hujan. Dengan demikian diperlukan lebih banyak lagi alat-alat penakar
  • 14. hujan, terutama di daerah dengan kemiringan lereng besar dan daerah- daerah yang banyak menerima tipe curah hujan lebat (thunderstorm) dibandingkan tipe curah hujan frontal (Hutchinson, 1970; Browning, 1987). Secara umum, ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan meningkat dengan meningkatnya jumlah alat penakar hujan yang digunakan. Tetapi, tingkat kerapatan alat penakar hujan yang tinggi seringkali sulit mengaturnya di lapangan, disamping mahal biayanya. Cara penyelesaian yang merupakan kompromi antara keterbatasan jumlah alat penakar hujan yang digunakan dengan hasil ketelitian tetap memadai adalah dengan membuat klasifikasi antara lain: klasifikasi tentang karakteristik topografi seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, dll. Sebagai contoh, apabila pengukuran besarnya presipitasi di suatu daerah dimaksudkan untuk penelitian air larian, maka strategi penempatan alat penakar hujan lebih diprioritaskan pada tempat-tempat yang dianggap sebagai sumber air larian. Dengan pendekatan yang sama hal tersebut dilakukan untuk pengukuran curah hujan untuk penelitian erosi atau sedimentasin. Dengan cara penempatan alat penakar hujan yang disesuaikan dengan keperluan pengukuran, maka jumlah alat penakar hujan diperlukan di lapangan dapat dikurangi tanpa mengorbankan tingkat ketelitian yang diinginkan. Untuk menghitung curah hujan harian, bulanan, dan tahunan di suatu sub-DAS/DAS, umumnya digunakan dua cara perhitungan, yaitu : (1) Rata-rata aritmatik (2) Teknik poligon (thiessen poligon)
  • 15. Prosedur perhitungan curah hujan tahunan rata-rata cara Aritmatik Prosedur perhitungan curah hujan tahunan rata-rata metoda aritmatik mengacu pada lokiasi dan jumlah stasiun penakar hujan di sub-DAS Citarik, Jawa Barat. Stasiun penakar hujan Curah hujan tahunan (mm) 1. Ujung berung 1545,5 2. Selacau 1728,9 3. Tanjung sari 2158,6 4. Derwati 1521,1 5. Bajong salam 1816,8 6. Ciparay 2087,8 7. Cicalengka 1607,8 8. Cipaku/paseh 1927,5 Curah hujan tahunan rata-rata sub-DAS Citarik adalah: (1545,5 + 1728,9 + 2158,6 + …….+1927,5)/8 =1799,3 mm. Catatan:  Alat-alat penakar hujan sebaiknya berada dalam daerah tangkapan air yang diamati, namun demikian, alat penakar di luar daerah tangkapan air dapat dimanfaatkan sepanjang mewakili atau berada tidak jauh dari daerah pengamatan.  Teknik rata-rata aritmatik dapat memberikan hasil pengukuran curah hujan yg memadai apabila: 1) lokasi alat penakar hujan di daerah tangkapan air penyebaran merata, dan 2) daerah kajian relative seragam, terutama dalam hal ketinggian sehingga variasi curah hujan tidak teralalu besar.
  • 16. Prosedur perhitungan curah hujan-rata-rata cara Poligon (Thiessen Poligon) Teknik poligon dilakukan dengan cara menghubungkan satu alat penakar hujan dengan lainnya menggunakan garis lurus. Pada peta daerah tangkapan air untuk masing-masing alat penakar hujan, daerah tersebut dibagi menjadi beberapa poligon (jarak garis pembagi dua penakar hujan yang berdekatan lebih sama). Hasil pengukuran pada setiap alat penakar hujan terlebih dahulu diberi bobot (weighing) dengan menggunakan bagian-bagian wilayah dari total daerah tangkapan air yang diwakili oleh alat penakar hujan masing-masing lokasi, kemudian dijumlahkan. Daerah poligon, a1, untuk masing-masing alat penakar hujan dihitung dengan menggunakan planimeter atau menggunakan teknik dot grid. Curah hujan tahunan rata-rata di daerah tersebut diperoleh dari persamaan di bawah ini. (R1 a1 / A) + (R2 a2 / A) + …… + (Ra aa / A) (26) R1, R2 …… Ra adalah curah hunan untuk masing-masing alat penakar hujan (mm). a1, a2 ……. aa adalah luas untuk masing-masing daerah poligon (ha). A adalah luas total daerah tangkapan air (ha). Cara oerhitungan curah hujan tahunan rata-rata sub-DAS Citarik menggunakan 8 alat penakar hujan yang terdiri atas 5 penakar curah hujan di dalam wilayah sub DAS Citarik dan 3 alat penakar hujan lainnya berada di luar sub-DAS Citarik.
