SlideShare a Scribd company logo
GMNI dan HMI
dalam Politik Kekuasaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak untuk melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan
pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
GMNI dan HMI
dalam Politik Kekuasaan
Syamsuddin Radjab
Ade Reza Hariyadi
GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
© Syamsuddin Radjab dan Ade Reza Hariyadi
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Cetakan I, Januari 2014
Koreksi Typos : Asriyah
Tata Letak : Rizal Zakaria
Desain Sampul : Ujang Prayana
Pra-cetak : Zuprianto
Ukuran : 14,8 x 21 cm
Halaman : xiv+236
ISBN : 978-602-1379-06-6
Diterbitkan oleh :
PENERBIT NAGAMEDIA
PT. NAGAKUSUMA MEDIA KREATIF
Anggota IKAPI No.469/DKI/XI/2013
Menara Cawang Lantai Dasar Blok A No.1
Jl. SMA 14 Cawang Kramat Jati Jakarta Timur 13630
Telepon: +62-21-36501501
E-Mail: penerbit@nagamedia.co.id
Website: www.nagamedia.co.id
Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD)
Syamsuddin Radjab dan Ade Reza Hariyadi,
GMNI DAN HMI DALAM POLITIK KEKUASAAN/Syamsuddin Radjab dan Ade Reza
Hariyadi
—Jakarta: PT. Nagakusuma Media Kreatif, 2014.
250 hlm.; 21 cm
%LEOLRJUD¿KOP
,6%1
1. Sosial I. Judul
f
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan
sekalian alam yang telah melimpahkan rahmat
NHVHKDWDQ GDQ DQXJHUDK NHPDPSXDQ EHUÀNLU NHSDGD
umat manusia sehingga dapat melangsungkan hidup dan
membuat peradaban dunia. Demikian pula, sholawat dan
taslim kepada Nabi Muhammad SAW beserta para Nabi
lainnya atas bimbingan, tauladan sehingga menjadi panutan
bagi umat manusia dan rahmat bagi seluruh sekalian alam.
Buku yang ada ditangan pembaca saat ini merupakan
riset mini dari pergumulan dan pergaulan dua aktivis
berbeda organisasi yang di gelutinya. Ollenk merupakan
Pengurus Besar HMI Periode 2003-2005 sementara Reza
Presidium GMNI Periode 2002-2005. Secara kebetulan,
keduanya indekos dalam satu rumah kontrakan di kawasan
Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Karena masing-masing
sebagai pengurus teras organisasi mahasiswa kader (HMI
dan GMNI), keduanya terlibat intens dalam pelbagai diskusi
GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
viii
baik yang diadakan oleh GMNI maupun HMI.
Kontrakan rumah dikawasan Salemba tersebut dihuni
sebagian besar aktivis mahasiswa, terutama HMI, GMNI
dan PMII. Setiap hari, siang dan malam penghuni kontrakan
selalu ramai dan tak pernah sepi. Kadang teman dari
organisasi pun datang berkunjung sekedar minum kopi atau
urusan keorganisasian lainnya. Disamping sebagai pengurus
organisasi ekstra kampus, semua penghuni pondokan juga
sedang menempuh pendidikan strata dua (S2) bahkan ada
yang sedang studi Doktoral.
GMNIdanHMImerupakanorganisasikader.Organisasi
mahasiswa ini telah melahirkan ribuan kader masing-
masing dan berkiprah dipelbagai medan pengabdian. Ada di
bidang politik, pemerintahan, pelaku ekonomi (pengusaha),
akademisi, pengacara dan bahkan guru ngaji. Partisipasi
kader GMNI dan HMI dalam pengabdiannya terhadap
bangsa dan negara hampir seusia dengan lahirnya negara
Indonesia sendiri. Para kader ditempah dengan pendidikan
dan pelatihan sejak masa mahasiswa hingga ke jenjang
magister di perguruan tinggi. Dari struktur paling bawah
hingga struktur tertinggi dalam kepengurusan.
Penguatan intelektual didapatkan saat pendidikan
dan pelatihan di organisasi masing-masing (GMNI dan
HMI) melalui silabus dan tingkatan pelatihan kader
dengan beragam materi pelatihan. Dari materi ideologi,
kemasyarakatan, kemanusiaan, kepemimpinan, geopolitik
dan ekonomi hingga materi ketuhanan menjadi bagian
tak terpisahkan untuk mempersiapkan pemimpin masa
ix
Kata Pengantar
depan umat, bangsa dan negara. Pemimpin tak lahir karena
kebetulan, ia dibentuk, dilatih dan dibina agar tangguh
menghadapi tantangan masa depan. Pemimpin instan tanpa
melalui tempahan panjang akan mudah menyerah, lemah
dan takut menghadapi resiko.
Karenanya, pemimpin harus disiapkan dan diciptakan
dengan menempuh penjenjangan dan pelatihan panjang.
GMNI dan HMI memiliki pedoman perkaderan masing-
masing yang diracik dari pikiran mendalam sesuai dengan
tujuan organisasi dan dipengaruhi latar belakang lahirnya
organisasi. HMI dilahirkan sangat dipengaruhi oleh
kondisi keummatan (Islam), kondisi kebangsaan, kondisi
ke-Indonesiaan dan kondisi kemahasiswaan pada tahun
1947, demikian pula dengan kelahiran GMNI yang tak
bisa dilepaskan dari kondisi kerakyatan, kebangsaan dan
ke-Indonesiaan dengan semangat Marhaenis yang sangat
membara. Membela kelompok kecil dan masyarakat
terpinggirkan agar sederajat dengan manusia lainnya.
Boleh dikatakan, GMNI dan HMI merupakan
kontributor utama pemimpin nasional Indonesia, sekarang
dan masa akan datang. Kiprah kader dan alumninya tersebar
dipelbagai tempat, baik di bidang kekuasaan eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Sejarah Indonesia telah dikawal
dan dilayani oleh kader-kader terbaik HMI dan GMNI,
bersatu padu untuk wujudkan Indonesia yang adil, makmur
dan sejahtera sesuai cita-cita Proklamasi dan UUD 1945.
Perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan Negara ini telah mengiringi dan
GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
x
menyatu dengan cita-cita HMI dan GMNI sebagai organisasi
kader. Kader umat, kader bangsa dan kader negara untuk
Indonesia satu, maju dan bermartabat.
Buku ini, tidak hanya mengulas kader-kader HMI
dan GMNI dalam pusaran politik kekuasaan, tetapi juga
memberi gambaran bagaimana kader dan calon pemimpin
nasional itu diciptakan dan dibina. Hubungan kader, alumni
dan organisasinya, bukanlah hubungan layang-layang;
dibuat, dinaikkan lalu putus seiring angin kencang. Dalam
organisasi kader hubungan individu sangat kuat dengan
semangat persaudaraan yang ditempah dalam wadah
yang sama. Senior betanggung jawab membina yunior,
alumni perhatian terhadap organisasinya dan organisasi
mendistribusikan kadernya ke medan laga pengabdian.
Ia ibarat tubuh manusia, jika kaki kesandung maka semua
merasakan sakitnya, dibangun atas dasar cita-cita yang
tinggi dan dasar ideologi yang kuat. Semuanya bermuara
pada perwujudan cita-cita Negara Indonesia.
Akhirnya, kepada para pembaca budiman, semoga
buku ini membawa manfaat bagi kita semua. Tegur sapa dan
kritik membangun selalu terbuka bagi kami untuk perbaikan
dimasa mendatang.
Jakarta, Januari 2014
Penulis,
Syamsuddin Radjab
Ade Reza Hariyadi
f
Daftar Isi
Kata Pengantar ...................................................................vii
Daftar Isi...............................................................................xi
BAB 1
PENDAHULUAN ..................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................1
B. Kerangka Teori ...............................................................24
1. Teori Pembangunan ..................................................24
2. Teori Partisipasi Politik...............................................30
3. Teori Kelompok Penekan (Pressure Group) ...............37
4. Teori Civil Society.......................................................41
C. Metodelogi ....................................................................46
BAB 2
GERAKAN MAHASISWA DALAM LINTASAN
SEJARAH POLITIK NASIONAL..........................................49
GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan
xii
A. Angkatan Pra Kemerdekaan: Merumuskan
Kesadaran Kebangsaan Melawan Imperialisme.............50
1. Budi Utomo 1908: Bangkitnya Kesadaran
Kebangsaan Bumiputera ...........................................51
2. Sumpah Pemuda 1928: Peneguhan
Komitmen Kebangsaan .............................................61
3. Angkatan 1945: Revolusi Kemerdekaan....................69
B. Pasca Kemerdekaan: Dari Politik Aliran
Menuju Stabilitas Politik .................................................75
1. Percobaan Demokrasi: 1950–1957............................75
2. Politik Aliran dan Demokrasi Terpimpin.....................82
3. Stabilitas Politik dan Pembangunanisme
Orde Baru .................................................................90
BAB 3
Dinamika Politik HMI dan GMNI di Bawah Hegemoni
Kekuasaan Order Baru .......................................................97
A. Mahasiswa dan Pengorganisasian Politik .......................97
1. HMI: Pembaharuan Islam dalam
Pusaran Politik Aliran .................................................98
2. GMNI: Nasionalis Soekarnois Di Tengah
Politik Kepartaian ....................................................107
B. HMI dan GMNI di Bawah Kekuasaan
Hegemonik Orde Baru.................................................121
1. Politik Akomodasi Sebagai Strategi
Penataan Politik .......................................................126
2. Kooptasi Negara di Sektor Kepemudaan................145
xiii
ŠŤŠ¡ £“
BAB 4
Peran Politik HMI dan GMNI di Pentas Politik
Nasional Pasca Order Baru ..............................................171
A. Reformasi dan Perubahan Politik Pasca Orde Baru......171
B. HMI dan GMNI: Upaya Merumuskan Peran
Politik Kaum Muda .......................................................185
1. Training Ground dan Sumber Rekruitment
Politik Kekuasaan.....................................................186
2. Penguatan Civil society dan Demokratisasi............198
3. Kelompok Penekan (Pressure group)
dan Kontrol Kinerja Kekuasaan ...............................206
C. Revitalisasi Organisasi dalam Arus Perubahan.............211
BAB 5
PENUTUP .........................................................................215
Daftar Pustaka..................................................................223
Tentang Penulis ................................................................233
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
xiv
Bab
1
A.
Latar
Belakang
Sejarah
politik
modern
telah
mencatat
peran
strategis
dari
angkatan
muda
dalam
transformasi
sosial
dan
politik.
Pengalaman
diberbagai
negara
berkembang
memperlihatkan
bahwa
angkatan
muda
memiliki
kontribusi
penting
dalam
kelangsungan
suatu
rezim
politik
yang
sedang
berkuasa.
Begitu
halnya
yang
berlangsung
di
Indonesia,
keterlibatan
angkatan
muda
dalam
transformasi
sosial
dan
politik
ini
telah
berjalan
sepanjang
sejarah
politik
Indonesia
modern.
Sejarah
telah
memberi
peneguhan
atas
berbagai
peristiwa
dan
perubahan
sosial
monumental
yang
selalu
digelorakan
oleh
angkatan
muda.
1
Tercapainya
kemerdekaan
1
Banyak
tulisan
yang
mengupas
tentang
peran
angkatan
muda
dalam
perubahan
sosial.
Lihat,
Farchan
Bulkin,
Analisa
Kekuatan
Politik
Indonesia;
Pilihan
Artikel
Prisma.
(Jakarta:
LP3ES,
1988),
hal.
109-174.
Lihat
juga,
Subagio
Reksodipuro,
Peranan
Pemuda
dan
Pergerakan
Pemuda
dalam
Perjuangan
Nasional,
Bunga
Rampai
Soempah
Pemoeda,
PN
Balai
Pustaka,
Jakarta
1978,
hal
407-411.
PENDAHULUAN
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
2
tidak
membuat
angkatan
muda
surut
dari
peran
dan
aktivitas
politiknya.
Hanya
saja
persoalan
yang
menjadi
tema
dari
aktivitasnya
juga
mengalami
perubahan.
Romantika
perjuangan
generasi
muda
beralih
dari
perjuangan
mengangkat
senjata
kepada
bentuk
perjuangan
bagaimana
mengisi
arti
kemerdekaan
2
.
Pemikiran-pemikiran
dalam
melestarikan
cita-cita
perjuangan
yaitu
Sumpah
Pemuda
1928,
Proklamasi
1945,
Undang-Undang
Dasar
1945
dan
Pancasila.
Angkatan
muda
paska
kemerdekaan
dihadapkan
pada
isu
dan
persoalan
yang
biasanya
terkait
dengan
pembangunan
nasional
sebagai
negara
bangsa
yang
baru
merdeka.
Perkembangan
pendidikan
memberikan
andil
tersendiri
bagi
perkembangan
peran
politik
angkatan
muda
paska
kemerdekaan.
Bahkan,
hal
itu
telah
terlihat
jauh
sebelum
merdeka,
dimana
kesadaran
kebangsaan
dan
pengorganisasian
gerakan
politik
melawan
kekuatan
kolonial
banyak
diawali
oleh
para
tokoh
pemuda
terdidik
atau
berstatus
mahasiswa.
Kesempatan
mengenyam
pendidikan
hingga
jenjang
tertinggi
melahirkan
suatu
lapisan
elit
tersendiri
dikalangan
angkatan
muda.
Mereka
yang
berstatus
mahasiswa
biasanya
menjadi
kelompok
berpengaruh
dan
tampil
sebagai
pemimpin
gerakan.
Pendidikan
tinggi
membuat
mereka
memiliki
kemampuan
dalam
menafsirkan
berbagai
problematika
sosial
yang
melingkupinya,
dan
sekaligus
merumuskan
peran
politiknya.
2
Yozar
Anwar,
Pergolakan
Mahasiswa
Abad
ke-20;
Kisah
Perjuangan
Anak-Anak
Muda
Pemberani,
(Jakarta:
Sinar
Harapan
1981),
hal
241
3
PENDAHULUAN
Mahasiswa
kemudian
menjadi
semakin
terpandang
dan
memiliki
kedudukan
sosial
yang
penting
dalam
masyarakat
pada
umumnya.
Para
mahasiswa
pribumi
ini
mulai
menyadari
noblesse
oblige
untuk
memperjuangkan
rakyat
mereka
agar
lepas
dari
ketertindasan.
3
Peranan
dan
posisi
strategis
mahasiswa
sebagai
lapisan
elit
dalam
angkatan
muda
ini
dipengaruhi
oleh
sejumlah
hal
yakni:
4
Pertama,
sebagai
kelompok
masyarakat
yang
memperoleh
pendidikan
terbaik,
mahasiswa
mempunyai
horizon
yang
luas
diantara
keseluruhan
untuk
lebih
mampu
bergerak
diantara
pelapisan
sosial
masyarakat.
Pendidikan
tinggi
menjadi
instrumen
penting
bagi
mereka
untuk
melakukan
mobilitas
sosial.
Kedua,
sebagai
kelompok
masyarakat
yang
paling
lama
menduduki
bangku
pendidikan,
sehingga
mengalami
proses
sosialiasi
politik
terpanjang
di
antara
angkatan
muda.
Meski
keluarga
merupakan
agen
sosialisasi
politik
utama,
namun
peran
bangku
pendidikan
sepertinya
lebih
efektif
dalam
sosialiasi
politik.
Nilai-nilai
baru
yang
diperkenalkan
dalam
kurikulum
pendidikan
telah
terinternalisasi
dan
mempengaruhi
persepsi
serta
orientasi
sosial
politik
mahasiswa.
Ketiga,
kehidupan
di
kampus
membentuk
gaya
hidup
yang
unik
di
kalangan
mahasiswa.
Proses
akulturasi
berlangsung
lebih
efektif
akibat
intensitas
interaksi
dibandingkan
dengan
lembaga-lembaga
3
Burhan
D.
Magenda,
Gerakan
Mahasiswa
dan
Hubungannya
dengan
Sistem
Politik:
Suatu
Tinjauan,
dalam
Analisa
Kekuatan
Politik
Indonesia,
(Jakarta
:
LP3ES,
1985),
hlm.
130.
4
Lihat
Arbi
Sanit,
Sistem
Politik
Indonesia;
Kestabilan,
Peta
Kekuatan
Politik
dan
Pembangunan
-DNDUWD5DMD*UD¿QGR3HUVDGD
KDO
81.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
4
sosial
lainnya.
Keempat,
mahasiswa
sebagai
kelompok
yang
akan
memasuki
lapisan
atas
dari
susunan
kekuasaan,
struktur
perekonomian
dan
prestise
dalam
masyarakat,
dengan
sendirinya
merupakan
elite
dalam
kalangan
angkatan
muda.
Sebab,
mahasiswa
yang
merupakan
jumlah
terkecil
dari
angkatan
muda
pada
umumnya
mempunyai
latar
belakang
sosial
ekonomi
yang
lebih
baik
dibandingkan
dengan
lainnya.
Peran
politik
mahasiswa
ini
semakin
menonjol
seiring
dengan
berdirinya
organisasi-organisasi
kemahasiswaan
yang
merepresentasikan
keragaman
potensi
sosial
maupun
politik.
Secara
garis
besar,
organisasi
mahasiswa
yang
muncul
dapat
dikategorisasikan
ke
dalam
dua
kelompok
yakni,
organisasi
kemahasiswaan
yang
bersifat
nasional
dan
diikat
oleh
kecenderungan
yang
bersifat
ideologis
maupun
politis
seperti
Himpunan
Mahasiswa
Islam
(HMI),
Gerakan
Mahasiswa
Nasional
Indonesia
(GMNI),
Gerakan
Mahasiswa
Kristen
Indonesia
(GMKI),
Perhimpunan
Mahasiswa
Katolik
Republik
Indonesia
(PMKRI),
Central
Gerakan
Mahasiswa
Indonesia
(CGMI),
dan
Pergerakan
Mahasiswa
Islam
Indonesia
(PMII),
serta
organisasi
yang
lebih
pada
ikatan
sentimen
primordialistik
seperti
Ikatan
Mahasiswa
Bandung
(IMABA),
Ikatan
Mahasiswa
Jakarta
(IMADA)
dan
sejumlah
lainnya.
Dinamika
kepartaian
pada
tahun
1950-1960an
di
masa
kepemimpinan
Soekarno
telah
meningkatkan
intensitas
perpolitikan
yang
dimainkan
oleh
mahasiswa
dan
berbagai
organisasi
yang
ada.
Bagi
partai
politik,
ledakan
jumlah
angkatan
muda
terdidik
dan
keberadaan
organisasi
5
PENDAHULUAN
mahasiswa
ini
merupakan
potensi
strategis
bagi
kepentingan
mobilisasi
politik.
Sedangkan
bagi
mahasiswa,
partai
politik
merupakan
sarana
yang
penting
untuk
melakukan
mobilitas
sosial
dalam
struktur
kekuasaan
politik
negara.
Banyak
di
antara
organisasi
mahasiswa
ini
didirikan
dalam
kepentingan
yang
segaris
dengan
kepentingan
politik
kepartaian
dari
sejak
awalnya
maupun
yang
kemudian
mengintegrasikan
diri
dalam
perjalanannya.
Pola
hubungan
itu
terlihat
seperti
dalam
relasi
antara
GMNI
yang
tidak
dapat
lepas
dari
pengaruh
PNI,
HMI
dan
Masyumi,
CGMI
dengan
PKI.
Organisasi
mahasiswa
ini
aktif
terlibat
dalam
kegiatan-kegiatan
kepartaian
seperti
pawai,
rapat
umum
dan
kursus-kursus
politik.
Artikulasi
politik
organisasi
mahasiswa
pada
masa
itu
banyak
dipengaruhi
oleh
orientasi
dan
kebijakan
partai
sebagai
organisasi
induk.
Mahasiswa
terfragmentasi
dalam
berbagai
organisasi
yang
berbasis
politik
aliran
dan
larut
dalam
isu
kekuasaan
yang
diusung
oleh
partai-partai.
Eskalasi
politik
mahasiswa
mengalami
peningkatan
kembali
menjelang
jatuhnya
kekuasaan
Soekarno.
Demokrasi
Terpimpin
yang
dipenuhi
oleh
ketegangan
antar
faksi–faksi
politik.
Peristiwa
30
September
1965,
dimana
PKI
diduga
mendalangi
percobaan
kudeta
dan
berada
dibalik
operasi
penculikan
para
petinggi
Angkatan
Darat,
telah
menggoyah
stabilitas
sosial
politik
masa
demokrasi
terpimpin.
Situasi
itu
diperburuk
pula
oleh
keadaan
perekonomian
nasional
yang
semakin
merosot
tajam
akibat
pertikaian
politik.
Kondisi
nasional
yang
demikian
telah
memicu
munculnya
gelombang
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
6
protes
yang
didalamnya
melibatkan
mahasiswa
sebagai
kekuatan
utama.
Mahasiswa
mengalami
polarisasi
dalam
kelompok-
Žiœ“«œŽ
Þ˜}
«œÌi˜Ãˆ
Õ˜ÌÕŽ
ÌiÀˆLÌ
`“
Žœ˜yˆŽ°

