Dokumen tersebut membahas tentang proses adat perkawinan suku Muna yang terdiri dari beberapa tahapan mulai dari pemilihan jodoh oleh orang tua, pertunangan, pelamaran hingga pelaksanaan perkawinan. Tahapan-tahapan tersebut diikuti dengan upacara-upacara adat tertentu dan perjanjian-perjanjian antara kedua belah pihak orang tua pengantin untuk menjamin kelancaran proses perkawinan secar
1. 1. Pemilihan jodoh
Sebelum melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan jodoh untuk
anaknya, namun hal ini sudah tidak dijumpai lagi dalam kalangan masyarakat suku Muna.
Pada hakekatnya pemilihan jodoh ini, orang tua bercita-cita agar anaknya dapat kawin
dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh karena itu, sebelum orang tua mengambil
keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu mereka mengadakan penilaian kepada
perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi
peranan kaum kerabat sangat menentukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah
kecantikan, keturunan, agamanya, kekayaan, budi pekerti, serta akhlaknya (Arifin,
wawancara, 27 Januari 2010).
Apabila seorang laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal
tersebut orang tua merundingkan dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan.
2. Pertunangan
Perkawinan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak calon pengantin
untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah
pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran atau peminangan yaitu suatu permintaan
atau pertimbangan yang dikemukakan yang biasanya oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan.
Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini
di daerah Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk
pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan (ingin
melaksanakan) ikatan perkawinan.
Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah
memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang) suatu tanda pengikat yang
kelihatan yang di sebut (singkaru).
Tanda pengikat dimaksud diberikan kepada keluarga pihak perempuan atau kepada orang tua
pihak perempuan atau kepada bakat mempelai perempuan sendiri yang di pinang), dan
dibeberapa daerah (Minangkabau). Tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masingmasing pihak.
2. Dalam hal ini nampak juga masuknya budaya barat (Eropa) dimana peresmian pertunangan
itu disertai acara Tukar Cincin (Over Rings) menurut adat hal ini tidak membawa akibat
hukum bagi hukum adat itu sendiri, jadi pertunangan tidak dilakukan dengan acara Tukar
Cincin atau Over Rings, akan tetapi pertunangan tetap sah dan mengikat apabila pihak yang
dilamar telah menerima tanda pengikat dari pihak yang melamar.
Dibeberapa daerah biasanya tanda lamaran itu dapat berupa:
- Sirih pinang
- Sejumlah uang (mas kawin, uang adat)
- Makanan matang
- Bahan pakaian
- Perhiasan.
Tanda lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang
dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan, santun, dan penuh hormat
dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang, hubungan kekerabatan satu
persatu dengan calon mempelai pria. Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar
akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan peribahasa adat.
Setelah selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak maka barang-barang tanda lamaran itu
diteruskan kepada tokoh-tokoh adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua belah pihak
mengadakan perundingan tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Besarnya uang jujur (uang adat, dan mas kawin).
b. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita.
c. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan.
d. Perjanjian-perjanjian perkawinan
e. Kedudukan harta perkawinan.
3. f. Acara dan upacara adat perkawinan.
g. Waktu dan tempat upacara.
Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh para pihak yang akan
melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan, kemampuan dan masyarakat adat
yang bersangkutan.
Pada masyarakat suku Muna dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau ciri
khususnya seperti halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku Muna dikenal
beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu pemilihan jodoh,
pertunangan, peminangan, kawin, (La Fudhu, wawancara 26 Januari 2010).
Berikut ini akan diuraikan mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku
muna sebagai berikut:
3. Pelamaran
Bila ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang tua tidak setuju
sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya dapatlah terjadi perkawinan lari
(Pofileigho).
Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak lakilaki, yaitu menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan berkungjung kerumah
orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu bila orang tua perempuan bersedia
untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adanya
berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan
yang merupakan “kabintingia” (talang kecil persegi empat).
Terjadinya suatu perkawinan dalam masyarakat Muna pada dasarnya mempunyai suatu
proses dan upacara tertentu yang harus dan mutlak untuk dilaksanakan sebab telah menjadi
ketentuan hukum adat perkawinan dan telah menjadi tradisi masyarakat Muna.
Dalam proses pelaksanaan perkawinan di daerah Muna tidak dapat dianggap remeh dan harus
ditaati karena perkawinan itu menurut keterangan La Ode Sabora bahwa:
4. “Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupun keluarga kedua belah
pihak ada dua jalan yang ditempuh yakni,
“Selamat atau mati” dan juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi
mudah (momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” (Arifin 27 Januari 2010)
Berdasarkan keterangan diatas bahwa dalam menghadapi suatu proses perkawinan
menyangkut proses penyelesaian adatnya baik calon suami istri maupun keluarga kedua belah
pihak, harus mempersiapkan jiwa yang lebih rasional dan keimanan yang lebih mendalam
agar dalam proses penyelesaian adat perkawinan nanti berjalan dengan mulus serta tidak
menimbulkan benturan antara delegasi.