ABSTRAK
Implikasi pemisahan Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdampak pada persoalan-persoalan yang sampai sekarang belum diselesaikan terutama masalah batas wilayah baik darat, laut, maupun udara yang secara hukum nasional maupun hukum internasional belum jelas statusnya. Dengan pemisahan Timor-Leste dari Negara Republik Indonesia maka dikeluarkan ketetapan MPR tahun 1999 yang mencabut ketetapan MPR no VI/1978 tentang integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah RI, maka status hukum Timor-Timur telah berubah dan bukan lagi bagian dari wilayah negara kesatuan RI. Status hukum Timor-Timur diatur lebih lanjut oleh PBB, antara Indonesia dan Portugal yaitu berdasarkan Perjanjian di New York tanggal 5 Mei 1999, Agreement Between the Repoblic of Indonesia and the Portugal Republic on the Question of East Timor.
Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana kewenangan suatu negara untuk menentukan batas wilayah laut menurut Hukum Internasional serta bagaimana cara pengaturan batas wilayah laut Timor-Leste pasca kemerdekaan 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaturan batas wilayah laut Timor-Leste dan apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi serta kewenangan suatu negara dalam menentukan batas wilayah lautnya berdasarkan hukum internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang dilanjutkan dengan penelitian hukum emperis, dikatakan penelitian hukum normatif karena penelitian ini akan memanfaatkan data sekunder, yang selanjutnya akan diikuti dengan penelitian empiris.
Belum adanya kesepakatan tentang batas wilayah laut antara kedua negara, dikarenakan masih menunggu penyelesaian sengketa batas darat yang meliputi lima segmen di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara. Lima titik wilayah darat yang masih disengketakan antara Indonesia dan Timor Leste yakni Noelbesi di Kabupaten Kupang, Bijaelsunan dan Oben di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) serta Malibaka di Kabupaten Belu. Batas wilayah laut yang sulit ditetapkan yakni Enklave Ambeno Oeccuse karena enklave tersebut berada diantara wilayah Indonesia. Faktanya bahwa jarak antara Negara Republik Demokratik Timor Leste dengan Indonesia, tepatnya di wilayah Kecamatan Alor Timur ditaksir tidak mencapai 12 mil, sebagaimana yang ditentukan dalam UNCLOS 1982, maka dalam menentukan batas wilayah kedua negara, akan menggunakan pengukuran median line (garis tengah), artinya bahwa apabila jarak antara Negara Republik Demokratik Timor Leste dengan Indonesia hanya 11 mil maka tidak menutup kemungkinan bahwa Negara Republik Demokratik Timor Leste akan mendapatkan 5 mil dan Indonesia mendapatkan 5 mil, sedangkan sisanya 1 mil, dipergunakan sebagai zona bebas (high sea).
Dokumen tersebut membahas tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan implementasinya di Indonesia. UNCLOS mengatur batas-batas hak dan kewajiban negara pantai dan tidak pantai, termasuk zona maritim seperti laut teritorial, ZEE, dan konsep negara kepulauan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia berdasarkan ketentuan UNCLOS.
Tiga perkembangan penting dalam konsep kedaulatan negara dan kedaulatan atas laut adalah:
1. Perjanjian Westphalia tahun 1648 yang mengakui kedaulatan negara dan melarang campur tangan asing dalam urusan internal negara.
2. Piagam PBB tahun 1945 yang memodifikasi hukum perang internasional dengan melarang perang kecuali untuk pertahanan diri.
3. UNCLOS tahun 1982 yang mengatur secara komprehensif hukum
Dokumen tersebut membahas insiden masuknya kapal Tiongkok ke wilayah ZEE Indonesia di Natuna dan klaim sepihak Tiongkok atas 'nine dash line' yang meliputi wilayah tersebut. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa klaim Tiongkok tidak berdasar hukum internasional dan menganjurkan Indonesia untuk menanggapi masalah ini sebagai pelanggaran kedaulatan wilayah laut dan melakukan protes diplomatik serta display of sovereignty di Natuna.
Dokumen tersebut membahas tentang negara dan kedaulatan, rezim kepulauan, serta penetapan rezim kepulauan dalam UNCLOS 1982. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa negara memiliki kedaulatan atas wilayahnya termasuk pulau-pulau terluar. Rezim kepulauan mengatur status hukum pulau-pulau tersebut. UNCLOS 1982 menetapkan definisi rezim kepulauan yang mencakup pulau-pulau alamiah yang dikel
ABSTRAK
Implikasi pemisahan Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdampak pada persoalan-persoalan yang sampai sekarang belum diselesaikan terutama masalah batas wilayah baik darat, laut, maupun udara yang secara hukum nasional maupun hukum internasional belum jelas statusnya. Dengan pemisahan Timor-Leste dari Negara Republik Indonesia maka dikeluarkan ketetapan MPR tahun 1999 yang mencabut ketetapan MPR no VI/1978 tentang integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah RI, maka status hukum Timor-Timur telah berubah dan bukan lagi bagian dari wilayah negara kesatuan RI. Status hukum Timor-Timur diatur lebih lanjut oleh PBB, antara Indonesia dan Portugal yaitu berdasarkan Perjanjian di New York tanggal 5 Mei 1999, Agreement Between the Repoblic of Indonesia and the Portugal Republic on the Question of East Timor.
Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana kewenangan suatu negara untuk menentukan batas wilayah laut menurut Hukum Internasional serta bagaimana cara pengaturan batas wilayah laut Timor-Leste pasca kemerdekaan 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaturan batas wilayah laut Timor-Leste dan apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi serta kewenangan suatu negara dalam menentukan batas wilayah lautnya berdasarkan hukum internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang dilanjutkan dengan penelitian hukum emperis, dikatakan penelitian hukum normatif karena penelitian ini akan memanfaatkan data sekunder, yang selanjutnya akan diikuti dengan penelitian empiris.
Belum adanya kesepakatan tentang batas wilayah laut antara kedua negara, dikarenakan masih menunggu penyelesaian sengketa batas darat yang meliputi lima segmen di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara. Lima titik wilayah darat yang masih disengketakan antara Indonesia dan Timor Leste yakni Noelbesi di Kabupaten Kupang, Bijaelsunan dan Oben di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) serta Malibaka di Kabupaten Belu. Batas wilayah laut yang sulit ditetapkan yakni Enklave Ambeno Oeccuse karena enklave tersebut berada diantara wilayah Indonesia. Faktanya bahwa jarak antara Negara Republik Demokratik Timor Leste dengan Indonesia, tepatnya di wilayah Kecamatan Alor Timur ditaksir tidak mencapai 12 mil, sebagaimana yang ditentukan dalam UNCLOS 1982, maka dalam menentukan batas wilayah kedua negara, akan menggunakan pengukuran median line (garis tengah), artinya bahwa apabila jarak antara Negara Republik Demokratik Timor Leste dengan Indonesia hanya 11 mil maka tidak menutup kemungkinan bahwa Negara Republik Demokratik Timor Leste akan mendapatkan 5 mil dan Indonesia mendapatkan 5 mil, sedangkan sisanya 1 mil, dipergunakan sebagai zona bebas (high sea).
Dokumen tersebut membahas tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan implementasinya di Indonesia. UNCLOS mengatur batas-batas hak dan kewajiban negara pantai dan tidak pantai, termasuk zona maritim seperti laut teritorial, ZEE, dan konsep negara kepulauan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia berdasarkan ketentuan UNCLOS.
Tiga perkembangan penting dalam konsep kedaulatan negara dan kedaulatan atas laut adalah:
1. Perjanjian Westphalia tahun 1648 yang mengakui kedaulatan negara dan melarang campur tangan asing dalam urusan internal negara.
2. Piagam PBB tahun 1945 yang memodifikasi hukum perang internasional dengan melarang perang kecuali untuk pertahanan diri.
3. UNCLOS tahun 1982 yang mengatur secara komprehensif hukum
Dokumen tersebut membahas insiden masuknya kapal Tiongkok ke wilayah ZEE Indonesia di Natuna dan klaim sepihak Tiongkok atas 'nine dash line' yang meliputi wilayah tersebut. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa klaim Tiongkok tidak berdasar hukum internasional dan menganjurkan Indonesia untuk menanggapi masalah ini sebagai pelanggaran kedaulatan wilayah laut dan melakukan protes diplomatik serta display of sovereignty di Natuna.
Dokumen tersebut membahas tentang negara dan kedaulatan, rezim kepulauan, serta penetapan rezim kepulauan dalam UNCLOS 1982. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa negara memiliki kedaulatan atas wilayahnya termasuk pulau-pulau terluar. Rezim kepulauan mengatur status hukum pulau-pulau tersebut. UNCLOS 1982 menetapkan definisi rezim kepulauan yang mencakup pulau-pulau alamiah yang dikel
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ruang udara di atasnya. Batas wilayah daratannya meliputi segala sesuatu di permukaan bumi, sedangkan batas wilayah lautnya meliputi perairan teritorial sejauh 12 mil laut dari pantai, zona bersebelahan 12-24 mil, dan ZEE sejauh 200 mil. Dasar hukum pengaturan wilayah l
RESUME HUKUM LAUT( putri eka gustina).pptxSuciHati8
Dokumen tersebut membahas tentang peraturan hukum laut internasional dan pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS. Secara ringkas, UNCLOS membagi wilayah laut menjadi laut teritorial selebar 12 mil, zona landas kontinen hingga 200 mil, dan zona ekonomi eksklusif hingga 200 mil. Dokumen juga menjelaskan penyelesaian sengketa laut internasional yang dapat dilakukan secara damai atau melalui pengadil
Perbedaan hukum laut internasional dan nasionalRizal Fahmi
Dokumen tersebut membahas perbedaan hukum laut internasional dan nasional Indonesia. Hukum laut nasional Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Perpu No. 4/1960, UU No. 1/1973, Tap MPR No. VI/1978, UU No. 5/1983, dan UU No. 6/1996 yang mengatur wilayah perairan Indonesia seperti perairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan menetapkan Indonesia sebagai negara kepulau
Dokumen tersebut membahas tentang hukum internasional dengan menjelaskan pengertian, sumber, subyek, dan sistem hukum internasional. Juga membahas tentang negara sebagai subyek hukum internasional meliputi kualifikasi, status, wilayah, pengakuan negara.
Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Sengketa Wilayah Kepulauan Spartly di La...Luhur Moekti Prayogo
Tugas 1 Mata Kuliah Penetapan dan Penegasan Batas Laut (3 SKS), Nama : Ristyan Tri Rahayu, NIM : 131021001, Dosen Pengampu: Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban 2023
Indonesia memiliki luas perairan sekitar dua pertiga dari wilayah nasionalnya, dengan total 5,8 juta km persegi. Dokumen ini membahas pentingnya memperbarui Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 untuk memperluas klaim wilayah laut Indonesia.
Dokumen tersebut membahas masalah pembangunan dan penegakan hukum kelautan di Indonesia. Beberapa poin penting yang diangkat adalah perlunya pengembangan hukum kelautan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan memperhatikan ketentuan hukum internasional. Dokumen tersebut juga membahas peraturan perundang-undangan kelautan Indonesia dan masalah optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan.
UNCLOS I pada tahun 1958 berhasil menghasilkan 4 konvensi tetapi gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial, memotivasi UNCLOS II dan III. UNCLOS III berlangsung dari 1973-1982 dan menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang menetapkan zona ekonomi eksklusif selebar 200 mil.
Dokumen tersebut membahas tiga dasar pemikiran Wawasan Nusantara yaitu: (1) Dasar geografis dan geostrategis yang menggambarkan konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, (2) Dasar sejarah yang menjelaskan perkembangan penentuan batas wilayah perairan Indonesia, (3) Dasar kepentingan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Wilayah merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan negara dan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri. Wilayah mencakup daratan, perairan, dan udara di mana negara menyelenggarakan yurisdiksinya. Ada dua pendekatan wilayah yaitu berdasarkan teritorial dan sumber daya alam.
Dokumen tersebut membahas sejarah hukum laut dari zaman Romawi hingga abad ke-19. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai res communis omnium dan dikuasai untuk menjamin keamanan pelayaran. Pada Abad Pertengahan, negara-negara baru mulai mengklaim wilayah laut. Perdebatan antara pendukung mare liberum dan mare clausum berlanjut hingga abad ke-19 dengan perkembangan yurisdiksi negara pantai atas
BAB 2 PKn Kelas XI Menelaah Ketentuan Konstitusional Kehidupan Berbangsa dan ...Pebriyanti Dwi Marizky
Dokumen tersebut membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi penjelasan mengenai konsep negara kepulauan, pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982, dan kekuasaan negara atas sumber daya alam di wilayahnya.
Dokumen tersebut membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup daratan, perairan, dan udara. Berkat Deklarasi Djuanda tahun 1957, Indonesia memiliki klaim atas wilayah laut sepanjang 12 mil dari garis pantai yang diakui internasional berdasarkan UNCLOS 1982. Indonesia juga memiliki hak atas sumber daya alam di daratan, perairan, dan bawah tanah berdasarkan UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dan ruang udara di atasnya. Batas wilayah daratannya meliputi segala sesuatu di permukaan bumi, sedangkan batas wilayah lautnya meliputi perairan teritorial sejauh 12 mil laut dari pantai, zona bersebelahan 12-24 mil, dan ZEE sejauh 200 mil. Dasar hukum pengaturan wilayah l
RESUME HUKUM LAUT( putri eka gustina).pptxSuciHati8
Dokumen tersebut membahas tentang peraturan hukum laut internasional dan pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS. Secara ringkas, UNCLOS membagi wilayah laut menjadi laut teritorial selebar 12 mil, zona landas kontinen hingga 200 mil, dan zona ekonomi eksklusif hingga 200 mil. Dokumen juga menjelaskan penyelesaian sengketa laut internasional yang dapat dilakukan secara damai atau melalui pengadil
Perbedaan hukum laut internasional dan nasionalRizal Fahmi
Dokumen tersebut membahas perbedaan hukum laut internasional dan nasional Indonesia. Hukum laut nasional Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Perpu No. 4/1960, UU No. 1/1973, Tap MPR No. VI/1978, UU No. 5/1983, dan UU No. 6/1996 yang mengatur wilayah perairan Indonesia seperti perairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan menetapkan Indonesia sebagai negara kepulau
Dokumen tersebut membahas tentang hukum internasional dengan menjelaskan pengertian, sumber, subyek, dan sistem hukum internasional. Juga membahas tentang negara sebagai subyek hukum internasional meliputi kualifikasi, status, wilayah, pengakuan negara.
Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Sengketa Wilayah Kepulauan Spartly di La...Luhur Moekti Prayogo
Tugas 1 Mata Kuliah Penetapan dan Penegasan Batas Laut (3 SKS), Nama : Ristyan Tri Rahayu, NIM : 131021001, Dosen Pengampu: Luhur Moekti Prayogo, S.Si., M.Eng, Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban 2023
Indonesia memiliki luas perairan sekitar dua pertiga dari wilayah nasionalnya, dengan total 5,8 juta km persegi. Dokumen ini membahas pentingnya memperbarui Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 untuk memperluas klaim wilayah laut Indonesia.
Dokumen tersebut membahas masalah pembangunan dan penegakan hukum kelautan di Indonesia. Beberapa poin penting yang diangkat adalah perlunya pengembangan hukum kelautan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan memperhatikan ketentuan hukum internasional. Dokumen tersebut juga membahas peraturan perundang-undangan kelautan Indonesia dan masalah optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan.