  • 17. Bilangan pecahan a1/A disebut angka tetapan Thiessen. Sekali tetapan ini ditentukan, maka besarnya curah hujan daerah yang bersangkutan dapat ditentukan dengan cepat berdasarkan data pengamatan dari masing-masing alat penakar hujan yang digunakan. Seandainya oleh suatu hal ada data hilang dari satu lokasi pengamatan, jalan termudah yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal terseut adalah dengan memperkirakan data yang hilang tersebut dan tetap menggunakan angka tetapan yang sama. Contoh perhitungan curah hujan menggunakan metoda poligon dapat dilihat pada Tabel 2.1 Stasiun Penakar Hujan Curah Hujan (mm) (1) Luas Poligon (ha) (2) Persentase1 dari luas total (%) (3) Weighed2 Faktor (4) Weighed3 Curah Hujan (mm) Ujung Berung Selacu Tanjung Sari Derwati Bojong Salam Siparay Cicalengka Cipaku/Paseh 1545,5 1728,9 2158,6 1521,1 1816,8 2087,8 1607,8 1927,5 7863,8 8036,3 2201,2 4691,0 9430,0 2972,5 12033,8 4123,8 15,3 15,6 4,3 9,1 18,4 5,8 23,4 8,0 0,153 0,156 0,043 0.091 0,184 0,058 0,234 0,080 236,5 269,7 92,8 138,4 334,3 121,1 376,2 154,2 Total 14394,0 51352,4 100,0 1723,2 Catatan : 1 l (2)/(51352,4) l x 100 2 (3)/100 3 (1) x (4)
  • 18. Tabel 2.1 menunjukkan bahwa besarnya curah hujan tahunan rata-rata menurut metoda poligon adalah 1723,2 masing-masing, sedikit lebih kecil dari pada angka curah hujan rata-rata yang diperoleh dengan metode aritmatik (1799,3 mm). Dari cara perhitungannya, dapat dikatakan bahwa metoda poligon menghasilkan angka curah hujan tahunan rata-rata yang lebih akurat. Teknik poligon termasuk memadai guna menentukan curah hujan suatu daerah, namun demikian hasil yang baik akan ditentukan daerah pengamatan ia tidak cocok penakar hujan yang tinggi (Shaw, 1985). Teknik ketiga dalam pengukuran curah hujan adalah teknik isohet (isohyet). Teknik ini dipandang paling baik, tapi bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, dan pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan di daerah setempat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cara isohet lebih teliti cara perhitungannya memerlukan banyak waktu karena garis isohet yang baru perlu ditentukan untuk setiap curah hujan. Metoda isohet terutama berguna untuk mempelajari pengaruh curah hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama di daerah dengan tipe curah hujan omografik. Pada beberapa kasus, besarnya curah hujan di suatu tempat dapat diperkirakan dari ketinggian tempat tersebut. Hal ini terutama lazim terjadi di daerah dengan tipe curah hujan orografik. Di daerah ini, interval garis kontur dapat digunakan untuk membantu memperkirakan posisi garis-garis dengan curah hujan yang sama besarnya (isohet). Setelah penentuan garis isohet, kemudian dapat dihitung besarnya curah hujan rata-rata untuk masing-masing fraksi isohet, dan dengan demikian, dapat diperkirakan besarnya curah
