Presentasi Kista Odontogenik dan Tumor Odontogenik - Willi Fragcana PutraWilli Fragcana Putra
Kista Odontogenik: Kista yang dinding epitelnya berasaldari sisa-sisa organ pembentukan gigi(odontogenik) yang mampu berproliferasi dan potensial menjadi tumor.
Tumor Odontogenik adalah tumor yang terbentuk dari jaringan gigi.
Secara klinis, tumor odontogenik umumnya asimptomatik, adanya pembesaran pada rahang, pergerakan gigi, resorbsi akar dan resorbsi tulang.
Presentasi Kista Odontogenik dan Tumor Odontogenik - Willi Fragcana PutraWilli Fragcana Putra
Kista Odontogenik: Kista yang dinding epitelnya berasaldari sisa-sisa organ pembentukan gigi(odontogenik) yang mampu berproliferasi dan potensial menjadi tumor.
Tumor Odontogenik adalah tumor yang terbentuk dari jaringan gigi.
Secara klinis, tumor odontogenik umumnya asimptomatik, adanya pembesaran pada rahang, pergerakan gigi, resorbsi akar dan resorbsi tulang.
contoh judul karya tulis ilmiah di bidang kedokteran gigi yang terdiri dari berbagai contoh judul PKM (program kreativitas mahasiswa) dan literatur review
contoh judul karya tulis ilmiah di bidang kedokteran gigi yang terdiri dari berbagai contoh judul PKM (program kreativitas mahasiswa) dan literatur review
Materi Negosiasi ini merupakan ringkasan dari beberapa bab yang terdapat di buku "Conflict Management A Practical Guide" (Condlife, 1991) & "Managing Conflict in A Negotiated World (Kellet & Dalton, 2001). Materi ini merupakan salah satu tugas dari kuliah saya di Program Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto STotoSiswantoro
Anamnesis memegang peranan yang sangat menetukan dalam menegakan diagnosis suatu kelainan/penyakit disamping pemeriksaan fisik sendiri. Kuliah pengantar ini akan membekali mahasiswa bagaimana melakukan anamnesis yang baik, langkah demi langkah.
1. SOAL KASUS 4 TUTORIAL BHBP 7
Seorang dokter gigi dipanggil dari pihak reskrim polwitabes setempat. Setelah
tiba dilokasi petugas kepolisian meminta bantuan untuk mengidentifikasi korban yang
telah dievakuasi ke ruang bareskrim dengan menggunakan kantong jenazah, setelah
kantong jenazah dibuka terlihatlah beberapa bagian potongan tubuh, dibagian potongan
tubuh tersebut maka terdapat beberapa luka memar dengan bentuk atau pola yang
teratur, didalam kantong tersebut juga ditemukan beberapa tulang dan beberapa gigi
bahkan tambalan dari potongan tubuh tersebut terlihat beberapa sobekan ada kulit
dan otot yang menunjukan karakteristik tertentu, apa yang harus dilakukan dokter gigi
tersebut.
Instruksi :
Apa yang menjadi permasalahan pada kasus ini ?
Berikan hipotesis dari permasalahan ini !
Apakah topik utama dalam permasalahan ini ?
1
2. TINJAUAN PUSTAKA
I. PRINSIP PROSES IDENTIFIKASI
Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik
hidup ataupun mati / meninggal, yang dilakukan melalui pembandingan data-data
antemortem dan postmortem. Adapun prinsip-prinsip umum dalam proses identifikasi
adalah sebagai berikut.
1. Pada identifikasi, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin
metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut
dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.
II. METODE IDENTIFIKASI
Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode
pemeriksaan perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling
melengkapi. Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan
beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi, yaitu :
1. Visual
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual,
misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian
tubuh tersebut masih utuh.
2. Perhiasan
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb
dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai
yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, dan
lain sebagainya.
2
3. 3. Pakaian
Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk
menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label
tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat
mempersempit kemungkinan tersangka.
4. Dokumen
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa
dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan
tidak palsu.