UNCLOS I pada tahun 1958 berhasil menghasilkan 4 konvensi tetapi gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial, memotivasi UNCLOS II dan III. UNCLOS III berlangsung dari 1973-1982 dan menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang menetapkan zona ekonomi eksklusif selebar 200 mil.
Dokumen tersebut membahas tiga dasar pemikiran Wawasan Nusantara yaitu: (1) Dasar geografis dan geostrategis yang menggambarkan konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah kepulauan Indonesia, (2) Dasar sejarah yang menjelaskan perkembangan penentuan batas wilayah perairan Indonesia, (3) Dasar kepentingan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Wilayah merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan negara dan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri. Wilayah mencakup daratan, perairan, dan udara di mana negara menyelenggarakan yurisdiksinya. Ada dua pendekatan wilayah yaitu berdasarkan teritorial dan sumber daya alam.
Dokumen tersebut membahas sejarah hukum laut dari zaman Romawi hingga abad ke-19. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai res communis omnium dan dikuasai untuk menjamin keamanan pelayaran. Pada Abad Pertengahan, negara-negara baru mulai mengklaim wilayah laut. Perdebatan antara pendukung mare liberum dan mare clausum berlanjut hingga abad ke-19 dengan perkembangan yurisdiksi negara pantai atas
BAB 2 PKn Kelas XI Menelaah Ketentuan Konstitusional Kehidupan Berbangsa dan ...Pebriyanti Dwi Marizky
Dokumen tersebut membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi penjelasan mengenai konsep negara kepulauan, pembagian wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982, dan kekuasaan negara atas sumber daya alam di wilayahnya.
Dokumen tersebut membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup daratan, perairan, dan udara. Berkat Deklarasi Djuanda tahun 1957, Indonesia memiliki klaim atas wilayah laut sepanjang 12 mil dari garis pantai yang diakui internasional berdasarkan UNCLOS 1982. Indonesia juga memiliki hak atas sumber daya alam di daratan, perairan, dan bawah tanah berdasarkan UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat.
RUU KIA pada Seribu HPK-Raker Tingkat I Komisi VIII DPR RI-25032024-FINAL.pdf
195-File Utama Naskah-826-1-10-20220113.pdf
1. Dwi Imroatus Sholikah
Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan
Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)
25
ANALISIS PENYELESAIAN PERBATASAN LAUT ANTARA PERU
DENGAN CHILI YANG DISELESAIKAN OLEH MAHKAMAH
INTERNASIONAL (ICJ)
ANALYSIS OF THE SETTLEMENT OF THE SEA BORDER BETWEEN
PERU AND CHILE COMPLETED BY THE INTERNATIONAL COURT OF
JUSTICE (ICJ)
Dwi Imroatus Sholikah
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Korespondensi Penulis : d.imroatus@gmail.com
Citation Structure Recommendation :
Sholikah, Dwi Imroatus. Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang
Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional (ICJ). Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex
Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020).
ABSTRAK
Hukum laut sangat berperan untuk membatasi daerah-daerah laut, daratan dan
perairan suatu negara. Laut merupakan jalan yang sangat sering digunakan untuk
menghubungkan suatu negara dengan negara lain untuk kepentingan perdagangan
bahkan untuk kepentingan yang lainnya. Disisi lain, adanya hukum laut
internasional melindungi sumber daya alam agar tidak disalahgunakan.
Mahkamah Internasional menyelesaikan sengketa antar negara anggota. Lembaga
ini juga memberikan pendapat atau nasihat kepada badan-badan resmi dan
lembaga khusus yang dibentuk oleh PBB. Dalam pelaksanaan tugasnya,
Mahkamah Internasional mengacu pada konvensi-konvensi internasional untuk
menetapkan perkara yang diakui oleh negara-negara yang sedang bersengketa. ICJ
juga berpedoman pada kebiasaan internasional yang menjadi bukti praktik umum.
Kata Kunci: Hukum Laut Internasional, Konflik antara Peru dengan Chili,
Mahkamah Internasional (ICJ)
ABSTRACT
The law of the sea is very instrumental in limiting the areas of sea, land and
waters of a country. The sea is a road that is very often used to connect one
country with other countries for trade and even for the benefit of others. On the
other hand, the existence of international sea law protects natural resources from
being misused. The International Court of Justice resolves disputes between
member states. It also provides opinions or advice to official bodies and
specialized agencies established by the United Nations. In the performance of its
duties, the International Court of Justice refers to international conventions to
establish cases recognized by the states in dispute. The ICJ is also guided by
international customs that are evidence of general practice.
Keywords: International Law of the Sea, Conflict between Peru and Chile,
International Court of Justice (ICJ)
2. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/
26
A. PENDAHULUAN
Perjanjian tentang laut internasional sudah dilindungi dalam peraturan
UNCLOS 1982 yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu yang pertama laut
merupakan Wilayah kedaulatan suatu Negara, seperti halnya laut teritorial dan
laut pedalaman. Kedua laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatan negara
namun negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi tertentu terhadap aktifitas
di laut tersebut, contohnya Zona Ekonomi Eksklusif. Ketiga laut yang memang
benar-benar bukan wilayah kedaulatan Negara dan bukan merupakan hak-hak dan
yurisdiksinya, namun Negara tersebut memiliki kepentingan di dalam laut
tersebut, yaitu laut bebas.1
Zona-zona maritim yang termasuk ke dalam kedaulatan
penuh adalah kapal pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial.
