SlideShare a Scribd company logo
Administrasi dan Masyarakat
http://aas.sagepud.com/
Hukum dibandingkan dengan Etika: Mendamaikan Dua Konsep Etika Pelayanan Publik
J. Michael Martinez
Administrasi & Masyarakat 1998: 690
DOI: 10.1177/00959979802900609
Artikel versi online ini bisa ditemukan di:
http://aas.sagepub.com/content/29/6/690
Dipublikasikan oleh:
SAGE
http://www.sagepublications.com
pelayanan tambahan dan informasi tentang administrasi dan masyarakat bias didapatkan di:
Email: http://aas.sagepib.com/cgi/alerts
Subskripsi: http://aas.sagepib.com/subscriptions
Cetak ulang: http://aas.sagepib.com/jurnalsReprints.nav
Perizinan: http://aas.sagepib.com/journalPermissions.nav
Kutipan: http://aas.sagepib.com/contrnt/29/6/690.refs.html
mengembangkan sistemyang bisa diterapkan oleh etika pelayanan publik diakui sulit, untuk ketegangan
dasar diantara hukum (tugas publik) dan etika (tugas sendiri). Artikel ini beracuan pada penelitian
hukumetika bagaimana sebuah rumusan penelitian yang baik untuk profesi pelayanan publik yang telah
didamaikan dari ketengan ini, sampai batas tertentu, melalui penerapan dari sebuah yang ”diakui” kode
etik itu juga mempertimbangkan professional untuk melangkah dari balik sistem yang tealh ditentukan
aturan dan keterlibatannya atau etika individu yang dia rasakan dalam contoh yang tepat. Selanjutnya
artikel ini beracuan pada penelitian etika administrasi dan berpendapat bahwa bertentangan dengan
ketentuan tren sekarang yang ditunjukkan pada pengangguran, administrasi publik akan mendapatkan
manfaat dari sebuah karya yang baru dari profesi administrasi publik itu akan mengambil contoh dari
kode etik yang tidak asing untuk hukumprofesonal kode etik, sehingga memungkinkan untuk panduan
dari aturan yang diakui (tugas hukum) dan sila etika individu (tuga sendiri).
HUKUM DIBANDINGKAN DENGAN ETIKA
Mendamaikan dua konsep
Etika Pelayanan Publik
J.MICHAEL MARTINEZ
Universitas Negara Georgia
judul artikel ini adala, “ hukum dibandingkan dengan etika: mendamaikan dua konsep etika
pelayanan publik, “menyoroti ketegangan antara hukum dna etika yang telah diakui di dalam
tradisi intelektual barat sejak zaman Yunani kuno (Aristotle, 1980; 1970; Plato, 1979).
Menyambung ketengan yang relative mudah; pengembangan yag dapat dilaksanakan, konsistensi
sistem dari etika pelayanan publik saat menghadapi ketenganan tersebut, namun ini merupakan
hal yang sangat suli. Yang menjadikan usaha tersebut sulit adalah induvidu pelayanan publik itu
sendiri. (dalam konteks, ada pribadi individu seperti seorang pengacara atau administrasi publik
CATATAN PENULIS: sebelum artikel ini disajikan dalamsebuah tulisan pada Oktober 1996 pertemuan
Southeastern Conference for Public Administration (SECOPA) konversi di bagian tenggara tentang Administrasi
Publik di Miami, Florida. Penulismengucapkan terima kasih kepada Dr. William D. Richardson, Universitas
Negara Georgia, untuk bimbingannya,dan komentar serta saran, dalampenulisan jurnal in.
yang mengikutsertakan dalam sebua keahlian dan membuat kebijakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap nilai-nilai politik dan rezim tradisional). Yang telah dikembangkan selama
seumur hidup, rasa etika pribadi didasarkan pada factor particularized, termasuk pendidikan,
kebiasaaan, dan pengalaman. Sebagai contoh, seorang pegawai negeri berperan sebagai seorang
masyarakat yang dibebankan untuk menjunjung tinggi pada tingkat tertentu untuk melegitimasi
nilai-nilai demokrasi bersama rezim (namun tidak terbatas pada, kepatuhan terhadap pluralisme
politik dan keyakinan dalam keutamaan "satu orang, satu suara" sebagai contoh perwakilan)
mungkin konflik dengannya atau perasaan pribadi dari etika (Richardson, 1997). Apabila
seorang pegawai negri dan swasta terjadi konflik etika, ketenganan ini mencerminkan nilai
diantara hokum dan etika, sehingga terjadi ketegangan (bentrok) dianataa pegawai negeri dengan
swasta.
Dalam upaya mendamaikan ketegangan diantara hokum (tugas public) dan etika (tugas
pribadi) pegawai negeri yang berusaha untuk mengembangkan system etika, artikel ini akan
membahas (a) meneliti berbagai literatur tentang hokum etika yang relatif mudah ditangani oleh
pegawai negeri atas ketegangan ini, (b) menyarankan cara-cara di mana pelajaran dari profesi
hukum dapat diterapkan untuk bidang administrasi publik, dan (c) berpendapat dalam
mendukung sistem etika pelayanan publik di mana aturan legalistik perilaku adalah komponen
yang diperlukan, akan tetapi tidak cukup sistem itu saja. Begitu juga berpendapat tentang etika
seseorang saja tidak cukup. Keduanya digabungkan, akan tetapi penggabungan ini sangat
mengkhawatirkan, hal ini mungkin karena untuk pengembangan sistem etika pelayanan
masyarakat tersebut, meskipun tidak memuaskan akan tetapi sebuah perbaikan dan pendekatan
yang baik. Selain hal diatas, untuk mencapai tujuan tertentu sering sekali aturan dikodifikasi
dengan rasa etika pribadi. Artikel ini akan menyarankan cara-cara yang mana dalam administrasi
publik dapat dibuat merespon lebih seperti anggota pada profesi yang berbeda. isa dibilang
diperlukan langkah pertama dalam membangun sistem yang bisa diterapkan etika pelayanan
publik.
PERBEDAAN HUKUM DENGAN ETIKA
Jelas sekali bahwa hukum seharusnya ditetrapkan dalam rezim demokrasi, Bahkan aturan
hukum umum yang mengatur transaksi pribadi (misalnya, kontrak, gugatan, dan hukum
keluarga) yang universal hal ini dikarenakan hokum pemerintahan yang kondisinya dapat
diaplikasiakn pada setia orang yang lebih banyak atau cara belajar yang sama. Sehingga,
dibawah aturan hokum, seperti seperti kasus harus diperlakukan sama didasarkan pada sistem
yang dikenal dan diketahui peraturannya. sekarang hukum di Negara kita meliputi setidaknya
konsep dasar dari ekuitas, tergantung pada penerapan prinsip-prinsip hukum umum untuk situasi
faktual tertentu tanpa memperhatikan kekayaan orang tertentu, status sosial, atau posisi keluarga.
Klasifikasi yang dibuat hanya atas dasar alasan yang dapat diartikulasikan dan dipertahankan
terhadap tuduhan ketidakteraturan atau, dalam kasus religius, individualism (Black, 1979, pp.
484-485).
Selain fusi modem dari prinsip-prinsip hukum dan adil, hukum didefinisikan dalam tradisi
Barat seperti “yang harus dipatuhi dan diikuti oleh warga dikenakan sanksi atau konsekuensi
hokum bagi yang melanggar” (Black, 1979, p. 795). Dalam Blackstone’s (1818) Parlance,
hukum adalah hasil dari kewajiban kontraktual masyarakat untuk warga "dalam pertukaran
untuk yang setiap individu telah mengundurkan diri bagian dari kebebasan alami" (p.34).
Menyadari kekuatan hukum untuk memerintahkan warga untuk berperilaku dengan cara yang
dianggap "benar" oleh penguasa, Hobbes (1958) mendefinisikan positivis hukum seperti ” setiap
sunjek yang memiliki aturan kewarganegaran yang telah memerintahkannya, baik secara kata,
tulisan, atau tanda yang cukup dikehendak, untuk mempermudah perbedaan benar dan salah
"(emphasis omitted; p. 210). Dengan beberapa pengecualian, Locke (1947) sependapat dengan
definisi Hobbes, menambahkan bahwa hukum adalah hasil dari proses demokrasi "Dalam
majelis impowered untuk bertindak dengan hukum positif, di mana tidak ada nomor yang
ditetapkan oleh hukum positif yang memberdayakan mereka, tindakan mayoritas lolos untuk
tindakan seluruh "(hlm. 169). Dalam karya monumentalnya Mengambil Hak Serius, Ronald
Dworkin (1978) mendefinisikan pandangan positivis dominan hukum di rezim demokrasi
modern sebagai aturan khusus ditegakkan melalui penggunaan kekuasaan publik, yang berbeda
dari aturan yang menentukan interaksi sosial dapat diterima, yaitu , aturan moral yang komunitas
berikut tapi tidak menegakkan melalui penggunaan kekuasaan publik (p. 17).
Dworkin (1978) perbedaan antara aturan hukum dan sosial (atau moral) menyoroti
kesulitan dalam mendamaikan hukum dan etika. Di bawah rasa ketat positivis aturan hukum,
kekuasaan publik umumnya tidak digunakan untuk sanksi penyimpangan yang bersifat murni
moral atau pribadi. Bagaimana bisa sebaliknya? Jika pegawai negeri bertindak semata-mata pada
sering tidak jelas, mungkin inarticulable, ajaran etika pribadi mereka sendiri, masyarakat akan
kehilangan keutamaan yang besar dari aturan hukum positivis, yaitu, mereka yang didefinisikan
dengan, explicated karakteristik. Selain itu, etika penyimpangan pribadi oleh pegawai negeri
akan sulit atau tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau, dalam hal ini, memperbaiki.
Tersirat dalam (1978) definisi Dworkin adalah gagasan etika sebagai melibatkan
kekhawatiran swasta murni, karena standar etika adalah kode tertentu individu dari perilaku
terpisah dari aturan menegakkan-bisa masyarakat etik universal. (Dalam arti modem nya,
bercerai dari pemahaman Aristoteles tentang etika sebagai kebajikan, etika istilah yang sering
mengacu moralitas individu, apa yang Martin Berlian [1992] disebut "'Engkau harus berpunya'
... puritan atau Victoria 'tidak-tidak itu'" [p. 296]. Istilah etika dan moral sering digunakan secara
bergantian, meskipun "Modem penggunaan mungkin membedakan kedua di yang 'etika' telah
menjadi terkait dengan kedua penyelidikan filosofis dan profesional standar, sementara moral
terus memegang konotasi 'aturan hak perilaku'" [Denhardt, 1988, p. 31]. Namun istilah etika dan
moral mungkin dibedakan secara teknis, istilah yang sering digunakan secara sinonim atau
dalam hubungannya dengan satu sama lain.)
Adapun perbedaan antara hukum dan etika / moral, Mark Lilia (1981) mengamati bahwa
sistem etika bukan merupakan pembenaran abstrak untuk tindakan atau serangkaian proposisi
yang dapat diterapkan dengan presisi hukum untuk situasi fakta yang muncul. Sebuah sistem
etika, etos, adalah sesuatu yang hidup dan dipraktekkan. rasa individu etika adalah "antropologi
... cara kebajikan pembelajaran yang teruji dan halus kompleks," dikembangkan melalui asosiasi
seumur hidup dengan keluarga, gereja, teman sebaya, dan sekolah (14 p.)
Dengan demikian, perbedaan dengan jelas yang berlaku umum karakter-sifat-positivis atau
hukum surat hitam yang dirancang untuk menutupi situasi faktual analog, sistem etika
membayangkan dilema tertentu pada konteks tertentu yang dihadapi individu yang harus
merespon sebagian didasarkan pada kebajikan dan kebiasaan. Salah satu komentator lebih
menyoroti perbedaan antara hukum dan etika:
Menimbang bahwa keputusan moral yang keputusan berdasarkan nilai-yang isi-dan
konteks-spesifik, keputusan hukum yang sebaliknya: keputusan prosedur berbasis yang
tergantung pada preseden sejarah. Umumnya, hukum adalah dilahirkan sebagai respon
terhadap aneh (atipikal) perilaku yang melebihi batas-batas penerimaan sosial, bahkan di
mana mereka batas mungkin tidak mewakili masyarakat secara keseluruhan. Dengan
demikian, pengecualian tertentu menimbulkan aturan umum, yang kemudian memberikan
dasar untuk melawan pengecualian sebanding. Proses kodifikasi dan standarisasi berfungsi
untuk mendefinisikan situasi yang moralis akan melihat sebagai unik menurut beberapa
struktur generik. Efek utamanya adalah untuk mengurangi lingkungan uncer-
ketidakmenentuan, untuk mempersempit gauge penafsiran, dengan pembatasan jumlah
situasi yang unik mungkin. (Foster, 1981, hal. 31)
Karena kurangnya presisi hukum dan tidak adanya "proses kodifikasi dan standarisasi" di
semua bidang pelayanan publik serta fitur mungkin tidak rasional etika, timbul pertanyaan:
Dapatkah ketegangan antara hukum dan etika diselesaikan, mungkin dengan meminta pemimpin
yang diakui digunakan dalam pelayanan publik untuk mengartikulasikan konsep yang
disepakati-on etika pribadi dan, setelah itu, mengkodifikasikan daftar resultan sehingga semua
pegawai negeri akan memiliki panduan yang digunakan untuk menilai tindakan mereka? Hal ini
menyebabkan pertanyaan kedua: Jika diinginkan, bagaimana sistem ini dikodifikasikan aturan
dilaksanakan sejak administrator publik, tidak seperti profes¬sion hukum, bukan anggota profesi
yang jelas diatur oleh sebuah organisasi kerja atau lisensi yang latihan a gatekeeping func¬tion
dan perintah kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi?
Jawaban untuk pertanyaan pertama yang disarankan di sini adalah bahwa kodifikasi seperti
aturan yang diinginkan. Memang, itu adalah diperlukan, meskipun insuffi-efisien, komponen
dalam mengembangkan sistem etika pelayanan publik. kodifikasi, meskipun tidak sempurna,
akan kompromi mewujudkan fitur terbaik dari kedua dunia. Daftar sila etika akan
mempertahankan fitur penebusan hukum positivis (itu akan disepakati, tertulis, dikenal dan
diketahui, dan diajarkan kepada siswa profesi) sementara juga menggabungkan rasa moralitas
pribadi pada intinya. "Jarak moral" antara hukum dan etika bisa diperkecil, meskipun tidak
benar-benar dihapuskan (Postema, 1980, hal. 65).
Pertanyaan kedua lebih sulit untuk mengatasi karena literatur tentang apakah profesi
administrasi publik saat ini ada atau bahkan mungkin bervariasi dan tidak meyakinkan
(misalnya, lihat Streib, 1992). Cukuplah untuk mengatakan bahwa argumen di sini adalah
mendukung kedua kemungkinan dan desirabil¬ity mengembangkan administrasi publik
profesional kuat. Banyak yang dapat dipelajari, misalnya, dari quest profesi hukum untuk
mengembangkan aturan perilaku profesional sementara bersamaan meninggalkan ruang untuk
pengacara mengandalkan ajaran etika pribadi mereka untuk meningkatkan tanggung jawab
profesional mereka.
Umumnya, pengacara telah memfokuskan upaya mereka pada menggabungkan konsep
etika ke dalam standar dikodifikasikan perilaku bagi seluruh anggota bar. Karena pengacara
tradisional telah dilemparkan dalam peran pelindung rezim, masyarakat telah diharapkan
pengacara berlatih "lebih baik" etika. Profesi hukum telah menanggapi harapan tersebut dengan
mengadopsi aturan ketat yang mengatur perilaku pengacara, melembagakan persyaratan
tanggung jawab pro¬fessional lebih komprehensif di banyak yurisdiksi, dan menyediakan
mekanisme penegakan seperti prosedur pengaduan formal dan aturan untuk melakukan sidang
disiplin. Pada saat yang sama, namun upaya terakhir untuk mereformasi etika hukum telah
mengakui pentingnya menggabungkan aturan dikodifikasikan perilaku profesional dengan ajaran
etika individual (Hazard, 1991, hal. 1240).
PENGACARA DAN HUKUM PROFESI: YANG BERMORAL
UNIVERSE?
SIFAT PRAKTIS KEWENANGAN HUKUM-RASIONAL
Dari ketiga jenis otoritas pemerintah diidentifikasi oleh Max Weber, yang "legal-rasional" tradisi
(aturan hukum) adalah dasar yang berlaku umum untuk melegitimasi kekuasaan di stabil, rezim
demokrasi yang sedang berlangsung (Waber, 1992, hlm. 274). Menurut pandangan ini, aturan hukum
beroperasi melalui keberadaan tubuh yang jelas, aturan yang berlaku umum khas ditemukan di negara-
negara birokrasi (H. Hart, 1961, 1963). Otoritas menempel ke kantor politik, bukan kepada individu,
maka pepatah "pemerintahan hukum dan bukan dari manusia" (Heywood, 1994, hal. 108).
Pengacara, pemasok hukum dalam rezim demokratis seperti Amerika Serikat, memahami tugas
mereka dari didominasi legal-rasional per-prospektif, kadang-kadang dengan sedikit memperhatikan
filosofis abstraksi di-vorced dari aplikasi praktis. Seorang komentator dihormati pada etika hukum,
Profesor L. Ray Patterson (1984), telah menjelaskan perspektif bar Amerika sebagai preferensi untuk
aturan perilaku profesional yang aturan pragmatis hukum dan tidak perenungan hanya filosofis tentang
perilaku yang harus didorong (p. 11). Dengan mempertimbangkan aturan tanggung jawab profesional
sebagai aturan hukum dengan sanksi jelas diresepkan untuk orang-orang yang terlibat dalam perilaku
yang dilarang, bar telah membentuk sarana untuk mengendalikan perilaku anggota profesi yang jatuh di
bawah standar tertentu. Meskipun ini mungkin tampak menjadi pendekatan dasar untuk etika karena
hanya berfokus pada perilaku negatif, itu mencerminkan konsep mendasar dalam pemerintahan Amerika,
yaitu ketidakpercayaan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang seperti pengacara yang memegang
kekuasaan. Mungkin contoh yang paling terkenal dari keprihatinan ini dengan pelanggaran potensi
kekuasaan diartikulasikan dalam "Federalist No. 51," ketika Publius mengamati bahwa "Jika pria
malaikat, pemerintah tidak akan diperlukan. Jika malaikat yang memerintah laki-laki, kontrol tidak
eksternal maupun internal pemerintah akan diperlukan "(Hamilton, Madison, & Jay, 1961, p. 322).
Karena campur tangan ilahi tidak dapat diandalkan untuk mengontrol perilaku manusia, aturan etik harus
"memiliki gigi," seperti sanksi diberlakukan, jika mereka untuk melayani sebagai cara yang efektif untuk
mengatur perilaku profesional.
perspektif-bahwa bar aturan etika yang ditegakkan secara hukum kontrol-mungkin exter-nal
menyerang nonlawyers seperti mengganggu, karena pendekatan positivis untuk pertanyaan yang awalnya
tampak normatif. Namun pendekatan tidak mengherankan karena pengacara menganalisis situasi faktual
dalam kaitannya dengan tugas-tugas mereka kepada klien mereka dan profesi hukum. Sebagai salah satu
komentator telah mengamati, "Sejauh pengacara merancang aturan etika hukum untuk melindungi diri
dari kecelakaan hukum, 'etika defensif' adalah spesies legalisme" (Schneyer, 1989, hal. 725). Patterson
telah membela alasan untuk fokus pragmatis ini sebagai pemahaman tentang tugas pengacara sebagai
profesional. analisis etis, menurut perspektif ini, adalah analisis tugas seseorang untuk dirinya sendiri
sebagai individu pribadi: Bagaimana saya harus bersikap? Apa hak saya dan kewajiban untuk diri sendiri
dalam hubungannya dengan seluruh masyarakat? Karena pengacara prihatin dengan tugas mereka tidak
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk klien mereka dan pengadilan juga, mereka harus melihat
melampaui aturan yang mendorong perilaku etis individu. Mereka harus melihat aturan yang mendorong-
dan, jika perlu, menghukum-kinerja individual untuk nya tugas sebagai seorang profesional. Dengan kata
lain, kode etik profesi yang bersangkutan dengan kinerja profesional sebagai seseorang yang, berdasarkan
perannya, mempengaruhi orang lain dalam rezim. Aturan perilaku profesional untuk pengacara tidak
peduli dengan individu yang bertindak sebagai warga negara; mereka prihatin dengan pengacara
bertindak sebagai pelayan publik (Patterson, 1984, p. 11).
Penekanan pada hukum, atau fidusia, tugas pengacara untuk klien telah menyebabkan, pertama,
untuk pengembangan kanon etika dan, kemudian, dengan penerapan aturan disiplin dan kode model
perilaku yang menentukan perilaku diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dan memberikan sanksi untuk
yang kedua (American Bar Association [ABA], 1983). Dalam bangun dari mengadopsi kode dilegalisir
etik, pengacara kadang-kadang telah menemukan diri mereka, ironisnya, repre¬senting klien dan
penyebab mereka yakini secara moral dapat diterima. paradoks posisi-pengacara ini menghibur keraguan
etis tetapi terikat oleh aturan dikodifikasikan etika hukum untuk memberikan representasi bersemangat
untuk klien-menggambarkan perbedaan sesekali hukum dan etika dan con¬tributes dengan gambar
populer pengacara sebagai "senjata disewa . "Sebagai komentator Richard Wasserstrom (1975) telah
mengamati," pada terbaik dunia pengacara adalah dunia moral yang disederhanakan; sering itu adalah
amoral satu; dan lebih dari kadang-kadang, mungkin, salah satu yang terang-terangan tidak bermoral
"(hal. 2).
KONSEPSI ETIK HUKUM
Jika otoritas legal-rasional, yang secara universal diterapkan dalam sebuah rezim,
kadang-kadang tidak cukup untuk memandu perilaku tertentu individu, bimbingan etis
diperlukan. Dilihat oleh literatur yang tersedia, profesi hukum lama menyadari kebutuhan untuk
mengintegrasikan etika dalam profesi (Abel, 1981; Fiss, 1981; Fletcher, 1981; Fried, 1976;
Hazard, 1991; Luban, 1988; Lumbard, 1981; Morgan, 1977; Shaffer & Shaffer, 1991;
Shuchman, 1968; Simon, 1978; Wasserstrom, 1975; Wolfram, 1978). Namun, pertanyaannya
tetap: Dengan metode apa dan sejauh mana harus etika hukum dipahami, diajarkan, dan
diterapkan?
Dua pendekatan mudah datang ke pikiran. Pertama, pengacara mungkin mencari kasuistis
untuk masalah etika yang dihadapi mereka dan kemudian memasukkan prinsip-prinsip umum
dalam aturan etika, kode, dan aturan. Pendekatan ini, yang menggambarkan konsepsi standar
etika diintegrasikan ke otoritas legal-rasional, memerlukan pemahaman tentang pengacara
berperan moralitas, dis-mengumpat nanti dalam artikel ini. Pendekatan kedua adalah untuk
mengembangkan bawah-berdiri dari prinsip-prinsip etika umum dan menggunakan pemahaman
ini sistem-atically sebagai panduan untuk menyelesaikan situasi tertentu yang muncul (filsafat
moral umum).
Masing-masing pendekatan memiliki kelemahan yang parah. Kasuistis memberikan
jawaban jika kesulitan etika tertentu dapat ditempatkan dalam kategori yang tercakup oleh
canon, kode, atau aturan. Jika kesulitan adalah unik atau ambigu-ous, aturan dikodifikasikan
mungkin hanya penggunaan terbatas. Pendekatan kedua, bergantung pada filsafat moral umum,
mungkin lebih sulit karena tubuh bekerja pada filsafat etika mencakup seluruh lingkup peradaban
Barat dan sering terbuka untuk berbagai makna yang saling bertentangan dan interpretasi
(Postema, 1980, hal. 67 ).
Ini tidak berarti, tentu saja, bahwa profesi hukum belum mencoba untuk mengembangkan
aturan etika melalui kedua metode, terutama mantan. Pada awal abad ke-19, misalnya, sarjana
hukum dan anggota bar menyerukan kanon untuk memandu perilaku praktisi, meskipun kanon
tidak dilihat sebagai standar hukum ditegakkan tetapi sebagai "peringatan emanat¬ing dari
sebuah organisasi hanya pribadi" bahwa "tidak memiliki efek hukum langsung, baik dalam
proses pengaduan terhadap pengacara kesalahan atau tindakan sipil untuk praktek hukum"
(Hazard, 1991, hal. 1250). Kanon pertama, Kanon Etik Profesional, diadopsi oleh ABA pada 27
Agustus 1908. Mereka memiliki asal-usul mereka di Alabama Asosiasi 1887 Kode Etik serta
ceramah Hakim George Sharswood berjudul Etika Profesional dan David Hoffman A Course of
Legal Studi (dikutip dalam ABA, 1983, p. ix). Dalam waktu, bagaimanapun, bar mengubah
kanon menjadi serangkaian aturan disiplin. Transformasi ini dicapai, di meas¬ure besar, dengan
penerapan Kode ABA ini Tanggung Jawab Profesional di 1970. legalisasi ajaran etika bar terus
setelah tahun 1970 dan kemudian mengakibatkan adopsi dari Peraturan Model Perilaku
Profesional pada tahun 1983 ( ABA, 1983).
Peran Moralitas
Sebelum pengacara dikutuk sebagai senjata menyewa yang bermoral dan sama sekali
unredeemable, seperti di (1975) perenungan Wasserstrom ini, peran func-nasional mereka dalam
masyarakat harus dipertimbangkan. Sebagai pendukung kepentingan klien mereka, terlepas dari
pendapat pribadi mereka dari klien atau penyebab klien, pengacara melakukan layanan yang
berharga kepada masyarakat dengan berdiri dalam manfaat klien. Sebuah pengacara representasi
"bukan merupakan endorse-ment, pandangan politik klien ekonomi, sosial atau moral atau
kegiatan" (ABA, 1983, hal. 16). Dengan demikian, pengacara harus memisahkan perasaan
pribadi dari tanggung jawab profesional ketika dan jika ada konflik. bifurkasi ini pendapat
pribadi pengacara dan kepentingan klien memastikan bahwa bahkan penyebab tidak populer
diperjuangkan dan kasus-kasus kontroversial menerima hari mereka di pengadilan (Fried, 1976).
Meskipun individu tertentu mungkin merasa tidak nyaman menceraikan perasaan individu nya
dari peran dia bermain sebagai pelayan masyarakat, manfaat masyarakat dari pembagian tugas
hukum dan moral. lembaga sosial dalam rezim demokratis yang dirancang agar individu yang
berinteraksi dengan lembaga-lembaga mempromosikan nilai-nilai sosial. Jika seseorang bekerja
dalam pengaturan kelembagaan memutuskan untuk mempromosikan nilai-nilai pribadinya di
atas nilai-nilai lembaga, proses demokrasi yang menciptakan, atau setidaknya diperjuangkan,
nilai-nilai sosial dielakkan.
Seorang individu bebas, misalnya, untuk menentang hukuman mati dengan alasan etis
selama dia atau dia bertindak sebagai individu pribadi. Namun, jika individu yang sama
memegang posisi dalam kantor kejaksaan yang memiliki tanggung jawab untuk menuntut kasus
hukuman mati, individu harus menahan diri dari menolak untuk melaksanakan misi kejaksaan
penuntutan kasus hukuman mati meskipun keberatan pribadi orang tersebut untuk hukuman mati
akan belum tentu berubah. Jika individ-ual tidak dapat mendamaikan keberatan pribadinya untuk
hukuman mati dengan tanggung jawab publik kejaksaan untuk menuntut kasus hukuman mati,
maka individu harus meninggalkan kantor kejaksaan. Dia kemudian bebas untuk menolak
hukuman mati tanpa takut mengorbankan tugas publik nya. Sebagai salah satu komentator telah
mengamati, "peran sosial dan profesional" membuat tugas khusus untuk individu yang melayani
dalam peran mereka. individu telah, pada dasarnya, menjadi pegawai negeri karena pembagian
kerja antara individu swasta dan individu yang bertindak sebagai pengambil keputusan dalam
rezim. Peran sosial ini mengharuskan individu menganggap nya tugas sebagai pelayan publik
atas perasaan individu nya, kecuali dalam kasus yang jarang dibahas nanti dalam artikel ini
(Postema, 1980, hal. 72).
Selain peran pengacara sebagai pembela nilai-nilai sosial demokratis dalam pengaturan
kelembagaan, pengacara swasta sering melayani peran penting sebagai "mitigators dari
kecenderungan destruktif demokrasi" (Hazard, 1991, hal. 1241). Geoffrey C. Bahaya Jr (1991),
seorang komentator yang sering tentang etika hukum, telah menulis bahwa profesi hukum
berfungsi masyarakat lain yang berguna, meskipun sering tidak populer, cara. masyarakat
umumnya membenci pengacara, sering mengejek profesi dengan lelucon pengacara dan
pengacara wisatawan dalam jajak pendapat umum sebelah salesman mobil bekas dalam hal
kejujuran dan utilitas sosial. Hazard telah menyarankan bahwa banyak cemoohan dan ejekan
dapat dikaitkan dengan peran sejarah profesi di "menyeimbangkan tingkah pemerintah populer
dengan tekanan dari pasar" (hal. 1241). Karena pengacara sering membantu komunitas bisnis
dan pemimpin politik ditetapkan melalui litigasi, proses con¬tract, hukum perusahaan, dan
manuver politik, masyarakat memandang profesi sebagai pelindung dari status pembela quo-
antidemokrasi hak istimewa elit. Dalam (1991) lihat Hazard ini, gambar ini dari pengacara
sebagai "tidak populer dan moral tersangka" adalah perspektif dimengerti dalam terang sentimen
populis bersama oleh segmen besar penduduk. Meskipun demikian, dengan membantu
"pengembangan dan perlindungan kekayaan bisnis dalam sebuah sistem politik yang dilakukan
baik pemerintah populer dan pembatasan konstitusional pemerintah," pengacara telah
memungkinkan rezim berfungsi dan, sampai batas tertentu, mereka telah menjabat sebagai cek
pada destruktif sifat demokrasi tak terkekang. Pandangan pemerintahan yang demokratis sebagai
berpotensi merusak kekhawatiran Publius ketika ia diamati dalam "Federalist No. 10" bahwa
"demokrasi memiliki pernah spec¬tacles turbulensi dan pertengkaran; pernah ditemukan tidak
sesuai dengan keamanan pribadi atau hak milik; dan telah secara umum telah sesingkat dalam
kehidupan mereka karena mereka telah kekerasan di kematian mereka "(Hamilton et al., 1961, p.
81). Dengan melindungi keamanan pribadi dan hak milik dari mayoritas tirani atau faksi
minoritas yang merusak, pengacara telah melayani fungsi sosial yang penting, meskipun mereka
telah dibayar untuk layanan mereka dengan gambar ternoda (Hazard, 1991, hal. 1241)
Jangan salah berpikir pengacara korban malang dalam perang public relations, itu baik
untuk diingat bahwa citra negatif pengacara sebagai penembak bayaran, penghuni alam semesta
tunggal bermoral, telah dikurangi dalam kesadaran populer dengan pandangan sebaliknya
melalui narasi heroik seorang pengacara yang berani berdiri untuk penyebab yang tidak populer
dengan pengorbanan pribadi yang besar. Pandangan ini tercermin di seluruh pengalaman
Amerika: Fiksi Atticus Finch di To Kill a Mockingbird (Lee, 1960) mudah muncul dalam
pikiran, seperti halnya contoh sejarah termasuk Clarence Darrow di Scopes "Monyet Trial" 1925
(Dershowitz, 1990); pengacara berani yang akhirnya membela terkenal "Scottsboro Boys" di
Powell v Alabama (1932).; jaksa Amerika di Pengadilan Nuremberg yang dipimpin oleh AS
Hakim Agung Robert Jackson (Tusa & Tusa, 1986); Serangan Joseph Welch pada taktik
menakut-nakuti dari Senator Joseph McCarthy pada tahun 1950 (Hazard, 1991, hal 1243.); dan
pertahanan Abe Fortas untuk Clarence Earl Gideon di Gideon v Wainwright (1963; Lewis,
1991)., untuk beberapa nama. Diperdebatkan, contoh-contoh ini menggambarkan fitur positif
dari pengacara peran moralitas. Advokat dalam kasus-kasus mungkin telah memendam pribadi
reserva-tions tentang kebenaran dari penyebabnya, tetapi mereka menyisihkan pemesanan
mereka dan maju kepentingan klien mereka, tetap. Bahkan garis terkenal Shakespeare "Hal
pertama yang kita lakukan, mari kita membunuh semua pengacara" tidak antilawyer yang
makian itu awalnya tampaknya menjadi karena kata-kata yang diucapkan oleh salah satu dalang
yang lain karena mereka rencana untuk merusak stabilitas rezim yang ada dengan membuang
dari wali keadilan (Shakespeare, 1904, p. 55).
Penekanan pada peran moralitas, bagaimanapun, bukan tanpa kritik. Masalah dengan
mengakui adanya moralitas peran adalah bahwa ia memerlukan pengacara untuk kotakkan
personas swasta dan publik mereka, mengabaikan mereka "nilai off-the-job," yang mungkin
memiliki efek yang tidak diinginkan dari memblokir "salib-fertilisasi moral pengalaman yang
diperlukan untuk per-musiman dan pertumbuhan profesional "(Postema, 1980, hal. 64). Karena
manusia rasional sering membuat keputusan berdasarkan berbagai faktor termasuk rasa moralitas
yang mereka mungkin kesulitan untuk mengartikulasikan, patut dipertanyakan apakah pengacara
memuaskan dan konsisten dapat menceraikan diri pribadi dan publik mereka, bahkan jika
tindakan ini dianggap komponen yang diinginkan dari pengacara peran moralitas (Schneyer,
1989, hal. 731). Kritik menuduh bahwa dengan menciptakan "jarak moral" antara "moralitas
biasa" dan tanggung jawab profesional, profesi hukum telah berkurang "alam semesta moral"
dari pengacara (Postema, 1980, hal. 65).
Ironisnya, persepsi seorang pengacara sebagai "instrumen dari kedua kebebasan dan
keadilan politik," seperti yang digambarkan dalam kasus terkenal yang dikutip di atas, mungkin
tidak lebih akurat dibandingkan dengan citra pengacara sebagai amoral, atau tidak bermoral,
menyewa gun (Hazard , 1991, hal. 1244). Namun, keberadaan moralitas peran telah berharga
untuk alasan lain. Karena peran unik pengacara 'dalam masyarakat modem, profesi hukum selalu
bersikeras bahwa awam tidak harus mengembangkan aturan perilaku yang mengatur pengacara