  • 19. hujan rata-rata untuk seluruh DAS. Tampak bahwa teknik isohet mempunyai persyaratan yang lebih rumit dibandingkan metoda aritmatik atau poligon, oleh karenanya, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka metoda aritmatik, dan terutama metoda poligon lebih diutamakan. Ketepatan dalam memperkirakan besarnya curah hujan rata- rata untuk suatu daerah tergantung pada kerapatan jaringan stasiun pencatat hujan dan tipe serta ukuran hujan. Di daerah girun dengan badai hujan local (localized thunderstorms), sangat sulit untuk menentukan besarnya curah hujan rata-rata di tempat tersebut dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang bersifat siklon (cyclonic storms). Jaringan alat pencatat hujan yang terletak terpencar tidak mewakili daerah pengamatan cenderung menghasilkan jumlah dan intensitas hujan lebih kecil dari yang seharusnya. Hal yang sama terjadi juga pada pengambilan data hujan untuk waktu yang terlalu singkat. Apabila data hujan yang kurang memadai ini dipakai sebagai data dasar perancangan program konservasi tanah dan air serta pembuatan bangunan konservasi kainnya, maka rancangan yang dihasilkan juga menjadi lebih kecil dari pada angka yang seharusnya (underestimate). 2.2.4 Intensitas dan Lama Waktu Hujan Intensitas hujan adalah jumlah hujan persatuan waktu. Untuk mendapatkan nilai intensitas hujan disutu tempat maka alat penakar hujan yang digunakan harus mampu mencatat besarnya volume hujan dan waktu mulai berlangsungnya hujan sampai hujan tersebut berhenti. Dalam hal ini, alat penakar hujan yang dapat dimamfaatkan adalah alat penakar hujan
  • 20. otomatis. Alat penakar hujan standar juga asal waktu selama hujan tersebut berlangsung diketahui (dapat dilakukan dengan menandai waktu berlangsungnya dan berakhirnya hujan dengan jam dinding misalnya.) Intensitas hujan atau ketebalan hujan persatuan waktu lazimya dilaporkan dalam satuan millimeter per jam. Stasiun pengukur Cuaca Otomatis dilengkapi dengan alat penakar hujan yang dapat mencatat data intensitas hujan secara continu. Data intensitas hujan tersebut umumya dalam bentuk tabular atau grafik (hytograph). Cara lain untuk menentukan besarnya intensitas curah hujan adalah dengan menggunakan teknik interval waktu yang berbeda. Intensitas dari grafik curah hujan yang dihailkan secara otomatis (harian atau bulanan). Dan intensitas hujan biasanya dimanfaatkan untuk perhitungan-perhitungan perkiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Data intensitas hujan (kejadian hujan tunggal) juga dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan perubahan tataguna lahan dalam skala besr terhadap kemungkinan perubahan karakteristik hidrologi. Para pakar geomorfologi memerlukan data intensitas hujan karena proses pembentukan tanah dari bahan induk (batuan) berlangsung pada saat terjadinya hujan dengan intensitas tertentu setiap tahun. Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan dalam periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relative seragam. Cara untuk menentukan besarnya intensitas hujan adalah dengan memanfaatkan data pengukuran hujan yang dihasilkan oleh alat penakar hujan.