Pasal 1 Konvensi Montevideo memberikan syarat-syarat terbentuknya
negara yaitu adanya penduduk (permanent population), wilayah (a defined
teritory), pemerintahan yang berdaulat (government) dan kemampuan
berhubungan dengan negara lain (a capacity to enter into relations with the other
states).2
Wilayah menjadi unsur yang sangat penting terbentuknya negara karena
sebagai unsur konstitutif suatu negara. Di dalam hukum interasional sendiri tidak
ada batasan harus mempunyai berapa luas wilayah suatu negara.
Dilihat dari prespektif hukum, suatu wilayah negara menentukan ruang
lingkup berlakunya hukum nasional suatu negra, sedangkan dalam sudut pandang
politik wilayah suatu negara dan batas-batas wilayah negara merupakan suatu
kekuasaan yang harus dilindungi dan dipertahankan segala sesuatu yang ada
dalam wilayah negara tersebut.3
Dalam hal ini suatu wilayah negara sudah jelas
akan berdampingan dengan wilayah negara lain, hal ini mengharuskan negara
untuk hidup berdampingan dengan negara lainnya secara damai dan saling
menghargai.4
1
Retno Windari, Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-
Konvensi Bidang Maritim, Penerbit Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, 2009, Hlm.18.
2
Budi Lazarusli dan Syahmin A.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan
Perjanjian Internasional, Penerbit Remaja Karya, Bandung, 1986, Hlm.7.
3
Margaretha Hanita dalam Budi Hermawan Bangun, Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Negara: Prespektif Hukum Internasional, Tanjungpura Law Journal, Vol.1, No.1,
(Januari 2017), Hlm.52.
4
Jawahir Thantowi, Hukum Internasional di Indonesia, Penerbit Madyan Press,
Yogyakarta, 2002, Hlm.155.
3. Dwi Imroatus Sholikah
Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan
Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)
27
Sengketa wilayah antara Peru dan Chili melibatkan hubungan suatu negara
dengan negara yang lain. Sengketa yang melibatkan kedua belah pihak tersebut
masuk dalam ranah hukum internasional yang konfliknya didasari dengan sebab
Peru dan Chili yaitu perbatasan antara kedua belah pihak sama-sama megklaim
kepemilikan dari wilayah laut tersebut. Penetuan luas wilayah laut setiap negara
terdapat pada UNCLOS 1982 yaitu tertuang pada Bab II tentang Teritorial Sea
and Contigous Zone dari Pasal 2 sampai Pasal 32. Bahwa setiap negara berhak
menetapkan lebar laut sejauh 12 mil laut yang diukur dimulai dari garis pangkal
yang telah diatur dalam UNCLOS 1982.5
B. PEMBAHASAN
1. Kronologi Kasus Peru vs. Chili
Sengketa Peru dan Chili dimulai pada tahun 1947 yang diawali dengan
klaim hak maritim 200 mil sepanjang pantai kedua Negara yang dipicu oleh
Proklamasi Presiden Amerika Serikat Truman pada 28 September 1945 yang
mengeluarkan pernyataan klaim atas landas kontinen bahwa negara menguasai
sumber daya dari lapisan tanah dan dasar laut dibawahnya. Namun perikanan dan
sumber daya air tetap tunduk pada yurisdiksi. Akhirnya Presiden Chili
mengeluarkan deklarasi tentang klaim batas wilayah laut negaranya pada 23 Juni
1947, sedangkan Peru mengeluarkan Keputusan Agung Nomor 781 pada 1
Agustus 1947. Pada bulan Maret 1966, terjadi insiden di wilayah laut perbatasan,
ketika Kapal perang angkatan laut Peru Diez Canseco merespon pelanggaran yang
terjad di batas laut Chili-Peru oleh dua kapal penangkap ikan Chili (Mariette dan
Angamos) dengan menembakkan 16 tembakan peringatan dari kanon. Dalam
pertemuan subregional dalam kaitan dengan Kesepakatan Pasifik Selatan di Lima
pejabat Peru mengadakan pertemuan dengan pejabat departemen luar negeri Chili
untuk diskusi informal berkaitan dengan gesekan yang timbul dari kegiatan kapal
nelayan di pesisir. Setelah itu Peru menulis kepada Chili pada tanggal 6 Februari
1968 menyatakan bahwa baik untuk negara harus membangun pos atau tanda-
tanda dimensi dan terlihat pada jarak yang besar pada titik dimana perbatasan
bersama mencapai laut dekat Penanda Batas nomor satu.
5
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hlm.33.
4. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/
28
Pada tanggal 8 Maret 1968, Chili menerima kesepakatan yang dicapai oleh
para pihak. Tujuannya adalah untuk mengatasi masalah tentang operasi kapal
nelayan Peru dan Chili ke pantai. Kemudian pada tanggal 23 Juli 1968 kapal
penangkapan ikan Chili yang lain (Martin Pescador), diserang oleh kapal patroli
Peru, di daerah sebalah utara perbatasan. Atas kejadian penyerangan Peru atas
Chili tersebut pemilik kapal terluka oleh senjata tembakan api. Atico sebagai
kapal patrol telah memberikan peringatan kepada 20 kapal Chili yang melakukan
kegiatan diwilayah itu, pemberitahuan dipatuhi oleh semua kapal kecuali Martin
Pescador. Sehingga kapal patroli menembak tanpa tujuan untuk peringatan yang
mengakibatkan pemilik kapal terluka tanpa di sengaja.
Chili sendiri juga memberlakukan batas maritim seperti Peru dimana kapal
ilegal nelayan akan dikenakan sanksi jika melakukan penangkapan ikan diperairan
selatan batas politik internasional. Kesepakatan tentang peraturan izin untuk
eksploitasi sumber daya Pasifik Selatan dibawah naungan CPPS (Komisi Tetap
Pasifik Selatan), Chili mengatur penerbitan izin untuk kapal-kapal asing yang
menangkap ikan diwilayah perairan Chili dan ketentuan bahwa kapal asing
penangkapan ikan yang tanpa izin akan dituntut. Dibawah rezim ini kegiatan
penangkapan ikan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif.
Adanya peraturan yang dikeluarkan oleh Chili bagi yang melanggar akan
dikenakan sanksi denda, Tindak Pidana bukan hanya melanggar aturan lalu lintas
di laut melainkan juga kegiatan ilegal di laut teritorial Chili. Data yang masuk
antar tahun 1984 dan 1994-2009 banyak kapal yang ditemukan di perairan Chili
dan kebanyakn kapal yang berada di perairan Chili yaitu kapal Peru.
Namun pada tanggal 28 Juli 2007 Presiden Peru menyatakan bahwa zona
maritim antara Peru dan Chili tidak pernah dibatasi oleh kesepakatan atau
perjanjian atau dalam instrument hukum yang mengatur. Atas dasar itu Peru
menyatakan bahwa permasalahan batas akan ditentukan oleh pengadilan sesuai
dengan hukum kebiasaan internasional. Namun Chili berpendapat bahwa kedua
belah pihak Negara sudah menyepakati batas dari zona maritime yang dimulai
dari pantai dan kemudian berlanjut sepanjang lintang paralel, selain itu Chili telah
menolak untuk mengakui hak-hak berdaulat Peru di daerah maritime yang terletak
dalam batas 200 mil laut dari pantai.
5. Dwi Imroatus Sholikah
Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan
Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)
29
Chili beranggap bahwa Peru telah melanggar asa Pacta Sunt Servanda,
karena Peru pada tahu 1968 telah menyetujui perjanjian batas laut antara Peru dan
Chili, namun pada tahun 2007 peru menyatakan bahwa zona maritime Peru dan
Chili tidak pernah dibatasi oleh kesepakatan atau perjanjian itu dan tidak pernah
mencapai kata sepakat atau dengan kata lain tidak ada persetujuan akan perjanjian
batas wilayah maritim tersebut. Pemerintah Peru secara resmi membawa sengketa
ke Mahkamah Internasional pada tanggal 16 Januari 2008 sebagai akibat tidak
pernah tercapainya kata sepakat dalam negosiasi yang dimulai pada tahun 1980
dan berujung pada sikap Chili yang diwakali oleh Menteri Luar Negeri Chili yang
menutup pintu negosiasi pada tanggal 10 September 2004.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Internasional
Penyelesaian sengketa intrnasional adalah melalui ICJ (International Court
of Justice). Dalam hal ini negara yang bersengketa telah bersepakat untuk
menyelesaikan sengketa untuk dibawah ke Mahkamah Internasional. Pada 16
Januari 2008 Peru mengajukan aplikasi kepada Mahkamah Internasional untuk
menuntukan batas dari zona maritim dengan Chili sesuai dengan hukum
internasional dan untuk memutuskan secara hukum dan menyatakan Peru
memiliki hak berdaulat eksklusif maritim daerah yang terletak dalam batas 200
mil laut dari pantai, tetapi di luar zona ekonomi eksklusif Chili atau landas
kontinen. Setelah proses pengajuan sengketa tahap selanjutnya yaitu tahap
pembelaan dimana dalam pembelaan tersebut Peru dan Chili mempunyai
perbedaan penafsiran tentang perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak
pada tahun-tahun sebelumnya.
a. Menurut Pembelaan Peru
Dalam Deklarasi Santiago pasal IV tertulis mengenai batas maritim
antara para Sepakat mengenai zona maritim tidak kurang dari 200 mil.
Sesuai pasal tersebut metode yang akan diklaimkan secara eksklusif ke
zona maritim pulau adalah dari titik paralel geografis dimana batas tanah
masing-masing negara mencapai laut. Peru menilai bahwa Pasal IV tidak
berlaku untuk situasi hubungan Peru-Chili. Akibatnya Deklarasi Santiago
tidak termasuk kesepakatan mengenai batas antara zona maritim umum
dari negara-negara penandatanganan.
6. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/
30
b. Menurut Pembelaan Chilli
Berbeda dengan Chili menurut Chili bahwa Deklarasi Santiago
menetapkan kewajiban hukum yang mengikat. Hal ini dinyatakan
dalm Pasal II, yaitu : “Pemerintah Chili, Ekuador dan Peru
menyatakan sebagai norma kebijakan maritim internasional mereka
bahwa masing-masing memiliki kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi
atas laut disepanjang pantai agar masing-masing untuk mengeluarkan
jarak 200 mil laut dari pantai”. Ketetapan ini berkaitan dengan
pemeliharaan kebijakan maritime internasional negara pihak tidak
membuat kewajiban berkurang. Selanjutnya Pasal III menyatakan
bahwa kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi atas zona maritim juga
harus mencakup kedaulatan eksklusif dan yurisdiksi atas dasar laut
dan tanah di dalamnya. Ini sudah termasuk hak hukum yang berkaitan
dengan wilayah maritim termasuk landas kontinen.
Deklarasi Santiago memuat prinsip-prinsip dan dipertimbangkan
selanjutnya, perjanjian lebih spesifik dalam pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip-
prinsip tersebut, sebagai berikut6
:
a. dua instrument yang ditandatangani pada tahun 1954 dan 1955 yang
berkaitan dengan penerbitan izin untuk eksploitasi sumber daya maritim
(baik yang hidup maupun yang tidak hidup) di zona maritim Chili,
Ekuador dan Peru.
b. Perjanjian berkaitan dengan ukuran pengawasan dan pengendalian zona
maritim negara-negara penandatangan pad 1954
c. Perjanjian berkaitan dengan Zona Batas Maritim Khusus 1954
menciptakan zona toleransi di kedua sisi batas-batas maritim yang sudah
dipisahkan dalam Deklarasi Santiago.
3. Keputusan Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional memutuskan sesuai Pasal 55 Statuta yang akan
diputuska melalui suara terbanyak dari hakim yang hadir. Dalah hal putusan
Hakim yang bersifat final, tanpa banding dan mengikat para pihak. Mahkamah
menentukan batas maritim antar para pihak tanpa menentukan kordinat geografis.
6
ICJ, Rejoinder of the Government of Chile, Penerbit ICJ, Den Hag, 2011, Hlm.49-50.
7. Dwi Imroatus Sholikah
Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan
Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)
31
Ini mengingatkan bahwa belum adanya permintaan untuk melakukannya dalam
pengiriman akhir pihak. Oleh karena itu Mahkamah Internasional mengharapkan
bahwa para pihak akan menentukan ini dengan koordinat yang sesuai dengan
putusan dengan adanya itikad baik dari masing-masing pihak agar menjadikan
tetangga yang baik.
Putusan dibacakan pada tanggal 27 Januari 2014 oleh Ketua Pengadilan
Hakim Peter Tomka yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional. Peru
dan Chili menyatakan akan mematuhi apapun hasil dari putusan Mahkamah
Internasional mengenai sengketa mereka. Resolusi damai dari batas sengketa
maritim ini harus dianggap suatu hubungan negara yang baik melihat bahwa asal
mulanya sengketa ini dari permusuhan dan tumpang tindih kekuatan. Disini jelas
Mahkamah Internasional berhasil mencapai kompromi yang masuk akal antara
posisi absolut yang diinginkan Peru dan Chili.
Dengan adanya putusan Mahkamah Internasional Peru dan Chili sama-
sama sepakat Chili memiliki batas lateral untuk 80 nm dan beberapa perikanan
terkaya di wilayah klaim tumpang tindih. Dan Peru meiliki batas berjarak sama
dari titik itu ke 200 nm yang memberikan sekitar 21.000 km2 dari 38.000 km2
yang disengketakan. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat mengklaim
kemenangan sampai batas tertentu yang sudah disepakati menurut batas-batas
wilayah. Putusan secara umum melekat pada proposisi bahwa delimitasi batas
maritim merupakan suatu solusi yang adil. Pengadilan dalam putusannya secara
proaktif dalam mencapai suatu hasil yang sudah dimohonkan dan diajukan para
pihak tanpa berpihak dan condong dengan salah satu pihak.
4. Analisis Sengketa Wilayah Peru Vs. Chili Menggunakan Asas Uti
Possidetis Juris
Di dalam Hukum Internasional ada prinsip Uti Possidetis Juris yang secara
sederhana dapat dikonsepkan bahwa wilayah atau batas suatu negara mengikuti
wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah pendahulu. Penentuan wilayah
yang berlandaskan Uti Possidetis Juris merupakan prinsip umum yang telah
menjadi kebiasaan masyarakat internasional dalam penentuan wilayah baru, baik
yang baru lahir melalui proses kemerdekaan secara sepihak ataupun melalui
penggunaan hak untuk menentukan nasib sendiri.
8. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/
32
Prinsip yang terkandung dalam Uti Possidetis Juris secara etimologi berasal
dari bahasa Latin yang memiliki makna “sebagai milik ana” (as you possess).