Disatu
sisi,
muncul
kelompok
yang
memang
sejak
semula
secara
politik
dan
ideologis
memiliki
kedekatan
dan
berada
dibarisan
pro
Soekarno,
sementara
di
sisi
lain
kekacauan
politik
dan
ekonomi
saat
itu
juga
memunculkan
ketidakpuasan
dikalangan
mahasiswa
yang
kemudian
aktif
mendesak
Soekarno
untuk
segera
mengambil
kebijakan
guna
pemulihan
keadaan.
Berbagai
komite
aksi
didirikan
untuk
mengorganisir
mahasiswa
dalam
gerakan
protes,
seperti
Kesatuan
Aksi
Pelajar
Indonesia
(KAPI),
Kesatuan
Mahasiswa
Indonesia
(KAMI)
yang
bergerak
dengan
tuntutan
yang
dikenal
dengan
Tiga
Tuntutan
Rakyat
(Tritura),
yakni
pembubaran
PKI,
retooling
kabinet
dan
turunkan
harga.
Puncak
dari
pergolakan
politik
dari
peristiwa
1965
berakhir
dengan
jatuhnya
Soekarno
dari
kekuasaan
dan
berdirinya
rezim
politik
yang
kemudian
disebut
sebagai
Orde
Baru
di
bawah
kepemimpinan
Jenderal
Soeharto.
Pelaksanaan
UUD
1945
dan
Pancasila
secara
murni
dan
konsekuen
menjadi
tema
dalam
melakukan
konsolidasi
politik
pemerintahan
Orde
Baru
yang
dipimpin
oleh
Soeharto.
Secara
bertahap
seluruh
kekuatan
politik
dipersatukan
dalam
satu
payung
bersama
yakni
pembangunanisme.
Dalam
kehidupan
kepartaian
setelah
Pemilu
1971,
partai-partai
didorong
untuk
berfusi
berdasarkan
pengelompokan
nasionalis
sekuler
dan
7
PENDAHULUAN
agama.
Angkatan
Bersenjata
memperoleh
konsensi
politik
lebih
besar
dalam
birokrasi
pemerintahan
sipil,
peran-peran
ekonomi,
begitu
pula
para
pentolan
aktivis
mahasiswa
yang
kemudian
diakomodir
dalam
jabatan-jabatan
publik.
Strategi
Orde
Baru
untuk
mengakomodir
para
tokoh
mahasiswa
dalam
struktur
kekuasaan
politik
tampaknya
efektif
meredakan
dinamika
politik
mahasiswa.
Tanpa
mempersoalkan
bentuk
dan
tingkat
partisipasi
politik
masing-
masing
dalam
gerakan
angkatan
’66
menumbangkan
Orde
Lama
dan
menegakan
Orde
Baru,
sejumlah
tokoh
pemuda
yang
sebelumnya
adalah
pimpinan
organisasi
mahasiswa
dan
tokoh
sentral
dalam
struktur
gerakan
protes
mahasiswa,
tampil
dalam
jajaran
elite
kepemimpinan
bangsa.
Di
jalur
politik
dan
birokrasi
muncul
nama-nama
seperti:
Akbar
Tanjung
(mantan
ketua
umum
HMI),
Cosmas
Batubara
(mantan
pimpinan
PMKRI),
Sarwono
Kusumaatmadja,
Siswono
Yudohusodo
(GMNI)
dalam
Kabinet
Pembangunan.
Marzuki
Darusman,
Ekky
Syahruddin
(HMI),
Fahmi
Idris
(HMI),
Marie
Muhammad
(HMI),
merupakan
aktivis
yang
kemudian
masuk
jalur
legislatif.
Sementara
itu
di
partai
politik
nama
seperti
Soerjadi
(GMNI)
tampil
memimpin
PDI,
Ismail
Hasan
Metarium
(HMI)
memimpin
PPP,
Akbar
Tanjung
memimpin
Golkar.
Para
pemimpin
gerakan
protes
mahasiswa
ini
juga
sebagian
merupakan
elite
baru
dalam
kancah
bisnis
seperti
Sofyan
Wanandi.
Depolitisasi
mahasiswa
secara
sistematis
mulai
dilancarkan
guna
menjinakan
mahasiswa
dari
geliat
politik.
Berbagai
kebijakan
dirancang
untuk
membatasi
persentuhan
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
8
mahasiswa
dengan
isu-isu
politik
dan
pemerintahan.
Sulit
dibantah
bahwa
pembangunan
Orde
Baru
telah
berhasil
menggerakan
transformasi
struktural
di
bidang
ekonomi
dan
politik.
Sebagaimana
diikhtisarkan
oleh
Sjahrir,
berbagai
bentuk
transformasi
struktural
dibidang
ekonomi
telah
berhasil
dilakukan
sepanjang
dua
dasa
warsa
pembangunan
Orde
Baru
5
.
Soemitro
Djojohadikusumo
juga
menunjukan
bahwa
selama
lima
Pelita,
angka
pertumbuhan
PDB
berkisar
antara
4,4-8,6%
6
.
Angka
tertinggi
dicapai
dalam
Pelita
I
(8,6%)
dan
angka
terendah
pada
Pelita
IV
(4,4%).
Laju
pertumbuhan
ekonomi
yang
berhasil
dicapai
selama
lebih
dari
dua
dasa
warsa
Orde
Baru
merupakan
angka
yang
relatif
menggembirakan;
rata-rata
6,02%
dalam
lima
Pelita
yang
sudah
dan
sedang
berjalan.
Hampir
semua
kalangan
sepakat
bahwa
–dengan
memperhitungkan
kapabilitas
pengambil
kebijakan
ekonomi
Orde
Baru
yang
didukung
kenyataan-kenyataan
objektif
perkembangan
perekonomian
–laju
pertumbuhan
yang
relatif
tinggi
tersebut
akan
dapat
dipertahankan
secara
konsisten
kedepan.
Proyeksi
data
pendapatan
perkapita
penduduk
adalah
sama
menggembirakannya.
Dalam
rentang
waktu
24
tahun—
dari
1967-1991—pendapatan
perkapita
penduduk
beranjak
dari
US
$7
menjadi
US
$570,
maka
menurut
proyeksi
Bank
Dunia
angka
itu
akan
makin
beranjak
di
tahun
2000
hingga
5
Sjahrir,
5HÀHNVL3HPEDQJXQDQ2UGH%DUX(NRQRPL,QGRQHVLD±,
(Jakarta:
Gramedia,
1992),
hal
140
6
Lihat
Soemitro
Djojohadikusumo,
“Perkembangan
Ekonomi
Indonesia
Selama
Empat
Tahap
Pelita,
1969/1970–1988/1989,”
Prasaran
Untuk
6LGDQJ3OHQR,6(,
Bukit
Tinggi,
29
Juni
1989.
9
PENDAHULUAN
menjadi
US
$1000.
7
Perkembangan
progresif
dalam
kualitas
perekonomian
masyarakat
juga
terlihat
melalui
pengurangan
penduduk
miskin
dari
waktu
ke
waktu.
Pada
tahun
1976
masih
terdapat
40,09%
penduduk
miskin
dari
total
sekitar
135
juta
penduduk;
pada
tahun
1987
jumlahnya
berkurang
hingga
menjadi
17,44%
dari
total
sekitar
172
juta
penduduk;
dan
menurut
proyeksi
BPS
angka
ini
akan
menurun
lagi
menjadi
15,08%
dari
total
180
juta
penduduk
ditahun
1990.
Transformasi
struktural
di
bidang
ekonomi
dan
politik
ini
digerakan
oleh
kebijakan
strategis
berupa
maksimalisasi
«Àœ`Վ̈ۈÌÃ
iŽœ˜œ“ˆ
`˜
“ˆ˜ˆ“ˆÃÈ
Žœ˜yˆŽ
«œˆÌˆŽ°

