1. BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Bangunan cagar budaya dari bata banyak dijumpai di Indonesia dan tersebar di
berbagai wilayah. Jenis bangunan yang berbahan bata dapat berupa candi, gapura, kolam, sumur,
saluran air, dan lain-lain. Banyak bangunan BCB berbahan bata yang memiliki nilai penting
tinggi. Namun material bata merupakan material yang sangat rentan akan pelapukan dan
kerusakan. Usaha-usaha pelestarian sangat diperlukan untuk menjaga eksistensi BCB berbahan
bata tersebut.
Kegiatan konservasi dan pemugaran yang berupa perbaikan struktur bangunan,
pemulihan bentuk arsitektur, serta pengawetan material bangunan harus memperhatikan prinsipprinsip arkeologi dan konservasi teknis. Pemugaran harus menggunakan konsep otentisitas, yang
mencakup otentisitas bahan, desain, teknologi pengerjaan, serta tata letaknya. Prinsip konservasi
harus menggunakan teknik dan bahan yang efektif, efisien secara teknis dan ekonomis, tahan
lama, serta aman bagi benda dan lingkungannya.
Penanganan konservasi bangunan bata sangat bervariasi tergantung pada tingkat kerusakan dan
pelapukan materialnya. Bangunan bata yang tidak mengalami kerusakan serius cukup ditangani
dengan perawatan rutin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Bangunan yang mengalami
kerusakan berat perlu ditangani dengan tindakan konservasi yang lebih menyeluruh untuk
menghambat kerusakan yang dapat mengancam kelestarian BCB.
Penanganan pemugaran bangunan bata dalam pelaksanannya cukup rumit karena material bata
biasanya telah rapuh dan memerlukan teknik perekatan khusus. Dalam pemasangan kembali
perlu direkatkan dengan sistem gosok, dan penggantian dengan bata baru sulit dihindari. Metode
pemugaran bangunan bata harus dirancang dengan sangat matang, sehingga diperoleh struktur
yang kuat dan faktor-faktor penyebab kerusakan dapat diminimalkan.
B. TUJUAN
2. BAB II
PEMBAHASAN
A.Konstruksi Gedung Tahan Gempa
Wilayah Indonesia mencakup daerah-daerah yang mempunyai tingkat resiko gempa yang
tinggi diantara beberapa daerah gempa diseIuruh dunia.
Pada daerah pemukiman yang cukup padat, perlu adanya suatu perlindungan untuk mengurangi
angka kematian penduduk dan kerusakan berat akibat goncangan gempa.
Dengan menggunakan prinsip teknik yang benar, detail konstruksi yang baik dan praktis maka
kerugian harta benda dan jiwa menusia dapat dikurangi.
Dalam webblog ini, diuraikan faktor-faktor dasar dari goncangan gempa yang kemudian di
uraikan prinsip-prinsip utamanya yang akan dipakai dalam membangun rumah tahan gempa.
BEBERAPA KARAKTERISTIK GONCANGAN GEMPA
Pada lokasi bangunan, gempa bumi akan menyebabkan tanah dibawah bangunan dan di
sekitarnya tergoncang dan bergerak secara tak beraturan (random).
Percepatan tanah terjadi dalam tiga dimensi membentuk kombinasi frekwensi getaran dari 0,5
Hertz sampal 50 Hertz. Jika bangunan kaku (fixed) terhadap tanah (dan tidak dapat tergeser)
gaya inersia yang menahan percepatan tanah akan bekerja pada tiap-tiap elemen struktur dari
bangunan selama gempa terjadi. Besarnya gaya-gaya inersia ini tergantung dari berat
bangunannya, semakin ringan berarti semakin kecil gaya inersia yang bekerja dalam elemen
struktur tersebut. Tanggung jawab sebagai orang yang berkecimpung daIam industri konstruksi
adalah mendirikan bangunan sedemikian rupa sehingga bangunan tetap mampu berdiri menahan
gaya-gaya inersia tersebut. Pertanyaan yang timbul kemudian, “Berapa kekuatan bangunan yang
kita perlukan ?”.