menjadi penyebab nonlawyers tidak mungkin mengerti, dan karena itu tidak bisa secara efektif
mengatur, perilaku pengacara menghadapi dilema etika di jalannya praktek hukum (Lumbard,
1981; Wolfram, 1978). Memang, pada tahun-tahun awal profesi hukum Amerika, bar adalah
lebih atau kurang diri kepolisian. Kanon etika tidak diumumkan oleh pihak ketiga namun oleh
pengacara sendiri (Hazard, 1991; Schneyer, 1989). "Klub anak tua" persaudaraan didasarkan
pada asumsi sederhana; Pemimpin dari bar "mensyaratkan bahwa pengacara-pemikiran yang
tepat tahu hal yang tepat untuk dilakukan dan yang paling pengacara benar-pemikiran" (Hazard,
1991, hal. 1250). Konsep pengacara peran khusus moralitas dilindungi dari keanehan yang
mengganggu, mungkin bodoh, awam.
Pada tahun-tahun berikutnya, bagaimanapun, panggilan untuk aturan etika ditingkatkan
dikeluarkan dalam menanggapi beberapa faktor, termasuk ledakan litigasi yang dirasakan terkait
dengan klaim diduga sembrono, kepedulian terhadap akses yang sama terhadap sistem peradilan,
peningkatan industrialisasi dan kemajuan teknologi yang menyebabkan konflik yang semakin
kompleks dan cedera, hak baru diakui sering dikaitkan dengan kemurahan pemerintah, dan
pengakuan pengacara '"godaan besar untuk memikul menyisihkan pesaing seseorang, untuk
memotong pendatang, untuk mengabaikan kepentingan orang lain dalam perjuangan untuk
berhasil" (Bok, 1983, hal. 575). Ini diperlukan pengembangan pemahaman yang lebih baik
tentang peran pengacara dalam masyarakat. (Bidang administrasi publik menghadapi serangan
serupa di peran yang tepat dalam rezim.)
Peran Sumber Daya
Ahli filsafat susila telah menyatakan keprihatinan bahwa standar concep-tion etika
diwujudkan dalam moralitas peran membayangkan peran tetap untuk pengacara. Artinya, "sejauh
praktisi individu yang bersangkutan, alam semesta moral perannya adalah fakta objektif, yang
harus diperhitungkan, tetapi tidak untuk dia untuk mengubah" (Postema, 1980, hlm. 82-83).
Kode etik yang hasil yang menentukan; mereka membutuhkan praktisi untuk mengadopsi salah
satu peran tertentu sesuai dengan situasi yang sedang dipertimbangkan dan kemudian berperilaku
sesuai dengan aturan dikodifikasikan perilaku. Sebaliknya, peran jalan memungkinkan pengacara
untuk bertindak, jika perlu, selain dari tugas dilegalisir perannya moralitas.
ahli filsafat susila telah menunjuk Aristoteles untuk menggambarkan poin mereka.
Misalnya, di The Nicomachean Ethics, Aristoteles berpendapat bahwa jarak antara teori umum
dan tindakan dapat dijembatani oleh "kebijaksanaan praktis," yang merupakan cara lain untuk
mengatakan bahwa "Kemampuan kita untuk menyelesaikan konflik secara rasional sering
melebihi kemampuan kita untuk mengucapkan prinsip-prinsip umum "(Postema, 1980, hal. 68)
Aristoteles berkata,
kebijaksanaan praktis adalah kualitas pikiran berkaitan dengan hal-hal yang adil dan
mulia dan baik bagi manusia, tetapi ini adalah hal-hal yang merupakan tanda dari seorang
pria yang baik yang harus dilakukan dan kita tidak ada yang lebih mampu bertindak
untuk mengetahui mereka jika kebajikan yang negara karakter, sama seperti kita tidak ada
yang lebih mampu bertindak untuk mengetahui hal-hal yang sehat dan suara, dalam arti
tidak memproduksi melainkan yang keluar dari keadaan kesehatan. (Aristoteles, trans.
1980, hal. 154)
tindakan etis bukanlah hasil dari karakter yang baik saja (swasta moral ity) seperti itu
tidak cukup untuk mengetahui prinsip-prinsip umum tanpa bertindak atas prinsip-prinsip
(kasuistis). kebijaksanaan praktis memungkinkan manusia dari karakter yang baik untuk
melakukan penilaian dalam beradaptasi prinsip-prinsip umum untuk situasi tertentu. Ini adalah
kombinasi dari karakter, penge-tepi seseorang dari prinsip-prinsip etika, dan nya latihan
penghakiman melalui kebijaksanaan praktis yang menghasilkan hanya bertindak. Aristoteles juga
mengamati,
Seperti kita mengatakan bahwa beberapa orang yang melakukan tindakan tidak selalu
adil, yaitu, mereka yang melakukan tindakan ditahbiskan oleh hukum baik terpaksa atau
karena ketidaktahuan atau karena alasan lain, bukan demi tindakan sendiri (meskipun,
untuk yang pasti, mereka melakukan apa yang mereka harus dan semua hal yang orang
baik seharusnya), sehingga, tampaknya, bahwa untuk menjadi salah satu yang baik harus
dalam keadaan tertentu ketika seseorang melakukan beberapa tindakan, yaitu, satu
keharusan melakukannya sebagai akibat dari pilihan dan demi tindakan sendiri.
(Aristoteles, trans. 1980, hlm. 155-156)
Moralitas pribadi saja tidak cukup. Pengetahuan tentang aturan profes-sional perilaku,
terutama jika dilakukan karena takut sanksi hukum, tidak cukup tanpa metode menjembatani
kesenjangan antara aturan hukum positivis dan rasa pribadi etika. Dalam arti aristotelian,
fleksibel "jalan peran" diperlukan. Peran jalan seperti memaksa pengacara untuk melangkah dari
balik perisai yang disediakan oleh sistem kodifikasi aturan dan terlibat sistem nya sendiri etik.
Dalam pandangan ini, seorang pengacara tidak bisa mengklaim bahwa dia bertindak hanya
sebagai teknisi atau agen dari klien. Pengacara itu harus melibatkan nya pertimbangan moral
dalam mewakili klien (postema, 1980, hal. 83).
ModelTata Tertib professional
Sebagian dalam menanggapi kekhawatiran lanjutan tentang sifat tetap dan legalistik dari
1970 Kode Tanggung Jawab Profesional, ABA mengadopsi Peraturan Model Perilaku
Profesional pada tahun 1983 (Hazard, 1991, hal. 1251). Aturan baru diperbolehkan ruang untuk
peran jalan dan digembar-gemborkan oleh banyak komentator dalam komunitas hukum sebagai
kompromi yang memuaskan antara kasuistis dan filsafat moral umum. Memang, dengan
menentukan perilaku yang tepat dari seorang pengacara bertindak sebagai advokat (Rules 3,1-
3,9), penasihat (Rule 2.1), perantara (Rule 2.2), dan evaluator (Rule 2.3), Peraturan Model
ditetapkan serangkaian hitam-surat aturan, tentu keuntungan dari hukum positivis, dan
ditentukan keadaan segudang menghadapi pengacara, tergantung pada peran nya, dan dengan
mempertimbangkan kesulitan yang berhubungan dengan menetapkan standar perilaku
profesional dari perspektif tunggal. Salah satu komentator diamati,
"penyewaan senjata" kritik filsuf moral 'dari kode ABA sebelumnya tampaknya sebagian
besar tidak bisa diterapkan pada Peraturan Model. kritik bahwa menegaskan bahwa etika
hukum aturan memaksa pengacara ke peran advokat yang menempatkan kepentingan
klien di atas semua orang lain, dan telah melakukannya dengan melarang pengacara
untuk membiarkan nilai-nilai mereka sendiri atau kepentingan pihak ketiga
mempengaruhi keputusan mereka tentang siapa yang mewakili dan bagaimana mewakili
mereka. Namun Aturan Model mengakui bahwa pengacara memainkan beberapa peran,
bukan hanya yang dari advokat. Mereka juga mengundang pengacara dalam peran apapun
untuk mengambil nilai-nilai mereka sendiri ke rekening. Mereka mengizinkan pengacara
untuk menolak atas dasar moral untuk mewakili calon klien, wewenang pengacara untuk
"membatasi tujuan" representasi dengan mengecualikan klien bertujuan mereka
menemukan "menjijikkan atau tidak bijaksana"; dan dalam konsesi yang luar biasa untuk
kepekaan pengacara memungkinkan mereka untuk menarik setiap kali "klien bersikeras
untuk mengejar tujuan pengacara menganggap bertentangan atau tidak bijaksana" -
bahkan jika minat klien akan "terpengaruh" oleh penarikan! Aturan-aturan ini
dimaksudkan tepat untuk menyelesaikan "konflik potensial antara hati nurani pengacara
dan tugas pengacara untuk vigorously mewakili klien." (Schneyer, 1989, hal. 736)
Dengan penerapan Peraturan Model, beberapa anggota dari profesi hukum yang tertekan
oleh apa yang mereka lihat sebagai legalisasi terus bar. Misalnya, Peraturan Model tidak lagi
menggunakan kanon jangka ketika membahas etika profesional, bukan mengacu pada aturan
sebagai berwibawa, dengan disertai komentar "dimaksudkan sebagai panduan untuk interpretasi"
(ABA, 1983, hal. 13). Aturan Model ditekankan dengan cara yang dramatis bahwa profesi
hukum tidak lagi hanya sebuah, kelompok kohesif informal rekan-rekan yang dipercaya satu
sama lain untuk "melakukan hal yang benar" dengan menghormati kesepakatan seorang pria
dengan jabat tangan. Akibatnya, narasi heroik telah berkurang. Dalam (1992) istilah Max Weber,
seorang institu¬tion tradisional telah berubah menjadi lembaga birokrasi. Sebagai anggota dari
lembaga tradisional, pengacara mungkin berpikir langsung dalam hal apa yang dia bisa lakukan
sebagai kreatif, anggota pemecahan masalah dari profes¬sion tersebut. Sebagai anggota dari
lembaga birokrasi, pengacara mungkin terpaksa untuk segera berpikir dalam hal apa yang dia
tidak bisa lakukan sebagai anggota diatur profesi (Hazard, 1991, hlm. 1254-1255).
Apakah Aturan Model sepenuhnya menjembatani kesenjangan antara dua konsepsi etika
hukum tergantung pada satu sudut pandang. Aturan pasti bisa, dan harus, ditingkatkan sebagai
keadaan baru surat perintah, tetapi sementara itu mereka mewakili pernikahan dari kedua dunia-
pendekatan yang dilegalisir dan pendekatan filosofis, sebuah bergabung tugas publik dan swasta.
Mereka juga mengadakan pelajaran berharga untuk bidang etika administrasi.
ADMINISTRASI PUBLIK: SEBUAH PRESTASI
SIFAT ETIKA ADMINISTRASI
Literatur administrasi publik telah melihat panggilan untuk meningkatkan etika dalam
lapangan, terutama, meskipun tidak secara eksklusif, di bangun dari skandal pemerintah dan
perhatian publik untuk mengintegrasikan ajaran etika dalam pelayanan publik (Cody & Lynn,
1992; Cooper, 1987, 1990 ; Davis, 1969; Devine, 1972; Friedrich, 1972; Golembiewski, 1965;
Gortner, 1991; Holmes, 1996; Leys, 1952; Maclver 1947; Mosher, 1982; Okun, 1975; Redford,
1958; Schubert, 1960; Sheeran 1993; Thayer, 1973; Weisband & Franck, 1975; Wildavsky,
1980; J. Wilson, 1985; Wise, 1973; Wolin, 1960). Beberapa karya yang menyelidiki etika
administrasi publik bahkan telah diakui sebagai modem klasik dalam pemikiran politik Barat
(Arendt, 1972; Dewey, 1927; Hayek, 1944; Waldo, 1948).
Sebagai perhatian dengan etika meningkatkan muncul, Paul Appleby (1952) mendesak
hati-hati dalam bereaksi terhadap persepsi "kesalahan mentah" sebagai satu-satunya motivasi
untuk mengadopsi sistem etika pelayanan publik. masalah etika "Lebih rumit dan tinggi" seperti
sifat dan ruang lingkup kebijaksanaan birokrasi harus menjadi fokus dari etika dalam
administrasi publik (p. 56). Tantangannya, tentu saja, adalah dalam mengidentifikasi sila etika
yang tepat, terutama karena bidang administrasi publik relatif baru, masih berkembang, dan
mungkin tidak memiliki kekompakan banyak profesi (misalnya, hukum dan kedokteran) (Streib,
1992, hlm. 134 ).
Seperti dalam profesi hukum, literatur administrasi publik telah diakui bifurkasi antara
konsep etika sebagai serangkaian aturan dikodifikasikan dan sebagai filsafat moral umum.
Meskipun demikian, literaturehas menyimpulkan bahwa karakter tentu individualistis etika tidak
menghalangi mengajar administrator publik tentang nilai-nilai rezim melalui metode kasus atau
melalui penekanan pada pemahaman latar belakang hukum yang lebih tinggi dari pemerintah
Amerika (Catron & Denhardt, 1994; Corwin, 1969; Hejka -Ekins, 1988; Kavathatzopoulos,
1994; Marini, 1992; Pratt, 1993; Richardson & Nigro, 1987; Rohr, 1989; Taylor, 1992;
Tocqueville, 1969; Torp, 1994).
Dibandingkan dengan bahan tentang etika hukum, administrasi litera-ture telah terlambat
dalam mengenali kebutuhan untuk mengintegrasikan konsep etika dalam administrasi publik. Ini
mungkin hasil dari penekanan yang berbeda di bidang administrasi hukum dan masyarakat.
Seperti diceritakan di atas, hukum telah dilihat sebagai profesi dengan moralitas peran yang unik.
Pengakuan administrasi publik sebagai profesi yang berbeda di mana politik dan administrasi
tidak dibagi bola, di sisi lain, telah menjadi fenomena yang baru-baru ini dan sama sekali tidak
terbantahkan (Rosenbloom, 1989; J. Wilson, 1975). Dengan demikian, masalah etika dan
akuntabilitas belum dibahas dalam administrasi litera¬ture publik sejauh bahwa mereka telah
dibahas dalam literatur tentang profesi hukum, meskipun pelajaran berharga dapat dipelajari dari
upaya bar. Mungkin pelajaran yang paling penting adalah kejelasan relatif dari kewajiban etis
umum pengacara '(meskipun penerapannya dalam kasus-kasus individu mungkin masih
menimbulkan ambiguitas). Anggota profesi hukum berbagi pemahaman tentang apa artinya
menjadi seorang profesional hukum dan apa yang membuat pengacara yang berbeda dari
nonlawyers. administrator publik, untuk sebagian besar, tidak berbagi pemahaman yang sama
tempat mereka di sektor publik (Rosenbloom, 1989, hal. 483).
Mencerminkan, sebagian, kurangnya pemahaman tentang apa artinya menjadi seorang
administrator publik yang berpartisipasi dalam bidang pembuatan kebijakan publik, literatur
awal dibahas etika dari perspektif praktis. Nilai-nilai seperti ekonomi dan efisiensi dianggap
penting ob-jectives karena dianggap politis dan moral netral administrator publik. Perspektif ini
secara bertahap berubah, terutama dengan munculnya negara administrasi di tahun 1940-an dan
kesadaran bahwa publik administrasi yang-trators melaksanakan peran pembuatan kebijakan
yang signifikan (Chandler, 1983; Gawthrop, 1984; lowi, 1969; Marini, 1971; Rosenbloom, 1989;
Waldo, 1948).
Pemahaman yang lebih canggih dari peran administrasi publik dalam rezim
dikembangkan pada 1930-an dan 1940-an. Hilang sudah politik dan administrasi dikotomi, dan
dengan itu gagasan sederhana bahwa satu-satunya persyaratan etika untuk administrator publik
adalah bahwa mereka melaksanakan kehendak pejabat terpilih dengan sebanyak ekonomi dan
efisiensi mungkin. Di tempatnya adalah dilema baru: Bagaimana administrator publik dalam
keadaan birokrasi besar akan diadakan politik jawab mengingat realitas kebijaksanaan birokrasi?
Dengan kata lain, bagaimana pemerintahan dapat memastikan bahwa administrator publik akan
berperilaku dengan cara yang mendukung prinsip-prinsip demokrasi diberi kerja yang beragam
dilakukan di lembaga-lembaga publik dan kurangnya profesi terpusat administrasi publik?
DEBAT KECIL FRIEDRICH
Wacana yang paling meyakinkan tentang dilema baru ini terjadi dalam debat Friedrich-
Finer terkenal yang berasal dari tahun 1930-an dan difokuskan pada perbedaan antara kontrol
birokrasi internal dan eksternal. Dalam serangkaian esai, Carl J. Friedrich bersikeras untuk
pengembangan rasa individu tanggung jawab moral sebagai pengendalian internal pada perilaku
di samping penekanan tradisional pada menempatkan kontrol eksternal pada administrator publik
sebagai cara untuk memastikan akuntabilitas untuk pemimpin terpilih . Friedrich berpendapat
bahwa faktor psikologis, seperti kesediaan individu untuk berperilaku secara bertanggung jawab,
adalah pertimbangan penting dalam memastikan tanggung jawab administratif. Bahkan,
"perilaku yang bertanggung jawab fungsi administratif tidak begitu banyak ditegakkan seperti
yang menimbulkan" (Friedrich, 1990, hal. 43). Dengan kata lain, upaya untuk akuntabilitas
publik seharusnya tidak mengabaikan peran tanggung jawab moral atau agama dalam
memastikan bahwa administrator publik berperilaku dengan cara yang etis.
Friedrich menulis pada suatu waktu ketika Wilsonian politik-administrasi dikotomi masih
diakui sebagai aksioma dalam literatur administrasi publik (Gulick, 1937; W. Wilson, 1941). Jika
pelaksanaan kekuasaan politik dan kinerja fungsi administratif tidak usaha terpisah dan berbeda,
implikasi etis sangat besar. administrator publik tidak melaksanakan pembuatan kebijakan
otoritas sesuai dengan sekolah lama pemikiran; dengan demikian, tugas etis mereka hanya
diperlukan bahwa mereka mencapai kompetensi teknis dan tetap bertanggung jawab kepada
pejabat terpilih yang memerintahkan mereka tentang mekanisme pelaksanaan kebijakan.
Recogniz¬ing pandangan perubahan politik birokrasi, Friedrich merasa terganggu oleh saran
bahwa tindakan administrator publik tidak tahan dampak untuk pengambilan kebijakan. Dia
berusaha untuk menjauh dari perbedaan buatan antara politik dan administrasi dalam membahas
etika. Argumennya adalah mirip dengan (1940) contention kontemporer FM Marx bahwa tidak
peduli seberapa ketetapan dan hibah legislatif wewenang kepada administrator publik rinci
tampaknya, pelaksanaannya adalah "tindakan kreatif, terpisah dari pembuatan hukum itu sendiri"
( p. 237). Dengan kata lain, tidak peduli seberapa ketat kontrol eksternal, administrator publik
akhirnya harus mengandalkan rasa individual etika dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pelayan masyarakat karena mereka harus menerapkan kebijaksanaan.
Menanggapi argumen Friedrich ini, Herman Finer (1990) berpendapat bahwa hanya
kontrol eksternal seperti kode etik dan aturan hukum bisa memastikan akuntabilitas publik.
"Tanggung jawab moral kemungkinan untuk beroperasi dalam proporsi langsung ke ketatnya dan
efisiensi tanggung jawab politik, dan terjatuh ke dalam segala macam penyimpangan saat
terakhir ini lemah ditegakkan," tulisnya (hlm. 44). Mengandalkan pada hati nurani masing-
masing dari administrator publik tertentu, tidak peduli seberapa baik berarti ia mungkin dalam
menjalankan tugas-tugasnya, akan selalu menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Individu
baik akan salah paham nilai-nilai demokrasi atau mereka akan mengejar kepentingan mereka
sendiri. Meskipun lebih halus kemudian mengakui bahwa administrator publik dapat
meningkatkan akuntabilitas mereka dengan mendidik diri mereka sendiri untuk menghargai opini
publik dan standar teknis dan profesional, isu penting dalam memastikan perilaku etis adalah
untuk meningkatkan kontrol eksternal sejauh mungkin (Cooper, 1990, hlm. 128-132 ). Dalam
banyak hal, lebih halus adalah menggemakan (1992) argumen positivis Weber di Seleksi Dari
Politik sebagai Panggilan (pp. 273-283). pemerintahan yang demokratis beroperasi terbaik ketika
kontrol perilaku eksternal dan perilaku etis jelas didefinisikan dalam kodifikasi, sistem berbasis
aturan yang dikenal dan diketahui terlebih dahulu.
ADMINISTRASI BARU PUBLIK
Meskipun perdebatan Friedrich-halus terus dibahas di tahun-tahun berikutnya, itu
penekanan Friedrich tentang pentingnya kontrol internal yang melahirkan gerakan sering disebut
sebagai "Administrasi New Public", yang awalnya tumbuh dari tahun 1968 Minnowbrook
Conference (Cooper, 1990, hal. 148). H. George Frederickson (1980) mungkin adalah penganut
paling terkenal dari pendekatan Administrasi Publik Baru. Para pendukung sekolah baru ini
berpendapat bahwa bidang administrasi publik telah datang jauh sejak hari-hari ketika Woodrow
Wilson bersikeras bahwa politik dan administrasi bisa, dan harus, dipisahkan. administrator
publik baru mengakui bahwa mereka dieksekusi diskresi birokrasi, yang selalu berarti bahwa
mereka terlibat dalam beberapa aspek pembuatan kebijakan. Mereka lebih lanjut berpendapat
bahwa meskipun kontrol eksternal adalah sarana yang berharga untuk memastikan akuntabilitas
politik, mereka hanya bisa pergi sejauh ke arah memastikan bahwa administrator publik
berperilaku etis dan menghargai pentingnya "keadilan sosial" dalam membuat keputusan-
keputusan administratif (Marini, 1971).
Para pendukung Administrasi Umum New cepat mengeluarkan seruan untuk menanamkan
konsep keadilan sosial dalam bidang administrasi publik untuk menambah gol tradisional
efisiensi dan ekonomi. Apresiasi ini dari keadilan sosial mungkin mencapai puncaknya di
pertengahan 1970-an ketika salah satu isu Ulasan Administrasi Publik yang ditujukan khusus
untuk pembahasan lebih lanjut tentang topik (Chitwood, 1974; Harmon, 1974; D. Hart, 1974;
McGregor, 1974; Porter & Porter, 1974; White & Gates, 1974). Pada tahun 1976, Susan
Wakefield dari Universitas Brigham Young, mengakui berbagai sarana yang tersedia untuk
mengajar etika dan kesulitan laten etika incor-porating ke dalam kurikulum, menyimpulkan
bahwa "Ada ada kasus yang kuat untuk tanggung jawab individu baik sebagai sumber primer dan
utama etika pelayanan publik. kontrol eksternal menjadi sistem pendukung yang diperlukan dan
sekunder "(hlm. 662).
Administrasi New Public telah dikritik karena tujuan idealis dan kurangnya akses ke
sebagian besar administrator publik. Karena bukti empiris menunjukkan bahwa beberapa
administrator publik tidak memiliki com-mitment untuk pelayanan publik, karena sebagian
kegagalan mereka untuk mengakui diri mereka sebagai profesional administrasi publik dengan
kewajiban untuk menegakkan kepentingan umum, adalah mungkin bahwa overreliance pada rasa
pribadi individu etika dapat menghindari nilai-nilai demokrasi. Gregory Streib (1992), misalnya,
telah diamati dalam konteks yang berbeda yang profesional pemerintah harus menunjukkan
"menghormati proses demokrasi" atas dan di atas "penghormatan karena keahlian mereka
sendiri" atau sekunder bahan pertimbangan-pertimbangan-seperti pendapat masing-masing
tentang sosial dan isu-isu politik (p. 123). Dalam upaya untuk menjadi juara keadilan sosial,
administrator publik baru mungkin sadar atau tidak sadar mengganti nilai-nilai mereka sendiri
untuk nilai-nilai rezim demokratis. semangat mereka untuk menjadi reformis sosial dapat
menempatkan mereka di depan, dan keluar dari sentuhan dengan, masyarakat mereka seolah-
olah berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
MENGGABUNGKAN PENDEKATAN SUBJEKTIF DAN TUJUAN KE ETIKA
ADMINISTRASI
Seperti halnya dengan profesi hukum, administrator publik telah datang untuk memahami
bahwa perdebatan baru pada pengembangan sistem yang bisa diterapkan etika pelayanan publik
memerlukan rekonsiliasi, sampai batas tertentu, konsep individu etika (pendekatan subjektif) dan
kode etik legalistik (tujuan pendekatan). Dengan demikian, karya-karya baru pada etika
administrasi publik umumnya menghindari baik / atau pendekatan diilustrasikan oleh perdebatan
Friedrich-lebih halus, bukannya memilih untuk berdebat untuk rekonsiliasi dua konsep menjadi
bisa diterapkan, sistem etika yang sistematis untuk pelayanan publik. Kesulitan untuk sarjana
telah mengembangkan model yang sesuai yang berlaku untuk hampir seluruh administrator
publik.
Menyadari pentingnya filosofis dan psikologis con-ceptions untuk pondasi etis, John Rohr
(1989) menyimpulkan dalam Etika kerja berpengaruh untuk Birokrat: An Essay on Hukum dan
Nilai yang administrator publik akan bergantung pada pemahaman masing-masing etika dalam
konteks tertentu , situasi dunia nyata. Namun, tidak mengherankan, mereka juga akan perlu
untuk melihat ke sumber luar untuk panduan tentang bagaimana menerapkan kebijaksanaan
individu sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini sim¬ply terlalu banyak untuk
mengharapkan bahwa mahasiswa dan praktisi public Admini-stration akan berkonsultasi karya
besar filsafat dan memahami informasi praktis untuk menyelesaikan dilema etika. Rohr menulis
bahwa "Sebuah teliti hap-bahaya karya para filsuf besar akan menghasilkan tidak lebih dari
veneer seorang pria" (hal. 67). Selain itu, bahkan jika publik admin-istrators ingin memahami
nilai-nilai demokrasi, sulit untuk menemukan konsensus tentang nilai-nilai. Dengan demikian, ia
berpendapat mendukung memeriksa "nilai-nilai rezim" diungkapkan melalui pendapat dari
Mahkamah Agung AS, yaitu, "nilai-nilai yang entitas politik yang dibawa menjadi ada dengan
ratifikasi Konstitusi yang menciptakan republik Amerika ini "(Rohr, 1989, hal. 68). Dalam
pandangan Rohr, fusi rasa etika individu dan nilai-nilai demokrasi dari rezim dapat dicapai
ketika administrator publik memperkaya pemahaman individu mereka sendiri etik dengan
apresiasi prinsip-prinsip pemerintahan, seperti dijelaskan oleh sumber otoritatif, dan penggunaan
kebijaksanaan mereka sesuai.
Karya Rohr (1989) dapat dilihat sebagai pencarian explications positivis aturan moral dan
hukum rezim. Sayangnya, dalam beberapa kasus, aturan hukum positivis dan prinsip-prinsip
rezim yang mendasari mungkin tidak identik. Selain itu, pendekatan Rohr "cenderung
menganggap bahwa nilai-nilai rezim dan moralitas akan bertepatan. Di masa lalu, namun, nilai-
nilai rezim mendukung perbudakan, segregasi rasial, dan pengingkaran hak-hak politik penuh
dan perlindungan yang sama dari hukum bagi perempuan, meskipun ada penentangan atas dasar
moral dari banyak pihak "(Rosenbloom, 1989, hal. 483).
Sebaliknya, Terry L. Cooper (1990) membahas tantangan etika praktis yang dihadapi
pegawai negeri di hampir setiap hari tanpa konsultasi sumber otoritatif luar untuk "dalam parit"
bimbingan. "Tesis sentral buku ini," tulis Cooper, mengacu pada The Responsible Administrator,
"adalah bahwa melalui proses mendefinisikan tanggung jawab profes-sional di spesifik, situasi
administrasi konkret yang etika operasional dikembangkan" (hal. 5) . Cooper sehingga
memeriksa proses pengambilan keputusan etis sebagai pengganti mencari nilai-nilai rezim
otoriter atau memperbaiki konten spesifik kode etik. Meskipun ia disebut pencarian Rohr nilai-
nilai rezim "contoh yang sangat baik dari pengobatan nilai-nilai yang administrator publik harus
menginternalisasi dan merenungkan," Cooper tidak setuju dengan fokus sempit Rohr (Cooper,
1990, hal. 166). Dalam Bertanggung Jawab Administrator, misalnya, Cooper mengamati bahwa
nilai-nilai re¬gime yang lebih luas dari penekanan Rohr pada nilai-nilai konstitusi diartikulasikan
oleh Mahkamah Agung AS:
Mengambil pendekatan umum ini, tapi memperpanjang itu di luar fokus khusus Rohr pada
Konstitusi AS, kita mungkin mencatat nilai-nilai rezim ini terkait dengan tradisi Amerika:
aspek menguntungkan pluralisme kepentingan, kemungkinan kreatif dalam konflik,
kedaulatan publik, hak minoritas, pentingnya partisipasi warga dalam pemerintahan, nilai-
nilai sosial dari kebebasan berekspresi. Ini adalah tetapi beberapa nilai teladan yang
mungkin muncul sebagai penting dalam suatu studi diperluas. (Cooper, 1990, hal. 167)
Cooper (1990) berpendapat bahwa administrator publik tidak perlu "etika substantif" untuk
mengatur perilaku mereka karena mereka akan mengambil isyarat mereka pada perilaku etis dari
organisasi masing-masing. Hal ini tidak berarti bahwa administrator publik individu dapat
menghindari tanggung jawab individu untuk tindakannya dengan menempatkan kesalahan pada
organisasi. Jika organisasi tidak berfungsi dengan baik, administrator publik berutang tugas yang
lebih tinggi kepada masyarakat untuk bertindak dengan cara yang etis berdasarkan pengertian
etis pribadi administrator. Dalam kebanyakan kasus, bagaimanapun, itu adalah com-bination dari
dua konsep-bertindak sesuai dengan prinsip utama sebuah berjalan dengan baik organisasi dan
berolahraga gagasan individual perilaku-yang etis menghasilkan administrator bertanggung
jawab. Organisasi, kontrol eksternal, menetapkan standar perilaku dan individu berusaha untuk
memahami dan mematuhi standar itu. Jika individu menganggap kekurangan standar, maka ia
memiliki tugas sebagai warga negara (kontrol internal) untuk memastikan bahwa organisasi tidak
merusak prinsip-prinsip demokrasi (Cooper, 1990, hlm. 226-232).
Teori administrasi publik lainnya telah mengikuti Rohr dan Cooper dalam upaya untuk
memadukan pendekatan subjektif dan objektif (kontrol internal dan eksternal). Dalam Etika
Pelayanan Publik, misalnya, Kathryn G. Denhardt berusaha untuk menjembatani kesenjangan
antara etika filosofis dan praktis berdasarkan "kerangka teori yang lebih baik dikembangkan. . .
lebih membumi dalam filsafat, dan ... akhirnya lebih praktis dalam hal itu con-siders dan
mengakomodasi tuntutan dari lingkungan di mana administrator publik harus berlatih-modem
organisasi publik "(Denhardt, 1988, p. ix). Dia berhenti dari daftar standar filosofis yang harus
digunakan untuk tanah sistem nya.
Patrick J. Sheeran (1993), di sisi lain, memilih untuk menolak apa yang dipandang sebagai
pendekatan legalistik yang dianjurkan oleh Rohr (1989) dan pendekatan dualitas yang dianjurkan
oleh kedua Cooper (1990) dan Denhardt (1988), bukan fokus pada aspek filosofis etika
pelayanan publik.
Konflik antara pendekatan objektivis dan subyektif, ditambah dengan kesulitan yang
diangkat oleh Rohr dan Cooper, adalah alasan yang buruk karena gagal untuk
mengembangkan dan menerapkan program etika di sekolah dari administra¬tion publik. . .
. Buku ini dimulai dengan mengembangkan "dimensi" filosofis yang Denhardt "kiri ke
karya lainnya." Ini menandai keberangkatan dari Rohr dengan mengklaim bahwa etika,
meskipun didasarkan pada "segelintir filsafat," tidak hanya penting dalam mengembangkan
program administrasi publik di etika tapi juga dalam penerapannya pada kursus lain di
Lapangan administrasi publik dalam filsafat, apakah lengkap atau parsial, penting untuk
tidak hanya administrasi publik tetapi, seperti yang ditunjukkan Denhardt keluar, hampir
setiap ilmu. (Sheeran, 1993, p. 11)
Sheeran (1993) mengangkat titik yang menarik: Sebuah landasan dalam filsafat
memastikan bahwa pegawai negeri akan memiliki arti tidak hanya dari nilai-nilai yang mendasari
keputusan yang mempengaruhi masyarakat tetapi alasan di balik nilai-nilai juga. Sebuah
berkembang dengan baik, secara filosofis berdasarkan, rasa beralasan keadilan merupakan
prasyarat penting bagi pegawai negeri yang akan menerapkan kebijaksanaan birokrasi yang
cukup. Banyak karya filsafat, termasuk teori-teori kontemporer yang didukung oleh John Rawls
(1971) dan Robert Nozick (1974), memberikan pegawai negeri yang bersangkutan dengan
makanan filosofis untuk berpikir. (1963) karya klasik William K. Frankena ini, Etika, juga
menyediakan tampilan kontemporer pada perilaku etis. Terdengar sangat seperti modem menulis
utilitarian dalam bahasa teologi atau moralitas, Frankena mengemukakan bahwa manusia harus
bertindak dengan kebaikan. "Prinsip yang harus kita lakukan tindakan atau mengikuti aturan
yang akan atau mungkin akan membawa keseimbangan mungkin terbesar kebaikan atas
kejahatan di alam semesta" (hal. 37). Sayangnya, filosofis ap-proach etika mungkin tidak bisa
dijalankan dalam praktek. Beban mengidentifikasi, menguasai, dan internalisasi filosofi yang
konsisten dari pelayanan publik di serba cepat, selalu berubah konteks organisasi publik hampir
menjamin bahwa pegawai negeri tidak akan mengembangkan keterampilan yang diperlukan
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah etika yang dihadapi dalam proses karir yang
panjang.
Menyadari sulitnya mengharuskan administrator publik en-gage dalam penyelidikan
filosofis yang luas jangkauannya pada saat mereka memasuki pelayanan publik, William D.
Richardson (1997) berpendapat bahwa pencarian sistem etika yang sesuai untuk administrator
publik dimulai pada tahap awal perkembangan moral dan intelektual seseorang. Selain itu,