Dengan
kalimat
lain,
pembangunan
Orde
Baru
secara
umum
dapat
digambarkan
sebagai:
memprioritaskan
pertumbuhan
ekonomi
dengan
berpagarkan
stabilitas
politik.
Dalam
kerangka
ini
yang
menjadi
pusat
perhatian
negara
adalah
mesin–mesin
pertumbuhan
yang
efektif
dan
sebaliknya
sektor
dan
pelaku
ekonomi
yang
tidak
potensial
untuk
memacu
pertumbuhan
ekonomi
menjadi
prioritas
belakangan.
Secara
politik
yang
diprioritaskan
adalah
tersedianya
lembaga-lembaga
yang
dituntut
oleh
konstitusi
sambil
mempolakan
lembaga-lembaga
itu
untuk
menciptakan
perilaku
politik
yang
pro
stabilitas
dan
menjauhi
Žœ˜yˆŽ«œˆÌˆŽ°
Rancang
bangun
pembangunan
seperti
itu
dapat
tegak
berdiri
ditopang
oleh
dua
pilar:
kebijakan
ekonomi
7
Lihat
Swa
Sembada,
No.
9/VII,
Desember
1992,
“Bonus
Proyeksi
Bisnis
1993”,
hal
4.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
10
pragmatis
dan
stabilitas
politik
otokratis.
Kebijakan
ekonomi
pragmatis
dijalankan
melalui
berbagai
regulasi
ekonomi
yang
mewujudkan
peran
negara
yang
amat
besar
terhadap
ekonomi
dan
pasar.
Negara
mewujud
sebagai
kekuatan
yang
mensubordinasi
kekuatan
pasar.
Sekalipun
Negara
Orde
Baru
cenderung
mencontoh
model
pembangunan
yang
kapitalistik,
tetapi
model
ini
dipraktekan
dengan
besarnya
peran
negara
dan
tidak
adanya
dasar
perkembangan
tehnologi
yang
memadai.
Model
inilah
yang
oleh
Kunio
disebut
sebagai
kapitalisme
semu
atau
ersatz
capitalism.
8
Kapitalisme
semu
ini
dicirikan
secara
lengkap
dengan
pentingnya
keberadaan
modal
asing,
besarnya
peranan
Negara,
tingkat
tehnologi
yang
rendah,
dan
dominasi
modal
domestik
non
pribumi.
Dalam
model
pembangunan
ekonomi
seperti
ini,
keuntungan
banyak
diperoleh
oleh
kekuatan-kekuatan
ekonomi
menengah-besar
yang
menyandarkan
diri
pada
patronase
politik
kepada
Negara.
Sementara
itu
kekuatan
ekonomi
kecil,
terutama
modal
domestik
pribumi
hanya
menikmati
sebagian
kecil
remahan
kue
pembangunan.
Sedangkan
pembangunan
politik
guna
menciptakan
stabilitas
poltik
otokratis
dijalankan
melalui
rekayasa
struktur
dan
kultur
politik.
Secara
struktural
yang
dilakukan
adalah
menyediakan
kerangka
struktur
politik
yang
menutup
peluang
bagi
terjadinya
gangguan–gangguan
politik
terhadap
pembangunan.
Kebijakan
ini
tercermin
diawal
masa
8
Yoshihara
Kunio,
Kapitalisme
Semu
Asia
Tenggara,
terj.
A.
Setiawan
Abadi,
(Jakarta:
LP3ES,
1990),
hal
49.
11
PENDAHULUAN
pemerintahan
Orde
Baru
melalui
kebijakan
restrukturisasi
politik
dan
deparpolisasi
birokrasi.
Orde
Baru
melihat
bahwa
restrukturisasi
politik
ini
merupakan
langkah
untuk
mengkonsolidasikan
seluruh
kekuatan
politik
peninggalan
era
politik
aliran
sehingga
tidak
larut
dalam
kompetisi
kepentingan
yang
pada
akhirnya
dapat
menggangu
roda
pembangunan
ekonomi
9
.
Restrukturisasi
ini
semakin
efektif
ketika
pemerintah
berhasil
memaksakan
fusi
partai
–
partai
politik
menjadi
Partai
Persatuan
Pembangunan
(PPP)
sebagai
representasi
kekuatan
politik
Islam
dan
Partai
Demokrasi
Indonesia
(PDI)
sebagai
representasi
kekuatan
politik
nasionalis.
Sedangkan
Golkar
merupakan
Orsospol
peserta
pemilu
yang
mendapatkan
privilege
sebagai
kekuatan
utama
pendukung
pemerintah.
Penataan
politik
juga
terjadi
di
birokrasi
pemerintah.
Sebagai
pelaksana
kebijakan
publik,
birokrasi
kemudian
disterilkan
dari
pengaruh
partai
politik.
Kebijakan
deparpolisasi
birokrasi
ini
secara
efektif
menempatkan
birokrasi
dibawah
kendali
Presiden
dan
digerakan
sesuai
dengan
kebijakannya.
Perwujudan
dari
deparpolisasi
birokrasi
ini
terlihat
dari
dikeluarkannya
larangan
birokrasi
untuk
berpolitik
sekaligus
menjadi
anggota
partai
politik.
Namun,
kebijakan
deparpolisasi
birokrasi
ini
mengalami
distorsi
ketika
pemerintah
justru
memobilisasi
birokrasi
untuk
menjadi
anggota
Golkar
dengan
azas
monoloyalitas
birokrasi
terhadap
Golkar.
9
Lihat
Syamsuddin
Haris,
0HQJJXJDW3ROLWLN2UGH%DUX
-DNDUWD*UD¿WL
1998),
hal
1.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
12
Birokrasi
yang
telah
dikendalikan
merupakan
alat
pembangunan
yang
efektif.
Birokrasi
mengalami
pembesaran
yang
tidak
saja
untuk
tujuan
teknis
membantu
formulasi
dan
realisasi
kebijakan
pembangunan,
namun
juga
untuk
tujuan-
tujuan
politik
menjaga
stabilitas
kekuasaan
Negara
secara
internal
dan
melakukan
penguasaan
terhadap
masyarakat
secara
eksternal.
Untuk
tujuan
ini,
terdapat
sekurang-
kurangnya
tiga
bentuk
birokratisasi
khas
Orde
baru:
Pertama,
melakukan
pembesaran
jumlah
atau
kuantitas
anggota
birokrasi.
Kedua,
memberikan
kewenangan
besar
kepada
birokrasi
untuk
menjadi
perpanjangan
tangan
Negara
dalam
mengkontrol
masyarakat.
Dan
ketiga,
memasukan
kekuatan
militer
kedalam
birokrasi,
baik
pusat
maupun
daerah
melalui
legitimasi
doktrin
Dwi
Fungsi
ABRI.
Peran
ini
sejalan
dengan
kebijakan
Presiden
Soeharto
untuk
menciptakan
stabilitas
politik
sebagai
prasyarat
pembangunan
nasional
dengan
bertumpu
pada
pertumbuhan
ekonomi.
Militer
kemudian
digunakan
sebagai
instrumen
efektif
untuk
menciptakan
dan
mengendalikan
stabilitas
yang
dihendaki
oleh
pemerintah.
Menurut
Ali
Moertopo,
dalam
rangka
stabilisasi
ini
maka
kendali
militer
atas
pos-pos
strategis
pemerintahan
tidak
mungkin
untuk
dikembalikan
pada
kelompok
sipil
dan
hanya
akan
mempertaruhkan
eksistensi
negara.
Baginya,
sipil
dianggap
tidak
memiliki
kecakapan
dalam
menjalankan
pemerintahan
yang
stabil.
10
Di
sektor
kemahasiswaan,
puncak
dari
kebijakan
depolitisasi
adalah
keluarnya
kebijakan
NKK/BKK
untuk
10
Ali
Moertopo,
Strategi
Politik
Nasional,
(Jakarta:
CSIS,1974),
hal
47
13
PENDAHULUAN
menempatkan
mahasiswa
dalam
atribut
“insan
akademis”
yang
steril
dari
kepentingan
politik
praktis.
Dalam
pandangan
penguasa,
kampus
yang
dipenuhi
aktivitas
politik
pada
tahun
1970-an
merupakan
hal
yang
tidak
normal
dan
perlu
diantisipasi.
Penguasa
merasa
perlu
untuk
mengembalikan
mahasiswa
dalam
situasi
normal
dan
lepas
hingar-bingar
aktivitas
politik.
Kepentingan
itulah
yang
mendorong
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
Daoed
Yoesoef
pada
tahun
1978
menerapkan
kebijakan
Normalisasi
Kehidupan
Kampus
(NKK).
Dalam
konsep
NKK,
normalisasi
diterjemahkan
sebagai
pembatasan
eksistensi
dan
ruang
gerak
politik
mahasiswa
di
kampus.
Kebijakan
itu
juga
hendak
memanipulasi
kesadaran
mahasiswa
dalam
memaknai
dan
menjalani
kehidupan
di
kampus.
Kehidupan
kampus
yang
“normal”,
sama
artinya
dengan
steril
dari
kegiatan
politik.
Kegiatan
kampus
diarahkan
pada
hal-hal
yang
bersifat
“student
needs”
(misalnya;
pemenuhan
kebutuhan
buku
murah,
beasiswa),
“student
interest”
(pengembangan
minat
mahasiswa
untuk
berkesenian,
penelitian)
dan
“student
welfare”
(hubungan
belajar-mengajar
dosen-mahasiswa
yang
harmonis
dan
menyenangkan).
Kebijakan
lainnya,
pemerintah
menghapuskan
lembaga-
lembaga
kemahasiswaan
intra
kampus
seperti
Dewan
Mahasiswa
dan
Majelis
Mahasiswa
yang
bersifat
otonom
dan
berperan
seperti
“pemerintahan
mahasiswa”.
Dalam
sejarah
pergerakan
mahasiswa,
Dewan
Mahasiswa
dan
Majelis
Mahasiswa
merupakan
alat
efektif
untuk
mengorganisir
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
14
kekuatan
mahasiswa
di
kampus.
Demonstrasi
mahasiswa
dimasa
Orba
pada
tahun
1970-an,
seringkali
diorganisir
oleh
organisasi
intra
kampus
tersebut.
Sebagai
gantinya,
dimunculkan
Badan
Koordinasi
Kemahasiswaan
(BKK).
Berbeda
dengan
Dewan
Mahasiswa
dan
Majelis
Mahasiswa,
lembaga
baru
itu
tidak
memiliki
otoritas
pengambilan
keputusan,
berfungsi
koordinatif
dan
sepenuhnya
berada
dalam
kontrol
pimpinan
kampus.
Pembubaran
organisasi
intra
kampus
itu
mendapat
tentangan
keras
dari
para
mahasiswa.
Meskipun
demikian,
sikap
rezim
Orba
tetap
bersikukuh
dan
pada
akhirnya
gelombang
protes
keras
itu
berhasil
dihentikan
dengan
cara
represif.
Kebijakan
depolitisasi
mahasiswa
ini
selain
ditopang
oleh
beragam
regulasi
politik,
juga
menggunakan
pendekatan
keamanan
dengan
aparatus
represif
negara
sebagai
instrumen
dilapangan.
Ruang
bagi
mahasiswa
untuk
mengekspresikan
sikap
kritisnya
menjadi
semakin
sempit
dan
terbatas.
Slogan
politik
yang
diteriakan
pada
tahun
1966
seperti
keadilan,
kebebasan
dan
hak
asasi
manusia,
berhadapan
dengan
kenyataan
sentralisasi
kekuasaan
dan
ketimpangan
dalam
struktur
sosial
maupun
ekonomi,
yang
mulai
meningkat
setelah
Pemilu
1971.
Kebijakan
penciptaan
stabilitas
politik
ini
kemudian
mengakumulasikan
kekuasaan
pada
Negara
dan
mengoptimalkan
kekuasaan
aparatur
Negara
—baik
aparatur
represif
maupun
aparatur
ideologis
11
—
sambil
melakukan
disakumulasi
kekuasaan
11
Lihat
mengenai
pemilahan
aparatur
Negara
menjadi
aparatur
represif
dan
aparatur
ideologis
dalam
Nicos
Poulatzas,
State,
Power,
Socialism,
15
PENDAHULUAN
elemen-elemen
masyarakat
sipil.
Langkah
disakumulasi
ini
dibentuk
oleh
pembatasan
partisipasi
politik
dan
pembatasan
keleluasaan
kontrol
politik.
Kegelisahan
mahasiswa
mulai
nampak
setelah
pemilu
yang
digelar
tahun
1971.
Gerakan
politik
mulai
terjadi
meski
dalam
lingkup
terbatas
dan
dibayang-bayangi
represi,
seperti
Gerakan
Penghematan
(Gepeng),
gerakan
protes
mahasiswa
anti
modal
asing
tahun
1974
yang
dikenal
denga
peristiwa
Malari,
Gerakan
Anti
Korupsi
(GAK),
Mahasiswa
Menggugat
(MM)
12
.
Berkembang
kesadaran
baru
di
kalangan
mahasiswa
mengenai
kebijakan
ekonomi
politik
Orde
Baru
yang
sarat
dengan
praktek
KKN,
ketimpangan
sosial
ekonomi,
dan
represif.
Korban
dari
pembangunan
tidak
hanya
mahasiswa,
tetapi
juga
masyarakat
luas
sebagai
lingkup
sosial
dimana
mahasiswa
berasal.
Kesadaran
akan
situasi
represi
inilah
yang
memicu
bangkitnya
potensi
radikal
dan
perlawanan
mahasiswa
terhadap
rezim
Orde
Baru.
Dalam
menangani
aksi
protes
mahasiswa,
pemerintah
tidak
hanya
memanfaatkan
aparatus
represif
negara
seperti
militer,
polisi
dan
intelejen,
tetapi
juga
menggunakan
birokrasi
kampus
dengan
berbagai
sangsi
akademik
yang
dikenakan
pada
aktivis
mahasiswa.
Represi
ini
dialami
oleh
sebagian
besar
aktivis
pada
masa
Orde
Baru,
termasuk
mahasiswa
ITB
yang
melakukan
demonstrasi
mengkritik
pemerintah
pada
saat
kedatangan
Menteri
Dalam
Negeri,
Jenderal
Rudini
di
(London:
New
Left
Books,1978),
hal
134
12
Ridwan
Saidi,
Mahasiswa
dan
Lingkaran
Politik,
(Jakarta:
Lembaga
Pers
Mahasiswa
Mapussy
Indonesia
(LPMI),
1989),
hal
130
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
16
kampus
ITB
pada
tahun
1980-an.
Meski
proses
peradilan
digelar,
tetapi
sangat
mudah
ditebak
hasilnya
dimana
pengadilan
memvonis
hukuman
kurungan
dan
kampus
ITB
memecat
para
pimpinan
protes
dari
statusnya
sebagai
mahasiswa.
Perlawanan
mahasiswa
terhadap
pemerintahan
Orde
Baru
menemukan
momentum
puncaknya
pada
penghujung
tahun
1990an.
Gerakan
perlawanan
yang
semula
bersifat
sektoral
dan
sporadis
mulai
terkonsolidasi
secara
nasional
melalui
jaringan
komunikasi
antar
organisasi
dan
isu-isu
populis
seperti
pencabutan
Dwi
Fungsi
TNI,
supremasi
hukum,
demokratisasi,
anti
KKN,
HAM,
dan
akhirnya
adalah
desakan
agar
Soeharto
mundur
dari
kursi
Kepresidenan.
Krisisi
ekonomi
dan
moneter
tahun
1997
telah
menjadi
pemicu
bagi
ledakan
gejolak
sosial
politik
melawan
kekuasaan
Soeharto.
Tuntutan
mahasiswa
yang
kemudian
diikuti
oleh
sebagian
besar
masyarakat
tidak
lagi
isu
ekonomi,
tetapi
telah
jauh
dalam
wilayah
politik.
Gerakan
protes
mahasiswa
tahun
1998
menyatu
dalam
isu
reformasi
dan
menjadi
arus
deras
yang
sulit
dibendung
oleh
rezim.
Dalam
situasi
itulah
gerakan
mahasiswa
menjadi
kekuatan
politik
yang
efektif,
dan
tentunya
tidak
dapat
dilepaskan
dari
peran
dan
kontribusi
dari
organisasi
mahasiswa
seperti
GMNI
dan
HMI
yang
memang
memiliki
infrastruktur
organisasi
lebih
mapan
dan
bersifat
nasional.
Dinamika
perpolitikan
Indonesia
telah
memberikan
deskripsi
bahwa
mahasiswa
yang
terorganisir
merupakan
suatu
entitas
politik
yang
memiliki
peranan
strategis
dalam
17
PENDAHULUAN
transformasi
sosial
dan
politik.
Mereka
tidak
hanya
sekedar
menjadi
kekuatan
radikal
dalam
gerakan-gerakan
protes
dijalanan
mengusung
gagasan-gagasan
perubahan,
tetapi
juga
memiliki
andil
besar
dalam
pengisian
struktur
sosial
masyarakat,
termasuk
didalamnya
adalah
struktur
politik
negara.
Oleh
karena
itu
menjadi
hal
yang
wajar
jika
setiap
rezim
selalu
berupaya
untuk
menjaga
dukungan
politik
dan
mengendalikan
kalangan
muda
terdidik
ini,
baik
secara
persuasif
maupun
represif.
Peran
strategis
inilah
yang
membuat
organisasi
mahasiswa,
dalam
hal
ini
GMNI
dan
HMI
tidak
dapat
lepas
dari
persinggungan
dengan
pusaran
politik
dan
kekuasaan.
Keterlibatan
organisasi
mahasiswa
ini
tidak
berhenti
setelah
kejatuhan
Soekarno.
Meski
awalnya
tidak
ada
gerakan
politik
yang
cukup
dinamis
mengingat
sebagian
besar
pimpinan
organisasi
mahasiswa
yang
ikut
menentang
Soekarno
dan
berkontribusi
terhadap
berdirinya
Orde
Baru,
diakomodir
dalam
struktur
kekuasaan
Orde
Baru,
namun
situasi
itu
segara
berubah
seiring
dengan
munculnya
kekecewaan
dikalangan
mahasiswa
atas
sistem
politik
Orde
Baru
yang
semakin
korup.
Pembangunan
politik
Orde
Baru
yang
menekankan
penciptaan
stabilitas
politik
sebagai
fundamen
pembangunan
nasional
berimplikasi
pada
terciptanya
sistem
politik
yang
sentralistik
dan
otoriter.
Situasi
itu
