makalah keterampilan berpikir kritis, sangat berguna untuk teman yang akan menulis artikel, seperti karya ilmiah, makalah, atau pun referensi bahan skripsi
Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di...Iwan Pranoto
Draft ke-5 dari naskah "Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di Dunia Global 2.0" namun tak ketemu yang versi final.
Problem solving is a high level of mental activity, where every student has the ability or cognitive styles vary, so the ability to solve problems will also be different. Cognitive styles one can explain the success of individual differences in learning. In evaluating the achievement of learning outcomes currently only gives emphasis on the cognitive goals without regard to the dimensions of cognitive processes, particularly metacognitive knowledge and metacognitive skills. As a result, efforts to introduce metacognition in solving mathematical problems to students is very less. Metacognition is the students ‘knowledge of cognition involving awareness of their own thinking in terms of the ability of planning, monitoring and evaluation process of thinking. The purpose of this article to describe a strategy to build students’ metacognition when solving math problems. With the development of metacognition awareness, students are expected to get used to monitor, control and evaluate what has been and will be done, so that students know and realize the strengths and the weaknesses in solving mathematical problems.
makalah keterampilan berpikir kritis, sangat berguna untuk teman yang akan menulis artikel, seperti karya ilmiah, makalah, atau pun referensi bahan skripsi
Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di...Iwan Pranoto
Draft ke-5 dari naskah "Mengukur Kecakapan Mematematikakan dan Menafsirkan sebagai Kecakapan Utama di Dunia Global 2.0" namun tak ketemu yang versi final.
Problem solving is a high level of mental activity, where every student has the ability or cognitive styles vary, so the ability to solve problems will also be different. Cognitive styles one can explain the success of individual differences in learning. In evaluating the achievement of learning outcomes currently only gives emphasis on the cognitive goals without regard to the dimensions of cognitive processes, particularly metacognitive knowledge and metacognitive skills. As a result, efforts to introduce metacognition in solving mathematical problems to students is very less. Metacognition is the students ‘knowledge of cognition involving awareness of their own thinking in terms of the ability of planning, monitoring and evaluation process of thinking. The purpose of this article to describe a strategy to build students’ metacognition when solving math problems. With the development of metacognition awareness, students are expected to get used to monitor, control and evaluate what has been and will be done, so that students know and realize the strengths and the weaknesses in solving mathematical problems.
3. Kemampuan Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan
intelektual yang menurut Gagné, dkk (1992) lebih tinggi derajatnya
dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya. Gagné,
dkk (1992) berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan
masalah diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan
aturan tingkat tinggi dapat dicapai setelah menguasai aturan dan
konsep terdefinisi. Demikian pula aturan dan konsep terdefinisi dapat
dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman konsep konkrit. Setelah itu
untuk memahami konsep konkrit diperlukan keterampilan dalam
memperbedakan.
Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa ahli, di
antaranya Dewey dan Polya. Dewey (dalam Rothstein dan Pamela, 1990)
memberikan lima langkah utama dalam memecahkan masalah (1)
mengenali/ menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan
masalah jika bukan merupakan masalah; (2) mendefinisikan masalah:
strategi pemecahan masalah menekankan pentingnya definisi masalah
guna menentukan banyaknya kemungkinan penyelesaian; (3)
mengembangkan beberapa hipotesis: hipotesis adalah alternatif
penyelesaian dari pemecahan masalah; (4) menguji beberapa hipotesis:
mengevaluasi kelemahan dan kelebihan hipotesis; (5) memilih hipotesis
yang terbaik.
4. Komunikasi Matematika
Greenes dan Schulman (1996) komunikasi matematika
adalah: kemampuan (1) menyatakan ide matematika melalui
ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual
dalam tipe yang berbeda, (2) memahami, menafsirkan, dan
menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam
bentuk visual, (3) mengkonstruk, menafsirkan dan
menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan
hubungannya. Selanjutnya menurut Sullivan & Mousley (Bansu
Irianto Ansari, 2003), komunikasi matematik bukan hanya
sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi
yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan,
menggambarkan, mendengar, menanyakan, kiarifikasi, bekerja
sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkar apa yang
telah dipelajani.
6. Konsep
HOTS Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan
kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat
(recall), menyatakan kembali (restate), atau merujuk
tanpa melakukan pengolahan (recite). HOTS pada
konteks asesmen mengukur kemampuan:
1. transfer satu konsep ke konsep lainnya
2. memproses dan menerapkan informasi
3. mencari kaitan dari berbagai informasi yang
berbeda-beda
4. menggunakan informasi untuk menyelesaikan
masalah
5. menelaah ide dan informasi secara kritis.
Meskipun demikian, soal-soal yang berbasis HOTS
tidak berarti soal yang lebih sulit daripada soal recall
(Kemdikbud, 2016).