kualitas karakter warga negara dalam rezim penting dalam memahami bagaimana seorang
individu akan menggabungkan nilai-nilai demokrasi dalam kegiatan nya sebagai pelayan
masyarakat. "Jika itu adalah untuk berkembang atau makmur," tulis Richardson, "rezim yang
berorientasi komersial harus lebih atau kurang berhasil menanamkan kalangan warga ciri-ciri
seperti sebagai kejujuran dasar, keinginan untuk kekayaan, kebiasaan Pasifik (Perang
mengkonsumsi kekayaan), dan beberapa derajat terhormat dari apa yang kita sebut Protestan etos
kerja "(hal. 16). Pengembangan karakter moral yang baik, dengan apprecia¬tion bersamaan
kebajikan sipil, dapat didorong, sampai batas tertentu, dengan mendidik individu dalam nilai-
nilai demokrasi dari bayi. Ketergantungan pada karakter yang baik sebagai komponen penting
dalam mengembangkan warga sipil yang berpikiran, yang pada gilirannya menyebabkan cara
karakteristik berperilaku, etos, adalah apa Berlian (1992) berarti ketika ia disebut "cara Amerika"
dalam artikel terkenal tentang etika dan politik.
Pendekatan yang berbeda untuk etika dalam administrasi publik litera-ture mencerminkan
perdebatan yang telah terjadi dalam literatur hukum, yang berfokus pada dua pertanyaan utama.
Pertama, Harus etika harus dikodifikasikan sebagai sistem legalistik aturan yang berlaku untuk
semua orang dalam profesi tertentu atau harus pegawai negeri diserahkan kepada indra individu
mereka sendiri moralitas untuk menyelesaikan pertanyaan etis? Atau, bisa dan harus dua ap-
proaches digabungkan?
KESIMPULAN
MENDAMAIKAN HUKUM DAN ETIKA
Bukan kebetulan, literatur tentang etika hukum dan etika administrasi publik menyajikan
dilema yang sama. Bagaimana sifat individu etika didamaikan dengan persyaratan universal
pelayanan publik? Dengan kata lain, bagaimana dapat hukum dan etika didamaikan? rasa
individu etika yang dijagokan di atas aturan dikodifikasikan mengarah ke definisi dan penegakan
masalah. Atau, jika aturan etika dikodifikasikan pra-ferred, mereka dapat menyebabkan kaku,
resep formal yang meninggalkan sedikit ruang untuk seorang individu untuk mengandalkan nya
rasa etika sementara bertindak dalam berbagai peran pelayanan publik.
Kombinasi etika pribadi dan aturan dikodifikasi adalah satu-satunya margin-sekutu
kompromi yang memuaskan untuk apa yang mungkin merupakan masalah yang sulit dipecahkan.
"Saya berpendapat bahwa rasa tanggung jawab dan suara penilaian praktis tidak hanya
tergantung pada kualitas pelatihan profesional seseorang, tetapi juga pada kemampuan seseorang
untuk menarik sumber daya dari pengalaman moral yang lebih luas," seorang komentator telah
menulis (Postema, 1980, p . 64). Bahkan jika teori etika panggilan untuk bifurkasi aturan
dikodifikasikan dan moralitas pribadi, "Faktanya adalah bahwa tidak ada cara untuk menghindari
pengenalan kepentingan pribadi dan swasta ke kalkulus keputusan publik" (Bailey, 1965, p.
286). Cooper (1990) menyatakan dengan cara lain,
Proses menafsirkan dan menerapkan spesifikasi dari undang-undang etika dan kode etik
harus diberitahu oleh nilai-nilai inti yang mewakili fondasi tradisi politik, kadang-kadang
disebut sebagai nilai-nilai rezim, serta dengan hati nurani yang dikembangkan dari
administrator yang . Ini mendorong kepatuhan dengan semangat hukum dan kode bukan
hanya surat itu. Juga, nilai-nilai politik diinternalisasi dan hati nurani devel¬oped
memberikan centang pada diri pelindung dan mementingkan diri sendiri kode, yang
asosiasi profesi telah dikenal untuk mengadopsi. Mereka juga menetapkan titik yang lebih
luas dari referensi dari yang untuk mengevaluasi keabsahan setiap bagian tertentu dari
undang-undang etika, (p. 227)
Memang benar bahwa fusi aturan dikodifikasikan dengan konsep pribadi etik tidak benar-
benar menjembatani kesenjangan antara hukum dan etika. Umum (hukum) dan khususnya (etika)
akan selalu berbeda, dengan definisi. Orang mungkin pergi sejauh mengatakan bahwa
kesenjangan antara (etika) semangat dan (positivis) surat hukum tidak akan ditutup. Namun,
mungkin, rekonsiliasi gelisah dari dua, dengan kata Aristoteles, dapat dicapai melalui
pelaksanaan kebijaksanaan praktis. "Jelas, kemudian, dari apa yang telah dikatakan," katanya,
"bahwa tidak mungkin untuk menjadi baik dalam arti sempit tanpa kebijaksanaan praktis, atau
praktis bijaksana tanpa kebajikan moral" (Aristoteles, trans. 1980, p. 158). Dengan demikian,
sedangkan menggabungkan kekhususan etika dan universalitas hukum mungkin menyulitkan
upaya untuk menghukum orang-orang pegawai negeri dianggap tidak etis karena tindakan under-
diambil akan tergantung sebagian pada keadaan berpotensi unik, akhirnya penyatuan itu
memungkinkan untuk konsep yang lebih luas dari etika pelayanan publik daripada yang mungkin
dalam memilih salah satu pendekatan di atas yang lain.
SARAN UNTUK REKONSILIASI
Pada tahap awal, artikel ini menyarankan bahwa itu adalah hal yang sangat sulit untuk
mengembangkan diterapkan, sistem etika yang konsisten dari elemen berbeda dari pelayanan
publik, karena ketegangan mendasar antara hukum (tugas umum) dan etika (tugas pribadi).
Untuk mendamaikan ketegangan ini, sejauh mungkin, tubuh artikel itu dikhususkan untuk
diskusi tentang berbagai teori dan upaya yang didirikan untuk menyelaraskan unsur-unsur yang
berbeda dalam profesi hukum, yang memuncak dalam dukungan untuk peran jalan melalui
adopsi Peraturan Model Perilaku profesional. Artikel ini menyimpulkan bahwa bidang yang
relatif baru dari administrasi publik bisa belajar banyak dari upaya profesi hukum dalam
kerajinan sistem etika. Pertanyaan yg muncul pada saat ini: Bagaimana tujuan ini direalisasikan?
Seperti pelaksanaan setiap rencana reformasi, setan adalah dalam rincian.
Merehabilitasi Gambaran dari Administrasi Publik
Ini adalah sesuatu yang baru untuk meminta sistem yang lebih baik dari etika untuk
administrator publik. literatur penuh dengan panggilan tersebut untuk tindakan (misalnya, lihat
Chandler, 1983; Cooper, 1990; Ostrom, 1974; O'Toole, 1984; Streib, 1992). Sayangnya,
panggilan ini untuk bertindak lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Ya, mendidik
pemimpin masa depan dalam nilai-nilai demokrasi yang sesuai sangat penting (Pangle & Pangle,
1993; Richardson, 1997). Ya, asosiasi profesional seperti American Society for Admini¬stration
Umum (ASPA) dapat dipanggil untuk memimpin upaya reformasi seperti mensponsori komite
studi pada revitalisasi etika pelayanan publik, tuan confer¬ences untuk membahas komponen
yang tepat dari suatu sistem etika, dan melewati resolusi mendesak administrator publik untuk
mematuhi standar etika. Ini adalah langkah pertama yang penting dan, untuk sebagian besar,
telah dilakukan di masa lalu. Selain itu, kode formal etik seperti Kode ASPA Etik dan Pedoman,
Kode Internasional Manajemen Kota Etik dengan Pedoman, Manajemen Kontrak National
Association Kode Etik, US Code of Ethics 1980, atau salah satu kode negara dari etika dapat
disebut-sebut sebagai prekursor untuk pengembangan kode seragam etik lapangan. Tapi ini
kontrol eksternal hanya akan memiliki efek terbatas sampai citra administrator publik rata-rata
sebagai tanpa nama, tak berwajah, birokrat memihak membaik.
Penggunaan gambar jangka tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa tugas
meningkatkan bidang administrasi publik hanyalah sebuah latihan dalam hubungan masyarakat.
Bukan itu. Satu-satunya cara yang realistis untuk meningkatkan citra admin-istrator publik
adalah untuk membuat administrator individu senang menjadi pegawai negeri, untuk membuat
mereka bangga menceritakan sesama manusia yang "ya, saya seorang administrator publik,"
pengacara cara bangga membanggakan kehebatan ruang sidang dan ketajaman hukum. Meskipun
tidak mungkin bahwa narasi heroik akan pernah mengembangkan administrator sekitar sebagian
masyarakat, mungkin masyarakat akan menganggap pekerjaan birokrat dengan jijik kurang saat,
dan jika tidak, bidang ini direhabilitasi.
Dalam upaya untuk merehabilitasi lapangan, sarjana baru-baru ini telah membela
kebutuhan untuk administrasi publik pada banyak alasan (Goodsell, 1983; Rohr, 1986). Salah
satu sarjana telah menyarankan bahwa fitnah terus administrator publik dapat menyebabkan
hilangnya tenaga yang berharga sebagai individu melarikan diri karir pelayanan publik mencari
lebih banyak uang, kehormatan, dan prestise (Adams, 1984). Mendorong kehormatan dan harga
diri dari sesama manusia, bahkan lebih dari membayar upah lebih tinggi, adalah masalah
terpenting dalam menghidupkan kembali administrasi publik (McDonald, 1985). Ini adalah
langkah pertama yang penting dalam mengubah lapangan menjadi profesi yang benar dan,
setelah itu, di pem-aran kode yang bisa diterapkan etik.
tugas raksasa ini dapat dicapai, jika tidak ada yang lebih ahli dari Tocqueville (1969)
adalah dapat dipercaya, dengan mengandalkan "kepentingan dipahami dengan baik." Dengan
kata lain, upaya untuk meningkatkan prestise dan persetujuan dari administrator publik bisa
dicapai jika reformis melakukan lebih dari sekedar panggilan untuk reformasi. Pertama,
administrator publik harus dilakukan untuk melihat bahwa itu adalah dalam kepentingan terbaik
mereka untuk bergabung dengan profesi asli administrasi publik, seperti pengacara bergabung
dengan profesi hukum setelah melewati pemeriksaan bar dalam yurisdiksi tertentu.
Dengan pemodelan profesi baru administrasi publik pada profesi hukum, reformasi dapat
memastikan bahwa profesionalisasi administrator publik tidak menimbulkan ancaman bagi nilai-
nilai demokrasi. Hal ini bisa terjadi ketika penjaga gerbang profesi bersikeras mengadopsi kode
etik yang mendorong anggota profesi baru untuk bertindak atas nilai-nilai demokrasi sebagai
kewajiban fidusia kepada publik. Meskipun identifikasi nilai-nilai tidak akan tetap bebas dari
kontroversi, setidaknya pengembangan kode etik untuk kelompok profesional pegawai negeri
berdasarkan nilai-nilai demokrasi akan menyelesaikan beberapa ambiguitas yang saat ini ada
sekitar standar etika yang sesuai.
Memprofesionalkan Administrasi Publik
Bidang administrasi publik harus menjadi profesi asli. Upaya jauh diperlukan untuk
mencapai tujuan ini. Ini tidak akan mudah. Selain mendidik siswa tentang nilai-nilai demokrasi
yang dimulai pada masa bayi, itu akan membutuhkan langkah-langkah tambahan lainnya,
pertama di tingkat federal dan kemudian di negara bagian dan kota. Reformis idealnya harus
melobi Con¬gress untuk memberlakukan undang-undang menciptakan kelas federal yang baru
dari adminis¬trators publik. Serupa dengan Layanan Eksekutif Senior, tapi lebih luas dan
tersedia di semua tingkat pemerintahan, kelas baru ini administrator publik akan diberikan judul
baru, mungkin Bersertifikat Wali Umum, atau sesuatu yang serupa. Individu akan memasuki
profesi melalui proce¬dure perizinan, mengatakan, pemeriksaan diatur oleh suatu lembaga yang
independen dari administrator publik. Dewan akan berfungsi sebagai gatekeeper untuk profesi
baru. (Ketentuan dapat diadopsi untuk memungkinkan repre¬sentation publik di papan untuk
menenangkan anggota masyarakat yang tidak diragukan lagi akan melobi untuk partisipasi warga
dalam suatu kegiatan gatekeeping sebagai cara untuk memastikan bahwa profesi tidak akan
menjadi porsi terlalu diri dan elitis .)
Dalam lembaga tertentu, wali publik bersertifikat akan dibayar gaji yang lebih besar dan
ditugaskan tanggung jawab lebih besar daripada rekan-rekan nonlicensed mereka, yang masih
akan bekerja dalam lembaga tapi dalam kapasitas yang lebih rendah. Ini kelas baru wali publik
bersertifikat akan ekspeted untuk melayani masyarakat dalam kapasitas fidusia, seperti
pengacara melayani klien dalam profesi mereka, sebagai pengganti merendahkan diri
mengadopsi tujuan dari organisasi tertentu.
Apakah ini tujuan mulia dengan sedikit kesempatan dilaksanakan? Mungkin. Adalah
panggilan untuk profesionalisasi lebih besar dalam administrasi publik bidang bertentangan
dengan tren saat ini seperti keinginan untuk deprofessionalize administrasi publik oleh
"reinventing pemerintah" dan terlibat dalam asap-dan-cermin simi-lar "inovasi"? (Gore, 1993;
Osborne & Gaebler, 1992). Pasti. Untuk alasan yang dibahas di bawah, lebih besar professionali-
lisasi dari lapangan, pada keseimbangan, akan memastikan akuntabilitas yang lebih besar di
antara administrator publik daripada akan upaya untuk mendesentralisasikan pemerintahan
opera-tions dan parsel mereka di badan swasta yang tidak tunduk pada kontrol yang sama yang
berlaku untuk sektor publik. Deprofessionalizing lapangan mungkin (atau tidak mungkin)
menyebabkan keuntungan dalam efisiensi, tetapi perubahan ini akan memerlukan akuntabilitas
kurang pemerintah dan semua konstitusional dan masalah operasional yang menyertainya.
Apakah ini harga yang layak membayar? Pada akhirnya, ini adalah pertanyaan bagi para
pembuat kebijakan mempertimbangkan privatisasi dan usulan serupa, meskipun posisi di sini
adalah bahwa harga terlalu tinggi. Sementara itu, masalah ini tetap: Bagaimana bisa
administrator publik dibuat lebih akuntabel? Mempertimbangkan pilihan yang lebih besar, tidak
kurang, profesionalisasi, seperti dibahas di bawah.
Menerapkan Kode Etik yang Berlaku
kepatuhan sukarela untuk kode etik, meskipun mengagumkan, tidak cukup untuk
memastikan bahwa semua anggota lapangan diadakan dengan standar yang terdapat dalam kode.
Selain itu, selama administrator publik umumnya tidak melihat diri mereka sebagai wali dari
kepercayaan publik suci, mereka tidak akan melihat ke kode sukarela etik sebagai standar untuk
menilai layanan mereka kepada publik. Dalam skenario kasus terbaik, jika administrator publik
melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok paraprofessional sukarela, mungkin beberapa
administrator akan mengikuti pedoman etis dari asosiasi profesional mereka. Namun, jumlah
peserta akan cukup kecil, sebagai Streib (1992) telah menunjukkan. Selain itu, konsekuensi dari
ketidakpatuhan dengan kode sukarela tetap sebagian besar tidak penting.
Apa yang dibutuhkan, kemudian, adalah kode etik untuk kelompok baru ini administrator
publik profesional yang akan membutuhkan anggota kelompok untuk mengikuti aturan
dikodifikasikan profesi atau risiko pengenaan sanksi. Sekali lagi, ini adalah pelajaran belajar dari
profesi hukum. Tentu saja, ini bukan untuk mengatakan bahwa kode etik yang ketat selalu dapat
memaksa individu untuk berperilaku etis jika mereka cenderung untuk berperilaku lain-
bijaksana, tapi pasti, kode dilaksanakan etik memberikan insentif bagi perilaku yang benar
dengan cara yang tidak ada kode sukarela bisa .
Minimal, kode etik yang kuat harus membutuhkan, dengan mekanisme yang sesuai
penegak (huruf yaitu, swasta dan publik teguran, denda moneter, dan pengusiran dari profesi di
langka, keadaan mengerikan), bahwa administrator publik bertindak sesuai dengan masyarakat
bunga dan nilai-nilai demokrasi sebagai istilah-istilah ambigu didefinisikan melalui aturan
dikodifikasikan dan pedoman yang diterbitkan oleh dewan inde-penden dari administrator publik
dalam konsultasi dengan praktisi, akademisi, dan masyarakat. Singkatnya, kode etik "dengan
gigi" yang juga memungkinkan untuk rasa pribadi etika adalah cara yang paling praktis untuk
memastikan bahwa pegawai negeri berperilaku secara bertanggung jawab.
Peran Moralitas dan peran Jalan lain untuk Administrator Umum
Selain sistem disahkan aturan, namun, kelas baru administrator publik harus mengakui
moralitas peran yang unik dalam rezim. Di sinilah pendidikan seumur hidup dalam nilai-nilai
demokrasi yang penting. Administrator publik melayani peran integral sebagai penjaga rezim
dan nilai-nilainya. Dalam mengadopsi peran recourse, administrator diadakan pada
Standar profesi administrasi publik baru yang terkandung dalam kode etik. Melampaui
standar legalistik kode, administrator publik individu harus mengandalkan nya pemahaman nilai-
nilai demokrasi untuk mengisi kesenjangan dalam menanggapi situasi dunia nyata tidak tercakup
oleh kode. Dalam hal administrator publik individu percaya bahwa pekerjaan yang dia dipanggil
untuk melakukan melanggar ajaran mendasar pusat untuk proses demokrasi, ia akan memiliki
hak, memang tugas, untuk bertindak dalam peran warga masyarakat dalam menempatkan
kepentingan rezim atas dan di atas kepentingan profesi atau lembaga. Fakta bahwa perhitungan
ini akan dibuat jarang, bahkan dalam kasus di mana itu harus dibuat, diakui. Meskipun demikian,
kelangkaan administrator publik individu bertindak dalam peran jalan nya sebagai warga negara
publik atas dan di atas peran profesional nya tidak meniadakan perlunya menyediakan untuk
peran jalan.
Ketegangan antara hukum dan etika, antara tugas umum dan khusus, akan terus
mengacaukan ulama dan praktisi, karena perbedaan mendasar dalam dua konsep. Meskipun
ketegangan ini, adalah kewajiban warga negara rezim untuk mencari perkawinan hukum dan
etika, masyarakat dan swasta. Mungkin itu adalah upaya terus bergulat dengan masalah etika,
dan bukan pengembangan kode tertentu etik, yang mengarah ke apa Aristoteles dianggap
"kebijaksanaan praktis”.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, R. (1981). Why does die ABA promulgate ethical rules? Texas Law Review, 59, 639-
688.
Adams, B. (1984). The frustrations of government service. Public Administration Review, 44y
5-13.
American Bar Association (ABA). (1983). Model rules of professional conduct and code of
judicial conduct. Chicago: Author.
Appleby, R H. (1952). Morality and administration in democratic government. Baton Rouge:
Louisiana State University Press.
Arendt, H. (1972). Crises of the republic. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Bailey, S. K. (1965). Ethics and the public service. In R. C. Martin (Ed.), Public Administra-
tion and Democracy (pp. 283-298). Syracuse, NY: Syracuse University Press.
Black, H. C. (1979). Black’s law dictionary (5th ed.). St Paul, MN: West Blackstone, W.
(1818). Commentaries on the laws of England. (Vols. 1-4). Boston: T. B. Wait & Sons.
Bok, D. C. (1983). A flawed system of law practice and training. Journal of Legal Education,
JJ, 570-585.
Catron, B. L., & Denhardt, K. G. (1994). Ethics education in public administration. In T. L.
Cooper (Ed.), Handbook of Administrative Ethics (pp. 49-61). New York: Marcel
Dekker.
Chandler, R. C. (1983). The problem of moral reasoning in American public administration: The
case for a code of ethics. Public Administration Review, 43, 32-39.
Chitwood, S. R. (1974). Social equity and social service productivity. Public Administration
Review, 34, 29-35.
Cody, W.J.M., & Lynn, R. R. (1992). Honest government: An ethics guide for public service.
Westport, CT: Praeger.
Cooper, T. L. (1987). Hierarchy, virtue, and the practice of public administration: A perspective
for normative ethics. Public Administration Review, 47,320-328.
Cooper, T. L. (1990). The responsible administrator: An approach to ethics for the admin-
istrative role (3rd ed.). San Francisco: Jossey-Bass.
Corwin, E. S. (1969). The “higher law” background of American constitutional law. In P. Woll
(Ed.), American government: Readings and cases (3rd ed., pp. 37-54). Boston: Little,
Brown.
Davis, K. C. (1969). Discretionary justice. Baton Rouge: Louisiana State University Press.
Denhardt, K. G. (1988). The ethics of public service: Resolving moral dilemmas in public
organizations. Westport, CT: Greenwood.
Dershowitz, A. M. (Ed.). (1990). The world’s most famous court trial: Tennessee evolution
case. Birmingham, AL: Notable Trials Library.
Devine, D. J. (1972). The political culture of the United States. Boston: Little, Brown.
Dewey, J. (1927). The public and its problems. New York: Holt.
Diamond, M. (1992). Ediics and politics: The American way. In L. G. Rubin & C. T. Rubin
(Eds.), The questforjustice: Readings in political ethics (3rd ed., pp. 295-315). Needham
Heights, MA: Ginn.
Dworidn, R. (1978). Taking rights seriously. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Finer, H. (1990). Administrative responsibility in democratic government. In W. L. Richter, F.
Burke, & J. W. Doig (Eds.), Combating corruption/encouraging ethics: A sourcebook for
public service ethics (p. 44). Washington, DC: The American Society for Public
Administration.
Fiss, O. M. (1981). The varieties of positivism. Yale Law Journal, 90,1007-1016.
Fletcher, G. P. (1981). Two modes of legal thought. Yale Law Journal^ 90,970-1006.
Foster, G. D. (1981). Law, morality, and the public servant. Public Administration Review,
41,29-34.
Frankena, W. K. (1963). Ethics. New Yoik: Prentice Hall.
Frederickson, H. G. (1980). New public administration. University: University of Alabama
Press.
Fried, C. (1976). The lawyer as friend: The moral foundations of the lawyer-client relation. Yale
Law Journal, 55,1060-1089.
Friedrich, C. J. (1972). The pathology of politics. New York: Harper & Row.
Friedrich, C. J. (1990). Public policy and the nature of administrative responsibility. In W. L.
Richter, F. Burke, & J. W. Doig (Eds.), Combating corruption/encouraging ethics: A
sourcebookforpublic service ethics (pp. 43-44). Washington, DC: The American Society
for Public Administration.
Gawthrop, L. (1984). Public management systems and ethics. Bloomington: Indiana University
Press.
Gideon v. Wainwright, 372 U.S. 335 (1963).
Golembiewski, R. T. (1965). Men, management, and morality: Toward a new organizational
ethic. New York: McGraw-Hill.
Goodsell, C. T. (1983). The case for bureaucracy: A public administration polemic. Chatham,
NJ: Chatham House.
Gore, A. (1993). Report of the National Performance Review: Creating a government that works
better and costs less. Washington, DC: Government Printing Office.
Gortner, H. F. (1991). Ethics for public managers. Westport, CT: Praeger.
Gulick, L. (1937). Science, values, and public administration. In L. Gulick & L. Urwick (Eds.),
Papers on the science of administration (pp. 191-195). New York: Augustus M. Kelley.
Hamilton, A., Madison, J., & Jay, J. (1961). The federalist papers. New York: New American
Library.
Harmon, M. M. (1974). Social equity and organizational man: Motivation and organizational
democracy. Public Administration Review, 34,11-18.
Hart, D. K. (1974). Social equity, justice, and the equitable administrator. Public Administration
Review, 34, 3-11.
Hart, H.L.A. (1961). Law, liberty, and morality. New York: Vintage.
Hart, H.L.A. (1963). The concept of law. Oxford, UK: Oxford University Press.
Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. Chicago: University of Chicago Press.
Hazard, G. C. Jr. (1991). The future of legal ethics. Yale Law Journal, 100,1239-1280.
Hejka-Ekins, A. (1988). Teaching ethics in public administration. Public Administration Review,
48, 885-891.
Heywood, A. (1994). Political ideas and concepts: An introduction. New York: St. Martin’s.
Hobbes, T. (1958). Leviathan. Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill.
Holmes, S. A. (1996, September 8). Dick Morris's behavior and why it’s tolerated. The New
York Times, p. E5.
Jones, W. T. (1970). The classical mind: A history of western philosophy (2nd ed.). New York:
Harcourt Brace Jovanovich.
Kavathatzopoulos, I. (1994). Training professional managers in decision-making about real life
business ethics problems: The acquisition of the autonomous problem-solving skill.
Journal of Business Ethics, 13,379-386.
Lee, H. (1960). To kill a mockingbird. New York: Warner.
Lewis, A. (1991). Gideon’s trumpet. New York: Random House.
Leys, W.A.R. (1952). Ethics for policy decisions. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Lilia, M. T. (1981). Ethos, “ethics,” and public service. Public Interest, 63,3-17.
Locke, J. (1947). Two treatises of government. New York: Hafner.
Lowi, T. (1969). The end of liberalism. New York: Norton.
Luban, D. (1988). Lawyers and justice: An ethical study. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Lumbard, T. (1981). Setting standards: The courts, the bar, and the lawyers’ code of conduct.
Catholic University Law Review, 30,249-271.
Maclver, R. M. (1947). The web of government. New York: Macmillan.
Marini, F. (Ed.). (1971). Toward a new public administration. Scranton, PA: Chandler.
Marini, F. (1992). The uses of literature in the exploration of public administration ethics: The
example of Antigone. Public Administration Review, 52,420-426.
Marx, F. M. (1940). Public management in the new democracy. New York: Harper & Row.
McDonald, F. (1985). Novus ordo seclorum: The intellectual origins of the constitution.
Lawrence: University Press of Kansas.
McGregor, E. B. (1974). Social equity and the public service. Public Administration Review,
34,18-29.
Morgan, T. D. (1977). The evolving concept of professional responsibility. Harvard Law
Review, 90, 702-743.
Mosher, F. C. (1982). Democracy and the public service. New York: Oxford University Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. New York: Basic Books.
Okun, A. M. (1975). Equality and efficiency: The big tradeoff. Washington, DC: Brookings
Institution.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing government: How the entrepreneurial spirit is
transforming the public sector from schoolhouse to statehouse, City Hall to Pentagon.
Reading, MA: Addison-Wesley.
Ostrom, V. (1974). The intellectual crisis in American public administration. University:
University of Alabama Press.
O’Toole, L. J. Jr. (1984). American public administration and the idea of reform. Administration
¿L Society, 16,141-166.
Pangle, L. S., & Pangle, T. L. (1993). The learning of liberty: The educational ideas of the
American founders. Lawrence: University Press of Kansas.
Patterson, L. R. (1984). Legal ethics: The law of professional responsibility (2nd ed.). New
York: Matthew Bender.
Porter, D. O., & Porter, T. W. (1974). Social equity and fiscal federalism Public Administration
Review, 34, 36-43.
Postema, G. J. (1980). Moral responsibility in professional ethics. New York University Law
Review, 55,63-89.
Powell v. Alabama, 287 U.S. 45 (1932).
Pratt, C. B. (1993). Critique of the classical theory of situational ethics in U.S. public relations.
Public Relations Review, 19, 219-234.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Belknap.
Redford, E. S. (1958). Ideal and practice in public administration. University: University of
Alabama Press.
Richardson, W. D. (1997). Democracy, bureaucracy, and character: Founding thought.
Lawrence: University Press of Kansas.
Richardson, W. D., & Nigro, L. G. (1987). Administrative ethics and founding thought:
Constitutional correctives, honor, and education. Public Administration Review, 47, 367-
376.
Rohr, J. A. (1986). To run a constitution: The legitimacy of the administrative state. Lawrence:
University Press of Kansas.
Rohr, J. A. (1989). Ethics for bureaucrats: An essay on law and values (2nd ed.). New York:
Marcel Dekker.
Rosenbloom, D. H. (1989). Public administration: Understanding management, politics, and
law in the public sector (2nd ed.). New York: Random House.
Schneyer, T. (1989). Professionalism as bar politics: The making of the model rules of
professional conduct. Law and Social Inquiry, 14,677-737.
Schubert, G. A. (1960). The public interest. New York: Free Press.
Shaffer, T. L., & Shaffer, M. (1991). American lawyers and their communities. Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press.
Shakespeare, W. (1904). King Henry VI, part 2, act 4, scene 2. In The works of William
Shakespeare (pp. 31-64). New York: Oxford University Press.
Sheeran, P. J. (1993). Ethics in public administration: A philosophical approach. Westport, CT:
Praeger.
Shuchman, R (1968). Ethics and legal ethics: The propriety of the canons as a group moral
code. George Washington Law Review, 57,244-269.
Simon, W. (1978). The ideology of advocacy: Procedural justice and professional ethics.
Wisconsin Law Review, i, 29-143.
Streib, G. (1992). Ethics and expertise in the public service: Maintaining democracy in an era of
professionalism. Southeastern Political Review, 20,122-143.
Taylor, H. (1992). The statesman. Westport, CT: Praeger.
Thayer, F. C. (1973). An end to hierarchy! An end to competition! New York: New Viewpoints.
Tocqueville, A. de (1969). Democracy in America. Garden City, MI: Anchor.
Torp, K. H. (1994). Ethics for public administrators. National Civic Review, 83,70-73.
Tusa, A., & Tusa, J. (1986). The Nuremberg trial. New York: Atheneum.
Wakefield, S. (1976). Ethics and the public service: A case for individual responsibility. Public
Administration Review, 56,661-666.
Waldo, D. (1948). The administrative state. New York: Ronald Press.
Wasserstrom, R. (1975). Lawyers as professionals: Some moral issues. Human Rights, 5,1-24.
Weber, M. (1992). Selections from politics as a vocation. In L. G. Rubin & C. T. Rubin (Eds.).
The quest for justice: Readings in political ethics (3rd ed., pp. 273-283). Needham
Heights, MA: Ginn.
Weisband, E., & Franck, T. M. (1975). Resignation in protest. New York: Grossman.
White, O., & Gates, B. L. (1974). Statistical theory and equity in the delivery of social services.
Public Administration Review, 34,43-52.
Wildavsky, A. (1980). How to limit government spending. Berkeley: University of California
Press.
Wilson, J. Q. (1975). The rise of the bureaucratic state. Public Interest, 41,77-103.
Wilson, J. Q. (1985). The rediscovery of character: Private virtue and public policy. Public
Interest, 81,3-16.
Wilson, W. (1941). The study of administration. Political Science Quarterly, 56,481-506.
(Original work published June 1887)
Wise, D. (1973). The politics of lying: Government, deception, secrecy, and power. New York:
Random House.
Wolfram, C. W. (1978). Barriers to effective public participation in regulation of the legal
profession. Minnesota Law Review, 62,619-647.
Wolin, S. S. (1960). Politics and vision: Continuity and innovation in western political thought.
Boston: Little, Brown.
J. Michael Martinez currently works as an environmental/governmental affairs representative
for a Fortune 400, privately held plastics manufacturing company. He also serves as a
part-time political science instructor at Georgia State University and an adjunct
instructor of law at John Marshall Law School in Atlanta, Georgia. A member of the bar
in Georgia and South Carolina, Martínez holds a bachelor’s degree in philosophy and
political science from Furman University (1984), a J.D. fromEmory University (1987),
an M.P.A.from the University of Georgia (1991), and a PhD. in political science from
Georgia State University (1995). Along with Dr. William D. Richardson and Dr. Ronald
JL McNinch, he is coeditor of a collection of essays, Old Times There Are Not
Forgotten: Confederate Symbols in the Contemporary South.