lantas
semakin
diperparah
dengan
berlangsungnya
praktek
kroniisme
dalam
berbagai
lini,
terutama
disektor
ekonomi
dan
politik.
Berbagai
regulasi
dan
perangkat
politik
diciptakan
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
18
Soeharto
guna
mengkontrol
dinamika
politik
sekaligus
mengendalikan
stabilitas
dukungan
politik
yang
diperlukannya.
Partai
politik
yang
merupakan
instrumen
demokrasi
yang
penting
secara
efektif
berhasil
dikendalikan
dengan
kebijakan
penyederhanaan
kepartaian.
Golkar
sebagai
kendaraan
pemerintah
mendapatkan
berbagai
privellege
politik
untuk
memobilisasi
dukungan
politik,
sedangkan
keberadaan
PDI
yang
merupakan
hasil
fusi
partai-partai
nasionalis
sekuler,
dan
PPP
yang
merupakan
hasil
fusi
partai-partai
Islam,
hanya
memperoleh
tempat
sebagai
pelengkap
penderita
dalam
sistem
politik
yang
dilangsungkan
Orde
Baru.
Selain
mengendalikan
kehidupan
kepartaian,
Soeharto
juga
memperluas
sekaligus
menggunakan
Angkatan
Bersenjata
sebagai
salah
satu
mesin
pencipta
stabilitas
politik
dan
dukungan
politik.
Dengan
legitimasi
doktrin
Dwi
Fungsinya,
TNI
dapat
melakukan
operasi
politik
menjinakan
berbagai
organisasi
politik
sesuai
dengan
kepentingan
kekuasaan
dan
menduduki
jabatan-jabatan
politik,
terutama
dalam
struktur
birokrasi
pemerintahan
sipil.
Sedangkan
disektor
kemahasiswaan,
selain
strategi
akomodasi
politik
diterapkan
bagi
para
elite
organisasi
mahasiswa,
Orde
Baru
juga
melakukan
kontrol
ketat
dimana
pemuda
dan
mahasiswa
dimobilisasi
dalam
satu
wadah
berhimpun,
yakni
Komite
Nasional
Pemuda
Indonesia.
Untuk
memperkuat
depolitisasi
mahasiswa,
Orde
Baru
juga
menerapkan
kebijakan
NKK/BKK,
sehingga
mahasiswa
tidak
dapat
bersentuhan
dengan
politik
praktis
dan
disibukan
19
PENDAHULUAN
dengan
kegiatan-kegiatan
akademik.
Geliat
perlawanan
politik
dari
mahasiswa
ini
sebenarnya
sudah
mulai
berlangsung
sejak
awal
70-an.
Mahasiswa
mengkritik
model
pembangunan
Orde
Baru
yang
sarat
dengan
praktek
KKN.
Anti
korupsi
dan
hutang
menjadi
isu
perlawanan
yang
dilakukan
oleh
mahasiswa.
Puncak
dari
aksi
protes
mahasiswa
tahun
70-an
adalah
meletusnya
peristiwa
Malari
1974
yang
didahului
oleh
aksi
protes
terhadap
modal
asing.
Sejarah
gerakan
mahasiswa
selama
Orde
Baru
adalah
sejarah
protes
dan
perlawanan.
Berbagai
represi
yang
dialami
tidak
lantas
membuat
mahasiswa
surut
mundur.
Sistem
politik
tertutup
dan
sentralisasi
kekuasaan
justru
membuat
gerakan
mahasiswa
menjadi
the
only
effective
opposition
dalam
masyarakat.
13
Posisi
strategis
gerakan
mahasiswa
ini
dipengaruhi
oleh
beberapa
hal
sebagai
berikut:
Pertama,
bahwa
mahasiswa
dianggap
masih
murni
dan
netral
dari
kepentingan
politik
praktis.
Hal
inilah
yang
membedakan
antara
mahasiswa
dan
partai
politik
yang
dianggap
hanya
berorientasi
kekuasaan
dan
tidak
mampu
menjalankan
kepentingan
politik
pemilihnya
dihadapan
kekuasaan.
Kedua,
partai-partai
politik
yang
seharusnya
menjalankan
fungsi
artikulasi
kepentingan
masyarakat
dianggap
tidak
efektif
dalam
memperjuangkan
kepentingan
mereka.
Kehidupan
partai
politik
sepenuhnya
dalam
kendali
pemerintah.
Meski
mereka
memiliki
otonomi
atas
proses
internal
organisasinya,
tetapi
untuk
hal-hal
strategis
meliputi
13
Burhan
D
Magenda2SLW
hal
146
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
20
rekruitmen
kepengurusan
dan
kebijakan
politik
yang
terkait
dengan
pemerintahan
sangat
ditentukan
oleh
pemerintah
Soeharto.
Sehingga
partai
politik
kehilangan
kemampuan
dalam
mengontrol
pemerintah
secara
efektif.
Ketiga,
gerakan
civil
society
belum
tumbuh
berkembang
secara
luas
sehingga
masyarakat
belum
mampu
melakukan
kontrol
efektif
terhadap
kebijakan
pemerintahan.
Oleh
karena
itu
harapan
tersisa
pada
mahasiswa
yang
dianggap
lebih
netral
dan
dekat
dengan
kepentingan
rakyat.
Kedudukan
strategis
mahasiswa
dalam
sistem
sosial
dan
politik
membuat
organisasi-organisasi
mahasiswa,
termasuk
GMNI
dan
HMI,
menjadi
kekuatan
politik
yang
potensial
dihadapan
kekuasaan.
Hal
ini
dikarenakan
organisasi
mahasiswa
dapat
menjadi
kekuatan
yang
kritis
dalam
mengawasi
kinerja
kekuasaan
dan
sarana
politik
alternatif
bagi
masyarakat
untuk
menyalurkan
aspirasi
politiknya.
Sikap
kritis
ini
senantiasa
mewarnai
perjalan
gerakan
mahasiswa
dari
masa
ke
masa.
Eskalasi
sikap
kritis
ini
kemudian
meningkat
pada
saat
menjelang
akhir
tahun
1997
akibat
krisis
ekonomi.
Berbagai
aksi
protes
tidak
hanya
dilakukan
oleh
mahasiswa,
tetapi
juga
telah
melibatkan
rakyat
sebagai
elemen
penting.
Komite
aksi
jalanan
dibentuk
oleh
organisasi
mahasiswa
ekstra
kampus,
terutama
HMI
dan
GMNI.
Tak
hanya
itu,
para
senior
dan
alumninya
pun
turut
dalam
mobilisasi
politik
menentang
rezim.
Muara
dari
gerakan
protes
ini
adalah
mendesak
Soeharto
untuk
mundur
dari
jabatannya
sebagai
Presiden
Republik
Indonesia.
Dengan
demikian,
sekali
lagi
organisasi-
21
PENDAHULUAN
organisasi
mahasiswa
ini
menorehkan
kisah
dalam
catatan
sejarah
pergolakan
politik
di
Indonesia.
Mundurnya
Soeharto
dari
jabatan
presiden
menjadi
pertanda
bagi
dimulainya
tahap
baru
bagi
perjalanan
dan
dinamika
politik
Indonesia
yang
lebih
demokratis.
Tahap
itu
merupakan
suatu
fase
transisi
politik
yang
dimaksudkan
untuk
membangun
suatu
tatanan
kehidupan
politik
yang
lebih
demokratis.
Dalam
transisi
politik,
berlangsung
proses
liberalisasi
politik.
Kehidupan
politik
kepartaian
tumbuh
berkembang
ditandai
dengan
muncul
sejumlah
partai
politik
baru
dalam
waktu
singkat.
Kekuatan
politik
yang
lama
terpendam
pada
masa
Orde
Baru
tiba-tiba
menemukan
momentum
kebebasannya
dan
muncul
kepermukaan.
Politik
aliran
kembali
meski
dengan
wajah
yang
jauh
berbeda
dengan
masa
Orde
Lama.
Liberalisasi
politik
juga
ditandai
dengan
tingginya
pengakuan
terhadap
Hak
Asasi
Manusia,
yakni
kebebasan
untuk
mengekspresikan
hak-hak
sipil
politiknya,
baik
dalam
bentuk
perserikatan
maupun
pernyataan-pernyataan
politik
secara
terbuka.
Tak
hanya
itu,
pers
yang
sebelumnya
berada
dalam
belenggu
pun
menikmati
alam
kebebasan
yang
lebih
luas.
Liberalisasi
politik
yang
dilakukan
oleh
Habibie
dalam
masa
transisi
menjadi
terobosan
besar
dalam
refomasi
politik
di
Indonesia
dan
memberikan
perubahan
drastis
dalam
sistem
politik
Indonesia
adalah
revisi
terhadap
paket
Undang-
Undang
di
bidang
politik.
Undang-Undang
perpolitikan
yang
dianggap
tidak
mencerminkan
dan
bertentangan
dengan
prinsip-prinsip
demokrasi
segara
diajukan
untuk
mengalami
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
22
perubahan.
Perubahan
difokuskan
pada
Undang-Undang
Kepartaian,
UU
Keormasan,
UU
Pemilihan
Umum,
UU
Susunan
dan
Kedudukan
DPR/MPR,
UU
Referendum,
UU
Pemerintahan
Daerah,
serta
UU
lainnya.
Revisi
atas
paket
UU
Politik
ini
memberi
dampak
terhadap
format
politik
Indonesia.
Substansi
dari
revisi
itu
terletak
pada
dibukanya
ruang
bagi
partisipasi
politik
publik
lebih
luas.
Secara
teknis
aturan
itu
terkait
dengan
syarat-syarat
pendirian
partai
politik
sebagai
sarana
artikulasi
kepentingan
politik
publik.
Revitalitalisasi
lembaga
perwakilan,
baik
pada
aspek
rekruitmen
politik
maupun
kinerja
dan
fungsi
pengawasan.
Harmonisasi
hubungan
antar
lembaga
negara
dengan
meneguhkan
prinsip
pemisahan
kekuasaan,
serta
pengaturan
mekanisme
sirkulasi
kekuasaan
periodik
secara
fair
dan
demokratis.
Civil
society
tumbuh
berkembang
seiring
dengan
arus
kebebasan
dan
keterbukaan.
Keberadaan
civil
society
ini
mampu
meningkatkan
posisi
politik
masyarakat
dihadapan
otoritas
negara
dan
sekaligus
menjadi
alternatif
atas
lemahnya
pelembagaan
politik
demokratis
di
tingkat
negara.
Dengan
demikian,
civil
society
memiliki
korelasi
yang
kuat
dengan
demokratisasi
yang
hendak
dilangsung
di
Indonesia.
Perubahan
yang
terjadi
paska
Orde
Baru
ini
tentu
berpengaruh
terhadap
peran
politik
strategis
yang
selama
ini
diperankan
oleh
organisasi-organisasi
mahasiswa.
Liberalisasi
politik
telah
memberi
kesempatan
pada
rakyat
memiliki
ruang
dan
kemampuan
untuk
berbicara
atas
namanya
sendiri
dan
menegosiasikan
kepentingannya
dengan
rezim
23
PENDAHULUAN
berkuasa.
Oleh
karena
itu,
menjadi
studi
yang
menarik
untuk
meneliti
lebih
jauh
tentang
peran
politik
organisasi
mahasiswa,
terutama
GMNI
dan
HMI
yang
merupakan
dua
dari
sejumlah
organisasi
mahasiswa
berpengaruh
dan
memiliki
rentang
sejarah
politik
yang
panjang
di
Indonesia,
dalam
pembangunan
politik
pasca
Orde
Baru.
Ditetapkannya
kedua
organisasi
ini
sebagai
kajian
dalam
buku
ini
berdasarkan
pertimbangan
sebagai
berikut
:
Pertama,
bahwa
GMNI
dan
HMI
merupakan
dua
organisasi
besar
yang
mewakili
aliran
politik
penting
di
Indonesia,
yakni
GMNI
sebagai
representasi
kekuatan
politik
nasionalis
sekuler
dan
HMI
sebagai
representasi
kekuatan
politik
Islam
moderat.
Kedua
aliran
politik
ini
memiliki
kedudukan
dan
peranan
yang
strategis
dalam
mewarnai
dinamika
politik
nasional
hingga
saat
ini.
Kedua,
baik
GMNI
dan
HMI
telah
melahirkan
produk
politik
berupa
kader-kader
alumninya
yang
tersebar
dan
mengisi
berbagai
sektor
kehidupan
negara,
termasuk
birokrasi
pemerintahan,
lembaga
perwakilan
rakyat,
partai
politik
dan
sebagainya.
Hal
ini
membuat
kedua
organisasi
ini
“i“ˆˆŽˆŽi`Õ`ÕŽ˜Þ˜}ÃÌÀÌi}ˆÃ`“Žœ˜w}ÕÀÈ«œˆÌˆŽ
nasional.
Ketiga,
keberadaan
GMNI
dan
HMI
memiliki
rentang
sejarah
yang
panjang
beriringan
dengan
pasang
surut
perpolitikan
nasional.
Dalam
rentang
sejarah
itu
kedua
organisasi
ini
merupakan
kekuatan
politik
yang
ikut
mewarnai
dinamika
politik
nasional.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
24
B.
Kerangka
Teori
1.
Teori
Pembangunan
Sekalipun
kata
“pembangunan”
—sebagaimana
di-
katakan
oleh
Bjorn
Hettne
14
p
ÃՏˆÌ
`ˆLiÀˆ
`iw˜ˆÃˆ
Þ˜}
memuaskan,
namun
setidaknya
kita
dapat
menyepakati
bah-
wa
hakikat
pembangunan
adalah
sebuah
proses
perubahan
menuju
perbaikan
kualitas
kehidupan
masyarakat
secara
kul-
tural
dan
struktural
15
.
Dengan
demikian,
pembangunan
men-
jadi
suatu
kerangka
kerja
penyelenggaraan
negara
menuju
tahapan
kondisi-kondisi,
baik
ekonomi,
sosial
politik,
budaya
dan
sebagainya
yang
lebih
baik.
Sedangkan
pembangunan
politik
memiliki
beragam
pengertian.
Hal
ini
ditunjukan
dengan
belum
adanya
satu
kesepakatan
diantara
ilmuan
politik
hingga
saat
ini
mengenai
pengertian
pembangunan
politik.
Dilihat
dari
berbagai
penulisan
dan
pembahasan
mengenai
pembangunan
politik,
sering
dijumpai
istilah
yang
berbeda-beda,
yang
mungkin
berisikan
konsep
yang
berbeda-beda
pula.
Disamping
istilah
pembangunan
politik,
seringkali
dijumpai
pula
istilah
lain
seperti
pendidikan
politik,
pembaruan
politik,
pengembangan
politik,
perubahan
politik
maupun
modernisasi
politik.
Huntington
16
menjelaskan
bahwa
modernisasi
politik
ini
14
Lihat
Bjorn
Hettne,
Ironi
Pembangunan
di
Negara
Berkembang,
terj.
Ismu
Martoyo,
(Jakarta:
Sinar
Harapan,
1985),
hal
9.
15
Lihat
Soedjatmoko,
“Iman,
Amal
dan
Pembangunan”,
dalam
Agama
dan
7DQWDQJDQ
=DPDQ
3LOLKDQ
$UWLNHO
3ULVPD
±:
(Jakarta,
LP3ES,
1985),
hal
4.
16
Llihat
Huntington,
Tertib
Politik
di
Dalam
Masyarakat
yang
Sedang
Berubah,
(Jakarta,
Rajawali,
1983),
hlm.
54-55.
25
PENDAHULUAN
memiliki
tiga
aspek
penting,
yakni:
Pertama,
berlangsungnya
rasionalisasi
kekuasaan
yang
ditunjukan
dengan
pergantian
sejumlah
besar
pejabat-pejabat
politik
tradisional,
etnis,
keagamaan,
kekeluargaan
oleh
kekuasaan
nasional
yang
bersifat
sekuler.
Kedua,
pembangunan
politik
melibatkan
differensiasi
fungsi
politik
yang
baru
dan
pengembangan
struktur
khusus
sebagai
pelaksana
seluruh
fungsi
tersebut.
Wilayah
kewenangan
khusus
—hukum,
militer,
administratif
dan
ilmu
pengetahuan—
menjelma
menjadi
kawasan
khusus
yang
terpisah
dari
dunia
politik
dan
bersifat
mandiri,
terspesialisasi
namun
tetap
merupakan
lembaga
subordinasi
dalam
melaksanakan
tugas
tersebut.
Hierarki
administrasi
menjadi
kian
terperinci
dan
tegas,
kompleks,
serta
disiplin.
Jabatan
dan
kekuasaan
didistribusikan
dengan
bersandar
pada
ukuran
prestasi
kerja,
bukan
askripsi.
Ketiga,
pembangunan
politik
ditandai
oleh
meningkatnya
peran
serta
politik
seluruh
masyarakat.
Meluasnya
partisipasi
masyarakat
di
bidang
politik
ini
meningkatkan
kadar
kontrol
masyarakat
terhadap
kinerja
kekuasaan
pemerintahan.
Melalui
partisipasi
politik,
masyarakat
terlibat
secara
langsung
dalam
kegiatan
yang
mempengaruhi
proses
pengambilan
kebijakan-kebijakan
pemerintahan.
Dengan
mengintrodusir
sistem
ekologi
lingkungan
Gabriel
Almond
melihat
sistem
politik
merupakan
mekanisme
input
dan
ouput
dari
struktur
dan
fungsi
politik.
Pendekatan
sistem
ini
mempengaruhi
konsepsi
Almond
mengenai
pembangunan
politik
yang
dimaknai
sebagai
perkembangan
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
26
dari
struktur
dan
fungsi
dari
sistem
politik
yang
semakin
meningkat
dengan
ditandai
oleh
terjadinya
spesialisasi
struktur
politik
serta
sekularisasi
kebudayaan
politik.
Lanjutnya,
inti
dari
perkembangan
sistem
politik
itu
terletak
dari
GHƂEKGPE[
dan
effectiveness
yang
meningkat
dari
daya
guna
sistem
politik
dan
kesanggupannya
yang
meningkat.
17
Sedangkan,
Lucian
W.
Pye
pada
tahun
1965,
menyusun
suatu
daftar
yang
cukup
komprehensif
dengan
“i˜`iw˜ˆÃˆŽ˜«i“L˜}Õ˜˜«œˆÌˆŽ`“Ãi«ÕÕ
`iw˜ˆÃˆ°