5. Identifikasi secara medis
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum
dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah
dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna
kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu
atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto
ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi,
tehnik rekonstruksi wajah, dsb.
6. Odontologi forensik
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat
perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi forensik
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein
serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas
dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit
serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA). Pada saat ini dengan
3
4. berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena
bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini
memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah
hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik jari
Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga
pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-
namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai), maka jika (n-1)
individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan
(per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
III. PEMERIKSAAN LUAR
Adapun sistematika pemeriksaan luar adalah sebagai berikut.
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada jempol kaki
mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna,
bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi
di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/kotoran) dari
penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta serta kondisi (ada tidaknya bercak/ kotoran)
dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai bawah,
dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan
corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila
ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
4
5. 5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran
nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi, berupa :
a. Lebam mayat : letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
b. Kaku mayat : distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya spasme
kadaverik.
c. Suhu tubuh mayat : memakai termometer rektal dan dicatat juga suhu ruangan pada saat
tersebut.
d. Pembusukan.
e. Lain-lain : misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit,
status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding
perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi
rajah/tattoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali, dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan.
Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang
melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan
fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat
ukuran pupil, badingkan kanan dan kiri.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap,
termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan
sebagainya.
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang
ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput dara
dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang
pelepasan.
5
6. 15. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis,
edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.
16. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap:
a. Letak luka: regio anatomis dan koordinat terhadap garis/titik anatomis terdekat.
b. Jenis luka: luka lecet, memar, atau terbuka.
c. Bentuk luka: termasuk bentuk luka terbuka setelah dirapatkan.
d. Arah luka: melintang, membujur, atau miring.
e. Tepi luka: rata atau tidak beraturan.
f. Sudut luka: runcing, membulat, atau bentuk lain.
g. Dasar luka: jaringan bawah kulit, otot, tulang, atau rongga badan.
h. Sekitar luka: pengotoran atau luka/tanda kekerasan lain di sekitarnya.
i. Ukuran luka: untuk luka terbukajuga diukur setelah dirapatkan.
j. Saluran luka: penentuan in situ mengenai perjalanan serta panjang luka baru dapat
ditentukan pada saat pembedahan mayat.
k. Lain-lain: misalnya pada luka lecet jenis serut diperiksa pola penumpukan kulit ari untuk
menentukan arah kekerasannya, pada memar dicatat warnanya.
17. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya
IV. TANDA GIGITAN (BITEMARK)
Definisi
Bitemark didefinisikan sebagai cetakan pola sebagai hasil kontak suatu objek atau gigi-
geligi (gigitan) pada kulit.
Objek Pemeriksaan
Sebagai objek pemeriksaan dalam suatu penyelidikan secara garis besar dapat ditentukan
antara lain:
1. Korban hidup
2. Korban mati
3. Manusia sebagai pelaku
4. Benda-benda mati yang terdapat di sekitar tempat kejadian perkara yaitu:
a. Bekas pola gigitan pada tubuh mayat.
6
7. b. Air liur di sekitar bekas pola gigitan dan bekas gigitan makanan tertentu.
c. Bercak-bercak darah korban.
d. Bercak-bercak darah pelaku.
5. Benda mati yang secara fisik dianggap sebagai barang bukti, antara lain:
a. Gigi palsu lepasan sebagian/ partial denture
b. Gigi palsu penuh/ full denture
c. Mahkota dan jembatan/ crown and bridge
6. Semua jaringan rongga mulut yaitu pipi bagian dalam dan bibir yang lepas yang terdapat
di tempat kejadian perkara.
Objek-objek tersebut dicatat ke dalam formulir pemeriksaan awal karena terdapat
pemeriksaan lanjutan baik untuk kepentingan rekonstruksi dan baik pula untuk
kepentingan laboratoris khususnya dalam penentuan golongan darah dan DNA baik
korban maupun pelaku yang nantinya dicatat pula ke dalam suatu formulir pemeriksaan
laboratoris yang berguna untuk kelengkapan penyidikan yang kesemuanya itu disebut
sebagai oral and dental identification record.
Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan.
Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan antara lain:
1. Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis dan
morfologis mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi.
2. Gigi-geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik atau
ganggren, meskipun dikubur, umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang telah
hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).
3. Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena menurut SIMS dan Furnes bahwa gigi
manusia kemungkinan sama adalah satu dibanding dua milyar.
4. Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau berubah
maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
mempunyai ciri yang berbeda.
5. Gigi-geligi tahan asam keras.
7
8. 6. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 oC gigi tidak akan
hancur. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649oC. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di atas 871oC,
sedangkan bila gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas maka bila
terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-1093oC.
7. Gigi-geligi dan tulang rahang pada rontgenogramnya dapat dilihat kadang-kadang
terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas.
8. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakia gigi palsu dengan
berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi.
9. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana lain atau organ
tubuh lain tidak ditemukan.
A. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku
Menurut William Eckert (1992), pola gigitan adalah bekas gigitan dari pelaku
yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di
bawah kulit sebagai pola akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui
kulit korban.
Menurut Bowers dan Bell (1955) mengatakan bahwa pola gigitan merupakan
suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi
antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi
manusia maupun hewan.
8
9. Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa pola gigitan yang ditimbulkan oleh
hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi
serta bentuk rahangnya.
Menurut Curran et al (1680) mengatakan bahwa pola gigitan pada hewan buas
yang dominan membuat perlukaan adalah gigi kaninus atau taring yang berbentuk
kerucut.
Menurut Levine (1976) mengatakan bahwa pola gigitan baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan
dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu
misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun yang sudah meninggal.
Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952 mengatakan bahwa
yang paling sering terdapat pola gigitan pada buah-buahan yaitu buah apel,pear dan
bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.
Sedangkan menurut Lukman (2003) mengatakan bahwa pola gigitan mempunyai
suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola
gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang
masing-masing individu sangat berbeda.
9
10. B. Klasifikasi pola gigitan
Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada
pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
1. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.
2. Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp
bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat pola
gigitannya masih sedikit.
3. Kelas III : pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu permukaan
gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih
parah dari pola gigitan kelas II.
4. Kelas IV : pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang
sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola gigitan irreguler.
5. Kelas V : pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisive, kaninus
dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari rahang
atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan
kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.
10
11. C. Berbagai jenis pola gigitan pada manusia.
Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ tubuh
mana yang terkena. Adapun beberapa pola gigitan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pola gigitan heteroseksual.
Pola gigitan pada pelaku-pelaku hubungan intim antar lawan jenis dengan perkataan lain
hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat penyimpangan yang sifatnya sedikit
melakukan penyiksaan yang menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau
menimbulkan rasa sakit.
a. Pola gigitan dengan keterlibatan lidah dan bibir.
Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan birahi antara pria dan wanita.
b. Pola gigitan pada organ genital
11
12. c. Pola gigitan pada sekitar organ genital
d. Pola gigitan pada mammae.
D. Pola gigitan pada kasus penyiksaan anak / child abuse
Pola gigitan ini dapat terjadi pada seluruh lokasi atau di sekeliling tubuh anak-
anak. Hal ini disebabkan oleh suatu aplikasi dari pelampiasan gangguan psikis pelaku.
Lokasi pola gigitan pada bagian tubuh tertentu yaitu daerah punggung, bahu atas, leher.
E. Pola gigitan hewan
Pola gigitan hewan umumnya terjadi sebagai akibat dari penyerangan hewan
kepada korban. Kejadian tersebut dapat terjadi tanpa instruksi dari pemeliharanya atau
dengan instruksi dari pemeliharanya. Beberapa hewan yang menyerang korban karena
12
13. instruksi dari pemeliharanya biasanya berjenis herder atau doberman yang memang
secara khusus dipelihara pawang anjing di jajaran kepolisian untuk menangkap pelaku
atau tersangka. Pola gigitan hewan juga disebabkan sebagai mekanisme pertahanan diri
maupun sebagai pola penyerangan terhadap mangsanya.
a. Pola gigitan anjing biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah pawangnya atau
induk semangnya. Misalnya dijajaran kepolisian, untuk mengejar tersangka atau pelaku.
b. Pola gigitan hewan pesisir pantai.