Dini (2018:175) menyatakan pula Higher
Order Thinking terjadi ketika peserta didik
terlibat dengan apa yang mereka ketahui
sedemikian rupa untuk mengubahnya, artinya
siswa mampu mengubah atau mengkreasi
pengetahuan yang mereka ketahui dan
menghasilkan sesuatu yang baru. Melalui
higher order thinking peserta didik akan dapat
membedakan ide atau gagasan secara jelas,
berargumen dengan baik, mampu
memecahkan masalah, mampu
mengkonstruksi penjelasan, mampu
berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks
menjadi lebih jelas, dimana kemampuan ini
jelas memperlihatkan bagaimana peserta didik
bernalar.
7. Karakteristik Soal HOTS
1
2
3
Mengukur Kemampuan Berpikir Tingat
Tinggi
Berbasis Permasalahan Konstektual
Menggunakan bentuk soal beragam
Widana (2017)
Option A
Option B
Option C
Option D
8. Langkah Menyusun Soal HOTS
5321 4
321 4 5
Menganalisis KD
yang akan
digunakan dalam
soal-soal HOTS
Menyusun
kisi-kisi soal
Memilih
stimulus yang
menarik dan
konstekstual
Menulis butir
pertanyaan
sesuai dengan
kisi-kisi soal
Membuat
pedoman
penskoran
(rubric) atau
kunci jawaban
9. Hasil
Penelitian
Tentang
HOTS
Tajuddin & Chinappan (2016) disimpulkan bahwa tugas TIMSS yang dapat
dimanfaatkan oleh guru matematik untuk memahami peran HOTS lebih baik dalam
memberdayakan siswa bergerak dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat kognitif
yang lebih tinggi dalam konteks tugas-tugas masalah yang muncul di TIMSS. Kami
telah berusaha untuk membuat eksplisit peran HOTS dalam membantu siswa
selama penyelesaian masalah yang muncul di TIMSS dan program penilaian berisiko
tinggi lainnya. Dengan demikian, kami telah membangun kerangka kerja konseptual
yang menghubungkan tiga konstruksi utama: HOTS, Konten, dan Representasi.
Melalui analisis kritis tugas-tugas TIMSS yang dipilih, kami telah menunjukkan
bagaimana HOTS dapat memainkan peran penting dalam pemahaman matematika
dan pemecahan masalah. Kerangka kerja konseptual ini merupakan kemajuan yang
signifikan dalam menghubungkan literatur tentang HOTS dan dalam pemecahan
masalah yang muncul dalam TIMSS. Untuk membantu para guru mengembangkan
kegiatan spesifik untuk mendukung para siswa, studi di masa depan dapat
memeriksa validitas kerangka kerja ini dengan cara-cara emipris.
10. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Widana, dkk (2018) tentang pengaruh kemampuan HOTs Matematika siswa
terhadap keterampilan berpikir kritis didapatkan bahwa penggunaan penilaian HOTS dalam pembelajaran matematika
memiliki pengaruh signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika. Dengan
demikian, penggunaan penilaian HOTS dalam pembelajaran matematika terbukti secara efektif meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa, tidak seperti penilaian HOTS dapat melatih dan mengembangkan aspek-aspek
penting dari keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, disarankan kepada guru matematika menggunakan penilaian
HOTS sebagai penilaian alternatif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, terutama dalam
pembelajaran matematika di tingkat sekolah menengah.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Muslim Abdullah, dkk
(2015) tentang analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan
soal HOTs Matematika di Malaysia didapatkan bahwa siswa
cenderung membuat hampir semua jenis kesalahan. Analisis
Kesalahan Newman, yaitu pemahaman, transformasi,
keterampilan proses, dan pengodean. Ini menunjukkan bahwa
siswa memiliki masalah dalam menafsirkan masalah
matematika, gagal menyusun strategi dan mengembangkan
rencana strategis, yang pada akhirnya menyebabkan kesalahan
dalam memilih operasi yang terlibat dan gagal menyatakan
jawabannya.
11. Tambunan&Naibaho
(2019) menyatakan
bahwa kinerja guru
matematika
membangun indikator
pemahaman konsep,
komunikasi
matematika, kreativitas,
pemecahan masalah,
dan penalaran adalah
kategori yang cukup. Ini
akan berdampak pada
kemampuan siswa
untuk memecahkan
masalah matematika
dengan pemikiran
tingkat tinggi (HOTS).
Nagnedrarao (2017)
menyatakan bahwa guru
Matematika harus terus-
menerus diberi pelatihan
tentang HOT yang
diselenggarakan oleh
kementerian, selain itu uru
harus menggunakan lebih
banyak sumber referensi.
Praktik mengajar mereka
dengan pemanfaatan buku
teks di kelas matematika
tidak dilakukan dengan
cara efektif yang akan
memfasilitasi HOTs di
kalangan siswa. Hal ini
mempengaruhi
keberhasilan hasil HOTs
dalam pendidikan
matematika.