-i«ÕÕ

`iw˜ˆÃˆ
*Þi
Ìi˜Ì˜}
«i“L˜}Õ˜˜
«œˆÌˆŽ
`

sebagai
berikut:
18
1)
Pembangunan
politik
sebagai
prasyarat
politik
bagi
pembangunan
ekonomi.
Pembangunan
politik
dipandang
sebagai
keadaan
masyarakat
politik
yang
dapat
membantu
jalannya
pertumbuhan
ekonomi.
Secara
operasional
pandangan
tentang
pembangunan
politik
seperti
itu
pada
dasarnya
bersifat
negatif,
sebab
lebih
mudah
bagi
kita
untuk
dengan
teliti
mengetahui
prestasi
sistem
politik
yang
mungkin
menghalangi
atau
menggagalkan
perkembangan
ekonomi
daripada
menjelaskan
bagaimana
sistem
politik
itu
membantu
pertumbuhan
ekonomi.
17
Lihat
Gabriel
Almond
dalam
SP.
Varma,
Teori
Politik
Modern,
(Jakarta,
Rajawali
Pers,
2007),
hal
483.
18
Lihat
Lucian
W.
Pye,
Concepts
of
Political
Development,
maupun
juga
dalam
Aspect
of
Political
Development,
dalam
Yahya
Muhaimin
dan
Colin
MacAndrews,
ed,
Masalah-Masalah
Pembangunan
Politik,
(Jogjakarta:
Gajah
Mada
University
Press,
1982),
hal
1-11.
27
PENDAHULUAN
2)
Ciri
khas
kehidupan
politik
masyarakat
industri.
Asumsi
dari
konsep
ini
adalah
bahwa
kehidupan
masyarakat
industri
menciptakan
tipe
kehidupan
politik
tertentu
yang
kurang
lebih
umum
dan
dapat
ditiru
oleh
masyarakat
manapun,
baik
yang
sudah
menjadi
masyarakat
industri
atau
belum.
Selanjutnya
menurut
pandangan
ini,
masyarakat
industri,
baik
yang
demokratis
atau
non
demokratis,
menciptakan
standar-standar
tertentu
mengenai
tingkah
laku
dan
prestasi
politik
yang
dapat
menghasilkan
keadaan
pembangunan
politik
dan
yang
merupakan
contoh
dari
tujuan-tujuan
pembangunan
yang
cocok
bagi
setiap
sistem
politik.
3)
Modernisasi
politik.
Pandangan
bahwa
pembangunan
politik
merupakan
kehidupan
politik
yang
khas
dan
ideal
dari
masyarakat
industri
berkaitan
erat
dengan
pandangan
bahwa
pembangunan
politik
sama
dengan
modernisasi
politik.
Negara-negara
maju
adalah
pembuat
mode
dan
pelopor
dalam
hampir
setiap
segi
kehidupan
sosial
dan
ekonomi,
karena
itu
dapat
dimengerti
bila
banyak
orang
yang
mengharapkan
bahwa
hal
seperti
itu
terjadi
dalam
dunia
politik.
Tetapi
justru
penerimaan
yang
terlalu
mudah
atas
pandangan
ini
mengundang
tentangan
dari
kelompok
yang
mempertahankan
relativisme
kebudayaan,
yang
mempermasalahkan
kebenaran
dari
ˆ`i˜ÌˆwŽÃˆ
“ÃÞÀŽÌ
ˆ˜`ÕÃÌÀˆp
ÀÌpÞ˜}
`ˆ«Žˆ
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
28
sebagai
standar
kontemporer
dan
universal
bagi
setiap
sistem
politik.
4)
Operasionalisasi
Negara
bangsa.
Merupakan
suatu
proses
melalui
mana
masyarakat-
masyarakat
yang
hanya
bentuknya
saja
merupakan
negara–bangsa,
atau
hanya
dalam
pengakuan
internasional,
menjadi
negara–bangsa
dalam
arti
yang
sebenarnya.
Ukuran
pembangunan
politik
akan
meliputi;
pertama,
pembentukan
serangkaian
lembaga-lembaga
publik
tertentu
yang
merupakan
prasarana
penting
bagi
suatu
negara-bangsa,
dan
kedua,
pengungkapan
secara
tertib
gejala
nasionalisme
ke
dalam
kehidupan
politik.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
pembangunan
politik
adalah
politik
nasionalisme
yang
dijalankan
dalam
kerangka
lembaga-lembaga
negara.
5)
Pembangunan
administrasi
dan
hukum.
Pembangunan
politik
merupakan
upaya
penataan
hukum
dan
administrasi
sebagai
instrumen
untuk
melakukan
pembinaan
terhadap
masyarakat
politik.
6)
Mobilisasi
dan
partisipasi
massa.
Pembangunan
politik
terkait
dengan
persoalan
peranan
warga
negara
dan
standar-standar
kesetiaan
dan
keterlibatan
yang
baru
dalam
negara-negara
yang
baru
terbentuk.
Pembangunan
politik
dapat
berarti
terjadinya
perluasan
partisipasi
politik
masyarakat
dalam
urusan
penyelenggaraan
negara
dan
pemerintahan.
29
PENDAHULUAN
7)
Pembinaan
kehidupan
demokrasi.
Pembangunan
politik
adalah,
atau
seharusnya
serupa
dengan
pembentukan
lembaga-lembaga
dan
praktek
politik
demokratis.
8)
Stabilitas
dan
perubahan
yang
teratur.
Konsep
ini
menekankan
bahwa
setiap
bentuk
kemajuan
ekonomi
dan
sosial
umumnya
tergantung
pada
lingkungan
yang
lebih
banyak
memiliki
kepastian
dan
yang
memungkinkan
adanya
perencanaan
berdasar
pada
prediksi
yang
cukup
aman.
9)
Mobilisasi
dan
kekuasaan.
Bahwa
sistem
politik
dapat
dinilai
dari
sudut
tingkat
atau
kadar
kekuasaan
yang
dapat
dimobilir
oleh
sistem
itu.
Dengan
demikian,
pembangunan
politik
merupakan
suatu
upaya
mobilisasi
sumber
daya
dan
kekuasaan
guna
kepentingan
pencapaian
tujuan-tujuan
negara
secara
maksimal.
10)
Satu
segi
dari
perubahan
sosial
yang
multidimensional.
Pembangunan
politik
hanya
bias
berjalan
dalam
konteks
perubahan
sosial
yang
multidimensional
dimana
tidak
ada
bagian
atau
sektor
masyarakat
yang
terlalu
jauh
tertinggal.
Dalam
kajian
ini,
teori
pembangunan
politik
akan
digunakan
untuk
menjelaskan
perubahan-perubahan
politik
yang
berlangsung
bersamaan
dengan
gerakan
reformasi
1998
dan
berakhirnya
kekuasaan
Orde
Baru.
Relevansi
teori
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
30
ini
adalah
untuk
menjelaskan
fenomena
demokratisasi
politik
yang
ditandai
dengan
berakhirnya
kekuasaan
pemerintahan
sentralisitik
dan
munculnya
lembaga-lembaga
politik
demokratis,
tumbuh
berkembangnya
partai
politik
dan
civil
society,
kebebasan
pers,
sebagai
isu
baru
pembangunan
politik.
Dengan
demikian,
memperlihatkan
bahwa
terjadi
perubahan
paradigma
pembangunan
politik
dimana
demokratisasi
menjadi
isu
baru
yang
menggantikan
penciptaan
stabilitas
sosial
politik
melalui
pendekatan
yang
sentralistik
dan
represif.
Hal
inilah
yang
menunjukan
bahwa
pembangunan
politik
paska
Orde
Baru
menurut
teori
pembangunan
politik
Lucian
W.
Pye
merupakan
atau
seharusnya
serupa
dengan
pembentukan
lembaga-lembaga
dan
praktek
politik
demokratis.
2.
Teori
Partisipasi
Politik
Salah
satu
wujud
penting
dalam
partisipasi
politik
adalah
pelaksanaan
fungsi
rekruitmen
politik
dalam
sistem
politik
yang
sedang
berlangsung.
Gabriel
Almond
menjelaskan
bahwa
partisipasi
politik
diawali
oleh
adanya
artikulasi
kepentingan
dimana
seorang
individu
mampu
mengontrol
sumber
daya
politik
seperti
halnya
seorang
pemimpin
partai
politik
atau
seorang
diktator
militer.
Peran
mereka
sebagai
agregator
politik(penggalang/penyatu
dukungan)
akan
sangat
menentukan
bagi
bentuk
partisipasi
31
PENDAHULUAN
politik
selanjutnya.
19
Almond
juga
membagi
partisipasi
politik
dalam
dua
bentuk;
pertama
konvensional
seperti
diskusi
politik,
pemungutan
suara,
voting.
Dan,
kedua,
non
konvensional
seperti
demonstrasi,
tindak
kekerasan
(violence).
Faktor
yang
mempengaruhi
partisipasi
politik,
tingkat
pendidikan
yang
tinggi,
status
sosial
ekonomi,
keanggotaan
dalam
organisasi
dan
partai
politik.
20
Partisipasi
politik
dipengaruhi
oleh
faktor-
faktor
seperti;
pendidikan
tinggi,
status
sosial
ekonomi
dan
latar
belakang
organisasi
atau
partai
politik
politik.
-i“i˜ÌÀ
ˆÌÕ]
ˆÀˆ“
Õ`ˆÀœ
“i“LiÀˆŽ˜
`iw˜ˆÃˆ
umum
yang
tidak
terlalu
jauh
berbeda,
yakni
sebagai
kegiatan
perseorangan
atau
kelompok
untuk
ikut
berperan
serta
secara
aktif
dalam
kehidupan
politik,
yaitu
dengan
jalan
memilih
pimpinan
negara
dan,
secara
langsung
atau
tidak
langsung,
mempengaruhi
kebijakan
pemerintahan
(public
policy).
21
Dukungan
yang
efektif
bagi
suatu
pergeseran
yang
besar
dalam
kebijakan-kebijakan
ekonomi
atau
sosial
biasanya
berasal
dari
partisipasi
kolektif
yang
terorganisir
dan
dapat
tampil
dalam
berbagai
bentuk.
Dengan
demikian,partisipasi
politik
merupakan
pengejawantahan
dari
penyelenggaraan
kekuasaan
politik
yang
absah
oleh
rakyat.
Partisipasi
politik
dapat
terwujud
dalam
berbagai
19
Gabriel
A.
Almond,
G.
Bingham
Powell,
Jr.,
K.
Strom,
and
R.
J
Dalton,
RPSDUDWLYH
3ROLWLFV
7RGD$
:RUOG
9LHZ,
Seventh
Edition
(New
York:
Longman,
Inc.,
1999),
hal
156.
20
Ibid,
hal
31.
21
Miriam
Budiarjo,
Partisipasi
dan
Partai
Politik;
Suatu
Pengantar,
dalam
Partisipasi
dan
Partai
Politik;
Sebuah
Bunga
Rampai,
Miriam
Budiarjo,
(Jakarta:
Yayasan
Obor,
1998),
hal
1.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
32
bentuk,
baik
yang
memiliki
konotasi
positif
maupun
negatif
sebagai
berikut
ini:
22
a)
Kegiatan
pemilihan
mencakup
suara,
akan
tetapi
juga
sumbangan-sumbangan
untuk
kampanye,
bekerja
dalam
suatu
pemilihan,
mencari
dukungan
bagi
seorang
calon,
atau
setiap
tindakan
yang
dimaksudkan
untuk
mempengaruhi
proses
pemilihan.
b)
Lobbying,
mencakup
upaya-upaya
perorangan
atau
kelompok
untuk
menghubungi
pejabat-pejabat
pemerintah
dan
pemimpin-pemimpin
politik
dengan
maksud
mempengaruhi
keputusan-keputusan
mereka
mengenai
persoalan-persoalan
yang
menyangkut
sejumlah
besar
orang.
c)
Kegiatan
organisasi,
menyangkut
partisipasi
sebagai
anggota
atau
pejabat
dalam
suatu
organisasi
yang
tujuan
utamanya
secara
eksplisit
adalah
mempengaruhi
pengambilan
keputusan
pemerintahan.
d)
Mencari
koneksi
(contacting)
merupakan
tindakan
perorangan
yang
ditujukan
terhadap
pejabat-pejabat
pemerintah
dan
biasanya
dengan
maksud
memperoleh
manfaat
bagi
hanya
satu
orang
atau
segelintir
orang.
e)
Tindak
kekerasan
(violence)
seperti
halnya
teror,
pembunuhan
politik
dan
tindakan
ilegal
lain
yang
dimaksudkan
sebagai
bentuk
ekspresi
politik
juga
dapat
dikategorikan
sebagai
bentuk
partisipasi
politik.
22
Ibid,
hal
16
33
PENDAHULUAN
Selanjutnya,
partisipasi
politik
dapat
pula
dianalisis
melalui
tipe-tipe
organisasi
kolektif
atau
golongan
yang
berlainan,
sebagai
berikut:
23
a)
Kelas,
merupakan
perorangan-perorangan
dengan
status
sosial,
pendapatan
atau
pekerjaan
yang
serupa.
b)
Kelompok
atau
komunal,
merupakan
perorangan-
perorangan
dari
ras,
agama,
bahasa
atau
etnisitas
tertentu.
c)
Lingkungan
(neighborhood),
merupakan
perorangan-
«iÀœÀ˜}˜
Þ˜}
ÃiVÀ
}iœ}ÀwÃ
LiÀÌi“«Ì
̈˜}}
berdekatan
satu
sama
lain.
d)
Partai,
merupakan
perorangan-perorangan
yang
“i˜}ˆ`i˜ÌˆwŽÃˆŽ˜
`ˆÀˆ
`i˜}˜
œÀ}˜ˆÃÈ
vœÀ“
yang
sama
yang
berusaha
untuk
meraih
atau
mempertahankan
kontrol
atas
bidang-bidang
eksekutif
dan
legislatif
pemerintahan;
dan
e)
Golongan
(faction),
merupakan
perorangan-perorangan
yang
dipersatukan
oleh
interaksi
yang
terus
menerus
atau
intens
satu
sama
lain,
dan
salah
satu
manifestasinya
adalah
pengelompokan
patron
klien,
artinya,
satu
golongan
yang
melibatkan
pertukaran
manfaat-manfaat
secara
timbal
balik
diantara
perorangan-perorangan
yang
mempunyai
sistem
status,
kekayaan
dan
pengaruh
yang
tidak
sederajat.
Untuk
melakukan
berbagai
kegiatan
ini
sistem
23
Ibid,
hal
21
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
34
politik
mempunyai
lembaga
atau
struktur-struktur,
seperti
parlemen,
birokrasi,
badan
peradilan
dan
partai
politik
yang
menjalankan
kegiatan
atau
fungsi
tertentu,
yang
selanjutnya
memungkinkan
sistem
politik
itu
untuk
merumuskan
dan
melaksanakan
kebijakannya.
Almond
menyusun
kategorisasi
fungsionalnya
sendiri
dan
memisahkannya
menurut
input
yang
terdiri
dari
sosialisasi
dan
perekrutan
politik,
artikulasi
kepentingan,
agregasi
kepentingan,
komunikasi
politik,
dan
fungsi
output
yang
meliputi;
pembuatan
aturan,
penerapan
aturan,
penilaian
aturan
24
.
Sistem
politik
yang
diterapkan
suatu
negara
meskipun
memiliki
struktur
yang
sama
belum
tentu
memiliki
fungsi
yang
sama.
Struktur
dan
fungsi
ini
akan
sangat
dipengaruhi
oleh
lingkungan
politik
dimana
sistem
itu
berlangsung.
Setiap
sistem
politik
memiliki
prosedur
untuk
melakukan
rekruitmen
politik,
atau
seleksi
pejabat
administratif
dan
politik.
Dalam
sistem
politik
demokratis,
jabatan
administratif
maupun
politik
biasanya
terbuka
untuk
setiap
orang
yang
“i“ˆˆŽˆ
ŽÕˆwŽÃˆ]
Ãi«iÀ̈
ÕÈ]
`iÀ
]
«i˜`ˆ`ˆŽ˜
`˜
lainnya.
Tetapi
Rekruitmen
politik
seperti
halnya
partisipasi
politik,
cenderung
bagi
orang
dengan
latar
belakang
sebagai
kelas
menengah
atau
kelas
atas,
atau
mereka
yang
meski
berasal
dari
kelas
bawah
tetapi
memiliki
latar
belakang
pendidikan.
25
24
Mochtar
Mas;oed
dan
Colin
MacAndrews,
Perbandingan
Sistem
Politik,
(Jogyakarta:
Gadjah
Mada
University
Press,
1983),
hal
29
25
Gabriel
Almond
and
G.
Bingham
Powell,
Jr,
2SLW,
hal
63
35
PENDAHULUAN
Rekruitmen
politik
sebagai
fungsi
input
dalam
sistem
politik
dijelaskan
oleh
Almond
sebagai
berikut;
rekruitmen
politik
(political
recruitment)
merupakan
fungsi
penyeleksian
rakyat
untuk
kegiatan-kegiatan
politik
dan
jabatan-jabatan
pemerintahan
melalui
penampilan
dalam
media
komunikasi,
menjadi
anggota
organisasi,
mencalonkan
diri
untuk
jabatan
tertentu,
pendidikan
dan
ujian.
26
Kemudian
bentuk
umum
yang
ada
yaitu
patron-client
network
dengan
struktur
dimana
pemegang
kekuasaan
berada
di
kantor
pusat,
merupakan
w}ÕÀ
LiÀÜi˜˜}
“i“LiÀˆŽ˜
ŽiÕ˜ÌÕ˜}˜
«`
«i“ˆˆ

sebagai
imbalan
kesetiaan
mereka.
Mengenai
rekruitmen
politik
dalam
bukunya
yang
berjudul
An
Introduction
to
Political
Sociology,
Michael
Rush
dan
Phillip
Althoff,
27
menjelaskan
bahwa
teori
rekruitmen
politik
berangkat
dari
proposisi
bahwa
individu
dalam
suatu
masyarakat
tertentu
yang
aktif
pada
tingkatan
tertinggi
dalam
partisipasi
politik—yaitu
mereka
yang
menduduki
jabatan-jabatan
politik
dan
administratif—hanya
merupakan
kelompok
minoritas
dari
penduduk
seluruhnya.
Masuknya
individu-individu
ini
dalam
jabatan-jabatan
politik
dan
administratif
ini
dimungkinkan
karena
adanya
suatu
proses
rekruitmen
politik
dalam
sistem
politik
yang
sedang
berlangsung.
Sistem
rekruitmen
politik
berlangsung
dalam
beberapa
metode:
28
Pertama,
sistem
rotasi
dimana
ini
digunakan
26
Ibid
27
Michael
Rush