Makna tersebut berasal dari sejarah panjang hukum Romawi yang memiliki arti
bahwa wilayah dan kekayaanlainnya mengikuti penguasaan pemilik asal yang
telah disepakati oleh pemilik lama dan negara baru yang disepakati melalui
perjanjian. Sehingga tujuan dari penerapan prinsip Uti Possidetis Juris ialah untuk
mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasari pada perebutan perbatasan
oleh negara-negara baru. Prinsip ini telah menjadi bagian hukum kebiasaan
internasional.7
Dalam kaitannya dengan kasus antar Peru dengan Chili dapat diterapkan
prinsip uti possidetis juris, hal ini dikarenakan dari sejarah pembentukan negara
Chili yang merupakan pemisahan dari negara Bolivia. Pada awalnya Chili telah
diberikan ketetapan mengenai batas wilayah dan telah disetujui oleh negara Peru.
Hal ini pula terjadi dengan adanya perjanjian di Lima yang telah disepakati oleh
Peru dan Chili.
Akan tetapi dikarenakan klaim secara sepihak berkaitan dengan 200 mil laut
dari garis pangkal pantai yang dilatarbelakangi oleh adanya klaim Amerika
Serikat. Sehingga Chili dan Peru saling klaim wilayah laut perbatasan meraka.
Jika dikembalikan sesuai dengan kesepakatan awal, maka konflik antar dua negara
bertetangaa ini tidak dapat terjadi. Tentu harus dengan syarat bahwa kedua negara
harus memiliki persepsi penafsiran yang sama dengan yang ditentukan dalam
Deklarasi Santiago dan Perjanjian Zona Batas Maritim Khusus.
Suatu perjanjian membutuhkan suatu penafsiran agar perjanjian
internasional dapat mengimplementasikan ketentuan perjanjian internasional
tersebut ke dalam tindakan yang nyata untuk memenuhi prestasi dari perjanjian
tersebut. Pentingnya persamaan penafsiran dan persepsi dalam menafsirkan suatu
perjanjian internasional antar pihak sangat dibutuhkan. Dalam kasus Chili vs Peru
memiliki persepsi berbeda mengenai Deklarasi Santiago. Penafsiran berbeda
tersebut terjadi dengan dikeluarkan Undang-undang mengenai batas wilayah laut
masing-masing negara.
7
Muhar Junef, Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan, Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, Vol.18, No.2 (Juni 2018), Hlm.233-234.
9. Dwi Imroatus Sholikah
Analisis Penyelesaian Perbatasan Laut Antara Peru dengan Chili yang Diselesaikan
Oleh Mahkamah Internasional (ICJ)
33
Dalam putusan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa8
:
“the maritimeboundary between the Parties starts at the intersection of the
parallel of lattitude passing thourgh Boundary Marker No. 1 with the low
water line, and extends for 80 nautical miles along that parallel of latitude
to Point A. From this point, the maritime boundary runs along the
equidistance line to Point B, and then along the 200 nautical mile limit
measured from the Chilean baselines to Point C.”
Putusan Mahkamah Internasional berdasarkan analisis saya sudah sangat
adil, karena penyelesaian secara baik tanpa ada kontrovensi antara kedua belah
pihak dan tetap mengutamakan jalan damai. Namun Mahkamah Internasional
disini tidak menentukan titik koordinatnya hanya menetapkan arah batas laut
antara Chili dengan Peru, dikarenakan para pihak tidak meminta Mahkamah
Internasional untuk memutuskan koordinat geografis tersebut.
C. PENUTUP
Dari penjelasan diatas alasan Peru mengupayajan penyelesaian sengketa
perbatasan lautnya dengan Chili melalui Mahkamah Internasional ialah
Mahkamah Internasional yang lebih berhak dan menyelesaikan permasalahan
sesuai hukum internasional, karena hasil Mahkamah Internasional bersifat
mengikat para pihak yang bersengketa selain mengikat putusan Mahkamah
Internasional bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. Agar tidak terjadi
sengketa dikemudian hari antar pihak Peru dan Chili, maka para pihak harus
menaati putusan dari Mahkamah Internasional agar tidak menimbulkan konflik
dikemudian hari.
8
International Court of Justice, Maritime Dispute (Peru v. Chile), diakses dari
https://www.icj-cij.org/en/case/137, diakses pada 30 September 2019.
10. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.1 (April 2020)
Tema/Edisi : Hukum Internasional (Bulan Keempat)
https://jhlg.rewangrencang.com/
34
DAFTAR PUSTAKA
Buku
ICJ. Rejoinder of the Government of Chile Maritime Dispute (Peru v. Chile). (Den
Hag: Penerbit ICJ).
Joko, Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta).
Lazarusli, Budi dan Syahmin A.K.. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya
dengan Perjanjian Internasional. (Bandung: Penerbit Remaja Karya).
Thantowi, Jawahir. 2002. Hukum Internasional di Indonesia. (Yogyakarta:
Penerbit Madyan Press).
Windari, Retno. 2009. Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982
dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim. (Jakarta: Penerbit Badan
Koordinasi Keamanan Laut).
Jurnal
Bangun, Budi Hermawan. Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan
Negara: Prespektif Hukum Internasional. Tanjungpura Law Journal. Vol.1.
No.1. (Januari 2017).
Junef, Muhar. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure. Vol.18. No.2 (Juni 2018).
Website
ICJ. Maritime Dispute (Peru v. Chile). diakses dari https://www.icj-
cij.org/en/case/137. diakses pada 30 September 2019.
Sumber Hukum
United Nations of the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.