  • 21. Selain intensitas dan lama waktu hujan, informasi tentang kecepatan jatuhnya hujan juga penting untuk diketahui. Kecepatan curah hujan dapat diartikan sebagai kecepatan jatuhnya air hujan dan dalam hal ini dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan. Informasi tentang kecepatan air hujan untuk mencapai permukaan tanah adalah penting dalam proses erosi dan sedimentasi. Kecepatan tergantung pada bentuk dan ukuran diameter air hujan. Ketika kecepatan menjadi kecil dengan kecepatan jatuh lebih lambat. Ukuran diameter, kecepatan jatuhnya air, dan intensitas hujan berhubungan suatu dengan lamanya. Dengan memahami keterkaitan hubungan antara ukuran diameter, kecepatan jatuhnya butiran-butiran air hujan dan intensitas hujan, misalnya terjadinya erosi, terutama erosi percikan, dapat lebih dimengerti, dan dengan demikian, dapat diupayakan tindakan pencegahan yang memadai. 2.3 Analisis Data Presitasi Ada beberapa aspek data presitasi yang menjadi perhatian khusus para ahli hidrologi. Data presitasi yang umum menjadi kajian adalah : - Jumlah hujan tahunana total untuk luas wilayah tertentu - Variasi hujan musiman dan tahunans serta realibilitas hujan musiman - Perkiraan besarnya curah hujan (presitasi)n rata-rata untuk luas wilayah tertentu atau menentukan pola spasial dan perubahan kejadian hujan tunggal - Frekuensi kejadian hujan untuk besaran yang berbeda dan untuk mempelajari karakteristik statistic data presitasi - Perkiraan besarnya kejadian hujan terbesar untuk suatu wilayah tertentu. Hal terakhir inilah dalam bidang hidrologi sering dikenal
  • 22. dengan istilah kemungkinan presitasi maksimum (probable maximum precipitation, PMP). Kemungkinan presitasi maksimum (PMP) secara teoritis dapat didefenisikan sebagai “ketebalan hujan maksimum untuk lama waktu tertentu yang secara fisik mungkin terjadi dengan suatu wilayah aliran dalam kurun waktu tertentu” (American Metereological Society, 1959). Kata “kemungkinan” dimaksudkan untuk menekankan bahwa karena di proses fisik yang berlangsung di atmosfer kurang begitu dimengerti dan adanya keterbatasan data iklim maka menjadi tidak mungkin untuk menentukan besarnya presitasi maksimum dengan ketelitian yang tinggi. Namun demikian, hal ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat tertentu dari probabilitas statistika atau periode ulang. Ada beberapa teknik untuk memperkirakan besarnya PMP. Weisner (1970), berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pada prinsipnya ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperkirakan besarnya PMP. Pertama, dengan cara maksimisasi dan transposisi kejadian-kejadian hujan (atau model kejadian hujan) dan kedua, dengan cara analisis statistika untuk data kejadian hujan ekterm. Teknik maksimisasi melibatkan perkiraan batas maksimum konsentrasi kelembaban di udara yang mengalir ke dalam atmosfer di atas suatu DAS. Pada batas maksimum tersebut, hembusan angin akan membawa serta udara lembab ke atmosfer di atas DAS yang bersangkutan dan batas maksimum fraksi dari aliran uap air yang akan menjadi air hujan. Perkiraan besarnya PMP di daerah dengan tipe hujan orografik terbatas biasanya dilakukan dengan cara maksimisasi dan transposisi kejadian hujan yang sesungguhnya. Sementara di daerah dengan pengaruh hujan orografik kuat, kejadian hujan yang
  • 23. dihasilkan dari simulasi model lebih banyak dimanfaatkan untuk prosedur maksimisasi untuk kejadian hujan jangka panjang yang meliputi wilayah yang luas (Weisner, 1970). Dari hasil analisis curah hujan maksimum tahunan yang berasal dari ribuan stasiun penakar hujan. Herhfield (1965) mengajukan rumus umum untuk analisis data curah hujan ekstrem yang dikembangkan oleh Chow (1951) dalam Ward dan Robinson (1990). Rumus umum tersebut berusaha mengkaitkan antara besarnya PMP untuk lama waktu hujan tersebut terhadap nilai tengah (X) dan standar deviasi (s) untuk data hujan terbesar tahunan seperti tersebut di bawah ini : PMP = X + Ks