TINGKAT PEMBEBANAN GEMPA
Pada tahun 1981, studi untuk menentukan besarnya “beban gempa rencana” sudah
dilakukan. Studi ini adalah proyek kerja sama antara Pemerintah Indonesia-New Zealand yang
menghasilkan. Peraturan Muatan Gempa lndonesia. Pada konsep peraturan tersebut ada 2 (dua)
langkah pendekatan untuk menghitung pembebanan gempa yang dapat digunakan.
Kriteria pertama, bahwa perencanaan pembebanan gempa sedemikian rupa sehingga
tidak terjadi kerusakan struktur atau kerusakan arsitektural setiap kali terjadi gempa.
Kriteria kedua meskipun terjadi gempa yang hebat bangunan tidak boleh runtuh tetapi hanya
boleh kerusakan-kerusakan pada bagian struktur yang tidak utama atau kerusakan arsitektur saja.
Telah diketahui bahwa adalah tidak ekonomis merencanakan bangunan tahan gempa cara elastis.
Jadi untuk gempa yang besar dimana kemungkinan terjadinya kira-kira 15% dari umur bangunan
tersebut, dipakai harga perencanaan yang rendah dan perencanaan khusus serta ukuran detaildetail diambil sedemikian sehingga menjamin beberapa bagian tertentu dari struktur akan Ieleh
(berubah bentuk dalam keadaan plastis) untuk menyerap sebagian enersi gempa (yang berlaku
untuk keadaan kenyal).
3. Besarnya harga beban rencana yang terjadi berhubungan dengan beberapa faktor yang
selengkapnya terdapat pada reference, yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Faktor Lapangan (site)
Gambar dibawah ini, menunjukkan enam jalur gempa di Indonesia yang menentukan parameter
dasar pembebanan
Parameter ini dimodifikasikan untuk perhitungan pada kondisi tanah Iunak dimana goncangan
tanah akibat gempa akan diperbesar (mengalami pembesaran).
(Untuk Jakarta, pada zone 4 dan diatas tanah lunak koefisien beban rencana lateral adalah 0,05
untuk struktur yang kaku seperti perumahan bertingkat rendah.
2. Faktor Bangunan
Beban yang terjadi pada suatu bangunan juga tergantung pada keadaan (features) dari bangunan
rersebut, yakni fleksibilitasnya, beratnya dan behan bangunan untuk konstruksinya.
Biasanya suatu bangunan yang fIeksibel akan menerima beban gempa yang Iebih kecil
dibandingkan bangunan yang lebih kaku. Bangunan yang lebih ringan akan menerimna beban
gempa yang Iebih keciI dari pada bangun yang berat dan bangunan yang kenyal akan menyerap
beban gempa yang lebih kecil dari pada bangunan yang getas yang mana dalam keadaan
pengaruh gempa akan tetap elastis atau runtuh secara mendadak.
Bangunan dari kayu digolongkan sebagai bangunan yang kenyal. Untuk struktur kayu harus
direncanakan dengan menggunakan Peraturan Muatan Indonesia yang baru. Beban rencana
adalah 33% - 50% dari gaya yang menyebabkan struktur belum mulai Ieleh atau masih dalam
keadaan elastis.
Reduksi ini tidaklah sama besarnya untuk bahan bangunan yang lain, misalnya baja yang
mempunyai kekenyalan yang lebih besar dari kayu. Meskipun demikian kekenyalan dapat
diciptakan dalam struktur kayu dengan menggunakan alat penyambung yang kenyal pada tiaptiap hubungan elemen stuktur kayu tersebut. Pada umumnya, sambungan dengan paku
memberikan kekenyalan yang cukup.
