Dokumen tersebut membahas tentang kendala yang dihadapi peternakan broiler akibat harga bahan pakan yang tinggi seperti jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dokumen ini menyarankan pemanfaatan limbah industri sebagai sumber bahan pakan murah dan berkualitas. Dokumen ini juga membahas potensi limbah perkebunan tebu sebagai bahan pakan ternak.
Perbedaan Kualitas Beras Sosoh dan Beras tanpa disosoh
Alvin kir
1. BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Tingginya harga bahan pakan penyusun ransum, seperti jagung, bungkil kedelai
dan tepung ikan menghambat pengembangan peternakan broiler. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut dengan jalan menggalakkan potensi yang ada
sebagai sumber bahan pakan ternak yang murah dan berkualitas, termasuk pemanfaatan
limbah industri.
Biaya pakan merupakan biaya yang harus disediakan dengan porsi lebih untuk
mengembangkan peternakan secara intensif dibandingkan dengan kebutuhan lainnya.
Semakin intensif suatu peternakan diusahakan, maka semakin kreatif juga peternak dalam
menggunakan bahan by product (hasil samping) sebagai bahan penyusun ransum.
Pemanfaatan bahan-bahan yang mudah didapat, dengan harga yang relatif lebih murah,
tetapi masih mempunyai kandungan gizi yang baik untuk produksi dan kesehatan ternak
itu sendiri adalah suatu hal yang menjadi harus untuk dilakukan peternak untuk
meningkatkan margin keuntungan yang lebih tinggi.
Usaha untuk menekan biaya makanan adalah mencari bahan makanan yang tidak
bersaing dengan manusia, harganya murah, memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, tersedia
secara kontinyu, disukai ternak serta tidak membahayakan bagi bagi ternak yang
memakannya (Sulistiowati, 1995)
Indonesia pernah memproduksi tebu terbesar ke-5 di dunia (WAHID et al., 1999)
dan secara nasional areal perkebunan tebu diperluas. Perkebunan tebu di Indonesia yang
hampir seluruhnya dikuasai perusahaan
besar pernah mengalami penurunan areal tanam sejak tahun 2000 (388.500 ha)
hingga tahun 2003 (340.300 ha), lalu diperluas kembali sampai ke luar Jawa hingga
358.000 ha pada tahun 2005 yang berhasil menaikkan produksi gula 8,17% dibandingkan
dengan tahun 2003, tetapi poduktivitas gula tahun 2005 (6,02 ton/ha) lebih rendah dari
tahun 2004 (6,28 ton/ha) (BPS, 2006). Melimpahnya limbah perkebunan tebu dan hasil
WARTAZOA Vol. 17 No. 2 Th. 200783 samping industri gula terutama pada bulan-bulan
2. Mei – Oktober, adalah bersamaan dengan musim kemarau dimana ketersediaan hijauan
pakan pada umumnya sangat terbatas. Seandainya perluasan areal pengembangan tebu
dilakukan dengan sistem yang ada seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) atau bentuk
lain dikaitkan dengan agribisnis peternakan ruminansia, maka industri perkebunan dapat
mengatasi kendala menumpuknya limbah; sebaliknya pengembangan ternak ruminansia
dapat mendasarkan usahanya pada pemanfaatan limbah tersebut sebagai pakan.
Pemanfaatan serat limbah tebu di Indonesia masih terbatas pada pucuk tebu, itupun belum
secara meluas (ZULBARDI et al., 1999). Salah satu keterbatasan dari serat limbah tebu
dan industri gula adalah kecernaannya yang rendah (YULISTIANI et al., 1999) dan daya
konsumsi oleh ternak tidak sebanyak pada rumput (MUSOFIE, 1987). MUSOFIE (1987)
melaporkan bahwa pucuk tebu hanya mampu dikonsumsi oleh sapi sebanyak kurang dari
1% dari bobot hidup (dalam hitungan bahan kering).