Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan peran penting Rumah Potong Hewan (RPH) dalam memastikan keamanan pangan daging. RPH merupakan titik kritis untuk mencegah kontaminasi daging dan menjaga kesehatan masyarakat dengan mengendalikan bahaya penyakit hewan dan zoonosis. Standar kebersihan dan kualitas RPH perlu dipenuhi untuk menghasilkan daging yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.
2. Pendahuluan
Sejarah dan perkembangan RPH di Indonesia dan Jambi
DEFINISI ABATTOIR
Abattoir merupakan bahasa Prancis yang disebut juga sebagai Rumah Jagal.
(bhs Inggris : Slaughter House).
Rumah jagal adalah sebuah fasilitas di mana hewan ternak dipotong dan
diproses menjadi daging, di Indonesia rumah jagal biasanya disebut dengan
Rumah Potong Hewan (RPH), Tempat Pemotongan Hewan (TPH) dan Rumah
Potong Unggas (RPU)
3. Data RPH dan TPH merupakan salah satu indikator mengenai banyaknya
pemotongan yang terjadi di suatu wilayah.
Banyaknya pemotongan juga menggambarkan tingkat konsumsi daging
masyarakat yang biasanya berbanding lurus dengan jumlah penduduk
dan tingkat pendapatan masyarakat.
Makin banyak jumlah penduduk dan makin tinggi pendapatan biasanya
disertai dengan tingginya tingkat konsumsi daging di suatu wilayah.
Direktori Perusahaan Pertanian Rumah Potong Hewan dan Tempat Pemotongan Hewan, Badan Pusat Statistik, 2015.
4. Berdasarkan data hasil Updating DPP tahun 2022, menunjukkan bahwa
jumlah RPH dan TPH di Indonesia adalah 1.644 yang tersebar di 34
provinsi.
Sekitar 36,74 persen lebih RPH/TPH/Dinas terdapat di Pulau Jawa yakni
sebanyak 604 RPH/TPH/Dinas.
Wilayah lain yang memiliki distribusi RPH/TPH/Dinas lebih dari 10 persen
adalah Sumatera dengan jumlah 343 (20,86 persen), Sulawesi 259 (15,75
persen), serta Bali dan Nusa Tenggara 171 (10,40 persen). Sisanya berada
di Kalimantan sebanyak 162 (9,85 persen), serta Maluku dan Papua
sebanyak 105 RPH/TPH/Dinas (6,39 persen).
Provinsi Jawa Timur merupakan daerah yang mempunyai jumlah
RPH/TPH/Dinas terbanyak yaitu sebesar 234 RPH/TPH/Dinas atau 14,23
persen dari seluruh RPH/TPH/Dinas yang ada.
5.
6.
7. Kegiatan penyembelihan yang dilakukan di Indonesia selalu
dimulai dengan doa dan ucapan syukur atas rahmat Tuhan YME.
Hewan dipotong dengan cara tertentu sehingga hewan mati
dengan secepat mungkin dan rasa sakit seminimal mungkin.
UU yang berlaku di inggris dan negara eropa lainya mengatur
bahwa penyembelihan hewan di RPH kecuali yang dipotong oleh
orang yahudi dan Islam harus didahului dengan pemingsanan.
8. Pemotongan hewan di Spanyol, Sebagian Italia dan banyak negara di Amerika
Selatan , dilakukan dengan menikam leher ternak memakai pisau pendek
bermata dua yang dikenal dengan nama puntilla.
Pelaksanaan pemotongan ternak di India dilakukan tanpa pemingsanan terlebih
dahulu.
Metode penyembelihan yang umum dipakai adalah cara HALAL atau secara
islam, leher dipotong dengan cepat. Selain itu metode Sikh atau Jarkha juga
digunakan yaitu ternak dipotong kepalanya dengan satu kali sabetan pedang.
9. Peraturan penyembelihan hewan sudah ada di masyarakat yahudi sejak tahun
500. peraturan tersebut menyatakan bahwa hewan tidak boleh terluka sebelum
dipotong.
Pukulan keras pada kepala dilarang karena akan menyebabkan luka pada selaput
otak, hal ini merupakan salah satu dari delapan kerusakan yang menyebabkan
daging menjadi tidak layak untuk dimakan. Oleh karena itu sampai saat ini
penyebelihan masih banyak dilakukan dengan tanpa didahului dengan
pemingsanan.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 23 Oktober 1976 membolehkan
pemingsanan secara mekanik dan tanggal 10 Oktober 1990 yang membolehkan
pemingsanan secara elektrik.
Tujuan pemingsanan adalah untuk memudahkan pelaksanaan pemyembelihan,
agar hewan tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar.
10. • Menurut data WHO, 70% masalah kesehatan masyarakat bersumber dari
konsumsi makanan yang tidak sehat, termasuk konsumsi daging dan produk
olahannya yang sudah tercemar.
• Rumah Potong Hewan (RPH) menjadi titik kritis pertama yang menentukan
keamanan produk daging yang dijual kemasyarakat baik melalui pasar swalayan
maupun pasar tradisional.
• Adanya kasus gangguan kesehatanyang berakhir pada kematian akibat
mengonsumsi daging yang tercemar menunjukkan bahwa tingkat keamanan
pangan di Indonesia masih sangat rendah.
• Pengendalian keamanan pangan, khususnya daging, harus dimulai sejak dini, yaitu
sejak proses pemotongan hewan.
• ada tidaknya pencemaran.
11. o Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan, jumlah mikroba dalam daging segar harus
kurang dari 1 juta. (1 x 10 6 koloni/g)
o Daging segar juga harus bebas dari E. coli, Salmonella dan Coliform .
o Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hingga saat ini daging yang dijual di
pasar swalayan danpasar tradisional masih banyak yang terkontaminasi oleh mikroba patogen.
o Untuk itu, penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) yang dikonsumsi
masyarakat menjadi upaya yang sangat penting, dimulai dari rantai pertama yang menjadi titik
kritis pencemaran, yaitu RPH.
o RPH yang memenuhi standar kualitas, jaminan kehalalan serta kehigienisan daging akan
meningkatkan efisiensi penanganan daging yang dijual produsen ke konsumen.
o Rumah Potong Hewan juga menjadi kunci penting dalam rantai produksi dan distribusi daging.
12. o RPH yang berkualitas bisa mengurangi kerugian akibat penjualan daging yang
tercemar oleh mikroba patogen dan bisa mencegah penyebaran penyakit dari hewan
ke manusia ( zoonisis ).
o Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat
dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point).
o Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan
(dihilangkan/diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH.
o RPH memengang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit
hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. Sehingga
peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat
perhatian.