3. Tingkat Pembebanan Gempa untuk Bangunan Kayu
Dengan memperhatikan faktor lapangan dan faktor bangunan, struktur kayu harus tetap mampu
berdiri untuk menahan beban-beban sebagai berikut : (Jakarta, tanah lunak)
Rangka kayu kenyal : 0,05 *) x 1,7 = 0,085
Dinding geser kayu : 0,05 *) x 2,5 = 0,125
Konstruksi rangka kayu yang diperkuat dengan batang pengaku diagonal: 0,05 *) x
3 = 0,15
Keterangan :
*)
Faktor ini mempunyai harga maksimum 0,13 pada zone I dan 0 pada zone 6.
Hal ini berarti, misalnya suatu dinding geser yang terbuat dari plywood atau particle board,
harus dapat menerima gaya horisontal sebesar 0,125 x berat total dari bagian struktur yang
4. membebani dinding tersebut.
Meskipun suatu bangunan direncenakan dengan harga pembebanan yang benar, mungkin
bangunan. tersebut mengalami kerusakan akibat gempa jika sebagian dari prinsip-prinsip
utamanya tidak dipenuhi.
PRlNSlP-PRlNSIP UTAMA KONSTRUKSI TAHAN GEMPA
1. Denah yang sederhana dan simetris
Penyelidikan kerusakan akibat gempa menunjukkan pentingnya denah bangunan yang sederhana
dan elemen-elemen struktur penahan gaya horisontal yang simetris. Struktur seperti ini dapat
menahan gaya gempa Iebih baik karena kurangnya efek torsi dan kekekuatannya yang lebih
merata.
2. Bahan bangunan harus seringan mungkin
Seringkali, oleh karena ketersedianya bahan bangunan tertentu. Arsitek dan Sarjana SipiI harus
menggunakan bahan bangunan yang berat, tapi jika mungkin sebaiknya dipakai bahan bangunan
yang ringan.
Hal ini dikarenakan besarnya beban inersia gempa adalah sebanding dengan berat bahan
bangunan.
Sebagai contoh penutup atap genteng diatas kuda-kuda kayu menghasilkan beban gempa
horisontal sebesar 3 x beban gempa yang dihasilkan oleh penutup atap seng diatas kuda-kuda
kayu. Sama halnya dengan pasangan dinding bata menghasiIkan beban gempa sebesar 15 x
beban gempa yang dihasilkan oleh dinding kayu.
3. Perlunya sistim konstruksi penahan beban yang memadai
Supaya suatu bangunan dapat menahan gempa, gaya inersia gempa harus dapat disalurkan dari
tiap-tiap elemen struktur kepada struktur utama gaya honisontal yang kemudian memindahkan
gaya-gaya ini ke pondasi dan ke tanah.
Adalah sangat penting bahwa struktur utama penahan gaya horizontal itu bersifat kenyal. Karena,
jika kekuatan elastis dilampaui, keruntuhan getas yang tiba-tiba tidak akan terjadi, tetapi pada
beberapa tempat tertentu terjadi Ieleh terlebih dulu.
Suatu contoh misalnya deformasi paku pada batang kayu terjadi sebelum keruntuhan akibat
momen lentur pada batangnya.
Cara dimana gaya-gaya tersebut dialirkan biasanya disebut jalur Iintasan gaya.
Tiap-tiap bangunan harus mempunyai jalur lintasan gaya yang cukup untuk dapat menahan gaya
gempa horisosontal.
Untuk memberikan gambaran yang jelas, disini diberikan suatu contoh rumah sederhana dengan
tiga hal utama yang akan dibahas yaitu struktur atap, struktur dinding dan pondasi.
5. Siklus gempa 200 tahunan yang melanda Padang dan Pariaman menelan ratusan korban jiwa
penyebabnya didominasi oleh runtuhnya bangunan yang ditinggali oleh warga. Di lain sisi kita
menengok besarnya skala richter gempa tersebut kita juga harus memikirkan bagaimana sebuah
bangunan diciptakan untuk tetap bertahan dalam kondisi gempa pada skala tersebut. Ahli
konstruksi Teknik Sipil Stanford University, Greg Deierlein mengemukakan penemuannya
mengenai bangunan tahan gempa.