Pola gigitan ini terjadi apabila korban meninggal di tepi pantai atau korban meninggal
dibuang di pesisir pantai, sehingga dalam beberapa hari atau beberapa minggu korban
tersebut digerogoti oleh hewan-hewan laut antara lain kerang, tiram.
c. Pola gigitan hewan peliharaan, misalnya gigitan anjing atau kucing.
Identifikasi pelaku dapat dibuat dengan pertolongan odontologis forensik. Foto
serial, dimulai sejak luka teridentifikasi, harus diambil dalam waktu 24 jam dalam ukuran
milimeter. Golongan darah pelaku dapat ditentukan dari pemeriksaan saliva washing
yang diambil dari kulit bekas gigitan. Pada daerah tersebut terdapat sekitar 0,3 ml saliva
dan sulit mendapatkan jumlah yang cukup dengan menggunakan swab.
Bekas gigitan yang dapat menimbulkan luka, yaitu:
1) Kejahatan seksual seperti pemerkosaan.
2) Kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan anak (oleh orang tua).
3) Kasus kriminal lain, dimana korban menyerang pelaku untuk melindungi dirinya dengan
cara menggigit.
4) Modus kriminal lainnya.
Tipe-tipe gigitan ada beberapa macam,yaitu:
1) Haemorage = titik perdarahan kecil.
2) Abrasi = tidak ada bekas kerusakan kulit.
3) Luka memar = pembuluh darah putus, memar, biru, lebam.
4) Luka laserasi = tertusuk/sobek pada kulit.
13
14. 5) Pengirisan = tusukan yang rapi pada kulit.
6) Avulsi = kulit terlepas.
7) Artifact = digigit hingga bagian tubuh menjadi terpotong.
1 2 3
4 5 6
7
Gambar. Tipe-tipe gigitan
14
15. Kuatnya suatu gigitan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1) Clearly Defined = Tekanan tergambar pada kulit.
2) Obviously Defined = Tekanan gigitan tingkat satu (terdapat lekukan jelas pada kulit).
3) Quite Noticeable = tekanan penuh kekerasan (terjadi luka).
4) Lacerated = kulit ditekan dengan kasar sehingga rusak dari tubuh.
1 2
3 4
15
16. Identifikasi Bitemark
Bitemark merupakan pola yang dibuat oleh gigi pada kulit, makanan atau substrat
yang lembut tetapi dapat tertekan. Kebanyakan bitemark pada bagian forensik adalah
kontak antara gigi manusia dengan kulit dan analisis memperlihatkan keunikan gigi yang
tercatat secara akurat pada kulit. Perempuan lebih sering digigit dibandingkan pada pria,
dengan kebanyakan gigitan terjadi pada payudara (33%) dan lengan (19%).
Terdapat beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melindungi
informasi dental forensik yaitu dengan melihat luka tersebut sebagai bitemark yang
potensial; melakukan fotografi, membuat cetakan, dan dapat juga dilakukan eksisi serta
mengawetkan bitemark tersebut. Kejelasan dan bentuk dari bitemark dapat berubah
dalam waktu yang sangat singkat baik pada korban yang masih hidup maupun korban
mati. Fotografi dapat dilakukan untuk mendokumentasikan bitemark karena fotografi
menghasilkan informasi yang dapat dipercaya, tetapi fotografi memiliki kekurangan
karena menggambarkan objek tiga dimensi dalam film dua dimensi.
American Board of Forensik Odontology (ABFO) merekomendasikan untuk
membuat cetakan pada daerah yang tergigit; bahan cetakan yang digunakan harus
memenuhi spesifikasiADA dan harus dipersiapkan berdasarkan instruksi pabrik. Bahan
cetak yang biasa digunakan adalah hidrokoloid dan light-body vinyl polysiloxane (VPS).