Besarnyan parameter K biasanya ditentukan 15, namun demikian, di lapangan besarnya factor tersebut umumnya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain bergantung pada nilai tengah data hujan maksimum tahunan (X) dan lama waktu hujan. Teknik ini mempunyai keuntungan dalam hal mudah pemakaiannya dan didasarkan pada pencatatan data hujan di lapangan. Sedang kekurangannya adalah seperti halnya analisis statistika lainnya, teknik perkiran PMP dengan cara ini memerlukan data curah hujan yang berjangka panjang, dan besarnya parameter K juga ditentukan oleh factor lain selain nilai tengah data hujan maksimum tahunan dan lama waktu hujan. Jumlah Presitasi Total Jumlah curah hujan total (m3 ) untuk luas wilayah tertentu adalah ketebalan air hujan (m) di suatu titik pengamatan dikalikan luas wilayah yang menjadi kajian (m2 ). Namun demikian, seringkali wilayah yang menjadi kajian terlalu luas, dan oleh karenanya, meningkatkan variasi hujan spasial di daerah tersebut. Dalam kasus seperti ini, cara pengukuran jumlah curah
  • 24. hujan total yang paling memadai adalah cara isohet (pembuatan garis-garis yang dibentuk oleh titik-titik dengan curah hujan yang kurang lebih sama). Kemudian, luas wilayah antara dua garis isohet tersebut dihitung besarnya dengan menggunakan planimeter untuk kemudian dikalikan dengan besarnya curah hujan rata-rata di antara dua garis isohet tersebut. Teknik perhitungan curah hujan total dengan menggunakan cara isohet menguntungkan karena memungkinkan dipertimbangkannya bentuk bentang lahan dan tipe hujan yang terjadi sehingga dapat menunjukkan besarnya curah hujan total secara lebih relistis. Kekurangan cara perhitungan ini lebih merupakan banyaknya waktu yang diperlukan untuk membuat garis-garis isohet serta menghitung luas antara dia garis isohet. Cara lain yang dapat dimanfaatkan untuk menghitung besarnya curah hujan total serta dianggap lebih mudah dilakukan adalah cara thiessen polygons. Dengan cara ini, pembuatan gambar polygon hanya dilakukan sekali saja, sementara perubahan data hujan per titik dapat dip roses secara cepat tanpa perlu menghitung lagi luas per bagian poligon. Metoda polgon adalah cara perhitungan besarnya curah hujan dengan cara merancang daerah yang akan ditentukan besarnya curah hujan secara geometric dan dalam hal ini tidak perlu mempertimbangkan bentang lahan atau tofgrafi di daerah kajian. Veriabilitas Presitasi Veriabilitas curah hujan umumnya dibedakan menjadi veriabilitas yang berdimensi ruang (spatial) dan waktu (temporal). Tidak sperti yang lazim dijumpai di daerah beriklim sedang (temperature climate), veriabilitas hujan di daerah tropis jauh lebih besar. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai akibat pengaruh orografik.
  • 25. Besarnya curah hujan yang turun di daerah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun. Dengan adanya variasi besarnya hujan tersebut maka diperlukan data hujan dalam jangka panjang untuk dapat memperkirakan besarnya nilai tengah curah hujan dan besarnya frekuensi hujan, yaitu ketika satu besaran hujan tertentu akan datang lagi pada periode waktu tertentu. Besarnya kejadian hujan berulang (recurrence interval) dalam stu serial data pengamatan curah hujan dapat ditentukan dengan rumus berikut : T = (n + 1)/m T = kejadian hujan berulang untuk m pengamatan data hujan n = jumlah total pengamatan kejadian hujan m = nomor peringkat untuk pengamatan kejadian hujan tertentu Prosedur yang harus dilakukan adalah dengan cara menyusun data hujan (berdasarkan besarnya) secara menurun (decreasing order). Data hujan yang terbesar diberi nomor peringkat 1 (m=1) dan data hujan terbesar kedua diberi peringkat 2, demikian seterusnya. Penentuan nomor peringkat ini terus dilakukan sampai setengah dari jumlah kejadian hujan berulang telah ditentukan. Nilai-nilai yang telah ditentukan tersebut kemudian diplotkan dengan urutan meningkat (increasing order), data hujan yang terkecil diberi nomor peringkat m = 1, dan data hujan terkecil kedua diberi nomor peringkat m = 2 demikian seterusnya. Selurug data pengamatan tersebut kemudian diplotkan di atas kertas grafik semi-logaritmik dengan data curah hujan sebagai ordinat (yang) dan nilai kejadian hujan berulang sebagai absis (X). akhirnya, kurva kejadian hujan berulang sebagai cara menarik garis yang melewati titik-titik kejadian hujan berulang yang telah di plotkan di atas