Diagram skematik kerangka goyang yang disiapkan untuk goncangan pada tabel pengujian.
Baja-frame ditampilkan dalam warna merah. Struktur putih di belakang bingkai mensimulasikan
berat dari sebuah bangunan berlantai tiga. Insetnya menunjukkan baja diganti sekering kuning,
di dasar frame goyang. Belakang dan di depan adalah sumbu vertikal kabel baja yang menarik
bangunan kembali ke plumb setelah gempa bumi. Selama pengujian, frame terjepit di antara dua
struktur putih.
Setelah tes goncangan, sebuah baja sekering menunjukkan deformasi yang disebabkan
oleh energi yang dikeluarkan selama gonjangan terjadi. Sekeringnya dirancang untuk menyerap
kerusakan dan mudah diganti setelah gempa bumi. Sebuah metode baru konstruksi baja yang
menggunakan tendon dan sekering yang dapat diganti sangat membantu bangunan bertahan dari
gempa bumi kuat. Penelitian baru ini telah berhasil diujicobakan..
Kekuatan besar gempa bumi sering meninggalkan sisa bangunan yang rusak di bagian
belakang dan biasanya sangat mahal untuk memperbaiki. "Sebagian besar bangunan yang kita
rancang sedemikian rupa apabila terjadi gempa besar, maka bangunan tersebut dapat
menyelamatkan penghuninya, " jelas Greg Deierlein, profesor teknik sipil dan lingkungan di
Stanford University dan juga ketua tim peneliti.
6. Gambar : Konstruksi Tahan Gempa
Untuk mengurangi kerusakan struktural, sistem baru bergantung pada steel braced-frames, yang
dibangun pada dinding eksterior bangunan. Sistem baru ini dirancang sangat elastis naik turun
setiap kali terjadi gempa bumi. Sistem ini terletak di tengah-tengah bingkai tendon baja yang
cukup elastis untuk mengendalikan goncangan. Tendon juga membantu mengangkat bangunan
kembali ke tempatnya semula setelah gempa berhenti. "Yang menarik dari frame ini adalah
terbuat dari batuan yang kuat, dan berbeda dengan sistem konvensional," lanjut Deierlein.
Baja "sekering" yang diletakkan di bagian bawah frame juga berfungsi menyimpan sisa
bangunan dari kerusakan yang terjadi. Sekeringnya dibuat sangat fleksibel dan berfungsi
menghilangkan energi seismik, yang membatasi kerusakan pada daerah-daerah tertentu. Seperti
halnya alat listrik lainnya, sekering baja ini dapat dengan mudah diganti ketika selesai
digunakan.
"Gagasan sistem struktural ini adalah bagaimana kita berkonsentrasi pada kerusakan dengan
penggunaan sekering," kata Deierlein. Sistem ini dapat diinstal sebagai bagian dari desain awal
bangunan dan dapat dipasang ke bangunan yang sudah ada. Hal ini sangat ekonomis dan layak
dilaksanakan karena terbuat dari bahan yang biasa digunakan dalam konstruksi.
__________________________
B. KERUSAKAN BANGUNAN DAN PERMASALAHANNYA
A. PEMUGARAN BCB BATA DAN PERMASALAHANNYA
Berikut ini adalah beberapa teknik pemugaran yang telah dilakukan pada beberapa bangunan
BCB bata (Aris Munandar, 2002) :
1. Pemugaran candi Jiwa di Karawang Jawa Barat. Pemugaran dilakukan dengan pembongkaran
bata kulit setebal 1 meter. Pada saat pemasangan kembali dibuat lantai pada bagian dasar
bangunan, dan pada bagian dalam dibuat tembok beton yang berfungsi sebagai lapisan kedap air
dan perkuatan.
2. Pemugaran candi-candi bata di Trowulan, Jawa Timur. Pemugaran dilakukan dengan
membuat perkuatan pada bagian dalam dan lantai kerja dari beton untuk menumpu struktur
bangunan bagian atas. Selain itu juga dilakukan pengolesan bahan penolak air pada permukaan
bata.