More Related Content

Similar to Administtrasi dan masyarakat

3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
petraaja
 
Budaya birokrasi
Budaya birokrasiBudaya birokrasi
Budaya birokrasi
virmannsyah
 
Budaya birokrasi
Budaya birokrasiBudaya birokrasi
Budaya birokrasi
virmannsyah
 
Tanggung jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaanTanggung jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan
Arini Nurmala Sari
 
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptxISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
AkunPremium123
 
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
SukrasnoSukrasno
 
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
Suryo Aji Saputro
 
penyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukumpenyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukum
mochammad fathor rosi
 
98936229 makalah-isbd
98936229 makalah-isbd98936229 makalah-isbd
98936229 makalah-isbd
Reff Raf
 
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
Rajabul Gufron
 
Law Sociology
Law SociologyLaw Sociology
Law Sociology
RiskyAminAlQadry
 
Paradigma hukum
Paradigma hukumParadigma hukum
Paradigma hukum
rudo subayatn
 
Government Ethics / Etika pemerintahan
Government Ethics / Etika pemerintahanGovernment Ethics / Etika pemerintahan
Government Ethics / Etika pemerintahan
Yuca Siahaan
 
Hukum non doktrinal
Hukum non doktrinalHukum non doktrinal
Hukum non doktrinal
Destu Argianto
 
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
PT Kalbe Farma
 
Sosiologi hukum s-1
Sosiologi hukum s-1Sosiologi hukum s-1
Sosiologi hukum s-1
ariirwanto
 
Etika administrasi publik 1
Etika administrasi publik 1Etika administrasi publik 1
Etika administrasi publik 1
Andi Irawan
 
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
Imam Arifin
 
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
arisatrias
 
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdfTUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
karisma46
 

Similar to Administtrasi dan masyarakat (20)

3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
3, be & gg, petra vitara wimar. hapzi ali, ethics and business ; envirome...
 