Phillip
Althoff,
Pengantar
Sosiologi
Politik,
(Jakarta:
5DMD*UD¿QGR
KDO
28
Ibid
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
36
untuk
menghindari
adanya
dominasi
dari
suatu
kelompok
dalam
pengisian
jabatan-jabatan
publik.
Kedua,
perebutan
kekuasaan
dengan
jalan
menggunakan
kekerasan.
Penggulingan
kekuasaaan
memungkinkan
terjadinya
perubahan
struktur
kekuasaan
yang
memberikan
ruang
bagi
proses
rekruitmen
politik
untuk
mengisi
atau
menempati
struktur
kekuasaan
politik
yang
baru.
Ketiga,
model
patronase
politik.
Rekruitmen
politik
seperti
ini
mensyaratkan
adanya
relasi
patront-client
antara
struktur
elite
yang
memegang
kekuasaan
dengan
struktur
dibawahnya
yang
merupakan
sumber
bagi
proses
rekruitmen
politik.
Rekruitmen
patronase
ini
khusus
dibuat
secara
pasti
agar
dapat
memperoleh
dan
mempertahankan
pengawasan
politik,
serta
menjamin
kelangsungan
kepentingan
politik.
Dan
keempat
adalah
dengan
jalan
Koopsi
(pemilihan
anggota-anggota
baru).
Koopsi
(co-option)
itu
meliputi
pemilihan
seseorang
ke
dalam
suatu
badan
oleh
anggota-
anggota
yang
ada
baik
untuk
melakukan
pergantian
maupun
untuk
memperbesar
keanggotaan.
Koopsi
dalam
ruang
lingkup
yang
lebih
luas
berlangsung
melalui
mekanisme
pemilihan
yang
melibatkan
publik
seperti
halnya
dalam
pemilihan
umum.
Teori
rekruitmen
politik
Almond
ini
menjelaskan
bahwa
dalam
sistem
politik
yang
berlangsung
terjadi
proses
seleksi
masyarakat
sebagai
input
yang
menggerakan
struktur
dan
fungsi
dari
sistem
politik.
Kaitannya
dengan
GMNI
dan
HMI
adalah
kedua
organisasi
ini
merupakan
sumber
daya
penting
dimana
kader-kader
alumni
kedua
organisasi
ini
merupakan
37
PENDAHULUAN
input
bagi
seleksi
politik
untuk
mengisi
struktur
dan
fungsi-
fungsi
politik
dalam
sistem
politik
yang
berlangsung.
Relasi
patronase
yang
kuat
antara
generasi
kader
alumni
organisasi
ini
memungkinkan
mobilitas
structural
menjadi
lebih
cepat
dan
efektif.
3.
Teori
Kelompok
Penekan
(Pressure
Group)
Dalam
sistem
politik
masyarakat
terdiri
dari
kelompok-
kelompok
politik
yang
berbeda
baik
sifat
keanggotaan,
karakteristik,
maupun
kepentingan
politiknya.
Perbedaan-
perbedaan
inilah
yang
mempengaruhi
bentuk
partisipasi
politik
masing-masing.
Menurut
Gabriel
Almond,
masyarakat
terbagi
dalam
kelompok-kelompok
saat
menyalurkan
aspirasinya
politiknya.
Kelompok-kelompok
itu
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut:
29
1.
Kelompok
kepentingan,
mereka
dapat
duduk
dalam
badan
pengawas
pemerintahan
(ombudsman),
misalnya
dalam
masalah
pelayanan
publik,
2.
Kelompok
anomic,
mereka
adalah
kelompok
yang
terbentuk
secara
spontan
karena
rasa
frustasi,
putus
asa,
kecewa,
dan
emosi
lain,
mereka
turun
ke
jalan
karena
rasa
ketidakadilan.
Pada
saat
seperti
ini
sangat
memungkinkan
kekerasan
akan
terjadi
“lead
to
violence”
karena
kelompok
yang
ada
dan
terorganisir
semisal
partai
politik
tidak
mampu
mewakili
kepentingan
mereka
yang
marah
dalam
sistem
politik.
29
Gabriel
Almond2SLW
hal
157
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
38
Kekerasan
dapat
meledak
pada
saat
tidak
terduga
dan
tidak
terkendali.
Walaupun
kelompok
anomic
ada
pula
yang
secara
sengaja
diorganisir
untuk
kepentingan
politik
tertentu,
3.
Kelompok
non-assosiasional,
sangat
jarang
sekali
terorganisir,
disebabkan
aktivitas
mereka
yang
sangat
episodik
pula.
Perbedaan
dari
kelompok
anomik
adalah
dasar
mereka
membentuk
kelompok
karena
kesamaan
kepentingan
etnik,
wilayah,
agama,
pekerjaan,
dan
juga
tali
kekeluargaan.
Kelompok
ini
bisa
berkelanjutan
bila
dibandingkan
dengan
kelompok
anomik.
Kelompok
anomik
terbagi
2
yaitu:
1)
kelompok
besar,
terorganisir,
dan
2)
sub-kelompok
kecil
pedesaan,
mengenal
satu
sama
lain
sehingga
lebih
efektif,
4.
Kelompok
institusional,
merupakan
bentuk
kelompok
yang
lebih
canggih
karena
sudah
berupa
partai
politik,
korporat
bisnis,
legislatif,
militer,
birokrasi,
persekutuan
gereja,
majelis
ulama,
dimana
mereka
mendukung
kelompok
khusus
dan
memiliki
anggota
dengan
tanggung
jawab
khusus
untuk
mewakili
kepentingan
kelompok,
5.
Kelompok
asosiasional,
merupakan
kelompok
yang
dibentuk
mewakili
kepentingan
kelompok
yang
khusus
ÌÕëiÈwŽÌiÀ“ÃÕŽÃiÀˆŽÌ«iÀ`}˜}˜`˜ÃiÀˆŽÌ
pengusaha.
Sedangkan
Maurice
Duverger
30
menjelaskan
bahwa
30
Maurice
Duverger3DUWDL3ROLWLNGDQ.HORPSRN±.HORPSRN3HQHNDQ
terj
39
PENDAHULUAN
dalam
sistem
politik
terdapat
kelompok
masyarakat
yang
menjalankan
fungsi
tekanan-tekanan
politik
terhadap
kekuasaan
pemerintahan.
Kelompok
itu
disebut
kelompok
penekan
(pressure
group),
yakni
sebagai
kelompok
yang
tidak
mengambil
bagian
dalam
memperoleh
kekuasaan
secara
langsung
atau
dalam
menjalankan
kekuasaan
itu
sendiri;
mereka
bertindak
untuk
mempengaruhi
kekuasaan
meskipun
tanpa
terlibat
di
dalamnya,
serta
melancarkan
“tekanan-tekanan”
atas
kekuasaan
yang
sedang
berjalan.
Berbeda
dengan
partai
politik
yang
memiliki
orientasi
untuk
memperoleh
kekuasaan,
menempatkan
pejabat
publik
dalam
pemerintahan
dan
memenangkan
pemilihan
umum,
kelompok
penekan
berupaya
untuk
mempengaruhi
orang-
orang
yang
memegang
dan
menjalankan
kekuasaan,
bukan
untuk
menempatkan
orang-orang
mereka
sendiri
dalam
memegang
kekuasaan,
sekurangnya
tidak
menempatkan
secara
resmi
orang-orang
atau
perwakilan
mereka.
Tetapi,
kelompok-kelompok
penekan
tertentu
sebenarnya
mempunyai
wakil-wakil
mereka
di
pemerintahan
dan
di
badan-badan
legislatif,
tetapi
hubungan
antara
para
individu-individu
tersebut
dengan
kelompok
yang
mereka
wakili
tetap
rahasia
atau
sangat
hati-hati.
Kelompok
penekan
dapat
pula
dikatakan
sebagai
organisasi
non
politik,
dimana
tekanan
politik
bukanlah
satu-satunya
aktivitas
mereka.
Setiap
kelompok,
asosiasi,
organisasi
atau
mereka-mereka
yang
biasanya
perhatiannya
jauh
dari
masalah
politik,
dapat
bertindak
sebagai
kelompok
penekan
yang
menyangkut
hal-
Dra.
Laila
Hasyim,
(
Jogjakarta:
Bina
Aksara,
1981),
hal
119
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
40
hal
tertentu
di
bawah
situasi
tertentu
pula.
Kelompok
penekan
bertindak
atas
dua
tingkatan
(tahap)
yang
berbeda:
31
1.
Mereka
secara
langsung
menekan
organ-organ
pemerintah
seperti
menteri,
anggota
parlemen,
dan
pejabat-pejabat
tinggi
pemerintahan.
2.
Mereka
melancarkan
pengaruhnya
secara
tidak
langsung
kepada
warga
masyarakat
guna
membentuk
pendapat
umum
yang
pada
gilirannya
akan
mempengaruhi
pejabat
pemerintah,
yang
biasanya
selalu
menaruh
perhatian
pada
pendapat
umum.
Merujuk
pada
konsep
tentang
kelompok
penekan,
organisasi
mahasiswa
merupakan
salah
satu
kelompok
yang
sering
kali
melibatkan
diri
dalam
tindakan-tindakan
yang
dimaksudkan
memberikan
tekanan
politik
pada
pemerintah.
Tekanan
politik
ini
diharapkan
dapat
mempengaruhi
dan
merubah
kebijakan
pemerintah
yang
dianggap
tidak
sesuai.
Dalam
konteks
Indonesia,
organisasi
mahasiswa
merupakan
salah
satu
kelompok
penekan
yang
potensial
sehingga
selalu
diwaspadai
oleh
setiap
rezim
kekuasaan.
Dalam
konteks
kajian
ini
maka
akan
digunakan
teori
pressure
group
untuk
melihat
peranan
politik
mahasiswa
sebagai
bagian
dari
masyarakat.
Sebagai
pressure
group,
GMNI
dan
HMI
menjalankan
fungsi
pengawasan
terhadap
kebijakan-kebijakan
negara
secara
kritis,
dan
bebas
dari
kepentingan
kekuasaan.
Hal
ini
berbeda
dengan
kader-kader
31
Ibid,
hal
143
-
144
41
PENDAHULUAN
GMNI
dan
HMI
yang
telah
selesai
masa
keanggotaanya
dan
berstatus
sebagai
alumni,
dimana
mereka
tergabung
dalam
berbagai
asosiasi
maupun
kelompok
yang
bisa
jadi
memiliki
motivasi,
cara
pandang
dan
kepentingan
politik
yang
berbeda
dengan
organisasi
GMNI
maupun
HMI.
4.
Teori
Civil
Society
Akar
pemikiran
tentang
civil
society
telah
berkembang
lama.
Versi
awalnya
dapat
ditemukan
dalam
karya
Aristoteles
yang
bertema
politike
koinonia
(political
society/community)
atau
yang
dirumuskan
dalam
bahasa
latin
sebagai
societas
civilis.
Politike
koinonia
dirumuskan
sebagai
“a
public
ethical–
political
community
of
free
and
equal
citizens
under
a
legally
`iw˜i`
ÃÞÃÌi“
œv
ÀՏi»°
Hukum
ini
sendiri
dilihat
sebagai
ekspresi
dari
ethos,
yakni
seperangkat
nilai
dan
norma
umum
yang
menentukan
bukan
saja
prosedur-prosedur
politik,
tetapi
juga
substansi
dari
bentuk
kehidupan
Menurut
Dahrendorf,
civil
society
merupakan
:
“the
associations
in
wich
we
conduct
our
lives,
and
wich
owe
their
exixtence
to
our
needs
and
initiative
rather
than
to
the
state”.
(merupakan
sebagian
dari
asosiasi
yang
ada
merupakan
hasil
kreasi
yang
disengaja
dan
berusia
sangat
singkat).
32
Civil
society
bukanlah
entitas
sosial
yang
terdiri
dari
kumpulan
manusia
yang
secara
umum
disebut
masyarakat,
32
Ralf
Dahrendorf,
Economic
Opportunity,
LYLOVRFLHW
and
Liberty,
dalam
Cornelis
Lay,
3UHVLGHQLYLOVRFLHWGDQ+$0
(Jakarta:
Pensil
324,
2004)
hal
58
-
59
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
42
dan
bukan
pula
manifestasi
dari
sistem
komunal
yang
dapat
dikenal
luas
dalam
masyarakat
tradisional.
Civil
society
merupakan
ruang
publik
yang
berisikan
manusia
sebagai
individu-individu
dengan
atribut
intrinsiknya.
Oleh
karenanya
ada
kesan
yang
tertera
dalam
karakteristik
civil
society
yang
sama
dengan
karakter
manusia
adalah
manusia
sebagai
individu.
Jika
civil
society
merupakan
ruang
publik
dan
individu
merupakan
ruang
privat,
maka
di
dalam
civil
society
juga
harus
terdapat
nilai-nilai
kebebasan,
kesederajatan,
dan
nilai-nilai
lain
yang
terkait
seperti
yang
diungkap
oleh
Alexis
De
Tocquivelle,
33
yakni
nilai-nilai
individualisme
otonom,
kesukarelaan,
keswadayaan
dan
keswasembadaan.
Gabriel
Almond
menjelaskan
civil
society
sebagai
kelompok
masyarakat
yang
terjun
berinteraksi
secara
sosial
dan
politik
tanpa
campur
tangan,
atau
kontrol
dari
pemerintah
berupa
aturan.
Mereka
merupakan
asosiasi
bersifat
sukarela
yang
memiliki
kompetensi,
kemampuan
secara
aktif
sebagai
warga
negara
dalam
partisipasi
politik,
dan
menjadi
landasan
penting
bagi
demokrasi
politik.
Mengenai
fungsi
penting
dari
civil
society,
penelitian
Almond
dan
Verba
menunjukan
temuan
sebagai
berikut:
34
Democratic
functions
of
civil
society
seem
long
recognized.
The
organizational
member,
political
or
not,
compared
with
the
nonmember,
is
likely
33
Burhanuddin,
ed.,
0HQFDUL
$NDU
.XOWXUDO
LYLO
VRFLHW

GL
,QGRQHVLD,
Jakarta,
INCIS,
2003,
hal
3.
34
Almond,
Gabriel
A.,
and
Sidney
Verba,
7KH
LYLF
XOWXUH
3ROLWLFDO
$WWLWXGHVDQG'HPRFUDFLQ)LYH1DWLRQV,
(Princeton:
Princeton
University
Press,
1963),
320-321.
43
PENDAHULUAN
to
consider
himself
more
competence
as
a
citizen,
to
be
a
more
active
participant
in
politics.
The
member,
in
contrast
with
the
nonmember,
appears
to
approximate
more
closely
what
we
have
called
the
democratic
citizen.
He
is
competent,
active,
and
œ«i˜ÜˆÌ