3. Pemugaran Pura Maospati Tonja, Bali. Dibuat lapisan kedap air pada bidang horisontal yang
paling lebar dengan Araldite Tar, sehingga dapat menahan infiltrasi air hujan. Lapisan kedap air
7. menjadi semacam payung untuk melindungi struktur bagian bawah.
4. Pemugaran kompleks percandian Muara Takus, Riau. Pemasangan ring beton pada bagian
dasar bangunan untuk perkuatan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah teknik-teknik tersebut efektif untuk menjaga kelestarian
struktur bangunan dan material, dan apakah teknik tersebut tidak menimbulkan dampak jangka
panjang. Beberapa pelaksanaan pemugaran bangunan BCB bata mengalami ”kesalahan”, yang
biasanya muncul setelah pemugaran berakhir. Berikut ini contoh beberapa pemugaran yang
menimbulkan dampak negatif (Aris Munandar, 2002) :
1. Pengelupasan material pada candi Brahu di Jawa Timur sebagai akibat penggunaan bahan
penolak air (Water repelent) Silicosol.
2. Penggaraman permukaan bata pada candi Jiwa Karawang, yang disebabkan karena pemakaian
semen di dalam strutur bangunan tanpa diolesi lapisan kedap air.
3. Kerapuhan bata pengganti yang sangat cepat pada beberapa candi bata di Jawa Timur yang
disebabkan oleh rendahnya kualitas bata pengganti.
Beberapa permasalahan di atas hanya merupakan sebagian kasus yang dari berbagai kasus yang
terjadi. Masih banyak kasus lain yang terjadi pada usaha pelestarian bangunan bata. Hal ini
membutuhkan penjelasan yang komprehensip agar dapat memberikan dasar pengetahuan yang
memadai bagi pengembangan teknik konservasi bangunan bata.
C. MATERIAL BATA
Bata adalah bahan yang dibuat dari tanah liat dan bahan campuran lain melalui proses
pencetakan dan pemanasan. Pada pembahasan ilmu bahan, bata dan bahan-bahan keramik
lainnya dikelompokkan dalam material berbasis silika (Parkani, 1999). Silika di alam terutama
ada dalam bahan pasir dan batu. Kekuatan material yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh
komposisi bahan baku yang digunakan. Secara umum mineral silika akan menentukan sifat
kekuatan bahan. Mineral silika ini pula yang bertanggung jawab pada sifat kekerasan pada batu.
Struktur kekuatan bata terbentuk pada saat proses pemanasan. Pada proses pemanasan tersebut
beberapa mineral akan mengalami pelelehan parsial yang membetuk kristal mineral baru yang
lebih kuat. Mineral silika pada proses kristalisasinya akan berasosiasi dengan mineral lain
terutama alumina.
Komposisi silika dan alumina sangat dipengaruhi oleh bahan baku tanah liat dan bahan tambahan
yang digunakan. Sehingga tidak mengherankan jika kualitas bata antar daerah satu dengan
daerah lain sangat bervariasi. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung alumina dan
silika yang cukup tinggi. Pada beberapa jenis tanah liat kandungan alumina (lempung) nya
sangat tinggi, sehingga perlu penambahan silika dalam bentuk pasir. Pada keramik modern,
bahan tambahan yang digunakan adalah kaolin. Komposisi bahan tambahan pada pembuatan
bata antar daerah juga seringkali bervariasi untuk mendapatkan hasil bata yang baik.
Selain bahan baku, proses pemanasan juga menentukan kualitas bata. Sebagai bahan buatan,
proses pembentukannya ditentukan oleh proses rekristaliasasi mineral-mineral penyusunnya.