Budaya birokrasi
Budaya birokrasiBudaya birokrasi
Budaya birokrasi
 
Budaya birokrasi
Budaya birokrasiBudaya birokrasi
Budaya birokrasi
 
Tanggung jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaanTanggung jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan
 
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptxISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
ISTILAH MENYANGKUT ILMU HUKUM.pptx
 
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
9, BE & GG, Sukrasno, Hapzi Ali, Corporate Ethics Rights Privileges Problems ...
 
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
SIM, Suryo Aji Saputro, Prof. Dr. Hapzi Ali, M.M, Implikasi Etis TI, Universi...
 
penyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukumpenyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukum
 
98936229 makalah-isbd
98936229 makalah-isbd98936229 makalah-isbd
98936229 makalah-isbd
 
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
Pancasila sebagai Sistem Etika dan Etika Politik (Mata Kuliah Pendidikan Panc...
 
Law Sociology
Law SociologyLaw Sociology
Law Sociology
 
Paradigma hukum
Paradigma hukumParadigma hukum
Paradigma hukum
 
Government Ethics / Etika pemerintahan
Government Ethics / Etika pemerintahanGovernment Ethics / Etika pemerintahan
Government Ethics / Etika pemerintahan
 
Hukum non doktrinal
Hukum non doktrinalHukum non doktrinal
Hukum non doktrinal
 
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
9, be & gg, rudi, hapzi ali, corporate ethics rights privileges, problem and ...
 
Sosiologi hukum s-1
Sosiologi hukum s-1Sosiologi hukum s-1
Sosiologi hukum s-1
 
Etika administrasi publik 1
Etika administrasi publik 1Etika administrasi publik 1
Etika administrasi publik 1
 
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
9, be gg, novita dewi purnama,hapzi ali corporate ethics rights privileges pr...
 
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
9. be gg, ari satria saputra, prof. dr. ir. hapzi ali, mm, cma, ethics rights...
 
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdfTUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
TUGAS MAKALAH SOSHUM KARISMA SULASTRI.pdf
 

Recently uploaded

Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
nasrudienaulia
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
NirmalaJane
 
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdfSeminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
inganahsholihahpangs
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Fathan Emran
 
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIANSINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
NanieIbrahim
 
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptxRPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
YongYongYong1
 
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata anginMedia Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
margagurifma2023
 
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
SABDA
 
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docxLaporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
RUBEN Mbiliyora
 
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdfMODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
YuristaAndriyani1
 
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptxRENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
mukminbdk
 
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdfMODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
sitispd78
 
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
GusniartiGusniarti5
 
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdfKONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
AsyeraPerangin1
 
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawanpelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
EvaMirzaSyafitri
 
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptxPemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
ssuser4dafea
 
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remajamateri penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
DewiInekePuteri
 
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptxGERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
fildiausmayusuf1
 
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptxPOWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
cikgumeran1
 
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamiiAksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
esmaducoklat
 

Recently uploaded (20)

Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
 
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdfSeminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
Seminar Pendidikan PPG Filosofi Pendidikan.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
 
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIANSINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
SINOPSIS, TEMA DAN PERSOALAN NOVEL MENITI IMPIAN
 
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptxRPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
RPH BAHASA MELAYU TAHUN 6 SJKC 2024.pptx
 
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata anginMedia Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
Media Pembelajaran kelas 3 SD Materi konsep 8 arah mata angin
 
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
 
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docxLaporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
Laporan Pembina Pramuka sd format doc.docx
 
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdfMODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
 
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptxRENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
 
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdfMODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
MODUL AJAR MAT LANJUT KELAS XI FASE F.pdf
 
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOKPENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
PENDAMPINGAN INDIVIDU 2 CGP ANGKATAN 10 KOTA DEPOK
 
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdfKONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
KONSEP TEORI TERAPI KOMPLEMENTER - KELAS B KELOMPOK 10.pdf
 
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawanpelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
pelayanan prima pada pelanggan dan karyawan
 
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptxPemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
 
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remajamateri penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
 
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptxGERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
GERAKAN KERJASAMA DAN BEBERAPA INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI.pptx
 
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptxPOWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
 
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamiiAksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
Aksi Nyata Erliana Mudah bukan memahamii
 