Polieter, dilaporkan memiliki keakuratan yang sangat baik, stabilitas jangka panjangnya
baik, good elastic recovery, dan resisten terhadap basah. Hydrophilicity yang baik
menjamin hasil cetakannya memiliki detail reproduksi yang baik pada permukaan basah,
termasuk daerah yang sulit diakses.
Prosedur identifikasi:
1. Kumpulkan bukti
Misalkan terdapat 20 buah bitemark dan kemudian difoto dengan satu orang operator
dengan menggunakan kamera digital (coolpix 2100 nikon) menggunakan skala ABFO
No.2 dengan resolusi 300 dpi.
2. Pilih bahan cetak yang akan digunakan
16
17. Bahan cetak yang digunakan biasanya polieter denngan konsistensi light-bodied dan
heavy-bodied. Hanya satu cetakan dari bitemark yang diambil, untuk mencegah
manipulasi, distorsi atau kehilangan barang bukti. Prosedur ini dilakukan untuk
mempertahankan bekas gigitan karena bitemark memiliki kecenderungan untuk
menghilang secara alami dikarenakan oleh regenerasi jaringan (pada korban yang masih
hidup) atau membusuk (pada korban meninggal).
Teknik monophase dilakukan berdasarkan rekomendasi pabrik dan sendok cetaknya
dapat bertahan dalam air panas (60°C) dengan lilin pink extra-hard. Dikarenakan ini
adalah desain eksperimental, tidak dilakukan apusan DNA.
3. Cetak rahang pelaku yang dicurigai
Buat model studi rahang pelaku yang dicurigai dengan menggunakan gips stone kuning
tipe IV. Kemudian cetakan discan dengan menggunakan flatbed scanner dengan skala
yang sama pada tiap rahangnya.
Model cetak pertama (dental stone) : digunakan gips stone kuning tipe IV karena sifat
fisiknya yang baik, seperti kemampuan untuk ekspansinya yang rendah, kekuatan
kompresinya meningkat dari 55 menjadi 117 MPa hanya dalam 48 jam. Sifat inilah yang
menjamin stabilitas dimensional dan daya tahannya. Rahang pelaku dicetak dua kali,
cetakan yang pertama digunakan sebagai examination cast sedangkan setakan kedua
sebagai untouched cast, yang diletakkan di daerah yang aman). Pemeriksaan model
cetakan ini dengan menggunakan skala ABFO No.2.
Model cetak kedua (model polyether) : cetakan positif dicampur dengan polieter yang
berkonsistensi light-bodied dengan menggunakan kuas cat dan digetarkan sedikit untuk
memastikan bergeraknya aliran polieter.
4. Membandingkan bitemark
Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan bitemark, yaitu :
a. Metode digital
Fotografi digital pada bitemark kulit dan gambar dari model cetakan yang pertama dan
kedua discan dan kemudian dibandingkan dengan menggunakan Adobe Photoshop 8.0
software dengan metode superimpose. Kemudian setelah dibandingkan, didapatkan
17
18. kesimpulan apakah kedua cetakannya extreme-degree match, high-degree match,
probable-degree match, poor-degree match, dan dissimilar-degree match.
b. Metode manual
Model cetakannya diposisikan pada bitemark yang telah dicetak dengan gips maupun
polieter. Prosedur ini dilakukan untuk meminimalisasi pola penyimpangan pada kulit.
Tekanan dengan jari dilakukan pada model polieter pada sisi lawan dari bitemark,
sehingga melemahkan daerah yang luas. Pencocokan harus dapat dilakukan dengan
mudah dan sebaiknya tidak ditekan (faktor akurasi).
Metode lain untuk menganalisis bitemark
Terdapat banyak metode tambahan untuk menganalisis bitemark. Salah satu
metodenya adalah penemuan bakteri DNA. Penemuan DNA tidak selalu terjamin.