Secara umum semakin tinggi dan semakin lama proses pemanasan, kualitas bata yang dihasilkan
semakin baik. Temperatur ideal pemanasan bahan-bahan keramik adalah 900oC, dimana pada
8. suhu tersebut kristal silika dapat meleleh secara efektif dan mengalami rekristalisasi secara
sempurna. Pada pembuatan bata temperatur tersebut sulit dicapai, karena pemanasannya
menggunakan bahan pembakar langsung tanpa menggunakan ruang tanur. Berdasarkan
pengalaman analisis yang dilakukan di laboratorium dengan metode DTA (Differential Thermal
Analysis), ditemukan temperatur pembakaran yang digunakan berkisar antara 250-800 oC.
Pembuatan bata pada umumnya menggunakan bahan pembakar kayu atau sekam padi.
Temperatur yang dapat dicapai pada penggunaan kayu lebih baik dibading dengan menggunakan
sekam. Informasi bahan pembakar yang digunakan pada bata asli penting untuk diketahui.
Analisis terhadap bata asli perlu memperhatikan adanya sisa-sisa arang bahan pembakar yang
seringkali masih menempel pada permukaan bata.
Selain mineral utama silika dan alumina, bata juga mengandung senyawa-senyawa lain dalam
bentuk mineral dan garam-garam. Senyawa-senyawa tersebut ada di dalam bata karena
terkandung dalam bahan baku. Senyawa yang dapat berdampak negatif pada jangka panjang
adalah garam-garam terlarut. Garam-garam terlarut ini dapat keluar ke permukaan bata oleh
aktivitas air dalam material. Setelah keluar ke permukaan dapat menimbulkan penggaraman, dan
lebih lanjut dapat menyebabkan pelapukan dan pengelupasan.
B. KERUSAKAN DAN PELAPUKAN BATA
Faktor utama yang berperan pada pelapukan bata adalah air, disamping sifat material bata
sendiri. Air dapat menyebabkan kelembaban bata meningkat dan sangat berpengaruh terhadap
kerusakan bata baik secara biologis, khemis, maupun fisis. Air yang berinteraksi dengan bata
akan membawa garam-garam terlarut yang ada di dalam bata. Air yang mengandung garam
tersebut akan keluar ke permukaan dan menguap oleh adanya sinar matahari dan angin yang
akan menimbulkan endapan garam. Kristal-kristal garam dapat menggangu nilai estetis
bangunan bata dan lebih lanjut dapat merusak material bata. Kerusakan material akibat endapan
garam terjadi melalui proses mekanis, yaitu berkembangnya kristal-kristal garam pada pori-pori,
kemudian terjadi tekanan sehingga bata hancur.
Terjadinya tekanan yang menyebabkan pelapukan dan pengelupasan juga dipicu oleh proses
hidrasi. Proses hidrasi adalah proses terbentuknya garam hidrat (kristal garam yang mengandung
air) dari garam kering (anhidrat) karena adanya air. Garam hidrat mempunyai volume yang lebih
besar dari garam anhidrat, sehingga menekan material disekitar pori yang menyebabkan
pelapukan.
Selain proses pelapukan material seperti yang diuraikan di atas, garam dapat juga terbentuk di
permukaan karena penguapan air (efflorescence). Air yang membawa mineral dapat keluar dari
pori sebelum mengalami kristalisasi. Air akan berada di permukaan batu dan mengalami
penguapan. Setelah air menguap garam akan tertinggal pada permukaan.
Proses penggaraman akan terjadi lebih cepat jika terdapat sumber-sumber material yang
mengandung garam. Terutama jika di dalam bata tersebut terkandung garam-garam terlarut. Hal
ini seringkali terjadi jika menggunakan bata pengganti yang dibuat dari bahan dasar yang kurang
baik. Pemilihan bata pengganti harus mempertimbangkan kualitas terutama dalam hal kandungan
9. garam terlarut ini.
Proses penggaraman juga akan semakin cepat jika terjadi kapilarisasi air. Air kapiler merupakan
air tanah yang biasanya membawa garam-garam terlarut dari tanah. Air tanah yang bersifat asam
juga dapat memicu terjadinya endapan garam karena terjadinya reaksi dengan material bata.