Administtrasi dan masyarakat

  • 1. Administrasi dan Masyarakat http://aas.sagepud.com/ Hukum dibandingkan dengan Etika: Mendamaikan Dua Konsep Etika Pelayanan Publik J. Michael Martinez Administrasi & Masyarakat 1998: 690 DOI: 10.1177/00959979802900609 Artikel versi online ini bisa ditemukan di: http://aas.sagepub.com/content/29/6/690 Dipublikasikan oleh: SAGE http://www.sagepublications.com pelayanan tambahan dan informasi tentang administrasi dan masyarakat bias didapatkan di: Email: http://aas.sagepib.com/cgi/alerts Subskripsi: http://aas.sagepib.com/subscriptions Cetak ulang: http://aas.sagepib.com/jurnalsReprints.nav Perizinan: http://aas.sagepib.com/journalPermissions.nav Kutipan: http://aas.sagepib.com/contrnt/29/6/690.refs.html
  • 2. mengembangkan sistemyang bisa diterapkan oleh etika pelayanan publik diakui sulit, untuk ketegangan dasar diantara hukum (tugas publik) dan etika (tugas sendiri). Artikel ini beracuan pada penelitian hukumetika bagaimana sebuah rumusan penelitian yang baik untuk profesi pelayanan publik yang telah didamaikan dari ketengan ini, sampai batas tertentu, melalui penerapan dari sebuah yang ”diakui” kode etik itu juga mempertimbangkan professional untuk melangkah dari balik sistem yang tealh ditentukan aturan dan keterlibatannya atau etika individu yang dia rasakan dalam contoh yang tepat. Selanjutnya artikel ini beracuan pada penelitian etika administrasi dan berpendapat bahwa bertentangan dengan ketentuan tren sekarang yang ditunjukkan pada pengangguran, administrasi publik akan mendapatkan manfaat dari sebuah karya yang baru dari profesi administrasi publik itu akan mengambil contoh dari kode etik yang tidak asing untuk hukumprofesonal kode etik, sehingga memungkinkan untuk panduan dari aturan yang diakui (tugas hukum) dan sila etika individu (tuga sendiri). HUKUM DIBANDINGKAN DENGAN ETIKA Mendamaikan dua konsep Etika Pelayanan Publik J.MICHAEL MARTINEZ Universitas Negara Georgia judul artikel ini adala, “ hukum dibandingkan dengan etika: mendamaikan dua konsep etika pelayanan publik, “menyoroti ketegangan antara hukum dna etika yang telah diakui di dalam tradisi intelektual barat sejak zaman Yunani kuno (Aristotle, 1980; 1970; Plato, 1979). Menyambung ketengan yang relative mudah; pengembangan yag dapat dilaksanakan, konsistensi sistem dari etika pelayanan publik saat menghadapi ketenganan tersebut, namun ini merupakan hal yang sangat suli. Yang menjadikan usaha tersebut sulit adalah induvidu pelayanan publik itu sendiri. (dalam konteks, ada pribadi individu seperti seorang pengacara atau administrasi publik CATATAN PENULIS: sebelum artikel ini disajikan dalamsebuah tulisan pada Oktober 1996 pertemuan Southeastern Conference for Public Administration (SECOPA) konversi di bagian tenggara tentang Administrasi Publik di Miami, Florida. Penulismengucapkan terima kasih kepada Dr. William D. Richardson, Universitas Negara Georgia, untuk bimbingannya,dan komentar serta saran, dalampenulisan jurnal in.
  • 3. yang mengikutsertakan dalam sebua keahlian dan membuat kebijakan kegiatan yang berpengaruh terhadap nilai-nilai politik dan rezim tradisional). Yang telah dikembangkan selama seumur hidup, rasa etika pribadi didasarkan pada factor particularized, termasuk pendidikan, kebiasaaan, dan pengalaman. Sebagai contoh, seorang pegawai negeri berperan sebagai seorang masyarakat yang dibebankan untuk menjunjung tinggi pada tingkat tertentu untuk melegitimasi nilai-nilai demokrasi bersama rezim (namun tidak terbatas pada, kepatuhan terhadap pluralisme politik dan keyakinan dalam keutamaan "satu orang, satu suara" sebagai contoh perwakilan) mungkin konflik dengannya atau perasaan pribadi dari etika (Richardson, 1997). Apabila seorang pegawai negri dan swasta terjadi konflik etika, ketenganan ini mencerminkan nilai diantara hokum dan etika, sehingga terjadi ketegangan (bentrok) dianataa pegawai negeri dengan swasta. Dalam upaya mendamaikan ketegangan diantara hokum (tugas public) dan etika (tugas pribadi) pegawai negeri yang berusaha untuk mengembangkan system etika, artikel ini akan membahas (a) meneliti berbagai literatur tentang hokum etika yang relatif mudah ditangani oleh pegawai negeri atas ketegangan ini, (b) menyarankan cara-cara di mana pelajaran dari profesi hukum dapat diterapkan untuk bidang administrasi publik, dan (c) berpendapat dalam mendukung sistem etika pelayanan publik di mana aturan legalistik perilaku adalah komponen yang diperlukan, akan tetapi tidak cukup sistem itu saja. Begitu juga berpendapat tentang etika seseorang saja tidak cukup. Keduanya digabungkan, akan tetapi penggabungan ini sangat mengkhawatirkan, hal ini mungkin karena untuk pengembangan sistem etika pelayanan masyarakat tersebut, meskipun tidak memuaskan akan tetapi sebuah perbaikan dan pendekatan yang baik. Selain hal diatas, untuk mencapai tujuan tertentu sering sekali aturan dikodifikasi dengan rasa etika pribadi. Artikel ini akan menyarankan cara-cara yang mana dalam administrasi publik dapat dibuat merespon lebih seperti anggota pada profesi yang berbeda. isa dibilang diperlukan langkah pertama dalam membangun sistem yang bisa diterapkan etika pelayanan publik. PERBEDAAN HUKUM DENGAN ETIKA Jelas sekali bahwa hukum seharusnya ditetrapkan dalam rezim demokrasi, Bahkan aturan hukum umum yang mengatur transaksi pribadi (misalnya, kontrak, gugatan, dan hukum keluarga) yang universal hal ini dikarenakan hokum pemerintahan yang kondisinya dapat
  • 4. diaplikasiakn pada setia orang yang lebih banyak atau cara belajar yang sama. Sehingga, dibawah aturan hokum, seperti seperti kasus harus diperlakukan sama didasarkan pada sistem yang dikenal dan diketahui peraturannya. sekarang hukum di Negara kita meliputi setidaknya konsep dasar dari ekuitas, tergantung pada penerapan prinsip-prinsip hukum umum untuk situasi faktual tertentu tanpa memperhatikan kekayaan orang tertentu, status sosial, atau posisi keluarga. Klasifikasi yang dibuat hanya atas dasar alasan yang dapat diartikulasikan dan dipertahankan terhadap tuduhan ketidakteraturan atau, dalam kasus religius, individualism (Black, 1979, pp. 484-485). Selain fusi modem dari prinsip-prinsip hukum dan adil, hukum didefinisikan dalam tradisi Barat seperti “yang harus dipatuhi dan diikuti oleh warga dikenakan sanksi atau konsekuensi hokum bagi yang melanggar” (Black, 1979, p. 795). Dalam Blackstone’s (1818) Parlance, hukum adalah hasil dari kewajiban kontraktual masyarakat untuk warga "dalam pertukaran untuk yang setiap individu telah mengundurkan diri bagian dari kebebasan alami" (p.34). Menyadari kekuatan hukum untuk memerintahkan warga untuk berperilaku dengan cara yang dianggap "benar" oleh penguasa, Hobbes (1958) mendefinisikan positivis hukum seperti ” setiap sunjek yang memiliki aturan kewarganegaran yang telah memerintahkannya, baik secara kata, tulisan, atau tanda yang cukup dikehendak, untuk mempermudah perbedaan benar dan salah "(emphasis omitted; p. 210). Dengan beberapa pengecualian, Locke (1947) sependapat dengan definisi Hobbes, menambahkan bahwa hukum adalah hasil dari proses demokrasi "Dalam majelis impowered untuk bertindak dengan hukum positif, di mana tidak ada nomor yang ditetapkan oleh hukum positif yang memberdayakan mereka, tindakan mayoritas lolos untuk tindakan seluruh "(hlm. 169). Dalam karya monumentalnya Mengambil Hak Serius, Ronald Dworkin (1978) mendefinisikan pandangan positivis dominan hukum di rezim demokrasi modern sebagai aturan khusus ditegakkan melalui penggunaan kekuasaan publik, yang berbeda dari aturan yang menentukan interaksi sosial dapat diterima, yaitu , aturan moral yang komunitas berikut tapi tidak menegakkan melalui penggunaan kekuasaan publik (p. 17). Dworkin (1978) perbedaan antara aturan hukum dan sosial (atau moral) menyoroti kesulitan dalam mendamaikan hukum dan etika. Di bawah rasa ketat positivis aturan hukum, kekuasaan publik umumnya tidak digunakan untuk sanksi penyimpangan yang bersifat murni moral atau pribadi. Bagaimana bisa sebaliknya? Jika pegawai negeri bertindak semata-mata pada sering tidak jelas, mungkin inarticulable, ajaran etika pribadi mereka sendiri, masyarakat akan
  • 5. kehilangan keutamaan yang besar dari aturan hukum positivis, yaitu, mereka yang didefinisikan dengan, explicated karakteristik. Selain itu, etika penyimpangan pribadi oleh pegawai negeri akan sulit atau tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau, dalam hal ini, memperbaiki. Tersirat dalam (1978) definisi Dworkin adalah gagasan etika sebagai melibatkan kekhawatiran swasta murni, karena standar etika adalah kode tertentu individu dari perilaku terpisah dari aturan menegakkan-bisa masyarakat etik universal. (Dalam arti modem nya, bercerai dari pemahaman Aristoteles tentang etika sebagai kebajikan, etika istilah yang sering mengacu moralitas individu, apa yang Martin Berlian [1992] disebut "'Engkau harus berpunya' ... puritan atau Victoria 'tidak-tidak itu'" [p. 296]. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian, meskipun "Modem penggunaan mungkin membedakan kedua di yang 'etika' telah menjadi terkait dengan kedua penyelidikan filosofis dan profesional standar, sementara moral terus memegang konotasi 'aturan hak perilaku'" [Denhardt, 1988, p. 31]. Namun istilah etika dan moral mungkin dibedakan secara teknis, istilah yang sering digunakan secara sinonim atau dalam hubungannya dengan satu sama lain.) Adapun perbedaan antara hukum dan etika / moral, Mark Lilia (1981) mengamati bahwa sistem etika bukan merupakan pembenaran abstrak untuk tindakan atau serangkaian proposisi yang dapat diterapkan dengan presisi hukum untuk situasi fakta yang muncul. Sebuah sistem etika, etos, adalah sesuatu yang hidup dan dipraktekkan. rasa individu etika adalah "antropologi ... cara kebajikan pembelajaran yang teruji dan halus kompleks," dikembangkan melalui asosiasi seumur hidup dengan keluarga, gereja, teman sebaya, dan sekolah (14 p.) Dengan demikian, perbedaan dengan jelas yang berlaku umum karakter-sifat-positivis atau hukum surat hitam yang dirancang untuk menutupi situasi faktual analog, sistem etika membayangkan dilema tertentu pada konteks tertentu yang dihadapi individu yang harus merespon sebagian didasarkan pada kebajikan dan kebiasaan. Salah satu komentator lebih menyoroti perbedaan antara hukum dan etika: Menimbang bahwa keputusan moral yang keputusan berdasarkan nilai-yang isi-dan konteks-spesifik, keputusan hukum yang sebaliknya: keputusan prosedur berbasis yang tergantung pada preseden sejarah. Umumnya, hukum adalah dilahirkan sebagai respon terhadap aneh (atipikal) perilaku yang melebihi batas-batas penerimaan sosial, bahkan di mana mereka batas mungkin tidak mewakili masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, pengecualian tertentu menimbulkan aturan umum, yang kemudian memberikan dasar untuk melawan pengecualian sebanding. Proses kodifikasi dan standarisasi berfungsi untuk mendefinisikan situasi yang moralis akan melihat sebagai unik menurut beberapa struktur generik. Efek utamanya adalah untuk mengurangi lingkungan uncer-
  • 6. ketidakmenentuan, untuk mempersempit gauge penafsiran, dengan pembatasan jumlah situasi yang unik mungkin. (Foster, 1981, hal. 31) Karena kurangnya presisi hukum dan tidak adanya "proses kodifikasi dan standarisasi" di semua bidang pelayanan publik serta fitur mungkin tidak rasional etika, timbul pertanyaan: Dapatkah ketegangan antara hukum dan etika diselesaikan, mungkin dengan meminta pemimpin yang diakui digunakan dalam pelayanan publik untuk mengartikulasikan konsep yang disepakati-on etika pribadi dan, setelah itu, mengkodifikasikan daftar resultan sehingga semua pegawai negeri akan memiliki panduan yang digunakan untuk menilai tindakan mereka? Hal ini menyebabkan pertanyaan kedua: Jika diinginkan, bagaimana sistem ini dikodifikasikan aturan dilaksanakan sejak administrator publik, tidak seperti profes¬sion hukum, bukan anggota profesi yang jelas diatur oleh sebuah organisasi kerja atau lisensi yang latihan a gatekeeping func¬tion dan perintah kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi? Jawaban untuk pertanyaan pertama yang disarankan di sini adalah bahwa kodifikasi seperti aturan yang diinginkan. Memang, itu adalah diperlukan, meskipun insuffi-efisien, komponen dalam mengembangkan sistem etika pelayanan publik. kodifikasi, meskipun tidak sempurna, akan kompromi mewujudkan fitur terbaik dari kedua dunia. Daftar sila etika akan mempertahankan fitur penebusan hukum positivis (itu akan disepakati, tertulis, dikenal dan diketahui, dan diajarkan kepada siswa profesi) sementara juga menggabungkan rasa moralitas pribadi pada intinya. "Jarak moral" antara hukum dan etika bisa diperkecil, meskipun tidak benar-benar dihapuskan (Postema, 1980, hal. 65). Pertanyaan kedua lebih sulit untuk mengatasi karena literatur tentang apakah profesi administrasi publik saat ini ada atau bahkan mungkin bervariasi dan tidak meyakinkan (misalnya, lihat Streib, 1992). Cukuplah untuk mengatakan bahwa argumen di sini adalah mendukung kedua kemungkinan dan desirabil¬ity mengembangkan administrasi publik profesional kuat. Banyak yang dapat dipelajari, misalnya, dari quest profesi hukum untuk mengembangkan aturan perilaku profesional sementara bersamaan meninggalkan ruang untuk pengacara mengandalkan ajaran etika pribadi mereka untuk meningkatkan tanggung jawab profesional mereka. Umumnya, pengacara telah memfokuskan upaya mereka pada menggabungkan konsep etika ke dalam standar dikodifikasikan perilaku bagi seluruh anggota bar. Karena pengacara
  • 7. tradisional telah dilemparkan dalam peran pelindung rezim, masyarakat telah diharapkan pengacara berlatih "lebih baik" etika. Profesi hukum telah menanggapi harapan tersebut dengan mengadopsi aturan ketat yang mengatur perilaku pengacara, melembagakan persyaratan tanggung jawab pro¬fessional lebih komprehensif di banyak yurisdiksi, dan menyediakan mekanisme penegakan seperti prosedur pengaduan formal dan aturan untuk melakukan sidang disiplin. Pada saat yang sama, namun upaya terakhir untuk mereformasi etika hukum telah mengakui pentingnya menggabungkan aturan dikodifikasikan perilaku profesional dengan ajaran etika individual (Hazard, 1991, hal. 1240). PENGACARA DAN HUKUM PROFESI: YANG BERMORAL UNIVERSE? SIFAT PRAKTIS KEWENANGAN HUKUM-RASIONAL Dari ketiga jenis otoritas pemerintah diidentifikasi oleh Max Weber, yang "legal-rasional" tradisi (aturan hukum) adalah dasar yang berlaku umum untuk melegitimasi kekuasaan di stabil, rezim demokrasi yang sedang berlangsung (Waber, 1992, hlm. 274). Menurut pandangan ini, aturan hukum beroperasi melalui keberadaan tubuh yang jelas, aturan yang berlaku umum khas ditemukan di negara- negara birokrasi (H. Hart, 1961, 1963). Otoritas menempel ke kantor politik, bukan kepada individu, maka pepatah "pemerintahan hukum dan bukan dari manusia" (Heywood, 1994, hal. 108). Pengacara, pemasok hukum dalam rezim demokratis seperti Amerika Serikat, memahami tugas mereka dari didominasi legal-rasional per-prospektif, kadang-kadang dengan sedikit memperhatikan filosofis abstraksi di-vorced dari aplikasi praktis. Seorang komentator dihormati pada etika hukum, Profesor L. Ray Patterson (1984), telah menjelaskan perspektif bar Amerika sebagai preferensi untuk aturan perilaku profesional yang aturan pragmatis hukum dan tidak perenungan hanya filosofis tentang perilaku yang harus didorong (p. 11). Dengan mempertimbangkan aturan tanggung jawab profesional sebagai aturan hukum dengan sanksi jelas diresepkan untuk orang-orang yang terlibat dalam perilaku yang dilarang, bar telah membentuk sarana untuk mengendalikan perilaku anggota profesi yang jatuh di bawah standar tertentu. Meskipun ini mungkin tampak menjadi pendekatan dasar untuk etika karena hanya berfokus pada perilaku negatif, itu mencerminkan konsep mendasar dalam pemerintahan Amerika, yaitu ketidakpercayaan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang seperti pengacara yang memegang kekuasaan. Mungkin contoh yang paling terkenal dari keprihatinan ini dengan pelanggaran potensi kekuasaan diartikulasikan dalam "Federalist No. 51," ketika Publius mengamati bahwa "Jika pria
  • 8. malaikat, pemerintah tidak akan diperlukan. Jika malaikat yang memerintah laki-laki, kontrol tidak eksternal maupun internal pemerintah akan diperlukan "(Hamilton, Madison, & Jay, 1961, p. 322). Karena campur tangan ilahi tidak dapat diandalkan untuk mengontrol perilaku manusia, aturan etik harus "memiliki gigi," seperti sanksi diberlakukan, jika mereka untuk melayani sebagai cara yang efektif untuk mengatur perilaku profesional. perspektif-bahwa bar aturan etika yang ditegakkan secara hukum kontrol-mungkin exter-nal menyerang nonlawyers seperti mengganggu, karena pendekatan positivis untuk pertanyaan yang awalnya tampak normatif. Namun pendekatan tidak mengherankan karena pengacara menganalisis situasi faktual dalam kaitannya dengan tugas-tugas mereka kepada klien mereka dan profesi hukum. Sebagai salah satu komentator telah mengamati, "Sejauh pengacara merancang aturan etika hukum untuk melindungi diri dari kecelakaan hukum, 'etika defensif' adalah spesies legalisme" (Schneyer, 1989, hal. 725). Patterson telah membela alasan untuk fokus pragmatis ini sebagai pemahaman tentang tugas pengacara sebagai profesional. analisis etis, menurut perspektif ini, adalah analisis tugas seseorang untuk dirinya sendiri sebagai individu pribadi: Bagaimana saya harus bersikap? Apa hak saya dan kewajiban untuk diri sendiri dalam hubungannya dengan seluruh masyarakat? Karena pengacara prihatin dengan tugas mereka tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk klien mereka dan pengadilan juga, mereka harus melihat melampaui aturan yang mendorong perilaku etis individu. Mereka harus melihat aturan yang mendorong- dan, jika perlu, menghukum-kinerja individual untuk nya tugas sebagai seorang profesional. Dengan kata lain, kode etik profesi yang bersangkutan dengan kinerja profesional sebagai seseorang yang, berdasarkan perannya, mempengaruhi orang lain dalam rezim. Aturan perilaku profesional untuk pengacara tidak peduli dengan individu yang bertindak sebagai warga negara; mereka prihatin dengan pengacara bertindak sebagai pelayan publik (Patterson, 1984, p. 11). Penekanan pada hukum, atau fidusia, tugas pengacara untuk klien telah menyebabkan, pertama, untuk pengembangan kanon etika dan, kemudian, dengan penerapan aturan disiplin dan kode model perilaku yang menentukan perilaku diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dan memberikan sanksi untuk yang kedua (American Bar Association [ABA], 1983). Dalam bangun dari mengadopsi kode dilegalisir etik, pengacara kadang-kadang telah menemukan diri mereka, ironisnya, repre¬senting klien dan penyebab mereka yakini secara moral dapat diterima. paradoks posisi-pengacara ini menghibur keraguan etis tetapi terikat oleh aturan dikodifikasikan etika hukum untuk memberikan representasi bersemangat untuk klien-menggambarkan perbedaan sesekali hukum dan etika dan con¬tributes dengan gambar populer pengacara sebagai "senjata disewa . "Sebagai komentator Richard Wasserstrom (1975) telah mengamati," pada terbaik dunia pengacara adalah dunia moral yang disederhanakan; sering itu adalah amoral satu; dan lebih dari kadang-kadang, mungkin, salah satu yang terang-terangan tidak bermoral "(hal. 2).
  • 9. KONSEPSI ETIK HUKUM Jika otoritas legal-rasional, yang secara universal diterapkan dalam sebuah rezim, kadang-kadang tidak cukup untuk memandu perilaku tertentu individu, bimbingan etis diperlukan. Dilihat oleh literatur yang tersedia, profesi hukum lama menyadari kebutuhan untuk mengintegrasikan etika dalam profesi (Abel, 1981; Fiss, 1981; Fletcher, 1981; Fried, 1976; Hazard, 1991; Luban, 1988; Lumbard, 1981; Morgan, 1977; Shaffer & Shaffer, 1991; Shuchman, 1968; Simon, 1978; Wasserstrom, 1975; Wolfram, 1978). Namun, pertanyaannya tetap: Dengan metode apa dan sejauh mana harus etika hukum dipahami, diajarkan, dan diterapkan? Dua pendekatan mudah datang ke pikiran. Pertama, pengacara mungkin mencari kasuistis untuk masalah etika yang dihadapi mereka dan kemudian memasukkan prinsip-prinsip umum dalam aturan etika, kode, dan aturan. Pendekatan ini, yang menggambarkan konsepsi standar etika diintegrasikan ke otoritas legal-rasional, memerlukan pemahaman tentang pengacara berperan moralitas, dis-mengumpat nanti dalam artikel ini. Pendekatan kedua adalah untuk mengembangkan bawah-berdiri dari prinsip-prinsip etika umum dan menggunakan pemahaman ini sistem-atically sebagai panduan untuk menyelesaikan situasi tertentu yang muncul (filsafat moral umum). Masing-masing pendekatan memiliki kelemahan yang parah. Kasuistis memberikan jawaban jika kesulitan etika tertentu dapat ditempatkan dalam kategori yang tercakup oleh canon, kode, atau aturan. Jika kesulitan adalah unik atau ambigu-ous, aturan dikodifikasikan mungkin hanya penggunaan terbatas. Pendekatan kedua, bergantung pada filsafat moral umum, mungkin lebih sulit karena tubuh bekerja pada filsafat etika mencakup seluruh lingkup peradaban Barat dan sering terbuka untuk berbagai makna yang saling bertentangan dan interpretasi (Postema, 1980, hal. 67 ). Ini tidak berarti, tentu saja, bahwa profesi hukum belum mencoba untuk mengembangkan aturan etika melalui kedua metode, terutama mantan. Pada awal abad ke-19, misalnya, sarjana hukum dan anggota bar menyerukan kanon untuk memandu perilaku praktisi, meskipun kanon tidak dilihat sebagai standar hukum ditegakkan tetapi sebagai "peringatan emanat¬ing dari sebuah organisasi hanya pribadi" bahwa "tidak memiliki efek hukum langsung, baik dalam proses pengaduan terhadap pengacara kesalahan atau tindakan sipil untuk praktek hukum" (Hazard, 1991, hal. 1250). Kanon pertama, Kanon Etik Profesional, diadopsi oleh ABA pada 27
  • 10. Agustus 1908. Mereka memiliki asal-usul mereka di Alabama Asosiasi 1887 Kode Etik serta ceramah Hakim George Sharswood berjudul Etika Profesional dan David Hoffman A Course of Legal Studi (dikutip dalam ABA, 1983, p. ix). Dalam waktu, bagaimanapun, bar mengubah kanon menjadi serangkaian aturan disiplin. Transformasi ini dicapai, di meas¬ure besar, dengan penerapan Kode ABA ini Tanggung Jawab Profesional di 1970. legalisasi ajaran etika bar terus setelah tahun 1970 dan kemudian mengakibatkan adopsi dari Peraturan Model Perilaku Profesional pada tahun 1983 ( ABA, 1983). Peran Moralitas Sebelum pengacara dikutuk sebagai senjata menyewa yang bermoral dan sama sekali unredeemable, seperti di (1975) perenungan Wasserstrom ini, peran func-nasional mereka dalam masyarakat harus dipertimbangkan. Sebagai pendukung kepentingan klien mereka, terlepas dari pendapat pribadi mereka dari klien atau penyebab klien, pengacara melakukan layanan yang berharga kepada masyarakat dengan berdiri dalam manfaat klien. Sebuah pengacara representasi "bukan merupakan endorse-ment, pandangan politik klien ekonomi, sosial atau moral atau kegiatan" (ABA, 1983, hal. 16). Dengan demikian, pengacara harus memisahkan perasaan pribadi dari tanggung jawab profesional ketika dan jika ada konflik. bifurkasi ini pendapat pribadi pengacara dan kepentingan klien memastikan bahwa bahkan penyebab tidak populer diperjuangkan dan kasus-kasus kontroversial menerima hari mereka di pengadilan (Fried, 1976). Meskipun individu tertentu mungkin merasa tidak nyaman menceraikan perasaan individu nya dari peran dia bermain sebagai pelayan masyarakat, manfaat masyarakat dari pembagian tugas hukum dan moral. lembaga sosial dalam rezim demokratis yang dirancang agar individu yang berinteraksi dengan lembaga-lembaga mempromosikan nilai-nilai sosial. Jika seseorang bekerja dalam pengaturan kelembagaan memutuskan untuk mempromosikan nilai-nilai pribadinya di atas nilai-nilai lembaga, proses demokrasi yang menciptakan, atau setidaknya diperjuangkan, nilai-nilai sosial dielakkan. Seorang individu bebas, misalnya, untuk menentang hukuman mati dengan alasan etis selama dia atau dia bertindak sebagai individu pribadi. Namun, jika individu yang sama memegang posisi dalam kantor kejaksaan yang memiliki tanggung jawab untuk menuntut kasus hukuman mati, individu harus menahan diri dari menolak untuk melaksanakan misi kejaksaan penuntutan kasus hukuman mati meskipun keberatan pribadi orang tersebut untuk hukuman mati
  • 11. akan belum tentu berubah. Jika individ-ual tidak dapat mendamaikan keberatan pribadinya untuk hukuman mati dengan tanggung jawab publik kejaksaan untuk menuntut kasus hukuman mati, maka individu harus meninggalkan kantor kejaksaan. Dia kemudian bebas untuk menolak hukuman mati tanpa takut mengorbankan tugas publik nya. Sebagai salah satu komentator telah mengamati, "peran sosial dan profesional" membuat tugas khusus untuk individu yang melayani dalam peran mereka. individu telah, pada dasarnya, menjadi pegawai negeri karena pembagian kerja antara individu swasta dan individu yang bertindak sebagai pengambil keputusan dalam rezim. Peran sosial ini mengharuskan individu menganggap nya tugas sebagai pelayan publik atas perasaan individu nya, kecuali dalam kasus yang jarang dibahas nanti dalam artikel ini (Postema, 1980, hal. 72). Selain peran pengacara sebagai pembela nilai-nilai sosial demokratis dalam pengaturan kelembagaan, pengacara swasta sering melayani peran penting sebagai "mitigators dari kecenderungan destruktif demokrasi" (Hazard, 1991, hal. 1241). Geoffrey C. Bahaya Jr (1991), seorang komentator yang sering tentang etika hukum, telah menulis bahwa profesi hukum berfungsi masyarakat lain yang berguna, meskipun sering tidak populer, cara. masyarakat umumnya membenci pengacara, sering mengejek profesi dengan lelucon pengacara dan pengacara wisatawan dalam jajak pendapat umum sebelah salesman mobil bekas dalam hal kejujuran dan utilitas sosial. Hazard telah menyarankan bahwa banyak cemoohan dan ejekan dapat dikaitkan dengan peran sejarah profesi di "menyeimbangkan tingkah pemerintah populer dengan tekanan dari pasar" (hal. 1241). Karena pengacara sering membantu komunitas bisnis dan pemimpin politik ditetapkan melalui litigasi, proses con¬tract, hukum perusahaan, dan manuver politik, masyarakat memandang profesi sebagai pelindung dari status pembela quo- antidemokrasi hak istimewa elit. Dalam (1991) lihat Hazard ini, gambar ini dari pengacara sebagai "tidak populer dan moral tersangka" adalah perspektif dimengerti dalam terang sentimen populis bersama oleh segmen besar penduduk. Meskipun demikian, dengan membantu "pengembangan dan perlindungan kekayaan bisnis dalam sebuah sistem politik yang dilakukan baik pemerintah populer dan pembatasan konstitusional pemerintah," pengacara telah memungkinkan rezim berfungsi dan, sampai batas tertentu, mereka telah menjabat sebagai cek pada destruktif sifat demokrasi tak terkekang. Pandangan pemerintahan yang demokratis sebagai berpotensi merusak kekhawatiran Publius ketika ia diamati dalam "Federalist No. 10" bahwa "demokrasi memiliki pernah spec¬tacles turbulensi dan pertengkaran; pernah ditemukan tidak
  • 12. sesuai dengan keamanan pribadi atau hak milik; dan telah secara umum telah sesingkat dalam kehidupan mereka karena mereka telah kekerasan di kematian mereka "(Hamilton et al., 1961, p. 81). Dengan melindungi keamanan pribadi dan hak milik dari mayoritas tirani atau faksi minoritas yang merusak, pengacara telah melayani fungsi sosial yang penting, meskipun mereka telah dibayar untuk layanan mereka dengan gambar ternoda (Hazard, 1991, hal. 1241) Jangan salah berpikir pengacara korban malang dalam perang public relations, itu baik untuk diingat bahwa citra negatif pengacara sebagai penembak bayaran, penghuni alam semesta tunggal bermoral, telah dikurangi dalam kesadaran populer dengan pandangan sebaliknya melalui narasi heroik seorang pengacara yang berani berdiri untuk penyebab yang tidak populer dengan pengorbanan pribadi yang besar. Pandangan ini tercermin di seluruh pengalaman Amerika: Fiksi Atticus Finch di To Kill a Mockingbird (Lee, 1960) mudah muncul dalam pikiran, seperti halnya contoh sejarah termasuk Clarence Darrow di Scopes "Monyet Trial" 1925 (Dershowitz, 1990); pengacara berani yang akhirnya membela terkenal "Scottsboro Boys" di Powell v Alabama (1932).; jaksa Amerika di Pengadilan Nuremberg yang dipimpin oleh AS Hakim Agung Robert Jackson (Tusa & Tusa, 1986); Serangan Joseph Welch pada taktik menakut-nakuti dari Senator Joseph McCarthy pada tahun 1950 (Hazard, 1991, hal 1243.); dan pertahanan Abe Fortas untuk Clarence Earl Gideon di Gideon v Wainwright (1963; Lewis, 1991)., untuk beberapa nama. Diperdebatkan, contoh-contoh ini menggambarkan fitur positif dari pengacara peran moralitas. Advokat dalam kasus-kasus mungkin telah memendam pribadi reserva-tions tentang kebenaran dari penyebabnya, tetapi mereka menyisihkan pemesanan mereka dan maju kepentingan klien mereka, tetap. Bahkan garis terkenal Shakespeare "Hal pertama yang kita lakukan, mari kita membunuh semua pengacara" tidak antilawyer yang makian itu awalnya tampaknya menjadi karena kata-kata yang diucapkan oleh salah satu dalang yang lain karena mereka rencana untuk merusak stabilitas rezim yang ada dengan membuang dari wali keadilan (Shakespeare, 1904, p. 55). Penekanan pada peran moralitas, bagaimanapun, bukan tanpa kritik. Masalah dengan mengakui adanya moralitas peran adalah bahwa ia memerlukan pengacara untuk kotakkan personas swasta dan publik mereka, mengabaikan mereka "nilai off-the-job," yang mungkin memiliki efek yang tidak diinginkan dari memblokir "salib-fertilisasi moral pengalaman yang diperlukan untuk per-musiman dan pertumbuhan profesional "(Postema, 1980, hal. 64). Karena manusia rasional sering membuat keputusan berdasarkan berbagai faktor termasuk rasa moralitas