Adanya nucleic acid-degrading enzyme dalam saliva dapat dengan cepat merusak DNA,
terutama jika hal ini terjadi pada korban yang masih hidup. Kita bias menggunakan
teknik Sweet’s double swab, teknik ini mengumpulkan DNA dalam sel epitel oral sebagai
hasil rehidrasi, dibandingkan dengan hanya berdasarkan DNA pada saliva saja. Mulut
manusia memiliki lebih dari 500 spesies bakteri, dan setiap individu memiliku kombinasi
yang sangat berbeda, tergantung pada, sebagai contoh, status kesehatan mulut, status gigi
geligi, dan adanya atau tidak adanya protesa.
Teknik fotografi dapat digunakan untuk menganalisis, menyesuaikan, dan
mengabadikan gambar gigi.. Dan teknik ini cukup akurat dengan menggunakan bantuan
computer. Metode ini membandingkan langsung antara cetakan studi pelaku dengan
fotografi teraan gigitan, dan membandingkantes gigitan yang dilakukan pelaku dengan
teraan gigitan yang sebenarnya.
Menurut Nandy, data-data yang penting untuk didapatkan pada proses identifikasi
korban adalah: ras, etnis, kebangsaan, agama, jenis kelamin, perawakan, warna kulit
muka, corak kulit, rupa, rambut, mata, kelainan kongenital, tanda lahir, tahi lalat, bekas
luka, tato, cacat, penyakit lain, gigi, pengukuran antropometri, (tinggi dan lebar badan,
ukuran lingkar kepala), sidik jari, pakaian dan ornamen lain yang dipakai korban
18
19. (Nandy, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan berbagai kasus yang
memerlukan bantuan Kedokteran Forensik. Tidak jarang juga ditemukan kasuskasus
dimana hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk diidentifikasi. Pada proses
identifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, dan jenis kelamin korban merupakan hal
yang penting. Dalam kasus seperti hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk
diidentifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, etnis dan jenis kelamin dapat diketahui salah
satunya melalui perhitungan sefaliks indeks (Nandy, 2001).
V. ANTROPOLOGI FORENSIK
Antropologi merupakan bidang studi sains tentang asal usul, prilaku, fisik, sosial
dan pengembangan lingkungan manusia. Antropologi forensik merupakan bidang ilmu
untuk physical anthropologists yang mengaplikasikan ilmunya dalam bidang biologi,
sains, dan budaya dalam proses hukum.
Antropologi forensik merupakan aplikasi dari ilmu fisik atau biologi antropologi
dalam proses hukum. Merupakan pemeriksaan pada sisa – sisa rangka untuk membantu
menentukan identitas dari jasad. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai langkah
pertama untuk menentukan apakah sisa-sisa tersebut berasal dari manusia dan selanjutnya
19
20. dapat menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.
Pemeriksaan dapat juga memperkirakan waktu kematian, penyebab kematian dan riwayat
penyakit dahulu atau luka yang saat hidup menimbulkan jejas pada struktur tulang.
Identifikasi dalam forensik berdasarkan antropologi sering disebut dengan
antropometri forensik. Antropometri berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti
pengukuran manusia. Dalam antropologi fisik, antropometri berperan penting dalam
perancangan industri, perancangan pakaian, ergonomis, bahkan artsitektur. Dalam
bidang-bidang tersebut, data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dari suatu
poopulasi diperlukan untuk menghasilkan produk yang optimal. Perubahan dalam gaya
kehidupan sehari-hari, nutrisi, dan komposisi etnis dari masyarakat dapat membuat
perubahan dalam distribusi ukuran tubuh, dan membuat perlunya penyesuaian berkala
dari koleksi data antropometrik.
Dalam odontologi forensik sendiri, identifikasi korban dapat diklasifikasi ke
dalam beberapa bagian, sebagai berikut.
A. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui antropometri kraniofasial
Kranium atau tengkorak kepala manusia merupakan tulang yang berguna untuk
menentukan jenis kelamin korban. Seperti yang akan dijabarkan lebih lanjut, diketahui
bahwa dagu pada pria cenderung lebih bersegi (kotak) dan lebih lancip pada wanita. Dahi
pada pria cenderung lebih landai, sedangkan pada wanita dahinya lebih lurus. Pria
memiliki lengkungan alis yang lebih tinggi dibanding wanita.