ˆÃœ«ˆ˜ˆœ˜Ã°/
i“œÃÌÃÌÀˆŽˆ˜}w˜`ˆ˜}
is
that
any
membership
--
passive
membership
or
membership
in
a
nonpolitical
organization
--
has
an
impact
on
political
competence,
and
thus
on
pluralism,
one
of
the
most
important
foundations
of
political
democracy.
Sedangkan,
Larry
Diamond
35
menjelaskan
civil
society
merupakan
masyarakat
yang
menjalani
kehidupan
sosial
sukarela,
pembangkitan
sendiri,
dukungan
sendiri,
tidak
tergantung
pada
negara,
dan
terikat
dengan
aturan
resmi.
Berbeda
dengan
arti
“masyarakat”
secara
umum,
dimana
civil
society
melibatkan
warga
bertindak
secara
kolektif
dalam
lingkungan
publik
untuk
mengekspresikan
kepentingan-
kepentingannya,
keinginan
dan
pemikiran-pemikiran,
pertukaran
informasi,
mencapai
tujuan
bersama,
membuat
tuntutan
kepada
negara,
dan
mengawasi
tanggung
jawab
pejabat
negara.
Civil
society
merupakan
entitas
perantara,
yang
berdiri
diantara
masyarakat
umum
dan
negara.
Aktor-
aktor
dalam
civil
society
memerlukan
perlindungan
sebuah
perintah
resmi
yang
terlembagakan.
Civil
society
meliputi
susunan
organisasi
yang
luas,
baik
35
Larry
Diamond,
LYLOVRFLHWDQG'HYHORSPHQW'HPRFUDF,
(Jakarta:TIM
IRE
Press,
2003),
hal
6.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
44
formal
ataupun
informal.
Hal
tersebut
terdiri
dari
kelompok-
kelompok,
antara
lain:
36
1.
Ekonomi
(produktif
serta
jaringan
dan
asosiasi
komersial)
2.
Budaya
(agama,
suku,
komunal
dan
institusi
maupun
asosiasi
lain
yang
tergantung
pada
hak-hak
kolektif
nilai-nilai,
keyakinan,
kepercayaan,
dan
simbol-simbol.
3.
Informasi
dan
pendidikan
(pengetahuan
umum,
ide-
ide,
berita
dan
informasi).
4.
Berbasis
kepentingan
(dirancang
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan
fungsi
bersama
atau
kepentingan-kepentingan
materi
dari
para
anggotanya,
para
pekerja,
veteran,
pensiunan,
profesional,
dan
sebagainya).
Dari
uraian
diatas,
maka
ciri
civil
society
itu
dapat
disimpulkan
sebagai
berikut,
civil
society
berorientasi
pada
kepentingan
umum
dibandingkan
yang
bersifat
pribadi
atau
golongan
tertentu.
Di
samping
itu,
civil
society
berpolitik
tidak
untuk
mendapatkan
kekuasaan
atau
kedudukan
poltitik,
tetapi
lebih
kepada
pencegahan
atas
penyimpangan
kekuasaan
yang
akan
merugikan
masyarakat.
Diamond
menjelaskan
lebih
jauh,
bahwa
civil
society
memiliki
fungsi
demokratis
yang
meliputi:
37
Pertama,
dan
yang
paling
mendasar
dari
masyarakat
madani
adalah
memberikan
“dasar
untuk
pembatasan
36
Ibid
37
Ibid
45
PENDAHULUAN
kekuasaan
negara,
mengawasi
negara
oleh
masyarakat
dan
lembaga-lembaga
politik
demokratis
sebagai
cara
yang
paling
efektif
melakukan
pengawasan
tersebut”.
Kedua,
sebuah
kehidupan
yang
penuh
persatuan
melengkapi
peranan
dari
partai
politik
dalam
menstimulasi
partisipasi
politik,
meningkatkan
efek
politik
yang
diharapkan
dan
kemampuan
masyarakat
demokratis,
dan
mempromosikan
sebuah
apresiaisi
kewajiban-kewajiban
selayaknya
hak-hak
kewarganegaraan
demokratis.
Ketiga,
civil
society
juga
dapat
menjadi
arena
penting
bagi
pengembangan
atribut-atribut
demokratis
lainnya,
seperti
toleransi,
sikap
yang
tidak
berlebihan,
kemauan
berkompromi,
dan
menghargai
perbedaan
pendapat
atau
pandangan.
Keempat,
civil
society
dapat
menjalankan
demokrasi
adalah
dengan
menciptakan
saluran-saluran
lain
dari
partai
politik
untuk
artikulasi,
pengumpulan
dan
perwakilan
kepentingan.
Fungsi
ini
sangat
penting
untuk
memberikan
kesempatan
bagi
kelompok-kelompok
yang
secara
tradisi
tidak
dibolehkan-seperti
kelompok
perempuan
dan
ras
atau
etnis
minoritas-untuk
masuk
ke
dalam
kekuasaan
“lembaga
eselon
tertinggi”
dari
politik
formal.
Dalam
konteks
demokratisasi,
civil
society
memiliki
arti
dan
kontribusi
yang
sangat
penting.
Pertama,
ia
menyediakan
wahana
sumberdaya
politik,
kebudayaan,
moral,
ekonomi
untuk
mengevaluasi
dan
menjaga
keseimbangan
pembuat
kebijakan/pemerintah.
Kedua,
plularisme
dalam
civil
society,
bila
diorganisir
akan
menjadi
fondasi
yang
kuat
bagi
persaingan
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
46
demokratis.
Ketiga,
menghalangi
dominasi
penguasa
yang
otoriter
dan
akan
membantu
proses
tumbangnya
penguasa
otoriter.
Keempat,
Civil
society
merupakan
wahana
untuk
mengkader
pemimpin
politik.
Kelima,
Civil
society
akan
berperan
untuk
menstabilkan
negara.
Keenam,
meningkatkan
partisipasi
politik
masyarakat,
karena
kesadaran
politik
yang
tinggi.
Ciri
dan
peran
dari
civil
society
ini
akan
digunakan
untuk
menjelaskan
peran
dan
kedudukan
GMNI
dan
HMI
diantara
relasi
masyarakat
dan
kekuasaan
negara.
Organisasi
ini
menjalankan
fungsi
mediasi
dan
sekaligus
saluran
politik
alternatif
yang
potensial
di
luar
sarana
politik
formal
yang
tersedia.
C.
Metodelogi
Dalam
kajian
buku
ini
menggunakan
metode
kualitatif
dengan
pendekatan
deskriptif
analitik.
Yang
dimaksud
dengan
deskriptif
adalah
metodologi
yang
menemukan
pengetahuan
tentang
objek
research
pada
suatu
masa
tertentu
dengan
cara
mengumpulkan
data
berupa
kata-
kata,
gambar
dan
bukan
angka-angka.
38
Analisis
yang
dimaksud
adalah
metode
yang
menghimpun
kenyataan-
kenyataan
yang
dilukiskan
secara
sistematik,
sehingga
dapat
memperlihatkan
hubunga-hubungan
yang
ada
antara
fakta
yang
satu
dengan
yang
lain.
Metode
kualitatif
menggunakan
instrument
38
LJ.
Moleong,
Metodologi
Penelitian
Kualitatif
,
(Bandung:
Remaja
Rosda
Karya,
1998),
hal
6.
47
PENDAHULUAN
pengumpulan
data
berupa
wawancara
dan
penelitian
dokumen.
Karena,
ide
metode
kualitatif
adalah
dengan
sengaja
memilih
informan
(atau
dokumen
atau
bahan-bahan
visual)
yang
dapat
memberikan
jawaban
terbaik
pertanyaan
penelitian.
39
Kajian
ini
tidak
menguji
hipotesa,
melainkan
hanya
mendeskripsikan
informasi
apa
adanya
sesuai
dengan
yang
diteliti.
Metode
deskriptif
dapat
diartikan
sebagai
prosedur
pemecahan
masalah
yang
diselidiki
dengan
menggambarkan
atau
melukiskan
keadaan
peristiwa
atau
obyek
penelitian
berdasarkan
fakta-fakta
yang
tampak
atau
sebagaimana
adanya.
Kajian
ini
dilakukan
dengan
teknik
pengumpulan
data
primer
yang
bersumber
dari
wawancara
dengan
tokoh-
tokoh
GMNI
dan
HMI
melalui
wawancara
tidak
berstruktur
secara
langsung
dengan
berbagai
tokoh
kedua
organisasi
ini.
Sedangkan,
data
sekunder
diperoleh
dari
studi
kepustakaan
(library
Research),
makalah,
dokumen
kebijakan
organisasi,
hasil-hasil
kongres,
pernyataan
politik,
terbitan-terbitan
berkala,
surat
kabar,
undang-undang,
surat
keputusan
atau
ketetapan
pemerintah,
hasil-hasil
penelitian,
laporan-laporan
peristiwa,
kliping
dan
sebagainya.
h
39
John
W.
Creswell,
Research
Design,
(Jakarta:
KIK
Press,
2002),
hal
144.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
48
Bab
2
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
P
eran
strategis
dari
angkatan
muda,
khususnya
mahasiswa,
dalam
pergolakan
sosial
politik
telah
berlangsung
bersamaan
dengan
sejarah
politik
Indonesia
modern
terbentuk.
Munculnya
angkatan
muda,
termasuk
golongan
intelektual
dan
aktivis,
bukanlah
sesuatu
yang
baru
dalam
panggung
sejarah
Indonesia,
bahkan
jauh
sebelum
deklarasi
kemerdekaan
dikumandangkan.
Sebagai
fenomena
khas
abad
XX,
gerakan
kaum
muda
tidak
hanya
muncul
di
Indonesia,
tetapi
juga
berlangsung
diberbagai
belahan
lain
dunia.
Seperti
di
China
dengan
May
Fourth
(Gerakan
4
Mei),
di
India,
Burma,
Jepang
dan
lainnya.
Persoalan
“Angkatan”
sering
dihubungkan
dengan
peristiwa
sejarah
Indonesia
yang
besar,
oleh
karenanya
Onghokham
1
membagi
periodeisasi
angkatan
ini
dalam
rentang
angkatan
pra
kemerdekaan;
muncul
setelah
sekelompok
mahasiswa
kedokteran
Stovia
membentuk
Budi
1
Onghokham,
2SLW
Hal
116.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
50
Utomo
dan
peristiwa
Sumpah
Pemuda
1928,
yang
kemudian
hari
menjadi
tonggak
bersejarah
bangkitnya
kesadaran
kebangsaan
oleh
gerakan
kaum
muda,
angkatan
45;
mereka
Þ˜}ÌiÀˆLÌ`“ÀiÛœÕÈwÈŽ“iÜ˜«i˜
]˜}ŽÌ˜
57;
disekitar
pergolakan
politik
masa
demokrasi
terpimpin
dan
kembali
ke
UUD
1945,
dan
angkatan
66;
didominasi
oleh
tokoh-tokoh
mahasiswa
yang
berasal
dari
organisasi
mahasiswa
partai
seperti
GMNI,
HMI,
CGMI.
A.
Angkatan
Pra
Kemerdekaan;
Merumuskan
Kesadaran
Kebangsaan
Melawan
Imperialisme
Gerakan
reformasi
abad
pencerahan
memberikan
kontribusi
besar
terhadap
munculnya
ide
tentang
negara
bangsa
diluar
dominasi
otoritas
feudal
agama.
Sejak
munculnya
Ide
negara
bangsa
(1648),
nasionalisme
telah
tumbuh
berkembang
sebagai
sebuah
ideologi
yang
mampu
mendobrak
kemapanan
tatanan
sosial
dan
politik
di
hampir
semua
negara
Eropa.
Gagasan
ini
membangkitkan
harapan
akan
munculnya
suatu
sistem
dan
tatanan
masyarakat
yang
tidak
diskriminatif,
eksploitatif,
rasialis,
atau
dengan
kata
lain
suatu
tata
masyarakat
yang
egaliter
dan
humanis.
Akan
tetapi
dalam
perkembangannya,
paham
ini
ternyata
telah
menjerumuskan
Eropa
dalam
pemikiran
egosentrisme
sempit
dan
akhirnya
menyebabkan
penderitaan
dan
kesengsaraan
luar
biasa
pada
negara-negara
lain
di
luar
Eropa.
Egosentrisme
ini
melahirkan
ekspansi
nasionalisme
Eropa
dalam
bentuk
politik
kolonialisme
yang
dilandasi
kepentingan
ekonomi
di
belahan
dunia
lain
seperti
Asia,
51
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
Afrika
dan
lainnya.
Fenomena
menarik
dari
kolonialisasi
Eropa
adalah
gerakan
nasionalisme
yang
pada
mulanya
diusung
oleh
bangsa
Eropa
justru
memicu
bangkitnya
gelombang
nasionalisme
bangsa-bangsa
terjajah
dan
menjadi
senjata
untuk
melawan
imperialisme
Eropa.
Nasionalisme
Indonesia
yang
tumbuh
awal
abad
ke
20
tidak
terlepas
dari
persoalan
di
atas,
yaitu
disatu
sisi
terinspirasi
oleh
Eropa
sementara
di
sisi
lain
sekaligus
mengilhami
gerakan
perlawanan
terhadap
imperialisme
Eropa.
Nasionalisme
Indonesia
tidak
dapat
lepas
dari
interaksi
kaum
Bumiputera
terhadap
sistem
nilai
dan
gagasan
yang
diperoleh
dari
sistem
pendidikan
Barat.
1.
Budi
Utomo
1908;
Bangkitnya
Kesadaran
Kebangsaan
Bumiputera
Pendidikan
Barat
merupakan
fenomena
baru
yang
terjadi
setelah
pemerintah
kolonial
Hindia
Belanda
menerapkan
Politik
Etis
di
Hindia
Belanda.
Politik
Etis
berakar
pada
masalah-masalah
kemanusiaan
dan
sekaligus
ekonomi.
Kapitalisme
swasta
memainkan
pengaruh
yang
Ø}Ì
È}˜ˆwŽ˜
ÌiÀ
`«
ŽiLˆŽ˜
«i“iÀˆ˜Ì