  • 13. yang mereka mungkin kesulitan untuk mengartikulasikan, patut dipertanyakan apakah pengacara memuaskan dan konsisten dapat menceraikan diri pribadi dan publik mereka, bahkan jika tindakan ini dianggap komponen yang diinginkan dari pengacara peran moralitas (Schneyer, 1989, hal. 731). Kritik menuduh bahwa dengan menciptakan "jarak moral" antara "moralitas biasa" dan tanggung jawab profesional, profesi hukum telah berkurang "alam semesta moral" dari pengacara (Postema, 1980, hal. 65). Ironisnya, persepsi seorang pengacara sebagai "instrumen dari kedua kebebasan dan keadilan politik," seperti yang digambarkan dalam kasus terkenal yang dikutip di atas, mungkin tidak lebih akurat dibandingkan dengan citra pengacara sebagai amoral, atau tidak bermoral, menyewa gun (Hazard , 1991, hal. 1244). Namun, keberadaan moralitas peran telah berharga untuk alasan lain. Karena peran unik pengacara 'dalam masyarakat modem, profesi hukum selalu bersikeras bahwa awam tidak harus mengembangkan aturan perilaku yang mengatur pengacara menjadi penyebab nonlawyers tidak mungkin mengerti, dan karena itu tidak bisa secara efektif mengatur, perilaku pengacara menghadapi dilema etika di jalannya praktek hukum (Lumbard, 1981; Wolfram, 1978). Memang, pada tahun-tahun awal profesi hukum Amerika, bar adalah lebih atau kurang diri kepolisian. Kanon etika tidak diumumkan oleh pihak ketiga namun oleh pengacara sendiri (Hazard, 1991; Schneyer, 1989). "Klub anak tua" persaudaraan didasarkan pada asumsi sederhana; Pemimpin dari bar "mensyaratkan bahwa pengacara-pemikiran yang tepat tahu hal yang tepat untuk dilakukan dan yang paling pengacara benar-pemikiran" (Hazard, 1991, hal. 1250). Konsep pengacara peran khusus moralitas dilindungi dari keanehan yang mengganggu, mungkin bodoh, awam. Pada tahun-tahun berikutnya, bagaimanapun, panggilan untuk aturan etika ditingkatkan dikeluarkan dalam menanggapi beberapa faktor, termasuk ledakan litigasi yang dirasakan terkait dengan klaim diduga sembrono, kepedulian terhadap akses yang sama terhadap sistem peradilan, peningkatan industrialisasi dan kemajuan teknologi yang menyebabkan konflik yang semakin kompleks dan cedera, hak baru diakui sering dikaitkan dengan kemurahan pemerintah, dan pengakuan pengacara '"godaan besar untuk memikul menyisihkan pesaing seseorang, untuk memotong pendatang, untuk mengabaikan kepentingan orang lain dalam perjuangan untuk berhasil" (Bok, 1983, hal. 575). Ini diperlukan pengembangan pemahaman yang lebih baik tentang peran pengacara dalam masyarakat. (Bidang administrasi publik menghadapi serangan serupa di peran yang tepat dalam rezim.)
  • 14. Peran Sumber Daya Ahli filsafat susila telah menyatakan keprihatinan bahwa standar concep-tion etika diwujudkan dalam moralitas peran membayangkan peran tetap untuk pengacara. Artinya, "sejauh praktisi individu yang bersangkutan, alam semesta moral perannya adalah fakta objektif, yang harus diperhitungkan, tetapi tidak untuk dia untuk mengubah" (Postema, 1980, hlm. 82-83). Kode etik yang hasil yang menentukan; mereka membutuhkan praktisi untuk mengadopsi salah satu peran tertentu sesuai dengan situasi yang sedang dipertimbangkan dan kemudian berperilaku sesuai dengan aturan dikodifikasikan perilaku. Sebaliknya, peran jalan memungkinkan pengacara untuk bertindak, jika perlu, selain dari tugas dilegalisir perannya moralitas. ahli filsafat susila telah menunjuk Aristoteles untuk menggambarkan poin mereka. Misalnya, di The Nicomachean Ethics, Aristoteles berpendapat bahwa jarak antara teori umum dan tindakan dapat dijembatani oleh "kebijaksanaan praktis," yang merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa "Kemampuan kita untuk menyelesaikan konflik secara rasional sering melebihi kemampuan kita untuk mengucapkan prinsip-prinsip umum "(Postema, 1980, hal. 68) Aristoteles berkata, kebijaksanaan praktis adalah kualitas pikiran berkaitan dengan hal-hal yang adil dan mulia dan baik bagi manusia, tetapi ini adalah hal-hal yang merupakan tanda dari seorang pria yang baik yang harus dilakukan dan kita tidak ada yang lebih mampu bertindak untuk mengetahui mereka jika kebajikan yang negara karakter, sama seperti kita tidak ada yang lebih mampu bertindak untuk mengetahui hal-hal yang sehat dan suara, dalam arti tidak memproduksi melainkan yang keluar dari keadaan kesehatan. (Aristoteles, trans. 1980, hal. 154) tindakan etis bukanlah hasil dari karakter yang baik saja (swasta moral ity) seperti itu tidak cukup untuk mengetahui prinsip-prinsip umum tanpa bertindak atas prinsip-prinsip (kasuistis). kebijaksanaan praktis memungkinkan manusia dari karakter yang baik untuk melakukan penilaian dalam beradaptasi prinsip-prinsip umum untuk situasi tertentu. Ini adalah kombinasi dari karakter, penge-tepi seseorang dari prinsip-prinsip etika, dan nya latihan penghakiman melalui kebijaksanaan praktis yang menghasilkan hanya bertindak. Aristoteles juga mengamati, Seperti kita mengatakan bahwa beberapa orang yang melakukan tindakan tidak selalu adil, yaitu, mereka yang melakukan tindakan ditahbiskan oleh hukum baik terpaksa atau karena ketidaktahuan atau karena alasan lain, bukan demi tindakan sendiri (meskipun,
  • 15. untuk yang pasti, mereka melakukan apa yang mereka harus dan semua hal yang orang baik seharusnya), sehingga, tampaknya, bahwa untuk menjadi salah satu yang baik harus dalam keadaan tertentu ketika seseorang melakukan beberapa tindakan, yaitu, satu keharusan melakukannya sebagai akibat dari pilihan dan demi tindakan sendiri. (Aristoteles, trans. 1980, hlm. 155-156) Moralitas pribadi saja tidak cukup. Pengetahuan tentang aturan profes-sional perilaku, terutama jika dilakukan karena takut sanksi hukum, tidak cukup tanpa metode menjembatani kesenjangan antara aturan hukum positivis dan rasa pribadi etika. Dalam arti aristotelian, fleksibel "jalan peran" diperlukan. Peran jalan seperti memaksa pengacara untuk melangkah dari balik perisai yang disediakan oleh sistem kodifikasi aturan dan terlibat sistem nya sendiri etik. Dalam pandangan ini, seorang pengacara tidak bisa mengklaim bahwa dia bertindak hanya sebagai teknisi atau agen dari klien. Pengacara itu harus melibatkan nya pertimbangan moral dalam mewakili klien (postema, 1980, hal. 83). ModelTata Tertib professional Sebagian dalam menanggapi kekhawatiran lanjutan tentang sifat tetap dan legalistik dari 1970 Kode Tanggung Jawab Profesional, ABA mengadopsi Peraturan Model Perilaku Profesional pada tahun 1983 (Hazard, 1991, hal. 1251). Aturan baru diperbolehkan ruang untuk peran jalan dan digembar-gemborkan oleh banyak komentator dalam komunitas hukum sebagai kompromi yang memuaskan antara kasuistis dan filsafat moral umum. Memang, dengan menentukan perilaku yang tepat dari seorang pengacara bertindak sebagai advokat (Rules 3,1- 3,9), penasihat (Rule 2.1), perantara (Rule 2.2), dan evaluator (Rule 2.3), Peraturan Model ditetapkan serangkaian hitam-surat aturan, tentu keuntungan dari hukum positivis, dan ditentukan keadaan segudang menghadapi pengacara, tergantung pada peran nya, dan dengan mempertimbangkan kesulitan yang berhubungan dengan menetapkan standar perilaku profesional dari perspektif tunggal. Salah satu komentator diamati, "penyewaan senjata" kritik filsuf moral 'dari kode ABA sebelumnya tampaknya sebagian besar tidak bisa diterapkan pada Peraturan Model. kritik bahwa menegaskan bahwa etika hukum aturan memaksa pengacara ke peran advokat yang menempatkan kepentingan klien di atas semua orang lain, dan telah melakukannya dengan melarang pengacara untuk membiarkan nilai-nilai mereka sendiri atau kepentingan pihak ketiga mempengaruhi keputusan mereka tentang siapa yang mewakili dan bagaimana mewakili mereka. Namun Aturan Model mengakui bahwa pengacara memainkan beberapa peran,
  • 16. bukan hanya yang dari advokat. Mereka juga mengundang pengacara dalam peran apapun untuk mengambil nilai-nilai mereka sendiri ke rekening. Mereka mengizinkan pengacara untuk menolak atas dasar moral untuk mewakili calon klien, wewenang pengacara untuk "membatasi tujuan" representasi dengan mengecualikan klien bertujuan mereka menemukan "menjijikkan atau tidak bijaksana"; dan dalam konsesi yang luar biasa untuk kepekaan pengacara memungkinkan mereka untuk menarik setiap kali "klien bersikeras untuk mengejar tujuan pengacara menganggap bertentangan atau tidak bijaksana" - bahkan jika minat klien akan "terpengaruh" oleh penarikan! Aturan-aturan ini dimaksudkan tepat untuk menyelesaikan "konflik potensial antara hati nurani pengacara dan tugas pengacara untuk vigorously mewakili klien." (Schneyer, 1989, hal. 736) Dengan penerapan Peraturan Model, beberapa anggota dari profesi hukum yang tertekan oleh apa yang mereka lihat sebagai legalisasi terus bar. Misalnya, Peraturan Model tidak lagi menggunakan kanon jangka ketika membahas etika profesional, bukan mengacu pada aturan sebagai berwibawa, dengan disertai komentar "dimaksudkan sebagai panduan untuk interpretasi" (ABA, 1983, hal. 13). Aturan Model ditekankan dengan cara yang dramatis bahwa profesi hukum tidak lagi hanya sebuah, kelompok kohesif informal rekan-rekan yang dipercaya satu sama lain untuk "melakukan hal yang benar" dengan menghormati kesepakatan seorang pria dengan jabat tangan. Akibatnya, narasi heroik telah berkurang. Dalam (1992) istilah Max Weber, seorang institu¬tion tradisional telah berubah menjadi lembaga birokrasi. Sebagai anggota dari lembaga tradisional, pengacara mungkin berpikir langsung dalam hal apa yang dia bisa lakukan sebagai kreatif, anggota pemecahan masalah dari profes¬sion tersebut. Sebagai anggota dari lembaga birokrasi, pengacara mungkin terpaksa untuk segera berpikir dalam hal apa yang dia tidak bisa lakukan sebagai anggota diatur profesi (Hazard, 1991, hlm. 1254-1255). Apakah Aturan Model sepenuhnya menjembatani kesenjangan antara dua konsepsi etika hukum tergantung pada satu sudut pandang. Aturan pasti bisa, dan harus, ditingkatkan sebagai keadaan baru surat perintah, tetapi sementara itu mereka mewakili pernikahan dari kedua dunia- pendekatan yang dilegalisir dan pendekatan filosofis, sebuah bergabung tugas publik dan swasta. Mereka juga mengadakan pelajaran berharga untuk bidang etika administrasi.
  • 17. ADMINISTRASI PUBLIK: SEBUAH PRESTASI SIFAT ETIKA ADMINISTRASI Literatur administrasi publik telah melihat panggilan untuk meningkatkan etika dalam lapangan, terutama, meskipun tidak secara eksklusif, di bangun dari skandal pemerintah dan perhatian publik untuk mengintegrasikan ajaran etika dalam pelayanan publik (Cody & Lynn, 1992; Cooper, 1987, 1990 ; Davis, 1969; Devine, 1972; Friedrich, 1972; Golembiewski, 1965; Gortner, 1991; Holmes, 1996; Leys, 1952; Maclver 1947; Mosher, 1982; Okun, 1975; Redford, 1958; Schubert, 1960; Sheeran 1993; Thayer, 1973; Weisband & Franck, 1975; Wildavsky, 1980; J. Wilson, 1985; Wise, 1973; Wolin, 1960). Beberapa karya yang menyelidiki etika administrasi publik bahkan telah diakui sebagai modem klasik dalam pemikiran politik Barat (Arendt, 1972; Dewey, 1927; Hayek, 1944; Waldo, 1948). Sebagai perhatian dengan etika meningkatkan muncul, Paul Appleby (1952) mendesak hati-hati dalam bereaksi terhadap persepsi "kesalahan mentah" sebagai satu-satunya motivasi untuk mengadopsi sistem etika pelayanan publik. masalah etika "Lebih rumit dan tinggi" seperti sifat dan ruang lingkup kebijaksanaan birokrasi harus menjadi fokus dari etika dalam administrasi publik (p. 56). Tantangannya, tentu saja, adalah dalam mengidentifikasi sila etika yang tepat, terutama karena bidang administrasi publik relatif baru, masih berkembang, dan mungkin tidak memiliki kekompakan banyak profesi (misalnya, hukum dan kedokteran) (Streib, 1992, hlm. 134 ). Seperti dalam profesi hukum, literatur administrasi publik telah diakui bifurkasi antara konsep etika sebagai serangkaian aturan dikodifikasikan dan sebagai filsafat moral umum. Meskipun demikian, literaturehas menyimpulkan bahwa karakter tentu individualistis etika tidak menghalangi mengajar administrator publik tentang nilai-nilai rezim melalui metode kasus atau melalui penekanan pada pemahaman latar belakang hukum yang lebih tinggi dari pemerintah Amerika (Catron & Denhardt, 1994; Corwin, 1969; Hejka -Ekins, 1988; Kavathatzopoulos, 1994; Marini, 1992; Pratt, 1993; Richardson & Nigro, 1987; Rohr, 1989; Taylor, 1992; Tocqueville, 1969; Torp, 1994). Dibandingkan dengan bahan tentang etika hukum, administrasi litera-ture telah terlambat dalam mengenali kebutuhan untuk mengintegrasikan konsep etika dalam administrasi publik. Ini mungkin hasil dari penekanan yang berbeda di bidang administrasi hukum dan masyarakat.
  • 18. Seperti diceritakan di atas, hukum telah dilihat sebagai profesi dengan moralitas peran yang unik. Pengakuan administrasi publik sebagai profesi yang berbeda di mana politik dan administrasi tidak dibagi bola, di sisi lain, telah menjadi fenomena yang baru-baru ini dan sama sekali tidak terbantahkan (Rosenbloom, 1989; J. Wilson, 1975). Dengan demikian, masalah etika dan akuntabilitas belum dibahas dalam administrasi litera¬ture publik sejauh bahwa mereka telah dibahas dalam literatur tentang profesi hukum, meskipun pelajaran berharga dapat dipelajari dari upaya bar. Mungkin pelajaran yang paling penting adalah kejelasan relatif dari kewajiban etis umum pengacara '(meskipun penerapannya dalam kasus-kasus individu mungkin masih menimbulkan ambiguitas). Anggota profesi hukum berbagi pemahaman tentang apa artinya menjadi seorang profesional hukum dan apa yang membuat pengacara yang berbeda dari nonlawyers. administrator publik, untuk sebagian besar, tidak berbagi pemahaman yang sama tempat mereka di sektor publik (Rosenbloom, 1989, hal. 483). Mencerminkan, sebagian, kurangnya pemahaman tentang apa artinya menjadi seorang administrator publik yang berpartisipasi dalam bidang pembuatan kebijakan publik, literatur awal dibahas etika dari perspektif praktis. Nilai-nilai seperti ekonomi dan efisiensi dianggap penting ob-jectives karena dianggap politis dan moral netral administrator publik. Perspektif ini secara bertahap berubah, terutama dengan munculnya negara administrasi di tahun 1940-an dan kesadaran bahwa publik administrasi yang-trators melaksanakan peran pembuatan kebijakan yang signifikan (Chandler, 1983; Gawthrop, 1984; lowi, 1969; Marini, 1971; Rosenbloom, 1989; Waldo, 1948). Pemahaman yang lebih canggih dari peran administrasi publik dalam rezim dikembangkan pada 1930-an dan 1940-an. Hilang sudah politik dan administrasi dikotomi, dan dengan itu gagasan sederhana bahwa satu-satunya persyaratan etika untuk administrator publik adalah bahwa mereka melaksanakan kehendak pejabat terpilih dengan sebanyak ekonomi dan efisiensi mungkin. Di tempatnya adalah dilema baru: Bagaimana administrator publik dalam keadaan birokrasi besar akan diadakan politik jawab mengingat realitas kebijaksanaan birokrasi? Dengan kata lain, bagaimana pemerintahan dapat memastikan bahwa administrator publik akan berperilaku dengan cara yang mendukung prinsip-prinsip demokrasi diberi kerja yang beragam dilakukan di lembaga-lembaga publik dan kurangnya profesi terpusat administrasi publik?
  • 19. DEBAT KECIL FRIEDRICH Wacana yang paling meyakinkan tentang dilema baru ini terjadi dalam debat Friedrich- Finer terkenal yang berasal dari tahun 1930-an dan difokuskan pada perbedaan antara kontrol birokrasi internal dan eksternal. Dalam serangkaian esai, Carl J. Friedrich bersikeras untuk pengembangan rasa individu tanggung jawab moral sebagai pengendalian internal pada perilaku di samping penekanan tradisional pada menempatkan kontrol eksternal pada administrator publik sebagai cara untuk memastikan akuntabilitas untuk pemimpin terpilih . Friedrich berpendapat bahwa faktor psikologis, seperti kesediaan individu untuk berperilaku secara bertanggung jawab, adalah pertimbangan penting dalam memastikan tanggung jawab administratif. Bahkan, "perilaku yang bertanggung jawab fungsi administratif tidak begitu banyak ditegakkan seperti yang menimbulkan" (Friedrich, 1990, hal. 43). Dengan kata lain, upaya untuk akuntabilitas publik seharusnya tidak mengabaikan peran tanggung jawab moral atau agama dalam memastikan bahwa administrator publik berperilaku dengan cara yang etis. Friedrich menulis pada suatu waktu ketika Wilsonian politik-administrasi dikotomi masih diakui sebagai aksioma dalam literatur administrasi publik (Gulick, 1937; W. Wilson, 1941). Jika pelaksanaan kekuasaan politik dan kinerja fungsi administratif tidak usaha terpisah dan berbeda, implikasi etis sangat besar. administrator publik tidak melaksanakan pembuatan kebijakan otoritas sesuai dengan sekolah lama pemikiran; dengan demikian, tugas etis mereka hanya diperlukan bahwa mereka mencapai kompetensi teknis dan tetap bertanggung jawab kepada pejabat terpilih yang memerintahkan mereka tentang mekanisme pelaksanaan kebijakan. Recogniz¬ing pandangan perubahan politik birokrasi, Friedrich merasa terganggu oleh saran bahwa tindakan administrator publik tidak tahan dampak untuk pengambilan kebijakan. Dia berusaha untuk menjauh dari perbedaan buatan antara politik dan administrasi dalam membahas etika. Argumennya adalah mirip dengan (1940) contention kontemporer FM Marx bahwa tidak peduli seberapa ketetapan dan hibah legislatif wewenang kepada administrator publik rinci tampaknya, pelaksanaannya adalah "tindakan kreatif, terpisah dari pembuatan hukum itu sendiri" ( p. 237). Dengan kata lain, tidak peduli seberapa ketat kontrol eksternal, administrator publik akhirnya harus mengandalkan rasa individual etika dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat karena mereka harus menerapkan kebijaksanaan. Menanggapi argumen Friedrich ini, Herman Finer (1990) berpendapat bahwa hanya kontrol eksternal seperti kode etik dan aturan hukum bisa memastikan akuntabilitas publik.
  • 20. "Tanggung jawab moral kemungkinan untuk beroperasi dalam proporsi langsung ke ketatnya dan efisiensi tanggung jawab politik, dan terjatuh ke dalam segala macam penyimpangan saat terakhir ini lemah ditegakkan," tulisnya (hlm. 44). Mengandalkan pada hati nurani masing- masing dari administrator publik tertentu, tidak peduli seberapa baik berarti ia mungkin dalam menjalankan tugas-tugasnya, akan selalu menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Individu baik akan salah paham nilai-nilai demokrasi atau mereka akan mengejar kepentingan mereka sendiri. Meskipun lebih halus kemudian mengakui bahwa administrator publik dapat meningkatkan akuntabilitas mereka dengan mendidik diri mereka sendiri untuk menghargai opini publik dan standar teknis dan profesional, isu penting dalam memastikan perilaku etis adalah untuk meningkatkan kontrol eksternal sejauh mungkin (Cooper, 1990, hlm. 128-132 ). Dalam banyak hal, lebih halus adalah menggemakan (1992) argumen positivis Weber di Seleksi Dari Politik sebagai Panggilan (pp. 273-283). pemerintahan yang demokratis beroperasi terbaik ketika kontrol perilaku eksternal dan perilaku etis jelas didefinisikan dalam kodifikasi, sistem berbasis aturan yang dikenal dan diketahui terlebih dahulu. ADMINISTRASI BARU PUBLIK Meskipun perdebatan Friedrich-halus terus dibahas di tahun-tahun berikutnya, itu penekanan Friedrich tentang pentingnya kontrol internal yang melahirkan gerakan sering disebut sebagai "Administrasi New Public", yang awalnya tumbuh dari tahun 1968 Minnowbrook Conference (Cooper, 1990, hal. 148). H. George Frederickson (1980) mungkin adalah penganut paling terkenal dari pendekatan Administrasi Publik Baru. Para pendukung sekolah baru ini berpendapat bahwa bidang administrasi publik telah datang jauh sejak hari-hari ketika Woodrow Wilson bersikeras bahwa politik dan administrasi bisa, dan harus, dipisahkan. administrator publik baru mengakui bahwa mereka dieksekusi diskresi birokrasi, yang selalu berarti bahwa mereka terlibat dalam beberapa aspek pembuatan kebijakan. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa meskipun kontrol eksternal adalah sarana yang berharga untuk memastikan akuntabilitas politik, mereka hanya bisa pergi sejauh ke arah memastikan bahwa administrator publik berperilaku etis dan menghargai pentingnya "keadilan sosial" dalam membuat keputusan- keputusan administratif (Marini, 1971).
  • 21. Para pendukung Administrasi Umum New cepat mengeluarkan seruan untuk menanamkan konsep keadilan sosial dalam bidang administrasi publik untuk menambah gol tradisional efisiensi dan ekonomi. Apresiasi ini dari keadilan sosial mungkin mencapai puncaknya di pertengahan 1970-an ketika salah satu isu Ulasan Administrasi Publik yang ditujukan khusus untuk pembahasan lebih lanjut tentang topik (Chitwood, 1974; Harmon, 1974; D. Hart, 1974; McGregor, 1974; Porter & Porter, 1974; White & Gates, 1974). Pada tahun 1976, Susan Wakefield dari Universitas Brigham Young, mengakui berbagai sarana yang tersedia untuk mengajar etika dan kesulitan laten etika incor-porating ke dalam kurikulum, menyimpulkan bahwa "Ada ada kasus yang kuat untuk tanggung jawab individu baik sebagai sumber primer dan utama etika pelayanan publik. kontrol eksternal menjadi sistem pendukung yang diperlukan dan sekunder "(hlm. 662). Administrasi New Public telah dikritik karena tujuan idealis dan kurangnya akses ke sebagian besar administrator publik. Karena bukti empiris menunjukkan bahwa beberapa administrator publik tidak memiliki com-mitment untuk pelayanan publik, karena sebagian kegagalan mereka untuk mengakui diri mereka sebagai profesional administrasi publik dengan kewajiban untuk menegakkan kepentingan umum, adalah mungkin bahwa overreliance pada rasa pribadi individu etika dapat menghindari nilai-nilai demokrasi. Gregory Streib (1992), misalnya, telah diamati dalam konteks yang berbeda yang profesional pemerintah harus menunjukkan "menghormati proses demokrasi" atas dan di atas "penghormatan karena keahlian mereka sendiri" atau sekunder bahan pertimbangan-pertimbangan-seperti pendapat masing-masing tentang sosial dan isu-isu politik (p. 123). Dalam upaya untuk menjadi juara keadilan sosial, administrator publik baru mungkin sadar atau tidak sadar mengganti nilai-nilai mereka sendiri untuk nilai-nilai rezim demokratis. semangat mereka untuk menjadi reformis sosial dapat menempatkan mereka di depan, dan keluar dari sentuhan dengan, masyarakat mereka seolah- olah berfungsi sebagai pelayan masyarakat. MENGGABUNGKAN PENDEKATAN SUBJEKTIF DAN TUJUAN KE ETIKA ADMINISTRASI Seperti halnya dengan profesi hukum, administrator publik telah datang untuk memahami bahwa perdebatan baru pada pengembangan sistem yang bisa diterapkan etika pelayanan publik memerlukan rekonsiliasi, sampai batas tertentu, konsep individu etika (pendekatan subjektif) dan
  • 22. kode etik legalistik (tujuan pendekatan). Dengan demikian, karya-karya baru pada etika administrasi publik umumnya menghindari baik / atau pendekatan diilustrasikan oleh perdebatan Friedrich-lebih halus, bukannya memilih untuk berdebat untuk rekonsiliasi dua konsep menjadi bisa diterapkan, sistem etika yang sistematis untuk pelayanan publik. Kesulitan untuk sarjana telah mengembangkan model yang sesuai yang berlaku untuk hampir seluruh administrator publik. Menyadari pentingnya filosofis dan psikologis con-ceptions untuk pondasi etis, John Rohr (1989) menyimpulkan dalam Etika kerja berpengaruh untuk Birokrat: An Essay on Hukum dan Nilai yang administrator publik akan bergantung pada pemahaman masing-masing etika dalam konteks tertentu , situasi dunia nyata. Namun, tidak mengherankan, mereka juga akan perlu untuk melihat ke sumber luar untuk panduan tentang bagaimana menerapkan kebijaksanaan individu sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini sim¬ply terlalu banyak untuk mengharapkan bahwa mahasiswa dan praktisi public Admini-stration akan berkonsultasi karya besar filsafat dan memahami informasi praktis untuk menyelesaikan dilema etika. Rohr menulis bahwa "Sebuah teliti hap-bahaya karya para filsuf besar akan menghasilkan tidak lebih dari veneer seorang pria" (hal. 67). Selain itu, bahkan jika publik admin-istrators ingin memahami nilai-nilai demokrasi, sulit untuk menemukan konsensus tentang nilai-nilai. Dengan demikian, ia berpendapat mendukung memeriksa "nilai-nilai rezim" diungkapkan melalui pendapat dari Mahkamah Agung AS, yaitu, "nilai-nilai yang entitas politik yang dibawa menjadi ada dengan ratifikasi Konstitusi yang menciptakan republik Amerika ini "(Rohr, 1989, hal. 68). Dalam pandangan Rohr, fusi rasa etika individu dan nilai-nilai demokrasi dari rezim dapat dicapai ketika administrator publik memperkaya pemahaman individu mereka sendiri etik dengan apresiasi prinsip-prinsip pemerintahan, seperti dijelaskan oleh sumber otoritatif, dan penggunaan kebijaksanaan mereka sesuai. Karya Rohr (1989) dapat dilihat sebagai pencarian explications positivis aturan moral dan hukum rezim. Sayangnya, dalam beberapa kasus, aturan hukum positivis dan prinsip-prinsip rezim yang mendasari mungkin tidak identik. Selain itu, pendekatan Rohr "cenderung menganggap bahwa nilai-nilai rezim dan moralitas akan bertepatan. Di masa lalu, namun, nilai- nilai rezim mendukung perbudakan, segregasi rasial, dan pengingkaran hak-hak politik penuh dan perlindungan yang sama dari hukum bagi perempuan, meskipun ada penentangan atas dasar moral dari banyak pihak "(Rosenbloom, 1989, hal. 483).
  • 23. Sebaliknya, Terry L. Cooper (1990) membahas tantangan etika praktis yang dihadapi pegawai negeri di hampir setiap hari tanpa konsultasi sumber otoritatif luar untuk "dalam parit" bimbingan. "Tesis sentral buku ini," tulis Cooper, mengacu pada The Responsible Administrator, "adalah bahwa melalui proses mendefinisikan tanggung jawab profes-sional di spesifik, situasi administrasi konkret yang etika operasional dikembangkan" (hal. 5) . Cooper sehingga memeriksa proses pengambilan keputusan etis sebagai pengganti mencari nilai-nilai rezim otoriter atau memperbaiki konten spesifik kode etik. Meskipun ia disebut pencarian Rohr nilai- nilai rezim "contoh yang sangat baik dari pengobatan nilai-nilai yang administrator publik harus menginternalisasi dan merenungkan," Cooper tidak setuju dengan fokus sempit Rohr (Cooper, 1990, hal. 166). Dalam Bertanggung Jawab Administrator, misalnya, Cooper mengamati bahwa nilai-nilai re¬gime yang lebih luas dari penekanan Rohr pada nilai-nilai konstitusi diartikulasikan oleh Mahkamah Agung AS: Mengambil pendekatan umum ini, tapi memperpanjang itu di luar fokus khusus Rohr pada Konstitusi AS, kita mungkin mencatat nilai-nilai rezim ini terkait dengan tradisi Amerika: aspek menguntungkan pluralisme kepentingan, kemungkinan kreatif dalam konflik, kedaulatan publik, hak minoritas, pentingnya partisipasi warga dalam pemerintahan, nilai- nilai sosial dari kebebasan berekspresi. Ini adalah tetapi beberapa nilai teladan yang mungkin muncul sebagai penting dalam suatu studi diperluas. (Cooper, 1990, hal. 167) Cooper (1990) berpendapat bahwa administrator publik tidak perlu "etika substantif" untuk mengatur perilaku mereka karena mereka akan mengambil isyarat mereka pada perilaku etis dari organisasi masing-masing. Hal ini tidak berarti bahwa administrator publik individu dapat menghindari tanggung jawab individu untuk tindakannya dengan menempatkan kesalahan pada organisasi. Jika organisasi tidak berfungsi dengan baik, administrator publik berutang tugas yang lebih tinggi kepada masyarakat untuk bertindak dengan cara yang etis berdasarkan pengertian etis pribadi administrator. Dalam kebanyakan kasus, bagaimanapun, itu adalah com-bination dari dua konsep-bertindak sesuai dengan prinsip utama sebuah berjalan dengan baik organisasi dan berolahraga gagasan individual perilaku-yang etis menghasilkan administrator bertanggung jawab. Organisasi, kontrol eksternal, menetapkan standar perilaku dan individu berusaha untuk memahami dan mematuhi standar itu. Jika individu menganggap kekurangan standar, maka ia memiliki tugas sebagai warga negara (kontrol internal) untuk memastikan bahwa organisasi tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi (Cooper, 1990, hlm. 226-232).
  • 24. Teori administrasi publik lainnya telah mengikuti Rohr dan Cooper dalam upaya untuk memadukan pendekatan subjektif dan objektif (kontrol internal dan eksternal). Dalam Etika Pelayanan Publik, misalnya, Kathryn G. Denhardt berusaha untuk menjembatani kesenjangan antara etika filosofis dan praktis berdasarkan "kerangka teori yang lebih baik dikembangkan. . . lebih membumi dalam filsafat, dan ... akhirnya lebih praktis dalam hal itu con-siders dan mengakomodasi tuntutan dari lingkungan di mana administrator publik harus berlatih-modem organisasi publik "(Denhardt, 1988, p. ix). Dia berhenti dari daftar standar filosofis yang harus digunakan untuk tanah sistem nya. Patrick J. Sheeran (1993), di sisi lain, memilih untuk menolak apa yang dipandang sebagai pendekatan legalistik yang dianjurkan oleh Rohr (1989) dan pendekatan dualitas yang dianjurkan oleh kedua Cooper (1990) dan Denhardt (1988), bukan fokus pada aspek filosofis etika pelayanan publik. Konflik antara pendekatan objektivis dan subyektif, ditambah dengan kesulitan yang diangkat oleh Rohr dan Cooper, adalah alasan yang buruk karena gagal untuk mengembangkan dan menerapkan program etika di sekolah dari administra¬tion publik. . . . Buku ini dimulai dengan mengembangkan "dimensi" filosofis yang Denhardt "kiri ke karya lainnya." Ini menandai keberangkatan dari Rohr dengan mengklaim bahwa etika, meskipun didasarkan pada "segelintir filsafat," tidak hanya penting dalam mengembangkan program administrasi publik di etika tapi juga dalam penerapannya pada kursus lain di Lapangan administrasi publik dalam filsafat, apakah lengkap atau parsial, penting untuk tidak hanya administrasi publik tetapi, seperti yang ditunjukkan Denhardt keluar, hampir setiap ilmu. (Sheeran, 1993, p. 11) Sheeran (1993) mengangkat titik yang menarik: Sebuah landasan dalam filsafat memastikan bahwa pegawai negeri akan memiliki arti tidak hanya dari nilai-nilai yang mendasari keputusan yang mempengaruhi masyarakat tetapi alasan di balik nilai-nilai juga. Sebuah berkembang dengan baik, secara filosofis berdasarkan, rasa beralasan keadilan merupakan prasyarat penting bagi pegawai negeri yang akan menerapkan kebijaksanaan birokrasi yang cukup. Banyak karya filsafat, termasuk teori-teori kontemporer yang didukung oleh John Rawls (1971) dan Robert Nozick (1974), memberikan pegawai negeri yang bersangkutan dengan makanan filosofis untuk berpikir. (1963) karya klasik William K. Frankena ini, Etika, juga menyediakan tampilan kontemporer pada perilaku etis. Terdengar sangat seperti modem menulis utilitarian dalam bahasa teologi atau moralitas, Frankena mengemukakan bahwa manusia harus