20
21. Pengukuran pembanding kraniofasial untuk identifikasi ras belum ditetapkan
syarat-syarat mutlaknya, karena walaupun klasifikasi ras memiliki komponen biologis
yang sama, namun tetap didasari adanya hubungan sosial dan lingkungan. Walaupun
demikian, beberapa rincian anatomis, terutama di wajah sering menunjukkan ras
individual. Pada ras kulit putih, biasanya terdapat wajah yang menyempit dengan hidung
yang agak meninggi serta dagu yang lebih menonjol. Pada ras kulit hitam / negroid,
biasanya hidug lebih lebar dengan subnasal yang berlekuk. Kaum Kaukasian (Amerika
Indian) dan Asia memiliki bentuk tulang pipi yang menonjol disertai tekstur gigi yang
khas.
B. Identifikasi jenis kelamin korban berdasarkan gigi-geligi
Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson
mencatat bahwa pada 75% kasus, mesiodistal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7
21
22. mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini masih terus dikembangkan penelitian
tentang pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin. Selain
berdasarkan gigi geligi, ukuran dan tipe rahang pria dan wanita mempunyai banyak
perbedaan yang spesifik.
Menurut Cotton (1982), identifikasi gigi-geligi pria dan wanita dapat
didefinisikan sebagai berikut.
Gigi Geligi Wanita Pria
Outline gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar
Lapisan email dan dentin Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal
Bentuk lengkung gigi Cenderung oval Tapered
Ukuran cervico incisal dan Lebih kecil Lebih besar
mesio distal gigi caninus
bawah
Outline incisivus pertama atas Lebih bulat Lebih persegi
Ukuran lengkung gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar
Identifikasi perbedaan ukuran, bentuk dan tipe tulang rahang adalah sebagai
berikut.
Perbedaan Wanita Pria
Lengkung rahang atas Lebih sempit, bentuk Lebih lebar
seperti huruf “V” (lateral), bentuk
seperti huruf “U”
Lengkung rahang bawah Relatif lebih sempit Relatif lebih lebar
Sudut gonion Lebih besar Lebih kecil
Tinggi dan lebar ramus Lebih kecil Lebih besar
ascendens
Jarak inter-processus Lebih kecil/lebih Lebih besar/lebih
koronoid pendek panjang
Tinggi tulang processus Lebih pendek Lebih tinggi
koronoid
22
23. Tulang menton >< Lebih tebal dan
lebih ke anterior.
Pars basalis mandibula Jarak lebih pendek Jarak lebih panjang
(secara horizontal)
C. Penentuan usia dari gigi-geligi.
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi
melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik daripada
pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua
diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 – 16 minggu dan
berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis
yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini
akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan
sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan
teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line.
Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar
pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan
umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan
perkembangan gigi.
23
24. Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar
tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi
dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti
ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.
24
25. Menurut Gusstafson (1996), identifikasi umur dari gigi tetap terdapat enam
criteria yang disebut “six changes of the physiological age – process in teeth”, yaitu :
1. Derajat atrisi / Degrees of attrition
Umur menentukan derajat keparahan dari atrisi pada permukaan kunyah gigi baik
incisal maupun oclusal sesuai dengan penggunaannya. Makin lanjut usia maka derajat
atrisi makin parah.
2. Perubahan perlekatan gingiva / Alteration in the level of the gingival attatchment
Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari perlekatan epitel ditandai
dengan dalamnya sulkus gingiva yang melebihi 2 mm sesuai dengan pertambahan usia,
sehingga terkesan bahwa seakan-akan mahkota gigi lebih panjang.
3. Formasi dentin sekunder (fisiologis) / The amount of secondary dentine
Dentin sekunder biasanya terbentuk di atas atap pulpa sehingga makin lanjut usia
pulpa seakan-akan terlihat menyempit serta email terlihat seakan-akan semakin
radiolusen secara roentgenografis/radiolografis. Hal ini disebabkan karena pembentukan
dentin sekunder tersebut.