C.. USAHA MINIMALISASI PELAPUKAN BCB BATA
Pelapukan pada dasarnya adalah peristiwa alamiah yang pasti terjadi pada setiap material. Tidak
ada cara untuk menghentikannya, usaha yang dapat dilakukan adalah menghambat proses
terjadinya. Konservasi BCB pada hakikatnya adalah usaha untuk memperlambat proses
pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor
penyebab pelapukan, sehingga proses pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktorfaktor tersebut. Pengendalian faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan
memperhatikan dampak-dampak yang mungkin timbul.
Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan BCB bata adalah penggaraman. Usaha untuk
meminimalkan terjadinya penggaraman pada bangunan BCB yang dipugar antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Pemilihan bata pengganti yang berkualitas
Penggaraman disebabkan oleh aktivitas air dalam material bata. Meskipun demikian,
penggaraman tidak akan terjadi jika bata yang digunakan tidak mengandung garam terlarut. Pada
pemugaran, bata pengganti yang digunakan harus mengandung kadar garam terlarut seminimal
mungkin. Berikut ini diuraikan cara analisis garam terlarut menurut uji kualitas bata berdasar
SNI (YDNI No. 10 tahun 1964) :
Alat:
Bejana dangkal dengan dasar yang datar berukuran :
Luas alas garis tengah 15 cm (bentuk silinder), atau 15 x 10 cm (bentuk persegi panjang) dan
tinggi dinding kurang lebih 5 cm.
Cara:
Untuk pengujian ini dipakai tak kurang dari 5 buah bata utuh. Tiap-tiap bata ditempatkan berdiri
pada bidangnya yang datar. Dalam masing-masing bejana dituangkan air suling 250 cc. Bejanabejana beserta benda-benda percobaan dibiarkan dalam ruang yang mempunyai pergantian udara
yang baik. Bila sesudah beberapa hari air telah diisap dan bata-bata kelihatan kering, air yang
sama banyaknya dituangkan lagi ke dalam bejana-bejana dan bata-bata dibiarkan lagi hingga
kering.
Kemudian bata-bata diperiksa tentang pengeluaran garam-garam putih pada permukaannya.
Hasil-hasil penglihatan dinyatakan sebagai berikut :
a. Tidak membahayakan
Bila kurang dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam.
b. Ada kemungkinan membahayakan
Bila 50% atau lebih permukaan bata tertutup lapisan garam yang agak tebal.
c. Membahayakan
Bila lebih dari 50% permukaan bata tertutup lapisan garam yang tebal dan bagian-bagian bata
10. menjadi bubuk atau terlepas.
2. Minimalisasi aktivitas air dalam material
Bangunan bata yang dibongkar secara menyeluruh sampai pondasi, perlu dibuat lapisan kedap
air yang diletakkan pada titik 0 sampai 5 cm diatas permukan tanah, dan dipilih pada bidang
horisontal paling lebar. Pada bagian tersebut bidang diolesi bahan kedap air dan celah-celahnya
diisi dengan mortar dari bahan kedap air yang sama. Hal ini bertujuan untuk mencegah
kapilarisasi air tanah yang dapat berdampak negatif. Pada bagian atas bangunan juga dibuat
lapisan kedap air untuk meminimalkan meresapnya air hujan dari atas.
Apabila bangunan bata dibongkar sebagian, lapisan kedap air diletakkan pada lapisan paling
bawah dari bagian bangunan yang dibongkar dan dipilih pada bidang horisontal yang paling
lebar. Pada bagian bangunan bata yang tidak dibongkar penanganannya ada 2 cara yaitu :
a. Pemasangan geomposit pada permukaan dinding bangunan yang posisinya di bawah
permukaan tanah.
b. Pembenahan lingkungan di sekeliling bangunan. Dalam hal ini sebenarnya hanya bersifat
mengurangi keberadaan air di sekitar bangunan. Perlakuan yang dapat dilakukan antara lain
adalah pembuatan sistem drainase disekeliling bangunan. Sistem drainase yang dirancang harus
efektif dengan tetap memperhatikan aspek estetika lingkungan dan aspek arkeologis.