  • 26. kertas grafik tersebut di atas. Untuk memberikan gambaran proses pembuatan kurva kejadian hujan berulang. Dengan prosedur yang kurang lebih sama, dapat dibuat kurva debit banjir berulang tahunan, kurva aliran debit kecil berulang tahunan, dan karakteristik hidrologi lainnya, terutama yang mempunyai veriabilitas cukup besar. Presipitasi rata-rata daerah tangkapan air Dalam studi pengembangan sumberdaya air, misalnya studi tentang neraca air, diperlukan data atau informasi tentang besarnya presipitasi rata- rata di suatu DAS. Adanya veroiabilitas spasial curah hujan di suatu tempat mengharuskan penempatan alat penakar hujan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh perkiraan besarnoya presipitasi rata-rata di daerah kajian yang lebih realistic. Cara yang paling sederhana adalah dengan melakukan perhitungan rata-rata aritmatik dari data presitasi yang diperoleh dari seluruh alat penakar hujan yang digunakan. Cara ini barangkali dianggap cukup memadai sepanjang digunakan di daerah yang relatif landai dengan variasi curah hujan yang tidak terlalu besar serta penyebaran alat penakar hujan yang diusahakan seragam. Keadaan seperti tersebut di atas seringkali tidak banyak dijumpai sehingga diperlukan cara lain yang lebih memadai. Metoda prakiraan presitasi daerah tangkapan hujan yang dianggap lebih memadai dibandingkan dengan metoda rata-rata aritmatik adalah metoda poligon (thiessen polygon). Metoda ini telah digunakan secara luas karena dianggap dapat memberikan data presitasi yang lebih akurat karena pada metoda poligon, setiap bagian wilayah tangkapan hujan diwakili secara proporsional oleh satu alat penakar hujan. Besarnya presitasi rata-rata untuk suatu daerah tangkapan merupakan hasil rata-rata data hujan dari seluruh bagian daerah tangkapan yang diwakili oleh satu data hujan penakar hujan.
  • 27. Dengan metoda yang bersifat geometric ini, kemungkinan adanya penurunan ketelitian data curah hujan yang diakibatkan oleh adanya variasi (spasial) hujan dan sebaran alat penakar hujan dapat dikurangi. 2.4 Data Pengamatan Yang Hilang Data presitasi seringkali ditemukan dalam keadaan terputus atau tidak bersambung. Hal ini dapat disebabkan oleh karena alat pencatat hujan tidak berfungsi untuk periode waktu tertentu atau karena satu dan lain hal stasiun pengamat hujan di tempat tersebut ditutup untuk sementara waktu. Tidak tercatatnya data hujan pada saat-saat seperti tersebut di atas dapat dilengkapi dengan memanfaatkan data hujan dari tempat lain yang berdekatan (masih termasuk dalam satu system jaringan pengukuran curah hujan). Dengan kata lain, data hujan di tempat tersebut diperkirakan besarnya dengan menggunakan data hujan dari tempat lain yang berdekatan tersebut. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memperkirakan besarnya data presitasin yang tidak terukur pada periode waktu tertentu. Kedua cara yang dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan curah hujan dari tiga alat penakar hujan yang terletak di sekitar data yang hilang tersebut. Likasi ketiga alat penakar hujan yang akan digunakan sebagai masukan data haruslah tidak terlalu berjauhan dan kurang lebih tersebar merata di antara alat penakar hujan yang akan diprakirakan besarnya. Kedua cara tersebut masing-masing menggunakan masukan data curah hujan rata-rata tahunan dari ketiga stasiun penakar hujan. Apabila besarnya perbedan antara curah hujan rata-rata tahunan dari masing-masing ketiga stasiun penakar hujan tersebut dan curah hujan rata- rata tahunan alat penakar hujan yang akan diprakirakan kurang dari 10%,