4. Ketebalan sementum di periapikal / The thickness of cementum around the root
Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah ketebalan jaringan sementum
pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena pelekatan serat-serat periodontal dengan
aposisi yang terus-menerus dari gigi tersebut selama hidup.
5. Translusensi akar / Translucency of the root
Pertambahan usia menyebabkan terjadinya proses kristalisasi dari bahan-bahan
mineral akar gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar
gigi kearah servikal menjadi translusen. Translusensi dentin ini dimulai sekitar dekade
ketiga usia pertumbuhan.
6. Resorpsi akar (pada periapikal) / Root resorption
Menurut Gusstaffon (1950) resorpsi akar gigi tetap akibat tekanan fisiologis
seiring dengan pertambahan usia. Usia yang semakin bertambah menyebabkan membran
periodontal pada periapikal terlihat menebal (pada foto radiografis).
25
26. D. Penentuan Ras dari Gigi-Geligi
Identifikasi ras dapat dilakukan dengan melihat anatomi cingulum gigi incisivus
dan jarak mesiodistal dengan buccopalatal atau buccolingual gigi premolar serta anatomi
fisur, jumlah pit, ada atau tidaknya tuberculum carabeli, dan jumlah gigi molar.
Ras Mongoloid
Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut:
1. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop
pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid
memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas.
2. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah
pada 1-4% ras mongoloid.
3. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid.
4. Lengkungan palatum berbentuk elips.
5. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.
26
27. Ras Kaukasoid
Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut:
1. Cusp carabelli pada gigi molar pertama biasanya selalu ada.
2. Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua mandibula.
3. Maloklusi gigi anterior.
4. Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola.
5. Dagu menonjol.
Ras Negroid
27
28. Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut:
1. Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan.
2. Sering terdapat open bite.
3. Palatum berbentuk lebar.
4. Protrusi bimaksila.
E. Identifikasi Korban Melalui Restorasi dan Protesa yang Digunakan
Restorasi dan protesa yang digunakan setiap orang bersifat individual dimana
tidak sama satu dengan yang lainnya dan memiliki ciri-ciri khusus yang tergantung pada
pemakainya. Restorasi dan protesa yang ditemukan pada korban harus dicatat secara
teliti. Jika ditemukan adanya restorasi, harus dicatat jenis restorasi yang dipakai, pada
gigi apa, permukaan yang terkena, dan luasnya restorasi. Pada protesa harus diperhatikan
gigi sandarannya, jumlah dan bentuk pontik, serta desain protesa.
Beberapa ciri individu konstruksi dari protesa diketahui melalui :
• Bentuk daerah relief di bagian langit-langit
• Bentuk dan kedalaman “post-dam”
• Disain sayap labial
• Penutupan daerah retromolar
• Warna akrilik
• Bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial
• Bentuk dan ukuran lingir alveolar
28
29. DAFTAR PUSTAKA
Lukman, Djohansyah. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid II. 2006. Jakarta : CV.
Sagung Seto.
http://www.scribd.com/doc/54671022/3/IDENTIFIKASI-FORENSIK
http://wiki.blogbeken.com/teknik-autopsi-forensik
http://www.freewebs.com/traumatologie2/traumatologi.htm
http://sulaifi.wordpress.com/2010/01/15/luka-bakar-minor-dan-cara-penanganannya/
http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/260/Luka_Bakar
http://royaloakbloods.com/wp-content/uploads/2011/03/bite_mark.jpg
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTksYFBRZYXWZQ29WjUYDDDpbe3
VZBapBlpqA8XTCAli_3GfYRReqGVoLNp7w
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23226/4/Chapter%20II.pdf
http://netdetective.forumotion.net/t2388-antropologi-forensik
http://yukiicettea.blogspot.com/2009/12/peran-antropologi-forensik-dalam.html
http://www.forensicmed.co.uk/wounds/bitemarks/
http://belibis-a17.com/2008/11/23/antropologi-forensik/ (Author : Bayu Fajar
Wibowo, S.Ked. , dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.)
29