  • 25. bertindak dengan kebaikan. "Prinsip yang harus kita lakukan tindakan atau mengikuti aturan yang akan atau mungkin akan membawa keseimbangan mungkin terbesar kebaikan atas kejahatan di alam semesta" (hal. 37). Sayangnya, filosofis ap-proach etika mungkin tidak bisa dijalankan dalam praktek. Beban mengidentifikasi, menguasai, dan internalisasi filosofi yang konsisten dari pelayanan publik di serba cepat, selalu berubah konteks organisasi publik hampir menjamin bahwa pegawai negeri tidak akan mengembangkan keterampilan yang diperlukan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah etika yang dihadapi dalam proses karir yang panjang. Menyadari sulitnya mengharuskan administrator publik en-gage dalam penyelidikan filosofis yang luas jangkauannya pada saat mereka memasuki pelayanan publik, William D. Richardson (1997) berpendapat bahwa pencarian sistem etika yang sesuai untuk administrator publik dimulai pada tahap awal perkembangan moral dan intelektual seseorang. Selain itu, kualitas karakter warga negara dalam rezim penting dalam memahami bagaimana seorang individu akan menggabungkan nilai-nilai demokrasi dalam kegiatan nya sebagai pelayan masyarakat. "Jika itu adalah untuk berkembang atau makmur," tulis Richardson, "rezim yang berorientasi komersial harus lebih atau kurang berhasil menanamkan kalangan warga ciri-ciri seperti sebagai kejujuran dasar, keinginan untuk kekayaan, kebiasaan Pasifik (Perang mengkonsumsi kekayaan), dan beberapa derajat terhormat dari apa yang kita sebut Protestan etos kerja "(hal. 16). Pengembangan karakter moral yang baik, dengan apprecia¬tion bersamaan kebajikan sipil, dapat didorong, sampai batas tertentu, dengan mendidik individu dalam nilai- nilai demokrasi dari bayi. Ketergantungan pada karakter yang baik sebagai komponen penting dalam mengembangkan warga sipil yang berpikiran, yang pada gilirannya menyebabkan cara karakteristik berperilaku, etos, adalah apa Berlian (1992) berarti ketika ia disebut "cara Amerika" dalam artikel terkenal tentang etika dan politik. Pendekatan yang berbeda untuk etika dalam administrasi publik litera-ture mencerminkan perdebatan yang telah terjadi dalam literatur hukum, yang berfokus pada dua pertanyaan utama. Pertama, Harus etika harus dikodifikasikan sebagai sistem legalistik aturan yang berlaku untuk semua orang dalam profesi tertentu atau harus pegawai negeri diserahkan kepada indra individu mereka sendiri moralitas untuk menyelesaikan pertanyaan etis? Atau, bisa dan harus dua ap- proaches digabungkan?
  • 26. KESIMPULAN MENDAMAIKAN HUKUM DAN ETIKA Bukan kebetulan, literatur tentang etika hukum dan etika administrasi publik menyajikan dilema yang sama. Bagaimana sifat individu etika didamaikan dengan persyaratan universal pelayanan publik? Dengan kata lain, bagaimana dapat hukum dan etika didamaikan? rasa individu etika yang dijagokan di atas aturan dikodifikasikan mengarah ke definisi dan penegakan masalah. Atau, jika aturan etika dikodifikasikan pra-ferred, mereka dapat menyebabkan kaku, resep formal yang meninggalkan sedikit ruang untuk seorang individu untuk mengandalkan nya rasa etika sementara bertindak dalam berbagai peran pelayanan publik. Kombinasi etika pribadi dan aturan dikodifikasi adalah satu-satunya margin-sekutu kompromi yang memuaskan untuk apa yang mungkin merupakan masalah yang sulit dipecahkan. "Saya berpendapat bahwa rasa tanggung jawab dan suara penilaian praktis tidak hanya tergantung pada kualitas pelatihan profesional seseorang, tetapi juga pada kemampuan seseorang untuk menarik sumber daya dari pengalaman moral yang lebih luas," seorang komentator telah menulis (Postema, 1980, p . 64). Bahkan jika teori etika panggilan untuk bifurkasi aturan dikodifikasikan dan moralitas pribadi, "Faktanya adalah bahwa tidak ada cara untuk menghindari pengenalan kepentingan pribadi dan swasta ke kalkulus keputusan publik" (Bailey, 1965, p. 286). Cooper (1990) menyatakan dengan cara lain, Proses menafsirkan dan menerapkan spesifikasi dari undang-undang etika dan kode etik harus diberitahu oleh nilai-nilai inti yang mewakili fondasi tradisi politik, kadang-kadang disebut sebagai nilai-nilai rezim, serta dengan hati nurani yang dikembangkan dari administrator yang . Ini mendorong kepatuhan dengan semangat hukum dan kode bukan hanya surat itu. Juga, nilai-nilai politik diinternalisasi dan hati nurani devel¬oped memberikan centang pada diri pelindung dan mementingkan diri sendiri kode, yang asosiasi profesi telah dikenal untuk mengadopsi. Mereka juga menetapkan titik yang lebih luas dari referensi dari yang untuk mengevaluasi keabsahan setiap bagian tertentu dari undang-undang etika, (p. 227) Memang benar bahwa fusi aturan dikodifikasikan dengan konsep pribadi etik tidak benar- benar menjembatani kesenjangan antara hukum dan etika. Umum (hukum) dan khususnya (etika) akan selalu berbeda, dengan definisi. Orang mungkin pergi sejauh mengatakan bahwa kesenjangan antara (etika) semangat dan (positivis) surat hukum tidak akan ditutup. Namun,
  • 27. mungkin, rekonsiliasi gelisah dari dua, dengan kata Aristoteles, dapat dicapai melalui pelaksanaan kebijaksanaan praktis. "Jelas, kemudian, dari apa yang telah dikatakan," katanya, "bahwa tidak mungkin untuk menjadi baik dalam arti sempit tanpa kebijaksanaan praktis, atau praktis bijaksana tanpa kebajikan moral" (Aristoteles, trans. 1980, p. 158). Dengan demikian, sedangkan menggabungkan kekhususan etika dan universalitas hukum mungkin menyulitkan upaya untuk menghukum orang-orang pegawai negeri dianggap tidak etis karena tindakan under- diambil akan tergantung sebagian pada keadaan berpotensi unik, akhirnya penyatuan itu memungkinkan untuk konsep yang lebih luas dari etika pelayanan publik daripada yang mungkin dalam memilih salah satu pendekatan di atas yang lain. SARAN UNTUK REKONSILIASI Pada tahap awal, artikel ini menyarankan bahwa itu adalah hal yang sangat sulit untuk mengembangkan diterapkan, sistem etika yang konsisten dari elemen berbeda dari pelayanan publik, karena ketegangan mendasar antara hukum (tugas umum) dan etika (tugas pribadi). Untuk mendamaikan ketegangan ini, sejauh mungkin, tubuh artikel itu dikhususkan untuk diskusi tentang berbagai teori dan upaya yang didirikan untuk menyelaraskan unsur-unsur yang berbeda dalam profesi hukum, yang memuncak dalam dukungan untuk peran jalan melalui adopsi Peraturan Model Perilaku profesional. Artikel ini menyimpulkan bahwa bidang yang relatif baru dari administrasi publik bisa belajar banyak dari upaya profesi hukum dalam kerajinan sistem etika. Pertanyaan yg muncul pada saat ini: Bagaimana tujuan ini direalisasikan? Seperti pelaksanaan setiap rencana reformasi, setan adalah dalam rincian. Merehabilitasi Gambaran dari Administrasi Publik Ini adalah sesuatu yang baru untuk meminta sistem yang lebih baik dari etika untuk administrator publik. literatur penuh dengan panggilan tersebut untuk tindakan (misalnya, lihat Chandler, 1983; Cooper, 1990; Ostrom, 1974; O'Toole, 1984; Streib, 1992). Sayangnya, panggilan ini untuk bertindak lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Ya, mendidik pemimpin masa depan dalam nilai-nilai demokrasi yang sesuai sangat penting (Pangle & Pangle, 1993; Richardson, 1997). Ya, asosiasi profesional seperti American Society for Admini¬stration Umum (ASPA) dapat dipanggil untuk memimpin upaya reformasi seperti mensponsori komite studi pada revitalisasi etika pelayanan publik, tuan confer¬ences untuk membahas komponen
  • 28. yang tepat dari suatu sistem etika, dan melewati resolusi mendesak administrator publik untuk mematuhi standar etika. Ini adalah langkah pertama yang penting dan, untuk sebagian besar, telah dilakukan di masa lalu. Selain itu, kode formal etik seperti Kode ASPA Etik dan Pedoman, Kode Internasional Manajemen Kota Etik dengan Pedoman, Manajemen Kontrak National Association Kode Etik, US Code of Ethics 1980, atau salah satu kode negara dari etika dapat disebut-sebut sebagai prekursor untuk pengembangan kode seragam etik lapangan. Tapi ini kontrol eksternal hanya akan memiliki efek terbatas sampai citra administrator publik rata-rata sebagai tanpa nama, tak berwajah, birokrat memihak membaik. Penggunaan gambar jangka tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa tugas meningkatkan bidang administrasi publik hanyalah sebuah latihan dalam hubungan masyarakat. Bukan itu. Satu-satunya cara yang realistis untuk meningkatkan citra admin-istrator publik adalah untuk membuat administrator individu senang menjadi pegawai negeri, untuk membuat mereka bangga menceritakan sesama manusia yang "ya, saya seorang administrator publik," pengacara cara bangga membanggakan kehebatan ruang sidang dan ketajaman hukum. Meskipun tidak mungkin bahwa narasi heroik akan pernah mengembangkan administrator sekitar sebagian masyarakat, mungkin masyarakat akan menganggap pekerjaan birokrat dengan jijik kurang saat, dan jika tidak, bidang ini direhabilitasi. Dalam upaya untuk merehabilitasi lapangan, sarjana baru-baru ini telah membela kebutuhan untuk administrasi publik pada banyak alasan (Goodsell, 1983; Rohr, 1986). Salah satu sarjana telah menyarankan bahwa fitnah terus administrator publik dapat menyebabkan hilangnya tenaga yang berharga sebagai individu melarikan diri karir pelayanan publik mencari lebih banyak uang, kehormatan, dan prestise (Adams, 1984). Mendorong kehormatan dan harga diri dari sesama manusia, bahkan lebih dari membayar upah lebih tinggi, adalah masalah terpenting dalam menghidupkan kembali administrasi publik (McDonald, 1985). Ini adalah langkah pertama yang penting dalam mengubah lapangan menjadi profesi yang benar dan, setelah itu, di pem-aran kode yang bisa diterapkan etik. tugas raksasa ini dapat dicapai, jika tidak ada yang lebih ahli dari Tocqueville (1969) adalah dapat dipercaya, dengan mengandalkan "kepentingan dipahami dengan baik." Dengan kata lain, upaya untuk meningkatkan prestise dan persetujuan dari administrator publik bisa dicapai jika reformis melakukan lebih dari sekedar panggilan untuk reformasi. Pertama, administrator publik harus dilakukan untuk melihat bahwa itu adalah dalam kepentingan terbaik
  • 29. mereka untuk bergabung dengan profesi asli administrasi publik, seperti pengacara bergabung dengan profesi hukum setelah melewati pemeriksaan bar dalam yurisdiksi tertentu. Dengan pemodelan profesi baru administrasi publik pada profesi hukum, reformasi dapat memastikan bahwa profesionalisasi administrator publik tidak menimbulkan ancaman bagi nilai- nilai demokrasi. Hal ini bisa terjadi ketika penjaga gerbang profesi bersikeras mengadopsi kode etik yang mendorong anggota profesi baru untuk bertindak atas nilai-nilai demokrasi sebagai kewajiban fidusia kepada publik. Meskipun identifikasi nilai-nilai tidak akan tetap bebas dari kontroversi, setidaknya pengembangan kode etik untuk kelompok profesional pegawai negeri berdasarkan nilai-nilai demokrasi akan menyelesaikan beberapa ambiguitas yang saat ini ada sekitar standar etika yang sesuai. Memprofesionalkan Administrasi Publik Bidang administrasi publik harus menjadi profesi asli. Upaya jauh diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Ini tidak akan mudah. Selain mendidik siswa tentang nilai-nilai demokrasi yang dimulai pada masa bayi, itu akan membutuhkan langkah-langkah tambahan lainnya, pertama di tingkat federal dan kemudian di negara bagian dan kota. Reformis idealnya harus melobi Con¬gress untuk memberlakukan undang-undang menciptakan kelas federal yang baru dari adminis¬trators publik. Serupa dengan Layanan Eksekutif Senior, tapi lebih luas dan tersedia di semua tingkat pemerintahan, kelas baru ini administrator publik akan diberikan judul baru, mungkin Bersertifikat Wali Umum, atau sesuatu yang serupa. Individu akan memasuki profesi melalui proce¬dure perizinan, mengatakan, pemeriksaan diatur oleh suatu lembaga yang independen dari administrator publik. Dewan akan berfungsi sebagai gatekeeper untuk profesi baru. (Ketentuan dapat diadopsi untuk memungkinkan repre¬sentation publik di papan untuk menenangkan anggota masyarakat yang tidak diragukan lagi akan melobi untuk partisipasi warga dalam suatu kegiatan gatekeeping sebagai cara untuk memastikan bahwa profesi tidak akan menjadi porsi terlalu diri dan elitis .) Dalam lembaga tertentu, wali publik bersertifikat akan dibayar gaji yang lebih besar dan ditugaskan tanggung jawab lebih besar daripada rekan-rekan nonlicensed mereka, yang masih akan bekerja dalam lembaga tapi dalam kapasitas yang lebih rendah. Ini kelas baru wali publik bersertifikat akan ekspeted untuk melayani masyarakat dalam kapasitas fidusia, seperti
  • 30. pengacara melayani klien dalam profesi mereka, sebagai pengganti merendahkan diri mengadopsi tujuan dari organisasi tertentu. Apakah ini tujuan mulia dengan sedikit kesempatan dilaksanakan? Mungkin. Adalah panggilan untuk profesionalisasi lebih besar dalam administrasi publik bidang bertentangan dengan tren saat ini seperti keinginan untuk deprofessionalize administrasi publik oleh "reinventing pemerintah" dan terlibat dalam asap-dan-cermin simi-lar "inovasi"? (Gore, 1993; Osborne & Gaebler, 1992). Pasti. Untuk alasan yang dibahas di bawah, lebih besar professionali- lisasi dari lapangan, pada keseimbangan, akan memastikan akuntabilitas yang lebih besar di antara administrator publik daripada akan upaya untuk mendesentralisasikan pemerintahan opera-tions dan parsel mereka di badan swasta yang tidak tunduk pada kontrol yang sama yang berlaku untuk sektor publik. Deprofessionalizing lapangan mungkin (atau tidak mungkin) menyebabkan keuntungan dalam efisiensi, tetapi perubahan ini akan memerlukan akuntabilitas kurang pemerintah dan semua konstitusional dan masalah operasional yang menyertainya. Apakah ini harga yang layak membayar? Pada akhirnya, ini adalah pertanyaan bagi para pembuat kebijakan mempertimbangkan privatisasi dan usulan serupa, meskipun posisi di sini adalah bahwa harga terlalu tinggi. Sementara itu, masalah ini tetap: Bagaimana bisa administrator publik dibuat lebih akuntabel? Mempertimbangkan pilihan yang lebih besar, tidak kurang, profesionalisasi, seperti dibahas di bawah. Menerapkan Kode Etik yang Berlaku kepatuhan sukarela untuk kode etik, meskipun mengagumkan, tidak cukup untuk memastikan bahwa semua anggota lapangan diadakan dengan standar yang terdapat dalam kode. Selain itu, selama administrator publik umumnya tidak melihat diri mereka sebagai wali dari kepercayaan publik suci, mereka tidak akan melihat ke kode sukarela etik sebagai standar untuk menilai layanan mereka kepada publik. Dalam skenario kasus terbaik, jika administrator publik melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok paraprofessional sukarela, mungkin beberapa administrator akan mengikuti pedoman etis dari asosiasi profesional mereka. Namun, jumlah peserta akan cukup kecil, sebagai Streib (1992) telah menunjukkan. Selain itu, konsekuensi dari ketidakpatuhan dengan kode sukarela tetap sebagian besar tidak penting. Apa yang dibutuhkan, kemudian, adalah kode etik untuk kelompok baru ini administrator publik profesional yang akan membutuhkan anggota kelompok untuk mengikuti aturan
  • 31. dikodifikasikan profesi atau risiko pengenaan sanksi. Sekali lagi, ini adalah pelajaran belajar dari profesi hukum. Tentu saja, ini bukan untuk mengatakan bahwa kode etik yang ketat selalu dapat memaksa individu untuk berperilaku etis jika mereka cenderung untuk berperilaku lain- bijaksana, tapi pasti, kode dilaksanakan etik memberikan insentif bagi perilaku yang benar dengan cara yang tidak ada kode sukarela bisa . Minimal, kode etik yang kuat harus membutuhkan, dengan mekanisme yang sesuai penegak (huruf yaitu, swasta dan publik teguran, denda moneter, dan pengusiran dari profesi di langka, keadaan mengerikan), bahwa administrator publik bertindak sesuai dengan masyarakat bunga dan nilai-nilai demokrasi sebagai istilah-istilah ambigu didefinisikan melalui aturan dikodifikasikan dan pedoman yang diterbitkan oleh dewan inde-penden dari administrator publik dalam konsultasi dengan praktisi, akademisi, dan masyarakat. Singkatnya, kode etik "dengan gigi" yang juga memungkinkan untuk rasa pribadi etika adalah cara yang paling praktis untuk memastikan bahwa pegawai negeri berperilaku secara bertanggung jawab. Peran Moralitas dan peran Jalan lain untuk Administrator Umum Selain sistem disahkan aturan, namun, kelas baru administrator publik harus mengakui moralitas peran yang unik dalam rezim. Di sinilah pendidikan seumur hidup dalam nilai-nilai demokrasi yang penting. Administrator publik melayani peran integral sebagai penjaga rezim dan nilai-nilainya. Dalam mengadopsi peran recourse, administrator diadakan pada Standar profesi administrasi publik baru yang terkandung dalam kode etik. Melampaui standar legalistik kode, administrator publik individu harus mengandalkan nya pemahaman nilai- nilai demokrasi untuk mengisi kesenjangan dalam menanggapi situasi dunia nyata tidak tercakup oleh kode. Dalam hal administrator publik individu percaya bahwa pekerjaan yang dia dipanggil untuk melakukan melanggar ajaran mendasar pusat untuk proses demokrasi, ia akan memiliki hak, memang tugas, untuk bertindak dalam peran warga masyarakat dalam menempatkan kepentingan rezim atas dan di atas kepentingan profesi atau lembaga. Fakta bahwa perhitungan ini akan dibuat jarang, bahkan dalam kasus di mana itu harus dibuat, diakui. Meskipun demikian, kelangkaan administrator publik individu bertindak dalam peran jalan nya sebagai warga negara publik atas dan di atas peran profesional nya tidak meniadakan perlunya menyediakan untuk peran jalan.
  • 32. Ketegangan antara hukum dan etika, antara tugas umum dan khusus, akan terus mengacaukan ulama dan praktisi, karena perbedaan mendasar dalam dua konsep. Meskipun ketegangan ini, adalah kewajiban warga negara rezim untuk mencari perkawinan hukum dan etika, masyarakat dan swasta. Mungkin itu adalah upaya terus bergulat dengan masalah etika, dan bukan pengembangan kode tertentu etik, yang mengarah ke apa Aristoteles dianggap "kebijaksanaan praktis”.
  • 33. DAFTAR PUSTAKA Abel, R. (1981). Why does die ABA promulgate ethical rules? Texas Law Review, 59, 639- 688. Adams, B. (1984). The frustrations of government service. Public Administration Review, 44y 5-13. American Bar Association (ABA). (1983). Model rules of professional conduct and code of judicial conduct. Chicago: Author. Appleby, R H. (1952). Morality and administration in democratic government. Baton Rouge: Louisiana State University Press. Arendt, H. (1972). Crises of the republic. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Bailey, S. K. (1965). Ethics and the public service. In R. C. Martin (Ed.), Public Administra- tion and Democracy (pp. 283-298). Syracuse, NY: Syracuse University Press. Black, H. C. (1979). Black’s law dictionary (5th ed.). St Paul, MN: West Blackstone, W. (1818). Commentaries on the laws of England. (Vols. 1-4). Boston: T. B. Wait & Sons. Bok, D. C. (1983). A flawed system of law practice and training. Journal of Legal Education, JJ, 570-585. Catron, B. L., & Denhardt, K. G. (1994). Ethics education in public administration. In T. L. Cooper (Ed.), Handbook of Administrative Ethics (pp. 49-61). New York: Marcel Dekker. Chandler, R. C. (1983). The problem of moral reasoning in American public administration: The case for a code of ethics. Public Administration Review, 43, 32-39. Chitwood, S. R. (1974). Social equity and social service productivity. Public Administration Review, 34, 29-35. Cody, W.J.M., & Lynn, R. R. (1992). Honest government: An ethics guide for public service. Westport, CT: Praeger.
  • 34. Cooper, T. L. (1987). Hierarchy, virtue, and the practice of public administration: A perspective for normative ethics. Public Administration Review, 47,320-328. Cooper, T. L. (1990). The responsible administrator: An approach to ethics for the admin- istrative role (3rd ed.). San Francisco: Jossey-Bass. Corwin, E. S. (1969). The “higher law” background of American constitutional law. In P. Woll (Ed.), American government: Readings and cases (3rd ed., pp. 37-54). Boston: Little, Brown. Davis, K. C. (1969). Discretionary justice. Baton Rouge: Louisiana State University Press. Denhardt, K. G. (1988). The ethics of public service: Resolving moral dilemmas in public organizations. Westport, CT: Greenwood. Dershowitz, A. M. (Ed.). (1990). The world’s most famous court trial: Tennessee evolution case. Birmingham, AL: Notable Trials Library. Devine, D. J. (1972). The political culture of the United States. Boston: Little, Brown. Dewey, J. (1927). The public and its problems. New York: Holt. Diamond, M. (1992). Ediics and politics: The American way. In L. G. Rubin & C. T. Rubin (Eds.), The questforjustice: Readings in political ethics (3rd ed., pp. 295-315). Needham Heights, MA: Ginn. Dworidn, R. (1978). Taking rights seriously. Cambridge, MA: Harvard University Press. Finer, H. (1990). Administrative responsibility in democratic government. In W. L. Richter, F. Burke, & J. W. Doig (Eds.), Combating corruption/encouraging ethics: A sourcebook for public service ethics (p. 44). Washington, DC: The American Society for Public Administration. Fiss, O. M. (1981). The varieties of positivism. Yale Law Journal, 90,1007-1016. Fletcher, G. P. (1981). Two modes of legal thought. Yale Law Journal^ 90,970-1006. Foster, G. D. (1981). Law, morality, and the public servant. Public Administration Review,
  • 35. 41,29-34. Frankena, W. K. (1963). Ethics. New Yoik: Prentice Hall. Frederickson, H. G. (1980). New public administration. University: University of Alabama Press. Fried, C. (1976). The lawyer as friend: The moral foundations of the lawyer-client relation. Yale Law Journal, 55,1060-1089. Friedrich, C. J. (1972). The pathology of politics. New York: Harper & Row. Friedrich, C. J. (1990). Public policy and the nature of administrative responsibility. In W. L. Richter, F. Burke, & J. W. Doig (Eds.), Combating corruption/encouraging ethics: A sourcebookforpublic service ethics (pp. 43-44). Washington, DC: The American Society for Public Administration. Gawthrop, L. (1984). Public management systems and ethics. Bloomington: Indiana University Press. Gideon v. Wainwright, 372 U.S. 335 (1963). Golembiewski, R. T. (1965). Men, management, and morality: Toward a new organizational ethic. New York: McGraw-Hill. Goodsell, C. T. (1983). The case for bureaucracy: A public administration polemic. Chatham, NJ: Chatham House. Gore, A. (1993). Report of the National Performance Review: Creating a government that works better and costs less. Washington, DC: Government Printing Office. Gortner, H. F. (1991). Ethics for public managers. Westport, CT: Praeger. Gulick, L. (1937). Science, values, and public administration. In L. Gulick & L. Urwick (Eds.), Papers on the science of administration (pp. 191-195). New York: Augustus M. Kelley. Hamilton, A., Madison, J., & Jay, J. (1961). The federalist papers. New York: New American Library.
  • 36. Harmon, M. M. (1974). Social equity and organizational man: Motivation and organizational democracy. Public Administration Review, 34,11-18. Hart, D. K. (1974). Social equity, justice, and the equitable administrator. Public Administration Review, 34, 3-11. Hart, H.L.A. (1961). Law, liberty, and morality. New York: Vintage. Hart, H.L.A. (1963). The concept of law. Oxford, UK: Oxford University Press. Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. Chicago: University of Chicago Press. Hazard, G. C. Jr. (1991). The future of legal ethics. Yale Law Journal, 100,1239-1280. Hejka-Ekins, A. (1988). Teaching ethics in public administration. Public Administration Review, 48, 885-891. Heywood, A. (1994). Political ideas and concepts: An introduction. New York: St. Martin’s. Hobbes, T. (1958). Leviathan. Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill. Holmes, S. A. (1996, September 8). Dick Morris's behavior and why it’s tolerated. The New York Times, p. E5. Jones, W. T. (1970). The classical mind: A history of western philosophy (2nd ed.). New York: Harcourt Brace Jovanovich. Kavathatzopoulos, I. (1994). Training professional managers in decision-making about real life business ethics problems: The acquisition of the autonomous problem-solving skill. Journal of Business Ethics, 13,379-386. Lee, H. (1960). To kill a mockingbird. New York: Warner. Lewis, A. (1991). Gideon’s trumpet. New York: Random House. Leys, W.A.R. (1952). Ethics for policy decisions. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Lilia, M. T. (1981). Ethos, “ethics,” and public service. Public Interest, 63,3-17. Locke, J. (1947). Two treatises of government. New York: Hafner.
  • 37. Lowi, T. (1969). The end of liberalism. New York: Norton. Luban, D. (1988). Lawyers and justice: An ethical study. Princeton, NJ: Princeton University Press. Lumbard, T. (1981). Setting standards: The courts, the bar, and the lawyers’ code of conduct. Catholic University Law Review, 30,249-271. Maclver, R. M. (1947). The web of government. New York: Macmillan. Marini, F. (Ed.). (1971). Toward a new public administration. Scranton, PA: Chandler. Marini, F. (1992). The uses of literature in the exploration of public administration ethics: The example of Antigone. Public Administration Review, 52,420-426. Marx, F. M. (1940). Public management in the new democracy. New York: Harper & Row. McDonald, F. (1985). Novus ordo seclorum: The intellectual origins of the constitution. Lawrence: University Press of Kansas. McGregor, E. B. (1974). Social equity and the public service. Public Administration Review, 34,18-29. Morgan, T. D. (1977). The evolving concept of professional responsibility. Harvard Law Review, 90, 702-743. Mosher, F. C. (1982). Democracy and the public service. New York: Oxford University Press. Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. New York: Basic Books. Okun, A. M. (1975). Equality and efficiency: The big tradeoff. Washington, DC: Brookings Institution. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing government: How the entrepreneurial spirit is transforming the public sector from schoolhouse to statehouse, City Hall to Pentagon. Reading, MA: Addison-Wesley. Ostrom, V. (1974). The intellectual crisis in American public administration. University: University of Alabama Press.
  • 38. O’Toole, L. J. Jr. (1984). American public administration and the idea of reform. Administration ¿L Society, 16,141-166. Pangle, L. S., & Pangle, T. L. (1993). The learning of liberty: The educational ideas of the American founders. Lawrence: University Press of Kansas. Patterson, L. R. (1984). Legal ethics: The law of professional responsibility (2nd ed.). New York: Matthew Bender. Porter, D. O., & Porter, T. W. (1974). Social equity and fiscal federalism Public Administration Review, 34, 36-43. Postema, G. J. (1980). Moral responsibility in professional ethics. New York University Law Review, 55,63-89. Powell v. Alabama, 287 U.S. 45 (1932). Pratt, C. B. (1993). Critique of the classical theory of situational ethics in U.S. public relations. Public Relations Review, 19, 219-234. Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Belknap. Redford, E. S. (1958). Ideal and practice in public administration. University: University of Alabama Press. Richardson, W. D. (1997). Democracy, bureaucracy, and character: Founding thought. Lawrence: University Press of Kansas. Richardson, W. D., & Nigro, L. G. (1987). Administrative ethics and founding thought: Constitutional correctives, honor, and education. Public Administration Review, 47, 367- 376. Rohr, J. A. (1986). To run a constitution: The legitimacy of the administrative state. Lawrence: University Press of Kansas. Rohr, J. A. (1989). Ethics for bureaucrats: An essay on law and values (2nd ed.). New York: Marcel Dekker.
  • 39. Rosenbloom, D. H. (1989). Public administration: Understanding management, politics, and law in the public sector (2nd ed.). New York: Random House. Schneyer, T. (1989). Professionalism as bar politics: The making of the model rules of professional conduct. Law and Social Inquiry, 14,677-737. Schubert, G. A. (1960). The public interest. New York: Free Press. Shaffer, T. L., & Shaffer, M. (1991). American lawyers and their communities. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press. Shakespeare, W. (1904). King Henry VI, part 2, act 4, scene 2. In The works of William Shakespeare (pp. 31-64). New York: Oxford University Press. Sheeran, P. J. (1993). Ethics in public administration: A philosophical approach. Westport, CT: Praeger. Shuchman, R (1968). Ethics and legal ethics: The propriety of the canons as a group moral code. George Washington Law Review, 57,244-269. Simon, W. (1978). The ideology of advocacy: Procedural justice and professional ethics. Wisconsin Law Review, i, 29-143. Streib, G. (1992). Ethics and expertise in the public service: Maintaining democracy in an era of professionalism. Southeastern Political Review, 20,122-143. Taylor, H. (1992). The statesman. Westport, CT: Praeger. Thayer, F. C. (1973). An end to hierarchy! An end to competition! New York: New Viewpoints. Tocqueville, A. de (1969). Democracy in America. Garden City, MI: Anchor. Torp, K. H. (1994). Ethics for public administrators. National Civic Review, 83,70-73. Tusa, A., & Tusa, J. (1986). The Nuremberg trial. New York: Atheneum. Wakefield, S. (1976). Ethics and the public service: A case for individual responsibility. Public Administration Review, 56,661-666. Waldo, D. (1948). The administrative state. New York: Ronald Press.
  • 40. Wasserstrom, R. (1975). Lawyers as professionals: Some moral issues. Human Rights, 5,1-24. Weber, M. (1992). Selections from politics as a vocation. In L. G. Rubin & C. T. Rubin (Eds.). The quest for justice: Readings in political ethics (3rd ed., pp. 273-283). Needham Heights, MA: Ginn. Weisband, E., & Franck, T. M. (1975). Resignation in protest. New York: Grossman. White, O., & Gates, B. L. (1974). Statistical theory and equity in the delivery of social services. Public Administration Review, 34,43-52. Wildavsky, A. (1980). How to limit government spending. Berkeley: University of California Press. Wilson, J. Q. (1975). The rise of the bureaucratic state. Public Interest, 41,77-103. Wilson, J. Q. (1985). The rediscovery of character: Private virtue and public policy. Public Interest, 81,3-16. Wilson, W. (1941). The study of administration. Political Science Quarterly, 56,481-506. (Original work published June 1887) Wise, D. (1973). The politics of lying: Government, deception, secrecy, and power. New York: Random House. Wolfram, C. W. (1978). Barriers to effective public participation in regulation of the legal profession. Minnesota Law Review, 62,619-647. Wolin, S. S. (1960). Politics and vision: Continuity and innovation in western political thought. Boston: Little, Brown. J. Michael Martinez currently works as an environmental/governmental affairs representative for a Fortune 400, privately held plastics manufacturing company. He also serves as a part-time political science instructor at Georgia State University and an adjunct instructor of law at John Marshall Law School in Atlanta, Georgia. A member of the bar in Georgia and South Carolina, Martínez holds a bachelor’s degree in philosophy and political science from Furman University (1984), a J.D. fromEmory University (1987),
  • 41. an M.P.A.from the University of Georgia (1991), and a PhD. in political science from Georgia State University (1995). Along with Dr. William D. Richardson and Dr. Ronald JL McNinch, he is coeditor of a collection of essays, Old Times There Are Not Forgotten: Confederate Symbols in the Contemporary South.