1. Ratio Kontribusi Pengurangan Sampah
Ada dua bagian besar dalam pengelolaan sampah, yaitu pengurangan sampah dan penanganan
sampah. Pemerintah berharap warga dapat berpartisipasi aktif dalam pengeloalan sampah salah
satunya dengan melakukan pengurangan sampah yang mencakup tiga hal yaitu reduce, reuse, dan
recycle.
Ratio kontribusi pengurangan sampah dapat dihitung dengan rumus:
( )
100% = sempurna
80% - 99% = sangat baik
60% - 79% = baik
40% - 59% = cukup
20% - 39% = kurang
<20% = sangat kurang
Saat ini, mayoritas sampah rumah tangga adalah sampah organik, persentasenya rata-rata 50%
sampai 70%. Pada dasarnya semua sampah organik dapat dengan mudah dikembalikan ke alam
menjadi kompos, dengan gradasi waktu yang berbeda-beda. Sehingga ada yang memilih untuk tidak
mengkompos bahan-bahan seperti tulang, daging, dan biji buah-buahan yang keras seperti biji salak.
Namun dengan asumsi 50% sampah organik dapat dibuat menjadi kompos, artinya setiap rumah
mampu mengurangi sampahnya sebanyak 50% per hari.
Saya telah melakukan penelitian sederhana di beberapa rumah dengan data sbb:
Tanggal
Rumah 1 (3 orang) Rumah 2 (9 orang)
TOTAL
Organik Anorganik Subtotal Organik Anorganik Subtotal
1 April ‘16 0,3 0,3 3,15 3,15 3,45
2 April ‘16 0,45 0,15 0,6 3,75 3,75 4,35
3 April ‘16 0 0,3 0,3 2,9 2,9 3,2
4 April ‘16 0,5 0,2 0,7 3,9 1,15 5,05 5,75
5 April ‘16 0,25 0,4 0,65 4,05 4,05 4,7
6 April ‘16 0,2 0,15 0,35 4,25 4,25 4,6
7 April ‘16 0 0,1 0,1 2,05 2,05 2,15
8 April ‘16 0,45 0,45 2,45 2,45 2,9
9 April ‘16 0,7 0,5 1,2 3,4 2,2 5,6 6,8
TOTAL 2,85 1,8 4,65 29,9 3,35 33,25 37,9
*) satuan kg.
Kedua sampel telah melakukan proses pengurangan kompos dengan menggunakan metode
komposter. Sampel rumah 1 memproses seluruh sampah organiknya menjadi kompos. Sementara
sampel rumah 2, dari 29,9 kg hanya 22,6 kg saja yang dijadikan kompos.
2. Jika menggunakan kedua sampel tersebut, ratio pengurangan sampah di kedua rumah tersebut
menjadi:
( )
( )
Kedua sampel tersebut termasuk dalam kategori baik dalam berkontribusi mengurangi sampah
dengan cara recycle.
Idealnya setiap rumah tangga melakukan proses komposting. Dengan asumsi semua sampah organik
diproses menjadi kompos, artinya setiap rumah tangga dapat mengurangi setidak-tidaknya 50%-60%
sampahnya. Itu kondisi paling ideal.
Kendala Praktis
Mengolah sampah organik membutuhkan komitmen, terutama komitmen waktu. Sebelum
mengolah sampah menjadi kompos, sampah yang dihasilkan sebaiknya dicacah. Artinya butuh waktu
untuk mencacah. Setelah itu, sampah dimasukkan ke komposter. Setelah kompos matang, kompos
dikeluarkan dan diangin-anginkan sebelum kemudian digunakan. Saya katakan komitmen waktu
karena ada begitu banyak hal lain yang harus dilakukan selain waktu untuk mengolah sampah
menjadi kompos. Terutama “investasi” waktu untuk memanen kompos.
Meskipun seseorang peduli dan ingin, kendala praktis untuk berkomitmen menyediakan waktu perlu
lebih dari sekedar peduli dan ingin. Butuh niat dan idealisme. Pertanyaannya, berapa banyak orang
yang punya komitmen untuk melakukan hal tersebut? Kalau hanya ada, pasti ada. Tapi berapa
banyak?