3. Memperhatikan Penggunaan Bahan-Bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia pada pemugaran dan konservasi harus memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
a. Penggunaan bahan kimia hanya dilakukan jika benar-benar dibutuhkan.
b. Bahan kimia yang digunakan harus sudah diuji efektivitas dan dampak negatifnya.
c. Bahan yang digunakan sebaiknya berkadar rendah dan tidak menimbulkan dampak bagi
lingkungan.
Secara khusus penggunaan PC semen untuk penggosokan bata hanya bila diperlukan saja dan
dibatasi seminimal mungkin, hal ini untuk menjaga pelarutan kalsium bebas. Beton untuk
perkuatan struktur perlu diolesi lapisan kedap air. Aplikasi bahan penolak air (water repelent)
seperti Masonceal, Rhodorsil, Silicosol, dan sejenisnya hanya bisa dilakukan jika permasalahan
air telah diatasi secara sempurna. Yaitu jika sudah tidak terjadi lagi kapilarisasi, dan air hujan
juga tidak masuk ke dalam struktur bangunan. Pengolesan bahan tersebut pada material yang
mengalami pergerakan air ke arah luar justru menyebabkan terjadinya kerusakan, karena air
mendorong permukaan material yang mengandung bahan menjadi terkelupas.
11. BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bangunan BCB bata secara umum merupakan bangunan dengan material
yang rentan pelapukan dan kerusakan. Disisi lain keberadaan bangunan BCB bata
memiliki nilai penting, dengan jumlah yang banyak dan tersebar di seluruh nusantara.
Penanganan konservasi bangunan bata di beberapa BCB justru terjadi dampak negatif
yang tidak dikehendaki. Hal ini menuntut perhatian serius sebelum menangani bangunan
bata.
pentingnya pengetahuan dasar material bata dan interaksinya dengan
lingkungan terutama dengan air. Pemugaran dan konservasi BCB bata perlu melakukan
usaha minimalisasi dampak dengan pemilihan bata pengganti yang benar-benar
berkualitas, minimalisasi aktivitas air dalam material, dan perhatian serius terhadap
penggunaan bahan kimia dan semen. Secara umum setiap langkah yang akan diambil
pada pemugaran dan konservasi BCB bata harus melalui kajian yang mendalam.
B. SARAN
Penulis tidak pernah luput dari kesalahan.Apabila ada kesalahan dalan makalah ini
saya harap kritik dan saran dari pembaca. Terima kasih.
12. DAFTAR PUSTAKA
Aris Munandar, (2002), Perawatan dan Pengawetan Bangunan Bata, Balai Studi dan
Konservasi Borobudur, Magelang
Aris Munandar, Sudibyo, Muhsidi, (2004), Laporan Studi Teknik Pengerjaan Bahan
Pemugaran Candi Bata Tahap IV, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Subyantoro, Aris Munandar, Subagyo, Hendy Soesilo, Sudibyo, (1999),
Studi Geoteknik Situs Percandian Muaratakus Propinsi Riau, Balai Studi dan Konservasi
Borobudur, Magelang
Dukut Santoso, Aris Munandar, Sudibyo, Al. Santoso, Suhardi, Kukuh, (2003),
Kapilarisasi Air pada Bangunan Bata (Hasil Kajian Penelitian), Balai Studi dan
Konservasi Borobudur, Magelang
Parkani, (1999), Archaeological Chemistry, Bradshaw & Co, London
Stambolov. T, van Asperen de Boer. J.R.J, (1976), The Deterioration and Conservation of
Porous Building Materials in Monuments, International Center for the Study of The
Preservation and the Restoration of Cultural Property, Rome
Torraca. G, (1982), Porous Building Material – Material Science for Architectural
Conservation, ICCROM, Italy
YDNI No. 10 (11 Januari 1964), Bata Merah sebagai Bahan Bangunan, Departemen
Pekerjaan Umum (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan), Bandung.