Žœœ˜ˆ°
Industri
Belanda
mulai
melihat
Indonesia
sebagai
pasar
yang
potensial
dan
standar
hidupnya
perlu
ditingkatkan.
Modal
Belanda
maupun
internasional
mencari
peluang-peluang
baru
bagi
investasi
dan
eksploitasi
bahan
mentah,
khususnya
di
daerah-daerah
luar
Jawa.
Kebutuhan
tenaga
kerja
Indonesia
dalam
perusahaan-
perusahaan
modern
pun
mengalami
peningkatan.
Oleh
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
52
karena
itu,
kepentingan-kepentingan
bisnis
mendukung
keterlibatan
yang
secara
intensif
dari
pemerintah
kolonial
dalam
rangka
mencapai
ketentraman,
keadilan,
modernitas
dan
kesejahteraan,
yang
pada
muara
akhirnya
adalah
peningkatan
akumulasi
keuntungan
usahanya.
Para
pejuang
kemanusiaan
membenarkan
apa
yang
oleh
kalangan
pengusaha
diperkirakan
akan
menguntungkan
itu,
dan
lahirlah
kebijakan
yang
disebut
Politik
Etis.
Politik
Etis
diperkenalkan
tahun
1899
oleh
C.Th.
Van
Deventer
dalam
artikelnya
yang
berjudul
“Een
Eereschuld”
(suatu
hutang
kehormatan)
yang
diterbitkan
oleh
jurnal
Belanda
de
Gids.
Deventer
menyatakan
bahwa
negeri
Belanda
berhutang
kepada
bangsa
Indonesia
atas
semua
kekayaan
yang
telah
diperas
dari
negeri
mereka
dan
hutang
itu
harus
dibayarkan
kembali
dengan
jalan
memberi
prioritas
utama
pada
kepentingan
rakyat
Indonesia
dalam
kebijakan
kolonial.
2
Gagasan
ini
ditindaklanjuti
oleh
Ratu
Wilhelmina
dengan
mengumumkan
suatu
usaha
penyelidikan
tentang
kesejahteraan
di
Jawa,
dan
dengan
demikian
langkah
ini
merupakan
pengesahan
secara
resmi
Politik
Etis.
Alexander
W.F.
Idenburg
yang
menjabat
sebagai
Menteri
Urusan
Daerah
Jajahan
yang
sekaligus
juga
sebagai
Gubernur
Jenderal
(1909-1916),
mempraktekan
tiga
hal
penting,
yakni
pendidikan,
pengairan,
dan
perpindahan
penduduk,
sebagai
2
M.C.
Ricklefs,
6HMDUDK
,QGRQHVLD
0RGHUQ
±,
,(Jakarta:
PT.
Serambi
Ilmu
Semesta
2005),
hal
320.
53
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
prinsip
inti
dari
Politik
Etis.
3
Sejalan
dengan
penerapan
Politik
Etis,
sektor
ekonomi
menunjukan
perkembangan
luar
biasa
melalui
peningkatan
eksploitasi
sumber
daya
alam,
perkebunan
dan
industrialisasi.
Peningkatan
ekonomi
ini
disertai
pula
oleh
perluasan
daerah
kekuasaan
hingga
ke
luar
Jawa.
Hal
ini
menuntut
ketersediaan
tenaga
kerja
bagi
roda
ekonomi,
termasuk
bagi
pengembangan
sistem
administrasi
pemerintahan
kolonial
yang
sebagian
besar
terpusat
di
Jawa.
Dalam
mengatasi
hal
itu
dan
sebagai
upaya
untuk
menyeimbangkan
ketimpangan
jumlah
penduduk,
program
pemindahan
penduduk
atau
yang
sekarang
dikenal
dengan
transmigrasi
dilakukan
oleh
pemerintah
kolonial.
Politik
Etis
dalam
hal
pendidikan
disertai
dengan
berkembangnya
dua
aliran
pemikiran
yang
berbeda
mengenai
jenis
pendidikan,
model
pendidikan
dan
out
put
yang
hendak
dihasilkan.
Pertama,
pendekatan
yang
bersifat
elitis,
dengan
pendukungnya
J.
H.
Abendanon,
Direktur
Pendidikan
Etis
yang
pertama
(1900-1905).
Dalam
konsep
ini,
pendidikan
diarahkan
menyerupai
model
yang
berlangsung
di
Eropa
dan
menggunakan
bahasa
Belanda
sebagai
bahasa
pengantarnya
bagi
kelompok
elite
pribumi.
Hal
ini
dimaksudkan
agar
tercipta
lapisan
masyarakat
yang
memiliki
cara
pandang
Barat,
memiliki
kemampuan
dalam
menjalankan
pekerjaan-pekerjaan
yang
sebelumnya
ditangani
oleh
pegawai
berkebangsaan
Belanda,
dapat
bekerjasama
dengan
pemerintah
kolonial,
tahu
3
Ibid
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
54
berterimakasih
dan
selanjutnya
menjadi
contoh
perilaku
bagi
masyarakat
golongan
bawah.
Selain
itu,
politik
pendidikan
ini
dimaksudkan
pula
untuk
mendorong
modernisasi
masyarakat
dari
fanatisme
keagamaan
mengingat
perkembangan
Islam
yang
semakin
pesat.
Kedua,
pendekatan
populis
yang
didukung
oleh
Idenburg
dan
Gubernur
Jenderal
Van
Heutsz.
Menurut
mereka,
pendidikan
yang
lebih
mendasar
dan
praktis
dengan
bahasa
daerah
sebagai
bahasa
pengantarnya
bagi
golongan-golongan
bawah.
Pendekatan
elitis
diharapkan
dapat
menghasilkan
pimpinan
bagi
zaman
pencerahan
baru
Belanda-Indonesia,
sedangkan
pendekatan
yang
merakyat
diharapkan
memberikan
sumbangan
langsung
bagi
kesejahteraan.
Pendidikan
Etis
yang
diterapkan
Belanda
ini
telah
berhasil
mengembangkan
dunia
pendidikan
di
Indonesia.
Tiga
hoofdenscholen,
sekolah
para
kepala
di
Bandung,
Magelang,
dan
Probolinggo
disusun
kembali
menjadi
sekolah
untuk
menghasilkan
pegawai
pemerintahan
dan
diberi
nama
baru
OSVIA
(Opleidingsvholen
Voor
Inlandsche
Ambtenaren
atau
sekolah
untuk
pelatihan
para
pejabat
pribumi).
Sekolah
dokter
Jawa,
Weltevreden
diganti
menjadi
STOVIA
(School
Tot
Opleiding
Van
Inlandsche
Artsen
–
sekolah
untuk
pelatihan
dokter
pribumi),
dan
mendirikan
sekolah
rendah
untuk
pribumi
yang
akan
melanjutkan
pendidikan
di
OSVIA
maupun
STOVIA,
yakni
HIS
(Hollandsch–Inlandsche).
Sekolah-
sekolah
yang
didirikan
oleh
Belanda
ini
menyerap
kelompok
elite
pribumi,
terutama
berasal
dari
kalangan
priyayi
rendah
dan
bangsawan
abangan.
Mereka
memandang
bahwa
55
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
pendidikan
tidak
hanya
memungkinkan
untuk
memasuki
struktur
pemerintah
kolonial,
tetapi
sekaligus
sebagai
kunci
menuju
kemajuan.
Gagasan
pembebasan
bangsa
Indonesia
lewat
pendidikan
kaum
priyayi
didorong
sejak
awal
oleh
jurnal
Bintang
Hindia
yang
diterbitkan
untuk
pertama
kali
di
Belanda
pada
tahun
1902.
Adalah
Abdul
Rivai,
sarjana
lulusan
sekolah
dokter
Jawa
yang
berdiam
diri
di
Weltevreden,
sebuah
daerah
dipinggiran
kota
Batavia,
yang
menulis
artikel-artikel
yang
kritis
dan
menyerang
praktek
kolonialisasi
Belanda
di
Indonesia.
Bintang
Hindia
ini
kemudian
diedarkan
secara
meluas
di
Indonesia
dan
dibaca
oleh
banyak
kalangan
elite
sebelum
penerbitannya
berhenti
pada
tahun
1906.
Artikel
yang
diterbitkan
oleh
Bintang
Hindia
ini
memberi
pengaruh
besar
bagi
perkembangan
tentang
ide-
ide
kebangsaan
dikalangan
mahasiswa
STOVIA.
Gagasan
LÀÕ
Ìi˜Ì˜}
œÀ}˜ˆÃÈ
`˜
`ˆŽi˜˜Þ
`iw˜ˆÃˆ‡`iw˜ˆÃˆ
baru
tentang
identitas
muncul.
Ide
baru
tentang
organisasi
ini
meliputi
bentuk-bentuk
kepemimpinan
yang
baru
dan
V˜}}ˆ
]Ãi`˜}Ž˜`iw˜ˆÃˆLÀÕ“iˆ«Ṏ˜ˆÃˆÃ“i˜`“
tentang
lingkungan
agama,
sosial
politik
dan
ekonomi.
Poltik
Etis
bagi
kepentingan
pemerintah
kolonial
telah
menghasilkan
barisan
pekerja
pribumi
terdidik
yang
siap
pakai
sesuai
dengan
kebutuhan.
Namun,
melalui
Politik
Etis
ini
pula
pemuda
pribumi
dapat
berinteraksi
dengan
gagasan-
gagasan
baru
dari
dunia
luar
yang
pada
nantinya
melahirkan
cara
pandang
dan
kesadaran
baru
sebagai
bangsa.
Lapisan
pribumi
terpelajar
inilah
yang
akan
menjadi
pelopor
bagai
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
56
gerakan
perjuangan
kemerdekaan
dengan
cara-cara
yang
lebih
modern.
Dampak
nyata
dari
pendidikan
ini
adalah
didirikannya
organisasi
modern
pertama
untuk
kalangan
priyayi
Jawa
dibentuk
pada
tahun
1908
oleh
dr.
Wahidin
Soedirohoesodo
yang
merupakan
lulusan
dari
sekolah
dokter
Jawa.
Diawali
dari
kunjungannya
ke
STOVIA
yang
merupakan
salah
satu
lembaga
pendidikan
terpenting
bagi
kalangan
priyayi
rendah
Jawa.
Pada
20
Mei
1908
digelar
pertemuan
yang
dihadiri
oleh
para
mahasiswa
STOVIA,
OSVIA,
sekolah
guru,
sekolah
pertanian
dan
sekolah
kedokteran
hewan.
Pertemuan
itu
menghasilkan
beberapa
kesepakatan:
4
Pertama,
didirikannya
organisasi
yang
diberi
nama
Budi
Utomo
(het
schooner
streven-ikhtiar
yang
indah)
dan
mengangkat
dr.
Soetomo
sebagai
ketua.
Kedua,
basis
pergerakan
organisasi
ini
akan
meliputi
wilayah
Jawa,
Madura
dan
Sunda.
Ketiga,
organisasi
ini
dimaksudkan
sebagai
wadah
untuk
melestarikan
kebudayaan
Jawa
dan
sekaligus
memajukan
kepentingan
priyayi
rendah
terutama
dalam
aspek
kebudayaan
dan
pendidikan
yang
dianggap
telah
merosot
dan
tertinggal
jauh
di
belakang.
Kemajuan
pesat
Budi
Utomo
dialami
bersamaan
dengan
didirikannya
cabang-cabang
diberbagai
sekolah
Hindia
Belanda.
Dari
jumlah
sekitar
650
orang
pada
Juli
1908
berkembang
menjadi
sekitar
10.000
orang
pada
akhir
4
Roeslan
Abdulgani,
'U6RHWRPRDQJ6DD.HQDO,
Yayasan
Idayu,
Jakarta,
1976,
hal
21.
57
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
tahun
1909.
5
Sebagai
organisasi
yang
memusatkan
perhatian
pada
isu-isu
kebudayaan,
Budi
Utomo
hampir
tidak
memiliki
peran
politik
yang
aktif.
Dinamika
internal
dan
bersifat
politis
mulai
berlangsung
ketika
muncul
desakan
dari
dr.
Tjipto
Mangunkusumo
yang
disampaikan
dalam
Kongres
pertama
bulan
Oktober
1908,
agar
Budi
Utomo
memperluas
cakupannya
dengan
menjadi
partai
politik
yang
berjuang
untuk
mengangkat
rakyat
pada
umumnya,
bukan
hanya
golongan
priyayi
dan
kegiatan-kegiatannya
tersebar
ke
seluruh
Indonesia.
Meskipun
pada
akhirnya
Kongres
menolak
usulan
ini,
namun
ide
pendirian
partai
yang
dikemukakan
oleh
dr
Tjipto
ini
memberikan
andil
penting
dalam
tumbuh
berkembangnya
partai
politik
pada
masa
kolonial,
terutama
setelah
dr.
Tjipto
memilih
bergabung
dengan
Indische
Partij
yang
dikenal
radikal.
Gema
berdirinya
Budi
Utomo
terasa
di
seluruh
Indonesia,
bahkan
pengaruhnya
sampai
ke
negeri
Belanda.
Sejumlah
organisasi
yang
lebih
aktif
muncul.
Beberapa
di
antaranya
bersifat
keagamaan,
kebudayaan,
dan
pendidikan,
beberapa
lagi
bersifat
politik,
dan
ada
pula
yang
menggabungkan
keduanya.
Tidak
lama
berselang
berdirilah
Trikoro
Dharmo,
Jong
Java,
Jong
Celebes,
Jong
Sumatera
sebagai
organisasi
pemuda
yang
didirikan
oleh
para
mahasiswa
sekolah
dokter
Jawa,
serta
organisasi
keagamaan
yang
didirikan
untuk
kepentingan
pedagang
Islam.
Organisasi-organisasi
ini
bergerak
di
kalangan
masyarakat
bawah,
dan
untuk
pertama
kalinya
terjalin
5
Ricklefs,
Op.Cit,
hal
344.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
58
hubungan
antara
rakyat
desa
dan
elite-elite
baru
itu.
Jika
Budi
Utomo
merupakan
representasi
priyayi
abangan
Jawa
yang
banyak
duduk
dalam
administrasi
pemerintah
kolonial,
maka
perkembangan
organisasi-organisasi
baru
ini
banyak
dipimpin
oleh
orang-orang
yang
telah
berhasil
menyelesaikan
studi
di
sekolah
Belanda,
namun
kemudian
mengundurkan
diri
atau
diberhentikan
dari
pekerjaan
pemerintahan.
Perkembangan
organisasi
baru
ini
membawa
Indonesia
memasuki
fase
pembaharuan
yang
paling
penting
dalam
sejarahnya
yakni
dengan
munculnya
para
tokoh
pergerakan
dari
kalangan
agama.
Organisasi
yang
dipelopori
oleh
kalangan
agama
ini
pada
awalnya
digunakan
untuk
menghadapi
persaingan
dagang
dengan
para
pedagang
China
dan
hambatan
aturan
pemerintahan
kolonial.
Sarekat
Dagang
Islamiyah
(1909)
di
Batavia
yang
didirikan
oleh
Tirtoadisurjo
yang
merupakan
lulusan
OSVIA,
dan
Sarekat
Dagang
Islam
6
oleh
Haji
Samanhudi
di
Surakarta
merupakan
kumpulan
pedagang
Islam
pribumi
yang
bersaing
dengan
pedagang
China
yang
pesat
setelah
kemenangan
revolusi
China
tahun
1911.
Perkembangan
organisasi
Islam
ini
telah
mendorong
menguatnya
gerakan
Pan
Islamisme
dan
gagasan
modernisme
sebagai
dasar
yang
tepat
untuk
menjalankan
kegiatan
politik.
Sementara
itu
di
negeri
Belanda,
sekelompok
6
Terjadi
perselisihan
antara
Tirtoadisurjo
dan
Samanhudi
yang
dianggap
terlalu
disibukan
dengan
urusan
dagang.
Sarekat
Dagang
Islam
berkembang
pesat
setelah
berubah
menjadi
Sarekat
Islam
tahun
1912
dan
diperkirakan
mempunyai
anggota
tersebar
berjumlah
hingga
2
juta
orang.
SI
dipimpin
oleh
H.O.S
Tjokroaminoto
yang
sebelumnya
merupakan
ketua
cabang
Sarekat
Dagang
Islam
Surabaya.
59
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
mahasiswa
yang
belajar
di
negeri
Belanda
berencana
untuk
mendirikan
Utomo
cabang
Belanda.
Gagasan
ini
ditolak
dan
mereka
kemudian
mendirikan
organisasi
bernama
Indische
Vereeniging.
Pada
mulanya
organisasi
ini
bergerak
di
bidang
sosial,
dan
sama
sekali
tidak
mempunyai
tujuan
politik.
Tujuannya
adalah
memperhatikan
kepentingan
penduduk
Hindia
Belanda
yang
ada
di
negeri
Belanda.
7
Perubahan
haluan
terjadi
karena
pengaruh
dari
luar.
Tiga
serangkai,
pemimpin
pergerakan
Indonesia
yang
dibuang
ke
Belanda
yaitu
dr.
Tjipto
Mangunkusumo,
Suwardi
Suryaningrat
(dikenal
juga
dengan
nama
Ki
Hajar
Dewantoro),
dan
dr.
Douwes
Dekker
(dikenal
dengan
nama
lain
Setia
Budhi),
memasukan
unsur-unsur
politik.
Dengan
lambat
laun
kecenderungan
politik
organisasi
ini
mulai
mengemuka
sebagaimana
diungkapkan
oleh
Hatta,
bahwa
sekali
terdorong
ke
jalur
politik,
Indische
Vereeniging
tidak
bisa
lagi
ke
luar
dari
jalur
itu.
8
Indische
Vereeniging
dirubah
menjadi
Indonesische
Vereegining
dan
kemudian
hari
menjadi
Perhimpunan
Indonesia
yang
melahirkan
tokoh
besar
seperti
Soekarno,
Hatta,
Sjahrir,
Ali
Sastroamidjojo,
Sukiman
Wirjosandjojo.
Prinsip
politik
yang
dianut
adalah
pikiran-pikiran
tentang
persatuan
rakyat,
hak
untuk
mengatur
diri
sendiri,
demokrasi,
menolong
diri
sendiri,
pembentukan
kekuatan,
non
kooperasi.
Dalam
kaitan
ini,
digambarkan
bahwa
konsepsi
perjuangan
7
Susanto
Tirtoprodjo,
Sejarah
Pergerakan
Nasional
Indonesia,
(Jakarta:
PT.
Pembangunan,
1970),
hal
48.
8
Mohammad
Hatta,
Indonesia
Merdeka,
(Jakarta:
Bulan
Bintang,
1976),
hal
29.
GMNI
dan
HMI
dalam
Politik
Kekuasaan
60
pemuda
dan
mahasiswa
Indonesia
adalah:
adanya
pengertian
dan
kesadaran
sebagai
bangsa
Indonesia,
kemerdekaan
diperoleh
sebagai
hasil
perjuangan,
dan
terakhir,
untuk
mencapai
tujuan
itu
maka
segenap
bangsa
Indonesia
harus
bersatu
padu
dan
menjalankan
massa
aksi
nasionalis
yang
sadar
dan
bersandarkan
kepercayaan
pada
kekuatan
sendiri
untuk
melawan
dan
menghentikan
penjajahan
Belanda
atas
Indonesia.
9
Budi
Utomo
mengalami
eskalasi
peran
di
luar
misi
utamanya
pada
saat
momentum
perang
dunia
I
meletus.
Kebutuhan
untuk
merancang
suatu
sistem
pertahanan
Hindia
Belanda
dengan
membentuk
milisi-milisi
yang
terdiri
dari
orang
Indonesia
telah
berkembang
menjadi
tuntutan
mengenai
perlunya
pribumi
memiliki
perwakilan
di
pemerintahan
yang
disebut
dengan
Volksraad.
Bersama
dengan
Sarekat
Islam,
Regentbond,
dan
organisasi
lain
di
Jawa,
Budi
Utomo
mengutus
delegasi
untuk
menemui
Ratu
Wilhelmina
guna
pengusulan
pembentukan
Volksraad
dan
disahkan
dengan
undang-undang
yang
disetujui
pada
Desember
1916.
Berdirinya
Volksraad
inilah
pada
nantinya
akan
mendinamisir
perpolitikan
Hindia
Belanda
dan
berdirinya
berbagai
partai
politik.
9
Yozar
Anwar,
Pergolakan
Mahasiswa
Abad
Ke
20;
Kisah
Perjuangan
Anak-Anak
Muda
Pemberang,
Jakarta:
Sinar
Harapan,
1981,
hal
235.
61
Gerakan
Mahasiswa
dalam
Lintasan
Sejarah
Politik
Nasional
2.
Sumpah
Pemuda
1928;
Peneguhan
Komitmen
Kebangsaan
Terbentuknya
Volksraad
sebagai
lembaga
perwakilan
rakyat
meningkatkan
intensitas
keterlibatan
pribumi
dalam
persoalan
politik
dan
mempengaruhi
orientasi
politik
dari
organisasi-organisasi
yang
ada.
Partai-partai
politik
mulai
bergeliat
dan
mempersiapkan
diri
merebut
kursi
dalam
Volksraad.
Tumbuhnya
kepartaian
ini
diikuti
pula
oleh
berkembangnya
politik
aliran
yang
terutama
dipicu
oleh
menguatnya
penetrasi
politik
yang
dilakukan
oleh
ISDV
(Indische
Social
Democratische
Vereeniging)
yang
berhaluan
marxis
kedalam
organisasi
massa
lainnya,
terutama
di
tubuh
Sarekat
Islam.
Di
kalangan
nasionalis
sekuler
muncul
PNI
(Partai
Nasionalis
Indonesia)
yang
didirikan
oleh
Soekarno
dan
mantan
aktivis
Algemene
Studi
Club
Bandung.
Sementara
itu,
organisasi
Islam
yang
semula
didorong
oleh
kepentingan
pribumi
Islam
dalam
persaingan
dagang
juga
mengalami
perkembangan
yang
didorong
oleh
semangat
pembaharuan
dan
modernisme
Islam.
Berdirinya
Muhammadiyah
menjadi
langkah
besar
dalam
modernisme
Islam
yang
diusung
oleh
muslim
perkotaan
yang
sebagian
besar
berprofesi
sebagai
pedagang
dan
pegawai
pemerintahan.
Modernisme
Islam
ini
berangkat
dari
asumsi
bahwa
Islam
harus
disucikan
dari
segala
inovasi
yang
tidak
sah
atau
bid’ah.
Perkembangan
zaman
telah
melahirkan
keadaan-
keadaan
baru
yang
menuntut
dilakukannya
penelitian
ulang
terhadap
kebenaran-kebenaran
al-Quran
dan
Hadis
yang
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf
6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf

More Related Content

Similar to 6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf

Pancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
Pancasila Sebagai Nasionalisme BangsaPancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
Pancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
universitas islam syekh-yusuf tangerang
 
Martabat dan harga diri pkn
Martabat dan harga diri pknMartabat dan harga diri pkn
Martabat dan harga diri pkn
SMA Negeri 9 KERINCI
 
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsaAktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
Musdalifah yusuf
 
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan KebangsaanMusni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaanmusniumar
 
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptxPPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
DamarBagaswara2
 
PowerPoint LK-3.pptx
PowerPoint LK-3.pptxPowerPoint LK-3.pptx
PowerPoint LK-3.pptx
IB4LGAME
 
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...musniumar
 
pkn
pknpkn
Peristiwa sumpah pemuda
Peristiwa sumpah pemudaPeristiwa sumpah pemuda
Peristiwa sumpah pemuda
Dedy Setiady
 
Bab i
Bab iBab i
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docxMAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
irmahirawaty
 
341354946 makalah-pkn
341354946 makalah-pkn341354946 makalah-pkn
341354946 makalah-pkn
tona pa
 
Makalah softskill bab 3
Makalah softskill bab 3Makalah softskill bab 3
Makalah softskill bab 3
Rika Hariany
 
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
Elfan Elfan
 
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
Operator Warnet Vast Raha
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
Yoga Firmansyah
 
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaanKontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Sofyan Siroj
 
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdfTUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
NawirMuddai
 
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...Operator Warnet Vast Raha
 
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Sofyan Siroj
 

Similar to 6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf (20)

Pancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
Pancasila Sebagai Nasionalisme BangsaPancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
Pancasila Sebagai Nasionalisme Bangsa
 
Martabat dan harga diri pkn
Martabat dan harga diri pknMartabat dan harga diri pkn
Martabat dan harga diri pkn
 
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsaAktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
Aktualisasi peran mahasiswa sebagai solusi terhadap kondisi bangsa
 
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan KebangsaanMusni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
Musni Umar: Generasi Muda dan Peningkatan Wawasan Kebangsaan
 
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptxPPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
PPT_MODUL 2_TEMA BHINEKA TUNGGAL IKA_RUKUN ITU INDAH.pptx
 
PowerPoint LK-3.pptx
PowerPoint LK-3.pptxPowerPoint LK-3.pptx
PowerPoint LK-3.pptx
 
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...
Musni Umar: Religius, Adil, Mementingkan Persatuan, Musyawarah dan Toleransi ...
 
pkn
pknpkn
pkn
 
Peristiwa sumpah pemuda
Peristiwa sumpah pemudaPeristiwa sumpah pemuda
Peristiwa sumpah pemuda
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docxMAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
MAKALAH PPKN.klmpok 2.docx
 
341354946 makalah-pkn
341354946 makalah-pkn341354946 makalah-pkn
341354946 makalah-pkn
 
Makalah softskill bab 3
Makalah softskill bab 3Makalah softskill bab 3
Makalah softskill bab 3
 
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
Makalah pendidikan pancasila (pancasila sakti)
 
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangs sebagai rasa persatu...
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
 
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaanKontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
 
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdfTUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
TUGAS INDIVIDU_DESI MAYA SARI_.pdf
 
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...
Pencegahan dan penanggulangan ancaman disintegrasi bangsa sebagai rasa persat...
 
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
###Kontribusi aktivis dakwah dalam wawasan kebangsaan
 

6.a. BUKU-GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan.pdf