Terkait komitmen waktu, saya sering menggunakan analogi mengenai budaya makan praktis
(instan). Contoh, kita tahu masyarakat perkotaan kebanyakan hanya punya sedikit waktu untuk
menyediakan sarapan di rumah. Bagi yang masih bersedia menyediakan makan di rumah, pilihan
sarapan praktis merupakan solusi. Makanan instan yang bisa siap sedia <5 menit. Sementara
sebagian lain memilih untuk membeli makanan jadi untuk sarapan. Bagaimana dengan mengolah
sampah? Prioritas makan, bagaimana pun pasti lebih tinggi daripada mengurus sampah. Jika untuk
prioritas tinggi saja, dibuat sederhana dan praktis, maka secara umum orang akan memilih
mengabaikan sampah bila itu menyulitkan.
Waktu
Secara alami memang semua bahan organik akan menjadi kompos secara otomatis dalam waktu 100
hari. Namun yang diharapkan adalah waktu proses yang lebih cepat. Apalagi bila sampah organik
yang dihasilkan per hari jumlahnya besar. Semakin lama proses pengomposan, semakin besar area
yang diperlukan untuk menumpuk sampah.
3. Untuk kasus sampah rumah tangga dari rumah, ada dua kendala terkait waktu. Pertama bahwa
sampah yang dihasilkan per hari hanya sekitar 0,5 kg per orang. Untuk membuat kompos, perlu
jumlah tertentu agar kompos bisa matang. Ada yang mengakali dengan mencampur dengan kompos
yang sudah jadi agar jumlahnya memenuhi kuota. Tetapi bila belum ada kompos, maka butuh
beberapa hari untuk mengumpulkan bahan baku kompos.
Bau dan Belatung
Idealnya, jika sampah yang diolah semua adalah bahan dari sayur dan buah, proses pembuatan
kompos tidak menimbulkan bau. Tetapi jika ada bahan yang mengandung protein hewani tinggi,
maka proses tersebut akan bau. Bahan apapun yang diolah, biasanya akan ada belatung, baik
belatung besar maupun belatung kecil. Tidak semua orang bersedia berkorban untuk “memelihara”
belatung. Memang, ketika suhu mulai tinggi, belatung akan mati perlahan. Tetapi pada masa antara,
pasti akan ada belatung.
Halaman
Tidak semua rumah punya halaman. Terlebih masyarakat perkotaan saat ini mulai bergeser
pemukimannya ke perumahan vertikal. Jika masyarakat perkotaan yang tinggal di apartemen atau
rumah susun dengan luas antara 18 m2
sampai 33 m2
, masih harus berbagi ruang dengan sebuah
komposter ber-“bau” dan ber-“belatung”
Solusi harus Praktis
Kesadaran memang penting dan perlu. Adanya kesadaran yang tinggi mendukung upaya pengelolaan
sampah menjadi lebih mudah. Namun sadar atau tidak sadar, mungkin harus dipisahkan dari
kesediaan untuk mengolah sampah. Perlu ada solusi di mana urusan pengolahan sampah harus
menjadi sebuah jasa service. Terutama bagi orang-orang yang minim waktu.
Paradigma pengelolaan sampah yang berlaku selama ini adalah paradigma kumpul-angkut-buang. Ini
tercermin dalam pola pelayanan dalam pengelolaan sampah, yang menitikberatkan pada
pemindahan sampah ari satu tempat ke tempat lain. Dari tempat timbulan sampah menuju ke
Tempat Pembuangan Akhir. Meskipun regulasi mulai menggeser paradigma “buang” menjadi
“proses” tapi hal tersebut belum dicerna oleh sistem yang ada saat ini. Sehingga Tempat
Pemrosesan Akhir Sampah masih diperlakukan sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah.
Paradigma ini perlahan-lahan harus didukung dnegan perubahan infrastruktur yang menunjang
perubahan paradigma tersebut, misalnya mengubah TPA yang “open dumping” menjadi “sanitary
landfill”.
0o0o0
Sakura Pringgohardjoso
Email : sakura.pringgohardjoso@gmail.com