  • 28. maka metoda prakiraan yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut (Wanielista, 1990; Dunne dan Leopold, 1978). 2.5 Konsistensi Data Presitasi Bagian awal dari car pengukuran curah hujan telah membicarakan tentang bentuk-bentuk kesalahan dalam melakukan pengukuran curah hujan. Pemindahan alat penakar hujan, tertutupnya alat penakar hujan oleh vegetasi atau bentuk penghalang lainnya dapat mengakibatkan perubahan data curah hujan yang tercatat. Agar data curh hujan yang kita kumpulkan atau data curah hujan yang kita konsisten, maka data curah hujan tersebut perlu “disesuikan” (adjustment) untuk menghilangkan pengaruh perubahan lokasi alat ukur atau gangguan lainnnya terhadap konsistensi data hujan yang dihasilkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka dapat digunakan analisis kurva ganda (double mass analysis). Untuk mengetahui tingkat konsistensi data curah hujan di stasiun A, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan curah hujan yang homogen dari beberapa stasiun pencatat curah hujan di sekitar stasiun A. kemudian curah hujan total dari keseluruhan stasiun di sekitar lokasi stasiun A tersebut dicari harga rata-rata tahunannya. Nilai akumulasi rata- rata curah hujan dari stasiun-stasiun tersebut kemudian diplotkan terhadap akumulasi curah hujan rata-rata tahunan dari stasiun A. 2.6 Analisis Hubungan Intensitas Durasi Frekuensi Hujan Dalam rancangan keteknikan, adalah tidak ekonomis merencanakan struktur desain untuk menghadapi kejadian-kejadian klimatis yang ekstrem (kejadian hujan terbesar, banjir besar) dengan menempatkannya pada prioritas dan investasi yang rendah. Para perencana keteknikan air umumnya berusaha mengantisipasi kejadian-kejadian klimatik ekstrem yang mungkin
  • 29. terjadi tersebut dan mempertimbangkannya dalam struktur desain yang dibuatnya. Dalam bidang geomorfologi, kejadian hujan yang sangat besar dapat menjadi penyebab terjadinya tanah longsor atau bentuk gerakan tanah lainnya. Akan tetapi, pada umumnya, kejadian hujan dengan besaran yang lebih ringan dirasakan lebih sering terjadi, dan dengan demikian, para spakar geomorfologi tersebut lebih tertarik dan memeberi perhatian lebih pada besaran dan frekuensi terjadinya kejadian-kejadian hujan tertentu di daerah tersebut. Setelah berlangsungnya kejadian hujan yang mengakibatkan terjadinya erosi berat di lading-ladang pertanian, kerusakan atau perubahan alur-alur sungai, dan kerusakan-kerusakan lain yang diakibatkan oleh besarnya aliran air dan erosi, yang harus dilakukan untuk mencegah agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi adalah dengan memperlajari frekuensi terjadinya kejadian hujan dengan besaran kurang lebih sama dengan kejadian hujan yang menimbulkan kerusakan tersebut. Apabila kejadian hujan dengan besaran seperti tersebut dia atas hanya terjadi rata-rata sekali dalam lima ratus tahun, maka adalah tidak realistis untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menanggulangi kejadian yang jarang sekali terjadi tersebut. Oleh karenanya, para pakar konservasi tanah dan air, pakar geomorfologi dan pakar teknik sipil (basah) lebih tertarik untuk melakukan analisis frekuensi kejadian klimatik yang ekstrem pada intensitas dan lama waktu yang berbeda. Untuk memudahkan pemahaman, tujuan tentang intensitas, lama waktu (durasi) dan frekuensi sebaiknya dilakukan untuk curah hujan yang diperoleh dari satu stasiun penakar hujan. Perhitungan angka rata-rata untuk skala DAS misalnya dapat dilakukan kemudian. Pengalaman yang diperoleh dari daerah tropis menunjukkan bahwa curah hujan sangat intensif, umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif
  • 30. singkat sedangkan presipitasi yang berlangsung cukup lama, pada umumnya tidak terlalu deras. Dalam hal ini, hubungan yang bersifat kebalikan antara intensitas, lama waktu dan frekuensi perlu di kuantifisir. Data dasar yang diperlukan untuk perhitungan atau analisis hubungan intensitas-durasi-frekuensi hujan yang terdiri atas kejadian hujan terbesar yang terjadi setiap tahun (mislnya curah hujan terbesar selama lima menit atau enam jam dalam kurun waktu satu tahun). Pengaturan atau pengelompokan seperti ini dinamakan serial hujan maksimum tahunan (annual maksimum series). Sama halnya dengan kurva normal, adalah mungkin untuk menarik garis linear untuk sebaran angka-angka ekstrem pada kertas probabilitas khusus yang disebut kertas Gumbel atau kertas angka ekstrem. Untuk menunjukkan permasalahan rancang bangun dalam kaitannya dengan besarnya curah hujan misalnya, biasanya perhatian lebih banyak ditujukan kepada besarnya kementakan (probabilitas) untuk berlangsungnya kejadian (hujan) yang lebih besar daripada besaran kejadian tertentu. Frekuensi kejadian-kejadian hidrologi dapat dijelaskan dengan menggunakan besarnya angka periode ulang. Ekstrapolasi dengan menggunakan kurva hubungan intensitas-durasi-frekuensis curah hujan seringkali dilakukan dengan analisis data hidrologi. Tingkat kesalahan akibat ekstrapolasi ini cukup besar apabila kurva hubungan tersebut dimanfaatkan untuk memprakirakan besarnya suatu kejadian hujan atau banjir dengan periode ulang lebih besar daripada jumlah data (tahun) yang digunakan untuk analisis. Penyebaran frekuensi angka ekstrem Gumbel bukanlah satu-satunya cara untuk memprakirakan besarnya kejadian-kejadian hujan atau banjir
  • 31. besar. Akan tetapi, metoda tersebut merupakan teknik yang paling banyak digunakan dan dianggap memadai untuk pemakaian di berbagai belahan dunia. Konsep periode ulang seperiti tersebut seharusnya tidak boleh diartikan bahwa suatu kejadian atau banjir besar dengan periode ulang dua puluh tahun misalnya, akan berlangsung sekali dua puluh tahun. Melainkan, apabila kejadian ekstrem tersebut terjadi tahun ini, maka besarnya kementakan atau probabilitas bahwa kejadian tersebut akan terjadi lagi tahun depan adalah 0,05 (5%). Dengan demikian, besarnya periode ulang menunjukkan interval tahun rata-rata berlangsungnya kejadian ekstrem dalam kurun waktu (tahun) yang sangat panjang. Adalah hal yang mungkin bahwa kejadian hujan (ekstrem) lima-menit dengan periode ulang dua puluh tahun akan berlangsung dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut atau tidak terjadi sama-sekali dalam rentang waktu tiga puluh tahun atau lebih. Apabila besarnya probabilitas untuk terjadinya kejadian hujan ekstrem (sama dengan atau lebih besar daripada X) tahun depan adalah p, maka besarnya probalbilitas untuk tidak terjadinya ekstrem tersebut tahun depan adalah (1-p). Sedangkan besarnya probabilitas bahwa kejadian tersebut tidak akan terjadi pada dua tahun mendatang adalah (1-p)2 dan besarnya probabilitas bahwa tidak akan ada kejadian ekstrem tersebut pada n tahun yang akan datang (1-p)n . dengan demikian besarnya kemungkinan untuk berlangsungnya kejadian hujan banjir besar ≥ X pada N tahun yang akan datang
  • 32. DAFTAR PUSTAKA Asdak C, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta D, Darmakusumah 1999. Pengelolaan Sumber Daya Air. Fakultas Geografi UGM Yogyakarta. Seyhan E, 1995. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Soewarno, 1991. Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai. Nova Bandung. Sostrodarsono, S & Kensaku Takeda, 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. PT Prima Karsa Utama. Jakarta Soal-Soal 1. Jelaskan pengertian presipitasi? 2. Jelaskan proses terjadinya presipitasi? 3. mengapa presipitasi sangat beragam baik menurut ruang maupun waktu? 4. Sebutkan dan jelaskan presipitasi yang terjadi secara vertical ? 5. Sebutkan dan jelaskan 4 unsur yang mencirikan presipitasi yang jatuh pada suatu wilayah? 6. Jelaskan syarat-syarat memasang alat penakar curah hujan? 7. Sebutkan dan jelaskan alat-alat pengukur presipitasi menurut seyhan? 8. Jelaskan hubungan antara presipitasi yang terjadi di suatu wilayah dengan kondisi topografi ?